bab 2 tinjauan pustaka 2. 1. definisi...

28
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Definisi meningitis Definisi dari meningitis adalah infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan spinal cord (Meningitis Foundation of America). Mengetahui meningitis disebabkan oleh bakteri atau virus dapat membantu dalam menentukan keparahan penyakit dan pengobatannya. Viral meningitis biasanya kurang parah dan dapat sembuh tanpa pengobatan spesifik, sementara bacterial meningitis biasanya cukup parah dan dapat menimbulkan kerusakan fungsi otak (Meningitis Foundation of America). Terdapat pula definisi lain yang menyebutkan bahwa meningitis adalah reaksi inflamasi dari membran yang membungkus otak dan spinal cord. Inflamasi ini menimbulkan perubahan di cairan serebrospinal (CSS) yang mengelilingi otak dan spinal cord (Dugdale). 2. 2. Definisi otitis media supuratif kronik (OMSK) Yang disebut dengan otitis media supuratif kronik ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer, bening, atau berupa nanah (Soepardi, 2008). 2. 3. Anatomi tulang tengkorak Tengkorak dibentuk oleh sejumlah tulang-tulang, sebagian besar tulang- tulang tengkorak merupakan tulang pipih dan saling terikat oleh sendi-sendi kaku yang disebut sutura. Jaringan pengikat antara tulang-tulang disebut sutura ligamentum. Bentuk sutura tidak rata dan terlihat seperti gerigi. Sutura yang terpanjang dan sangat penting yaitu sutura koronalis, sutura sagitalis, sutura squamosa, dan sutura lambdoidea yang menghubungkan tulang-tulang kranium (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009; Marleb, 2001 dalam Irwan, 2009). Universitas Sumatera Utara

Upload: nguyenhanh

Post on 24-May-2018

222 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Definisi meningitis

Definisi dari meningitis adalah infeksi dari cairan yang mengelilingi otak

dan spinal cord (Meningitis Foundation of America). Mengetahui meningitis

disebabkan oleh bakteri atau virus dapat membantu dalam menentukan keparahan

penyakit dan pengobatannya. Viral meningitis biasanya kurang parah dan dapat

sembuh tanpa pengobatan spesifik, sementara bacterial meningitis biasanya cukup

parah dan dapat menimbulkan kerusakan fungsi otak (Meningitis Foundation of

America).

Terdapat pula definisi lain yang menyebutkan bahwa meningitis adalah

reaksi inflamasi dari membran yang membungkus otak dan spinal cord. Inflamasi

ini menimbulkan perubahan di cairan serebrospinal (CSS) yang mengelilingi otak

dan spinal cord (Dugdale).

2. 2. Definisi otitis media supuratif kronik (OMSK)

Yang disebut dengan otitis media supuratif kronik ialah infeksi kronis di

telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari

telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer, bening,

atau berupa nanah (Soepardi, 2008).

2. 3. Anatomi tulang tengkorak

Tengkorak dibentuk oleh sejumlah tulang-tulang, sebagian besar tulang-

tulang tengkorak merupakan tulang pipih dan saling terikat oleh sendi-sendi kaku

yang disebut sutura. Jaringan pengikat antara tulang-tulang disebut sutura

ligamentum. Bentuk sutura tidak rata dan terlihat seperti gerigi. Sutura yang

terpanjang dan sangat penting yaitu sutura koronalis, sutura sagitalis, sutura

squamosa, dan sutura lambdoidea yang menghubungkan tulang-tulang kranium

(Snell, 1995 dalam Irwan, 2009; Marleb, 2001 dalam Irwan, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Tengkorak terdiri dari 22 buah tulang, 21 buah tulang terikat secara

bersama-sama dan 1 buah tulang mandibula atau tulang rahang bawah yang dapat

bergerak dan berhubungan dengan tengkorak oleh sepasang sendi sinovial.

Tulang-tulang tengkorak dapat dibagi menjadi dua, yaitu tulang-tulang kranium

dan tulang-tulang fasial. Tulang–tulang kranium menutupi dan melindungi otak

dan tempat melekatnya otot-otot kepala dan leher. Tulang-tulang fasial

membentuk kerangka wajah, membentuk rongga tempat organ-organ sensori,

tempat lewatnya makanan dan organ-organ pernapasan, tempat tumbuhnya gigi,

dan tempat melekatnya otot-otot wajah (Hollinshead, 1985 dalam Irwan, 2009;

Snell, 1995 dalam Irwan, 2009; Marleb, 2001 dalam Irwan, 2009).

Tulang-tulang kranial terdiri dari: tulang frontale (1 buah), tulang parietale

(2 buah), tulang occipital (1 buah), dan tulang temporal (2 buah). Tulang-tulang

fasial terdiri dari: tulang zigomatikum (2 buah), maksila (2 buah), tulang nasale (2

buah), tulang lakrimale (2 buah), vomer (1 buah), tulang palatinum (2 buah),

tulang konkhae nasalis inferior (2 buah), dan mandibula (1 buah) (Snell, 1995

dalam Irwan, 2009; Marleb, 2001 dalam Irwan, 2009).

2. 3. 1. Gambaran anterior tulang tengkorak

Tulang frontale melengkung kearah bawah membentuk batas atas orbita.

Pada bagian medial, tulang frontale bersendi dengan prosessus frontalis maxilla

dan tulang nasale. Pada bagian lateral, tulang frontale bersendi dengan tulang

zigomatikum. Orbita dibatasi oleh superior: tulang frontale, lateral: tulang

zigomatikum, inferior: maksila, dan medial: prosessus maksila dan tulang frontale

(Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Punggung hidung dibentuk oleh dua buah tulang nasale. Pinggir bawahnya

berbatasan dengan maksila, membentuk aperture nasalis anterior. Kavum nasi

dibagi menjadi dua oleh tulang septum nasal, yang sebagian besar adalah vomer.

Konkhae nasalis superior dan media menonjol ke kavum nasi berasal dari tulang

ethmoidale, konkhae nasalis inferior merupakan tulang tersendiri (Snell, 1995

dalam Irwan, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Dua buah tulang maksila membentuk rahang atas, bagian anterior palatum

durum, bagian dinding lateral kavum nasi, dan dasar kavum orbita. Kedua tulang-

tulang ini bertemu di garis tengah pada sutura intermaksilaris dan membentuk

batas bawah aperture nasalis (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Tulang zigomatikum membentuk penonjolan pipi, dinding lateral, dan

dasar kavum orbita. Pada bagian medial tulang zigomatikum bersendi dengan

maksila dan lateral bersendi dengan prosessus zigomatikum tulang temporal untuk

membentuk arkus zigomatikum. Mandibula atau rahang bawah, terdiri dari korpus

horizontal dan dua ramus vertikal. Korpus bertemu dengan ramus pada angulus

mandibula. Batas atas mandibula adalah bagian alveolaris yang terdapat gigi-gigi

bawah (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Gambar 2.1. Gambaran anterior tulang tengkorak (Strandring, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2. 3. 2. Gambaran lateral tulang tengkorak

Tulang frontale membentuk bagian sisi anterior tengkorak dan bersendi

dengan tulang parietale oleh sutura koronalis. Tulang parietale membentuk bagian

samping dan atap tengkorak, kemudian bersendi dengan tulang parietale lainnya

pada garis tengah oleh sutura sagitalis. Dan bersendi dengan tulang occipitale

pada bagian belakang oleh sutura lambdoidela (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Tengkorak bagian lateral dibentuk secara keseluruhan oleh bagian

squamousa tulang occipital; bagian-bagian tulang temporal yaitu squamousa

tympanic, prosessus mastoideus, prosessus stiloideus, dan prosessus zigomatikum,

dan ala major tulang spenoidea. Ramus dan korpus mandibula terdapat di inferior

(Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Gambar 2.2. Gambaran lateral tulang tengkorak (Strandring, 2008).

2. 3. 3. Gambaran posterior tulang tengkorak

Pada bagian posterior kedua tulang parietale dibagi oleh sutura sagitale di

sebelah atas. Pada bagian bawah, tulang parietale bersendi dengan bagian bagian

squamousa tulang occipitalle oleh sutura lambdoidea. Pada setiap sisi tulang

occipitale bersendian dengan tulang temporal. Pada garis tengah tulang occipitale

terdapat tonjolan kasar yang disebut protuberanta occipitalis externa, yang

merupakan tempat melekatnya otot dan ligamentum nukhae. Pada setiap sisi

Universitas Sumatera Utara

protuberanta membentuk linea nukhae superior yang meluas ke lateral ke arah

tulang temporal (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Gambar 2.3. Gambaran posterior tulang tengkorak (Strandring, 2008).

2. 3. 4. Gambaran superior tulang tengkorak

Pada bagian anterior, 1 buah tulang frontale yang bersendi dengan 2 buah

tulang parietale oleh sutura koronalis. Pada bagian belakang, diantara kedua

tulang parietale membentuk sendi di garis tengah oleh sutura sagitale. Pada bagian

tengah tulang parietale terbentuk tonjolan kecil disebut eminentia parietale (Snell,

1995 dalam Irwan, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4. Gambaran superior tulang tengkorak (Strandring, 2008).

2. 3. 5. Gambaran inferior tulang tengkorak

Jika mandibula dibuang, maka pada bagian anterior dibentuk oleh palatum

durum. Prosessus palatines maksilla dan bidang horizontal dari tulang palatinum

dapat dikenali. Pada anterior garis tengah terdapat fossa dan foramen incisivum.

Pada posterolateral terdapat foramen major dan minor. Di atas pinggir posterior

palatum durum terdapat khoana. Ujung inferior lamina pterygoideus medial

memanjang seperti ujung tulang yang melengkung disebut hamulus pterygoldeus,

ujung superior melebar membentuk fossa scapoid (Snell, 1995 dalam Irwan,

2009).

Universitas Sumatera Utara

Posterolateral dari lamina pterygoideus lateral, pada bagian ala major

sphenoid terdapat foramen ovale dan foramen spinosum. Posterolateral dari

foramen spinosum terdapat spina ossis spenoidalis. Di atas pinggir medial fossa

scaphoid, tulang spenoidale ditembus oleh canalis pterygoideus. Di belakang

spina ossis spenoidalis, di antara tulang sphenoid dan bagian petrosus tulang

temporal terdapat lekukan tempat bagian tulang rawan tuba eustachius dan ostium

bagian tulang tuba eustachius (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Fossa mandibularis dari tulang temporal dan tuberkulum articulare

membentuk permukaan atas sendi temporomandibularis. Prosessus stiloideus

permukaan dari tulang temporal menonjol ke arah bawah dan ke arah depan.

Ostium kanalis karoticus terdapat pada permukaan inferior bagian petrosus tulang

temporal (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Lempeng timpani, yang merupakan bagian dari tulang temporal, berbentuk

seperti C dan membentuk bagian tulang meatus akustikus externus. Di antara

processus styloideus dan processus mastoideus terdapat foramen

stylomastoideum. Posterior dari foramen magnum pada garis tengah terdapat

krista occipitalis externa menuju ke arah atas dan belakang ke protuberantia

occipitalis externa (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5. Gambaran inferior tulang tengkorak (Strandring, 2008).

2.4. Anatomi lapisan meningens

Otak dikelilingi oleh lapisan mesodermal yang disebut dengan meningens.

Lapisan terluar disebut dura mater, lapisan tengah disebut arachnoid, dan lapisan

terdalam disebut pia mater (Kahle, 2003).

Lapisan dura mater merupakan lapisan yang terkuat dan melekat ke

tengkorak. Lapisan tengah, arachnoid, penting untuk aliran normal dari cairan

Universitas Sumatera Utara

serebrospinal (CSS). Bagian terdalam, piamater, penting untuk mengarahkan

pembuluh darah di otak (Narins, 2003).

Lapisan diantara arachnoid dan piamater diisi oleh cairan serebrospinal

(CSS), yang melindungi otak dari trauma (Narins, 2003).

Gambar 2.6. Gambaran lapisan meningens (Strandring, 2008).

Gambar 2.7. Aliran cairan serebrospinal dari pembentukan sampai penyerapan di

sinus dura (Saladin, 2003).

2. 5. Anatomi telinga tengah

Telinga berfungsi sebagai organ pendengaran dan pengatur keseimbangan.

Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, telinga

Universitas Sumatera Utara

tengah, dan telinga dalam (Soetirto, 2004 dalam Irwan, 2009). Telinga tengah

terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius, dan prosessus

mastoideus (Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

2. 5. 1. Membran timpani

Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani yang

memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran timpani ini

berbentuk oval dan mempunyai ukuran panjang vertkal rata-rata 9-10 mm dan

diameter anteroposterior kira-kira 8-9 mm, tebal kira-kira 0,1 mm. membran ini

tipis, licin, dan berwarna putih mutiara (Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Membran timpani terdiri dari tiga lapisan: lapisan luar terdiri dari epitel

skuamosa, bagian dalam merupakan lanjutan dari mukosa telinga tengah yang

dilapisi epitel kuboidal. Lapisan tengah merupakan lapisan fibrosa yang terdiri

dari dua lapisan yaitu lapisan radial dan sirkuler (sikumferensial) (Yates, 2008

dalam Irwan, 2009).

Secara anatomis, membran timpani dibagi dalam dua bagian:

1. Pars tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani, merupakan suatu

permukaan yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan

melekat di annulus timpanikus pada tulang temporal.

2. Pars flaksida atau membran sharpnell. Letaknya di bagian atas muka dan lebih

tipis dari pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh dua lipatan yaitu plika

maleolaris anterior (lipatan muka) dan plika maleolaris posterior. (lipatan

belakang) (Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.8. Gambaran membran timpani (Strandring, 2008).

2. 5. 2. Kavum timpani

Kavum timpani mempunyai bentuk irregular, antara dinding lateral dan

dinding medial kavum timpani berisi udara. Kavum timpani terdiri dari tiga

bagian yaitu bagian superior yang berhubungan dengan membran timpani disebut

epitimpani atau atik, yang terletak dipingir atas dari membran timpani. Setentang

membran timpani adalah mesotimpani dan dibawah pinggir membran timpani

disebut hipotimpani (Colman, 1993 dalam Irwan, 2009; Yates, 2008 dalam Irwan,

2009).

Kavum timpani mempunyai enam dinding yaitu bagian atap, lantai, dinding

lateral, dinding medial, dinding anterior, dan dinding posterior (Helmi, 2005;

Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Atap kavum timpani dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut

tegmen timpani. Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fosa kranial

media (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Lantai kavum timpani dibentuk oleh tulang tipis yang memisahkan lantai

kavum timpani dari bulbus vena jugularis yang dinding superiornya dibatasi oleh

lempeng tulang yang mempunyai ketebalan yang bervariasi, bahkan kadang-

kadang hanya dibatasi oleh mukosa dengan kavum timpani (Helmi, 2005;

Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Dinding medial kavum timpani memisahkan kavum timpani dari telinga

dalam, ini juga merupakan dinding lateral dari telnga dalam. Dinding ini pada

mesotimpani menonjol kearah kavum timpani yang disebut promontorium.

Tonjolan ini karena didalamnya terdapat koklea (Helmi, 2005; Dhingra, 2007

dalam Irwan, 2009).

Dinding posterior kavum timpani ke arah superior, terdapat sebuah saluran

disebut aditus yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid

melalui epitimpani. Pada bagian posterior ini, dari medial ke lateral terdapat

eminentia pyramidalis yang terletak di bagian supero-medial dinding posterior,

kemudian sinus posterior yang membatasi eminentia pyramidalis dengan tempat

keluarnya khorda timpani. Terdapat juga fosa inkudis yang terletak persis diatas

sinus lateral (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Dinding anterior kavum timpani sebagian besar berhadapan dengan arteri

karotis, dibatasi lempengan tulang tipis. Di bagian atas dinding anterior terdapat

semikanal otot tensor timpani yang terletak persis diantara muara tuba eustachius

(Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani, sedangkan

dibagian epitimpani dinding lateralnya adalah skutum yaitu lempeng tulang yang

merupakan bagian pars skuamosa tulang temporal (Helmi, 2005; Dhingra, 2007

dalam Irwan, 2009).

Ada 5 faktor yang mengatur tekanan pada kavum timpani, yaitu (Ahmed,

2004 dalam Irwan, 2009):

1. Fungsi ventilasi tuba eustachius,

2. Proses keluar masuknya gas dari sirkulasi melalui difusi,

3. Ketebalan mukosa telinga tengah,

4. Elastistas membran timpani, dan

5. Ukuran pneumatisasi mastoid.

2. 5. 3. Tuba eustachius

Tuba eustachius disebut juga tuba auditoria atau tuba faringotimpani,

bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan

Universitas Sumatera Utara

antara kavum timpani dengan nasofaring. Tuba eustachius terdiri dari dua bagian

yaitu bagian tulang yang terdapat pada bagian belakang dan pendek (sepertiga

bagian) dan bagian tulang rawan yang terletak pada bagian depan dan panjang

(duapertiga bagian) (Helmi, 2005).

Fungsi tuba eustachius adalah sebagai ventilasi telinga tengah yang

mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan

tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke

nasofaring dan menghalangi masuknya sekret ke nasofaring menuju ke kavum

timpani (Healy, 2003 dalam Irwan, 2009; Helmi, 2005).

Lumen tuba eustachius menghubungkan antara nasofaring (proksimal)

dengan telinga tengah (distal). Pada pertengahan terdapat penyempitan yang

disebut isthmus. Penelitian yang terbaru dengan menggunakan pencitraan tiga

dimensi pada 9 sampel tulang temporal manusia oleh Sudo menunjukkan bahwa

isthmus berada pada ujung distal bagian tulang rawan dan bukan pada pertemuan

bagian tulang rawan dengan bagian tulang tuba eustachius. Pertemuan antara

bagian tulang rawan dan bagian tulang tuba eustachius ini dinamakan junctional

portion, pada setiap orang dewasa panjangnya 3 mm. pada dinding lateral

nasofaring terdapat penonjolan disebut torus tubarius, yang menonjol ke

nasofaring. Penonjolan ini dibentuk oleh sekumpulan jaringan lunak yang

melapisi tulang rawan tuba eustachius (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009).

Pada orang dewasa, tuba eustachius lebih panjang dibandingkan dengan

bayi dan anak-anak. Panjang tuba eustachius yang terpendek 30 mm dan yang

terpanjang 40 mm, tetapi berdasarkan literatur rata-rata panjang tuba eustachius

adalah 31-38 mm. pada sepertiga posterior tuba eustachius orang dewasa

merupakan bagian tulang yang panjangnya 11-14 mm, dan duapertiga anterior

merupakan bagian tulang rawan yang panjangnya 20-25 mm. pada orang dewasa

tuba eustachius membentuk sudut 45o terhadap bidang horizontal dan pada anak-

anak hanya 10o. Anatomi basis kranial sangat berhubungan dengan panjang tuba

eustachius, yang juga berhubungan dengan faktor predisposisi terjadinya penyakit

telinga tengah (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Bagian tulang tuba eustachius (protympanum) seluruhnya berada pada

bagian petrosus tulang temporal dan dilanjutkan dengan dinding anterior dari

bagian superior telinga tengah. Pertemuan antara bagian tulang dan epitimpanum

kira-kira 4 mm di atas kavum timpani. Hubungan antara tuba eustachius dan

telinga tengah ini sangat penting pada fungsi pembersihan cairan telinga tengah

(Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009; Yoshida, 2007 dalam Irwan, 2009).

Bagian tulang tuba eustachius mempunyai arah anteromedial, mengikuti

apex petrosus dan sedikit menyimpang dari bidang horizontal. Bentuk lumen kira-

kira seperti segitiga, ukuran diameter vertikal 2-3 mm dan horizontal 3-4 mm.

Pada keadaan normal bagian tulang tuba eustachius tetap terbuka, sedangkan

bagian tulang rawan tertutup pada waktu istirahat dan terbuka pada waktu

menelan atau dipaksa membuka seperti pada waktu valsava maneuver. Bagian

tulang dan tulang rawan tuba eustachius bertemu pada permukaan tulang yang

tidak rata dan membentuk sudut 160o

Bagian tulang rawan tuba eustachius mempunyai arah anteromedial dan

inferior, membentuk sudut 30

. Dinding medial bagian tulang tuba

eustachius terdiri dari dua bagian, yaitu posterolateral (labyrinthine) dan

aterolateral (karotis), dimana ukuran dan bentuknya tergantung pada posisi arteri

karotis interna. Ukuran rata-rata ketebalan bagian anteromedial adalah 1,5-3 mm

dan pada 2% populasi tidak terbentuk dinding dan terpapar dengan ateri karotis

interna (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009).

o-40o terhadap bidang transversal dan membentuk

sudut 45o terhadap bidang sagital. Bagian ini melekat dengan kuat ke orifisium

bagian tuba eustachius dengan jaringan ikat (fibrous) dan meluas ke bagian tulang

tuba eustachius kira-kira 3 mm. pada ujung onferomedial melekat ke tuberkulum

pada pinggir posterior lamina pterygoideus medial. Lumen tuba berbentuk seperti

dua buah kerucut yang saling berhubungan pada ujung-ujungnya. Pada lumen ini

terdapat titik yang paling sempit disebut isthmus. Posisi isthmus bisanya pada atau

sekitar pertemuan bagian tulang dan bagian tulang rawan tuba eustachius.

Diameter lumen isthmus tinggi 2 mm dan lebar 1 mm. Dari sejak lahir sampai

pubertas panjang bagian tulang rawan tuba eustachius semakin bertambah,

Universitas Sumatera Utara

perkembangan ini mempunyai implikasi fisiologik (Bluestone, 2006 dalam Irwan,

2009).

2. 5. 4. Prosesus mastoideus

Bagian terbesar tulang temporal dibentuk oleh bagian mastoid di sebelah

posterior dan inferior. Namun demikian, karena bagian ini mengalami

pneumatisasi yang luas, massanya tidak melebihi bagian-bagian tulang temporal

lainnya. Prosesus mastoid menonjol ke arah inferior dibelakang meatus acusticus

externus. Bagian ini berperan sebagai tempat perlekatan otot-otot

sternokleidomastoide, splenius capitis, dan longisimus capitis. Pada bagian

inferior terdapat suatu lekukan yang dalam yaitu fossa digastricus, tempat

melekatnya otot digastricus. Pada bagian dalam prosesus mastoideus, lekukan ini

membentuk meinentia digastricus yang merupakan suatu patokan penting pada

saat operasi mastoidektomi, karena foramen stilomastoid merupakan tempat

lewatnya nervus fasialis terletak pada ujung anterior eminentia digastricus

tersebut. Permukaan superior mastoid merupakan suatu lempengan tipis terletak di

atas antrum timpanika yang dikenal dengan tegmen mastoid. Di posterior,

bersama-sama dengan permukaan posterior tulang membentuk batas anterior fosa

cranial posterior. Di sini terdapat suatu lekukan dalam yang dibentuk oleh sinus

lateral atau sinus sigmoid. Dua buah saluran lain yang lebih kecil menuju ke

medial, berisi sinus petrosa inferior dan superior (Austin, 1994 dalam Irwan,

2009).

Prosesus mastoideus baru terbentuk pada usia satu tahun, antrum

mastoideum adalah ruangan pertama dan terbesar yang terdiri dari sel udara

mastoid. Sel udara ini berhubungan satu dengan yang lain dan pertumbuhan dari

sel udara mastoid tiap orang berbeda. Pneumatisasi prosesus mastoideus menurut

tipe perkembangannya dibagi atas prosesus mastoideus sklerotik, diploik, dan

pneumatik. Bila drainase tidak baik pada mastoid akan mudah terjadi radang

(Helmi, 2005).

Luasnya pneumatisasi tulang temporal bervariasi untuk masing-masing

individu. Hal ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor herediter dan faktor

Universitas Sumatera Utara

lingkungan. Terjadinya otitis media pada masa bayi dan anak-anak dapat

menghambat pneumatisasi dan mengakibatkan sklerosis. Di lain pihak terdapat

bukti bahwa pneumatisasi yang terbatas merupakan faktor predisposisi untuk

infeksi telinga tengah (Austin, 1994 dalam Irwan, 2009). Sel udara mastoid

mempunyai peranan penting terhadap fungsi fisiologis telinga tengah. Tumarkin

dan Holmquist menyatakan bahwa sel udara mastoid berperan sebagai rongga

udara pada telinga tengah dan bertanggungjawab terhadap pengaturan tekanan

telinga tengah. Menurut Wittmaack’s (teori endodermal), terjadinya pneumatisasi

normal sel udara mastoid, tetapi proses tersebut dapat dihambat oleh inflamasi

atau kelainan fungsi tuba eustachius (Virapongse, 1985 dalam Irwan, 2009;

Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009).

Berdasarkan ukuran sistem sel udara mastoid, telinga dibagi atas 2

kelompok, telinga dengan pneumatisasi rendah (low-pneumatized ears) dan

telinga dengan pneumatisasi baik (well pneumatized ears). Low-pneumatized ears

mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid <8 cm2 dan well pneumatized ears

mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid >8 cm2

Faktor predisposisi terjadinya otitis media supuratif adalah telinga dengan

pneumatisasi sel udara mastoid rendah (<8 cm

(Seth, 2006 dalam Irwan,

2009).

2

Sade melaporkan pada 72 penderita OMSK dewasa didapatkan 52,2 %

dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (<8 cm

). Menjadi kroniknya otitit media

supuratif menunjukkan tidak berfungsinya struktur sel udara mastoid dalam

mengatur dan mempertahankan fluktuasi tekanan telinga tengah. Pada berbagai

bentuk otitis media, terjadinya tekanan negatif di telinga tengah dan pengaturan

tekanan ini tidak dapat dilakukan pada kasus dengan pneumatisasi sel udara

mastoid rendah (Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009).

2) dan 20 % dengan

pneumatisasi sel udara mastoid baik (>8 cm2). Pada 150 telinga normal

mendapatkan rata-rata volume pneumatisasi sel udara mastoid 12,9±4 cm2. Sade

berpendapat bahwa otitis media supuratif dan komplikasinya terjadi setelah

perkembangan dan maturasi sistem sel udara mastoid. Dia juga berpendapat

bahwa proses inflamasi (seperti pada otitis media supuratif) menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

terjadinya keseimbangan negatif gas-gas di telinga tengah. Menurut Sade dan

Hadas, prognosis otitis media sangat tergantung pada volume sel udara mastoid.

Semua penelitian menunjukkan bahwa tingkat pneumatisasi sel udara mastoid

merupakan faktor penting dalam prognosis otitis media (Ahmet, 2004 dalam

Irwan, 2009).

2. 6. Klasifikasi meningitis

2. 6. 1. Meningitis bakterial

Meningitis bakterial merupakan salah satu penyakit infeksi yang

menyerang susunan saraf pusat, mempunyai resiko tinggi dalam menimbulkan

kematian, dan kecacatan. Diagnosis yang cepat dan tepat merupakan tujuan dari

penanganan meningitis bakteri (Pradana, 2009).

Meningitis bakterial selalu bersifat purulenta (Mardjono, 1981). Pada

umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari septikemia. Pada

meningitis meningokokus, prodomnya ialah infeksi nasofaring, oleh karena invasi

dan multiplikasi meningokokus terjadi di nasofaring. Meningitis purulenta dapat

menjadi komplikasi dari otitis media akibat infeksi kuman-kuman tersebut

(Mardjono, 1981).

Etiologi dari meningitis bakterial antara lain (Roos, 2005):

1. S. pneumonie

2. N. meningitis

3. Group B streptococcus atau S. agalactiae

4. L. monocytogenes

5. H. influenza

6. Staphylococcus aureus

2. 6. 2. Meningitis tuberkulosa

Untuk meningitis tuberkulosa sendiri masih banyak ditemukan di

Indonesia karena morbiditas tuberkulosis masih tinggi. Meningitis tuberkulosis

terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer, biasanya di

Universitas Sumatera Utara

paru. Terjadinya meningitis tuberkulosa bukanlah karena terinfeksinya selaput

otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui

pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsung tulang belakang atau

vertebra yang kemudian pecah kedalam rongga arakhnoid (Pradana, 2009).

Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan

meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak,

terutama pada batang otak tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang

serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis

(Pradana, 2009). Etiologi dari meningitis tuberkulosa adalah Mycobacterium

tuberculosis (Pradana, 2009)

2. 6. 3. Meningitis viral

Disebut juga dengan meningitis aseptik, terjadi sebagai akibat akhir /

sequel dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus seperti campak, mumps,

herpes simpleks, dan herpes zooster. Pada meningitis virus ini tidak terbentuk

eksudat dan pada pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) tidak ditemukan adanya

organisme. Inflamasi terjadi pada korteks serebri, white matter, dan lapisan

menigens. Terjadinya kerusakan jaringan otak tergantung dari jenis sel yang

terkena. Pada herpes simpleks, virus ini akan mengganggu metabolisme sel,

sedangkan jenis virus lain bisa menyebabkan gangguan produksi enzim

neurotransmiter, dimana hal ini akan berlanjut terganggunya fungsi sel dan

akhirnya terjadi kerusakan neurologis (Pradana, 2009).

Etiologi dari meningitis viral antara lain :

Tabel 2.1. Virus yang dapat menyebabkan meningitis (Swartz , 2007).

COMMON NONARTHROPOD VIRUSES Picornavirus (RNA) Enterovirus Echovirus Coxsackie A Coxsackie B

Universitas Sumatera Utara

Enterovirus 70, 71 Poliovirus Herpes simplex type 2 (HSV-2) (DNA)

ARTHROPOD-BORNE VIRUSES (ARBOVIRUSES) Togavirus (Alphavirus, RNA) Eastern equine encephalitis (EEE) Western equine encephalitis (WEE) Venezuelan equine encephalitis (VEE) Flavivirus (RNA) St. Louis encephalitis (SLE) West Nile virus (WNV) Bunyavirus (RNA) California encephalitis

UNCOMMON Arenavirus (RNA) Lymphocytic choriomeningitis (LCM) Paramyxovirus RNA) Mumps Retrovirus (RNA) Human Immunodeficiency virus (HIV-1) RARE Herpes virus (DNA) Herpes simplex type 1 (HSV-1) Epstein-Barr virus (EBV) Cytomegalovirus (CMV) Varicella-Zoster virus (VZV) Human herpes virus type 6 (HHV-6) Adenovirus (DNA) Coltivirus (RNA) Colorado tick fever Bunyavirus (RNA) Toscana virus (a Phlebovirus)

Universitas Sumatera Utara

2. 6. 4. Meningitis jamur

Meningitis oleh karena jamur merupakan penyakit yang relatif jarang

ditemukan, namun dengan meningkatnya pasien dengan gangguan imunitas,

angka kejadian meningitis jamur semakin meningkat. Problem yang dihadapi oleh

para klinisi adalah ketepatan diagnosa dan terapi yang efektif. Sebagai contoh,

jamur tidak langsung dipikirkan sebagai penyebab gejala penyakit / infeksi dan

jamur tidak sering ditemukan dalam cairan serebrospinal (CSS) pasien yang

terinfeksi oleh karena jamur hanya dapat ditemukan dalam beberapa hari sampai

minggu pertumbuhannya (Pradana, 2009).

Etilogi dari meningitis jamur antara lain:

1. Cryptococcus neoformans

2. Coccidioides immitris

2. 7. Patofisiologi

Secara umum patofisiologi dari meningitis adalah sebagai berikut

Agen penyebab

Invasi ke susunan saraf pusat melalui aliran darah

Bermigrasi ke lapisan subarakhnoid

Respon inflamasi di piamater, arakhnoid, cairan serebrospinal, dan ventrikuler

Eksudat menyebar di seluruh saraf kranial dan saraf spinal

Kerusakan neurologis

Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa, point

d’entry masuknya kuman juga dapat melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan

abses otak yang pecah. Penyebab lainnya adalah adanya rhinorhea, otorhea pada

Universitas Sumatera Utara

basis kranial yang memungkinkan kontaknya CSS dengan lingkungan luar

(Pradana, 2009).

2. 7. 1. Meningitis bakterial

Bacterial meningitis merupakan tipe meningitis yang paling sering terjadi.

Tetapi tidak setiap bakteri mempunyai cara yang sama dalam menyebabkan

meningitis. H. influenza dan N. meningitidis biasanya menginvasi dan membentuk

koloni di sel-sel epitel faring. Demikian pula S. pneumonie, hanya saja S.

pneumonie dapat menghasilkan immunoglobulin A protease yang mennonaktifkan

antibodi lokal (Swartz, 2007).

Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah S. pneumonie

dan N. meningitis. Bakteri tersebut menginisiasi kolonisasi di nasofaring dengan

menempel di sel epitel nasofaring. Bakteri tersebut berpindah menyeberangi sel

epitel tersebut menuju ke ruang intravaskular atau menginvasi ruang intravaskular

dengan menciptakan ruang di tight junction dari sel epitel kolumnar. Sekali masuk

aliran darah, bakteri dapat menghindari fagositosis dari neutrofil dan komplemen

dengan adanya kapsul polisakarida yang melindungi tubuh mereka. Bloodborne

bacteria dapat mencapai fleksus koroideus intraventrikular, menginfeksi langsung

sel epitel fleksus koroideus, dan mencapai akses ke cairan serebrospinal. Beberapa

bakteri seperti S. pneumonie dapat menempel di sel endotelial kapiler serebral dan

bermigrasi melewati sel tersebut langsung menuju cairan serebrospinal. Bakteri

dapat bermultiplikasi dengan cepat di cairan serebrospinal karena kurang

efektifnya sistem imun di cairan serebrospinal (CSS). Cairan serebrospinal (CSS)

normal mengandung sedikit sel darah putih, sedikit protein komplemen, dan

immunoglobulin. Kekurangan komplemen dan immunoglobulin mencegah

opsonisasi dari bakteri oleh neutropil. Fagositosis bakteri juga diganggu oleh

bentuk cair dari cairan cerebrospinal itu sendiri (Roos, 2005).

Peristiwa yang penting dalam patogenesis meningitis bacterial adalah

reaksi inflamasi diinduksi oleh bakteri. Manifestasi-manifestasi neurologis yang

terjadi dan komplikasi akibat meningitis bacterial merupakan hasil dari respon

imun tubuh terhadap zat patogen yang masuk dibandingkan dengan kerusakan

Universitas Sumatera Utara

jaringan langsung oleh bakteri. Sehingga cedera neurologis dapat terus terjadi

meskipun bakteri telah ditangani dengan antibiotik (Roos, 2005).

Lisis dari bakteri dan dilepaskannya komponen-komponen dinding sel di

ruang subaraknoid merupakan langkah awal dari induksi respon inflamasi dan

pembentukan eksudat di ruang subarakhnoid. Komponen dinding sel bakteri,

seperti molekul lipopolisakarida (LPS) bakteri gram negatif dan asam teikhoic dan

peptidoglikan S. pneumonie, menginduksi inflamasi selaput meningens dengan

menstimulasi produksi sitokin-sitokin inflamasi dan kemokin-kemokin oleh

mikroglia, astrosit, monosit, dan sel leukosit CSS. Kemudian, setelah 1-2 jam LPS

dilepaskan di cairan serebrospinal (CSS), sel sel endotelial dan meningeal,

makrofag, dan mikroglia akan mengeluarkan Tumor Necrosis Factor (TNF) dan

Interleukin-1 (IL-1) (Swartz, 2007). Lalu kemudian setelah dilepaskannya sitokin

tersebut, akan terjadi peningkatan kandungan protein CSS dan leukositosis.

Kemokin (yang turut menginduksi migrasi leukosit) dan berbagai sitokin

inflamasi lainnya juga diproduksi dan diskresi oleh leukosit dan jaringan yang

diinduksi oleh IL-1 dan TNF (Roos, 2005).

Kebanyakan patofisiologi dari bacterial meningitis merupakan akibat dari

meningkatnya sitokin CSS dan kemokin. TNF dan IL-1 bekerja sinergis

meningkatkan permeabilitas Blood-Brain Barrier (BBB), yang mengakibatkan

edema vasogenik, bocornya protein serum ke ruang subarakhnoid. Eksudat di

ruang subarakhnoid mengganggu aliran CSS di sistem ventrikular dan mengurangi

reabsorbsi dari CSS di sinus dura, sehingga dapat menyebabkan communicating

edema dan concomitant interstitial edema (Roos, 2005).

2. 7. 2. Meningitis tuberkulosa

BTA masuk tubuh

Tersering melalui inhalasi, jarang pada kulit, saluran cerna

Multiplikasi

Universitas Sumatera Utara

Infeksi paru/focus infeksi lain

Penyebaran homogen

Meningens

Membentuk tuberkel

BTA tidak aktif/dorman

Bila daya tahan tubuh lemah

Ruptur tuberkel meningen

Pelepasan BTA ke ruang subarakhnoid

Meningitis

Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (piamater

dan arakhnoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung

terkumpul di daerah basal otak (Pradana, 2009).

2. 7. 3. Meningitis viral

Ada 2 rute virus menyerang sistem saraf pusat manusia, yaitu

hematogenus (infeksi enterovirus) dan limfogenus (infeksi Herpes Simpleks Virus

(HSV)). Enterovirus pertama kali menuju ke lambung, bertahan dari keasaman

asam lambung, dan berlanjut ke saluran pencernaan di bawahnya lagi. Beberapa

virus bereplikasi di nasofaring dan menyebar ke kelenjar limfe regional. Setelah

virus menempel ke reseptor di enterosit, virus menembus lapisan epitelialnya dan

melakukan replikasi di sel enterosit tersebut. Dari situ, virus menuju peyer

Universitas Sumatera Utara

patches, dimana replikasi yang lebih lanjut terjadi. Kemudian dari situ viremia

enterovirus berkembang ke sistem saraf pusat (SSP), hati, jantung, dan sistem

retikuloendotelial. Dan kemudian virus bereplikasi dengan cepat di tempat-tempat

tersebut. Mekanisme enterovirus memasuki SSP diduga dengan cara menembus

BBB tight junction dan memasuki cairan serebrospinal (CSS) (Swartz, 2007).

Berlawanan dengan enterovirus, infeksi HSV mencapai SSP dengan jalur

neuronal. Pada HSV-1 ensepalitis, virus masuk lewat jalur oral menuju nervus

trigeminal dan olfaktori, sedangkan di HSV-2 aseptic meningitis, virus menyebar

dari lesi genital menuju sacral nerve roots menuju meninges. Dari situ, HSV-2

menjadi fase laten dan menunggu untuk reaktivasi menjadi episode aseptik

meningitis (Swartz, 2007).

2. 7. 4. Meningitis jamur

Ada tiga pola dasar infeksi jamur pada susunan saraf pusat yaitu,

meningitis kronis, vaskulitis, dan invasi parenkimal. Pada infeksi Cryptococcal

jaringan menunjukkan adanya meningitis kronis pada leptomeningen basal yang

dapat menebal dan mengeras oleh reaksi jaringan penyokong dan dapat

mengobstruksi aliran likuor dari foramen luschka dan magendi sehingga terjadi

hidrosepalus. Pada jaringan otak terdapat substansia gelatinosa pada ruang

subarakhnoid dan kista kecil di dalam parenkim yang terletak terutama pada

ganglia basalis pada distribusi arteri lentikulostriata. Lesi parenkimal terdiri dari

agregasi atau gliosis. Infiltrat meningens terdiri dari sel-sel inflamasi dan

fibroblast yang bercampur dengan Cryptococcus. Bentuk granuloma tidak sering

ditemukan, pada beberapa kasus terlihat reaksi inflamasi kronis dan reaksi

granulomatosa sama dengan yang terlihat pada Mycobacterium tuberculosa

dengan segala bentuk komplikasinya (Pradana, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2. 8. Klasifikasi otitis media

Secara mudah, otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis

media nonsupuratif (= otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis media

musinosa, otitis media efusi/OME) (Soepardi, 2007).

Skema pembagian otitis media:

Gambar 2.9. Skema pembagian otitis media (Soepardi, 2007)

2. 8. 1. Otitis media akut

Otitis medis akut (OMA) terjadi karena faktor pertahanan tubuh

terganggu. Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis

media. Karena fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke

dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga

tengah dan terjadi peradangan (Soepardi, 2007).

Dikatakan juga bahwa pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran

napas atas (Soepardi, 2007).

Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti

Streptococcus hemolitikus, Staphilococcus aureus, pnemokokus. Selain itu kadang

kadang ditemukan juga Hemophilus influenza, Eschericia coli, Streptococcus

anhemoliticus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aurugenosa (Soepardi, 2007).

Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas

5 stadium:

Universitas Sumatera Utara

1. Stadium oklusi tuba eustachius

Tanda adanya oklusi tuba eustachius adalah gambaran retraksi membran

timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah akibat

absorbsi udara (Soepardi, 2007).

2. Stadium hiperemis

Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran

timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem. Sekret

yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga

sukar terlihat (Soepardi, 2007).

3. Stadium supurasi

Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel

superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani,

menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar

(Soepardi, 2007).

Pada keadaan ini pasein tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta

rasa nyeri di telinga bertambah hebat (Soepardi, 2007).

4. Stadium perforasi

Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau

virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan

nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar (Soepardi,

2007).

5. Stadium resolusi

Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan-

lahan akan normal kembali (Soepardi, 2007).

OMA berubah menjadi otitis media supuratif kronik (OMSK) bila

perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul

(Soepardi, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2. 8. 2. Otitis media supuratif kronik

Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media

supuratif kronik apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila infeksi kurang

dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut (Soepardi, 2007).

Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi

yang tidak adekuat, terapi yang terlambat diberikan, virulensi kuman tinggi, daya

tahan tubuh pasien rendah (Soepardi, 2007).

2. 8. 2. 1. Klasifikasi otitis media supuratif kronik

Otitis media supuratif kronik (OMSK) dibagi menjadi 2 tipe, tipe jinak dan

tipe bahaya. Nama lain dari tipe jinak (benigna) adalah tipe tubotimpanik karena

biasanya didahului dengan gangguan fungsi tuba yang menyebabkan kelainan di

kavum timpani; disebut juga tipe mukosa karena proses peradangannya biasanya

hanya pada mukosa telinga tengah, disebut juga tipe aman karena jarang

menyebabkan komplikasi yang berbahaya. Nama lain dari tipe bahaya adalah tipe

atiko-antral karena proses biasanya dimulai di daerah itu; disebut juga tipe tulang

karena penyakit menyebabkan erosi tulang. Di indonesia tipe bahaya lebih dikenal

dengan tipe maligna (Helmi, 2005).

2. 8. 2. 2. Patogenesis otitis media supuratif kronik

Terjadinya otitis media supuratif kronik hampir selalu dimulai dengan

otitis media berulang pada anak, jarang dimulai pada dewasa. Terjadinya otitis

media disebabkan multifaktor antara lain inveksi virus atau bakteri, gangguan

fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkingan, dan sosial ekonomi (Helmi,

2005).

Fokus infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis,

rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba eusatachius. Kadang-

kadang infeksi berasal dari telinga luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi

membran timpani. Maka terjadilah proses inflamasi. Bila terbentuk pus akan

terperangkap di dalam kantong mukosa di telinga tengah. Dengan pengobatan

yang cepat dan adekuat dan dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah,

Universitas Sumatera Utara

biasanya proses patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali

normal (Helmi, 2005).

Bila terjadi perforasi membran timpani yang permanen, mukosa telinga

tengah akan terpapar ke dunia luar sehingga memungkinkan terjadinya infeksi

berulang setiap waktu. Hanya saja pada beberapa kasus keadaan telinga tengah

tetap kering dan pasien tidak sadar akan penyakitnya. Bila tidak terjadi infeksi

maka mukosa telinga tengah tampak tipis dan pucat (Helmi, 2005).

Episode berulang otorea dan perubahan mukosa menetap ditandai juga

dengan osreogenesis, erosi tulang, dan osteitis yang mengenai tulang mastoid dan

osikel (Helmi, 2005).

OMSK tipe bahaya adalah OMSK yang mengandung kolesteatoma.

Disebut bahaya karena sering menimbulkan komplikasi berbahaya. Kolesteatoma

adalah epitel gepeng dan debris tumpukan pengelupasan keratin yang terjebak di

dalam rongga timpanomastoid. Bila telah terbentuk akan terus meluas.

Kolesteatoma mengerosi tulang yang terkena baik akibat efek penekanan oleh

tumpukan debris keratin, maupun akibat aktifitas mediasi enzim osteoklas.

Resorpsi tulang dapat menyebabkan destruksi trabekula mastoid, erosi osikel,

fistula labirin, pemaparan nervus fasialis, dura serta sinus lateralis (Helmi, 2005).

Job dkk (1998) melaporkan bahwa komplikasi intrakranial dapat terjadi

pada kejadian OMSK baik itu yang tipe aman/ tipe rinogen/ tanpa kolestetoma

(42%) maupun yang tipe tidak aman/ ganas/ tipe atikoanteral/ dengan

kolesteatoma (58%)

Universitas Sumatera Utara