bab 2 landasan teori - library & knowledge...
TRANSCRIPT
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Kinerja Karyawan
Pengertian kinerja yaitu suatu hasil kerja yang dihasilkan oleh seorang karyawan
diartikan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Menurut Anwar Prabu Mangkunegara
(2000), pengertian kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab
yang diberikannya.
Untuk menetapkan tingkat kinerja karyawan, dibutuhkan penilaian kinerja.
Penilaian kinerja yang adil membutuhkan standar. Patokan yang dapat digunakan
sebagai perbandingan terhadap kinerja antar karyawan. Menurut Simamora (2004),
semakin jelas standar kinerjanya, makin akurat tingkat penilaian kinerjanya. Agar
berdaya guna, setiap standar harus dinyatakan secara cukup jelas sehingga manajer dan
bawahan atau kelompok kerja mengetahui apa yang diharapkan dan apakah telah
tercapai atau tidak. Hal ini dikarenakan bahwa tugas pekerjaan dan standar kinerja saling
berkaitan.
Menurut Agus Dharma (2003), hampir semua cara pengukuran kinerja
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran
kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan.
Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan.
30
Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif
keluaran mencerminkan pengukuran ”tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik
penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran.
Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan.
Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran kuantitatif
yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan.
2.2 Produktivitas dan Kaitannya dengan Sistem Produksi
Produktivitas pada dasarnya akan berkaitan erat pengertiannya dengan sistem
produksi, yaitu sistem dimana faktor-faktor semacam:
Tenaga kerja
Modal atau kapital berupa mesin, peralatan kerja, bahan baku, bangunan pabrik,
dan lain-lain.
Dikelola dalam suatu cara yang teroganisir untuk mewujudkan barang (finished goods
product) atau jasa (service) secara efektif dan efisien. Bertitik tolak dari hal tersebut,
maka kita akan selalu berusaha memanfaatkan semua sumber daya tersebut untuk
mewujudkan sesuatu secara maksimal dengan memadukan sumber dan hasil dalam
bentuk optimal. Tenaga kerja manusia disamping modal dan sumber produksi lainnya
adalah sumber daya yang harus dimanfaatkan secara penuh dan terarah.
Proses produksi perdefinisi dapat dinyatakan sebagai serangkaian aktivitas yang
diperlukan untuk mengelolah ataupun merubah sekumpulan masukan (input) menjadi
sejumlah keluaran (output) yang memiliki nilai tambah (added value). Pengelolahan
ataupun perubahan tersebut bisa terjadi di sini secara fisik maupun non fisik, dimana
perubahan tersebut bisa terjadi terhadap bentuk, dimensi maupun sifat-sifatnya.
31
Mengenai nilai tambah yang dimaksud disini adalah nilai keluaran yang ”bertambah”
dalam pengertian fungsional (kegunaan) dan atau nilai ekonomisnya. Secara sederhana
proses produksi dapat digambarkan dalam bagan input-output sebagai berikut:
Gambar 2.1 Bagan Input-Output dalam Sebuah Proses Produksi
Sumber : Sritomo Wignjosoebroto (2003)
2.3 Produktivitas Kerja Manusia dan Cara Pengukurannya
Berbicara mengenai produktivitas kerja, hal ini akan selalu dikaitkan dengan
pengertian efektivitas dan efisiensi kerja. Menilik pengertian umum, produktivitas
diidentifikasi dengan efisiensi dalam suatu rasio antara keluaran (output) dan masukan
(input). Rasio keluaran dan masukan ini dapat juga dipakai untuk menghampiri usaha
yang dilakukan oleh manusia. Sebagai ukuran efisiensi atau produktivitas kerja manusia,
maka rasio tersebut umumnya berbentuk keluaran yang dihasilkan oleh aktivitas kerja
dibagi jam kerja (man hours) yang dikontribusikan sebagai sumber masukan dengan
nilai rupiah atau unit produksi lainnya sebagai dimensi tolak ukurnya.
Selanjutnya bisa dinyatakan bahwa seseorang telah bekerja dengan produktif
jikalau telah menunjukkan output kerja yang paling tidak telah mencapai suatu ketentuan
ini didasarkan atas besarnya keluaran yang dihasilkan secara normal dan diselesaikan
32
dalam jangka waktu yang layak pula. Dari uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa di
sini ada dua unsur yang dimasukkan sebagai kriteria produktivitas, yaitu:
Besar atau kecilnya keluaran yang dihasilkan, dan
Waktu kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan itu.
Waktu kerja disini adalah suatu ukuran umum dari nilai masukan yang harus diketahui
guna melaksanakan penelitian dan penilaian mengenai produktivitas kerja manusia.
2.4 Cara Pengukuran dan Pencatatan Waktu Kerja
Ada tiga metode umum yang digunakan untuk mengukur elemen-elemen kerja
dengan menggunakan jam henti (stop-watch) yaitu :
1. Pengukuran waktu secara terus-menerus (continuous timing)
Pengamat kerja akan menekan tombol stop-watch pada saat elemen kerja pertama
dimulai dan membiarkan jarum penunjuk stop-watch berjalan secara terus-menerus
sampai periode atau siklus kerja selesai berlangsung. Di sini pengamat kerja terus
mengamati jalannya jarum stop-watch dan mencatat pembacaan waktu yang
ditunjukkan setiap akhir dari elemen-elemen kerja pada lembar pengamatan.
Waktu sebenarnya dari masing-masing elemen diperoleh dari pengurangan pada
saat pengukuran waktu selesai dilaksanakan.
2. Pengukuran waktu secara berulang-ulang (repetitive timing)
Kadang-kadang disebut snap-back method. Di sini jarum penunjuk stop-watch
akan selalu dikembalikan (snap-back) lagi ke posisi nol pada setiap akhir dari
elemen kerja yang diukur. Setelah dilihat dan dicatat waktu kerja diukur kemudian
ditekan lagi dan segera jarum penunjuk bergerak untuk mengukur elemen kerja
berikutnya. Demikian seterusnya sampai akhir dari elemen tombol ditekan lagi dan
33
untuk mengembalikan jarum ke nol. Dengan cara demikian maka data waktu untuk
setiap elemen kerja yang diukur akan dapat dicatat secara langsung tanpa ada
pekerjaan tambahan untuk pengurangan seperti yang dijumpai dalam metode
pengukuran terus-menerus. Dengan melihat data waktu setiap elemen secara
langsung maka pengamat akan bisa mengetahui variasi data waktu selama proses
kerja berlangsung untuk setiap elemen kerja. Variasi yang terlalu besar dari data
waktu yang bisa diakibatkan oleh kesalahan membaca atau menggunakan stop-
watch ataupun bisa pula karena penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam
pelaksanaan kerja.
3. Pengukuran waktu secara penjumlahan (accumulative timing)
Di sini akan digunakan dua atau lebih stop-watch yang akan bekerja secara
bergantian. Dua atau tiga stop-watch dalam hal ini akan didekatkan sekaligus pada
papan pengamatan dan dihubungkan dengan suatu tuas. Apabila stop-watch
pertama dijalankan, maka stop-watch nomor dua dan tiga berhenti (stop) dan jarum
tetap pada posisi nol. Apabila elemen kerja sudah berakhir, maka tuas ditekan yang
akan menghentikan gerakan jarum dari stop-watch pertama dan menggerakkan
stop-watch kedua untuk mengukur elemen kerja berikutnya. Dalam hal ini stop-
watch nomor tiga tetap pada posisi nol. Pengamat selanjutnya bisa mencatat data
waktu yang diukur oleh stop-watch pertama. Apabila elemen kerja sudah berakhir
maka tuas ditekan lagi, yang mana hal ini akan menghentikan jarum penunjuk pada
stop-watch kedua pada posisi waktu yang diukur dan selanjutnya akan
menggerakkan stop-watch ketiga untuk mengukur elemen kerja berikutnya lagi.
Gerakan tuas ini selain menghentikan jarum penunjuk stop-watch kedua,
menggerakkan stop-watch pertama kembali ke posisi nol (untuk bersiap-siap
34
mengukur elemen kerja yang lain). Demikian seterusnya. Metode akumulatif
memberikan keuntungan di dalam hal pembacaan akan mudah dan lebih teliti
karena jarum stop-watch tidak dalam keadaan bergerak pada saat pembacaan
waktu dilaksanakan seperti halnya yang dijumpai untuk pengukuran kerja dengan
menggunakan satu stop-watch.
2.5 Faktor Penyesuaian dan Kelonggaran
2.5.1 Maksud Melakukan Penyesuaian
Setelah pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kewajaran kerja yang
ditunjukkan operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi misalnya bekerja tanpa
kesungguhan, sangat cepat seolah-olah diburu waktu, atau karena menjumpai kesulitan
kesulitan seperti karena kondisi ruangan yang buruk. Sebab-sebab seperti ini
mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu singkat atau terlalu panjangnya
waktu penyelesaian. Hal ini jelas tidak diinginkan karena waktu baku yang dicari adalah
waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara kerja yang baku yang diselesaikan secara
wajar.
Andai kata ketidakwajaran ada maka pengukur harus mengetahuinya dan menilai
seberapa jauh hal itu terjadi. Penilaian perlu diadakan karena berdasarkan inilah
penyesuaian dilakukan. Jadi jika pengukur mendapatkan harga rata-rata siklus yang
diketahui diselesaikan dengan kecepatan tidak wajar oleh operator, maka agar harga
rata-rata tersebut menjadi wajar, pengukur harus menormalkannya dengan melakukan
penyesuaian.
Biasanya penyesuaian dilakukan dengan mengalikan waktu siklus rata-rata dengan
suatu harga p yang disebut faktor penyesuaian. Besarnya harga p tentunya sedemikian
35
rupa sehingga hasil perkalian yang diperoleh mencerminkan waktu yang sewajarnya
atau yang normal. Operator yang bekerja di atas normal (terlalu cepat) maka harga p nya
akan lebih besar dari satu (p > 1), sebaliknya jika operator dipandang bekerja di bawah
normal maka harga p akan lebih kecil dari satu (p < 1). Seandainya operator bekerja
dengan wajar maka harga p nya sama dengan 1 (p = 1).
2.5.2 Beberapa Cara Menentukan Faktor Penyesuaian
Ketidakwajaran yang dilakukan oleh operator dalam bekerja harus disesuaikan
terlebih dahulu sebelum memulai perhitungan waktu baku. Ada beberapa cara dalam
menentukan faktor penyesuaian, antara lain :
1. Cara persentase
Cara persentase merupakan cara yang paling awal digunakan dalam melakukan
penyesuaian. Besarnya faktor penyesuaian ditentukan oleh pengukur melalui
pengamatannya selama melakukan pengukuran. Jadi sesuai dangan pengukuran,
pengukur menentukan harga p yang menurut pendapatnya akan menghasilkan
waktu normal bila harga ini dikalikan dengan waktu siklus. Misalnya pengukur
berpendapat bahwa p = 110%. Jika waktu siklusnya sama dengan 14.6 menit, maka
Waktu normal = 14.6 × 1.1 = 16.6 menit. Namun, cara ini memiliki kekurangan
dalam ketelitian akibat dari “kasarnya” cara penilaian.
2. Cara Shumard
Cara Shumard memberi patokan penilaian melalui kelas-kelas performance kerja
dimana setiap kelas memiliki nilai-nilai tersendiri, yakni sebagai berikut:
Tabel 2.1 Penyesuaian Shumard
Kelas Penyesuaian
36
Superfast 100 Fast + 98 Fast 90
Fast - 85 Excellent 80 Good + 75 Good 70
Good - 65 Normal 60 Fair + 55 Fair 50
Fair - 45 Poor 40
Sumber: Sutalaksana (1979)
Seorang yang dipandang bekerja normal diberi nilai 60, dengan nama performance
kerja yang lain dibandingkan untuk menghitung faktor penyesuaian. Bila
performance seorang operator dinilai excellent maka dia mendapat nilai 80, dan
karenanya p = 80/60 = 1.33. Jika Waktu siklus = 276.4 dati, maka waktu normal =
276.4 ×1.33 = 367.6 detik.
3. Cara Westinghouse
Cara Westinghouse mengarahkan penilaian pada 4 faktor yang dianggap menentuk
kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja, antara lain :
1. Keterampilan (skill)
Keterampilan adalah suatu kemampuan untuk mengikuti cara kerja yang
ditetapkan.
2. Usaha (effort)
Usaha adalah kesungguhan yang ditunjukkan atau diberikan operator ketika
melakukan pekerjaannya.
3. Kondisi kerja (condition)
37
Kondisi kerja adalah kondisi fisik lingkungan seperti keadaan pencahayaan,
temperatur, dan kebisingan ruangan.
4. Konsistensi (consistency)
Angka-angka pengukuran waktu yang dicatat tidak pernah sama dan selalu
berubah-ubah. Selama variabilitas angka tersebut masih dalam batas
kewajaran, maka tidak akan timbul masalah, tetapi jika variabilitas angka
tersebut tinggi maka konsistensi sangat perlu diperhatikan.
38
Tabel 2.2 Penyesuaian Westinghouse
Faktor Kelas Lambang Penyesuaian Ketrampilan Superskill
Excellent Good Average Fair Poor
A1 A2 B1 B2 C1 C2 D E1 E2 F1 F2
+ 0.15 + 0.13 + 0.11 + 0.08 + 0.06 + 0.03
0.00 - 0.05 - 0.10 - 0.16 - 0.22
Usaha Excessive
Excellent Good Average Fair Poor
A1 A2 B1 B2 C1 C2 D E1 E2 F1 F2
+ 0.13 + 0.12 + 0.10 + 0.08 + 0.05 + 0.02
0.00 - 0.04 - 0.08 - 0.12 - 0.17
Kondisi kerja Ideal
Excellenty Good Average Fair Poor
A B C D E F
+ 0.06 + 0.04 + 0.02
0.00 - 0.03 - 0.07
Konsistensi Perfect
Excellent Good Average Fair Poor
A B C D E F
+ 0.04 + 0.03 + 0.01
0.00 - 0.02 - 0.04
Sumber: Sutalaksana (1979)
39
p = 1, Sedangkan terhadap penyimpangan dari keadaan ini harga p nya ditambah
dengan angka-angka yang sesuai dengan keempat faktor di atas. Sebagai contoh
jika waktu siklus rata-rata sama dengan 124.6 detik dan waktu ini dicapai dengan:
Ketrampilan : Fair (E1) = - 0.05
Usaha : Good (C2) = + 0.02
Kondisi : Excellent (B) = + 0.04
Konsistensi : Poor (F) = - 0.04
Jumlah : - 0.03
Jadi p = (1 - 0.03) atau p = 0.97 sehingga waktu normal = 124.6 ×0.97 = 120.9
detik
4. Cara objektif
Cara objektif dilakukan oleh pengukur dengan menilai semua faktor yang dianggap
berpengaruh sekaligus. Cara objektif memperhatikan 2 faktor, yaitu kecepatan
kerja dan tingkat kesulitan pekerjaan. Angka yang ditunjukkan di dalam tabel
adalah dalam perseratus.
40
Tabel 2.3 Penyesuaian Objektif
Keadaan Lambang Penyesuaian Anggota terpakai Jari Pergelangan tangan dari jari Lengan bawah, pergelangan tangan dan jari Lengan atas, lengan bawah, dan seterusnya Badan Mengangkat beban dari lantai dengan kaki
A B C D E E2
0 1 2 5 8 10
Pedal kaki Tanpa pedal, atau satu pedal dengan sumbu di bawah kaki Satu atau dua pedal dengan sumbu tidak di bawah kaki
F
G
0 5
Penggunaan Tangan Keadaan tangan saling bantu atau bergantian Kedua tangan mengerjakan gerakan yang sama pada saat yang sama
H
H2
0
18
Koordinasi mata dengan tangan Sangat sedikit Cukup dekat Konstan dan dekat Sangat dekat Lebih kecil dari 0.04 cm
I J K L M
0 2 4 7 10
Peralatan Dapat ditangani dengan mudah Dengan sedikit kontrol Perlu kontrol dan penekanan Perlu penanganan dan hati-hati Mudah pecah dan patah
N O P Q R
0 1 2 3 5
Berat beban (kg) 0.45 0.90 1.35 1.80 2.25 2.70 3.15 3.60 4.05
B-1 B-2 B-3 B-4 B-5 B-6 B-7 B-8 B-9
Tangan Kaki 2 1 5 1 6 1 10 1 13 1 15 3 17 4 19 5 20 6
41
Tabel 2.3 Penyesuaian Objektif (lanjutan)
Keadaan Lambang Penyesuaian Berat beban (kg) 4.50 4.95 5.40 5.85 6.30
B-10 B-11 B-12 B-13 B-14
Tangan Kaki 22 7 24 8 25 9 27 10 28 10
Sumber: Sutalaksana (1979)
Jadi jika untuk suatu pekerjaan diperlukan gerakan-gerakan lengan bagian atas
siku, pergelangan tangan dan jari (C), tidak ada pedal kaki (F), kedua tangan
bekerja bergantian (H), koordinasi mata dengan tangan sangat dekat (L), alat yang
dipakai hanya memerlukan sedikit kontrol (O) dan berat benda yang ditangani 2.3
kg maka:
Bagian badan yang dipakai : C = 2
Pedal kaki : F = 0
Cara menggunakan kekuatan tangan : H = 0
Koordinasi mata dengan tangan : L = 7
Peralatan : O = 1
Berat : B-5 = 13
Jumlah = 23
Sehingga p2 = (1 + 0.23) atau p2 = 1.23
Faktor penyesuaian dihitung dengan:
p = p1 (cara persentase)× p2 (cara objektif)
Besarnya nilai p1 diasumsikan sama dengan 0.9 maka p = 0.9 ×1.23 = 1.11
42
5. Cara Bedaux dan sintesa
Pada dasarnya cara Bedaux tidak jauh berbeda dengan cara Shumard.
Perbedaannya hanya terletak pada cara penulisan nilai. Nilai-nilai pada cara
Bedaux dinyatakan dalam “B”. Sedangkan pada cara sintesa, waktu penyelesaian
setiap elemen gerakan dibandingkan dengan harga-harga yang diperoleh dari tabel-
tabel data waktu gerakan untuk kemudian dihitung harga rata-ratanya.
2.5.3 Kelonggaran
Kelonggaran digunakan untuk mengukur waktu baku. Kelonggaran dibagi menjadi
3, antara lain :
1. Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi (personal allowance)
Setiap pekerja harus diberikan kelonggaran untuk kebutuhan yang bersifat pribadi,
seperti minum sejedarnya untuk menghilangkan rasa haus, pergi ke kamar kecil,
bercakap-cakap dengan rekan kerja untuk menghilangkan ketegangan dalam kerja,
dan lain sebagainya. Besarnya kelonggaran tersebut berbeda-beda antara satu
pekerjaan dengan pekerjaan yang lain karena setiap pekerjaan memiliki
karakteristik yang berbeda. Besarnya kelonggaran tersebut dapat ditentukan
dengan cara melaksanakan aktivitas time study satu hari kerja penuh atau dengan
metode sampling kerja.
2. Kelonggaran untuk melepaskan lelah (fatigue allowance)
Rasa lelah (fatigue) dapat tercermin dari menurunnya hasil produksi. Kelelahan
fisik manusia dapat disebabkan oleh pekerjaan yang membutuhkan banyak pikiran
(lelah mental) dan kerja fisik. Salah satu cara untuk menentukan besarnya
kelonggaran ini adalah dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dan
43
mencatat saat-saat dimana hasil produksi menurun. Namun, hal ini sangat sulit
dilakukan karena penyebab menurunnya hasil produksi bukan hanya disebabkan
oleh faktor kelelahan.
3. Kelonggaran untuk hambatan-hambatan tak terhindarkan (delay allowance)
Delay dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang sulit dihindarkan
(unavoidable delay) maupun yang bisa dihindarkan (avoidable delay). Hambatan
yang dapat dihindarkan seperti mengobrol berlebihan dan menganggur dengan
sengaja. Sedangkan hambatan yang tak terhindarkan seperti menerima atau
meminta petunjuk kepada pengawas, melakukan penyesuaian mesin, mengambil
alat-alat atau bahan-bahan khusus dari gudang, mesin berhenti karena matinya
aliran listrik dan lain sebagainya. Untuk menentukan kelonggaran ini, biasanya
dilakukan sampling pekerjaan.
2.5.4 Menyertakan Kelonggaran dalam Perhitungan Waktu Baku
Langkah pertama adalah menentukan besarnya kelonggaran untuk ketiga hal di
atas yaitu untuk kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa lelah dan hambatan tak
terhindarkan. Dua hal yang pertama antara lain dapat diperoleh dari tabel berikut ini,
yakni dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang sesuai dengan pekerjaan yang
bersangkutan. Dengan catatan, kelonggaran untuk kebutuhan pribadi bagi pria = 0 –
2.5% dan wanita = 2 – 5%. Untuk hambatan yang ketiga, dapat diperoleh dari sampling
pekerjaan yang pada umumnya dianggap 5%.
Misalkan suatu pekerjaan yang sangat ringan yang dilakukan sambil duduk dengan
gerakan terbatas, pengawasan mata terputus-putus dengan pencahayaan kurang
memadai, temperatur dan kelembaban normal, siklus udara baik dan tidak bising. Serta
44
kelonggaran untuk kebutuhan pribadinya = 2.5%. Maka persentase kelonggarannya
= (7 + 0 + 3 + 5 + 2.5 + 0 + 2 + 2.5 )% = 22%. Jika kelonggaran tak terhindarkan
diperoleh dari sampling pekerjaan adalah 5% maka kelonggaran total = (22 + 5)% =
27%. Jika Wn = 5.5 menit maka Wb = 5.5 + 0.27 (5.5) = 6.985 menit.
45
Tabel 2.4 Kelonggaran
Faktor Contoh Pekerjaan Kelonggaran A. Tenaga yang dikeluarkan 1. Dapat diabaikan 2. Sangat ringan 3. Ringan 4. Sedang 5. Berat 6. Sangat berat 7. Luar biasa berat
Bekerja di meja, duduk Bekerja di meja, berdiri Menyekop, ringan Mencangkul Mangayun palu yang berat Memanggul beban Memanggul karung berat
Ekuivalen beban Tanpa beban 0.00 – 2.25 kg 2.25 – 9.00 kg 9.00 – 18.00 kg 19.00 – 27.00 kg 27.00 – 50.00 kg
Di atas 50 kg
Pria 0.0 – 6.0 6.0 – 7.5 7.5 – 12.0 12.0 – 19.0 19.0 – 30.0 30.0 – 50.0
Wanita 0.0 – 6.0 6.0 – 7.5 7.5 – 16.0 16.0 – 30.0
B. Sikap kerja 1. Duduk 2. Berdiri di atas dua kaki 3. Berdiri di atas dua kaki 4. Berbaring 5. Membungkuk
Bekerja duduk, ringan Badan tegak, ditumpu dua kaki Satu kaki mengerjakan alat kontrol Pada bagian sisi, belakang atau depan badan Badan dibungkukkan bertumpu pada kedua kaki
0.0 – 1.0 1.0 – 2.5 2.5 – 4.0 2.5 – 4.0 4.0 – 10
C. Gerakan kerja 1. Normal 2. Agak terbatas 3. Sulit 4. Pada anggota-anggota badan
terbatas 5. Seluruh anggota badan terbatas
Ayunan bebas dari palu Ayunan terbatas dari palu Membawa beban berat dengan satu tangan Bekerja dengan tangan di atas kepala Bekerja di lorong pertambangan yang sempit
0
0 – 5 0 – 5 5 – 10
10 – 15
46
Tabel 2.4 Kelonggaran (lanjutan)
Faktor Contoh Pekerjaan Kelonggaran D. Kelelahan mata 1. Pandangan yang terputus-putus 2. Pandangan yang hampir terus
menerus 3. Pandangan terus menerus dengan
fokus berubah-ubah 4. Pandangan terus menerus dengan
fokus tetap
Membawa alat ukur Pekerjaan-pekerjaan yang teliti Memeriksa cacat-cacat pada kain Pemeriksaan yang sangat teliti
-
Pencahayaan baik
0.0 – 6.0 6.0 – 7.5
7.5 – 12.0 12.0 – 19.0 19.0 – 30.0 30.0 – 50.0
Pencahayaan Buruk
0.0 – 6.0 6.0 – 7.5
7.5 – 162.0 16.0 – 30.0
E. Keadaan temperatur tempat kerja
1. Beku 2. Rendah 3. Sedang 4. Normal 5. Tinggi 6. Sangat tinggi
-
Temperatur (oC)
Di bawah 0 0 – 13 13 – 22 22 – 28 28 – 38
Di atas 38
Kelembaban normal
Di atas 10 10 – 0 5 – 0 0 – 5 5 – 40
Di atas 40
Berlebihan
Di atas 12 12 – 5 8 – 0 0 – 8
8 – 100 Di atas 100
F. Keadaan atmosfer 1. Baik 2. Cukup 3. Kurang baik 4. Buruk
Ruang yang berventilasi baik, udara segar Ventilasi kurang baik, ada bau-bauan (tidak berbahaya) Adanya debu-debuan beracun atau tidak beracun tetapi banyak Adanya bau-bauan berbahaya yang mengharuskan memakai alat-alat pernapasan
0
0 – 5
5 – 10
10 – 20
47
Tabel 2.4 Kelonggaran (lanjutan)
Faktor Contoh Pekerjaan Kelonggaran G. Keadaan lingkungan yang baik 1. Bersih, sehat, cerah dengan
kebisingan rendah 2. Siklus kerja berulang-ulang
antara 5 - 10 detik 3. Siklus kerja berulang-ulang
antara 0 - 5 detik 4. Sangat bising 5. Jika faktor-faktor yang
berpengaruh dapat menurunkan kualitas
6. Terasa adanya getaran lantai 7. Keadaan-keadaan yang luar
biasa (bunyi, kebersihan, dll)
-
0
0 – 1
1 – 3
0 – 5 0 – 5
5 – 10 5 - 15
Sumber: Sutalaksana (1979)
48
2.6 Tingkat Ketelitian dan Tingkat Keyakinan
Tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan adalah pencerminan tingkat kepastian
yang diinginkan oleh pengukur setelah memutuskan tidak akan melakukan pengukuran
yang sangat banyak.
Tingkat ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari
waktu penyelesaian sebenarnya. Hal ini biasanya dinyatakan dalam persen. Sedangkan
tingkat keyakinan menunjukkan besarnya keyakinan pengukur bahwa hasil yang
diperoleh memenuhi syarat ketelitian. Inipun dinyatakan dalam persen. Jadi tingkat
ketelitian 10% dan tingkat keyakinan 95% memberi arti bahwa pengukur membolehkan
rata-rata hasil pengukurannya menyimpang sejauh 10% dari rata-rata sebenarnya dan
kemungkinan berhasil mendapatkan hal ini adalah 95%. Dengan kata lain jika pengukur
sampai memperoleh rata-rata pengukuran yang menyimpang lebih dari 10% seharusnya,
hal ini diperbolehkan terjadi hanya dengan kemungkinan 5% (100%-95%).
Sebagai contoh, katakanlah rata-rata waktu penyelesaian pekerjaan adalah 100
detik. Harga ini tidak pernah diketahui jika dilakukan tak terhingga kali pengukuran.
Paling jauh yang dapat dilakukan adalah memperkirakannya dengan melakukan
sejumlah pengukuran. Dengan pengukuran yang tidak sebanyak itu maka rata-rata yang
diperoleh mungkin tidak 100 detik, tetapi suatu harga yang lain, misalnya 88.96 atau 100
detik. Katakanlah rata-rata pengukuran yang didapat 96 detik. Walaupun rata-rata
sebenarnya (=100 detik) tidak diketahui, jika jumlah pengukuran yang dilakukan
memenuhi untuk tingkat ketelitian 10% dan tingkat keyakinan 95%, maka pengukur
mempunyai keyakinan bahwa 96 detik itu terletak pada interval harga rata-rata yang
sebenarnya dikurangi 10% dari harga rata-rata ini dan harga rata-rata sebenarnya
ditambah 10% dari rata-rata ini.
49
Mengenai pengaruh tingkat-tingkat ketelitian dan keyakinan terhadap jumlah
pengukuran yang diperlukan dapat dipelajari secara statistik. Tetapi secara intuitif hal ini
dapat diduga yaitu bahwa semakin tinggi tingkat ketelitian dan semakin besar tingkat
keyakinan, semakin banyak pengukuran yang diperlukan.
2.7 Uji Keseragaman dan Kecukupan Data
2.7.1 Uji Keseragaman Data
Tugas mengukur adalah mendapatkan data yang seragam. Karena
ketidakseragaman dapat datang tanpa disadari maka diperlukan suatu alat yang dapat
”mendeteksi”. Batas-batas kontrol dibentuk dari data yang merupakan batas seragam
tidaknya data. Data yang dikatakan seragam, yaitu berasal dari sistem sebab yang sama,
bila berada di antara kedua batas kontrol, dan tidak seragam, yaitu berasal dari sistem
sebab yang berbeda, jika berada di luar batas kontrol.
Berikut ini akan dijabarkan langkah-langkah uji keseragaman data:
1. Tentukan jumlah seluruh pengamatan (N), jumlah sub grup (k) dan ukuran sub
grup (n)
Tabel 2.5 Data Pengamatan dan Rata-rata Sub Grup
No Sub Grup Data Pengamatan ( ix ) Rata-rata Sub Grup ( ix )
1 1x 2x 3x 4x 5x Ix
2 6x 7x 8x 9x 10x IIx
Jumlah ixΣ Sumber: Sutalaksana (1979)
dimana, ix = data pengama
tan ke 1, 2, …..dan seterusnya
50
2. Hitung rata-rata dari harga rata-rata sub grup ( x )
kixΣ
x =
dimana, ix∑ = jumlah rata-rata sub grup
3. Hitung standar deviasi sebenarnya dari waktu penyelesaian ( σ )
1n
2)iΣ(xσ
−
−=
x
4. Hitung standar deviasi sebenarnya dari distribusi harga rata-rata sub grup )x
(σ
nσ
xσ =
5. Tentukan batas kotrol atas dan batas kontrol bawah (BKA dan BKB)
)x
σ(ZxBKA ×+=
)x
σ(ZxBKB ×−=
dimana, Z = koefisien pada distribusi normal sesuai dengan tingkat keyakinan
Perhitungan Z tabel adalah sebagai berikut:
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ −−=
2β11Z
Tingkat keyakinan ( β ) yang sering digunakan, yaitu :
β = 90%, Z tabel = 1.65
β = 95%, Z tabel = 1.96 ≈ 2
β = 99%, Z tabel = 2.58 ≈3
51
6. Lihat apakah Ix dan IIx berada di dalam BKA dan BKB. Jika data berada di
dalam batas-batas kontrol maka data dapat dikatakan seragam dan dapat digunakan
untuk perhitungan selanjutnya. Jika berada di luar BKA dan BKB sub grup
tersebut harus dibuang karena berasal dari sistem sebab yang berbeda. Dengan
demikian untuk perhitungan-perhitungan selanjutnya seperti untuk mencari
banyaknya pengukuran yang harus dilakukan, semua data dalam sub grup ini tidak
turut diperhitungkan.
2.7.2 Uji Kecukupan Data
Untuk menetapkan berapa jumlah observasi yang seharusnya dibuat ( N' ) maka
disini harus diputuskan terlebih dahulu berapa tingkat kepercayaan atau keyakinan
(convidence level) dan derajat ketelitian (degree of accuracy) untuk pengukuran kerja
ini. Di dalam aktivitas pengukuran kerja biasanya akan diambil 95% convidence level
dan 5% degree of accuracy. Demikian formula dapat dituliskan:
2
ix
2)ix()2ixN(s / Z
N'⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
∑
∑−∑=
2
ix
2)ix()2ixN(40
N'⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
∑
∑−∑=
Dimana N' adalah jumlah pengamatan atau pengukuran waktu yang diperlukan
untuk memberikan tingkat keyakinan 95% dan derajat ketelitian 5%. Apabila
selanjutnya dikehendaki tingkat kepercayaan 95% dan tingkat ketelitian 10% maka
rumus tersebut akan berubah menjadi:
52
2
ix
2)ix()2ixN(20
N'⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
∑
∑−∑=
Keterangan:
N' = jumlah pengamatan atau pengukuran yang diperlukan
N = jumlah pengamatan aktual yang telah dilakukan
ix = data ke 1, 2, ...dst yang diperoleh dari hasil pengamatan
Σ ix = total dari ix
Bila nilai N lebih besar daripada N' maka data tersebut sudah cukup dan memenuhi
tingkat keyakinan dan derajat ketelitian yang ditentukan. Tapi, apabila diperoleh nilai N'
lebih besar dari N, data yang ada harus ditambah lagi supaya diperoleh kemudian
memberikan tingkat keyakikan dan derajat ketelitian yang diharapkan.
2.8 Perhitungan Waktu Baku berdasarkan stopwatch time study
Cara untuk mendapatkan waktu baku dari data waktu yang terkumpul adalah
sebagai berikut:
1. Hitung waktu siklus rata-rata:
kiX
sW∑
=
dimana iX = rata-rata waktu perakitan tiap stasiun kerja (detik)
k = jumlah pengamatan yang dilakukan
53
2. Hitung waktu normal dengan:
p)(1WsWn +×=
dimana p adalah faktor penyesuaian. Faktor ini diperhitungkan jika pengukur
berpendapat bahwa operator bekerja dengan kecepatan tidak wajar, sehingga hasil
perhitungan waktu perlu disesuaikan. Jika pekerja bekerja dengan wajar, maka
faktor penyesuaiannya sama dengan 1, artinya waktu siklus rata-rata sudah normal.
Jika bekerjanya terlalu lambat, maka untuk menormalkannya pengukur harus
memberi harga p < 1 dan sebaliknya p > 1 jika dianggap bekerja terlalu cepat.
3. Hitung waktu baku dengan:
Waktu baku (Wb) = waktu normal (Wn) ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−
×%nkelonggara%100
%100
dimana 1 adalah kelonggaran yang diberikan kepada pekerja untuk menyelesaikan
pekerjaannya di samping waktu normal. Umumnya kelonggaran dinyatakan dalam
persen dari waktu normal.
2.9 Pengertian Takt Time
"Takt" adalah asal kata dari Jerman yang berarti mengatur kecepatan irama atau
ketukan dengan bit yang selalu sama. Jadi takt time adalah "beat time" , "time rate" atau
"heart beat" . Bersandar pada produksi menggunakan takt time untuk menilai bahwa
produk selesai harus selesai sesuai waktu yang ditetapkan perusahaan dalam rangka
untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
54
Di dalam membuat barang yang hanya dapat dijual, maka standar waktu
diperlukan untuk memproduksi barang tersebut. Pengertian takt time ini dipopulerkan
pada tahun 1970an dalam Toyota Production System. Takt time adalah satuan waktu
dalam menit maupun detik yang dipakai untuk memproduksi satu unit produk per orang.
Takt time secara umum berlaku di seluruh proses baik dari proses perakitan maupun
sampai proses akhir, yaitu misalnya barang menjadi mobil.
2.10 Pengertian Yamazumi Chart
Kata Yamazumi berasal dari Jepang, yang secara harfiah berarti menyimpulkan.
Grafik Yamazumi adalah grafik yang menggambarkan keseimbangan antara waktu baku
masing-masing operator (cycle time) dengan waktu standar yang ditetapkan perusahaan
(takt time).
Penggambaran grafik Yamazumi adalah dengan mengkombinasikan grafik balok
dengan grafik garis. Dimana grafik balok menandakan waktu baku masing-masing
operator (cycle time) dan grafik garis menandakan waktu standar yang ditetapkan
perusahaan (takt time).
Kelebihannya dibandingkan dengan grafik yang lain adalah dapat membandingkan
antara cycle time dan takt time sehingga dapat diketahui operator memiliki kelebihan
atau kekurangan waktu dalam bekerja dan dapat mengoptimalkannya.
2.11 Pengertian Sumber Daya Manusia, Pelatihan dan Pengembangan
Menurut Komarudin (2006), sumber daya manusia adalah kunci emas untuk setiap
pelaksanaan bisnis yang berhasil. Tidak ada upaya manusia dapat berhasil tanpa sumber
daya manusia yang terlatih dan berpengetahuan yang memadai. Oleh sebab itu, pelatihan
55
dan pengembangan pekerja merupakan sesuatu yang kritis bagi keberhasilan jangka
pendek maupun jangka panjang untuk setiap bisnis baik yang berorientasi laba maupun
bukan laba.
Menurut James (1996), pelatihan adalah proses yang didesain untuk
mempertahankan atau memperbaiki prestasi kerja saat ini. Sedangkan, pengembangan
adalah proses mendesain untuk pengembangan ketrampilan yang perlu demi aktivitas
pekerjaan di masa depan.
Menurut Komarudin (2006), pelatihan dan pengembangan dapat dianggap sebagai
suatu proses penyampaian pengetahuan, ketrampilan, dan pembinaan sikap dan
kepribadian para pekerja atau calon pekerja yang dilaksanakan dengan cara terbimbing
dan sistematis, dan dengan menggunakan metode yang relevan untuk keduanya. Jika
pemahaman tentang pendidikan itu dipusatkan pada pengertian pelatihan, maka
beberapa definisi berikut akan dapat membantunya:
1. Pelatihan adalah salah satu jenis proses pembelajaran untuk memperoleh dan
meningkatkan ketrampilan di luar sistem pengembangan sumber daya manusia
yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang lebih
mengutamakan praktek daripada teori.
2. Pelatihan adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan
prosedur yang sistematik dan terorganisasi yang dengan prosedur itu personalia
nonmanajerial belajar pengetahuan dan ketrampilan teknis untuk mencapai tujuan
tertentu.
3. Pelatihan adalah suatu proses pembelajaran yang berhubungan dengan upaya
pengubahan tingkah laku sumber daya manusia agar tingkah laku itu sesuai dan
memadai untuk kebutuhan dan tujuan tertentu.
56
Sedikitnya juga ada dua buah definisi yang menjelaskan arti pengembangan:
1. Pengembangan adalah proses pendidikan jangka panjang yang meliputi pengajaran
dan praktek sistematik yang menekankan pada konsep-konsep teoritis dan abstrak
yang dilakukan oleh para penyelia.
2. Pengembangan, mengacu pada hal yang berhubungan dangan penyusunan satf dan
personalia, adalah proses pendidikan jangka panjang yang menggunakan prosedur
sistematik dan terorganisasi yang dengan prosedur itu personalia mempelajari
pengetahuan konseptual dan teoritis untuk tujuan umum.
2.12 Metode Pelatihan dan Pengembangan
Setelah kebutuhan pelatihan organisasi tersebut diketahui, manajer sumber daya
manusia harus mengawali usaha pelatihan dengan memadai. Manajer mempunyai
berbagai cara pendekatan atau metode pelatihan, yaitu:
1. Metode pelatihan di tempat kerja (on the job training), termasuk rotasi pekerjaan.
Metode ini mengharuskan karyawan melakukan sejumlah pekerjaan dalam periode
tertentu, sehingga dengan demikian belajar berbagai macam ketrampilan, seperti:
internship (pelatihan pekerjaan digabungkan dengan pengajaran di kelas) dan
apprenticeship (pemagangan), karyawan dilatih di bawah bimbingan rekan sekerja
dengan ketrampilan tinggi.
2. Metode di luar tempat kerja (off the job training) mengambil tempat di luar tempat
kerja tetapi dengan usaha simulasi kondisi tempat kerja yang sebenarnya. Pelatihan
tipe ini termasuk vestibule training, di sini karyawan dilatih menggunakan
peralatan yang sebenarnya dan pengaturan pekerjaan yang realistik, tetapi di ruang
yang berbeda dari tempat mereka akan bekerja. Tujuannya adalah menghindari
57
tekanan yang terjadi di tempat kerja yang mungkin mempengaruhi proses belajar.
Dalam behaviorally experienced training, aktivitas seperti latihan simulasi,
permainan bisnis (business games), dan kasus yang berpusat pada masalah
dipergunakan sehingga para peserta dapat belajar tingkah laku yang sesuai untuk
pekerjaan lewat bermain peran (role playing). Pelatihan di luar tempat kerja
mungkin difokuskan di ruang kelas, dengan seminar, pengajar dan film, atau
mungkin menggunakan instruksi dengan bantuan komputer (computer assisted
instruction, CAI). Dimana CAI adalah teknik pelatihan yang menggunakan
komputer untuk mengurangi waktu yang diperlukan oleh pelatih untuk melatih dan
menyediakan bantuan tambahan bagi para peserta pelatihan.
2.13 Kegunaan Pelatihan dan Pengembangan
Ketidakpuasan terhadap hasil-hasil pelatihan dan pengembangan biasanya
berkaitan dengan kenyataan bahwa pelatihan dan pengembangan itu tidak relevan
dengan kebutuhan praktis para pesertanya. Berikut ini sejumlah kegunaan pelatihan dan
pengembangan yang umumnya dapat dipetik oleh pesertanya:
1. Kegunaan pelatihan dan pengembangan bagi para peserta
Manfaat itu berbentuk pengetahuan yang lebih mendalam dan meluas, ketrampilan
atau kemahiran yang lebih tepat dengan kebutuhan kelak, kepribadian yang lebih
berkarakter dan percaya diri atas kemampuan yang semakin tinggi, sikap
professional yang lebih besar, karir yang lebih cerah, produktivitas yang lebih
besar yang mendatangkan pendapatan yang juga lebih tinggi dan daya saing di
pasar buruh yang lebih pasti, baik lokal, nasional, regional dan global.
58
2. Kegunaan pelatihan dan pengembangan bagi organisasi
Program ini dapat menyediakan tenaga-tenaga ahli dan terampil yang diperlukan
untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara lebih efisien dan efektif. Kecakapan
dan pengetahuan yang lebih besar akan meningkatkan produktivitas sekaligus
menambah efisiensi keseluruhan hingga biaya yang dibelanjakan pun akan
menurun.
3. Kegunaan pelatihan dan pengembangan bagi perekonomian
Pada saat ini dan di waktu yang akan datang, persaingan nasional dan global yang
semakin sengit akan menempatkan fungsi pelatihan dan pengembangan ke tempat
yang strategis. Teknologi yang paling canggih pun akan menjadi sia-sia belaka,
tanpa sumber daya yang memadai untuk mengoperasikannya. Bahkan penggunaan
teknologi yang canggih itu pun akan meningkatkan ketergantungan kepada para
ahli asing, jika ahli-ahli domestik tidak dipersiapkan.
4. Kegunaan pelatihan dan pengembangan bagi masyarakat umum
Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh para karyawan melalui program-
program pelatihan dan pengembangan yang tepat akan menyebabkan, bukan saja
akan meningkatkan etos kerja, produktivitas dan produksi yang akan membawa
kenaikan pendapatan individual, tetapi juga akan menyebabkan bertambahnya
koefisien akselerasi dan multiplier perekonomian secara keseluruhan. Di bawah
kebijakan makro yang komprehensif dan terintegrasi, tingkat pengangguran pun
akan menurun dengan bertambahnya sunber daya manusia yang kian
dikembangkan dan terlatih itu.
59
2.14 Tujuan Pelatihan dan Pengembangan
Tujuan strategis pelatihan dan pengembangan baik manajemen maupun
nonmanajemen sumber daya manusia adalah untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi organisasi sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan
menghadapi persaingan. Dari tujuan umum tersebut, dapat pula diperinci ke dalam
tujuan-tujuan yang lebih konkrit:
1. Peningkatan produktivitas
Pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia dilaksanakan bukan hanya
kepada karyawan baru tetapi juga orang yang telah berpengalaman. Kenaikan
kinerja seringkali dengan langsung membawa kenaikan produktivitas operasional
dan kenaikan laba perusahaan.
2. Peningkatan mutu
Pelatihan dan pengembangan yang tepat bukan hanya meningkatkan jumlah
keluaran tetapi biasanya juga meningkatkan mutu keluaran tersebut.
3. Perencanaan sumber daya manusia yang lebih baik
Pelatihan dan pengembangan manajemen pekerja yang tepat akan membantu
perusahaan untuk memenuhi kebutuhan dan persyaratan personalia di waktu yang
akan datang.
4. Meninggikan moral
Iklim dan suasana organisasotis umum biasanya dapat diperbaiki jika program-
program pendidikan (yaitu, program pelatihan dan pengembangan) yang memadai
diselenggarakan dalam organisasi. Mata rantai yang tidak berakhir dari reaksi
positif dapat terjadi disebabkan oleh program-program instruksional yang
direncanakan dengan baik.
60
5. Memperbesar kompensasi tidak langsung
Banyak karyawan, khususnya para manajer, manganggap peluang pendidikan
sebagai bagian dari paket balas jasa majikan dan karyawan keseluruhan mereka.
Mereka berharap agar perusahaan membayar biaya untuk program yang membawa
peningkatan pengetahuan umum dan kemahiran mereka.
6. Kesehatan dan keamanan yang lebih besar
Kesehatan mental dan keamanan fisik karyawan seringkali langsung berkaitan
dengan pelaksanaan program-program pelatihan dan pengembangan sumber daya
manusia. Pelatihan dan pengembangan yang layak dapat membantu mencegah
kecelakaan industri, dan lingkungan kerja yang lebih aman dapat menyebabkan
sikap mental karyawan yang lebih stabil. Keadaan mental manajerial pun dapat
pula ditingkatkan jika para penyelia memahami bahwa mereka dapat memperbaiki
diri melalui program-program pelatihan dan pengembangan yang dirancang oleh
perusahaan dengan patut.
7. Meningkatkan pencegahan keusangan
Upaya pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia yang
berkesinambungan dibutuhkan agar para karyawan dapat mengikuti kemajuan
yang sedang berlangsung dalam bidang kerjanya masing-masing, baik manajerial
maupun mekanis. Pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia, karena itu,
perlu memutakhirkan keahlian dan ketrampilan para karyawan agar dapat
beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi. Ketrampilan dan gagasan yang
terbelakang dapat membangkrutkan organisasi. Program-program pelatihan dan
pengembangan sumber daya manusia akan mendorong insiatif dan kreativitas
karyawan dan membantu mencegah keusangan karyawan.
61
8. Meningkatkan pengembangan pribadi
Tidak semua manfaat program-program pelatihan dan pengembangan perusahaan
hanya dinikmati oleh perusahaan tersebut. Karyawan dilihat dari basis pribadinya
juga memperolehnya secara individual dari peluang yang diterima dari pengalaman
pendidikan. Program tersebut secara khusus memberikan kepada para partisipan
ruang lingkup pengetahuan yang lebih luas, perasaan kompetensi yang meningkat,
kesadaran yang besar, kekayaan kemahiran yang lebih luas dan pertimbangan-
pertimbangan lain yang menandakan pertumbuhan kepribadian.
2.15 Sistematika pengembangan dan pelatihan
Berikut ini adalah sistematika dalam pengembangan dan pelatihan:
1. Menganalisis kebutuhan
Para perencana pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia harus
menghimpun informasi untuk dianalisis sehingga kebutuhan pendidikan tersebut
dapat ditetapkan dengan definitif.
2. Menetapkan tujuan pengembangan dan pelatihan
Perumusan tujuan pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia diperlukan
untuk pengawasan program pengembangan dan pelatihan, khususnya
pengevaluasian.
3. Mempersiapkan rencana pengembangan dan pelatihan
Di dalam rencana pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia disarankan
agar dapat mencakup: tujuan pengembangan dan pelatihan, isi pengembangan dan
pelatihan dalam bentuk kurikulum yang relevan dengan kebutuhan, lokasi
62
pengembangan dan pelatihan, di luar atau di dalam industri, atau kombinasi dari
keduanya, dan waktu yang diperlukan dalam pengembangan dan pelatihan.
4. Melaksanakan rencana pengembangan dan pelatihan
Kegiatan untuk melaksanakan rencana pengembangan dan pelatihan sumber daya
manusia meliputi kegiatan pengarahan, pengkoordinasian, pemberian motivasi, dan
pengkomunikasian bagi segenap orang yang terlibat dalam program
pengembangan dan pelatihan tersebut.
5. Mengawasi proses pengembangan dan pelatihan
Kegiatan pengawasan proses pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia,
berturut-turut, dilakukan dengan mengukur status pelaksanaan pengembangan dan
pelatihan serta mengevaluasi hasil-hasil pengembangan dan pelatihan