bab 2 hipertensi kti

72
BAB 2 TIN JAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Hipertensi Tekanan darah adalah desakan darah terhadap dinding arteri ketika darah tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Tekanan darah mirip dengan tekanan air (darah) di dalam pipa (arteri). Makin kuat aliran yang keluar dari keran (jantung) makin besar tekanan air terhadap dinding pipa. Jika pipa tertekuk atau mengecil diameternya (seperti pada arterosklerosis), maka tekanan darah akan sangat meningkat. Tekanan darah dapat berubah- ubah sepanjang hari, sesuai dengan situasi. Tekanan darah akan meningkat dalam keadaan gembira, cemas, atau sewaktu melakukan aktivitas fisik. Setelah situasi ini berlalu, tekanan darah akan kembali normal. Apabila tekanan darah tetap tinggi maka disebut tekanan darah tinggi atau hipertensi (Hull, 1996).

Upload: ananda-chichi

Post on 14-Dec-2015

203 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

HT

TRANSCRIPT

BAB 2

TIN JAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipertensi

Tekanan darah adalah desakan darah terhadap dinding arteri ketika darah

tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Tekanan darah mirip dengan tekanan air

(darah) di dalam pipa (arteri). Makin kuat aliran yang keluar dari keran (jantung)

makin besar tekanan air terhadap dinding pipa. Jika pipa tertekuk atau mengecil

diameternya (seperti pada arterosklerosis), maka tekanan darah akan sangat

meningkat. Tekanan darah dapat berubah-ubah sepanjang hari, sesuai dengan situasi.

Tekanan darah akan meningkat dalam keadaan gembira, cemas, atau sewaktu

melakukan aktivitas fisik. Setelah situasi ini berlalu, tekanan darah akan kembali

normal. Apabila tekanan darah tetap tinggi maka disebut tekanan darah tinggi atau

hipertensi (Hull, 1996).

Penyakit hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah

penyakit kronik akibat desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan pada

arteri. Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa darah. Hipertensi

berkaitan dengan meningkatnya tekanan pada arterial sistemik, baik diastolik

maupun sistolik, atau kedua-duanya secara terus-menerus (Hull, 1996). Hipertensi

merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥ 140 mmHg

(tekanan sistolik) dan/atau ≤ 90 mmHg (tekanan diastolic) (Joint National Committee

on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII, 2003).

Tekanan sistolik menunjukkan fase darah yang dipompa oleh jantung dan tekanan

diastolik menunjukkan fase darah kembali ke dalam jantung (Depkes, 2006).

2.2 Epidemiologi Hipertensi

Hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah yang

mengganggu kesehatan masyarakat. Umumnya, terjadi pada manusia yang berusia

setengah baya (> 40 tahun). Namun banyak yang tidak menyadari bahwa mereka

menderita hipertensi akibat gejalanya tidak nyata. Pada stadium awal, belum

menimbulkan gangguan yang serius. Sekitar 1,8% - 28,6% penduduk dewasa

penderita hipertensi. Menurut data WHO, di seluruh dunia, sekitar 972 juta orang

atau 26,4% penghuni bumi mengidap hipertensi, angka ini kemungkinan akan

meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta

berada di Negara maju dan 639 sisanya berada di Negara sedang berkembang,

termasuk Indonesia (Ana, 2007). Prevalensi hipertensi di Indonesia tercatat mencapai

31,7% dari populasi pada usia 18 tahun keatas dan dari jumlah tersebut 60%

penderita hipertensi akan menderita stroke, sementara sisanya akan mengalami

gangguan jantung, gagal ginjal dan kebutaan (Rikesdas, 2008). Hasil penelitian

Setiawan (2004) didapatkan hasil prevalensi hipertensi di Pulau Jawa adalah 41,9%.

Data Dinas Kesehatan Kota Kediri pada tahun 2010 terdapat 53.732 penderita

hipertensi dan menjadi peringkat ke-2 untuk total kelompok 10 besar data mordibitas.

Di wilayah kerja Puskesmas Sukorame, hipertensi merupakan rangking kedua dari 10

penyakit terbesar yang dilaporkan dengan jumlah 6.351 pasien yang datang berobat

selama tahun 2014. Jumlah kunjungan ke Puskesmas dari semua penyakit adalah

34.355 pasien, dengan demikian proporsi kunjungan penyakit hipertensi sebesar

18,5% (Puskesmas Sukorame, 2014)

2.3 Klasifikasi Hipertensi

Tekanan sistolik dan diastolik dapat bervariasi pada tingkat individu. Namun

disepakati bahwa hasil pengukuran tekanan darah yang sama atau lebih besar dari

140/90 mmHg adalah hipertensi (WHO, 1999 dan JNC, 2003).

Hipertensi menurut WHO-ISH tahun 1999 dapat dilihat pada tabel 2.1

Berdasarkan hasil berbagai studi eksperimental, kriteria operasional

hipertensi yang disepakati oleh para ahli adalah TDS ≥ 140 mmHg atau TDD ≥ 90

mmHg (MacMahon, 1990;WHO, 1996; Brown dan Haydock, 2000). Kriteria ini

digunakan secara luas di seluruh dunia, meskipun TDS (tekanan darah sistolik) 140

mmHg bukanlah nilai batas hipertensi pada semua penderita dewasa. Karena nilai

batas tersebut ternyata dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin secara independen

(Port, et al., 1999). Studi Farmingham menemukan bahwa kriteria hipertensi

meningkat sesuai peningkatan umur dan TDS wanita meningkat lebih cepat daripada

pria (Kodim, 2004).

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibedakan menjadi 2 golongan,

hipertensi essensial atau primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial (primer),

merupakan tipe paling umum, yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya

(idiopatik). Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong hipertensi essensial

sedangkan 10% tergolong hipertensi sekunder. Sedangkan hipertensi sekunder

memiliki atribut patologis. 10% penderita hipertensi adalah hipertensi sekunder.

Penyebab umum hipertensi sekunder adalah kelainan ginjal (penyempitan arteri

ginjal/penyakit parenkim ginjal), kelenjar endokrin, berbagai obat, disfungsi organ,

tumor dan kehamilan hipertensi, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit

kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme) (Depkes, 2006).

2.4 Cara Pengukuran Tekanan Darah

Teknik pengukuran yang tepat dan teliti juga harus diperhatikan. Terdapat

dua cara pengukuran yaitu pengukuran oleh dokter atau petugas kesehatan di sarana

pelayanan kesehatan dan pengukuran sendiri di rumah baik dengan alat konvensional

maupun dengan ambulatory blood pressure monitoring (ABPM). Hipertensi tidak

dapat didiagnosis berdasarkan pengukuran tunggal. Penemuan kenaikan pada

pembacaan pertama harus dipastikan paling sedikit dua kunjungan berikutnya pada

satu atau beberapa minggu dengan nilai rata-rata tekanan diastolic 90 mmHg dan

sistolik 140 mmHg/lebih (Lubis, 1989 dan Kaplan 1994). Teknik pengukuran yang

direkomendasikan oleh JNC VI adalah sebagai berikut. Penderita harus duduk

dengan penyangga lengan, bersandar dan sejajar dengan letak jantung. Penderita

tidak boleh merokok dan minum kopi 30 menit sebelum pengukuran. Pengukuran

dimulai setelah penderita istirahat selama 5 menit. Ukuran manset harus sesuai

dengan lengan penderita yang paling sedikit 80% lebar manset harus dapat menutupi

lingkar lengan. Tekanan sistolik adalah tekanan darah saat terdengan bunyi pertama

(korotkoff I), sedangkan tekanan diastolic adalah tekanan darah saat bunyi

menghilang (korotkoff V). Pembacaan dilakukan 2 kali/ lebih dengan waktu antara 2

menit (JNC VI, 1996).

2.5 Patofisiologi

Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan perifer. Faktor

genetik, aktivasi syaraf simpatis, faktor hemodinamik, metabolisme natrium, faktor

renin, angiotensin, dan aldosteron merupakan faktor-faktor yang telah dibuktikan

mempunyai kaitan dengan peningkatan tekanan darah pada hipertensi (Soeparman et

al., 1994 ; Kaplan, 1990). Pada lanjut usia, perubahan struktural dan fungsional pada

pembuluh perifer bertanggung jawab terhadap perubahan tekanan darah. Perubahan

tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan

dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang pada gilirannya menurunkan

kemampuan distensi dan daya tegang pembuluh darah (Smeltzer S. & Bare B, 2001).

2.6 Diagnosa Hipertensi

Diagnosa hipertensi ditegakkan berdasarkan anamesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi keluhan yang sering dialami, lama

hipertensi, ukuran tekanan darah selama ini, riwayat pengobatan dan kepatuhan

berobat, gaya hidup, riwayat penyakit penyerta dan riwayat keluarga. Pemeriksaan

fisik terdiri atas pengukuran tekanan darah, pemeriksaan umum dan pemeriksaan

khusus organ serta funduskopi (Zulkhair, 2000).

Peninggian tekanan darah seringkali merupakan satu-satunya tanda klinis

hipertensi esensial, sehingga diperlukan pengukuran tekanan darah secara akurat.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingginya tekanan darah adalah : faktor

pasien, faktor alat dan tempat pengukuran. Agar didapat pengukuran yang akurat,

sebaiknya pengukuran dilakukan setelah pasien beristirahat dengan cukup, minimal

setelah 5 menit berbaring dan dilakukan pada posisi berbaring, duduk dan berdiri

sebanyak 3-4 kali pemeriksaan, dengan interval antara 5-10 menit. Tempat

pemeriksaan dapat pula mempengaruhi hasil pengukuran. Pengukuran di tempat

praktek, biasanya mendapatkan hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan

pengukuran di rumah. Hasil pengukuran lebih tinggi di tempat praktek disebut office

hypertension. Mengingat hal tersebut di atas, untuk keperluan follow up pengobatan

sebaiknya dipakai pegangan hasil pengukuran tekanan darah di rumah. Pengukuran

yang pertama kali belum dapat memastikan adanya hipertensi, akan tetapi dapat

merupakan petunjuk untuk dilakukan observasi lebih lanjut (id.novartis.com).

2.7 Gejala Klinis Hipertensi

Sekitar 50% penderita hipertensi tidak menyadari bahwa tekanan darah

mereka meniggi. Selain tidak adanya gejala pada orang tersebut, juga disebabkan

oleh sikap acuh tak acuh dari penderita tersebut. Oleh karena itu amat sulit

memotivasi penderita untuk minum obat, apalagi untuk jangka panjang, sedang

penderita tidak merasakan sesuatu gangguan kesehatan. Gejala baru timbul sesudah

terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak, dan jantung. Gejala

klihis dapat berupa rasa lelah, sukar tidur, pusing, sakit kepala, gangguan fungsi

ginjal, gangguan penglihatan, gangguan serebral atau gejala akibat pendarahan

pembuluh darah otak berupa kelumpuhan, gangguan kesadaran bahkan sampai koma.

Penelitian di klinik hipertensi di Paris pada penderita hipertensi yang tidak diobati

ditemukan gejala sakit kepala (40,5%), palpitasi (28,5%), nokturia (20,4%), migren

(20,8%), dan tinnitus (13,8%) (Kaplan,1994).

Ada gejala klinis yang tidak boleh diabaikan karena berhubungan dengan

organ-organ (Smith, 1991 dalam Wahyuni 2000), yaitu serangan pusing, kekakuan,

kehilangan keseimbangan, sakit kepala pagi hari, penglihatan memburuk yang

semuanya secara bersama-sama menunjukkan ada masalah dengan peredaran darah

di otak, kelumpuhan anggota badan, khususnya sebelah badan atau salah satu bagian

muka atau salah satu bagian tangan, kemampuan bicara menurun dan dapat menjadi

peringatan adanya stroke yang jika diobati dapat dicegah, terengah-engah pada waktu

latihan jasmani, dengan rasa sakit pada dada yang menjalar ke rahang, lengan,

punggung atau perut bagian atas menjadi tanda permulaan angina, susah bernapas,

sehingga merasa lebih mudah bernapas jika tidak berbaring datar, dengan gembung

pada kaki, dapat menjadi tanda lain yang berkaitan dengan tekanan darah tinggi,

kegagalan jantung, dan sering bangun tiap malam untuk buang air kecil dan lebih

banyak serta sering mengeluarkan urin selama siang hari dapat menjadi tanda

pertama gangguan ginjal.

2.8 Masalah Hipertensi

Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala

yang akan berlanjut untuk suatu target organ seperti stroke (untuk otak) dan penyakit

jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung). Dengan target organ di otak yang

berupa stroke, hipertensi adalah penyebab utama stroke yang membawa kematian

yang tinggi (Bustan, 2000). Sekitar 50% penderita hipertensi tidak menyadari adanya

hipertensi sehingga penderita yang dapat diobati dalam arti hipertensinya

terkendalikan dengan baik, hanya sekitar 10-12% (Rahardjo, 1991).

Keadaan hipertensi menekankan jantung bekerja lebih berat untuk memompa

darah, volume jantung membesar dan dinding menipis sehingga akhirnya

menyebabkan gagal jantung, dan terhadap organ mata menyebabkan pendarahan

pada mata sehingga buta dan gangguan lainnya. Komplikasi lain dari hipertensi yaitu

pendarahan, infark cerebral, pendarahan pembuluh darah otak yang berupa

kelumpuhan, gangguan kesadaran bahkan sampai koma, trombosis, retinopati

hipertensif pada mata, nefrosklerosis pada ginjal dan kegagalan faal ginjal (Sadana,

1994; Sidabutar, et.al, 1990).

Masalah utama hipertensi adalah bahwa > 90% hipertensi termasuk golongan

esensial, yaitu yang tidak atau belum diketahui sebabnya.,75% termasuk hipertensi

ringan (diastolik 90-105 mmHg) dan bila digabung dengan hipertensi sedang (105-

115 mmHg) berjumlah > 90% penderita. Keadaan ini mempunyai kaitan dengan

kebijaksanaan tatalaksana terapinya, karena menyangkut jumlah populasi yang besar

dan beban masyarakat yang berat bila terapi tidak direncanakan dengan sesakma

(Rahardjo, 1991).

2.9 Penyebab Hipertensi

Hipertensi digolongkan sebagai penyakit kultur, yaitu penyakit yang terkait

dengan pola hidup kurang gerak (sedentary life style) dan pola makan siap saji yang

mengandung lemak, protein, dan garam tinggi namun rendah serat (dietary fiber)

(Nadesul, 2005). Faktor-faktor yang menyebabkan hipertensi terbagi menjadi dua

bagian yaitu faktor yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol.

Faktor yang dapat dikontrol antara lain obesitas, dislipidemia, stres, aktivitas fisik,

merokok, konsumsi garam yang berlebihan, dietetik, kebiasaan makan, dan konsumsi

alkohol. Faktor yang tidak dapat dikontrol antara lain umur, jenis kelamin, keturunan

(Hull, 1996; Janssen, et.al, 2002; Karyadi 2000; Bustan & Nur 1999; Sadana 1994),

dan pemakaian pil kontrasepsi pada wanita (Bustan & Nur 1999). Faktor-faktor yang

menyebabkan hipertensi lainnya yaitu suku, kebiasaan berolahraga, dan pendidikan

(Sadana, 1994). Kemudian menurut Kamso (2000), hiperensi berhubungan dengan

perubahan komposisi tubuh, asupan makanan, dan faktor emosi (Kusmana, 1997)

dan gaya hidup. Meningkatnya kematian akibat dari penyakit kardiovaskuler

menurut beberapa ahli dan studi sangat berhubungan dengan perubahan pola makan,

gaya hidup dan faktor stres (Suwandono & Ni Ketut, 1998). Sementara Edi S.N

(1996) mengatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap berkembangnya

hipertensi adalah resultansi dari beberapa faktor yakni umur, jenis kelamin,

keturunan, obesitas, konsumsi garam, alkohol, pemakaian kontrasepsi, geografik dan

lingkungan (Azwar, 1999). Berhubung lebih dari 90% penderita hipertensi

digolongkan atau disebabkan oleh hipertensi primer, maka secara umum yang

disebut hipertensi adalah hipertensi primer (essensial).

2.10 Faktor-Faktor Resiko Hipertensi

1. Faktor Demografi

a. Umur

Pada umumnya tekanan darah naik dengan bertambahnya umur terutama

setelah umur 40 tahun (Depkes, 2006). Sejalan dengan proses pertambahan umur,

resiko seseorang terkena penyakit kardiovaskular meningkat. Hal ini dikarenakan

efisiensi sistem kardiovaskular mengalami penurunan dan masalah-masalah yang

berhubungan dengan fungsi sistem tersebut (Black, 1992; Patel, 1995). Survei

epidemiologi menunjukkan bahwa umur merupakan satu dari prediktor terkuat

terjadinya penyakit kardiovaskular termasuk hipertensi. Faktor resiko penyakit

hipertensi berkembang setelah umur mencapai 45 tahun (Black, 1992).

Tekanan sistole yang cenderung naik seiring pertambahan usia menjadi

penyebab besarnya prevalensi hipertensi pada usia di atas 40 tahun. Peningkatan

tekanan sistolik ini terjadi diawali dengan terjadinya kekakuan pembuluh darah arteri

yang belum berbahaya (Kannel, 1990). Menurut Gutewiller et al., dengan

bertambahnya umur, secara perlahan-lahan akan menghilang kemampuan jaringan

tubuh untuk memperbaiki /mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi

normalnya, sehingga akan makin banyak timbul distorsi metabolik dan struktural,

yang disebut sebagai penyakit degeneratif, termasuk salah satunya hipertensi

(Darmodjo, 1999). Orang dengan tekanan darah normal pada usia 55 tahun, 90 %

akan berkembang menjadi hipertensi pada 25 tahun ke depan (US Departement

Health & Human Services, 2003).

Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur,

resiko tekanan hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di

kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas

65 tahun. Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan

tekanan darah sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan diastolik sebagai

bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya hipertensi.

Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur, disebabkan oleh perubahan

struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan

dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibat adalah meningkatnya

takanan darah sistolik (Depkes, 2006).

Prevalensi hipertensi di Indonesia pada golongan umur di bawah 40 tahun

masih berada di bawah 10%, tetapi di atas umur 50 tahun angka tersebut terus

meningkat mencapai 20% hingga 30%, sehingga ini sudah menjadi masalah serius

untuk diperhatikan (Depkes, 2000). Penelitian yang dilakukan di 6 kota besar seperti

Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan Makasar terhadap usia lanjut

(55-85 tahun), didapatkan prevalensi hipertensi sebesar 52,5% (Kamso, 2000).

Kelleher, (1992) mendapatkan prevalensi hipertensi pada lansia sebesar 40%. Pada

NHANES III (The third national Health and Nutrition Examination Survey), dimana

telah diadakan sebuah penelitian dengan mengambil populasi warga sipil US yang

noninstitusional sebanyak 9901 orang yang berusia 18 tahun keatas atau lebih,

menghasilkan keadaan bahwa prevalen hipertensi meningkat bersamaan dengan

meningkatnya umur dalam setiap jenis kelamin dan ras (He, Jiang and Whelton, Paul

K, 1997).

b. Jenis Kelamin

Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih

banyak yang menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan rasio sekitar

2,29 untuk kenaikan tekanan darah sistolik dan 3,76 untuk kenaikan tekanan darah

diastolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan

tekanan darah dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki menopause,

prevalensi hipertensi pada wanita tinggi. Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya

hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh

faktor hormonal. Penelitian di Indonesia angka prevalensi yang lebih tinggi terdapat

pada wanita (Depkes, 2006). Laki-laki disebutkan mempunyai resiko menderita

hipertensi lebih besar dari perempuan (Fisher & Williams, 2005). Hal ini disebabkan

karena pekerjaan dan perilaku perempuan dianggap lebih tidak beresiko, dan

berperilaku sehat (Matlin, 1999). Selain itu pria diduga memiliki gaya hidup yang

cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita (Karyadi,

2002). Selain itu angka istirahat jantung dan indeks kardiak pada pria lebih rendah

dan tekanan peripheralnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan perempuan

pramonopouse pada level tekanan arteri yang sama. Pria juga merespon suatu latihan

beban dengan kenaikan tekanan arteri lebih besar. Setelah manapouse tidak

ditemukan perbedaan hemodinamik antara perempuan sehingga prevalen hipertensi

tidak jauh berbeda (Masserli, 1997). Hal ini ditunjukkan ketika tekanan darah diukur

melalui ambulatory monitoring selama 24 jam, hasil menunjukkan bahwa tekanan

darah laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, pada kelompok umur yang sama.

Akan tetapi setelah monopouse tekanan darah perempuan akan meningkat, bahkan

jauh lebih tinggi daripada laki-laki (http://hyper.ahajornals.org/hypertension–

abstracts reckelhoff 37 (5) 1199.htm). Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya

hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh

faktor hormonal (Pratiwi, 2004).

Hasil penelitian Boedhi Darmojo, dkk tahun 1989 menemukan bahwa

prevalen hipertensi pada perempuan (16,0%) lebih besar daripada laki-laki (13,6%).

Begitu pula di berbagai daerah di Indonesia ditemukan bahwa perempuan

mempunyai prevalen hipertensi lebih besar daripada laki-laki (Darmojo, 1994). Para

peneliti menghubungkan hal tersebut terhadap penurunan hormone estrogen

sepanjang monopouse yang dimulai setelah umur mencapai kira-kira 50 tahun.

Estrogen dihubungkan dengan tingkat HDL yang lebih tinggi dan LDL yang lebih

rendah (Soeharto, 2002)

c. Keturunan

Salah satu faktor hipertensi esensial adalah tingginya peranan faktor

keturunan yang mempengaruhi. Ini dapat terlihat antara lain dengan adanya

penggolongan hipertensi berdasarkan pada anggota keluarga derajat pertama (orang

tua, saudara sekandung, anak). Orang yang ada kejadian hipertensi dalam

keluarganya mempunyai resiko untuk mendapat hipertensi lebih besar daripada yang

tidak mempunyai hipertensi dalam keluarganya (Darmojo, 1994). Tentunya faktor

genetik ini juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain, yang kemudian

menyebabkan sesorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan

metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel (Depkes, 2006). Menurut

Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi maka sekitar 45% akan turun

ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka

sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya (Depkes, 2006).

Dari hasil penelitian, diungkapakan bahwa jika seseorang mempunyai orang

tua yang salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut mempunyai resiko

lebih besar untuk terkena hipertensi daripada orang yang kedua orang tuanya normal

(tidak hipertensi). Kaplan, 1983 menyatakan bahwa kemungkinan untuk menderita

hipertensi pada seseorang yang orang tuanya mempunyai riwayat hipertensi sebesar

2 kali lipat dibandingkan dengan orang lain yang tidak mempunyai riwayat hipertensi

pada orang tuanya. Abdulrochim, 1982 menyatakan bahwa kembar monocygot

menunjukkan korelasi yang tinggi, baik tekanan sistolik maupun diastolik bila

dibandingkan dengan anggota keluarga lain.

Hasil penelitian pada 514 individu yang berasal dari 135 keluarga di

Chuvasha, Rusia menunjukkan bahwa variasi tekanan darah sistolik dan tekanan

darah diastolik dipengaruhi oleh faktor genetik (http://hyper.ahajornals.org/

hypertension – abstracts Livshits and Gerber 37 (3) 928.htm). Berdasarkan penelitian

dr. Daniel S Seidman dari rumah sakit CarmelHaifa-Israel, pada 11.428 anak laki-

laki dan perempuan berusai 17 tahun, yang disampaikan pada pertemuan

perkumpulan international untuk studi hipertensi pada masa kehamilan di Seatle, AS,

bulan Agustus 2000, didapatkan hasil bahwa anak laki-laki yang ibunya menderita

darah tinggi ketika mengandung, mempunyai hampir dua kali lipat kemungkinan

terkena darah tinggi (http://www.kompas.com/9609/22/IPTEK/hipe.htm).

d. Suku / Golongan Etnik

Berbagai golongan etnik dapat berbeda dalam kebiasaan makan, genetika,

gaya hidup, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan angka kesakitan dan

kematian (Sutrisna, 1994). Pada kelompok orang dewasa di Amerika, kenaikan

tekanan darah seiring umur dijumpai lebih banyak pada orang berkulit hitam

daripada orang kulit putih (Kaplan, 1994). Besar variasi antar suku di Indonesia,

Lembah Baliem Jaya (0,6 %), Sukabumi, Jawa Barat (28,6%) (Darmojo, 1994).

e. Status Sosial Ekonomi

Hipertensi dikenal juga sebagai ”heterogeneous group of disease” karena

dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur dan sosial ekonomi

(Astawan, 2005). Menurut Sutrisna (1994), yang dimaksud status sosial ekonomi

yaitu tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan status perkawinan. Hal tersebut dapat

mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk pemeliharaan kesehatan, maka

tidak mengherankan jika ada perbedaan-perbedaan dalam angka kesakitan atau

kematian antara berbagai kelas sosial. Status sosial ekonomi seseorang, dapat

mempengaruhi munculnya hipertensi, seperti misalnya pekerjaan, jumlah anggota

dalam keluarga dan kepadatan penduduk (Fisher & Williams, 2005). Sementara

Matlin menambahkan dengan pendidikan, pendapatan, dan kebanggan (prestise)

keluarga. Stress sosial ekonomi merupakan prediktor yang paling baik untuk umur

harapan hidup, kesehatan, dan kesakitan (Matlin, 1999).

Faktor pelayanan kesehatan (pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi serta

faktor perilaku (sikap dan perbuatan, serta adat istiadat) mempengaruhi status

kesehatan masnusia (Blum, 1983). WHO menyebutkan selain melalui perilaku diet,

aktifitas fisik, dan konsumsi alkohol, tingkat sosial ekonomi berpengaruh terhadap

hipertensi melalui akses pada fasilitas kesehatan. Akses pada pelayanan kesehatan

yang meliputi program promosi kesehatan, program pencegahan, dan program

pengobatan berpengaruh secara sinergik terhadap hipertensi. Pemanfaatan fasilitas

pelayanan kesehatan ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, jarak dari jalan raya,

pengalaman sebelumnya, umur, dan jumlah aanggota keluarga (Kodim, 2004).

Kualitas pelayanan kesehatan lebih sering terpaku pada pembiayaan

pelayanan kesehatan. Di Indonesia biaya pelayanan kesehatan atau biaya

pelayanan

medis makin lama semakin tinggi, dan kenaikan biaya itu akan menjadi baban yang

berat selama sistem pembayaran pelayanan medis dibayar oleh pribadi secara tunai

(M.Imam Basuki dalam Wiknjosastro, 1993). Penelitian yang dilakukan oleh

Moriyana, Krueger dan Stamler (1971) dalam Khairani (2003) menunjukkan bahwa

semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin tinggi tekanan darah. Darmojo

(1994) menyatakan bahwa Dyer dkk (1976) dan Marmot (1979) telah melaporkan

bahwa data epidemiologi menunjukkan bahwa tekanan darah mempunyai tendesi

lebih tinggi pada golongan pendidikan sosial ekonomi rendah. Ternyata Kartari dkk

(1988) dalam Darmojo (1994) memang menemukan prevalensi yang tinggi di

kalangan penduduk yang buta huruf (18,9%) tetapi angka yang tertinggi, seperti yang

diharapkan, ditemui pada golongan pekerja administrasi dan manajer (25,0%). Pada

kaum pengangguran ditemukan prevalensi hipertensi sebesar 9,6%.

f. Geografi dan Lingkungan

Pada kebanyakan tempat di dunia dapat dibedakan tiga macam keadaan iklim.

Salah satunya iklim laut dengan sifat khasnya sering terjadi putaran udara karena

kuatnya angin sepanjang pantai yang menyebabkan efek penyejuk pada badan

manusia, dan intensitas yang besar dari sinar radiasi matahari yang terpantul. Sinar

radiasi matahari yang berlebihan dapat menyebabkan kegugupan, hilangnya nafsu

makan, mual, lelah, pusing, dan susah tidur (Slamet, 1998). Terdapat pula perubahan

suhu harian dan musim yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah pedalaman,

kelembaban yang lebih besar, dan kadar trace element yang lebih tinggi seperti ozon,

iodium dan megnesium serta kadar renik polusi udara selama angin laut yang kuat

tetap berhembus (Karhiwikarta, 1998). Iklim pegunungan (dataran tinggi)

mempunyai kekhususannya pula, yaitu terdapat perbedaan dan lebih intensifnya

spektrum radiasi matahari. Di atas 2000 m bahkan gelombang 278 mµ, yaitu sinar

ultraviolet, dapat mencapai badan kita. Radiasi ultraviolet yang kuat, dapat

menyebabkan bertambahnya sekresi asam lambung, kalsium dan fosfat serum darah.

Cekaman cuaca dingin menyebabkan kenaikan produksi 17 ketosteroid oleh korteks

kelenjar adrenal dan meningginya daya resistensi, sedangkan cuaca panas

menyebabkan kadar 17-ketosteroid rendah, dan merendahkan pula resistensi tubuh

(Karhiwikarta, 1998).

Berbagai reaksi fisiologis dan bahkan gejala patologis tubuh dapat terjadi

karena perubahan cuaca. Sehubungan dengan hal ini penting pengaruh cuaca pada

daya tahan setempat (local resistance) maupun umum terhadap penyakit infeksi.

Daya tahan setempat yang berupa resistensi pembuluh darah kapiler misalnya,

menurun (permeabilitas bertambah) setelah adanya aliran udara panas (heat sterss)

dan sebaliknya bertambah setelah adanya aliran dingin. Daya tahan umum yang

berupa perubahan kimia darah kemungkinan ada hubungannya dengan perubahan

pola makanan sesuai dengan musim (Karhiwikarta, 1998). Daya tubuh seseorang

sangat dipengaruhi oleh kecukupan gizi, aktivitas, dan istirahat. Dalam hidup modern

yang penuh kesibukan juga membuat orang kurang berolahraga dan berusaha

mengatasi stresnya dengan merokok, minum alkohol, atau kopi sehingga daya tahan

tubuh menjadi menurun dan memiliki resiko terjadinya penyakit hipertensi.

Kuhnke (1956) dalam Karhiwikarta, 1998, di Jerman telah mencoba

menghubungkan gejala-gejala tadi dengan keadaan atmosfir beserta perubahan-

perubahannya di satu pihak dan situasi cuaca umumnya di pihak lain. Pada

kombinasi keadaan atmosfir dan situasi cuaca tertentu secara empiris statistis

terdapat gejala yang menonjol dari kelelahan umum dan kelelahan subjektif seperti

keluahan penyakit jantung dan peredaran darah, keadaan spasme dan kolik, peristiwa

kematian, infark jantung, peninggian peristiwa ke arah perdarahan, perlambatan

waktu reaksi dan bertambahnya angka kecelakaan Dari hasil-hasil tersebut, terutama

dipandang dari masalah kemampuan kerja, Kuhnke dan Schulze (1962) dalam

Karhiwikarta, 1998 menyimpulkan terdapat tiga jenis situasi cuaca di Eropa Tengah

yaitu salah satunya situasi yang jelas mengakibatkan penurunan fungsi-fungsi tubuh,

yaitu keadaan cuaca yang umumnya disertai dengan pengaruh (adveksi) yang kuat

dari udara tropik. Pada situasi cuaca ini didapat presentase tinggi dari penduduk

merasa lemah dan lelah disertai berkurangnya keinginan kerja dan konsentrasi,

terutama jenis kerja yang memerlukan usaha lama.

Lehman (1964) dalam Karhiwikarta, 1998 menekankan bahwa rendahnya

prestasi kerja penduduk tropis bukanlah suatu hal yang berhubungan dengan bakat

pemalas (indolen), karena dapat pula dialami oleh kaum pendatang yang tinggal lama

di daerah tropis. Sebab primernya adalah menurunnya kebugaran jasmani atau

kapasitas kerja fisik dan daya aklimatisasi (adaptasi) sebagai akibat terbatasnya gerak

atau aktivitas fisik karena pengaruh iklim panas dan lembab. Namun diingatkan pula

bahwa keadaan tersebut dalam jangka waktu lama dapat pula mempengaruhi mental

psikologis, sosial-budaya, dan ekonomis.

Secara alamiah manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia

bernapas udara sekitarnya setiap detik. Makanan manusia diambil dari sekitarnya,

demikian pula minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Tergantung dari taraf

budayanya, manusia dapat sangat erat atau kurang erat hubunganya dengan

lingkungan. Natrium merupakan salah satu parameter kimiawi syarat air minum.

Natrium elemental (Na) sangat reaktif, karenanya bila berada di dalam air akan

terdapat sebagai suatu senyawa. Natrium sendiri bagi tubuh tidak mrupakan benda

asing, tetapi toxixitasnya tergantung pada gugus senyawanya. Seperti NaOH atau

hidrixida Na ini sangat korosif, tetapi NaCl justru dibutuhkan oleh tubuh (Slamet,

2000).

Prevalensi hipertensi pada penduduk di daerah pentai lebih tinggi daripada

penduduk di daerah pegunungan atau pedalaman. Prevalensi hipertensi pada orang-

orang yang melakukan migrasi akan sangat berbeda dengan prevalensi hipertensi di

daerah asalnya (Abdulrochim, 1982; Bustan, 2000). Terdapatnya perbedaan keadaan

geografis, dimana daerah pantai lebih berisiko terjadinya penyakit hipertensi

dibading dengan daerah pegunungan, karena daerah pantai lebih banyak terdapat

natrium bersama klorida dalam garam dapur sehingga konsumsi natrium pada

penduduk pantai lebih besar dari pada daerah pegunungan (Slamet, 2000). Garam

sangat berperan dalam patofisiologi hipertensi. Pada penduduk yang mengkonsumsi

garam minimal (< 3 gr/hr) hipertensi hampir tidak pernah ditemukan, sedangkan

pada penduduk yang mengkonsumsi garam antara 5–15 gr/hr prevalensi hipertensi

meningkat menjadi 15-20 %. Dengan demikian dapat dijelaskan kenapa masyarakat

pantai mempunyai resiko yang lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan

masyarakat pegunungan (Soeparman,et al., 1994).

2. Faktor Status Kesehatan

a. Kegemukan (Obesitas)

Rasio berat terhadap tinggi badan mengindikasikan berat badan yang terkait

dengan tinggi badan. Rasio ini berguna untuk mengukur gizi lebih dan obesitas

dalam populasi orang dewasa. Selanjutnya rasio ini terkadang mengarah pada

indikator obesitas (Gibson, 2005). Seseorang dikatakan kelebihan berat badan atau

kegemukan apabila berat badanya melebihi 10-20 % dari berat badan normal

(Soeharto, 2004). Obesitas akan menambah beban kerja jantung. Keadaan ini

meningkatkan resiko terjadinya tekanan darah tinggi, kencing manis, dan kolesterol

(Depkes, 2006). Obesitas adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan

dalam IMT yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan dalam meter

kuadrat (Kaplan & Stamler, 1991). Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan

kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan IMT

berkolerasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.

Kelebihan berat badan dan obesitas adalah problem kesehatan yang paling

sering pada masyarakat maju atau bisa disebut orang yang mampu, namun bukan

berarti masyarakat sosial ekonomi rendah terlepas dari masalah ini. Menurut

penelitian di Australia obesitas mengakibatkan 2/3 penyakit diabetes tipe 2 dan

mengakibatkan 1/3 jumlah penderita hipertensi. Orang obesitas juga diperkirakan

akan meninggal dua kali lebih cepat dari orang dengan berat badan normal (State

Goverment of Victoria, 2004 dalam Depkes RI 2006).

Dari hasil penyelidikan epidemiologi terbukti bahwa obesitas merupakan ciri

khas pada populasi hipertensi (Soeparman et.al., 1994). Obesitas mempunyai

hubungan yang erat dengan prevalens hipertensi dan meningkatnya insidens

hpertensi ketika berat badan bertambah (Kaplan et al., 1990). Mekanisme pasti yang

menjelaskan hubungan antara obesitas dan hipertensi belum ada, namun pada

beberapa penelitian diperoleh bahwa curah jantung dan sirkulasi hipertensi dengan

berat badan normal. Pada obesitas, tekanan perifer berkurang atau normal, aktivitas

syaraf simpatis meninggi dan aktivitas renin plasma rendah (Soeparman et al.,

1994). Resiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih

tinggi dibandingkan dengan seseorang yang berat badannya normal. Sedangkan pada

penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-23% memiliki berat badan lebih

(overweight). Penentuan obesitas pada orang dewasa dapat dilakukan pengukuran

berat badan ideal, pengukuran persentase lemak tubuh dan pengukuran IMT. Pada

studi-studi populasi IMT banyak digunakan untuk mengukur resiko penyakit di

antara orang dewasa (Gibson, 2005). Pengukuran berdasarkan IMT dianjurkan oleh

FAO, WHO, UNU tahun 1985. Nilai IMT dihitung menurut rumus (Depkes, 2006):

IMT = BB dalam kg / TB (dalam m2)

Tabel batas ambang diatas telah dimodifikasi lagi berdasarkan pengalaman

dan hasil penelitian di beberapa negara berkembang (Depkes, 2006). Peningkatan

IMT berhubungan dengan peningkatan resiko hipertensi, diabetes mellitus tipe 2,

faktor resiko penyakit kardiovaskular, dan kematian. Tentu saja resiko relatif

penyakit kardiovaskular beserta factor resikonya menigkat seiring dengan

peningkatan level IMT pada semua populasi (Gibson, 2005). Orang-orang dengan

obesitas mempunyai kelebihan penyimpanan lemak di bawah kulit, dada, dan

abdomen. Lemak merupakan simpanan energi tubuh dan berasal dari makanan yang

mengandung lemak, karbohidrat, dan protein. Jika tubuh tidak membakar kelebihan

kalori, maka tubuh akan menyimpan kelebihan kalori sebagai lemak di dalam tubuh.

Pada orang yang kelebihan berat badan jantung akan bekerja lebih keras untuk

menyuplai darah (Patel, 2005). Jumlah lemak pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar

antara 15-20% dari berat badan total dan pada wanita sekitar 20-25 %. Jumlah lemak

pada tubuh seseorang umunya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, yang

umunya disebabkan oleh semakin melambatnya metabolisme tubuh dan

berkurangnya aktifitas fisik (Soeharto, 2004).

Kegemukan pada umumnya terjadi karena usia, ketidakseimbangan energi

yang masuk dan yang keluar, genetik, penggunaan pil/injeksi KB, dan psikologis

(Salma & Padri, 2004). Umur memberikan hubungan korelasi positif terhadap indeks

masa tubuh (IMT). Hal ini sejalan dengan penelitian Mawi (2004) dalam Mukhlisa

2007 di Jakarta Utara dan Jakarta Timur yang menunjukkan bahwa setelah usia 50

tahun IMT semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia, baik pada laki-laki

maupun perempuan. Kaplan (2000) menemukan bahwa hanya dengan menurunkan

berat badan, yoga, dan relaksasi otot dapat menurunkan tekanan darah secara

signifikan

Kegemukan adalah faktor resiko hipertensi yang kuat dan independen pada

semua ras dan kelompok sosial ekonomi. Penambahan berat juga memiliki kontribusi

pada banyak peningkatan tekanan darah pada usia lanjut dan kegemukan menjadi

salah satu prediksi terbaik resiko dari perkembangan hipertensi. Pada suatu studi

kohort didapatkan bahwa responden dengan kelebihan berat 5 kg, 60% lebih besar

mendapatkan resiko relatif terjadinya hipertensi dibandingkan responden tidak

mempunyai kelebihan berat badan atau > 2 kg. Pada hasil studi Farmingham,

menunjukkan bahwa kenaikan berat badan 10 kg meningkatakan tekanan darah

sebesar 4,5 mmHg (Kaplan, 2002 dalam Fenida 2003)

b. Diabetes Melitus

Diabetes mellitus adalah penyakit kronis karena tubuh tidak dapat

menghasilkan insulin atau hanya sedikit menghasilkan insulin atau menahan insulin

sehingga tidak dapat diproduksi. Akibat dari defisiensi insulin dan kadar gula dalam

darah meningkat yang selanjutnya dapat membahayakan pembuluh darah.

Sebagaimana diketahui, insulin berfungsi menangkut glukosa ke dalam sel yang

digunakan sebagai sumber energi dan disimpan sebagai glikogen (Patel, 1995;

Andrews; Goldberg; Jonhson, 1996). Insidens diabetes mellitus serupa antara pria

dan wanita serta dapat dijumpai pada segala umur.

Diagnosis DM dapat dipastikan jika terdapat salah satu hasil pemeriksaan

yaitu antara lain apabila terdapat gejala klasik DM dengan kadar glukosa darah

sewaktu e”200 mg/dl, gejala klasisk DM dengan kadar glukosa darah puasa e”126

mg/dl, dan pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan hasil pemeriksaan

kadar glukosa darah 2 jam > 200 mg.dl sesudah pemberian beban glukosa 75 g.

Gejala klasik DM yaitu seperti sering kencing, cepat lapar, sering haus, berat badan

menurun cepat tanpa penyebab yang jelas (Depkes, 2006). Perjalanan penyakit

diabetes melitus dipengaruhi oleh berbagai faktor resiko yaitu faktor resiko yang

tidak dapat diubah (umur, jenis kelamin, keturunan, suku, dan budaya/adat

istiadat), faktor resiko perilaku yang dapat diubah (merokok, konsumsi alkohol,

kurang aktifitas fisik, kurang konsumsi serat, konsumsi lemak tinggi, dan konsumsi

kalori tinggi), faktor resiko lingkungan (kondisi ekonomi daerah, lingkungan

sosial seperti modernisasi, dan status sosial-ekonomi), dan faktor resiko fisik dan

biologi (obesitas, hipertensi, hiperglikemia, toleransi glukosa terganggu, dan

dislipidemia) (Depkes, 2006).

Dalam sebuah penelitian kohort prospektif di Dubbo, New South Wales, yang

melibatkan 1233 laki-laki dan 1572 perempuan usia lanjut, diamati dan dilakukan

analisa survivalnya. Pada akhir penelitan, peneliti menyimpulkan bahwa

berkurangnya waktu survival pada penduduk usia lanjut disebabkan karena merokok,

diabetes, dan hipertensi berat. Hazard rasio diabetes melitus pada laki-laki sebesar

1,61 (95%CI 1,28-2,03) dan pada perempuan sebesar 1,94 (95%CI 1,49-2,53)

(Simon, et.al., 2005). Pada mereka yang berkadar insulin tinggi karena diabetes,

menyulitkan jantung memompa darah karena darah menjadi lebih kental. Akibatnya,

tekanan harus ditingkatkan agar suplai darah tetap terjamin. Lama-lama, jadilah

tekanan darah tinggi permanen. Dallas Heart Disease Prevention Project, yang

dimulai tanggal 1 Juli 2000, telah mewawancara lebih dari 4000 partisipan di kota

Dallas. Dari sejumlah itu, sebanyak 1186 merupakan kasus hipertensi atau tekanan

darah tinggi dan dari sebanyak itu, 417 orang terdiagnosis terkena diabetes. Dari 417

orang itu 73 orang tidak menyadari meningkatnya level glukosa darah, yang

menghasilkan penyakit diabetes (Khania, 2002)

3. Faktor Perilaku

a. Stress

Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa

lajut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon

adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga

tekanan darah meningkat. Jika stess berlangsung lama, tubuh akan berusaha

mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis.

Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan

prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih

tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak puas

orang kulit hitam pada nasib mereka (Depkes, 2006).

Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara

individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan

adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologi, psikologi, sosial)

yang ada pada diri seseorang (Damayanti, 2003). Peningkatan tekanan darah akan

lebih besar pada individu yang mempunyai kecenderungan stress emosional yang

tinggi (Pinzon, 1999). Stress merupakan pengalaman emosional negatif yang dialami

seseorang, yang lebih besar dari kemampuannya untuk beraksi. Stress dapat terjadi

karena adanya bencana atau kehilangan, peristiwa penting dalam hidup atau karena

peristiwa kecil harian (Matlin, 1999). Oleh karena stress, maka tubuh akan bereaksi,

termasuk antara lain berupa ketegangan otot, meningkatnya denyut jantung, dan

menigkatnya tekanan darah. Reaksi ini dipersiapkan tubuh untuk bereaksi secara

cepat, yang apabila tidak digunakan, maka akan dapat menimbulkan penyakit,

termasuk hipertensi (Greenberg, 1999).

Dalam penelitian Framingham dalam Yusida tahun 2001 bahwa bagi wanita

berusia 45-64 tahun, jumlah faktor psikososial seperti keadaan tegang,

ketidakcocokan perkawinan, tekanan ekonomi, stress harian, mobilitas pekerjaan,

gejala ansietas dan kemarahan terpendam didapatkan bahwa hal tersebut

berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan manifestasi klinik penyakit

kardiovaskuler apapun. Studi eksperimental pada laboratorium animals telah

membuktikan bahwa faktor psikologis stress merupakan faktor lingkungan sosial

yang penting dalam menyebabkan tekanan darah tinggi, namun stress merupakan

faktor resiko yang sulit diukur secara kuantitatif, bersifat spekulatif dan ini tak

mengherankan karena pengolahan stress dalam etikologi hipertensi pada manusia

sudah kontroversial (Henry & Stephens, 1997 dalam Kamso, 2000).

b. Merokok

Merokok merupakan suatu proses pembakaran yang menimbulkan polusi

udara dan secara sadar dihirup dan diserap oleh tubuh manusia (Hoepoedio, 1988).

Rokok mengandung lebih dari 40000 komponen bahan kimia diantaranya adalah

nikotin dan karbonmonoksida. Nikotin dapat menyebabkan kerusakan lapisan dalam

pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah dan kecanduan. Sedangkan karbon

monoksida dapat mengikat Hb darah sehingga tubuh kekurangan oksigen dan dapat

menyebablan penyumbatan pembuluh darah. Rokok mengandung nikotin, yang

merupakan bahan pemberi kenikmatan pada rokok, yang dapat, meningkatkan denyut

jantung, tekanan darah sistolic dan tekanan darah diastolik. Peningkatan denyut

jantung pada perokok terjadi pada menit pertama merokok dan sesudah 10 menit

peningkatan mencapai 30 %. Menurut Winniford (1990) dalam Hasudungan (2002)

lebih jauh mengatakan bahwa efek merokok akan meningkatkan kadar asam bebas

lemak dalam plasma yang dapat mengurangi jumlah kadar lemak HDL. Selain itu

merokok juga akan menghadirkan LDL, yang sebagai kolesterol jahat, yang akan

menyebabkan penyempitan arteri akibat terjadinya penumpukan kolesterol pada

dinding arteri dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipertensi. Pada orang

merokok keadaan jantung juga tidak dapat bekerja dengan efisien. Oleh karena itu

seorang yang menderita hipertensi yang disertai dengan merokok dan

hiperkolesteromia akan memiliki resiko terkena penyakit jantung koroner 8 kali

(Kannel, 1990 dalam Hasudungan 2002). Farmingham Heart Study menemukan

bahwa merokok menurunkan kadar kolesterol baik (HDL). Penurunan HDL pada

laki-laki rata-rata 4,5 mg/dl dan pada perempuan 6,5 mg/dl. Penelitan yang dilakukan

oleh Lipid Research Program Prevalence Study menunjukkan bahwa mereka yang

merokok dua puluh batang atau lebih per hari, mengalami penurunan kadar HDL

sekitar 11 % pada laki-laki dan 14 % pada perempuan.

Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap

melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel

pembuluh darah arteri, dan mengakibatkan proses arterosklerosis, dan tekanan darah

tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan

adanya arterosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan

denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok

pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan resiko kerusakan pada

pembuluh darah arteri (Depkes, 2006). Pada perokok, asap rokok mengandung gas

karbon monoksida yang lebih cepat mengikat hemoglobin dibanding oksigen.

Akibatnya suplai oksigen yang seharusnya dibawa darah berkurang. Jantung harus

meningkatkan daya tekan agar suplai darah bertambah untuk mengangkut

kekurangan oksigen. Tekanan tinggi yang terus-menerus, menyebabkan dinding

pembuluh darah tidak tahan dan terjadilah kerusakan di mana-mana. Pembuluh darah

menjadi tidak beraturan, tebal, mengeras, sehingga terjadi penyumbatan dan tekanan

darah akan semakin meningkat (http://www.kompas.com/9609/22 /IPTEK/hipe.htm)

Perokok yang berhasil meninggalkan rokok menghadapi masalah yang

berhubungan dengan peningkatan berat badan. Hal ini terjadi karena peningkatan

nafsu makan. Selain itu, orang yang tidak merokok cenderung “mengemil” (Patel,

1995). Sedangkan menurut Kaplan dan Stemler (1994) berhenti merokok sering

meningkatkan berat badan dan meningkatnya tekanan darah bukan karena nikotin,

tetapi karena bertambahnya berat badan. Merokok dapat menurunkan kesukaan pada

makanan sehingga berat badan berkurang dan dengan berhenti maka berat badan

akan meningkat. Dalam sebuah penelitian kohort prospektif di Dubbo, New South

Wales, yang melibatkan 1233 laki-laki dan 1572 perempuan usia lanjut, diamati dan

dilakukan analisa survivalnya. Pada akhir penelitan, peneliti menyimpulkan bahwa

berkurangnya waktu survival pada penduduk usia lanjut disebabkan karena merokok,

diabetes, dan hipertensi berat. Hazard rasio merokok (current smoker) pada laki-laki

sebesar 1,84 (95%CI 1,44-2,35) dan pada perempuan sebesar 1,63 (95%CI 1,24-

2,15) (Simon, et.al., 2005).

c. Alkohol

Meskipun alkohol mempunyai efek positif yaitu berupa vasodilaor, alkohol

juga berkaitan dengan pengentalan lipoprotein. Meskipun sedikit, alkohol dapat

meningkatkan tekanan darah sedangkan penggunaan alkohol yang terus menerus

dalam jumlah yang banyak berakibat keracuanan jantung, sclerosis dan fibrosis

dalam arteri kecil yang dapat menunjukkan adanya micro infark.(Kaplan, 1990;

Soeparman et al., 1994).

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.

Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun,

diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah merah serta

kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah. Beberapa studi

menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol, dan

diantaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila

mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya. Di negara

barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap

terjadinya hipetensi. Sekitar 10 % hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan

alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan

meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di kelompok usia ini

(Depkes, 2006).

Wasir (1998) menyatakan bahwa berlebihan mengkonsumsi alkohol (>2 gelas

bir/wine/whiskey/hari) merupakan faktor resiko hipertensi. Menurut suatu penelitian,

diluar efek usia hipertensi lebih sering ditemukan pada orang yang berkulit

hitam/peminum alkohol. Pada penelitian ini diketahui bahwa asupan alkohol

mempunyai hubungan dengan hipertensi (Saputra 1998). Dalam suatu penelitian

yang dilakukan oleh Arthur L Klatsky dkk. 1964 terhadap 83.947 penduduk yang

terdiri dari 3 ras suku bangsa, 83,5% adalah kulit putih, menunjukkan bahwa

konumsi alkohol paling sedikit 3 kali sehari merupakan faktor resiko terjadinya

hipertensi (Saputra, 1998). Resiko terkena hipertensi meninggi apabila meminum

alkohol lebih dari 3 kali perhari (Kaplan, 1990; Soeparman et.al., 1994). Menurut

Mac Mahon (1987) yang dikutip dari Kaplan (1990), 10 % hipertensi pada laki-laki

disebabkan oleh alkohol. Pengurangan konsumsi alkohol 10-20 gr/hr dapat

menurunkan tekanan darah.

d. Aktivitas Fisik

Aktifitas fisik adalah setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan

mengeluarkan tenaga dan energi, yang biasa dilakukan atau rutunitas sehari-hari

sesuai profesi atau pekerjaan. Olahraga adalah aktifitas fisik yang terencana dan

terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang berulang untuk mencapai

kebugaran. Aktivitas fisik dalam bentuk olahraga merupakan bentuk pemberian

rangsang berulang pada tubuh. Tubuh akan beradaptasi jika diberi rangsangan secara

teratur dengan takaran dan waktu yang tepat. Aktivitas fisik atau olahraga yang

dilakukan secara teratur berdasarkan kaidah tertensu sudah dapat menimbulkan

adaptasi setelah minimal 4-6 minggu. Bila rangsang diberikan sesuai dan tepat maka

akan terjadi adaptasi lengkap yang berdampak terhadap tingkat kebugaran jasmani

(Depkes, 2006).

Pada usia lanjut terjadi penuruanan massa otot serta kekuatannya, laju denyut

nadi maksimal, toleransi latihan, kapasitas aerobik dan terjadinya peningkatan lemak

tubuh ( Hadi et al., 1992; Whiteboard, 1995). Aktivitas fisik dalam bentuk olahraga

secara teratur memberikan banyak keuntungan bagi para lanjut usia. Keuntungan

tersebut antara lain berkurangnya berat badan, tekanan darah, kadar kolesterol serta

penyakit jantung. Olahraga secara teratur juga dapat menunda efek-efek penuaan dan

mengurangi kemungkinan depresi (Pickering,1996). Wackers (1992) mengemukakan

bahwa keuntungan dari aktivitas fisik atau olahraga adalah meningkatkan

perlindungan tubuh terhadap penyakit jantung dan pembuluh darah. Olahraga teratur

juga membantu seseorang mengontrol faktor resiko lain seperti obesitas, stress,

hipertensi, dan kadar lipid dalam darah.

Olahraga dapat mengurangi tekanan darah bukan hanya disebabkan

berkurangnya berat badan, tetapi juga disebabkan bagaimana tekanan darah tersebut

dihasilkan. Tekanan darah ditentukan oleh dua hal yaitu jumlah darah yang

dipompakan jantung per detik dan hambatan yang dihadapi darah dalam melakukan

tugasnya melalui arteri. Olahraga dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah

kaliper yang baru dan jalan darah yang baru. Dengan demikian hal yang menghambat

pengaliran darah dapat dihindarkan atau dikurangi, yang berarti menurunkan tekanan

darah. Walaupun kesanggupan jantung untuk melakukan pekerjaannya bertambah

melalui olahraga, pengaruh dari berkurangnya hambatan tersebut memberikan

penururnan tekanan darah yang sangat berarti (Kuntaraf & Kuntaraf, 1992).

Aktifitas fisik dengan intensitas rendah sampai sedang (seperti melakukan

pekerjaan rumah tangga, berkebun, olahraga bowling atau golf) yang dilakukan

sekurangnya 21 jam per minggu dilaporkan Grylls (2003) membantu mengontrol

berat badan. Orang dengan skor aktivitas tinggi, dimana aktivitas fisik yang diukur

adalah aktivitas di rumah atau pada waktu bekerja, aktivitas olah raga dan kebiasaan

berjalan kaki, berhubungan dengan indeks masa tubuh yang lebih rendah (Samaras et

al., 1999). Sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melibatkan 8.604 responden

berusia lanjut mendapatkan bahwa orang yang mempunyai aktivitas fisik tinggi

mempunyai umur harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang

beraktivitas rendah, baik pada kelompok perokok maupun pada kelompok bukan

perokok (Ferrucci, et.al, 1999). Pada fisik yang senantisa aktif, pembuluh darah

cenderung lebih elastis, sehingga mengurangi tahanan di perifer (Warborton, et.al.,

2006). Sementara itu aliran darah yang meningkat karena aktivitas fisik dapat

menjaga endotel pembuluh darah arteri dengan dihasilkannnya NO (Nitrit Oksida),

suatu bahan yang bersifat vasodilator (Kusmana, 2001).

Penelitian lain oleh Paffenbarger dari Universitas Stanford yang

meneliti15.000 tamatan Universitas Harvard untuk 6-10 tahun. Selama

penelitian berlangsung, didapatkan bahwa 681 tamatan harvard tersebut menderita

hipertensi (160/95). Ternyata alumni yang tidak terlibat dalam olahraga dan

kegiatan mempunyai resiko untuk mendapatkan hipertensi 35% lebih besar dari

mereka yang berolahraga. (Kuntaraf & Kuntaraf, 2000). Penelitian dari John Hanson

dan William Nedde dari Universitas Vermot juga menunjukkan bagaimana olahraga

mengurangi tekanan darah. Penelitan tersebut meneliti sekumpulan penderita

hipertensi. Untuk tujuh bulan mereka dibimbing dalam olahraga, yang meliputi lari

jauh, senam, dan bahkan olahraga kompetisi. Pada akhir penelitian tersebut

ternyata tekanan darah rata-rata mereka telah turun dari 162/92 menjadi 134/75

(Kuntaraf & Kuntaraf,

1992). Bukti langsung dari keuntungan olahraga bagi mereka yang telah menderita

tekakan darah tinggi sangat penting, sebab ini menunjukkan bahwa olahraga bukan

hanya menghindarkan tekanan darah tinggi, tetapi juga menurunkan tekanan darah

dari mereka yang telah menderita penyakit tersebut (Kuntaraf & Kuntaraf, 1992).

Berbagai penelitian membuktikan, bahwa ternyata tekanan darah tinggi yang

ringan dapat ditanggulangi tanpa obat, hanya dengan melakukan olahraga secara

teratur. Tekanan darah tinggi teryata cukup responsif terhadap latihan-latihan

olahraga. Bahkan tidak jarang penderita tekanan darah tinggi yang akhirnya dapat

lepas obat atau tidak minum obat untuk tekanan darah tinggi, karena tekanan darah

tinggi telah teratasi setelah melakukan latihan-latihan olahraga secara teratur.

Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Robert Cade dari Universitas Florida,

bahwa hampir seratus persen dan sejumlah orang yang menderita tekanan darah

tinggi, ternyata tekanan darahnya turun setelah tiga bulan berlatih olahraga secara

teratur, dengan takanan yang cukup. Berdasarkan penelitian ini, tekanan darah dapat

menurun yang berkisar antara 10-50 mm (Anies, 2006)

e. Diet Tinggi Garam

Sodium/natrium adalah mineral yang esensial bagi kesehatan yang mengatur

keseimbangan air dalam sistem pembuluh darah. Konsumsi natrium yang berlebihan

menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraselular meningkat. Untuk

menormalkannya, cairan intraselular ditarik keluar sehingga cairan ekstraselular

meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraselular menyebabkan meningkatanya

volume darah dalam tubuh, dengan demikian jantung harus memompa lebih giat

sehingga tekanan darah menjadi naik (Hull, 1996). Konsumsi garam yang melebihi

ambang batas yang dibutuhkan dapat menyebabkan hipertensi (Kaplan, 1990).

Begitu pula seseorang yang sudah punya bakat hipertensi, potensinya akan

lebih besar jika lingkungan atau kebiasaan sehari-hari turut memicu. Seperti

dikemukakan Prof Jose, bahwa pada masyarakat tradisional (yang tidak terpapar stres

atau garam berlebih) angka hipertensi hanya 0,1 %. Sementara di daerah sibuk

angkanya mendekati 30 %. Contoh lainnya, orang yang hidup di pinggir pantai,

sedari kecil telah terbiasa makan ikan yang diasin. Padahal, kondisi garam berlebihan

dalam tubuh bisa memicu timbulnya hipertensi. Prof Jose mencontohkan bahwa

penduduk di Jepang Utara banyak yang terkena stroke akibat konsumsi garam yang

tinggi, sementara di Jepang selatan tidak demikian. Rata-rata konsumsi garam dapur

normalnya adalah 6 gram per hari. (http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak

/kesehatan/diet-rendah-garam-3.html oleh Inda). Menurut data survei yang

dikumpulkan di daerah pantai (ump. Bondo-Jepara, Karimunjawa, Bungus) terdapat

prevalensi yang lebih tinggi daripada daerah pedalaman dan pegunungan (Darmojo,

1983 dalam Wahyuni 2000). Hal ini juga dilaporkan oleh Awalui dkk (1982) di

Sulawesi Utara dalam Wahyuni 2000 yang mengadakan studi prevalensi hipertensi di

daerah pantai dan pedalaman. Kimura (1973) dalam wahyuni 2000 juga menemukan

prevalensi yang lebih tinggi pada desa nelayan (Ushibuka) daripada desa pertanian

(Taushimaru) yang terletak di pedalaman pulau Kyushu, berturut-turut dengan

prevalensi 22 % dan 15 %.

Analisis data penelitian antara tekanan darah dan konsumsi natrium yang

melibatkan 47000 orang dari 24 1okasi di dunia, menunjukkan bahwa rata-rata

tekanan darah masyarakat di negara maju lebih tinggi daripada rata-rata tekanan

darah masyarakat negara berkembang. Meskipun demikian pengaruh natrium terlihat

sama di kedua populasi tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh

natrium lebih besar daripada yang diperkirakan dan makin bertambah sesuai dengan

bertambahnya usia dan tingkat tekanan darah semula (BMJ 1991;302 : 9115 Cermin

Dunia Kedokteran No. 73, 1991 6).

Berpuluh-puluh tahun penelitan, mulai dari percobaan binatang, observasi

klinik, penelitian epidemiologi, dan intervensi telah mengidentifikasi paparan yang

membentuk pola tekanan darah dipopulasi ialah konsumsi garam tinggi, kalium

rendah, ratio natrium terhadap kalium tinggi, kegemukan dan konsumsi alkohol

tinggi (Sjukrudin, 1998). Di Amerika Serikat diusulkan konsumsi garam per orang

secara nasional diusahakan hingga ½ konsumsi pada saat ini menjadi 6 gr/hari. Di

Jepang yang konsumsi garamnya pada tahun 1960-an pada penelitian INTERSALT

23 gr/orang pada tahun 1988 menjadi 11 gr/orang. Selain itu konsumsi kalium dapat

dinaikan dengan konsumsi lebih banyak buah-buahan dan sayuran segar. Tekanan

darah dapat diturunkan pula dengan menurunkan berat badan dan meningkatkan

aktivitas fisik. Dari hasil di Jepang dan beberapa penelitian intervensi ada petunjuk

bahwa intervensi nonfarmakologis dan modifikasi gaya hidup semacam diatas dapat

menurunkan tekanan darah dalam waktu panjang (Karhiwikarta 1998).

2.2 Konsep Dasar Pencegahan Penyakit

2.2.1 Faktor Penentu Derajat Kesehatan

Derajat kesehatan penduduk, dapat diukur dari seberapa banyak warga

masyarakat suatu penduduk yang baru atau sedang menderita sakit akibat berbagai

penyakit. Setiap penyakit selalu unik, artinya selalu memiliki keluhan, gejala, dan

kadang-kadang penyebab yang khas dan spesifik. Bila dari sekumpulan penyakit yang

banyak diderita oleh sebagian penduduk dapat diketahui faktor penyakit tersebut

dapat dihilangkan, maka proporsi penduduk yang sakit akan menurun (morbiditas

penduduk menurun) dan dikatakan perubahan ini sebagai derajat kesehatannya

meningkat.

Saat penyakit infeksi masih mendominasi penyakit manusia pada awal sampai

hampir akhir abad XX, berkembanglah konsep Epidemiological Triangle atau Segi

Tiga Epidemiologi. Menurut konsep ini, derajat kesehatan yang ditunjukkan oleh

adanya penyimpangan fungsi/struktur jasmani mental individu dari normalnya,

ditentukan oleh tiga faktor yaitu:

1. Daya perusak Agent of Disease (Agen Penyebab Penyakit) untuk merubah fungsi

struktur organ, jaringan atau subseluler sehingga terjadi penyimpangan fungsi

struktur jasmani mental. Agen ini meliputi agen yang berupa agen biologik, agen

fisik, dan agen sosiokultural. Daya perusak ini bisa karena virulensi atau daya

perusak per unit agen penyakit yang memang tinggi, atau karena jumlah agen

penyakit yang kontak banyak sekali.

2. Ketahanan Psiko-Biologik tubuh manusia sebagai Host atau tuan rumah dalam

menghadapi kerusakan oleh agent penyakit. Bila ketahanan psiko biologik tinggi,

maka Host akan mampu bertahan terhadap serangan agen penyakit.

3. Keperpihakan Lingkungan Fisik Biologik dan Lingkungan Sosial (Environment)

terhadap daya perusak agen penyakit atau terhadap ketahanan psiko biologik.

Apabila kondisi lingkungan berpihak untuk meningkatkan data perusak agen

Environment Host Agent

penyakit dan menurunkan ketahanan psiko biologik host, maka penyakitpun

mempunyai peluang untuk berjangkit pada diri individu yang bersangkutan

(Mansjoer, 2001).

Model segitiga epidemiologi ini sering digambarkan dalam bentuk gambar

pengungkit seperti gambar digambar ini.

Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi

Pada konsep segitiga epidemiologi, agen penyakit merupakan sesuatu yang

khusus, yang memiliki potensi merusak atau mengganggu struktur atau fungsi

jasmani mental host. Pandangan ini tentu saja tidak terlalu salah, mengingat saat

konsep ini dikembangkan, penyakit manusia masih didominasi oleh penyakit infeksi

yang penyebabnya adalah kuman penyakit (Mansjoer, 2001). Untuk mengatasi

kelemahan konsep segitiga epidemiologi diatas, pada tahun 1974 Marc La Londe dari

Kanada mengembangkan konsep yang dikenal dengan The Health Field Concept

yang kemudian dipertajam oleh Henrik L Blum dengan konsep The Force Field And

Well Being Paradigm Of Health pada tahun 1984. (Mansjoer, 2001).

Menurut Hendrik L Blum ada 4 faktor yang mempengaruhi status derajat

kesehatan masyarakat atau perorangan. Faktor-faktor tersebut dapat digambarkan

sebagai berikut :

1. Lingkungan

Berbicara mengenai lingkungan sering kali kita meninjau dari kondisi fisik.

Selain lingkungan fisik, faktor lingkungan biologi, kimia, ekonomi, sosial dan budaya

juga dapat mempengaruhi derajat kesehatan. Lingkungan yang memilik kondisi

sanitasi buruk dapt menjadi sumber berkembangnya penyakit. Hal ini jelas

membahayakan kesehatan masyarakat kita. Terjadinya penumpukan sampah yang

tidak dapat dikelola dengan baik, polusi udara, air dan juga tanah juga dapat menjadi

penyebab. Upaya menjaga lingkungan menjadi tanggung jawab semua pihak

sehingga untuk itu perlu kesadaran semua pihak.

Puskesmas sendiri memiliki program kesehatan lingkungan dimana berperan

besar dalam mengukur, mengawasi dan menjaga kesehatan lingkungan masyarakat.

Namun dilematisnya di puskesmas jumlah tenaga kesehatan lingkungan sangat

terbatas padahal banyak penyakit yang berasal dari lingkungan seperti diare, demam

berdarah, malaria, TBC, cacar air, dan sebagainya.

Di samping lingkungan fisik juga ada lingkungan sosial yang berperan.

Sebagai makhluk sosial kita membutuhkan bantuan orang lain, sehingga interaksi

individu satu dengan yang lainnya harus terjalin dengan baik. Kondisi lingkungan

sosial yang buruk dapat menimbulkan masalah kejiwaan yang pada akhirnya problem

kejiwaan dapat menjadi masalah kesehatan secara fisik ( psikosomatis ).

2. Perilaku

Perilaku dalam menjaga kesehatan sangat memegang peranan penting untuk

mewujudkan indonesia sehat 2010. Hal ini dikarenakan budaya hidup bersih dan

sehat harus dapat dimunculkan dari dalam diri seorang individu yang selanjutnya

dapat mempengaruhi perilaku di masyarakat untuk menjaga kesehatannya.

Diperlukan suatu program untuk menggerakkan masyarakat menuju satu visi

Indonesia Sehat 2010. Sebagai tenaga motorik tersebut adalah orang yang memiliki

kompetensi dalam menggerakkan masyarakat dan paham akan nilai kesehatan

masyarakat. Maysarakat yang berperilaku hidup bersih dan sehat akan menghasilkan

budaya menjaga lingkungan yang bersih dan sehat.

Pembuatan peraturan tentang berperilaku sehat juga harus diikuti dengan

pembinaan untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat karena upaya dengan

menjatuhkan sanksi hanya bersifat jangka pendek. Pembinaan dapat dimulai dari

lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tokoh tokoh masyarakat sebagai role

model harus diajak turut serta dalam mensukseskan program – program kesehatan.

3. Pelayanan Kesehatan

Kondisi pelayanan kesehatan juga menunjang derajat kesehatan masyarakat.

Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat

membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit, dan pelayanan kesehatan lainnya

untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan kesehatan,

khususnya untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang banyak dibutuhklan

masayarakat. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang kesehatan juga

harus ditingkatkan.

Puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat

sangat besar peranannya karena di puskesmas akan menangani masyarakat yang

membutuhkan edukasi dan perawatan primer. Peranan sarjana kesehatan masyarakat

(termasuk dokter) sebagai manajer yang memiliki kompetensidi bidang manajemen

kesehatan dibutuhkan dalam menyusun program–program kesehatan. Peran utamanya

adalah untuk membuat program–program pencegahan penyakit yang bersifat

preventif sehingga masyarakat tidak banyak yang jatuh sakit.

Gambar 2.2 Skema Faktor Yang Berperan Terhadap Timbulnya Masalah

KESEHATAN:

- Individu - Komunitas

PSIKO-SOSIO-

BIOLOGI/ GENETIK

PELAYANAN

KESEHATAN :

- Fasilitas- Tenaga- Sistem

PERILAKU:- Sikap

- Pengetahuan- Falsafah

Hidup

LINGKUNGAN :

- Fisik- Kimia

- Biologi- Sosial

- Psikologi- Ekonomi- Budaya

- Ergonomi

2.3 Kerangka Teori Hipertensi menurut Hendrik L Blum

3

PSIKO-SOSIO-BIOLOGI/ GENETIK:- Usia- Jenis Kelamin- Ras- Faktor Keturunan- Status Sosial Ekonomi

HIPERTENSI

Lingkungan: - Perkotaan- Pantai

GAYA HIDUP/PERILAKU:- Kebiasaan merokok- Aktivitas fisik- Merokok- Diet tinggi karbohidrat dan lemak- Diet tinggi garam

PELAYANAN KESEHATAN:

- Fasilitas- Tenaga-Sistem

Gambar 3.1 Kerangka Teori