natasya kti 2

91
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Dalam kesehatan nasional dicantumkan mengenai tujuan pembangunan kesehatan yaitu tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan dari tujuan nasional. Untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit, khususnyp a penyakit menular yang saat ini merupakan masalah bagi negara - negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. 1,2 Tuberkulosis Paru (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di negara- negara berkembang. Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga 1

Upload: nur-farmawati-humayrah-hassani

Post on 27-Oct-2015

57 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: NATASYA KTI 2

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Dalam kesehatan nasional dicantumkan mengenai tujuan pembangunan

kesehatan yaitu tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar

dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu

unsur kesejahteraan dari tujuan nasional. Untuk mencapai derajat kesehatan

masyarakat yang optimal, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah upaya

pencegahan dan pemberantasan penyakit, khususnyp a penyakit menular yang saat

ini merupakan masalah bagi negara - negara yang sedang berkembang termasuk

Indonesia. 1,2

Tuberkulosis Paru (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih

menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di negara- negara berkembang.

Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen

Kesehatan RI tahun 1995, didapatkan bahwa penyakit ini merupakan penyebab

kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit paru lainnya,dan

penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit infeksi.1,2

Di Indonesia setiap tahun mencapai 583.000 orang menderiata tuberculosis

baru, bahkan jumlahnya akan terus meningkat karena setiap penderita

tuberculosis akan menularkan kepada sepuluh sampai lima belas orang

pertahun.Indonesia dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa. 1,2

1

Page 2: NATASYA KTI 2

World Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global TB

Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high-burden

countries terhadap TB. Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan

China dalam menyumbang TB di dunia. Menurut WHO estimasi insidence rate

untuk pemeriksaan dahak didapatkan basil tahan asam (BTA) positif adalah 115

per 100.000. 3

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 estimasi

prevalensi angka kesakitan di Indonesia sebesar 8 per 1000 penduduk berdasarkan

gejala tanpa pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 TB menduduki ranking ketiga sebagai

penyebab kematian (9,4% dari total kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi

dan sistem pernafasan. Hasil survei prevalensi tuberkulosis di Indonesia tahun

2004 menunjukan bahwa angka prevalensi tuberkulosis Basil Tahan Asam (BTA)

positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. 4

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB

masih menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada Maret 1993 WHO

mendeklarasikan TB sebagai global helath emergency. TB dianggap sebagai

masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia

terinfeksi oleh Micobacterium tuberculosis.2

Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di

negara-negara yang sedang berkembang. Diantara mereka 75% berada pada usia

produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya

2

Page 3: NATASYA KTI 2

prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian

muncul terjadi di Asia. 2

Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain

disebabkan : 2

1. Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara yang sedang

berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan di negara maju.

2. Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan

perubahan dari struktur usia manusia yang hidup.

3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok

rentan terutama di negara-negara miskin.

4. Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter.

5. Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostic, dan

pengawasan khusus terhadap TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus

yang tidak adekuat.

6. Adanya epidemic HIV terutama di Afrika dan Asia.

Lingkungan hidup yang padat di wilayah perkotaan kemungkinan besar telag

mempermudah proses penularan dan berperan sekali ata peningkatan jumlah kasus

TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya melalui inhalasi,

sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibandingkan

dengan organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil

yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru

dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA).2

3

Page 4: NATASYA KTI 2

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya bakteri

BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan

sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah

diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di

lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapatkan

sputum, terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk non produktif. Dalam

hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan

minum air sebanyak ± 2 liter dan diajarkan melakukan reflex batuk. Dapat juga

dengan memberiksan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan

inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum

dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial

washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum juga didapat

dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena

mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya

sesegar mungkin. 2

Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan.

Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini

terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar.

Diperkirakan di Indonesia terdapat 50% pasien BTA positif tetapi kuman dalam 1

mL sputum. 2

Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok y ang

merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet. Cara

pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah: 2

4

Page 5: NATASYA KTI 2

1. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa

2. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan

khusus)

3. Pemeriksaan dengan biakan (kultur)

4. Pemeriksaan terhadap resistensi obat.

Pemeriksaan dengan mikroskop fluoroskop fluoresens sinar ultra violet

walaupun sensivitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena penawaran yang

dipakai (auramin-rho-damin) dicurigai bersifat karsinogenik. 2

Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4 sampai 6 minggu penanaman

sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberkulosis mulai tampak. Bila

setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan

negative. Medium biakan yang sering dipakai yaitu Loweinstein Jensen, Kudoh

atau Ogawa. 2

Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman

BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomena

death bacli atau non culturable bacilli yang disebabkan kemampuan paduan obat

anti tuberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu

pendek.2

Pada saat ini pemeriksaan radiologi dada merupakan cara yang praktis untuk

menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih

dibandingkan pemriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal pemeriksaan ini

memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberculosis

5

Page 6: NATASYA KTI 2

milier. Pada kedua hal diatas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan

radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. 2

I. 2 Rumusan Masalah

Uraian tersebut di atas merupakan dasar pemikiran untuk merumuskan

masalah penelitian, yakni Bagaimana Hubungan Pemeriksaan Radiologi Dengan

Pemeriksaan Sputum pada Pasien Tuberkulosis Paru, Di Balai Besar Kesehatan

Paru Masyarakat, Makassar ?

1. 3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Memperoleh gambaran keterkaitan antara pemeriksaan radiologi dengan

pemeriksaan sputum pada pasien Tuberkulosis di Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat Makassar 2011.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui frekuensi dari hasil pemeriksaan sputum BTA.

b. Mengetahui karakteristik kepositifan hasil pemeriksaan sputum BTA.

c. Mengetahui karakteristik hasil pemeriksaan radiologi toraks.

d. Mengetahui karakteristik pembacaan luas lesi dari hasil pemeriksaan

radiologi toraks positif TB Paru.

e. Mengetahui hubungan pemeriksaan sputum BTA dengan Radiologi toraks.

6

Page 7: NATASYA KTI 2

1. 5 Manfaat Penelitian

1. Bagi institusi pendidikan

Memberikan informasi dan pengembangan keilmuwan khususnya tentang

karakteristik yang mempengaruhi angka kejadian stress.

2. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan bagi

penulis tentang karakteristik yang mempengaruhi angka kejadian stress.

3. Bagi penelitian selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi penelitian

selanjutnya dan dapat diteruskan dengan variable penelitian yang belum

pernah diteliti.

7

Page 8: NATASYA KTI 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Tinjauan Umum Tentang Tuberkulosis Paru

2.1.1 Definisi dan Etilogi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh

bakteri Micobacterium tuberculosis yang paling banyak dan sering menyerang

paru-paru. Bakteri ini berbentuk basil, mempunyai sifat khusus yaitu tahan

terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan

Asam (BTA). M. tuberculosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi

dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. 3,5

Bakteri berbentuk basil ini memiliki ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-

0,6/um. Yang tergolong dalam bakteri M. tuberculose complex adalah. 1. M.

tuberculosae, 2. Varian Asian. 3. Varian African I, 4. Varian African 2, 5. M.

bovis. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan secara epidemiologi. 2

Sebagian besar dinding bakteri terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian

peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan

asam (asam alcohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih

tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Bakteri ini dapat hidup di daerah dengan

udara kering maupun dingin (dan dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es).

Hal ini terjadi karna bakteri berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini,

bakteri dapat hidup kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis aktif kembali. 2

8

Page 9: NATASYA KTI 2

Sifat bakteri ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa bakteri ini

lebihmenyenangi daerah yang tinggi kadar oksigennya. Dalam hal ini tekanan

oksigen pada bagian apical paru-paru lebih tinggi daripada daerah lainnya,

sehingga pada bagian apical ini merupakan tempat predileksi penyakit

tuberculosis. 2

Basil yang terinhalasi menginfeksi lobus paru atas dengan ventilasi baik dan

perfusi buruk di subpleura. Granuloma yang terbentuk dikenal sebagai fokus

Ghon yang beserta pembesarankelenjar getah bening hilus yang bermuara ke

dalam paru yang terkena disebut “kompleks primer”. keadaan tersebut terjadi

selama 3-8 minggu, dan disertai perkembangan reaksi inflamasi terhadap suntikan

protein tubercular (tuberculin) ke dalam kulit, yang dapat digunakan sebagai tes

diagnostic (tes Montoux atau Heaf). 6

Bakteri ini berpindah dari penderita yang satu ke penderita yang lain melalui

droplet yang bisa dikeluarkan saat batuk dan berbicara oleh penderita dan terhirup

melalui inhalasi oleh orang lain. Pada orang sehat, infeksi dari M. tuberculosis

jarang menimbulkan gejala jika system imunnya masih kuat menangkal bakteri-

bakteri yang akan masuk. 3

2.1.2 Patogenesis

1. Tuberkulosis Primer

Merupakan infeksi yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis pada pasien

nonsensitif yaitu mereka yang sebelumnya belum pernah terinfeksi. Terdapat

respon radang ringan pada tempat infeksi. 7

9

Page 10: NATASYA KTI 2

Penularan tuberculosis paru terjadi karena bakteri dibatukkan atau

dibersinkan keluar dari menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar. Partikel

infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada

tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana

lembab dan gelap bakteri ini dapat bertahan berhari-harisampai berbulan-bulan.

Dan bila partikel ini dihisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran

nafas atau jaringan paru. Partikel ini dapat masuk ke alveolar bila ukurannya < 5

mikrometer. Bakteri akan dihadapi pertama kali oleh neutrofi, kemudian baru oleh

makrofag.kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag

keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. 2

Jika bakteri menetap, ia akan menetap di jaringan paru, berkembang biak

dalam sitoplasma makrofag. Di sini, ia juga dapat terbawa masuk ke organ tubuh

lainny. Bakteri yang bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang

tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau

focus Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila

menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. 2

Dari sarang primer, akan timbul peradangan pada saluran getah bening

menuju hilus (limfangitis local), dan juga d2kuti pembesaran kelenjar getah

bening hilus (limfadenitis regional. Sarang primer linfadenitis local + linfadenitis

regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8

minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi: 2, 7

a. Sembuh sama sekali tanpa cacat. Ini yang banyak terjadi.

10

Page 11: NATASYA KTI 2

b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,

kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang liasnya >5

mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivisi lagi karena bakteri yang

dormant.

c. Berkomplikasi dan menyebar secara: a) Perkutanuitatum, yakni menyebar ke

sekitarnya. b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkuta maupun paru di

sebelahnya. Bakteri dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga

menyebar ke usus. c) Secara linfogen, ke organ tubuh lainnya. d) Secara

hematogen, ke organ tubuh lainnya.

Semua kejadian di atas tergolong dalam perjalanan tuberculosis primer.

2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)

Bakteri yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa (tuberculosis post

primer = Tuberkulosis pasca primer = Tuberkulosis sekunder). Mayoritas

terinfeksi mencapai 90%. Tuberculosis sekunder terjadi karena imunitas yang

menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal

ginjal. Tuberculosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di

region atas paru (bagian apical-posterior lobus superior atau inferior).Invasinya

adalah ke daerah parenkim paru-paru dank e nodus hiler paru. 2

Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-

10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari

11

Page 12: NATASYA KTI 2

sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langerhans (sel besar dengan banyak inti) yang

dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. 2

TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda

menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman,

virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi: 2

a. Direabsorbsi kembali dan dapat sembuh tanpa meninggalkan

cacat.

b. Sarang yang mula-mula meluas, teteapi segera menyembuh dengan serbukan

jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan

perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang

menhancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami

nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju

dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding

tipis, lama-lama dindingnya menembal akrena infiltrasi jaringan-jaringan

fibroblast dalam jumlah besar, sehingga menjadi kabitas sklerotik (kronik).

Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan

asam nukleat loleh ensim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang

berlebihan dari sitokin dengan TNF-nya. Membentuk perjijuan lain jarang

adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia

lanjut.

Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat: 2

12

Page 13: NATASYA KTI 2

a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kabitas ini

masuk dalam peredarah darah arteri, maka akan terjadi TB milier.dapat juga

masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke

usus jadi TB usus. sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang

disebutkan terdahulu, bisa juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal

atau empiema bila ruptut ke pleura.

b. Memadat dan membungkus diri seningga menjadi tuberkuloma.

Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali

menjadi cari dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah

kolonisasi olej fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma.

c. Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh

dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang berakhir sebagai kavitas

yang terbungkus, menciut dana berbentuk seperti bintang disebut stellate

shaped.

Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 2

a. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi.

b. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengibatan yang lengkap dan

sempurna.

c. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh

spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali,

sebaiknya diberi pengibatan yang sempurna lagi.

2.1.3 Klasifikasi Tuberkulosis Paru

13

Page 14: NATASYA KTI 2

Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para klinikus, ahli

radiologi, ahli patologi, mikro biologi dan ahli keseatan masyarakat tentang

keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Dari sistem lama diketahui beberapa

klasifikasi seperti: 2

1. Pembagian secara patologis

a. Tuberkulosis primer (Childhood Tuberculosis)

b. Tuberkulosis post primer (Adult Tuberculosis)

2. Pembagian secara aktivitas radiologi tuberkulosis paru (Koch Pulmonum)

aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).

3. Pembagian secara radiologis (luas lesi)

a. Tuberculosis minimal. terdapat sebagaian kecil infiltrate non kavitas pada

satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebih satu lobus

paru.

b. Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak

lebih dari 4 cm.jumlah infiltrate bayangan halus tidak lebih dari satu

bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian

satu paru.

c. Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi

keadaan pada Moderately advanced tuberculosis.

Pada tahun 1974 America Thorafic Sociaty memberikan klasifikasi baru

yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarkat. 2

14

Page 15: NATASYA KTI 2

1. Kategori 0 : Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak

negatif, tes tuberkulin negatif.

2. Kategori I : Terpajan tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini

riwayat kontak positif, tes tuberculin negatif.

3. Kategori II : Terinfeksi tuberculosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin

positif, radiologi dan sputum negatif.

4. Kategori III : Terinfeksi tuberkulosisi dan sakit. 2

Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan

klinis, radiologis dan mikro biologis: 2

1. Tuberculosis paru

2. Bekas tuberkulosis paru

3. Tuberculosis paru tersangka, yang terbagi dalam :

a. Tuberkulosis paru tersangka yang diobati.

Disini sputum BTA negative, tetapi tanda-tanda lain positif.

b. Tuberkulosis paru tersangka tidak diobati.

Disini sputum BTA negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.

Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk

TB paru ( aktif ) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan: 2

1. Status bakteriologi

2. Mikroskopik sputum BTA ( langsung )

3. Biakan sputum BTA

4. Status radiologi, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru

15

Page 16: NATASYA KTI 2

5. Statis kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberculosis. 2

WHO 1991 berdasarkan terapi TB dalam empat kategori yakni: 2

Kategori I, ditunjukkan terhadap:

1. Kasus baru dangan sputum positif

2. Kasus baru dengan bentuk TB berat

Kategori II, ditunjukan terhadap:

1. Kasus kambuh

2. Kasus gagal dangan sputum BTA positif

Kategori III, ditujukan terhadap:

1. Kasus BTA negatif dangan kelainan paru yang tidak luas

2. Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I

Kategori IV, ditunjukkan terhadap : TB kronik.

2.1.4 Diagnosis

Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis Internasional (ISTC)

adalah sebagai berikut: 7

1. Standar 1

Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang tidak

jelas penyebabnya,harus dievaluasi untuk Tuberkulosis.

16

Page 17: NATASYA KTI 2

Sumber: Depkes RI. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan Ke 8

2. Standar 2

Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak yang dapat mengeluarkan dahak)

yang diduga menderita Tuberkulosis Paru harus menjalani pemeriksaan dahak

mikroskopik minimal 2 dan sebaiknya 3 kali. Jika mungkin paling tidak satu

spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.

3. Standar 3

Pada semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita

tuberkulosis ekstra Paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya

diambil

17

Page 18: NATASYA KTI 2

untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasilitas dan sumber daya,

dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi.

4. Standar 4

Semua orang dengan temuan foto thoraks diduga Tuberkulosis Paru

seharusnya menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.

5. Standar 5

Diagnosis Tuberkulosis Paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan

kriteria berikut: minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk

minimal 1 kali dahak pagi hari) temuan foto toraks sesuai Tuberkulosis dan tidak

ada respon terhadap antibiotika spektrum luas (catatan: fluorokuinolon harus

dihindari karena aktif terhadap M. Tuberculosae kompleks sehingga dapat

menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita Tuberkulosis). Untuk pasien ini

jika tersedia fasilitas, biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien yang

diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus ditegakan.

6. Standar 6

Diagnosis Tuberkulosis Intrathoraks (yakni paru, pleura, dan kelenjar getah

bening hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus

dahak negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai

Tuberkulosis dan pajanan kepada kasus Tuberkulosis yang menular atau bukti

infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau Interferon Gamma Release

Assay). Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasilitas bahan dahak seharusnya

diambil untuk biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung, atau induksi dahak)

18

Page 19: NATASYA KTI 2

Diagnosis TB Paru ditegakkan berdasarkan :

1. Gejala Klinik

Gejala timbul relative lambat dan oleh karenanya timbul pada saat penyakit

sudah menetap. Gejala paling awal biasanya non-spesifik, seperti malaise,

kelelehan, anoreksia, dan penurunan berat badan. Di antara gejala yang lebih

spesifik, yang paling umum adalah batuk, seringkali disertai sputum mukoid.

Gejala lain di antaranya adalah hemoptisis ringan berulang, nyeri pleura, demam

ringan atau kadang-kadang, sesak saat aktivitas. Sering kali diagnosis ditegakkan

sebelum timbul gejala karena terlihat dalam pemeriksaan rontgen toraks rutin.

Tanda-tanda juga timbul pada stadium lanjut dari penyakit dan tidak begitu

spesifik, misalnya ronki (biasanya di apeks) dan selanjutnya tanda konsolidasi,

efusi pleura, atau kavitasi. 8

Kecurigaan harus ditingkatkan pada kelompok beresiko tinggi seperti:

penghuni asrama, imigran, pasien AIDS, pasien yang mendapat pengobatan

imuno-supresi, dan pekerja beresiko tinggi (dokter dan perawat). Idealnya

diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan AAFB dalam sputum berulang dan

apus bronkus langsung atau kultur. Mungkin diperlukan 6-12 spesimen (atau

lebih). Kadang-kadang diagnosis hanya bisa ditegakkan secara radiologis di mana

dugaan aktivitas pernyakit didasarkan pada: 8

a. Perubahan corakan halus,

b. Perkembangan lesi di apeks,

c. Kavitasi, dan

d. Tes Heaf yang positif kuat.

19

Page 20: NATASYA KTI 2

Riwayat penyakit terdahulu, pernahkah pasien berkontak dengan pasien TB?

Apakah pasien mengalami imunosupresi (kortikosteroid/HIV)? Apakah pasien

pernah menjalani pemeriksaan rontgen toraks dengan hasil abnormal? Apakah

terdapat riwayat vaksinasi BCG atau tes Montoux? Adakah riwayat diagnosis TB?

9

Pernahkah pasien menjalani terapi TB? Jika ya, obat apa yang digunakan,

berapa lama terapinya, bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi, dan apakah

dilakukan pengawasan terapi? 9

Riwayat keluarga dan social; Adakah riwayat TB di keluarga atau lingkungan

social? Tanyakan konsumsi alcohol, penggunaan obat intravena, dan riwayat

berpergian ke luar negeri. 9

2. Pemeriksaan Fisis

TB bisa menimbulkan tanda local pada dada, tanda sistemik, atau jika timbul

TB milier, banyak bagian tubuh yang mungkin terkena dan menimbulkan,

misalnya lesi kulit, lesi retina, osteomielitis spinal (penyakit Pott), atau TB

genitourinarius. 9

Adalah pireksia, anemia, atau ikterus? Adakah limfadenopati? Apakah pasien

tampak kurus atau malnutrisi? Adakah deviasi trakea? Cari tanda paru apical:

adalah fibrosis? Adakah efusi pleura? Adakah piuria (steril)? 9

Curigasi TB pada pasien demam kronis, penurunan berat nadan, gejala

pernafasan yang tidak dapat dijelaskanatau limfadenopati. 9

20

Page 21: NATASYA KTI 2

3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya bakteri

BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan

sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah

diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di

lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapatkan

sputum, terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk non produktif. Dalam

hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan

minum air sebanyak ± 2 liter dan diajarkan melakukan reflex batuk. Dapat juga

dengan memberiksan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan

inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum

dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial

washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum juga didapat

dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena

mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya

sesegar mungkin. 2

Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan.

Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini

terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar.

Diperkirakan di Indonesia terdapat 50% pasien BTA positif tetapi kuman dalam 1

mL sputum. 2

21

Page 22: NATASYA KTI 2

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3

batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman

dalam 1 mL sputum. 2

Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok y ang

merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet. Cara

ppemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah: 2

1. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa

2. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan

khusus)

3. Pemeriksaan dengan biakan (kultur)

4. Pemeriksaan terhadap resistensi obat.

Pemeriksaan dengan mikroskop fluoroskop fluoresens sinar ultra violet

walaupun sensivitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena penawaran yang

dipakai (auramin-rho-damin) dicurigai bersifat karsinogenik. 2

Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4 sampai 6 minggu penanaman

sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberkulosis mulai tampak. Bila

setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan

negative. Medium biakan yang sering dipakai yaitu Loweinstein Jensen, Kudoh

atau Ogawa. 2

Saat ini sudah dikembangkan pemeriksaan biaka sputum BTA dengan cara

Bactec (Bactec 400 Radiometric System) di mana kuman sudah dapat dideteksi

dalam 7 sampai 10 hari. Di samping itu dengan teknik Polinerase Chain Reaction

(PCR) dapat dideteksi DNA kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau

22

Page 23: NATASYA KTI 2

mendeteksi M. Tuberculosae yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari hasil

biakan bisanya dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan

identifikasi kuman. 2

Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman

BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negative. Ini terjadi pada fenomena

death bacli atau non culturable bacilli yang disebabkan lemampuan paduan obat

anti tuberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu

pendek.2

Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biassa dan sediaan biakan,

bahan-bahan selain sputum dapat juga dimabil dari bilasan bronkus, jaringan

paru,pleura,cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin, dan

tinja.2

4. Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang

meragukan, hasilnya tidak sensitif. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan

didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitungan jenis

pergeseran kekiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai

meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan

jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun kea rah normal lagi.2

Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga : 1) Anemia ringan dengan

gambaran normokron dan normosister; 2) Gama globulin meningkat; 3) Kadar

natrium darah menurun. Pemeriksaan etrsebut di atas nilainya juga tidak spesifik.2

23

Page 24: NATASYA KTI 2

Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi.

Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak.

kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Pemeriksaan ini juga

kurang mendapat perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif palsu

masih besar. 2

Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai

yakni Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) yang oleh beberapa peneliti

mendapatkan nilai sensivitas dan sepsifisitasnya cukup tinggi (85-95%), tetapi

beberapa peneliti meragukannya karena mendapatkan angka-angka yang lebih

rendah. Sesungguhpun begitu PAP-TB ini masih dapat dipakai, tetapi kurang

bermanfaat bila digunakan sebagai sarana tunggal untuk diagnostic TB. Prinsip

dasar uji PAP-TB ini adalah menentukan adanya antibody Ig C yang spesifik

terhadap M. Tuberculosae. Sebagai antigen dipakai polimer sitoplasma

M.Tuberculin var ovis BCG yang dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan

secara ultrasentrifusi. Hasil uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadang-kadang

masih didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan dan masa3 bulan revaksinasi

BCG. 2

Uji serologis terhadap TB yang hamper sama cara dan nilainya dengan uji

PAB-TB adalah uji mycodot. Di sini dipakai antigen LAM (lipoarabinomannam)

yang diletakkan pada suatu alat berbentuk sisir plastik. Sisir ini dicelupkan

kedalam serum pasien. Antibodi spesifik anti LAM dalam serum akan terdeteksi

sebagai perubahan warna pada sisir yang intensitasnya sesuai dengan jumlah

antibodi.2

24

Page 25: NATASYA KTI 2

5. Pemeriksaan Radiologi

Pada saat ini pemeriksaan radiologi dada merupakan cara yang praktis untuk

menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih

dibandingkan pemriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal pemeriksaan ini

memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberculosis

milier. Pada kedua hal diatas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan

radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. 2

Lokasi lesi tuberculosis umumnya di daerah aspek paru (segmen apical lobus

atas atau segmen apical lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah

(bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada

tuberkulosis endobronkhial). 2

Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,

gambaran radiologi berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas

yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat

berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma. 2

Gambaran tuberculosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang

umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis lain

yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis), masa

cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam radio-lusen

di pinggir paru/pleura (pneumotoraks). 2

25

Page 26: NATASYA KTI 2

Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus

(pada tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrate, garis-garis fibrotik,

kalsifikasi, kavitas (non skelerotik/skelerotik) maupun atelektasis dan emfisema. 2

Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh terutama

gambaran radiologi, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest pneumonia.

Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia,

mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran kavitas

sering di artikan sebagai abses paru. Di samping itu perlu diingat juga faktor

kesalahan dalam membaca foto. Factor kesalahan ini mencapai 25%. Oleh sebab

itu untuk diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto lateral, foto lordotik,

oblik, tomografi dan foto dengan proyeksi densitas keras. 2

Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya

aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit

yang sudah non-aktif, ssering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa

fibrotic, kalsifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang

sudah tua. 2

Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah

bronkografi, yakni untuk melihat kerukasakan bronkus atau paru yang

disebabkakn oleh tuberculosis.pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien

akan mnjalani pembedahan paru. 2

Pemeriksaan radiologi dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak

dipakai dirumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT

26

Page 27: NATASYA KTI 2

Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibanding radiologi biasa. Perbedaan desitas

jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal. 2

Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance

Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat

mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada-

perut. Sayatan biasa dibuat transversal, sagital dan koronal. 2

6. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan

diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai cara

Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purafield Protein

Derivative) intra kutan 5 T.U (intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi hebat

dengan 5 T.U dapat diberiksan dulu 1 atau 2 T.U (first strength). Kadang-kadang

bila dengan 5 T.U masih memberikan hasil negative dapat diulangi dengan 250

T.U (second strength). Bila dengan 250 T.U masih memberikan hasil negative,

berarti tuberculosis dapat disingkirkan. Umumnya test Montoux dengan 5 T.U

saja sudah cukup berarti. 2

Tes tuberculin hanya dapat menyatakan apakah seseorang individu sedang

atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG dan

Mycobacterium pathogen lainnya. dasar tes tuberculin ini adalah reaksi alergi tipe

lambat. Pada penularan dengan kuman pathogen baik yang virulen ataupun tidak

(Mycobacterium tuberculosae atau BCG) tubuh manusia akan mengadakan reaksi

imunologi dengan dibentuknya antibody selular pada permulaan dan kemudian

27

Page 28: NATASYA KTI 2

dp2kuti oleh pembentukan antobodi humoral yang dalam perannya akan menekan

antibody seluler. 2

Bila pembentukan antibody selular cukp misalnya pada penularan dengan

kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan di

mana pembentukan antibody humoral amat berkurang (pada hipogama-

globulinemia), maka akan mudah terjadi penyakit sesudah penularan. 2

Setelah 48-72 jam tuberculin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi

kemerahan yang terdiri dari infiltrate limfosit yakni reaksi persenyawaan antara

antibody selular dan antigen tuberculin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan

antibody selular dan antigen tuberculin amat dipengaruhi oleh antibody humoral,

makin besar pengaruh antibody humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan. 2

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes Montoux ini dibagi dalam: 2

1. Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Montoux negative = golongan no sensitivity.

Di sini peran antibody humoral paling menonjol.

2. Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Di sini

peran antibody humoral masih sangat menonjol

3. Indurasi 10-15 mm : Montoux positif = golongan normal sensitivity.

4. Indurasi lebih dari 15 mm: Montoux positif kuat golongan hypersensitivity. Di

sini peran antibody selular paling menonjol.

Biasanya hampir seluruh pasien tuberklosis memberikan reaksi Montoux

positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada

28

Page 29: NATASYA KTI 2

pemberian BCG atau terinfeksi denga Mycobacterium lain. Negative palsu lebih

banyak ditemui dari pada positif palsu. 2

Hal-hal yang memberikan reaksi tuberculin berkurang (negatif palsu) yakni: 2

a. Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberculosis

b. Anergi, penyakit sistemik berat (Sarkoidosis, LE)

c. Penyakit eksantematous dengan panas yang akut: morbili, cacar air,

poliomyelitis.

d. Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikuler (Hodgkin)

e. Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat imunosupresi

lainnya.

f. Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan. 2

2.1.5 Penatalaksanaan

Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberculosis yakni: 2

1. Aktivitas Bakterisid

Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh

(metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan

obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan

didapatkan hasil yang negatif.

2. Aktivitas sterilisasi

Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat

(metabolism kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan

setelah pengobatan dihentikan.

29

Page 30: NATASYA KTI 2

Obat-obatan TB dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis resimen, yaitu obat

lapis pertama dan lapis kedua. Kedua lapisan ini diarahkan ke pencegahan

pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan terjadinya

resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid (INH), Rifampisin,

Pyrazinamide,, Ethambutol, dan Streptomycin. Obat-obat lapis kedua mencakup

Rifabutin, Ethionamide, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,

Aminoglycosides di luar Streptomycin, dan Quinolones. 2

Isoniazid (INH) mempunyai kemampuan bakterisidal TB yang terkuat.

Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell-wall biosynthesis pathway. INH

dianggap sebagai obat yang aman: Efek samping utamanya antara lain Hepatitis

dan neuropati perifer karena interfensi fungsi biologi vitamin B6 atau piridoksin.2

Rifampisin juga merupakan obat anti TB yang ampuh, dia menghambat

polymerase DNA-dependen ribonucleic acid (RNA) M. tuberculosae. Efek

sampingnya antara lain hepatitis, flu-like syndrome’s dan trombositopeni. 2

Pirinizamide merupakan obat bakterisidal untuk organism intraselular dan

agen antituberkulos ketiga yang cukup ampuh. Pinizamid hanya diberikan untuk 2

bulan pertama pengobatan. Efek samping yang sering ditimbulkan adalah

hepatotoksisitas dan hiperurisemia. 2

Etambutol satu-satunya obat lapis pertama yang mempunyai efek

bakteriostatis, tetapi bila dikombinasikan dengan INH dan Rifampisin terbukti

bisa mencegah terjadinya resisten obat. 2

30

Page 31: NATASYA KTI 2

Streptomisin merupakan salah satu obat antituberkulos pertama yang

ditemukan. Streptomisin ini suatu antibiotic golongan aminoglikosida yang harus

diberikan secara parenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan organism

ekstraselular. Kekurangan obat ini adalah efek samping toksik pada saraf cranial

kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan/atau hilangnya

pendengaran. 2

Obat yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah INH, rifampisin, dan

etambutol. Obat lapisan keda dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus resisten

multi-obat. 2

Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurang 6 bulan agar dapat

mencegah perkembangan resistensi obat. Oleh karena itu, WHO telah menerapkan

fungsi strategi DOTS dimana terdapat petugas kesehatan tambahan yang

berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan

kepatuhannya. 2

1. Panduan Obat

Untuk mencegah kuman yang resisten, terapi tuberculosis dilakukan dengan

memakai paduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat

bakterisid. 2

Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat

diabaikan karena: 2

1. Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih.

2. Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH.

31

Page 32: NATASYA KTI 2

Tetapi belakangan ini di beberapa negara banyak terdapat resistensi terhadap

lebih dari satu obat (multi drugs resistance) terutama terhadap INH dan

Rifampisin. Jenis obat yang dipakai: 2

1. Obat primer (obat antituberkulosis tingakt satu): ISoniazid, Rifampisin,

Pirazinamide, Streptomisin, Etambutol.

2. Obat sekunder (obat antituberkulosis tingkat dua): Kanamisin, PAS (Para

Amino Salicylic acid), Tiasetazon, Etionamid, Protionamid, Sikloserin,

Viomisin, Kapreomisin, Amikasin, Oflokasisin, Siprofloksasin, Norfloksasin,

Levofkloksasin, Klofazimin.

32

Page 33: NATASYA KTI 2

2. Metode DOTS

Tabel Metode DOTS

Kategori Pasien TBResimen Pengobatan*

Fase Awal Fase Lanjutan

1 TBP sputum BTA positif baru. 2 SHRZ (EHRZ) 6 HE

  Bentuk TBP berat, 2 SHRZ (EHRZ) 4 HR

  TB ekstra-paru (berat), 2 SHRZ (EHRZ) 4 H3R3

  TBP BTA-negatif .

2

 

Relaps 2 SHZE/ 1 HRZE 5 H3R3E3

Kegagalan pengobatan 2 SHZE/ 1 HRZE H HRE

  Kembali ke default  

6 HE3 TBP sputum BTA-negatif 2 HRZ atau 2 H3R3Z3

  TB ekstra-paru 2 HRZ atau 2 H3R3Z3 2 HR/4H

  (menengah berat 2 HRZ atau 2 H3R3Z3 2 H3R3/4H

4 Kasus kronis (masih BTA- Tidak dapat diaplikasikan

 

 

positif setelah pengobatan (mempertimbangkan menggunakan

ulang yang disupervisi) obat-obatan barisan kedua)

Singkatan: TB= TB; TBP=Tuberkulosis paru; S= Streptomisin; H=Isoniazid; R=Rifampisin;Z= Pirazinamide;

E= Etambutol.

Membaca resimen, misalnya 2 SHRZ (EHRZ) / 4 H3R3 menunjukkan sebuah resimen untuk 2 bulan di antara

obat-obatan etambutol, isoniazid, rifampisin dan pirazinamide yang diberikan setiap hari yang d2kuti dengan

4 bulan isoniazide dan rifampisin yang diberikan tiap hari atau 3 kali seminggu.

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2

a. Kategori 1

33

Page 34: NATASYA KTI 2

Pasien tuberculosis paru (TBP) dengan sputum BTA positif dan kasus baru,

TBP lainnya dalam keadaan TB berat, seperti meningitis tuberculosis, miliaris,

perikarditis, peritonitis, pleuritis masif, atau bilateral, spondilitis dengan gangguan

neurologic, sputum BTA negative tetapi kelainan paru luas, tuberculosis usu dan

saluran kemih. Pengobatan fase inisial resimennya terdiri dari 2 HRZS (E), setiap

hari selama 2 bulan obat H, R, Z, dan S atau E. sputum BTA awal yang positif

setelah 2 bulan diharapkan menjadi negative, dan kemudian dilanjutkan ke fase

lanjutan 4HR atau 4H3R3 atau 6HE. Apabila sputum BTA masih tetap positif

setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi, tanpa melihat

apakah sputum sudah negative atau tidak. 2

b. Kategori 2

Pasien kasus kambuh atau gagal dengah sputum BTA positif. Pengobatan

fase inisial terdiri dari 2HRZES/1GRZE, yaitu R dengan H, Z, E setiap hari

selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA

menhadi negative, fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih

positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi.

Bila akhir bulan ke-4 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-

3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan. Obat dilanjutkan memakai

resimen fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5HRE.2

c. Kategori 3

Pasien TBP dengan sputum BTA negative tetapi kelainan paru tidak luas dan

34

Page 35: NATASYA KTI 2

kasus ekstra pulmonal (selain dari kategori I). Pengobatan dengan inisial terdiri

dari 2HRZ atau 2 H3R3E3Z3, yang diteruskan dengan fase lanjutan 2HR atau

H3R3. 2

d. Kategori 4

Tuberculosis kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami resistensi ganda,

sputumnya harus dikultur dan uji kepekaan obat. Untuk seumur hidup diberi H

saja (WHO) atau sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan TB resistensi ganda

(multidrugs resistant tuberculosis (MDR-TB). 2

Kortikosteroid diberikan untuk tuberculosis yang mengenai sisem saraf pusar

(meningitis) dan perikarditis namun tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai

tambahan terapi pada tuberculosis jenis lainnya. 2

Pengobatan tuberkulosis pada pasien dengan HIV positif pada dasarnya tidak

berbeda dengan pengobatan pada pasien HIV negative. Hal yang perlu

diperhatikan adalah Rifampisin tidak diberikan pada pasien HIV positif yang

menggunakan obat protease inhibitor (kecuali obat ritoavir) atau oobat non

nucleoside reserve transcriptase inhibitor/NNRTI (kecuali obat efavirenz). Untuk

mengatasinya dengan menggunakan rifabutin sebagai pengganti rifampisin.

Rifabutin dapat diberikan bersamaan dengan protease inhibitor (kecuali obat

saquinavir) dan NNRTI (kecuali obat delavirdin) dengan penyesuaian dosis.

Sebaiknya tatalaksana tuberculosis pada pasien HIV dilakukan oleh ahlinya. 10

35

Page 36: NATASYA KTI 2

Pengobatan tuberkulosis pada anak-anak tidak mengikutsertakan etambutol

(kecuali terjadi resistensi INH atau anak tersebut menunjukkan gejala tuberkulosis

dewasa seperti infiltrate pada lobus atas dan kavitas). 10

Pemberian obat pada fase lanjutan akan diperpanjang menjadi 7 bulan (total

pengobatan 9 bulan) jika tidak diberikan pirazinamide pada fase inisial. 10

Pengobatan berdasarkan gejala klinis saja mungkin diberikan dan respons

terhadap terapi spesifik dalam 2 minggu dianggap sebagai bukti diagnosis. 10

3. Dosis Obat

Nama ObatDosis Harian Dosis Berkala 3x

SemingguBB < 50 kg BB > 50 kg

Isoniazid 300 mg 400 mg 600 mg

Rifampisin 450 mg 600 mg 600 mg

Pirazinamide 1000 mg 2.000 mg 2-3 g

Streptomisin 750 mg 1000 mg 1000 mg

Etambutol

Etionamide

750 mg 1000 mg 1-1,5 g

500 mg 750 mg  

PAS 99 10 g  

Sumber: Tjandra YA, Sudijanto, Carmelia B, Asik S. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis vol.2. Jakarta: Departemen Kesehatan pp.3-28

4. Evaluasi Pengobatan

a. Klinis

Biasanya pasien dikontrol 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu

selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan.

Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan sampai akhir pengobatan. Secara

36

Page 37: NATASYA KTI 2

klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk-batuk

berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat. 2

b. Bakteriologis

Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi

negative. Pemeriksaan control sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO

(1991) menganjurkan control sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan

ke-2, 4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa

pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir

bulan ke-2 dan akhir pengobatannya. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada

pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif pada awal terapi

bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah

negative, sputum BTA sebaiknya tetap diperiksa sedikitnya sampai 3 kali berutut-

turut. Sputum BTA sebaiknya tetap diperiksa untuk control pada kasus-kasus

yang dianggap selesai pengobatan/sembuh. Sewaktu-waktu mungkin terjadi silent

bacterial sheeding, yaitu terdapat sputum BTA positif tanpa disertai keluhan-

keluhan tuberculosis yang relevan pada kasus-kasus yang memperoleh

kesembuhan. Bila ini terjadi yakni BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3

bulan), berarti pasien mulai kambuh lagi. 2

c. Radiologis

Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Beberapa

ahli kedokteran menyatakan evaluasis radiologis ini sebenarnya kurang begitu

berperan dalam evaluasi penyakitnya. Bila fasilitas memungkinkan foto control

dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila

37

Page 38: NATASYA KTI 2

nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tetap tidak berkurang (misalnya

tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis daoat dilihat keadaan

tuberculosis parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena

perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi

foto dada dilakuakan setiap 3 bulan sekali. Bila secara bakteriologis ada perbaikan

tetapi klinis dan radiologis tidak, harus dicurigai penyakit lain di samping

tuberculosis paru. Bila secara klinis, bakteriologis tetap tidak ada perbaikan

padahal pasien sudah diobati dengan dosis yang adekuat serta teratur, perlu

dipikirkan adanya gangguan imunologis pada pasien tersebut, antara lain AIDS. 2

e. Kegagalan Pengobatan

Sebab dari kegagalan pengobatan: 2

1. Obat :

a. Paduan obat tidak adekuat

b. Dosis tidak cukup.

c. Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk

d. Jangka pengobatan kurang lama dari semestinya

e. Terjadi resistensi obat

2. Drop Out:

a. Kekurangan biaya pengobatan

b. Merasa sudah sembuh

c. Malas berobat/kurang motivasi

3. Penyakit:

a. Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat

38

Page 39: NATASYA KTI 2

b. Penyakit lain yang menyertai tuberculosis, seperti diabetes mellitus,

alkolisrae.

c. Adanya gangguan imunologis

f. Pasien Kambuh

Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani pengobatan secara teratur

dan adekuat sesuai dengan rencana, tetapi dalam control ulangan ternyata sputum

BTA kembali positif baik secara mikroskopik langsung ataupun secara biakan. 2

Umumnya kekambuhan terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan

selesai, dan sebagian besar kumannya masih sensitif terhadap obat-obatan yang

dipergunakan semuala. Penanggulan tehadap pasien kambuh ini adalah: 2

1. Berikan pengobatan yang sama dengan pengobatan pertama.

2. Lakukan pemeriksaan bakteriologis optimal yakni pemeriksaan sputum BTA

mikroskopis langsung 3 kali, biakan, dan resistensi.

3. Evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru

4. Identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberculosis seperti

diabetes mellitus, alkoholisme, atau pemberian kortikosteroid yang lama.

5. Sesuaikan obat-obatan dengan hasil tes kepekaan/resistensi

6. Nilai kembali obat-obat dengan hasil pengobatan secara klinis, radiologis,

dan bakteriologis tiap-tiap bulan.

39

Page 40: NATASYA KTI 2

2. 2 Kerangka Teori

Penyakit tuberkulosis paru (TB Paru) merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang penting di dunia. Pada tahun 1992 World Health Organization

(WHO) telah mencanangkan TB Paru sebagai Global Emergency. Laporan WHO

tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru TB paru pada tahun

2002, dimana 3,9 juta adalah kasus basil tahan asam (BTA) positif. 11

Indonesia menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB paru

setelah India dan China. Di Indonesia TB adalah pembunuh nomor satu diantara

penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit

jantung dan penyakit pernapasan aku pada seluruh kalangan usia. 11

Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, prevalensi

TB nasional berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif adalah 148,5 per 100.000

penduduk dan berdasarkan pemeriksaan BTA adalah 175 per 100.000 penduduk,

sedangkan berdasarkan biakan Micobacterium Tuberculosis 185,7 per 100.000

penduduk. 12

Diagnosa TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan bakteriologi,

radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan kultur atau biakan

dahak merupakan metode baku emas (gold standart). Namun, pemeriksaan kultur

memerlukan waktu lebih lama dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak

secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau

biakan. Dan secara mikroskopis hasil pemeriksaan dinyakatan positif apabila

40

Page 41: NATASYA KTI 2

Sputum

TB Paru

sedikitnya dua dari tiga spesimen Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) BTA hasilnya

positif.13

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dapat dibaca dengan menggunakan

spkala International Union Againts Tuberculosis and Lungs Desease (IUATLD)

atau dengan skala Brnkhorst (BR) (PDPI,2002). Pembacaan hasil dilakukan

dengan sediaan yang telah diwarnai, dapat dengan metode Tan Thiam Hok, Ziehl

Neelsen, dan Fluorokorm. 14

Pemeriksaan foto thorax merupakan cara yang paling praktis untuk

menemukan lesi tuberculosis. Luasnya proses yang tampak pada foto toraks

dinyatakan sebagai minimal, moderate advanced, dan far advanced. 15

Maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan tingkat

kepositifan BTA dengan gambaran luas lesi radiologi toraks pada penderita TB

Paru yang diperiksa di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Makassar.

2. 3 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori di atas, kerangka konsep penelitian adalah

sebagai berikut :

Keterangan:

41

Radiologi

Page 42: NATASYA KTI 2

= Variabel Dependen = Variabel Independen

2. 4 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Penderita Tuberkulosis Paru

Yang dimaksud dengan penderita TB Paru adalah penderita yang dirawat di

rumah sakit ataupun dirawat jalan dan didiagnosis TB paru oleh dokter

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu,

pemeriksaan BTA sputum dan foto radiologi di Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat Makassar selama periode tahun 2011.

Pembagian secara patologis

a. Tuberkulosis primer (Childhood Tuberculosis)

Merupakan infeksi yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis pada pasien

nonsensitif yaitu mereka yang sebelumnya belum pernah terinfeksi.

b. Tuberkulosis post primer (Adult Tuberculosis)

Bakteri yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa (tuberculosis

post primer = Tuberkulosis pasca primer = Tuberkulosis sekunder

2. Pemeriksaan Sputum

Pemekriksaan sputum adalah merupakan pemeriksaan penunjang pada

diagnose TB paru dengan ditemukanya kuman BTA. Kriteria sputum BTA

positif adalah bila ditemukanya sekurang-kurangya 3 batang kuman BTA pada

42

Page 43: NATASYA KTI 2

satu sediaan dan sedikitnya dua dari tiga kali pemekrisaan specimen BTA hasilnya

nyatakan positif .

Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):

a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan

b. Pagi ( keesokan harinya )

c. Sewaktu / spot (saat mengantarkan dahak pagi)

Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila: 16

a. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif : BTA Positif

b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto

toraks

c. Bila 1 kali positif , 2 kali negatif : BTA positif

d. Bila 3 kali negatif : BTA negatif

3. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang pada

diagnosa TB paru dengan melihat gambaran spesifik pada paru penderita seperti

infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer atau

efusi cairan.

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif: 16

a. Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus dan

segmen superior lobus bawah.

b. Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau

nodular.

c. Bayangan bercak milier

43

Page 44: NATASYA KTI 2

d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat

dinyatakan sebagai berikut: 16

a. Lesi minimal (minimal lesion), bila proses tuberculosis paru mengenai

sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari volume

paru yang teletak di atas conrosternal junction dari iga ke 2 dan prosesus

spinosus dari vertebra torakalasi IV atau korpus vertebra torakalis V dan

tidak dijumpai kavitas.

b. Lesi sedang (moderately advanced lesion), bila proses penyakit lebih luas

dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas

proses tidak boleh lebih luas dari satu paru atau jumlah dari seluruh proses

yang paling banyak seluas satu paru, atau bila proses tuberculosis tadi

mempunyai densitas lebih padat, maka proses tersebut tidak boleh lebih dari

sepertiga dari satu paru dan proses ini dapat/ tidak disertai kavitas. Bila

disertai kavitas maka luas (diameter) semua kavitas tidak boleh lebih dari 4

cm.

c. Lesi luas (far advanced), kelainan lebih luas dari lesi sedang.

2.6 Hipotesa

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini

sebagai berikut:

1. H0

44

Page 45: NATASYA KTI 2

Tidak ada hubungan antara hasil pemeriksaan sputum BTA dengan

pemeriksaan radiologi pada pasien yang terdiagnosis TB Paru.

2. Ha

Ada hubungan antara pemeriksaan sputum BTA dengan pemeriksaan

radiologi pada pasien yang terdiagnosis TB Paru.

BAB III

METODE PENELITIAN

3. 1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross

sectional untuk mengetahui bagaimana hubungan antara pemeriksaan sputum

BTA dan pemeriksaan foto radiologi toraks pada pasien yang terdiagnosis TB

Paru.

3. 2 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian adalah selama maksimal 3 bulan terhitung mulai bulan

February – Mei 2012.

3. 3 Populasi Dan Sampel

3.3.1 Populasi

45

Page 46: NATASYA KTI 2

Populasi adalah semua penderita baru TB paru yang berobat Rumah Sakit

Paru Makassar Tahun 2011 yang tercatat di rekam medic di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM), Makassar.

3.3.2 Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti. Jenis dan sumber data

yang akan dikumpulkan adalah data sekunder yang ada di Balai Besar Kesehatan

Paru Masyarakat, Makassar, yang diambil secara simple random sampling.

1. Tekhnik Pengambilan Sampel

Estimasi besar sampel ditentukan dengan rumus sampel sebagai berikut:

n = N

1 + n x ( D2 )

Dimana n = Besar sampel

N = Besar populasi

D = Tingkat kepercayaan/ketepatan

n = N

1 + n x ( D2 )

= 8585

1 + 8585 x (0,1)2

= 8585

1 + 85,85

= 8585

86,85

46

Page 47: NATASYA KTI 2

= 98,8 = 99 orang

2. Kriteria Seleksi

a. Kriteria Inklusi

- Pasien yang memiliki data rekam medik dari dua pemeriksaan penunjang

TB paru, yaitu pemeriksaan Sputum BTA dan pemeriksaan Radiologi.

- Penderita TB paru BTA positif, yaitu sekurang-kurangnya 2 dari 3

spesimen dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif.

- Pasien TB paru BTA negatif

- Foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberculosis aktif.

- Foto rontgen dada negatif.

b. Kriteria Ekslusi

- Pasien yang hanya memiliki salah satu data hasil pemeriksaan, baik

hanya radiologi saja atapun hanya sputum BTA saja.

- Pasien yang memiliki rekam medik dengan hasil pemeriksaan sputum

BTA negatif dan foto rontgen radiologi toraks negatif TB paru.

3. 4 Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder pasien untuk dicatat hasil

pemeriksaan BTA yang telah dilakukan dan foto toraks untuk dibaca oleh

spesialis radiologi dan kemudian dicatat derajat luas lesinya.

3. 5 Pengolahan dan Penyajian Data

a. Pengolahan Data

47

Page 48: NATASYA KTI 2

Analisa data yang digunakan yaitu analisa data secara univariat untuk

mentukan persetase dari masing-masing sub variable dan analisa data bivariat

untuk mengetahui ada tidaknya hubungan tingkat kepositifan BTA dengan

gambaran luas lesi radiologi toraks pada penderita TB paru.

b. Penyajian Data

Data yang telah diolah dan dianalisis disajikan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi disertai dengan penjelasan.

3. 6 Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan uji statistic Chi-square test (x2)

menggunakan program Statistical Packages for the Social Science (SPSS) versi

18.

48

Page 49: NATASYA KTI 2

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4. 1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Keadaan umum

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar dulunya bernama Balai

Pengobatan Punyakit Paru-paru (BP4) berlokasi di Jl. Andi Pangeran Pettarani

No.43.

2. Visi

Menjadikan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar sebagai Pusat

Kesehatan Paru terbaik di Kawasan Timur Indonesia.

3. Misi

a. Mendorong menjadi pusat rujukan wilayah Indonesia Timur dan

meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap keberadaan institusi.

49

Page 50: NATASYA KTI 2

b. Menciptakan situasi yang kondusif bagi terlaksananya kegiatan

pelayanan dan sebagai sarana pendidikan yang bermutu, merata kepada

semua stakeholder.

c. Meningkatkan kemampuan profesional SDM guna meningatkan mutu

pelayanan.

d. Mengembangkan pemanfaatan ilmu pengetahuan melalui riset dan

kerjasama perguruan tinggi dan institusi pendidikan kesehatan.

e. Menggalang kemitraan dengan pihak swasta, organisasi profesional,

ORNOP, dan organisasi kemasyarakatan yang lain.

4. Struktur Kepengurusan BBPKM Makassar

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5. 1 Hasil Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tentang Hubungan Pemeriksaan

Sputum BTA dengan Foto Toraks Pada Penderita TB Paru di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat, Makassar. Sampel dalam penelitian berjumlah 99

orang yang seluruhnya memenuhi criteria sampel dan telah didiagnosis TB paru.

Hasil yang didapat dari 99 sampel yang telah melakukan pemeriksaan dahak

Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) seperti terlihat pada tabel 5.1.

50

Kepala BBPKM Makassar

dr. Sriwati Palaguna Sp.A, MARS

Page 51: NATASYA KTI 2

Tabel 5.1

Karakteristik Hasil Pemeriksaan Sputum BTA

BTA Frekuensi Persentase

Negatif 69 69.69

Positif 30 29.7

Total 99 100.0

Sumber: Data Sekunder Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Makassar 2011

Tabel 5.1 menunjukkan dari 99 sampel yang terdiagnosa TB paru didapatkan

69 (69.69%) sampel dengan hasil negatif berdasarkan pemeriksaan sputum BTA,

dan 30 (29.7%) positif berdasarkan pemeriksaan sputum BTA.

Tabel 5.2

Karakteristik Kepositifan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA Pada Penderita TB

Paru

BTA Frekuensi Persentase Persentase Kumulatif

BTA + 1 23 82.14 23.2

BTA + 2 7 25 30.3

BTA + 3 0 0 0

Negatif 69 69.7 100.0

Total 99 100.0

Sumber: Data Sekunder Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Makassar 2011

51

Page 52: NATASYA KTI 2

Tabel 5.2 menunjukkan 23 sampel (82.14%) dengan BTA positif 1, 7 sampel

(25%) memiliki hasil positif 2, tidak ada sampel dengan hasil BTA positif 3, dan

69 sampel (69.7%) hasilnya negatif.

Tabel 5.3

Karakteristik Pembacaan Luas Lesi Hasil Pemeriksaan Radiologi Toraks Positif

TB Paru

Frekuensi Persentase Persentase Kumulatif

Minimal Lesi 19 20.65 37.4

Moderately Advanced 36 39.1 73.7

Far Advanced 37 40.21 92.9

Negatif 7 7.1 100.0

Total 99 100.0

Sumber: Data Sekunder Pasien Tuberkulosis Paru, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat.

Makassar 2011

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari 99 sampel yang diteliti, 92 sampel

(92.9%) dengan hasil pemeriksaan radiologi toraks positif, dan 7 sampel (7.1%)

dengan hasil pemeriksaan radiologi toraks negatif TB paru.

Dari 92 sampel yang memiliki hasil pemeriksaan radiologi toraks positif

dijumpai kelaianan luas lesi moderately advanced 36 (39.1%) sampel, sedangkan

untuk minimal lesi 19 (20.65%) sampel, dan far advanced 37 (40.21%) sampel.

Tabel 5.4

Hubungan Pemeriksaan Sputum BTA dengan Radiologi

BTA Total

52

Page 53: NATASYA KTI 2

BTA +1 BTA +2 Negatif

Radiologi Far advanced Count 10 1 23 34

Expected Count 7.9 2.4 23.7 34.0

Moderate advanced Count 6 3 39 48

Expected Count 11.2 3.4 33.5 48.0

Minimal lession Count 3 0 7 10

Expected Count 2.3 .7 7.0 10.0

Negatif Count 4 3 0 7

Expected Count 1.6 .5 4.9 7.0

Total Count 23 7 69 99

Expected Count 23.0 7.0 69.0 99.0

Sumber: Data Sekunder Pasien Tuberkulosis Paru, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat.

Makassar 2011

Tabel 5.4 menunjukkan dari analisis data terhadap 99 sampel penderita TB

paru, didapatkan hasil 69 sampel dengan BTA negatif dengan kelainan radiologi

minimal lesi sebanyak 7 sampel, moderately advanced 39 sampel, dan far

advanced sebanyak 23 sampel.

Pada BTA +2 dengan 7 sampel didapatkan radiologi negatif 3 (21.73%)

sampel, minimal lesi 0 sampel, moderately advanced 3 (3.4%) sampel, dan far

advanced 1 (2.4%) sampel.

Pada BTA +1 dengan 23 sampel didapatkan negatif pada foto radiologi toraks

4 (1.6%) sampel, minimal lesion 3 sampel (2.3%), moderately advanced 6

(11.2%), far advanced 10 (7.9%) sampel.

Berdasarkan data uji statisktik analisis chi-square dengan alternative uji

Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai Significancy 0.750, artinya p > 0.05

artinya hipotesis null diterima yang berarti tidak terdapat hubungan bermakna

53

Page 54: NATASYA KTI 2

antara hasil pemeriksaan sputum BTA dengan pemeriksaan radiologi toraks pada

penderita TB paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Makassar.

Tabel 5.5

Uji Chi-Square Untuk Hipotesis Komparatif

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-Square 26.671a 6 .000

Likelihood Ratio 24.981 6 .000

Linear-by-Linear Association 3.816 1 .051

N of Valid Cases 99

a. 7 cells (58,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,49 .

Tabel 2x3 ini tidak layak untuk diuji dengan uji Chi-Square karena terdapat 7

sel (58,3%) yang nilai expected-nya kurang dari lima (Tabel 4). Karena tidak

memenuhi syarat uji Chi-Square, maka uji yang dipakai adalah uji alternatifnya,

yaitu uji Kolmogorov-Smirnov.

Tabel 5.6

Uji Kolmogorov-Smirnov

Radiologi

Most Extreme Differences Absolute .292

Positive .292

Negative .000

Kolmogorov-Smirnov Z .676

Asymp. Sig. (2-tailed) .750

a. Grouping Variable: BTA

54

Page 55: NATASYA KTI 2

Tabel 5.6 di atas menunjukkan hasil uji Kolmogrov-Smirnov, dimana nilai

Significancy menunjukkan 0.750. Oleh karena p > 0.05, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa “tidak ada hubungan antara hasil pemeriksaan radiologi

dengan hasil pemeriksaan BTA sputum pada pasien tuberculosis”.

5. 2 Pembahasan

5.2.1 Karakteristik Hasil Pemeriksaan Sputum BTA Dan Karakteristik

Kepositifan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA Pada Penderita TB Paru

Diagnosa TB ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan

dahak, dengan perwarna Ziehl Neelsen BTA dapat dilihat di bawah mikroskop

sebagai kuman berwarna merah dengan latar belakang biru, berbentuk batang

ramping, dapat terlihat bersendiri, berbentuk V atau berkelompok. 17

Untuk pemeriksaan sputum BTA di bawah mikroskop dibutuhkan kuman

Micobacterium Tuberculosis jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam satu

milliliter dahak. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari

dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,

kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage / BAL), urin, feces, dan jaringan

biopsy (termasuk biopsy jarum halus/BJH). 18

Tabel 5.2 menunjukkan 82.14% dengan BTA positif 1, 25% memiliki hasil

positif 2, tidak ada sampel dengan hasil BTA positif 3, dan 69 sampel 69.7%

hasilnya negatif.

Untuk mendapatkan sputum yang baik dalam pemeriksaan terdapat metode

khusus untuk mengeluarkan secret yaitu salah satunya dengan cara batuk efektif.

55

Page 56: NATASYA KTI 2

Tekhnik batuk efektif merupakan tindakan yang dilakukan untuk memberisihkan

sekresi dari saluran nafas. Tujuan dari batuk efektif adalah untuk meningkatkan

ekpansi paru, mobilisasi sekresi dan mencegah efek samping dari retensi sekresi

seperti pneumonia, atelektasis dan demam.18

5.2.2 Karakteristik Pembacaan Luas Lesi Pemeriksaan Radiologi Toraks

Positif TB Paru

Hasil pemeriksaan radiologi yang telah dilakukan pada 99 sampel dengan

diagnose TB paru yaitu 92.92% dengan hasil positif dan 7.07% dengan hasil

negatif.

Hasil baca foto toraks pada pemeriksaan radiologi yang telah dilakukan pada

92 sampel yang positif TB paru secara radiologis yaitu lesi moderately advanced

(39.1%), far advanced (40.21%), dan untuk minimal lesi (20.65%).

Tanda radiologis khusus dan spesifik TB paru post primer adalah gambaran

adanya kavitas yang ditemukan pada 20-45% pasien. Kavitas ini menandakan

adanya proses aktif infeksi TB paru yang nantinya akan sembuh membentuk lesi

fibrotik. 19

Menurut data dari evidence based guide book, hanya 5% pasien TB paru

reaktif yang mempunyai foto toraks normal, sisanya abnormal. Sensitivitas dan

spesifisitas foto toraks dalam mendiagnosis TB yaitu 85% dan 83% apabila

ditemukan lesi apical, kavitas dan gambaran retikulonodular. 19

5.2.3 Hubungan Pemeriksaan Sputum BTA Dengan Pemeriksaan Radiologi

Toraks Pada Pasien Tuberkulosis Paru

56

Page 57: NATASYA KTI 2

Dalam penelitian ini memperlihatkan TB paru dengan hasil sputum negatif

juga didapatkan lesi luas secara radiologis. Pada lesi radiologi yang telah

mencapai stadium Far advanced didapatkan 23 pasien dengan hasil pemeriksaan

sputum BTA negatif, pada Moderately advanced didapatkan 39 pasien dengan

hasil pemeriksaan sputum BTA negatif.

Secara teori apabila dijumpai lesi luas secara radiologis seharusnya sputum

BTA positif dan berpotensi menular. 20

Penemuan BTA dalam sputum mempunyai arti yang sangat penting dalam

menegakkan diagnosis TB paru. Namun tidak mudah untuk menemukan BTA

tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil dari pemeriksaan

mikroskopis BTA, diantaranya adalah terlalu sedikit kuman, akibat dari

pengambilan sputum yang tidak adekuat, cara dan metode pemeriksaan yang tidak

adekuat, dan pengaruh pengobatan dengan pemberian obat anti tuberkulosis

(OAT). 20

Pada penelitian mengenai Efektifitas Batuk Efektif Dalam Pengeluaran

Sputum Untuk Penemuan BTA Pada Pasien TB Paru Di Ruang Rawat Inap RS.

Mardi Rahayu Kudus oleh Chrisanthus Wahyu Pranowo dikemukakan volume

sputum dari 30 responden, sebanyak 20 responden (66.66%) tidak dapat

mengeluarkan sputum dan hanya mengeluarkan ludah. 21

Dalam penelitian Pranowo (2006) menyatakan bahwa penting untuk

mendapatkan sputum yang benar, untuk itu diperlukan upaya untuk mendapatkan

sputum dengan ara melakukan batuk efektif. Tujuan batuk efektif adalah untuk

57

Page 58: NATASYA KTI 2

meningkatkan ekspansi paru, mobilisasi sekresi seperti pneumonia, atelektasis

paru, dan demam. Dengan batuk efektif penderita TB paru tidak harus

mengeluarkan banyak tenaga untuk mengeluarkan secret. Hasil dari penelitian

tersebut menunjukkan adanya efektivitas batuk efektif dalam pengeluaran sputum

untuk penemuan BTA untuk mendapatkan sputum yang benar pada penderita TB

paru. 20

Kuman BTA yang didapat dari pemeriksaan sputum, kemungkinan besar

dengan gambaran radiologi lesi paru terbuka. Namun, kelainan radiologi yang

ditemukan pada tuberculosis mirip dengan yang disebabkan oleh penyakit lain,

misalnya yang disebabkan oleh jamur, karsinoma bronkogenik primer, yang

memiliki predileksi khusus bagian lobus atas.21

Pada penelitian ini juga pada penelitian ini didapatkan 4 pasien dengan hasil

sputum BTA +1 dan 3 pasien dengan sputum BTA +2 yang mana semuanya

memiliki hasil pemeriksaan radiologi negatif (dengan diagnosis pneumonia dan

bronchopneumonia).

Pola radiologis pneumonia berupa gambaran air bronkhogram misalnya oleh

Streptococcus pneumonia. Bentuk lesi berupa kavitasi dengan air-fluid level

sugestif untuk abses paru, infeksi anaerob, gram negatif atau amiloidosis.

Pembentukan kista terdapat pada pneumonia nekrotikans / supurativa, abses, dan

fibrosis akibat terjadinya nekrosis jaringan paru oleh kuman S. aureus, K.

pneumonia, dan kuman-kuman anaerob (Streptococcus anaerob, Bacteriodes,

Fusobacterium). 2

58

Page 59: NATASYA KTI 2

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6. 1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Frekuensi hasil pemeriksaan sputum BTA di Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat Makassar Tahun 2011 mayoritas dengan hasil negatif.

2. Karakteristik kepositifan hasil pemeriksaan sputum BTA di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat Tahun 2011 adalah dengan hasil BTA +1.

3. Frekuensi dari hasil pemeriksaan radiologi toraks di Balai Besar Kesehatan

Paru Masyarakat Tahun 2011 mayoritas dengan radiologi positif.

59

Page 60: NATASYA KTI 2

4. Karakteristik pembacaan luas lesi dari hasil pemeriksaan radiologi toraks

positif TB di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat tahun 2011 adalah

dalam kategori Far Advanced.

5. Hasil penelitian tentang Hubungan pemeriksaan sputum BTA dengan

radiologi toraks di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar Tahun

2011 adalah tidak berhubungan.

6. 2 Saran

1. Masyarakat memiliki pemahaman yang cukup tentang faktor-faktor resiko

dari tuberkulosis paru dalam kehidupan sehari-hari.

2. Untuk mempercepat pengobatan, menghindari berlanjutnya penyakit ke

stadium yang lebih lanjut, serta menghindari komplikasi, masyarakat harus

lebih cepat dan sigap melakukan pemeriksaan tuberkulosis paru jika

menyadari adanya gejala klinis yang berhubungan dengan tuberkulosis paru.

3. Masyarakat lebih mengetahui bagaimana tata cara pengambilan sputum yang

adekuat, demi menghindari hasil pemeriksaan sputum BTA negatif palsu.

60