bab 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/s1-2013... ·...

52
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini, Indonesia dihadapkan pada masalah krisis identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. ( Nina, Identitas Khas Bangsa Indonesia. www.p2kp.org. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2012) Globalisasi bukan hanya soal ekonomi, namun juga terkait soal isu makna budaya (Barker, 2005). Kaum muda Indonesia seolah kehilangan identitas diri dengan mengaplikasikan budaya asing/barat dalam kehidupan sehari-hari tanpa proses penyaringan, mulai dari perubahan selera makan, gaya berbusana, sampai melazimkan gaya hidup pergaulan bebas. Kaum muda sebagai penerus bangsa perlu memantapkan identitasnya agar dapat menjawab tantangan globalisasi tanpa terjerumus pada pengaburan identitas. Persoalan identitas penting untuk dipelajari karena dengan mengetahui langkah-langkaH seseorang atau suatu komunitas mengalami perubahan identitas akan membantu menilai kemungkinan dari pengembangan individu atau komunitas itu sendiri (Goodenough, 1963). Melalui penelusuran proses pembentukan identitas, seorang individu, sebuah komunitas, atau masyarakat, akan terungkap sejauh mana usaha seseorang memperoleh kesadaran baru akan dirinya sendiri dan pandangannya.

Upload: doannguyet

Post on 03-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada era globalisasi ini, Indonesia dihadapkan pada masalah krisis

identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. ( Nina, Identitas Khas

Bangsa Indonesia. www.p2kp.org. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2012)

Globalisasi bukan hanya soal ekonomi, namun juga terkait soal isu makna budaya

(Barker, 2005). Kaum muda Indonesia seolah kehilangan identitas diri dengan

mengaplikasikan budaya asing/barat dalam kehidupan sehari-hari tanpa proses

penyaringan, mulai dari perubahan selera makan, gaya berbusana, sampai

melazimkan gaya hidup pergaulan bebas. Kaum muda sebagai penerus bangsa

perlu memantapkan identitasnya agar dapat menjawab tantangan globalisasi tanpa

terjerumus pada pengaburan identitas.

Persoalan identitas penting untuk dipelajari karena dengan mengetahui

langkah-langkaH seseorang atau suatu komunitas mengalami perubahan identitas

akan membantu menilai kemungkinan dari pengembangan individu atau

komunitas itu sendiri (Goodenough, 1963). Melalui penelusuran proses

pembentukan identitas, seorang individu, sebuah komunitas, atau masyarakat,

akan terungkap sejauh mana usaha seseorang memperoleh kesadaran baru akan

dirinya sendiri dan pandangannya.

Page 2: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

2

Sementara itu globalisasi yang melanda negara-negara Asia dalam bidang

ekonomi dan industri semakin berkembang pesat dan memunculkan perubahan

yang signifikan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Salah satunya yaitu

mengubah struktur kelas masyarakat. Perubahan struktur kelas tersebut berupa

munculnya lapisan sosial baru dalam masyarakat yaitu ‘kelas menengah’ (midlle

class) yang mana merupakan kelompok sosial sejahtera baru yang muncul karena

adanya perubahan industrial di Asia (Gerke, 2000 : 135).

Di Indonesia keberadaan kelas menengah dilatarbelakangi oleh

pembangunan ekonomi dan transformasi pendidikan sebagai akibat dari program

modernisasi yang dijalankan pemerintah Orde Baru. Syafii Anwar (1995)

menyebutkan dampak dari kemakmuran ekonomi dan transformasi pendidikan ini

adalah Indonesia memiliki sejumlah besar tenaga ahli (skilled man-power) yang

terdiri dari para manajer, para pekerja terlatih, para teknisi, para guru, dan dosen

yang berdedikasi tinggi, dan jenis-jenis SDM lainnya yang cukup kualified pada

tahun 1980-an (Hasbullah, 2007). Dengan berbagai profesi yang dimiliki

kelompok menengah maka kelas menengah terdidik ini kemudian menjadi

kelompok penting di birokrasi pemerintah dan juga di banyak sector swasta yang

ada (Nakamura 1993: 12 – 13).

Keberadaan kelas menengah tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekonomis

yaitu kesejahteraan menjadi dasar kemunculan mereka, namun secara cultural

gaya hidup kelas menengah ini juga menarik untuk dikaji. Gaya hidup kelas

menengah identik dengan budaya leisure time seperti shopping, wisata, dan

fashion yang menggambarkan bagaimana mereka menghabiskan waktu luang.

Page 3: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

3

Veblen dalam karyanya “Theory of the leisure class” menggambarkan bagaimana

kesejahteraan dan status sosial ditunjukkan melalui kegiatan konsumsi yang

mencolok, salah satunya yaitu melalui pakaian. Pakaian yang identik dengan

fashion merupakan symbol status yang dapat digunakan untuk mencitrakan gaya

hidup oleh kelompok kelas menengah.

Roach dan Eicher (1979) menyatakan bahwa fashion juga secara simbolis

dapat mengikat satu komunitas, kesepakatan sosial dalam suatu kelompok atas apa

yang akan dikenakan merupakan ikatan sosial itu sendiri yang pada gilirannya

akan memperkuat ikatan sosial lainnya. Fungsi mempersatukan dari fashion dan

pakaian berlangsung untuk mengkominukasikan keanggotaan suatu kelompok

cultural baik pada orang-orang yang menjadi anggota maupun yang bukan

(Barnard, 2002 : 83). Dengan kata lain fashion sebagai bagian dari gaya hidup

dapat memperkuat ikatan sosial bagi kelompok kelas menengah.

Gaya hidup menjadi cara bagi kelas menengah untuk memisahkan dirinya

dengan golongan kelas menengah bawah dalam masyarakat. Kelas menengah

mengkonstruksikan hirarki dengan mencipatakan dan mempromosikan gaya hidup

modern melalui konsumsi sebagai nilai yang mereka miliki. Gaya hidup menjadi

semakin penting sebagai cara integrasi sosial baru bagi kelas menengah di

Indonesia, dimana tidak hanya sebagai penanda identitas diri namun juga untuk

membangun dan menjaga keanggotaan dalam identitas kolektif sebagai anggota

kelas menengah. Sebagai bagian dari proses pembentukan kelas, maka produksi

gaya hidup tidak lagi hanya merupakan masalah personal melainkan telah

terhubung dengan pembangunan ikatan sosial dalam suatu kelompok yang

Page 4: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

4

bertujuan untuk membangun identitas kolektif. Dengan kata lain produksi

identitas kolektif dilakukan melalui gaya hidup dan keanggotaan dari suatu

kelompok kelas diekspresikan melalui presentasi gaya hidup tertentu (Gerke, 2000

: 146-151).

Salah satu media yang dapat digunakan untuk membentuk identitas dan

gaya hidup seseorang adalah pakaian/busana dalam hal ini adalah jilbab/hijab.

Pakaian merupakan salah satu media komunikasi yang memiliki peran serta

makna di dalamnya dan telah menjadi sebuah gaya hidup, bahkan ideologi. Fungsi

identitas pakaian meliputi identitas agama, sosial, budaya, dan sebagainya. Fungsi

dan makna tersebut yang membuat Thomas Carlyle, seorang ahli komunikasi,

melontarkan kata “I speak with my cloth”. (Ibrahim, 2007).

Jilbab sebagai simbol dan identitas perempuan islam (muslimah) sebagai

bentuk ketaatan perempuan dalam berpakain/berbusana juga tidak bisa berlepas

dari pengaruh ‘media’ dan ‘dunia populer’. Jilbab bukan lagi hanya sekedar kain

penutup aurat tapi juga mengalami perkembangan seperti pakaian lainnya dalam

dunia fashion. Jilbab sudah menjadi barang fashion sebagai tuntutan dari dunia

populer, yang pada akhirnya memposisikan busana sebagai “identitas” sekaligus

“kapitalisasi”. Ini merupakan perkembangan yang menarik, karena

dilatarbelakangi satu opini bahwa jilbab itu terbelakang, kampungan, tidak gaul,

terbelakang, dan gak fashionable. Inilah yang melatarbelakangi munculnya

sekelompok designer muslimah atau perkumpulan jilbaber dan beberapa

peragawati untuk mengubah pandangan tersebut dan meyakinkan pada

Page 5: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

5

masyarakat bahwa busana muslimah juga bisa modis, fashionable, tidak

mengurangi kreatifitas dalam berbusana dan tentu saja tetap sesuai syariat.

Dari komunitas untuk budaya, suku, hingga komunitas akan gaya hidup

dan fashion style. Seperti dilansir dalam fashion blog yakni Compagnons (2021),

komunitas yang selalu hangat dibicarakan dan paling menarik adalah komunitas

k-pop dan komunitas jilbab kontemporer seperti “Hijabers” yang dengan cepat

membuat sebuah tren berkerudung terbaru di Indonesia.

Komunitas-komunitas ini adalah sekumpulan orang yang ingin terlihat

sama dalam satu pandangan dalam bergaya dan berbusana. Yang dengan begitu

akan membantu manusia atau anggota mendapatkan identitas diri secara bersama

meskipun budaya yang dianut didalamnya bukan lagi budaya murni pribadi

melainkan telah terasimilasi oleh budaya yang dianut oleh komunitas tersebut.

Meski demikian, selalu ada perasaan penasaran dan gairah untuk bergabung dalam

setiap komunitas-komunitas yang ada. Menilik khusus komunitas fashion style

tadi, khususnya Hijabers ternyata adalah sebuah komunitas jilbab kontemporer

yang berisikan wanita-wanita muslimah cantik dengan pakaian atau jilbab yang

penuh gaya dan tidak biasa. Ada banyak wanita yang tertarik dan ingin bergabung

dalam komunitas tersebut. Buktinya, dalam akun twitter saja “Hijabers

Yogyakarta” tercatat 1.608 pengguna tertarik mengikuti atau menjadi followers

(bahasa dalam akun twitter yang berarti mengikuti suatu akun untuk terus

berhubungan dengan akun tersebut), sedangkan untuk akun facebook “Hijabers

Community Yogyakarta” mencapai hingga angka 17.352 yang telah bergabung

dalam grup. Angka ini hanya berlaku di sosial media, namun jumlah anggota yang

Page 6: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

6

sebenarnya untuk wilayah Yogyakarta mencapai 508 anggota Hijabers

Community Yogyakarta. Meski tidak sebanyak angka di sosial media, angka

ratusan ini tentunya cukup representatif menjelaskan bahwa Hijabers banyak

dilirik oleh para muslimah di kota Yogyakarta.

Hal ini karena sebagian besar gaya berbusana para muslimah Hijabers

berkiblat dari budaya luar yang disebar oleh media elektronik dan media massa

seperti sosial media atau jejaring sosial, majalah elektronik dan lain sebagainya.

Atas kehendak media pula lah, gaya hijabers ini menjadi gaya nasional masa kini

yang kemudian fenomena ini disebut budaya populer atau fashion style dalam

berjilbab.

Srinati (Bing Tejo, 2007) menemukakan bahwa budaya populer adalah

budaya yang lahir atas kehendak media. Artinya, jika media mampu memproduksi

sebuah bentuk budaya, maka publik akan menyerapnya dan menjadikannya

sebagai sebuah bentuk kebudayaan. Populer yang dibicarakan di sini tidak terlepas

dari perilaku konsumsi dan determinasi media massa terhadap publik yang

bertindak sebagai konsumen.

Budaya populer inilah yang mampu menembus batas demografis

indonesia, bahkan agama dan setiap detiknya memberikan gambaran budaya pop

kepada khalayak ramai. Baik cetak maupun elektronik, budaya pop mengalir deras

mempengaruhi masyarakat untuk ikut arus dalam setiap perubahannya.

Page 7: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

7

Budaya pop ini pun dengan cepat mengubah pola pikir masyarakat dengan

bantuan media massa. Khusus untuk perempuan yang notabene sangat

memperhatikan penampilan, hegemoni budaya pop benar-benar mensuguhkan

banyak hal untuk menjadi lebih proaktif dalam berpakaian dan gaya hidup.

Sedikit mengingat, bahwasannya, budaya pop atau popular culture adalah

budaya pertarungan makna di mana segala macam makna bertarung

memperebutkan hati masyarakat. Budaya pop seringkali diistilahkan sebagai

budaya praktis, prakmatis, dan instan yang menjadikan ciri khas dalam pola

kehidupan (Bing Tedjo,2007). Budaya pop untuk pakaian perempuan berjilbab

yang dibawa oleh Hijabers dan digemborkan oleh media massa tentunya

memberikan pergeseran makna akan bagaimana gaya busana muslimah atau

perempuan berjilbab dahulu dan kini. Sejatinya jilbab menurut agama Islam

adalah hal yang wajib hukumnya bagi perempuan untuk menutupi aurat yakni

rambut, dada, dan bagian tubuh lainnya. “Hendaklah mereka (perempuan muslim)

menutupkan khumur (kerudungnya) ke dadanya.” (Al-Qur’an, An Nuur :31).

Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian yang menutupi segenap

anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa. Terbuat dari kain

dengan potongan yang sederhana. Serta diupayakan untuk tidak berlebihan dalam

memakai aksesoris atau perhiasan yang mengundang perhatian orang lain.

Namun, pada perkembangannya kini, persepsi penggunaan jilbab itu sendiri tidak

lagi sederhana. Hijabers memperkenalkan gaya terbaru dalam berjilbab yang

selanjutnya untuk mengubah pola pikir perempuan berjilbab bahwa mereka pun

Page 8: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

8

mampu tampil modis, chic dan stylish dan menjadi tidak sederhana lagi seperti

konsep sebelumnya.

Agaknya gambaran seperti ini tercermin pada kehidupan di lingkungan

komunitas Hijabers Yogyakarta. Di mana pada saat ini dapat dengan mudah kita

temui perempuan muslim para Hijabers di lingkungan kita mengenakan jilbab

kontemporer/hijab dalam aktivitas keseharian mereka. Lantas bagaimana mereka

mereka memahami esensi jilbab kontemporer/hijab dalam mengkomunikasikan

identitas muslimah itu sendiri? Bagaimana kemudian mereka memaknai jilbab

kontemporer/hijab sebagai bagian dari diri/identitas mereka? Lebih jauh mengenai

fenomena tren jilbab kontemporer/hijab ini dengan dinamika fashion (busana) di

mana adanya keinginan untuk tampil modern dan up date (kebutuhan life style)

saat ini. Di sini penulis tidak ingin menggambarkan jilbab kontemporer ini dari

sudut pandang keagamaan tetapi meninjaunya dari sudut pandang kebudayaan.

Fenomena jilbab dan perkembangannya di dunia Islam khususnya di

Indonesia merupakan satu topik yang sangat menarik untuk diteliti dalam

kaitannya dengan modernitas, identitas dan kontestasi makna ‘jilbab’ yang kini

marak diperkenalkan dengan ‘hijab’ oleh sebuah komunitas yang

memperjuangkan jilbab bagi kaum perempuan muslim. Melihat hal ini, penulis

kemudian mencoba melakukan penelitian lebih jauh yang selanjutnya mengambil

judul skripsi “Gaya Hidup dan Pembentukan Identitas Hijabers Yogyakarta

sebagai Potret Kelas Menengah Muslim Perkotaan.”

Page 9: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

9

B. Rumusan Masalah

Kemunculan kelas menengah di Indoensia diikuti dengan fenomena yang

menarik yaitu bangkitnya semangat kehidupan beragama (Hasbullah, 2007).

Vatikitiotis (dalam Hasbullah, 2007) menyatakan “kebangkitan kembali kepada

semnagat keagamaan pada tahun 1980-an dan 1990-an adalah fenomena khas

kelas menengah di wilayah-wilayah perkotaan – segmen masyarakat yang paling

banyak tersentuh oleh pembangunan ekonomi dan perubahan sosial. Fenomena ini

berpengaruh luas pada meningkatnya ketaatan beragama pada orang-orang Islam

yang sedang menikmati kemakmuran sebagai kelas menengah”. Mengapa

peningkatan kesejahteraan dan posisi ekonomi membawa masyarakat ekonomi

kelas menengah di perkotaan tersebut kea rah yang lebih Islami?

Hefner (dalam Hasbullah, 2007) menyatakan bahwa “peningkatan

ekonomi masyarakat berdampak pada terjadinya kekecewaan terhadap penurunan

moral serta disintegrasi sosial terutama di wilayah perkotaan. Hal itu memicu

terjadinya kebangkitan Islam di kalangan kelas menengah dimana Islam dilihat

sebagai kunci untuk menjaga etika dan kedisiplinan masyarakat ditengah

modernisasi dan kerusakan social order yang ada di sekitarnya.”

Salah satu fenomena yang menandai keeksisan kelompok kelas menengah

pada orientasi Islam salah satunya ditandai dengan peningkatan popularitas jilbab

dan perkembangan mode jilbab. Menurut Brenner (1996) gerakan kebnagkitan

Islam pada tahun 1970-an ditandai dengan praktik berjilbab yang semakin popular

di kalangan perempuan Jawa terutama pada para perempuan muda kelas

Page 10: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

10

menengah terpelajar. Perkembangan popularitas jilbab tersebut tidak hanya

didasari oleh masyarakat Indonesia yang memang mayoritas beragama Islam,

meski demikian secara kuantitas penduduk tidak cukup mendorong

berkembangnya jilbab di Indonesia karena jilbab justru baru berkembang di tahun

1990-an. Oleh karena itu perkembangan popularitas jilbab harus dilihat dari

adanya keterkaitan antara dimensi relijius dengan dimensi sosial dan kultural.

Keberadaan kelas menengah muslim dengan kemampuan mereka untuk

mengonsumsi budaya leisure time seperti fashion turut menunjang perkembangan

jilbab di Indonesia, teruatama di wilayah perkotaan dimana kelas menengah

tumbuh dari adanya pembangunan ekonomi di perkotaan. Golongan kelas

menengah ini mencari ‘Islam yang cocok dengan gaya hidupnya’ dimana ingin

tetap relijius namun tidak meninggalkan kemodernan. Kebutuhan kelas menengah

Islam tersebut difasilitasi oleh kemmapuan pasar yang selalu dapat beradaptasi

dengan apa saja termasuk jilbab dan busana muslim, maka muncullah jilbab dan

busana muslim yang lebih fashionable dengan berbagai model yang siap

dikonsumsi oleh golongan atas dan menengah muslim. Meskipun pada awal

kemunculannya, gaya-gaya dan desain-desain tersebut relative mahal dan hanya

bisa dikonsumsi oleh orang kaya saja tapi saat ini karena permintaan pasar yang

senkain luas dan adanya strategi pasar yang dapat membuat jilbab dengan

berbagai desain dengan harga yang lebih murah maka kepopuleran jilbab semakin

meluas di berbagai kalangan masyarakat.

Esensi awal jilbab yaitu sebagai simbol keagamaan yang menunjukkan

identitas dan relijiusitas kelompok Muslim, namun pada kenyataannya kini

Page 11: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

11

menurut Religh (2004) bahwa jilbab telah menjadi suatu kebudayaan popular dan

mendorong kecenderungan jilbab tidak hanya sebagai simbol yang mencerminkan

identitas agama namun jilbab/hijab juga dapat menjadi identitas kolektif bagi

kelompok. Salah satu kelompok yang menjadikan jilbab sebagai identitas

kolektifnya adalah Hijabers Community.

Hijabers Community memproklamirkan dirinya sebagai komunitas jilbab

pertama di Indonesia. Kiprahnya kini menjadi trendsetter jilbab dan busana

muslim bagi muslimah muda di Indoensia khususnya di wilayah perkotaan. Hal

inilah yang mendorong keingintahuan peneliti tentang bagaimanakah kelompok

tersebut merepresentasikan gaya hidup mereka dengan menggunakan jilbab dan

busana muslim yang merupakan simbol agama dan relijiusitas seorang muslimah.

Apakah unsur keagamaan dapat tercermin dalam praktik berjilbab dan berbusana

yang merupakan aktivitas gaya hidup mereka, ataukah jilbab dan busana muslim

dalam kelompok ini hanya dijadikan simbol status yang mencerminkan

kesejahteraan ekonomi dan posisi sosial mereka? Pemikiran tersebut mengarahkan

pada pertanyaan selanjutnya yaitu bagaimana Hijabers Community

merepresentasikan dan bernegosiasi terhadap agama, fashion dan budaya?

Tak dipungkiri, fashion atau penampilan bagi seorang perempuan memang

memegang peranan penting. Oleh karena itu banyak kaum hawa yang terinspirasi

oleh komunitas Hijabers. Belakangan muncullah pelabelan, gaya berjilbab dan

berbusana ala Hijabers. Toko-toko pakaian dan kerudung dengan cepat diserbu

oleh banyak perempuan yang berhasrat membeli banyak kerudung kemudian

mengkreasikannya dan tampil di depan umum seperti perempuan-perempuan

Page 12: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

12

dalam komunitas Hijabers. Sebuah identitas baru kemudian ingin ditampilkan dan

dipamerkan dari individu-individu dalam komunitas Hijabers.

Selain itu keberadaan Hijabers merupakan fenomena yang unik karena

keberadaannya adalah bentuk dari sebuah negosiasi terhadap budaya berjilbab

sebelumnya yang cenderung terlihat kolot dan kurang fleksibel dan juga terhadap

budaya fashion popular lain yang tak kalah marak yaitu hot pens, tang-top, dan

baju-baju seksi lainnya yang terlihat mengumbar aurat/tubuh.

Dari deskripsi fenomena jilbab diatas dapat dikaji bahwa jilbab sebagai

salah satu tren fesyen yang sedang berkembang saat ini membawa perubahan

seseorang dalam memaknai jilbab dan fashion statement seseorang. Perburuan

tentang gaya dan model terkini dengan segala aksesoris, aksen, dan bahan yang

digunakan berpotensi menciptakan ruang, pasar ekonomi baru juga bentuk

identitas serta gaya hidup modern baru di kalangan menengah perkotaan.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan yang menjadi masalah yaitu :

a. Bagaimana Hijabers Community mengkonstruksikan dan

merepresentasikan jilbab/hijab dan busana muslim sebagai simbol gaya

hidup dan identitas muslimah kalangan menengah perkotaan?

b. Bagaimana peran Hijabers Community dalam mensyiarkan nilai-nilai

Islami pada komitenya?

Page 13: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

13

C.Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

C.1.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah :

a. Menjelaskan tentang bagaimana Hijabers Community menempatkan hijab

dan busana muslim sebagai simbol kolektif, agama dan status di

perkotaan.

b. Menggali peran Hijabers Community dalam perkembangan syiar Islam

modern.

C.2.Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian “Gaya Hidup dan Pembentukan Identitas Hijabers

Yogyakarta sebagai Potret Kelas Menengah Perkotaan” adalah sebagai berikut :

a. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa, pemerintah,

maupun masyarakat umum mengenai busana dan gaya hidup muslimah

perkotaan berlatarbelakang kelas menengah serta dinamikanya yang

menjadikan busana untuk merepresentasikan posisi sosialnya.

b. Dengan melihat berbagai penelitian yang ada, skripsi ini mengisi

kesenjangan yang ada terkait dengan studi tentang jilbab di Indonesia yang

kini telah menjadi bagian dari fashion di Indonesia.

c. Sebagai bahan bacaan, literatur dan referensi untuk penelitian selanjutnya.

Page 14: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

14

D. Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa studi yang pernah dilakukan

terdahulu terkait dengan masalah jilbab di Indonesia yang menjadi acuan

kerangka pemikiran dalam penelitian ini.

D.1 Busana Muslim dan Kebudayaan Populer di Indonesia: Pengaruh dan

Persepsi (Raleigh, 2004)

Penelitian Raleigh (2004) di Malang dilakukan dengan tujuan menjelaskan

bagaimana jilbab dan busana muslim menjadi popular dan dapat diterima di

Indonesia serta menemukan pengalaman maupun alasan-alasan para pemakai

jilbab. Dalam penelitiannya, Raleigh (2004) memaparkan sejarah perkembangan

jilbab dan busana muslim di Indonesia serta bagaimana gaya berjilbab di

Indoensia yang cenderung berbeda dengan negara Timur Tengah yang merupakan

pusat asal jilbab. Gaya berjilbab yang lebih dinamis dan bergaya di Indonesia

dipengaruhi lingkungan politik dan budaya Indonesia yang lebih terbuka,

sedangkan di negara Timur Tengah gaya berjilbabnya cenderung tidak berubah.

Perkembangan jilbab debagai budaya popular di Indonesia dipengaruhi konteks

politik, agama, sosial dan ekonomi yang ada sejak kebangkitan Islam pada tahun

1980-an.

Dari segi politik dan sosial, pada saat itu jilbab dan busana muslim

dijadikan sebagai symbol gerakan perlawanan terhadap keadaan di Indonesia. Dan

dalam perkembangannya jilbab dan busana muslim justru lebih diterima dalam

politik dan sosial. Sedangkan dari sisi agama, popularitas jilbab mulai meningkat

Page 15: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

15

disebabkan oleh masyarakat Indonesia sekarang yang ingin terlihat sebagai

muslim yang taat dan lebih religious. Selanjutnya dari segi ekonomi, yang

berubah adalah dimana pada masa lalu busana muslim yang modis untuk orang

kaya saja. Namun dalam perkembangannya gaya berbusana yang modis bukan

hanya milik kalangan tertentu saja tapi mampu merambah ke semua kalangan.

Pergeseran sosial-politik, ekonomi, dan budaya di Indoensia memungkinkan

pakaian muslim dan bentuknya yang modis serta dinamis sekaligus sebagai sarana

untuk menemukan diri dan mengekspresikan identitasnya sebagai perempuan

muslim.

Temuan dari penelitian ini berupa, gambaran perkembangan jilbab dan

busana muslim dari segi produksi, distribusi, dan konsumsi serta dipersepsikan

oleh kebanyakan muslimah di Indonesia. Produksi busana muslim yaitu dari

perancang dan penjahit, distribusi yaitu dari penjual busana muslim, media cetak

seperti buku dan majalah serta iklan produk, juga sisi konsumsi, yaitu para

mahasiswa berjilbab. Dari sisi produksi perkembangan jilbab sebagai budaya

popular di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh munculnya lembaga-lembaga

seperti APPMI yang juga mempopulerkan busana muslim dalam lingkungan

mode di Indonesia, dan gaya mode itu sudah punya derajat yang sama dengan

gaya-gaya mode pakaian biasa. Sedangkan dari sisi distribusi ternyata distribusi

busana muslim meningkat karena telah menjadi suatu industry besar. Pedagang,

media massa seperti majalah dan iklan juga fashion show menyumbang dalam

perkembangan jilbab sebagai budaya popular di Indonesia dengan menampilkan

citra bagaimana tetap terlihat cantik dan modis walaupun berjilbab dengan

Page 16: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

16

menggunakan produk-produk tertentu dan dikonstruksikan sebagai kebutuhan

bagi para muslimah yang berjilbab. Terakhir dari sisi konsumsi, bagi para

pemakainya menikmati praktik berjilbab dan walaupun busana muslim sudah

menjadi popular di Indonesia, tetapi masih melindungi arti-arti agama-bukan

mode saja atau dengan kata lain tidak mengurangi makna jilbab sebagai siombol

yang memiliki makna keagamaan.

Hasil dari penelitian ini yaitu jilbab telah menjadi suatu kebudayaan

popular, dalam arti sebagai komoditas dan pengalaman yang diterima dan

dinikmati perempuan Indonesia dan pemakaianya memperoleh kesenangan dari

tindakan berjilbab yang “modis”. Penelitian Raleigh (2004) berkonstribusi sebagai

landasan pemikiran mengenai sejarah perkembangan jilbab dan busana muslim di

Indoensia serta pihak yang berperan didalamnya. Selain itu juga menjelaskan

bagaimana konteks sosial dan budaya mempengaruhi gaya berjilbab di Indonesia

cenderung lebih berbeda dengan jilbab di negara lain.

Keterbatasan penelitian ini tidak melihat adanya kemunculan kelas

menengah muslim yang berperan dalam popularisasi jilbab pada masyarakat

Indonesia dan juga meningkatkan industry jilbab dan busana muslim. Oleh karena

itu pada penelitian yang saya lakukan berusaha untuk menunjukkan peran

kelompok menengah muslim yang berperan dalam popularisasi jilbab di

masyarakat Indonesia.

Page 17: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

17

D.2 Pemakaian Jilbab sebagai Identitas Kelompok : Studi kasus terhadap

Mahasiswa Perempuan Fakultas X Universitas Y (Susiana, 2005)

Penelitian mengenai jilbab sebagai identitas kelompok dilakukan Susiana

(2005) secara kualitatif pada mahasiswa fakultas X Universitas Y di Jakarta yang

belum berjilbab saat masuk ke fakultas tersebut sebagai subyek penelitian utama

dengan mengambil 3 orang mahasiswi sebagai subyek utama dan 5 mahasiswi

sebagai subyek pendukung. Tujuan penelitian untuk mengetahui penggunaan

jilbab sebagai identitas kelompok serta bagaimana kaitan pemahaman ajaran

agama dengan motovasi seseorang untuk berjilbab.

Hasil penelitian ini yaitu ajaran agama ternyata bukan merupakan factor

yang dominan mendorong seorang individu untuk mengenakan jilbab, melainkan

lebih dipengaruhi oleh lingkungan sosial seperti orang yang paling dekat dan

berpengaruh (significant other) seperti pacar dan teman. Kebutuhan untuk

melakukan konformitas dan berafiliasi dengan kelompoknya serta lingkungan

sosialnya yang mayoritas menggunakan jilbab mendorong individu untuk

mengenakan jilbab.

Penelitian ini memaparkan cara menjadikan jilbab sebagai identitas

kelompok yaitu dapat melalui sosialisasi dari mentor dalam kegiatan kelompok

yang mana merupakan agen sosialisasi pentingnya pemakaian jilbab menurut

ajaran Islam dan terdapat kecenderungan menjadikan jilbab sebagai identitas

kelompok di fakultas X melalui aktivitas agama yang selalu berkaitan dengan

masalah jilbab. Kecenderungan ini menjadikan jilbab sebagai suatu identitas

Page 18: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

18

kelompok yang dilakukan melalui berbagai kegiatan mahasiswa yang

mengarahkan para anggotanya untuk menggunakan jilbab.

Pengarahan anggota kelompok untuk menggunakan jilbab menghasilkan

du akelompok yang berbeda. Anggota yang bersedia melakukan konformitas

dengan kelompok yang tadinya tidak berjilbab menjadi berjilbab tidak mengalami

masalah berarti yang berkaitan dengan kelompoknya. Namun di sisi lain naggota

kelompok yang tidka bersedia melakukan konformitas mengalami masalah karena

dianggap ‘pembelot’ oleh anggota kelompok lainnya. Hal tersebut membuatnya

merasa tidak nyaman dengan kelompoknya dan menimbulkan sikap antipasti

terhadap kelompok tersebut.

Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Susiana (2005) menunjukkan

pemakaian jilbab tidka hanya sebagai penutup aurat yang diperintahkan dalam

Islam. Namun juga memiliki makna simbolis sebagai penanda atau pembeda

antara mahasiswa perempuan fakultas X dengan mahasiswa perempuan lainnya.

Penelitian Susiana (2005) memberikan kontribusi sebagai landasan

pemikiran bagaimana jilbab yang merupakan bagian dari busana bagi para

muslimah dapat dijadikan identitas kelompok sebagai pembeda dengan kelompok

lainnya. Selain itu memberikan landasan pemikiran tentang bagaimana identitas

kelompok berperan dalam menanamkan nilai kepad aanggotanya termasuk dalam

hal berbusana.

Keterbatasan pada penelitian ini adalah kurang menyoroti nilai relijiusitas

yang tertanam pada anggota dari pemakaian jilbab akibat identifikasi diri anggota

Page 19: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

19

terhadap kelompok. Pada penelitian yang disusun Susiana (2005) menjelaskan

bahwa pemaksaan jilbab pada anggota sebagai identitas kelompok didasari oleh

tujuan penanaman nilai Islam, namun hasil penelitian Susiana (2005) kurang

menjelaskan bagaimana pemaknaan anggota terhadap nilai-nilai relijiusiats yang

ditanamkan oleh kelompok dalam hal berbusana, yaitu dalam praktik berjilbab.

Oelh karena itu penelitian yang saya lakukan berusaha menggali bagaimana peran

kelompok dalam menanamkan nilai-nilai Islam termasuk dalam hal berbusana.

D.3 Islamic Pop Culture in Indonesia (Saluz, 2007)

Penelitian Saluz (2007) dilakukan terhadap mahasiswa Universitas Gadjah

Mada (UGM) selama 7 bulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Islam

sebagai buday apopuler dan bagaimana prktik yang berbeda-beda dalam berjilbab

sebagai ekspresi dari budaya pop terutama dalam masyarakat urban.

Saluz (2007) memaparkan adanya perbedaan praktik Islam yang salah

satunya dari perbedaan gaya berjilbab dimana tidka ada konsesus tentang standar

jilbab seharusnya, dimana dalam penelitiannya ditemukan dan terdapat 3 kategori

kelompok dalam gaya berjilbab yaitu kelompok berjilbab cadar, kelompok jilbab

panjang yang biasanya menggunakan rok dan kelompok jilbab trendi. Saluz

(2007) juga menjelaskan bahwa muncullnya model berjilbab yang trendi

ditimbulkan dari proses hibridasi yaitu proses interaksi budaya antara local

dengan global, hegemoni dan subaltern, sentral dengan periferi. Oleh karena itu

Saluz (2007) melihat bahwa fenomena jilbab ini harus dilihat dari perspektif

Page 20: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

20

berbeda yang saling berhubungan dimana dimensi relijius harus dikaitkan dengan

dimensi sosial dan kultural.

Penlitian Saluz (2007) juga menjelaskan bagaimana konteks sejarah,

kebijakan pemerintah, media massa, situasi ekonomi dan gender berperan dalam

pembentukan budaya popular Islam dan perkembangan jilbab. Dari segi sejarah

sejak zaman colonial Belanda jilbab sudah mulai dikenal namun hanya dipakai

pada acara tertentu saja dan umumnya yang memakai hanya santri. Pada saat itu

jilbab menyimbolkan kelas sosial dan relijius yang tinggi dimana biasanya orang

yang memakai jilbab adalah orang-orang yang telah melakukan ibadah haji,

sedangkan pada masa orde lama sempat terjadi pelarangan pemakaian jilbab di

sekolah-sekolah. Barulah pada masa orde baru masyarakat mulai bebas berjilbab

dan popularitas jilbab meningkat hingga memasuki dunia fashion Indonesia

dimana bermunculan koleksi busana muslim yang dipamerkan dalam koleksi

terbaru para perancang busana. Pada era reformasi, jilbab semakin berkembang

dan mulai merambah ke media massa dimana makin banyak munculnya majalah

muslim denagn target konsumsi anak muda, film dan iklan pun mulai rame

menampilkan perempuan berjilbab. Saluz(2007) menyatakan bahwa media massa

memiliki peran penting dalam membuat jilbab menjadi trendi secara umum dan

membuat image Islam menjadi friendly dan sociable.

Media massa yang berbasis Islam setelah reformasi semakin banyak dan

menmapilkan artis berjilbab, mereka menjadi ikon dari identitas muslim saat ini.

Jilbabpun menjadi lahan pasar baru, berkembnagnya berbagai produk islami

seperti ragam pakaian muslim yang diiringi gencarnya media dan iklan

Page 21: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

21

menimbulkan kebutuhan konsumsi akan model jilbab dan pakaian muslim terbaru

untuk membentuk identitas muslim.

Selain itu penelitian Saluz (2007) juga menggambarkan bagaimana

muslimah muda berperan aktif dalam mengkonstruksikan identitasnya salah

satunya lewat gaya berjilbab. Ajaran Islam mungkin memberikan ketentuan yang

kuat yang harus diikuti oleh para anak muda muslim namun terdapat aspek lain

yang harus dinegosiasikan oleh para anak muda muslim tersebut sehingga

tindakan mereka tertutama dalam berjilbab tidak hanya memperhatikan aspek

agamanya saja. Begitupun dalam hal gaya hidup, muslimah muda tidak hanya

memperhatikan unsure Islam namun juga tidak terlepas dari paktik gaya hidup

modern.

Saluz (2007) juga memyatakan bahwa terjadi perkembangan makna dari

jilbab itu sendiri dimana sebagai symbol yang kuat dengan konotasi relijius,

namun ternyata terjadi kontestasi dalam makna jilbab trendi yang kini lebih

menjadi aksesori fashion saja dan kehilangan konotasi agamanya akibat proses

hibridasi. Jilbab dimanfaatkan untuk membangun identitas serta citra yang baik

bagi pemakainya dan menimbulkan destabilisasi makna dari jilbab.

Penelitian yang dilakukan Saluz (2007) cukup komprehensif dalam

memaparkan perkembangan jilbab di Indonesia, perubahan gaya hidup para

muslimah muda serta perubahan makna jilbab. Penelitian ini berkontribusi dalam

memberikan landasan pemikiran mengenai konteks sosial perkembangan jilbab di

Indonesia, menjelaskan bagaimana munculnya berbagai gaya berjilbab serta

Page 22: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

22

bagaimana identitas anak muda dapat dikonstruksi melalui gaya berbusana yang

dikenakannya termasuk dengan jilbab. Namun keterbatasan penelitian Saluz

(2007) adalah kurang mampu menjelaskan bagaimana gaya berjilbab dan praktik

konsumsi gaya hidup western pada para muslimah muda dikonstruksikan sebagai

symbol status yang mengarah pada identitas kelas sosial. Oleh karena itu pada

penelitian yang saya lakukan berusaha menjelaskan bagaimana gaya berjilbab

dapat menjadi simbol agama seklaigus simbol status yang dapat direpresentasikan

posisi sosial pemakainya beserta gaya hidup seperti apa yang ada didalamnya.

Kesimpulan dari ketiga studi mengenai jilbab diatas, secara umum

berkontribusi menjadi landasan pemikiran dalam 3 aspek yaitu : (1) sejarah

perkembangan jilbab dan busana muslim di Indoensia (2) konteks sosial dan

budaya mempengaruhi gaya berjilbab di Indoensia cenderung lebih berbeda

dengan jilbab di negara lainnya (3) jilbab dapat menjadi identitas kelompok

sebagai pembeda dengan kelompok lainnya. Namun terdapat 2 hal yang menjadi

keterbatasan pada studi-studi sebelumnya yaitu : (1) kurang menyorot kemunculan

kelompok menengah muslim yang berperan dalam popularisasi jilbab dan

perubahan gaya hidup yang terjadi pada masyarakat muslim di Indonesia (2)

mayoritas studi mengenai jilbab hanya membahas jilbab sebagai simbol agama

saja. Belum banyak studi yang mneyoroti perubahan makna pada jilbab yang kini

juga menjadi simbol status bagi kelompok kelas tertentu. Oleh karen aitu, studi ini

berusaha mengkaji keberadaan kelompok kelas menengah muslim terkait dengan

popularisasi jilbab dan berusaha menjelaskan bagaimana perubahan pemaknaan

pada jilbab dan busana muslim.

Page 23: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

23

E. Kerangka Pemikiran

E.1 Gaya Hidup

Perkembangan teknologi semakin pesat, membuat angan bukan lagi

sebuah mimpi atau khayalan bukan lagi imajinasi, penampilan modern menjadi

sebuah life style yang menjadi kebutuhan gengsi. Gaya hidup dapat dijelaskan

sebagai penggunaan waktu, ruang, uang dan barang karakteristik sebuah

kelompok masyarakat. Pola-pola tersebut dimuati dengan tanda dan makna

simbolik tertentu, yang menciptakan perbedaan (difference) antara satu kelompok

dengan kelompok lainnya” Gaya hidup selanjutnya merupakan cara-cara terpola

dalam menginvestasi aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai

sosial atau simbolik, tapi ini juga berarti bahwa gaya hidup adalah cara bermain

dengan identitas.

Bagaimana orang membentuk dan menampilakan gaya hidupnya? Apakah

gaya hidup dan perlengkapannya hanya sekedar masalah selera, seperangkat

tingkah laku, dan benda yang disukai, atau lebih jauh dari itu, merupakan

representasi dari kepribadian manusia? Apakah gaya hidup hanya berkaitan

dengan kehidupan individu atau mencerminkan norma dan nilai yang ada dalam

masyarakat?

Banyak pertanyaaan yang ada berkenaan dengan gaya hidup mengingat

fenomena ini belakangan banyak mendapat perhatian besar seiring makin

beragamnya perwujudan gaya hidup ditampilkan oleh berbagai kelompok dalam

masyarakat. Sosiologi menjadikan gaya hidup sebagai pintu masuk untuk

Page 24: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

24

memahami pengaruh nilai dan norma sosial dalam diri individu. Dalam psikologi

sosial gaya hidup dipahami sebagai adaptasi aktif individu terhadap kondisis

social dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk manyatu dan bersosialisasi

dengan orang lain, misalnya; cara berpakain, konsumsi makanan, cara kerja, dan

lain-lain. Kepribadian dianggap sebagai penentu gaya hidup, dan oleh karena

kepribadian setiap manusia unik, gaya hidup-pun unik. Gaya hidup dipahami

sebagai tata cara hidup yang mencerminkan sikap-sikap dan nilai dari seseorang.

Menurut Chaney (2011) gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern

atau yang biasa juga disebut modernitas, gaya hidup digunakan oleh siapapun

yang hidup sebagai suatu cara kehidupan yang khas dijalani oleh kelompok sosial

tertentu dimana di dalamnya terdapat perilaku yang ekspresif dan dapat dikenali

mellaui pola-pola tindakan yang membedakan anatar satu orang dengan orang

lain. Melalui gaya hidup dapat membantu memahami apa yang orang lakukan,

mengapa mereka melkaukannya dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi

dirinya maupun orang lain. Pola gaya hidup dapat dicirikan oleh 3 elemen (Blyton

et al. 2009 : 141), yaitu : (1) aktivitas individual dalam menghabisakan waktu;

bersama siapa dan apa yang dikonsumsi dalam aktivitas tersebut; (2) makna, nilai

dan seberapa pentingnya aktivitas, (3) objek yang dikonsumsi.

Sedangkan menurut Robinson (1977) aktivitas individu yang menjadi

elemen gaya hidup dibatasi oleh 2 kategori waktu yaitu waktu ‘wajib’ dan waktu

‘bebas’ (dikutip dari Wilson, 1980: 22). Waktu ‘wajib’ merupakan wkatu yang

digunakan untuk melaksanakan aktivitas seperti bekerja, mengurus pekerjaan

rumah, mengurus rumah tangga, mengurus anak, memenuhi kebutuhan fisiologis

Page 25: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

25

seperti makan dan tidur, serta melakukan perjalanan yang dibutuhkan seperti

perjalanan mneuju kantor atau sekolah. Sedangkan pada wkatu bebas, individu

sudha terlepas dari kativitas yang merupakan kewajibannya sehingga dapat diisi

dengan aktivitas yang dapat ditentukannya sendiri. Istilah wkatu bebas ini

selnajutnya pada penelitian ini disebut dengan istilah ‘waktu luang’.

Waktu luang tersebut diartikan bahwa individu tidak merasakan tekanan

ekonomi, hukum, moral dan desakan sosial serta keperluan fisiologis sehingga

dapat secara leluasa memanfaatkan waktu ini untuk berbagai keperluan yang

ditentukannya sendiri (Surya, 2007 : 176). Dalam konteks gaya hidup, kativitas

waktu luang menjadi signifikan menggambarkan gaya hidup yang dimiliki

seseorang. Hal tersebut disebabkan dari pilihan individu dalam aktivitas waktu

luang yang ditentukannya sendiri mencerminkan minat dan seberapa pentingnya

makna aktivitas tersebut bagi dirinya.

Robinson (1977) mengklasifikasi aktivitas yang dilakukan pada waktu

luang tersebut menjadi : (1) aktivitas organisasi (partisipasi pada organisasi

tertentu, menghadiri kegiatan organisasi), (2) mengkonsumsi media massa

(menonton film, membaca buku atau majalah, internetan, mendengarkan radio),

(3) sosialisasi dan rekreasi (bertemu teman/kerabat, bepergian, berolahraga,

menjalankan hobi, relaksasi) (dikutip dari Wilson, 1980 : 22).

Menurut Wilson (1980) aktivitas waktu luang terkait dengan beberapa

faktor yaitu pendapatan, pekerjaan, pendidikan. Tingkat pendapatan yang dimiliki

akan menentukan jumlah uang yang digunakan dalam aktivitas waktu luang,

Page 26: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

26

selain itu pendapatan membentuk perilaku dalam menghabiskan waktu luang

karena individu hanya akan terbatas pada aktivitas yang sesuai dengan

kemampuan ekonominya. Pendidikan memilikiasosiasi positif dengan pengejaran

kativitas waktu luang dan terkait dengan jangkauan pilihan aktivitas waktu luang.

Oleh karen aitu semkain tinggi pendidikan maka akan semakin tinggi pengejaran

akan aktivitas waktu luang dan pilihan aktivitas waktu luangnya pun semaki

banyak. Sedangkan pekerjaan berkorelasi dengan pilihan aktivitas waktu luang.

Contohnya orang-orang yang memiliki pekerjaan berprestise tinggi seperti kaum

professional-manajerial akan memilih aktivitas wkatu luang yang mempunyai

nilai prestise pula seperti bermain golf atau berkuda.

Dari penjelasan di atas, maka kelompok kelas menengah memiliki peluang

untuk mengkonsumsi berbagai keperluan dalam kativitas waktu luang karena

memiliki pendidikan dan pekerjaannya yang memungkinkan untuk mendapatkan

pendapatan yang memadai/lebih. Orientasi kelas menengah ini tidak lagi pada

pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari, namun cenderung bergeser pada

kebutuhan tersier seperti mengikuti trend fashion, membeli gadget keluaran

terbaru atau liburan ke luar negeri. Hal tersebut tentu berbeda dengan kelas

bawah, pemanfaatan waktu luang cenderung didisi dengan bekerja untuk

memenuhi kebutuhan primer. Pemanfaatan waktu luang dengan rekreasi adalah

barang mewah bagi kelas bawah.

Selain dilihat dari pilihan aktivitas waktu luang, objek yang dikonsumsi

pada aktivitas waktu luang juga merupakan elemen penting dalam

menggambarkan gaya hidup. Bourdieu dalam “Distinction” menyatakan bahwa

Page 27: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

27

tujuan utama dari konsumsi yaitu menjadi eksis dalam ruang sosial. Bordieu

(1984) juga menjelaskan bahwa struktur konsumsi terbagi menjadi 3 berdasarkan

objeknya yaitu : konsumsi makanan, konsumsi cultural, serta konsumsi

penampilan. Sedangkan pada penelitian ini lebih difokuskan pada konsumsi

penampilan.

E.2 Konsumsi Penampilan

Perkembangan budaya konsumen telah mempengaruhi cara-cara

masyarakat mengekspresikan estetika dan gaya hidup. Dalam masyarakat

konsumen, terjadi perubahan mendasar berkaitan dengan cara-cara orang diri

dalam gaya hidupnya. David Chaney bahwa gaya hidup telah menjadi cirri dalam

dunia modern, sehingga masyarakat modern akan menggunakan gaya hidup untuk

menggambarkan tindakannya sendiri dan orang lain.

Definisi life style-gaya hidup saat ini menjadi semakin kabur. Namun,

dalam kiatannya dengan budaya konsumen, istilah tersebut dikonotasikan dengan

individualitas, ekspresi diri serta kesadaran diri yang stylistik. Tubuh, gaya

pembicaraan, busana, aktivitas rekreasi dsb adalah beberapa indicator dari

individualitas selera konsumen.

Gaya hidup adalah salah satu bentuk budaya konsumen. Karena memang,

gaya hidup seseorang bisa dilihat dari apa-apa yang dikonsumsinya, baik

konsumsi barang atau jasa. Secara literal, konsumsi berarti pemakaian komoditas

untuk memuaskan kebutuhan dan hasrat. Konsumsi tidak hanya mencakup

kegiatan membeli sejumlah barang (materi), dari televise hingga mobil, tetapi juga

Page 28: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

28

mengkonsumsi jasa seperti pergi ke tempat hiburan dan berbagai pengalaman

sosial.

Menurut Baudrillard (2004), konsumsi bukan sekedar nafsu untuk

membeli begitu banyak komoditas, satu fungsi kenikmatan, satu fungsi individual,

pembebasan kebutuhan, pemuas diri, kekayaan, atau konsumsi objek. Konsumsi

berada dalam satu tatanan pemaknaan pada satu “panoply” objek; satu sistem,

atau kode, tanda. Konsumsi merupakan system yang menjalankan urutan tanda-

tanda dan penyatuan kelompok. Jadi konsumsi itu sekaligus sebuah moral (sebuah

sistem nilai ideologi) dan sistem komunikasi, struktur pertukaran.

Sementara itu kegiatan mengkonsumsi yang lekat dengan wanita adalah

konsumsi pakaian. Disini konsumsi pakaian menjadi sesuatu yang menarik

dibicarakan. Keberadaan pusat-pusat kota yang sekaligus menjadi pusat kapitalis

menjadi simbol di masa sekarang. Sekarang orang tidak lagi mengumpulkan

dedaunan, kulit pohon, ataupun kulit binatang sebagai bahan utama pakaian tetapi

kini dengan mudah mendapatkannya di toko pakaian atau online shop. Disini

dapat kita lihat bahwa terdapat fakta yang disebut kekonkritan (concreteness) oelh

Douglas dan Isherwood, dimana benda-benda memiliki peran sebagai sumber

identitas sosial dan pembawa makna sosial, karena benda-benda mampu

menciptakan atau menggerakkan asumsi-asumsi dan keyakinan budaya yang

menjadikan keyakinan menjadi relaitas (Lury, 1998: 17).

“Benda-benda diberi nilai pemaknaan oleh sesama konsumen, setiap

orang adalah sumber penilaian dan subyek penilaian; setiap individu berada

Page 29: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

29

dalam skema klasifikasi dengan diskriminasi yang ia ciptakan sendiri. Satu dunia

yang mereka ciptakan bersama dibangun dari komoditas yang dipilih untuk

kemampuan merekan dalam menandai peristiwa, seperti hari kelahiran,

pernikahan, dan pemakaman, dalam skala bertingkat yang sesuai.” Dalam

masyarakat konsumen (Douglas dan Isherwood 1979 : 75 dalam Lury : 17).

Konsumsi penampilan dapat dimanifestasikan malalui busana. Barnard

(2009) menjelaskan bahwa busana menjadi komoditas yang difetishkan dalam

masyarakat kapitalis, yang mana mengarah pada relasi sosial dimana terdapat

peran dan status sosial berdasarkan atas apa yang kita kenakan. Dengan

meminjam istilah Marx, Barnard menjelaskan bahwa fashion merupakan suatu

“hiroglif sosial” yang berfungsi untuk mengkomunikasikan posisi sosial

pemakainay sehingga menjadi cara yang paling signifikan yang dapat

mengkonstruksi, mengalami serta memahami relasi sosial.

Sedangkan Rouse menyatakan pakaian sebagai indikator nyata yang mana

busana/pakaian dapat menunjukkan posisi status ekonomi seseorang. Rouse

menunjukkan bahwa label dan logo adalah salah satu cara untuk menunjukkan

daya beli seorang konsumen (dalam Barnard : 158). Label serta merk pakaian

terkenal dengan harga yang mahal dapat membawa efek prestisius dan

meneguhkan posisi sosial dan ekonomi yang tinggi bagi yang mampu membelinya

karena komunikasi visual melalui fashion dapat mengekspresikan “lebih”

dibandingkan komunikasi verbal Barnard, 2009 : 25).

Page 30: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

30

Seperti yang dinyatakan oleh Roach dan Eicher “menghias seseorang bisa

merefleksikan hubungan dengan system produksi yang merupakan karakteristik

ekonomi tertentu yang didalamnya orang itu tinggal” (Roach dan Eicher, 1979 :

13) maka dapat disimpulkan bahwa gaya berbusana dapat digunakan untuk

mengkomunikasikan posisi sosial, bagaimana dan pakaian apa yang digunakan

akan merefleksikan dari kelompok kelas mana individu tersebut berasal dan gaya

hidup seperti apa yang ada di dalamnya. Konsumsi penampilan yang dalam hal ini

dimanifestasikan dengan busana, lebih banyak dilakukan oleh perempuan

dibandingkan laki-laki dan tingkat pembelian meningkat sesuai dengan hirarki

sosial (Bordieu, 1984 : 201).

Objek atau barang yang dikonsumsi dapat berguna sebagai sumber

distingsi. Distingsi tersebut berasal dari nilai ekslusivitas yang terkandung

didalam objek atau barang yang dikonsumsi. Apabila tidak semua orang memiliki

maka barg tersebut mengidentifikasikan pemiliknya sebagai anggota klub kecil

(mereka yang tahu/ those who are in the know) dan membedakan dengan mereka

dari massa (mereka yang tidak tahu menahu (those who don’t have a clue).

Distingsi tersebut menimbulkan inklusivitas seklaigus ekslusivitas dimana

menyatukan mereka yang dapat memiliki kemampuan konsumsi serupa dan

membedakan dengan orang kebanyakan (dikutip dari Ferica, 2006).

Page 31: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

31

E.3 Busana dan Identitas Sosial

Dalam masyarakat modern, semua manusia adalah performer. Setiap orang

diminta untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka sendiri. Gaya

pakaian, dandanan rambut, segala macam asesoris yang menempel, selera musik,

atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan adalah bagian dari pertunjukkan

identitas dan kepribadian diri. Kita bisa memilih tipe-tipe kepribadian yang kita

inginkan lewat contoh-contoh kepribadian yang banyak beredar di sekitar kita –

bintang film, bintang iklan, penyanyi, model, bermacam-macam tipe kelompok

yang ada atau kita bisa menciptakan sendiri gaya kepribadian yang unik, yang

berbeda, bahkan jika perlu yang belum pernah ada. Menurut Giddens, (1991: 53)

menyatakan bahwa identitas diri bukanlah sifat distingtif atau bahakan kumpulan

sifat-sifat yang dimiliki oleh individu. Ini adalah diri yang dipahami secara

refleksif oleh orang dalam konteks biografinya. Giddens juga menyebut identitas

sebagai proyek, maksudnya adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang kita

ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak maju ketimbang sesuatu

yang datang kemudian. Sedangkan Weeks (1990 : 89) identitas adalah soal

kesamaan dan perbedaan, tentang aspek personal dan sosial, tentang kesamaan

anda dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan anda dari orang lain.

Diri adalah salah satu bentuk keberadaan manusia, perwujudan dari meng-

ada-nya dalam sebuah dunia. Gaya hidup, tak akan padat dilepaskan dari diri yang

meng-ada dan eksis dalam gaya hidup tersebut. Jika dulu Martin Heidegner

pernah mempersoalkan pendapat Rene Descartes yang mengatakan “Saya berpikir

maka saya ada”, yang menurut Heidegner lebih tepat “Saya ada, maka saya

Page 32: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

32

bergaya”. Manusia di dunia, mengalami keterlemparan (faktizitat) di satu kultur

yang memaksanya untuk bergaya.

Manusi bergerak dalam tanda-tanda yang berkemampuan melekatkan pada

dirinya suatu diskursus tertentu yang mampu meminjaminya sebuah identitas.

Pada tataran kehidupan tertentu , diskursus ini menjadikan gaya hidup ketika

diambil dan diangkat dalam kesadaran berperilaku. Gaya hidup, dengan demikian

memanifestasikan dirinya selalu dalam ranah kesadaran. Meski dorongan bergaya

bisa jadi memang berasal dari ranah ketidaksadaran. David Chaney pernah

mengatakan bahwa gaya hidup adalah seperangkat praktik dan sikap yang masuk

akal dalam konteks tertentu (David Chaney, Lifestyle: Sebuah Pengantar paling

Komprehensif, terj. Nuraeni, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2004, hlm. 41).

Lain lagi bagi Sobel yang mengatakan bahwa gaya hidup adalah “setiap cara

kehidupan yang khas, dan karena itu dapat dikenali”. Gaya hidup berjalan sebagai

seperangkat ekspektasi yang bertindak sebagai suatu bentuk kontrol terkendali

terhadap munculnya ketidakpastian sosial masyarakat massa (mass society)

(David Chaney, Lifestyle: Sebuah Pengantar paling Komprehensif, terj. Nuraeni,

Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2004, hlm. 50). Dari sinilah memunculkan dua

macam mainstream gaya hidup, yaitu yang mengikuti arus gaya hidup global

(diferensiasi) dan yang melawan/ resisten terhadap gaya hidup global (alternatif).

Manusia bisa memilih untuk mengambil identitas atau justru membuat identitas

baru.

Dalam teori identitas sosial, seorang individu tidaklah dianggap sebagai

individu secara mutlak satu dalam kehidupannya. Individu merupakan bagian dari

Page 33: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

33

kelompok tetentu baik disadari maupun tidak disadari. Konsep identitas sosial

adalah bagaimana seseorang itu secara sosial dapat didefinisikan. Giddens (2005)

menyatakan bahwa dengan sosialisasi individu dapat mengembangakan identitas

dan kemampuan berpikir yang independen dalam tindakannya.

Konsep identitas dalam sosiologi adalah hal multi makna, dan dapat

didekati dengan beberapa cara. Secara garis besar, identitas berkaitan dengan

pemahaman orang mengenai siapa mereka dan apa yang bermakna bagi mereka.

Beberapa sumber utama identitas meliputi jenis kelamin, orientasi seksual,

kebangsaan atau etnis, dan kelas sosial. Ada dua jenis identitas yang sering

dibicarakan para ahli sosiologi menurut Giddens yakni identitas sosial dan

identitas diri (atau identitas pribadi). Bentuk-bentuk identitas yang dianalitis

berbeda, tetapi terkait erat satu sama lain.

Identitas sosial mengacu pada karakteristik yang dikaitkan dengan

individu oleh orang lain di mana hal ini kerap terjadi pada individu dalam

kelompok. Ini dapat dilihat sebagai penanda yang menunjukkan siapa, dalam arti

dasar, orang itu. Pada saat yang sama, mereka menempatkan orang tersebut dalam

kaitannya dengan orang lain yang berbagi atribut yang sama. Identitas social itu

melibatkan dimensi kolektif. Identitas bersama didasarkan pada seperangkat

tujuan bersama, nilai-nilai atau pengalaman dapat membentuk dasar penting

untuk gerakan social.

Jika identitas sosial menandai cara di mana individu adalah sama seperti

orang lain, identitas diri (atau identitas pribadi) membedakan seseorang sebagai

Page 34: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

34

individu berbeda. Identitas diri mengacu pada proses pengembangan diri melalui

mana seseorang merumuskan rasa yang unik dari diri sendiri dan hubungan

dengan dunia sekitar.

Giddens menyebutkan, gagasan tentang identitas diri sangat menarik pada

karya interaksionis simbolik. Proses interaksi antara diri dan masyarakat

membantu untuk menghubungkan dunia individu pribadi dan publik.

Giddens berpendapat bahwa saat ini seseorng memiliki kesempatan untuk

membuat atau menciptakan identitasnya sendiri. Individu adalah sumber daya

terbaik bagi individu itu sendiri dalam mendefinisikan siapa, dari mana berasal ,

dan ke mana ingin menghabiskan waktu luangnya. Keputusan yang seseorang

ambil dalam kehidupan sehari-hari mengenai apa yang akan dikenakan,

bagaimana membuat identitas seseorang itu sendiri. Dunia modern memaksakan

kesadaran, kesadaran diri manusia, dan terus-menerus menciptakan dan

menciptakan kembali identitas diri dan sosial.

Dalam menciptakan identitas diri maupun identitas sosial, seseorang

ataupun komunitas bisa saja menitikberatkan pada pilihan busana dan gaya hidup.

Jonh Berger (Ibrahim, 2007) mengatakan, “Pakaian kita, model rambut, dan

seterusnya adalah sama tingkatannya dan digunakan untuk menyatakan identitas

kita.” Hal ini turut ditegaskan Kellner (Ibrahim, 2007)bahwa sejatinya fashion,

pakaian, busana adalah bagian penting dari sebuah gaya, tren, serta penampilan

sehari-hari yang sesungguhnya mampu memberikan pencitraan kepada identitas

pemakainya. Thomas Carlyle (Ibrahim, 2007) pun mengatakan, “I speak through

Page 35: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

35

my clothes.” Yang berarti bahwa seseorang mampu berbicara lewat apa yang

dikenakannya.

Memilih apa yang dikenakan merupakan bagian dari gaya hidup

seseorang. Sebab, pemilihan busana menyangkut bagaimana seseorang dalam

kesehariannya yang pada akhirnya akan membentuk identitas pemakainya. Untuk

busana muslimah misalnya di mana perkembangannya mampu membentuk

identitas agama seseorang. Ibrahim (2007) melihat ada kekeyaan semiotic fashion

muslim(ah) dengan melihat dri cara, gaya, dan corak serta aksesoris pakainnya.

“…Bagi muslim dalam Indonsia kontemporer, pakaian tidak hanya menjadi

pernyataan identitas religious keislaman seseorang, pakaian juga adalah

bagian penting dari ungkapan kemodern-an sikap dan gaya hidup sebagai

muslim yang trendi dan selalu mengikuti perkembangan fashion. (…) Fashion

dipandang menawarkan model dan materi untuk mengkonstruksi identitas.”

(Idi Subandy Ibrahim, 2007)

Bagi Ibrahim, dalam dunia muslim, busana yang dikenakan mampu

menafsirkan banyak makna seperti identitas, selera, pendapatan, dan religiusitas

pemakainya. Hal ini juga dikarenakan bahwa pergeseran selera busana yang

mencerminkan pribadi seseorang juga merambah kalangan menengah atas.

Pergeseran ini turut terjelaskan oleh Paul B Horton dan Chestern L Hunt

(Amiruddin Ram dan Tita Sobari, 1996), yang menanggapi pemikiran Bogardus

(1950) yang menjelaskan bahwa mode atau fashion sama dengan gaya, tetapi

mengalami perubahan lebih lambat dan bersifat tidak terlalu sepele, serta

kemunculannya cenderung bersiklus. Artinya, dunia fashion terbaru hanya akan

berjaya dalam kurun waktu tertentu. Untuk menjadi sebuah petunjuk bagi

Page 36: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

36

perempuan khususnya untuk selalu memberikan kreasi terbaru dalam penampilan.

Untuk muslimah, pergeseran selera pakaian adalah sebuah keharusan.

Busana sudah mencerminkan gaya hidup dan prestise tertentu. Sama

halnya ketika busana memasuki dunia fashion show yang semakin akrab ditemui

di tempat-tempat prestisius seperti hotel berintang dan mal yang mewah yang

dimaksudkan untuk melambangkan kemodernan gaya hidup dalam beragama.

Gaya hidup ini akhirnya menandakan karakteristik akan lahirnya identitas social.

Dalam buku Bukan Dunia Berbeda, Sosiologi Komunikasi Islam karya Dr.

Nur Syam (2005) dijelaskan seseorang lebih menyukai simbol-simbol identitas

yang melambangkan keindahan (estetika) daripada subtansi identitas yang

menempel berdasarkan atas fungsi-fungsi yang realistik. Banyaknya rumah-rumah

mewah yang terdapat di kota-kota adalah contoh bekerjanya sistem estetika di

kehidupan masyarakat.

Ia melihat bahwa ternyata komersialisasi dan estetika kehidupan itu

semakin kentara ketika melihat berbagai fenomena performansi dan gaya

berpakaian terutama di kalangan perempuan. Karena, dewasa ini terlihat semakin

banyak ibu-ibu dan gadis-gadis muda yang berpakaian dengan cara yang

dianggapnya sebagai pakaian yang islami. Yang lebih menarik, ada upaya untuk

mengaktualkan identitas islam itu melalui berbagai tradisi berpakaian.

Nur Syam menyadari bahwa gaya berpakaian islami pun telah memasuki

paradoks globalisasi. Di satu sisi seseorang ingin menampilkan gaya berpakaian

islam dengan jilbab sebagai penutup kepala, tetapi di sisi yang lain penonjolan

Page 37: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

37

ekspresi tubuh juga tetap kentara dalam hal ini keindahan oleh kasat mata. Jilbab

modis yang kontemporer telah menjadi tren yang digemari kalangan perempuan

hakikatnya menjadi contoh bekerjanya sistem global paradoks yang sangat

menonjol.

Hal ini kemudian bisa saja menimbulkan distorsi pemahaman untuk

lahirnya identitas akan gaya hidup dan busana. Michael Pusey (2011) berpendapat

bahwa pemahaman merupakan hal-hal yang potensial universal yang ada dalam

komunikasi dan tindakan social sehari-hari individu atau kolektif. Pemahaman

yang terdistorsi secara sistematis balik memperlihatkan struktur struktur sosial

yang terdistorsi secara sistematis. Artinya, seorang muslimah yang memilih

berbusana dengan corak mewah misalnya tidak hanya akan dipandang sebagai

muslimah yang modis tetapi juga bisa saja memunculkan pemahaman yang

berlebihan dan negatif. Menurut Chaney (Ibrahim, 2007)setiap perilaku baik

individu atau kelompok akan membentuk suatu identitas sosial. Terlepas identitas

tersebut sifatnya positif atau negatif.

E.4 Definisi Jilbab

Rachel Wooslock (2000) dalam tulisan Muslim Feminist And The Veil: To

Veil Or Not To Veil – Is that The Question? Menjelaskan definisi ‘Jilbab’

berdasarkan Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern, sebagi kata benda yang

mengacu pada penutup, bungkus, tirai, tabir, layar, atau partisi. Dalam arikelnya

Woodlock mengatakan bahwa ketika ‘Jilbab’ digunakan dalam konteks Al-

Qur’an, maka jilbab itu sendiri memiliki makna di mana sebuah benda yang

Page 38: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

38

memisahkan antara yang kudus dan yang biasa. Woodlock juga menulis definisi

jilbab dalam bahasa daerah muslim kontemporer yang merujuk pada:

- Pakaian sederhana

- Keseluruhan penampilan seorang wanita yang tertutupi oleh kain seluruh

tubuhnya ketika bertemu dengan bukan saudara kandungnya. Dengan

pengeculian wajah, kedua tangan dan untuk sebagian wanita

menampakkan kakinya. Kain yang digunakan bersifat tidak khas, longgar

dan buram.

- Filosofi berpakaian dan bertindak dengan rendah hati.

Menurut fadwa El Guindi (Nuvida Raf, 2005), lebih menekankan jilbab

pada kata hijab. Guindi berpendapat bahwa arti hijab adalah sinonim dari kata

jilbab yang berarti penutup, pembungkus, tirai, dan partisi.

“In order to make it easy to comprehend, hijab in this paper refers to a

head-scraft that covers head, neck and breast of a woman. The meaning of

hijab recently is synonym to veil. As fadwa El Guindi suggest hijab

translates as cover, wrap, curtain, screen, partition.” (Nuvida Raf, 2005)

Di Indonesia kata jilbab merujuk pada corak pakaian Islam tertentu,

namun seringkali maknanya tidak konsisten. Ada yang memahami jilbab sebagia

penutup kepala itu sendiri, ada pula yang memaknainya sebagai pakaian komplit.

Terlepas dari pemahaman yang tidak konsisten tersebut, hijab/jilbab berorientasi

makna sebagai pakaian perempuan muslimah, dan terkait dengan agama Islam.

Namun menurut Fedwa El Guindi dalam bukunya yang berjudul Jilbab, jilbab

mengandung arti yang lebih luas, yaitu:

Page 39: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

39

a) Kain panjang yang dipakai perempuan untuk menutup kepala, bahu, dan

kadang-kadang muka,

b) Rajutan panjang yang ditempelkan pada topi atau tutup kepala wanita,

c) Bagian tutup kepala biarawati yang melingkari wajah terus hingga ke bawah

sampai menutupi bahu; kehidupan/sumpah biarawati, dan

d) Secarik tekstil tipis yang digantung untuk memisahkan atau menyembunyikan

sesuatu yang ada dibaliknya; sebuah gorden.

Raleight (Nuvida Raf, 2005) dalam tulisan My Veil A Spiritual Journey

yang menyimpulkan bahwa saat ini perempuan Indonesia yang mengenakan jilbab

telah menjadi fenomena umum. Model-model jilbab kini beragam dan lebih

modern karena tersedia dalam beragam warna dan bentuk. Hijab digunakan oleh

muslimah dri kelas bawah sampai atas.

“…As a result nowadays, the view of Indonesian womwn who wear veil

becomes a common phenomenon. The model veils are various and modern

in term of colours and decoration. Hijab is worn by muslim women from

the lower class to the high class. It seems tht wearing hijab is popular

culture in Indonesia.” (Nuvida Raf, 2005)

E. Metodologi Penelitian

Page 40: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

40

F. Metodologi Penelitian

Metodologi yang penulis gunakan adalah dengan pendekatan kualitatif

berpedoman pada paradigma interpretif. Paradigma Interpretif mengadopsi

pandangan konstruktivis melihat realitas sosial terletak pada ide, persepsi,

kepercayaan masyarakat mengenai suatu realita. Untuk memahami kehidupan

sosial, peneliti, harus memahami bagaimana masyarakat mengkonstruksikan

realitas sosial (Neuman, 2000). Oleh karena itu peneliti harus berinteraksi

langsung dengan obyek yang akan diteliti. Interaksi secara langsung dengan obyek

yang diteliti meminimalisir jarak antara peneliti dengan untuk membantu

memahami realitas sosial sehingga data yang didapat lebih lengkap dan

mendalam.

Oleh karena itu pendekatan kualitatif dan interaksi secara langsung dengan

obyek yang diteliti dipilih pada penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi

secara lengkap dan mendalam mengenai Potret jilbab pada Hijabers Community

Yogyakarta, pemaknaan mengenai gaya hidup. Secara keseluruhan, cultural

studies lebih memilih metode kualitatif dengan focus pada makna budaya. Di

mana metode penelitian kualitatif itu berusaha memahami situasi, menafsirkan

serta mengambarkan suatu peristiwa atau fenomena keadaan objek yang terjadi di

masyarakat dalam hal ini komunitas Hijabers di kota Yogyakarta.

F.1Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini penulis lakukan sejak akhir bulan Agustus 2012 rencana

hingga Oktober 2012. Lokasi yang diambil adalah kota Yogyakarta. Lokasi

Page 41: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

41

penelitian yang penulis fokuskan tidak berpusat pada satu tempat saja. Hal ini

dikarenakan informan yang menjadi target penulis berada pada lingkungan yang

berbeda serta tempat perkumpulan komunitas ini tidak berpusat pada satu titik

saja.

F.2 Dasar Tipe Penelitian

Dalam penalitian ini digunakan metode penelitian kualitatif sebagai

prosedur penelitian yang berusaha memberikan gambaran mengenai obyek yang

diamati atau diteliti, atau suatu tipe penelitian yang bertujuan membuat deskriptif

atau gambaran secara sistematis dan aktual mengenai fakta-fakta yang ada di

lapangan.

Sedangkan dari segi waktu, penelitian ini merupakan studi kasus yaitu tipe

pendekatan penelitian yang penelaahannya terdapat satu kasus yang dilakukan

dengan mengumpulkan berbagai data untuk mendapatkan gambaran secara

mendalam dan mendetail. Pada penelitian studi kasus, peneliti memilih kasus

tertentu untuk menggambarkan suatu isu dan mempelajarinya dengan detail dan

mempertimbangkan konteks spesifik pada tiap kasus (Neuman, 2000). Pada

penelitian studi kasus, peneliti menggali secara mendalam suatu kasus yang

terbatas pada suatu waktu dan aktivitas, mengumpulkan informasi mendetail

menggunakan berbagai prosedur pengumpulaan data dalam berbagai prosedur

pengumpulan data dalam periode waktu tertentu (Cresswell, 2003). Oleh karena

itu penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana Hijabers

Community dengan jilbab sebagai simbol kolektifitasnya tidak hanya

Page 42: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

42

menyimbolkan nilai agama namun juga merepresentasikan gaya hidup dari

kelompok kelas menengah di wilayah perkotaan.

Sedangkan bila dilihat berdasarkan manfaat, penelitian ini dapat

dikategorikan sebagai penelitian murni atau basic research. Penelitian murni ini

ditujukan bukan bukan untuk kepentingan pihak tertentu melainkan untuk

menyumbangkan pemikiran menjawab permasalahan yang ingin diketahui oleh

peneliti dan menyumbangkan pengetahuan teoritis dasar. Dalam konteks ini,

penelitian didasari ketertarikan mengenai fashion dan gaya hidup namun dilihat

secara sosiologis. Dengan pemikiran penelitian ini diharapkan dapat menambah

wawasan pengetahuan teoritis khususnya mengenai kajian gaya hidup di mana

fashion menjadi salah satu bagiannya, oleh karena itu juga diharapkan penelitian

ini dapat berkontribusi terhadap kajian gaya hidup serta sosiologi fashion yang

masih sangat terbatas terutama di Indonesia.

F.3 Unit Analisis

Unit analisis penelitian adalah kelompok, yaitu Hijabers Community

Yogyakarta. Walupun Hijabers Community menyatakan dirinya sebagi

komunitas, namun secara sosiologis Hijabers Community Yogyakarta merupakan

sebuah kelompok asosiasi. Kelompok asosiasi didefinisikan sebagai kelompok

yang memiliki kesamaan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, di mana

para anggotanya terdapat hubungn sosial (kontak dan komunikasi) dan diikat oleh

ikatan organisasi formal (Sunarto, 2000). Hijabers Community Yogyakarta

terbentuk karena memiliki kepentingan yang sama kesamaan tujuan tersebut yaitu

Page 43: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

43

pemenuhan kebutuhan utama individu dan anggota pembentuk kelompok dalam

masyarakat. Alasan dipilihnya Hijabers Community Yogyakarta karena kelompok

ini menjadikan jilbab sebagai simbol kolektifnya dan kegiatannya. Melalui gaya

berbusana, kelompok ini merepresentasikan gaya hidup muslimah perkotaan. Hal

tersebut mendorong peneliti menggali lebih mendalam tentang kelompok ini.

F.4 Sumber Data

Kiprah suatu kelompok tidak terlepas dari peran para pendirinya oleh

karena itu dengan menggunakan teknik purposive sampling memilih komite yang

merupakan pendiri Hijabers Community Yogyakarta menjadi informan dalam

penelitian ini. Purposive sampling digunakan karena smapel diambil sesuai

dengan kriteria tertentu untuk mendapatka pemahaman secara menyeluruh tentang

masalah dalam penelitian ini. Informasi yang didapatkan langsung dari informan

akan menjadi data primer pada penlitian ini. Kriteria informan dalam penelitian

ini didasarkan pada (1) terlibat sejak awal terbentuknya Hijaber Community,

untuk dapat dapat menggambarkan proses berdirinya Hijabers Community

Yogyakarta serta perkembangannya hingga kini, (2) posisi dalam struktur

kepengurusan, untuk dapat menggambarkankelompok secara menyeluruh serta

dapat mewakili pendapat dan pemikiran dari keseluruhan komite, (3) pekerjaan,

untuk mengetahui relasi sosial antara para komite yang bekerja di bidang fashion

dan non-fashion serta mengetahui keterkaitan pekerjaan dengan gaya hidup yang

dimiliki (4) status pernikahan, untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan gaya

hidup antara komite yang belum menikah dengan yang sudah menikah.Kriteria-

kriteria ini diharapkan dapat menggambarkan keragaman dari keseluruhan komite

Page 44: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

44

Hijabers community Yogakarta dengan dinamnika kelompok beserta gaya hidup

yang ada di dalamnya.Berdasarkan kriteria tersebut, peneliti menyeleksi kemudian

menentukan sumber data. Informan utama pada penelitian ini sebagai berikut :

Tabel F.4.1 Deskripsi Informan Utama

Nama AW DL AWT AP NFR

Usia 32 tahun 34 tahun 24 tahun 22 tahun 23 tahun

Status Sudah

menikah

Srdah

menikah

Belum

menikah

Belum

menikah

NFRA

Posisi Penggagas

dan mantan

ketua Hijabe

Yogyakarta

Penggagas

dan wakil

ketua Hijabe

Yogyakarta

Ketua

Hijabe

Yogya

sekarang

Sekretaris

Hijabe

Yogyakart

a

Anggota

Komite

hijabe

Yogyakart

a

Pekerjaan Ibu rumah

tangga,

director di

MLM

Oriflwme

dan

memiliki on

line shop

Wirausaha

(pemilik

restaurant)

dan memiliki

label juga

butik fashion

sendiri

Mahasiswi Mahasiswi

dan model

Mahasiswi

dan

pemilik

butik di

Yogya

Keteranga

n

Kini sedang

mengandung

7 bulan

(anak

pertama)

dan

berdomisili

di daerah

Banguntapa

n. Ibunya

seorang

pengusaha

konveksi

dan sampai

sekarang

masih

menalankan

usahanya.

Kini

memiliki 2

orang anak

dan

berdomisili

diYogyakart

a, orang

tuanya

adalah

pengusaha

dan pemilik

warung steak

Kini

sedang

menempuh

study

profesi

Psikologi

klinis di

UMBY

(Universita

s Mercu

Buana

Yogyakarta

)

Kini masih

menempu

h study S1

di Fakultas

Kedoktera

n UMY

berdomisil

i di

Yogyakart

a

Kini masih

menempu

h study S1

di Fakultas

Farmasi

UAD,

berasal

dari kota

Denpasar

Page 45: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

45

Selain informan utama, peneliti juga memilih 2 komite Hijabers

Community lainnya sebagai informan pendukung untuk mendapatkan data

penunjang untuk melengkapi informasi mengenai Hijabers Community serta

mengkonfirmasi kembali data yang telah didapatkan. Komite yang menjadi

informan sebagai berikut :

Tabel F.4.2 Deskripsi Informan Pendukung

Nama HR SA

Usia 21 tahun 21 tahun

Status pernikahan Belum menikah Belum menikah

Pekerjaan PR/sekrearis di

perusahaan swasta

Mahasiswi

Keterangan Kini ia berdomisili di

Yogya, sekarang

menjabat sebagai anggota

komite Hijabers Yogya.

Selain bekerja sebagai

humas/PR di sebuah

perusahaan swasta di

yogya ia juga bekerja

freelance sebagi model

dan presenter

Sedang menjalani study

S1 di Fakultas Ekonomi

UII, masuk tahun 2011.

Selain sebagai mahasiswa

ia juga sebagai brand

ambassador Azzahra

serta sebagai general

manager di Tazkia

Butique

Page 46: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

46

Selain mengandalkan data primer yaitu data yang didapatkan langsung dari

para komite Hijabers Community, peneliti juga mengumpulkan data sekunder

yang diperoleh melalui literature buku, dokumen, jurnal, dan data yang diakses

melalui internet yaitu seperti blog, facebook dan twitter Hijabers Community

Yogyakarta. Data sekunder digunakan sebagai bahan referensi peneliti serta

berguna untuk validitas dan realibulitas penelitian yang dilakukan. Dengan

demikian, data-data sekunder dapat melengkapi data primer yang diperoleh

melalui wawancara mendalam, angket dan observasi sehingga informasi yang

diperoleh menjadi utuh.

F.5 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

1.Data Primer

a) Wawancara Mendalam (In Depth Interview)

Teknik wawancara yang dilakukan dengan melekukan tanya jawab

langsung kepada informan atau anggta Hijabers Yogyakarta yang berdasarkan

pada tujuan penelitian. Teknik wawancara yang dilakukan penulis adalah dengan

cara mencacat berdasarkan pedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan

sebelumnya sehubungan dengan pertanyaan penelitian. Wawancara ini dilakukan

beberapa kali sesuai dengn keperluan peneliti/penulis yang berkaitan dengan

kejelasan dan kemantapan masalah yang dijelajahi.

Page 47: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

47

b) Pengamatan (Observasi)

Dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara langsung terhadap

hal yang dianggap berhubungan dengan objek Hijabers Yogyakarta yang diteliti,

atau hal yang berkaitan dengan masalah penelitian. Misalnya dengan ikut

bersosialisasi dalam seiap kegiatan para anggota Hijabers Yogyakarta.

2.Data Sekunder

Dokumentasi

Dokumentasi yang dimaksudkan penulis di sini adalah peninggalan tertulis

seperti arsip-arsip dan termasuk buku-buku, artikel mengenai jilbab dan Hijabers,

teori, dalil, dan lain-lain yang termasuk dengan masalah penelitian yang

menyangkut Hijabers Yogyakarta dan aspek gaya hidupnya.

F.6. Peran Peneliti

Menurut Cresswel (2003) secara khusus dalam penelitian kualitatif, peran

peneliti merupakan instrument pengumpulan data utama yang mengharuskan

identifikasi nilai pribadi, asumsi dan bias pada sejak awal studi dilakukan. Oleh

karena tugasnya sebagai instrument penelitian, maka peneliti dituntut untuk

bersikap responsive, dapat menyesuaikan diri, menekankan keutuhan,

mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan, memproses data secepatnya serta

memanfaatkan kesempatan untuk mengklarifikasikan dan mengintisarikan temuan

lapangan (Moleong, 169-171). Pemahaman peneliti menjadi hal penting dalam

proses penelitian kualitatif karena focus penelitian yaitu pada persepsi dan

Page 48: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

48

pengalaman para komite Hijabers Community Yogyakarta dan bagaimana mereka

memaknai jilbab sebagai identitas kulturalnya serta gaya hidupnya. Selain itu

peneliti berperan sebagai visitor atau yang dikatakan Neuman (1996) sebagai

peneliti total dalam penelitian ini. Visitor yaitu peneliti berperan sebagai

pengamat pasif yang tidak mempengaruhi jalannya aktivitas informan.

F.7 Teknik Analisa Data dan Validasi Data

Pada penelitian kualitatif dikutip dari Cresswel (2003) proses

pengumpulan data dan analisis data merupakan suatu proses yang simultan.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu wawancara dan observasi

langsung oleh karena itu data yang diperoleh berupa rekaman wawancara serta

catatan lapangan, hasil data yang diperoleh kemudia diorganisasikan secara

sistematis.

Pada penelitian ini dilakukan pengorganisasian dan analisa data berdasarkan

penjelasan Creswell (2003) yaitu dilakukan melalui beberapa tahap berikut :

1. Data yang telah diperoleh dari subyek melalui wawancara mendalam yaitu

rekaman wawancara lalu ditranskrip atau diubah menjadi bentuk tertulis

secara verbatim. Data yang telah di dapat dibaca berulang-ulang agar

penulis mengerti benar data atau hasil yang telah didapatkan. Selanjutnya

hasil transkrip observasi dan fieldnotes di sortir dan di susun menurut

sumber informasi.

2. Setelah itu dibaca dengan seksama hasil wawancara yang telah ditranskrip

untuk mendapatkan general sense dari keseluruhan informasi dan

Page 49: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

49

merefleksikan makna keseluruhan, lalu menentukan tema-tema umum

mengenai pernyataan yang dikemukakan informan pada samping transkrip

wawancara.

3. Mulai melakukan proses koding, menurut Neuman (2000) terdapat

beberapa langkah dalam proses koding : (1) koding terbuka (open coding)

dilakukan dengan memberikan tema dan menetapkan kode/label untuk

meringkas sekumpulan data menjadi kategori-kategori. Pelabelan kategori

dilakukan baris demi baris dari hasil wawancara untuk mengindentifikasi

tema-tema dalam wawancara. (2) koding aksial (axial coding) dilakukan

dengan membuat hubungan antar tema-tema yang telah ada dari koding

terbuka atau mengelaborasi konsep yang direpresentasikan oleh tema-tema

tersebut. Proses koding aksial pada penelitian ini yaitu tema-tema yang ada

pada koding terbuka dimasukkan ke dalam 27 kategori yang

dikembangkan dari pertanyaan peneliti. (3) koding selektif (selective

coding) pada tahap koding ini melibatkan pembacaan data dan kode-kode

sebelumnya. Proses koding selektif kasus yang menggambarkan tema dan

membuat perbandingan dari keseluruhan data.

4. Gunakan hasil koding untuk membuat deskripsi setting atau orang sebagai

kategori/tema dalam analisa. Deskripsi melibatkan rincian informasi

mengenai orang, tempat, kejadian dalam situasi penelitian. Setelah peneliti

mengindentifikasi tema/kategori yang ada maka dapat menghubungkan

satu tema dengan tema yang lainnya menjadi alur cerita (dlam naratif) atau

Page 50: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

50

membuat menjadi suatu model teoritis (dalam grounded theory) atau

membentukknya menjadi deskripsi umum (dalam fenomenologi).

5. Langkah selanjutnya bagaimana membuat tema-tema yang ada serta

deskripsi direpresentasikan dalam narasi kualitatif. Pendekatan yang

paling popular digunakan yaitu alur naratif untuk menyampaikan analisa

temuan.

6. Langkah terakhir dalam analisa data yaitu pembuatan interpretasi data.

Intrepretasi merupakan bagaimana peneliti menangkap esensi ide dalam

suatu data. Interpretasi data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan

dalam berbagai bentuk, diadptasikan dengan tipe penelitian dan fleksibel

untuk menyampaikan makna dari penelitian.

Data yang telah terkumpul dan dianalisa perlu dicek kembali validitasnya,

menurut Cresswel (2003) validitas data merupakan kekuatan dari penelitian

kualitatif dan digunakan untuk menentukan apakah hasil temuan data akurat

dari dari sudut pandang peneliti, partisipan, atau pembaca. Cara-cara yang

dapat digunakan dalam menguji validitas data pada penelitian ini yaitu dengan

trianggulasi serta observasi jangka panjang dan analisa dokumen bertujuan

untuk memastikan data yang didapatkan akurat. Selain itu observasi yang

dilakukan secara rutin dan berulangkali pada suatu fenomena dapat

membangun pemahaman mendalam dan dapat menyampaikan secara rinci site

dan objek penelitian sehingga dalam narasi penelitian, sehingga dapat

dipercaya kredibilitasnya.

Page 51: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

51

F.8 Keterbatasan Penelitian

Pada proses penelitian ini untuk mencapai hasil maksimal, tentu saja tidak

terlepas dari adanya keterbatasan, yang menjadi kendala. Kendala di lapangan

yang sering dihadapi oleh peneliti pada proses pengumpulan data yaitu kesulitan

saat menghubungi informan. Saat menghubungi informan untuk membuat janji

yang terkadang tidak mendapatkan respons, sehingga peneliti menemui langsung

para komite pada kegiatan yang diadakan Hijabers Community Yogyakarta.

Namun karena kesibukan mereka saat mengurus kegiatan berlangsung, beberapa

kali penelitian tidak berhasil melakukan wawancara. Oleh karena itu data yang

dirasa kurang jelas atau kurang lengkap yang seharusnya dikonfirmasi kembali

dengan melakukan wawancara ke semua informan utama hanya berhasil

dilakukan kepada informan AW dan DN. Begitupun dengan informan pendukung,

peneliti hanya dapat mewancarai hanya melalui email/facebook/twitter. Selain itu

anggota kommite Hijabers Community Yogyakarta cenderung tertutup mengenai

informasi yang terkait internal dalam kelompok.

Secara metodologis, metode kualitatif yang digunakan pada penelitian ini

menghasilkan data yang memiliki makna instrintik sehingga peneliti terkadang

mengalami ‘kekaburan’ pemahaman terhadap data sehingga tidak mampu

mengungkapkan semuanya secara sempurna. Selain itu, keterbatasan secara

praktis yaitu terdapat pada penyusunan kalimat yang belum efektif, sehingga

peneliti belum dapat memaparkan secara tepat argument dan penjelasan-

penjelasan dalam penelitian ini.

Page 52: BAB 1 - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67110/potongan/S1-2013... · BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... gaya hidup kelas menengah ini juga

52

Sedangkan keterbatasan dari segi subtantif yang dialami pada waktu

penellitian ini yaitu karena kurangnya akses terhadap data menhenai informasi

internal dalam kelompok, maka peneliti kurang dapat menjelaskan tentang

dinamika kelompok pada Hijabers Community Yogyakarta serta kontestasi

nilaipada level individu dalam anggota komitenya. Selain itu masih terbatasnya

literature atau penelitian mengenai gaya hidup muslim perkotaan di Indonesia ,

sebagian besar literature yang terkait hanya menjelaskan bagaimana konteks

kemunculan kelompok kelas menengah muslim yang diiringi dengan meluasnya

pemakaian jilbab pada masyarakat Indonesia. Hanya sedikit literature yang

membahas tentang hal tersebut dengan mengkaitkan dengan adanya perubahan

gaya hidup yang terjadi pada masyarakat muslim Indonesia. Oleh karena itu

peneliti mengalami kesulitan dalam menemukan referensi menhenai gaya hidup

muslim di perkotaan yang bisa dipakai untuk menunjang penelitian ini. Selain itu,

literature atau penelitian mengenai jilbab sebagian besar hanya membahas jilbab

sebagai simbol agama saja. Literatur yang ada, belum banyak menyoroti

perubahan makna pada jilbab yang kini juga menjadi simbol status dalam

relasinya dengan kemunculan kelompok kelas menengah yang merupakan suatu

bentuk perubahan sosial yang terjadi di Indonesia.