bab i pendahuluan -...

56
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi 1998 membawa perubahan yang sangat mendasar pada kehidupan politik di Indonesia. Mundurnya Soeharto dari tampuk kekuasaan politik sebagai presiden Republik Indonesia memberikan implikasi luar biasa terhadap pergantian sistim politik yang ada, diiringi dengan jatuhnya rejim Orde Baru yang menopangnya dan runtuhnya perangkat politik serta tatanan politik yang dibangunnya. Reformasi politik pada akhirnya membawa Indonesia memasuki era kehidupan politik baru, era politik demokrasi dengan demokrasi politiknya yang memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. Salah satu bentuk perwujudan dari demokrasi politik adalah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik yang memberikan peluang kepada masyarakat mendirikan partai politik sebagai wadah aspirasi politik dan sebagai sarana politik dalam melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan politik yang diperjuangkannya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 merupakan pintu masuk bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu pertama di era reformasi yang diselenggarakan tanggal 7 Juni 1999. Sejak diundangkan pada 1 Februari 1999 tercatat 141 partai politik yang mendaftarkan diri di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, namun hanya 48 partai politik yang berhasil lolos verifikasi untuk dapat mengikuti pemilu yang diselenggarakan. Liberalisasi politik dengan terbukanya kran politik bagi berdirinya partai-partai politik untuk dapat mengikuti pemilu tak pelak lagi menciptakan persaingan yang sangat kompetitif di antara partai-partai politik untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Partai- partai politik pada akhirnya menggunakan metoda yang sama dengan perusahaan-perusahaan dalam upayanya untuk merebut konsumen/pemilih dan memenangkan pasar/pemilih, yakni dengan menggunakan iklan. Tidak mengherankan kalau pada pemilu 1999 banyak iklan-iklan politik dari partai-partai politik menghiasi berbagai media baik di media cetak maupun media elektronik. Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era Reformasi WIDODO AGUS SETIANTO Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: vanliem

Post on 14-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Reformasi 1998 membawa perubahan yang sangat mendasar pada kehidupan

politik di Indonesia. Mundurnya Soeharto dari tampuk kekuasaan politik sebagai presiden

Republik Indonesia memberikan implikasi luar biasa terhadap pergantian sistim politik yang

ada, diiringi dengan jatuhnya rejim Orde Baru yang menopangnya dan runtuhnya perangkat

politik serta tatanan politik yang dibangunnya. Reformasi politik pada akhirnya membawa

Indonesia memasuki era kehidupan politik baru, era politik demokrasi dengan demokrasi

politiknya yang memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk

berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik.

Salah satu bentuk perwujudan dari demokrasi politik adalah diberlakukannya

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik yang memberikan peluang

kepada masyarakat mendirikan partai politik sebagai wadah aspirasi politik dan sebagai

sarana politik dalam melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan politik yang

diperjuangkannya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 merupakan pintu masuk bagi partai

politik untuk dapat mengikuti pemilu pertama di era reformasi yang diselenggarakan tanggal

7 Juni 1999. Sejak diundangkan pada 1 Februari 1999 tercatat 141 partai politik yang

mendaftarkan diri di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, namun hanya 48 partai

politik yang berhasil lolos verifikasi untuk dapat mengikuti pemilu yang diselenggarakan.

Liberalisasi politik dengan terbukanya kran politik bagi berdirinya partai-partai

politik untuk dapat mengikuti pemilu tak pelak lagi menciptakan persaingan yang sangat

kompetitif di antara partai-partai politik untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Partai-

partai politik pada akhirnya menggunakan metoda yang sama dengan perusahaan-perusahaan

dalam upayanya untuk merebut konsumen/pemilih dan memenangkan pasar/pemilih, yakni

dengan menggunakan iklan. Tidak mengherankan kalau pada pemilu 1999 banyak iklan-iklan

politik dari partai-partai politik menghiasi berbagai media baik di media cetak maupun

media elektronik.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

2

Semakin menggejalanya iklan politik dalam setiap event politik yang

diselenggarakan, semakin mengukuhkan eksistensi, peran dan arti penting iklan politik

dalam proses politik di Indonesia. Oleh karenanya menjadi sangat penting untuk mengetahui

aspek-aspek terkait iklan politik dan implikasinya dalam kehidupan politik di Indonesia. Hal

ini didasarkan pada alasan bahwa pertama, iklan politik telah menjadi semacam keniscayaan

dalam kegiatan politik di Indonesia khususnya terkait dengan event-event politik seperti

pemilihan umum legislatif, pemilihan umum presiden dan wakil presiden, pemilihan kepala

daerah dan juga kebijakan-kebijakan politik yang memerlukan dukungan masyarakat.

Keniscayaan semacam ini tentu membawa implikasi bukan hanya pada strategi politik dalam

meraih dukungan khalayak namun juga kapitalisasi pada dan oleh partai-partai politik dan

aktor-aktor politik. Hanya partai-partai politik dan aktor-aktor politik yang memiliki dana

besarlah yang dapat eksis dalam kontestasi politik nasional dan dalam meraih dukungan

khalayak. Implikasi lebih jauh dari kapitalisasi pada dan oleh partai politik dan aktor-aktor

politik adalah politisasi kekuasaan dalam bentuk komodifikasi politik yang menjadikan partai

politik layaknya sebuah kartel politik1.

Argumentasi kedua adalah iklan politik telah menjadi suatu yang bersifat epidemik2

di masyarakat. Iklan politik hadir dimana-mana3 merebak dan memenuhi setiap sudut

1 Terkait dengan kartelisasi sistim kepartaian di Indonesia dapat dilihat pada buku Ambardi, K.

(2009). Mengungkap Politik Kartel : Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi.

Jakarta: Penerbit KPG. Buku ini secara garis besarnya menjelaskan tentang kecenderungan kartelisasi

sistim kepartaian di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru. Partai-partai politik berkembang layaknya

sebuah kartel dalam memperebutkan sumberdaya politik dan ekonomi di semua sudut ruang kekuasaan

untuk menjaga kelangsungan hidup partai sekaligus menjaga keseimbangan kekuasaan. 2 Daniel Chandler menyebutkannya sebagai endemic. Advertising is therefore endemic to our

consumer culture. It is:

- Ubiquitous: it is now found in not only media texts, but also in all contexts of life: in sports arenas,

bowl games, web sites, schools, restaurant bathrooms, clothing, highways, etc. Consumption of goods

has now become a global activity, influencing cultures around the world, even in poor countries.

Adolescents throughout the world have become increasingly conscious of brand names and consumer

pastimes. - Anonymous: in contrast to books or songs, you never know who created the ad or wrote the

jingles, so there‟s no sense of accountability to what someone it promoting, or no way to challenge the

producer of ads. - Symbiotic: in that it‟s meanings are symbolic of or tied to larger agendas, social

organizations, or campaigns. For example, Ronald Reagan political campaign ads employed the Bruce

Sprinsteen song, “Born in the USA,” while Ford ads employed “Born to be Wild.” - Intertextual: in

that ads are continually making references to other texts in the consumer/media world or in the

culture. For example, the Coke SuperBowl 2002 ad with Britney Spears made references to previous

Coke images from the soda fountain era of 1950s. - Repetitive: ads repeat their messages endlessly;

the same ads may also appear many times during an ad campaign often in the same genre form, for

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

3

ruang baik ruang privat maupun ruang publik dengan berbagai narasi teks (verbal maupun

visual) yang ditampilkannya. Selain itu iklan politik juga bersifat anonim4, simbiotik

5, dan

repetitive yakni kehadirannya yang diulang secara terus menerus dalam periode waktu

example, the Energizer Bunny ads employ the same parody/spoof genre form. http:// www. tc. umn.

edu/-rbeach/teachingmedia/module6/activity.htm. dinukil tanggal 6 Mei 2011. Tapi dengan melihat

pada uraian yang ada, penulis berpendapat bahwa iklan bukan hanya bersifat endemik sebagaimana

dikemukakan oleh Daniel Chandler, akan tetapi sudah bersifat epidemik, karena iklan sudah mewabah

secara luas pada seluruh entitas kehidupan masyarakat, bukan hanya di sebagian tertentu wilayah

masyarakat. 3 Sifat keberadaan iklan politik yang hadir dimana-mana ini menjadikan iklan politik menjadi bagian

yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat dan berada dalam setiap konteks kehidupan

masyarakat. Iklan merembes ke setiap ruang kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut seni,

budaya, dunia olah raga, dunia fashion, politik, bahkan religi, dan merefleksikannya kembali melalui

simbol-simbol yang membantu individu untuk dapat mengekspresikan dirinya dalam masyarakat. (Ilze

Bezuidenhout . A Discursive-Semiotic Approach to Translating Cultural Aspects in Persuasive

Advertisements dalam http://ilzeorg/semio/001, dinukil tanggal 15 Mei 2011). 4 Berdasarkan definisinya, iklan bukanlah sesuatu yang anonim. American Marketing Association

(AMA) mendifinisikan iklan sebagai : ”… any controlled form of nonpersonal presentation and

promotion of ideas, goods, or services by an identified sponsor that used to inform and persuade the

selected market” (Bolen 1984: 4). Frase by an identified sponsor menunjukkan bahwa dari sisi

pengiklannya, iklan tidaklah anonim. Hanya saja pihak yang menyeponsori iklan biasanya disebutkan

di frase akhir penyampaian iklan sebagai penutup yang seringkali luput atau kurang mendapatkan

perhatian dari khalayak. Dari sudut pandang ini anonimitas sebagaimana disebutkan di atas lebih

pada kecenderungan khalayak yang tidak (kurang) memberikan perhatian pada pemasang iklan. Dari

perspektif iklannya sendiri, iklan dikatakan anonim karena khalayak tidak mengetahui siapa kreator

yang mengkreasi iklan. Anonim di sini dapat merujuk pada khalayak yang menjadi sasaran iklan dan tidak dikenalnya oleh

khalayak siapa yang menjadi kreator dari sebuah iklan. Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi

massa, maka khalayak dari iklan dengan sendirinya bersifat luas, anonim dan heterogen (Wright 1986:

5). Secara umum iklan ditujukan kepada siapapun, dari kalangan manapun, yang tidak dikenal

identitasnya secara personal orang perorang. Khalayak pada umumnya juga memiliki kecenderungan

yang tidak terlalu mempedulikan pada siapa di belakang pembuatan sebuah iklan, selain juga karena

memang khalayak tidak mengetahui siapa kreator yang menciptakan iklan. Oleh karenanya khalayak

pada umumnya lebih memberikan perhatian terhadap apa yang ditampilkan oleh iklan daripada siapa

yang mengkreasi iklan. Kemungkinan ini bisa disebabkan karena sifat bentuk komunikasi periklanan

sebagai media komunikasi massa yang cenderung bersifat umum, cepat, dan selintas sehingga

memunculkan superfisialitas dan penekanan terhadap ketepatan kecepatan waktu bagi khalayak untuk

lebih memberikan perhatian pada informasi-informasi yang dipandang lebih memiliki kepentingan

atau relevansi bagi dirinya. 5 Iklan dapat bersimbiosis dengan berbagai teks lain dalam kehidupan nyata dan menyimpan agenda-

agenda besar yang tersembunyi dalam narasi teks yang direpresentasikan melalui tanda-tanda verbal

maupun melalui ikon, indeks ataupun simbol visual yang ditampilkannya. Agenda-agenda besar dalam

iklan diperkuat dengan kecenderungan intertekstualitas iklan untuk mengukuhkan konstruksi wacana

yang diagendakan melalui kemampuannya dalam membuat referensi secara terus menerus ke teks-teks

lain dalam konsumen, dunia media ataupun dalam budaya (intertextual).

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

4

tertentu6. Sifat epidemik iklan politik memberikan implikasi pada kekuatan iklan politik

dalam memenetrasi pikiran khalayak, menghinggapkan dan melekatkan pesan-pesan politik

yang disampaikannya di benak khalayak tanpa sikap proaktif khalayak sekalipun. Sifat

epidemik iklan politik ini juga menyiratkan kemampuan iklan politik dalam melakukan

dominasi secara struktural atas pikiran khalayak dan menghegemoni pikiran khalayak pada

wacana yang disampaikan.

Argumentasi ketiga, dalam melakukan aksinya mempengaruhi kesadaran khalayak,

iklan bekerja secara terselubung (subliminal) melalui konstruksi pesan yang dimanipulasi

sedemikian rupa sehingga publik terpengaruh tanpa mereka sendiri menyadarinya. William

Leiss mengatakan, ”advertising influence us without our being aware of it, that it affects us

behind our back“ (1990: 22)7. Cara kerja iklan secara subliminal dengan menggunakan alam

6 Konstruksi wacana dalam iklan politik yang terus menerus diulang-ulang (repetitive) melalui

pengulangan penyampaian pesan secara berkesinambungan dalam kerangka menancapkan dominasi

wacana di benak publik, hingga publik menerimanya sebagai sebuah kewajaran. Menjadi mudah

dipahami kalau kemudian iklan dapat dengan mudah menyebarkan wabah dalam kaitannya dengan

budaya konsumen.

Budaya konsumen (Consumer culture) secara sederhana dapat dikatakan sebagai budaya palsu hasil

ciptaan kapitalisme. Dengan bahasa yang lebih halus, Cochran mengatakannya sebagai budaya dari

hasil interaksi terus menerus sepanjang waktu antara institusi (yang memproduksi dan menyebarkan

barang-barang hasil industri) dengan individu (yang memproduksi representasi dari barang-barang

tersebut) (Cochran 2006: 3). Pada level yang lebih kompleks, consumer culture merupakan sebuah

keadaan dimana nilai-nilai kemanusiaan telah terdistorsi sedemikian rupa oleh keberadaan komoditas

sehingga komoditas menjadi lebih penting dari manusia itu sendiri seperti yang dikatakan oleh

Schudson dalam definisinya mengenai consumer culture yakni ;”as a society in which human values

have been grotesquely distorted so that commodities become more important than people or, in an

alternative formulation, commodities becomes not ends in themselves but over valued means for

acquiring acceptable ends like love and friendship” (Schudson 1984: 7; Sheehan 2004: 18). Iklan

dalam hal ini adalah merupakan salah satu institusi dari consumer culture (Hovland 2010: 3). 7 Iklan mempengaruhi kita tanpa kita sendiri menyadarinya. Hal ini dimungkinkan karena iklan

merepresentasikan kondisi-kondisi atau idiologi yang sedang dirasakan atau diperjuangkan ketika itu.

Kondisi-kondisi atau idiologi ini merupakan representasi dari “kompleks-kompleks” yang tersimpan

dalam alam bawah sadar kesadaran khalayak, iklan mengangkatnya ke alam pra sadar dan alam sadar

sehingga khalayak dapat menerima pesan-pesan yang disampaikan iklan karena sejalan dengan pikiran

alam bawah sadar kesadarannya.

Ilze Bezuidenhout menyatakan bahwa iklan merupakan cermin yang merefleksikan kondisi atau

keadaan suatu masyarakat. Iklan menjadi cermin kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dan menjadi

pembangkit keinginan dan idealisme yang lebih tinggi. (Ilze Bezuidenhout . A Discursive-Semiotic

Approach to Translating Cultural Aspects in Persuasive Advertisements dalam http://ilzeorg/semio/

001, dinukil tanggal 15 Mei 2011). Namun perlu disadari bahwa iklan tidak mencerminkan keadaan

sesungguhnya dari kondisi masyarakat, karena iklan tidak merefleksikan realitas yang sesungguhnya.

Iklan merefleksikan realitas palsu (pseudo reality) yang merupakan realitas hasil bentukan (konstruksi)

dari realitas yang sesungguhnya, namun telah ditata ulang sedemikian rupa sehingga melahirkan suatu

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

5

bawah sadar semacam ini tentu menghilangkan daya kritis khalayak terhadap iklan dan

motif yang mendasari dibuatnya sebuah iklan. Juga daya kritis untuk menentang praktek-

praktek manipulatif yang dilakukan oleh produser iklan.

Argumentasi yang keempat, iklan politik telah menjadi semacam “aparatus” atau

perangkat partai politik sebagai media pengendali massa yang hegemonistik dan

diterministik. Dalam operasinya iklan masuk ke sendi-sendi ruang publik, menyebarkan

gagasan-gagasan dengan menciptakan dominasi wacana ke ruang publik secara epidemik,

sehingga atmosfir yang terbentuk pada ruang publik adalah seperti apa yang diagendakan

oleh pengiklan. Iklan politik menjelajah dan menjajah wacana ruang publik dengan berbagai

agenda yang disembunyikannya, yang mempengaruhi kesadaran publik akan makna yang

disebarkan demi pencapaian tujuan politik, opini publik dan propaganda tertentu. Ini

merupakan kesadaran palsu yang tercipta melalui manipulasi kesadaran publik lewat simbol-

simbol yang disampaikan dalam iklan.

Meski telah berlangsung empat kali masa pemilu di Era Reformasi dengan situasi

kemasyarakatan yang berbeda, dan potensi iklan politik yang semakin besar perannya sebagai

media manipulasi kesadaran publik yang digunakan sebagai alat politik untuk mencapai

tujuan atau kepentingan-kepentingan politik tertentu, belum banyak pihak yang memberikan

perhatian untuk melakukan kajian terhadap cara kerja iklan politik dan potensi manipulatif

iklan politik terhadap kesadaran publik melalui wacana yang disampaikan8. Kajian iklan

realitas baru yang ideal sebagaimana dimaksudkan oleh pengiklan untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu. Noviani dalam catatan penutup bukunya mengatakan bahwa ;”Iklan merupakan sebuah teks

sosial yang bisa digunakan untuk memahami dinamika masyarakat selama periode ketika iklan

tersebut dimunculkan, dan iklan merupakan sebuah teks yang mampu merespon perkembangan-

perkembangan kunci yang terjadi dalam sebuah sistem sosial dimana iklan tersebut menjadi salah satu

bagian dari sistem tersebut (Noviani 2002: 141). 8 Sebagai ilustrasi mengenai terbatasnya publikasi hasil penelitian mengenai analisis wacana iklan

politik ini dapat dilihat dari daftar penelitian yang dirilis oleh Jaringan Perguruan Tinggi untuk

Penelitian Pendidikan (JAPATI) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian

Pendidikan Nasional. Sampai dengan tahun 2010 hanya didapatkan satu tema penelitian mengenai

analisis wacana iklan politik, yakni penelitian yang dilakukan oleh Aceng Ruhendi Saifullah dan

Kholid A. Harras dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung pada tahun 2009 dengan judul

“Efektivitas Iklan Politik Kampanye Pemilu 2009” (http://litbang kemendiknas.net/japati/index.php?).

Selain itu dari 2094 judul skripsi di FISIP UNS hanya ditemukan 1 skripsi terkait dengan analisis

wacana iklan politik yang ditulis oleh Resti Faurina dengan judul Citra Politisi Lokal dalam Iklan

Politik Televisi yang ditayangkan di Banyumas Televisi (BMTV) pada Pilkada Banyumas 2008.

Sedangkan 2388 judul skripsi di Fakultas Sastra - Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo tidak

didapatkan satupun yang yang mengangkat tema tentang analisis wacana iklan politik. Begitu juga

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

6

politik pada umumnya lebih menunjukkan kecenderungan pada tiga isu utama, yakni a) Efek

iklan politik (Kaid, Fernandes & Painter 2011 ; Rafter 2009; Kaid - Postelnicu 2007 ;

Valentino 2004; Abbe - Goodliffe 2003; b) Etik dalam iklan politik (Nadler & Schulman

2006 ; Ferguson 2006 ; Haverhals 2001; Davie 1996); dan c) Iklan politik negatif (Sides,

Lipsitz - Grossmann 2010 ; Glanz 2010 ; Ansolabehere - Iyengar 1996 ; Procter - Schenck

1996). Sementara kajian bersifat kritis terhadap iklan politik dapat dikatakan masih sangat

terbatas, kecuali untuk kajian kritis terhadap iklan-iklan komersial.

Beberapa kajian iklan politik dengan menggunakan analisis wacana kritis di

antaranya dilakukan oleh Aceng Ruhendi Saifulah dan Kholid A. Harras (2009), Resti

Faurina (2008), Ritasari (2009), Mochammad Miftahul Alam (2009). Kajian-kajian ini

menggunakan teori dan perangkat analisis wacana kritis Norman Fairclough dan Teun A.

Van Dijk. Fokus teori dan analisisnya adalah pada teks verbal. Iklan memiliki tidak hanya

teks verbal, akan tetapi juga teks visual. Oleh karenanya diperlukan perangkat analisis yang

bersifat multimodal mencakup analisis teks verbal dan visual. Teks visual merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dengan teks verbal dalam membangun kesatuan wacana dan makna

wacana yang disampaikan dalam iklan.

Dalam mengawali kajian tentang iklan politik dan cara kerjanya dalam memanipulasi

kesadaran publik melalui wacana yang disampaikan, iklan politik di pemilu 1999 menjadi

titik penting sebagai titik awal dalam upaya memahami iklan politik dan kiprahnya sebagai

media komunikasi politik dan media pemersuasi khalayak. Arti pentingnya iklan politik di

pemilu 1999 sebagai titik awal kajian bukan hanya karena konteks politik Indonesia yang

telah berubah dan membolehkan iklan politik digunakan sebagai salah satu bagian dari proses

politik yang ada khususnya pada pelaksanaan pemilu, namun lebih daripada itu pemilu tahun

1999 merupakan pemilu pertama di awal reformasi yang menjadi fase awal demokratisasi

dengan 1941 judul tesis di Pasca Sarjana dari disiplin ilmu yang relevan tidak dijumpai adanya judul

tesis yang terkait dengan analisis wacana iklan politik. (Sumber : Digital Library UNS Solo dalam

http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?) diakses tanggal 11 Januari 2011. Di Fisip UI dari 3595 judul

skripsi, 435 judul tesis , 19 judul disertasi dengan kata kunci iklan politik tidak didapatkan satupun

yang mengangkat tema analisis wacana iklan politik. (Sumber : Digital Library Perpustakaan

Universitas Indonesia dalam http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/green/template.jsp?) diakses tanggal 11

Januari 2011.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

7

politik di Indonesia dan merupakan etape pertama dalam siklus demokrasi politik yang

tengah berlangsung.9

Di bandingkan dengan partai-partai politik lainnya yang merupakan partai politik

(pendatang) baru pada pemilu 1999, dua partai politik lama yang cukup fenomenal terkait

dengan eksistensinya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai

Golongan Karya (Partai Golkar). Tantangan yang dihadapi Partai politik (pendatang) baru

adalah memperkenalkan partai politiknya serta platform politik yang diusungnya tanpa

terdistorsi dengan beban politik masa lalu. Sementara tantangan yang dihadapi PDI-P dan

Partai Golkar lebih dari sekedar memperkenalkan entitas partai politik serta platform

politiknya. PDI-P dan Partai Golkar memikul beban politik masa lalu dalam dua posisi yang

berbeda. Golkar pada masa Orde Baru dalam posisi sebagai mayoritas tunggal penopang

kekuasaan politik Orde Baru, sementara PDI merupakan partai politik yang dilemahkan dan

dikerdilkan peran politiknya sehingga tidak dapat melaksanakan fungsi politiknya dalam

melakukan artikulasi dan agregasi kepentingannya dan juga sebagai kekuatan penyeimbang

dalam mengontrol kebijakan pemerintah.

PDI-P dan Partai Golkar merupakan dua partai politik baru yang lahir dari rahim

reformasi bersama-sama dengan partai politik lainnya. Yang membedakan dengan partai

politik lainnya adalah, PDI-P dan Partai Golkar merupakan metamorfosis dari partai lama di

masa Orde Baru yang karena tuntutan sejarah melakukan rejuvenasi dalam bentuknya yang

baru. Yang dimaksudkan dalam bentuknya yang baru di sini adalah mental image atau

gambaran mental yang ingin dibangun oleh PDI-P dan Partai Golkar di benak khalayak

tentang partai politiknya.

Masalah yang dihadapi antara PDI-P dan Partai Golkar adalah sama, bagaimana

membangun image sebagaimana yang diinginkan dan sebagaimana image yang diharapkan

terbentuk di benak khalayak. Dengan adanya kesesuaian antara image yang dibangun dengan

image yang terbentuk di benak khalayak, akan memudahkan bagi PDI-P dan Partai Golkar

9 Fase awal selalu akan dicatat sebagai tonggak sejarah dan menjadi barometer bagi perkembangan

demokrasi selanjutnya. Fase awal juga sering menjadi titik krusial dan batu ujian dalam menegakkan

sebuah tata kehidupan politik yang baru. Menjadi menarik untuk melihat kiprah iklan politik pada fase

awal demokratisasi politik di Indonesia baik menyangkut perannya sebagai media penyampai

informasi maupun sebagai elemen taktis dalam mempengaruhi pemikiran kalayak melalui wacana

yang disampaikannya.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

8

dalam mendapatkan dukungan masyarakat terhadap partai politiknya. Pada kenyataannya

PDI-P dan Partai Golkar berhasil meraih kepercayaan masyarakat dengan meraih dua posisi

terbesar dalam perolehan suara di pemilu 1999. PDI-P dan Partai Golkar juga merupakan

partai politik dengan belanja iklan terbesar dan pemasang iklan terbesar di bandingkan

dengan partai-partai politik lainnya.

Penelitian ini tidak bermaksud untuk mengkaji hubungan antara iklan politik dengan

perolehan suara PDI-P dan partai Golkar di pemilu 1999. Namun lebih pada bagaimana PDI-

P dan Partai Golkar membangun eksistensinya dengan membangun citra positif partai

politiknya yang baru melalui wacana dan konstruksi wacana dalam iklan-iklan politiknya.

Wacana sebagaimana dikemukakan oleh Foucoult merupakan elemen taktis yang beroperasi

dalam kancah relasi kekuasaan (1990 ; 102). Dalam hal ini PDI-P dan Partai Golkar

merupakan pihak yang memiliki kuasa (sumberdaya) dalam mempengaruhi pemikiran

masyarakat melalui wacana. Oleh karenanya wacana menjadi alat bagi kepentingan

kekuasaan dalam membangun hegemoni dan dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat

dalam memberikan dukungan atau persetujuannya.

Melihat pada konteks politik yang dihadapi oleh PDI-P dan Partai Golkar, besar

kemungkinannya bahwa dalam membangun wacana dan konstruksi wacana dalam iklan

politiknya baik PDI-P maupun Partai Golkar tidak akan terlepas dari konteks politik yang

melingkupinya serta aspek-aspek kehidupan sosial yang menjadi kognisi sosialnya. Aspek-

aspek kehidupan sosial yang menjadi kognisi sosial inilah yang diformulasikan sebagai

wacana. Di dalam wacana terdapat substansi ideologi yang bekerja secara tersembunyi

dalam tanda-tanda bahasa baik verbal maupun visual. Oleh karenanya tesis dalam penelitian

ini tidak terlepas dari konteks sosial dan politik yang melingkupi saat iklan-iklan politik PDI-

Perjuangan dan Partai Golkar dibuat. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa iklan-iklan

politik PDI Perjuangan dan Partai Golkar pada dasarnya merupakan refleksi atau

merefleksikan situasi sosial dan politik yang berkembang di masyarakat ketika itu.

Dalam kerangka mengetahui substansi ideologi yang tersembunyi di balik wacana

pada iklan-iklan politik PDI-P dan Partai Golkar, yang secara normatif dicurigai sebagai

sarana yang berfungsi sebagai pengatur sikap kelompok-kelompok sosial dan pengendalian

pendapat umum terkait dengan isu-isu sosial yang relevan; dan yang secara operasional

digunakan untuk menggerakkan kelompok masyarakat dalam mengubah kondisi nyata

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

9

sebagaimana dinyatakan dalam muatan ideologi, perlu dilakukan pembacaan dengan

melakukan dekonstruksi terhadap iklan-iklan politik PDI-P dan Partai Golkar.

Dengan melakukan dekonstruksi terhadap iklan-iklan politik PDI-P dan Partai Golkar

akan diketahui bagaimana PDI-P dan Partai Golkar menghadirkan eksistensinya melalui iklan

politik, khususnya dalam mempresentasikan partai politiknya melalui wacana-wacana

sebagai bentuk representasi idiologi yang diperjuangkan yang diharapkan dapat

mempengaruhi kesadaran publik terhadap partai politik atau aktor politik yang

menyampaikan. Melalui dekonstruksi wacana pada iklan politik ini juga akan diketahui apa

yang diwacanakan dan bagaimana mewacanakannya serta substansi ideologi yang terdapat di

dalamnya.

Wacana adalah kata kunci yang menjadi inti atau substansi dari jalannya suatu

pemikiran terkait dengan situasi kemasyarakatan tertentu, atau sebagai sebuah respons

terhadap suatu situasi tertentu yang ingin diciptakan. Pembacaan iklan politik melalui

dekonstruksi wacana setidaknya akan membantu menumbuhkan kesadaran kritis dalam

menetapkan posisi ideologis terhadap wacana-wacana yang disampaikan dalam iklan politik.

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Iklan politik telah menjadi semacam “aparatus” kekuasaan politik dan ekonomi

sebagai media “pengendali” kesadaran publik yang hegemonik dan diterministik. Hal tersebut

dilakukan dengan memanipulasi kesadaran publik melalui wacana dan simbol-simbol yang

disampaikan dalam iklan sehingga menumbuhkan kesadaran publik terhadap agenda-agenda

yang diwacanakan. Melalui gagasan-gasasan yang disebarkan ke ruang publik secara

epidemik, terciptalah dominasi wacana di seputar atmosfir ruang publik sebagaimana yang

diagendakan oleh pengiklan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan politik, opini publik

dan propaganda tertentu. Dengan demikian iklan politik telah menciptakan kesadaran palsu

melalui wacana yang disampaikannya sehingga publik memberikan dukungan tanpa bersikap

kritis. Oleh karenanya diperlukan sebuah upaya untuk mendekonstruksi praktek wacana yang

terdapat pada iklan politik agar dapat diketahui substansi idiologis yang tersembunyi di balik

wacana yang disampaikan.

Berdasarkan rumusan terhadap permasalahan wacana iklan politik sebagaimana telah

dikemukakan, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah :

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

10

1. Apakah wacana yang diwacanakan dalam iklan politik PDI-P dan Partai Golkar yang

diiklankan di surat kabar harian Kompas pada pemilu legislatif tahun 1999?

2. Bagaimanakah PDI-P dan Partai Golkar mewacanakan wacananya dalam iklan

politik yang ditampilkannya di surat kabar harian Kompas pada pemilu legislatif

tahun 1999 ?

3. Apa idiologi yang direpresentasikan PDI-P dan Partai Golkar dalam iklan politik

yang ditampilkannya di surat kabar harian Kompas pada pemilu legislatif tahun

1999?

C. Tujuan Penelitian

1 Untuk mengetahui wacana dalam iklan politik PDI-P dan Partai Golkar yang

ditampilkan di surat kabar harian Kompas Pos pada pemilu legislatif tahun 1999.

2 Untuk mengetahui cara PDI-P dan Partai Golkar mewacanakan wacananya dalam

iklan politik yang ditampilkannya di surat kabar harian Kompas Pos pada pemilu

legislatif tahun 1999.

3 Untuk mengetahui ideologi yang direpresentasikan dalam iklan politik PDI-P dan

Partai Golkar yang ditampilkan di surat kabar harian Kompas Pos pada pemilu

legislatif tahun 1999.

D. Manfaat Penelitian

1 Manfaat akademis penelitian ini pada level teoritis diharapkan dapat memberikan

kontribusi bagi perkembangan pengetahuan di bidang ilmu komunikasi dan ilmu

politik khususnya dalam memahami cara kerja iklan politik sebagai aparatus/agen

kekuasaan politik dan ekonomi dalam menciptakan dominasi wacana untuk

kepentingan ideologi politik tertentu. Pada level metodologis hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan perspektif terhadap praktek wacana dalam iklan

politik dengan melihat fenomena yang ada di belakang teks iklan politik melalui

kombinasi metode analisis wacana kritis dan analisis multi modal.

2 Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dalam

menemukan pertarungan wacana dalam iklan-iklan politik sehingga dapat bersikap

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

11

kritis terhadap berbagai wacana yang tersembunyi di balik teks iklan politik pada

khususnya dan iklan lainnya pada umumnya.

E. Objek Penelitian

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah iklan politik PDI-P dan Partai Golkar

yang ditampilkan di Surat Kabar Harian Kompas pada pemilu legislatif 1999. Meski terdapat

sepuluh partai politik yang memasang iklan politiknya di Surat Kabar Harian Kompas, iklan

politik PDI-P dan Partai Golkar menempati prioritas tersendiri yang dipilih sebagai kajian

dalam penelitian ini. Hal ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut ;

1. PDI-P dan Partai Golkar merupakan dua partai politik yang paling intens dan dominan

dalam menghadirkan partai politiknya melalui iklan politik di SKH Kompas

dibandingkan dengan partai-partai politik lainnya.

2. PDI-P dan Partai Golkar memiliki posisi yang unik terkait dengan keberadaannya. PDI-P

dan partai Golkar bukan benar-benar partai politik baru sebagaimana halnya partai politik

lainnya yang muncul di era awal reformasi, namun merupakan partai politik hasil

metamorphosis yang merejuvenasi dirinya untuk lepas dari ikatan sejarah politik masa

lalu. PDI-P merupakan metamorphosis dari PDI di era Orde Baru, sedangkan Partai

Golkar merupakan metamorphosis dari Golkar di masa Orde Baru. Tantangan yang

dihadapi dua partai politik ini dalam mewacanakan dan memposisikan dirinya di

masyarakat sebagai partai politik yang berbeda dengan masa sebelumnya di era Orde

Baru akan lebih berat dibandingkan dengan partai politik yang benar-benar baru dan

tidak memiliki beban citra politik masa lalu.

3. PDI-P dan Partai Golkar merupakan dua partai politik yang pada pemilu 1999

mendapatkan perolehan suara terbesar dengan posisi PDI-P di urutan pertama dan Partai

Golkar di urutan kedua. Tanpa bermaksud menghubungkan besarnya perolehan suara

dari PDI-P dan Partai Golkar dengan iklan politik yang ditampilkan, namun menjadi

menarik dan cukup alasan untuk mengupas tentang wacana yang diusung dalam iklan-

iklan politik PDI-P dan Partai Golkar dan kemungkinan hubungannya dengan situasi

sosial politik yang dirasakan bersama oleh masyarakat.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

12

Dipilihnya Surat Kabar Harian Kompas di antara beragam surat kabar lainnya karena

surat kabar ini merupakan surat kabar nasional yang memiliki kredibilitas tinggi serta

sirkulasi dan jaringan distribusi yang luas. Kompas merupakan koran nasional yang berbasis

di Jakarta dengan segmen pembaca terutama adalah kalangan menengah atas. Dengan koran

yang kredibel dan memiliki sirkulasi serta jaringan yang luas, iklan politik dapat menjangkau

semua segmen pembaca, baik pembaca di segmen atas, pembaca di segmen menengah

maupun pembaca di segmen bawah sehingga diasumsikan media ini menjadi media pilihan

partai politik dan pihak yang berkepentingan dalam pemilihan umum untuk mengiklankan

iklan politiknya di koran berskala nasional ini. Sekaligus juga sebagai manifestasi

kredibilitas dari partai politik yang beriklan di dalamnya.

F. Tinjauan Pustaka

Meski dari penyajian hasil penelitian terdahulu didapatkan analisis wacana iklan di

surat kabar dan majalah, namun untuk analisis wacana iklan politik di surat kabar ataupun

majalah sejauh ini belum berhasil ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa meski kajian

analisis wacana sudah banyak dilakukan untuk corpus10

lainnya, tapi menyangkut corpus

iklan politik tampaknya masih sedikit yang memberikan perhatian apalagi untuk media cetak

(surat kabar dan majalah). Kecenderungan yang demikian ini tidak hanya terjadi di

Indonesia, bahkan di negara-negara barat kajian tentang analisis wacana iklan politik juga

belum mendapatkan cukup perhatian11

.

Penelitian terdahulu tentang analisis wacana kritis iklan politik sebagaimana

dilakukan Aceng Ruhendi Saifulah dan Kholid A. Harras (2009), Resti Faurina (2008),

10

Corpus adalah teks atau bagian dari teks. Dapat juga diartikan sebagai teks khusus yang dapat

dibaca untuk tujuan umum maupun khusus dengan kriteria yang ditetapkan sebelumnya (Svartvik

1991: 167).. 11

Dari 2655 tesis dan disertasi di Monash University (diakses dengan kata kunci political advertising

discourse di digital library Monash University dengan alamat http://arrow.monash.edu.au/vital/

accsess/manager/Repository?) tidak didapatkan satupun judul yang membahas tentang analisis wacana

iklan politik. Di Cornel University dengan kata kunci yang sama (political advertising discourse)

didapatkan 261 judul tesis dan disertasi berkenaan dengan analisis wacana, iklan dan politik namun

juga tidak didapatkan yang membahas analisis wacana iklan politik (http://ecommons.library.

cornel.edu/handle/1813/39/simple-search?query=political+advertising+discourse). Penelusuran

terhadap disertasi di Florida State University di Departement of Communication juga tidak didapatkan

disertasi yang mengambil tema analisis wacana iklan politik (http://etd.lib.fsu.edu/ETD-db/ETD-

browse/browse?).

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

13

Ritasari (2009), dan Mochammad Miftahul Alam (2009) memiliki dinamika yang berbeda

baik dari media yang diteliti maupun fokus terhadap masalah yang diteliti. Aceng Ruhendi

Saifulah dan Kholid A. Harras dan Resti Faurina meneliti iklan politik yang ditampilkan di

media televisi. Ritasari meneliti iklan politik pada kain rentang dan baliho, sedangkan

Mochammad Miftahul Alam meneliti iklan politik yang tedapat pada poster. Masing-masing

media memiliki karakteristik yang berbeda sebagai media pembawa wacana.

Terkait dengan masalah yang menjadi fokus penelitiannya, Aceng Ruhendi Saifulah

dan Kholid A. Harras memfokuskan pada efektivitas iklan politik kampanye pemilu 2009

melalui teks iklannya terhadap upaya persuasif iklan kampanye dan perubahan yang

ditimbulkannya. Pisau analisis yang digunakan adalah analisis wacana kritis yang

dikembangkan oleh Norman Fairclough. 12

Sementara Resti Faurina memfokuskan

masalahnya pada citra politisi lokal dalam iklan politik televisi yang ditayangkan di

Banyumas Televisi (BMTV) pada pilkada Banyumas 2008. Penelitian ini menganalisis iklan

kampanye Pilkada pasangan terpilih Mardjoko - Husein. Kerangka analisis yang digunakan

adalah kerangka analisis Teun A. Van Dijk13

.

Ritasari meneliti persuasi melalui wacana bahasa yang digunakan dalam iklan politik.

Tujuan penelitiannya adalah untuk mendeskripsikan bentuk kalimat, gaya bahasa, dan teknik

12 Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara tekstual teks iklan mendeskripsikan ideologi partai yang

bersangkutan, berkontribusi dalam membentuk dan membentuk kembali pencitraan atas dirinya

dengan membangun identitas dirinya apakah sebagai agen pengubah atau pembangun. Penggunaan

relasi dikonstruksi untuk mengantarkan komunikasi dua arah antara partai pengiklan dengan

pemirsanya, yaitu ditandai dengan pronomina yang dipilih dalam teks, seperti saya, kita, dan Anda.

Posisi pemirsa adalah sebagai rakyat yang membutuhkan perubahan. Secara intertekstual, iklan

kampanye menggunakan unsur-unsur teks atau peristiwa lain untuk membentuk perspektif baru bagi

pemirsa. Iklan kampanye televisi menjadi media yang cukup efektif dalam membangun citra partai. 13

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada level teks 1) iklan kampanye milik pasangan

Mardjoko-Husein berhasil mengangkat isu krisis yang melanda masyarakat Banyumas mengenai

lapangan pekerjaan dengan investasi, 2) iklan kampanye milik pasangan Mardjoko-Husein berhasil

mengoalisikan pendukung PKB (partai yang secara resmi mengusung mereka) dengan simpatisan

PDIP yang notabene terbesar di Banyumas melalui pencitraan Achmad Husein sebagai anak tokoh

PDIP, 3) iklan kampanye milik pasangan Mardjoko-Husein berhasil berhasil mencitrakan Mardjoko

sebagai orang yang baik dan bersih. Sedangkan pada level kognisi sosial diketahui latar belakang

pembuat iklan secara implisit mempengaruhi wacana yang berkembang dalam setiap ide pembuatan

iklannya. Konteks sosial yang berada dalam masyarakat Indonesia menganggap bahwa iklan

kampanye politik menjadi sebuah paradigma budaya populer.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

14

persuasi iklan partai peserta pemilu 2009. 14

Mochammad Miftahul Alam (2009) melakukan

analisis wacana pada iklan poster para caleg partai politik kota Surabaya pada pemilu

legislatif 2009. Penelitian ini hendak melihat kategorisasi wacana yang ada dalam pesan-

pesan iklan politik di iklan poster para kandidat caleg partai politik di Surabaya yang ikut

pemilu. Kerangka analisis wacana yang digunakan adalah analisis wacana kritis dari Teun A.

Van Dijk15

.

Melihat peta kajian tentang iklan politik baik yang ada di Indonesia maupun yang ada

di Amerika dan Eropa, tampaklah bahwa kajian iklan politik lebih didominasi pada

pendekatan yang bersifat behavioralistik (positivistik) dan etik. Sementara kajian yang

bersifat kritis terhadap iklan politik kurang mendapatkan perhatian. Oleh karenanya

penelitian mengenai wacana iklan politik dengan perspektif kritis yang dilakukan untuk

disertasi ini menjadi sangat penting, selain untuk mengisi kekosongan dalam kajian keilmuan

tentang iklan politik melalui perspektif kritis, penelitian ini juga akan dapat menjelaskan

wacana dan produksi wacana dalam iklan politik sehingga melalui penelitian ini juga dapat

dijelaskan logika iklan politik dalam mempengaruhi audiensnya. Hal lain yang membedakan

penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini bukan hanya melakukan

analisis wacana pada bahasa yang digunakan dalam iklan, akan tetapi kesatuan dan keutuhan

wacana yang terbentuk yang direpresentasikan pada teks verbal maupun teks visualnya

sebagai corpus dalam wacana ilmu komunikasi dengan menggunakan analisis wacana kritis

bersifat multimodal. Melalui kombinasi atas teori dan metode yang dilakukan (mencakup

aspek kreatif iklan, aspek visual iklan dan aspek bahasa dalam iklan), maka analisis wacana

14 Hasil penelitiannya menunjukkan bentuk kalimat yang ditemukan dalam iklan politik dibagi menjadi

tiga jenis, yaitu (1) kalimat pernyataan yang dibungkus dalam bentuk slogan, visi dan misi dan

keunggulan kandidat; (2) kalimat pertanyaan yang menggunakan kalimat bersifat retoris atau kalimat

tanya yang tidak membutuhkan jawaban, (3) kalimat perintah yang digunakan tanpa menggunakan

"kata perintah" secara langsung dan tanda seru (!). Gaya bahasa yang ditemukan dalam iklan politik

dibagi menjadi tiga jenis, yaitu (1) assertiveness appeal, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk

menegaskan atau memperjelas suatu produk, (2) emotional appeal adalah pesan yang dibungkus untuk

mencoba menimbulkan emosi yang negatif atau positif yang akan memotivasi khalayak pemilih, (3)

repeating appeal yaitu pesan yang dikemas dalam bentuk perulangan bunyi. Teknik-teknik yang

ditemukan dalam penelitian ini adalah (1) isu dan kebijaksanan politik, (2) citra sosial, (3) perasaan

emosional, (4) citra kandidat, (5) peristiwa mutakhir, (6) peristiwa personal. 15 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa wacana yang terdapat pada iklan poster para caleg partai

politik berbasis Islam berisi wacana dakwah dengan isi pesan yang beragam dari masalah akhlak

hingga pesan seputar keimanan.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

15

yang dilakukan pada penelitian ini akan mencakup pada analisis struktur kreatif, analisis

struktur visual dan analisis struktur bahasa iklan. Tiga tingkatan analisis yang dilakukan ini

akan menjadi pembeda dari penelitian-penelitian sejenis lainnya yang menggunakan

perspektif analisis wacana kritis baik pada corpus iklan politik, produk maupun jasa.

G. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran penelitian ini secara garis besarnya akan memuat dua bahasan

utama yakni ; 1) yang menyangkut iklan politik sebagai bagian dari entitas politik serta

proses kreatif sebagai bagian dari entitas komunikasi, dan 2) analisis wacana kritis. Yang

menyangkut iklan politik akan memuat bahasan mengenai iklan dan politik termasuk

pengertian iklan politik itu sendiri dan proses kreatif iklan politik. Sedangkan yang

menyangkut tentang analisis wacana kritis yang menjadi substansi dari penelitian ini akan

memuat bahasan mengenai wacana dalam iklan, idiologi dalam iklan politik, analisis wacana

iklan, analisis wacana kritis Teun A Van Dijk, dan multimodalitas dalam analisis wacana.

1. Politik dan Iklan Politik.

Politik adalah cara-cara untuk mendapatkan kekuasaan dalam mewujudkan kebaikan

umum. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Hawkesworth dan Maurice

Kogan. Dari hasil telaahnya terhadap berbagai pengertian dan definisi politik, Hawkesworth

dan Maurice Kogan menyimpulkan bahwa ”...politics is better understood as a struggle for

power”

(2004 ; 23). Kekuasaan yang diperjuangkan dalam politik dilakukan untuk

melakukan pengaturan umum sebagaimana dikemukakan oleh Windlesham “ politics as the

activity of attending to the general arrangements of a set of people.”(Tracey, 1977 ; 3).

Dengan demikian sebagaimana dikemukakan Jeffrey Isaac, konsep utama atau yang menjadi

inti dalam kegiatan dan kajian politik adalah konsep tentang kekuasaan (Hawkesworth-

Kogan 2004 ; 56) .

Dari pengertian di atas, politik dapat disimpulkan sebagai kegiatan dan atau kajian

mencakup perjuangan dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, serta pengaturan

melalui kekuasaan. Bentuk dan manifestasi politik mencakup pemilihan umum, konflik-

konflik kelompok dan kebijakan negara yang merupakan peristiwa dan proses dalam dunia

politik melalui tanggung jawab bersama antara institusi dan agen; Dan dapat juga pada

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

16

masalah konstitusi atau aturan yang dapat memberikan jaminan kehidupan bersama

(masyarakat) dengan lebih baik (Hawkesworth- Kogan 2004 ; 56).

Pemilihan umum sebagai salah satu bentuk dan manifestasi politik merupakan

mekanisme demokrasi dalam memilih wakil-wakil rakyat dan juga pimpinan-pimpinan

pemerintahan sebagai penyelenggara negara. Pemilu juga merupakan hak konstitusional

rakyat untuk menentukan masa depannya melalui wakil rakyat dan pimpinan pemerintahan

yang dipilihnya. Oleh karenanya pemilu menjadi sangat strategis baik bagi rakyat yang

memberikan suaranya untuk perbaikan bangsa dengan memilih penyelenggara negara yang

sesuai dengan kehendak rakyat dan menjamin terselenggaranya pemerintahan sesuai

kehendak rakyat, maupun bagi partai politik dan para kandidat yang berjuang untuk

mendapatkan kekuasaan sebagai wakil rakyat atau penyelenggara negara melalui perolehan

suara dari rakyat yang memberikan suaranya.

Dalam kaitannya dengan pemilihan umum, di era liberalisasi politik seperti sekarang

ini, peranan iklan politik menjadi sangat penting16

. Iklan politik menjadi mesin politik baru

dari partai politik maupun para kandidatnya dalam upaya menghadirkan eksistensi partai

politiknya, dan dalam upaya menciptakan pengaruh untuk meraih dukungan terhadap partai

politik dan kandidat politik yang diusungnya. Melalui iklan politik, partai politik atau para

kandidatnya berkomunikasi mengekspose pesan-pesan politik secara masif kepada

masyarakat. Tujuannya selain untuk mempengaruhi sikap politik, kepercayaan dan perilaku

masyarakat, juga mempromosikan kepentingan politik individu-individu, partai, kelompok,

pemerintah atau organisasi lainnya; dan juga mempengaruhi orang agar memberikan

dukungan atau suaranya pada mereka. Oleh karenanya iklan politik menjadi jembatan

komunikasi politik yang paling efektif dalam menyebarkan berbagai gagasan politik untuk

mendapatkan dukungan masyarakat. Di Amerika dan juga di negara-negara demokrasi lain

16 Perubahan politik melalui pintu pemilihan langsung para pejabat publik memberikan

konsekuensi pada terjadinya Restyling of Politics. Dengan pemilihan langsung, politik

berubah mengikuti gelombang Consumerism, Celebrity & Cynicism. Tokoh-tokoh politik

serta kebijakan (politik/publik) harus dipasarkan menurut gaya yang tak berbeda dengan

produk-produk dalam dunia konsumerisme dan selebritas. Tokoh politik dan partai politik

menjual ide-ide atau program-programnya sebagaimana halnya produsen menjual shampo,

obat batuk, dan sebagainya dengan menggunakan teknik periklanan. Dan menjadikan tokoh-

tokoh yang akan maju menjadi presiden atau anggota DPR, atau pimpinan daerah sebagai

selebritas (Masli-Setiyono 2008 ; xii).

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

17

yang membolehkan iklan politik, iklan politik telah menjadi sesuatu yang lazim dan menjadi

bagian yang penting dari proses politik dalam tradisi demokrasi yang berlangsung17

.

Linda Lee Kaid dalam bukunya Handbook of Political Communication Research

(2004: 156), mendifinisikan iklan politik sebagai:

“The communication process by which a source (usually a political candidate or

party) purchases the opportunity to expose receivers through mass channels to

political messages with the intended effect of influencing their political attitudes,

beliefs, and/or behavior”.

Sedang dalam bukunya yang lain yang berjudul The Sage Handbook of Political

Advertising (2006: 4) Linda Lee Kaid mendefinisikan iklan politik sebagai “Any controlled

message communicated through any channel designed to promote the political interests of

individuals, parties, groups, governments, or other organizations”.

Dari dua definisi yang dikemukakan oleh Linda Lee Kaid tentang iklan politik, dapat

disimpulkan bahwa iklan politik merupakan proses komunikasi yang dilakukan dan dikontrol

oleh partai politik atau aktor-aktor politik dengan menggunakan media yang dibayar sebagai

salurannya, yang ditujukan kepada sasaran dengan maksud 1) mempromosikan

kepentingan politik individu, partai, kelompok, pemerintah dan/atau organisasi lainnya, 2)

mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan atau perilaku individu, partai, kelompok, pemerintah

dan/atau organisasi lainnya.

Brian Mc Nair melihat kemampuan iklan politik dalam mempengaruhi audiens

berlangsung dalam dua tingkatan. Pertama, Iklan politik menyebarkan informasi mengenai

visi, misi dan platform kandidat ke dalam detail dimana wartawan jarang melakukannya.

Kedua, karena iklan politik berada dalam dunia perdagangan, periklanan tidak hanya

ditujukan untuk memberikan informasi kepada audiens, tetapi juga dirancang untuk

membujuk (to persuade) (McNair 2003). Apa yang dikemukakan oleh Brian Mc Nair

sebenarnya merupakan substansi dari pemasaran politik yang oleh Newman (1994 ; 8)

dikatakan sebagai “ as understanding the voter‟s need and the development by the party

17

Kajian tentang iklan politik sebagai salah satu bentuk komunikasi politik sudah cukup lama dikaji

dalam tradisi keilmuan di negara-negara barat khususnya di Amerika Serikat yang menjadi tempat

lahirnya iklan politik (Kaid, 2004 : 155). Sejak dimunculkannya pada tahun 1952 dalam kampanye

pemilihan presiden Amerika (Perlmutter, 1999 : 27), iklan politik memicu lahirnya kontroversi baik

yang menyangkut masalah etik, hukum maupun pengaruhnya pada perilaku pemilih.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

18

product to meet those need”. Produk politik yang dimaksud memiliki dua elemen antara lain

:“ 1) the platform of the party, which includes (a) its policies on controversial issues and (b)

its competence in achieving concensual objectives, together with 2) the “image” of the

party” (O’shaughnessy- Hennenberg 2002 ; 41).

Terkait dengan perilaku pemilih, Jens Rydgren menjelaskan tiga faktor utama yang

menentukan pemilih memberikan keputusannya dalam memilih partai politik (menyangkut

disposisi emosi dan preferensi politik), di antaranya adalah : 1). Party identification, 2)

Political issues, dan 3) Party images (Rydgren 2004 : 54). Hal senada juga dikemukakan

oleh Anthony Down yang juga mengemukakan tiga konsep utama dalam memahami

perilaku memilih, yaitu “Issue, Identification and Image”18

(Sartori 2005 : 292-294). Ini

merupakan konsep-konsep utama dalam memahami perilaku pemilih.

18 Citra partai (party images) merupakan bentuk penyederhanaan gambaran tentang partai

atau representasi dari kekhususan yang menggambarkan partai, meskipun ia sebenarnya

merupakan sesuatu yang memiliki kompleksitas. Bentuk penyederhanaan gambaran itu bisa

dengan menggunakan satu kata atau slogan yang menggambarkan secara keseluruhan

tentang partai. Misalnya phrase kata seperti “good for workers” atau “workers Party” ini

merupakan citra partai. Sama dengan label “liberal atau konservatif, “kiri atau kanan”, atau

“progresif dan reaktioner”. Pembentukan citra ini melalui sosialisasi dari berbagai hal dalam

kehidupan sehari-hari baik dari interaksi sosiologis, melalui media massa, aksi strategis dan

propaganda yang dilakukan partai politik. Menurut Sartori pembentukan citra ini merupakan

bagian dari strategi partai politik dalam mendapatkan dukungan pemilih (Rydgren ). Sebab

sebagaimana dikatakan Sartori, citra partai merupakan alat partai politik dalam berkomunikasi

dengan para pemilihnya. Banyak strategi partai politik mendasarkan pada strategi pembentukan citra

yang tepat kepada publik sebagaimana yang mereka harapkan suaranya (Sartori : 293). Melalui citra,

isu-isu yang diusung partai politik dan identifikasi terhadap partai politik dapat dibentuk

dalam bentuk citra partai. Dan melalui citra partai yang terbentuklah maka pemilih akan

memberikan preferensi atau pilihannya pada partai politik (Sartori : 294).

Selain citra partai, faktor lain yang penting adalah identifikasi partai. Ini merupakan faktor

yang paling mapan pada pola perilaku pemilih menyangkut orientasi pemilih pada partai

politik. Identifikasi partai diperoleh melalui sosialisasi dalam keluarga, interaksi dengan

teman dan tetangga, kolega dan sebagainya. Namun dalam beberapa dekade terakhir

khususnya di negara-negara Eropa, pemilihan berdasarkan identifikasi partai mengalami

penurunan dan tidak lagi menjadi faktor yang menentukan dalam proses pemilihan.

Yang terakhir adalah isu-isu politik yang menjadi faktor penentu yang paling penting dalam

proses keputusan pemberian suara. Jika seorang pemberi suara mendapatkan isu-isu politik

yang sesuai dengan apa yang diharapkan, maka itu akan menjadi faktor utama dalam

menentukan pilihannya terhadap partai politik. Akan tetapi pemberi suara akan

meninggalkan partai yang didukungnya apabila partai politik dimaksud tidak menepati isu-

isu yang disampaikannya. Pada setiap kampanye pemilihan, banyak isu politik yang

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

19

Iklan politik merupakan media yang memiliki kemampuan dalam merefleksikan dan

merepresentasikan keseluruhan reputasi partai politik baik yang mencangkup isu politik,

identifikasi partai maupun citra partai melalui wacana, ikon, image maupun simbolisme yang

ditampilkannya (Leiss 1990 : 286-288). Iklan menampilkan keseluruhan reputasi tersebut

dalam bentuk narasi teks (wacana) maupun gambar, ilustrasi ataupun komponen visual

lainnya yang dikombinasikan sedemikian rupa hingga mampu membentuk citraan-citraan

yang diinginkan dan diharapkan,dan dapat menumbuhkan opini tertentu seperti yang

diharapkan oleh pembuat iklan.

Oleh karenanya untuk mendapatkan pengaruh yang optimal dalam memperngaruhi

perilaku pemilih, iklan politik sebagaimana halnya dengan iklan komersial lainnya, pertama-

tama harus mampu menarik perhatian audiensnya. Perhatian ini bisa didapatkan melalui daya

tarik pesannya maupun daya tarik ilustrasi atau visualnya. Selain itu iklan juga harus

memiliki kejelasan tentang apa yang ingin disampaikannya (clarity), dalam hal ini iklan harus

fokus pada ide atau isu tertentu, dan memiliki kesesuaian dengan apa yang menjadi disposisi

kebutuhan atau keiginan target konsumernya. Di sini iklan harus memiliki daya “stoping

power” yang kuat yang mampu mengikat konsumen/pemilih melalui “single idea, single

message, dan single mind”. Iklan yang baik bukanlah iklan yang menyesatkan, oleh

karenanya semua bentuk pesan iklan yang disampaikan haruslah dapat dipercaya

(credibility/believability) (Wymer-Marshment 2006 : 215). Iklan harus mampu memenuhi

rasa keterpercayaan dari target audiensnya terhadap isi pesan yang disampaikan, sehingga

target sasaran mau mengikuti apa yang disampaikan dalam iklan. Lance Bennet secara

ringkas merumuskannya dalam tiga komponen, yakni message composition, message

salience, message credibility (Bennett 1983 : 36-40).

dikemukakan baik melalui media massa ataupun oleh partai politik bersangkutan. Isu-isu

politik yang ditonjolkan bisa sangat bervariasi dan berbeda di antara para peserta pemilihan.

Menurut Campbell ada tiga kondisi khusus yang harus dipenuhi bagi sebuah isu politik

apabila ingin mendapatkan suara pemilih : 1. The issue must be cognized in some form

2. It must arouse some minimal intensity of feeling

3. It must be accompanied by some perception that one party represent‟s to person‟s position better

than the other parties do. If an issue is to motivate voter, he or she must be aware of its existence

and must have an opinion on it. (Campbell-Converse-Miller 1980 : 170).

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

20

2. Proses Kreatif Iklan Politik

Untuk memiliki daya persuasi yang optimal dalam menarik perhatian dan

meyakinkan sasaran, ada kaidah-kaidah yang harus dipenuhi dalam sebuah iklan. Kaidah-

kaidah ini menyangkut pada strategi perumusan pesan dan strategi visualisasi iklannya, atau

dengan kata lain merumuskan isi pesan dan tampilan atau visualisasinya. Selain itu juga

menentukan daya tarik iklan. Iklan yang berhasil adalah iklan yang menarik dan memiliki

daya penghenti (stoping power) yang kuat, yang dapat “memaksa” sasaran untuk

memberikan perhatiannya19

. Tanpa daya tarik, maka sebuah iklan akan kehilangan

relevansinya sebagai media komunikasi persuasi. Merumuskan isi pesan, menentukan daya

tarik, dan menetapkan pilihan atas visualisasi iklan merupakan bagian dari aspek proses

kreatif periklanan. Proses kreatif periklanan inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya

sebuah iklan dalam menarik perhatian dan mempersuasi sasaran, karena kreatifitas dalam

iklan merupakan ruh dari iklan itu sendiri.

Proses kreatif pada dasarnya merupakan upaya kreator iklan menciptakan pesan iklan

yang persuasif dan berbeda dengan pesan-pesan iklan yang disampaikan oleh kompetitornya.

Oleh karenanya diperlukan daya kreatifitas yang tinggi dari kreator iklan untuk menggali

ide-ide kreatif dengan pemikiran-pemikiran yang orisinil. Yang pasti dalam proses kreatif,

daya kreatif harus berorientasi pada pemecahan masalah dengan mengembangkan dan

mengimplementasikan solusi-solusi baru yang lebih baik dan efisien20

.

19

Charles Warner menuliskan :” When you write advertising…,craft it to make sure it has stopping

power, holding power dan going away power. Make sure it has at least one strong emotional appeal.

Emotional appeal have two dimensions, positive and negative – people want it or fear losing it. And

finally, all good advertising has a strong promise – explicit or implied. Always include a powerful

promise when you write advertising” (2009: 576). 20

Advertising creativity is the communication of a message in a different and persuasive way.

Creative message stand out from competition. Advertising creativity requires original thinking to

approach consumers… (Matei & Dinu 2010; 139). A creative process is to focus on a problem with

more than one possible solution, and …Creativity is to develop and to implement new and better

solutions. Productivity, on the other hand is related to the efficient application of current solution

(duMortier 2012).

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

21

Iklan merupakan karya kolektif yang melibatkan banyak bidang keahlian di dalam

proses pembuatannya. Terkait dengan proses kreatif periklanan setidaknya melibatkan

interaksi di antara tim kreatif dalam proses kreatif periklanan yang terdiri dari creative

director, art director dan copywriter, selain juga dengan bidang lain yang berkaitan seperti

bidang account management misalnya. Sedangkan aspek-aspek kreatif periklanan yang

menjadi fokus dalam penanganan proses kreatif di antaranya adalah :

2.1 Penentuan Daya Tarik Iklan

Daya tarik iklan ditentukan saat ide naskah telah ditetapkan. Esther Thorson dan

Duffy memandang bahwa iklan yang kreatif adalah iklan yang dapat memadukan beberapa

daya tarik dalam satu pesan penawaran yang utuh (2011: 85). Namun di antara unsur-unsur

daya tarik iklan yang beragam dan berserakan yang dikemukakan oleh banyak ahli,

pengelompokan daya tarik iklan berdasarkan kebutuhan audiens yang dikemukakan oleh

William F. Arens tampaknya yang paling komprehensif dalam menjelaskan tentang daya

tarik iklan (Arens 2002; 375).

Menurut Arens, ada dua kategori daya tarik yang dapat digunakan oleh pengiklan,

yakni daya tarik rasional dan daya tarik emosional. Daya tarik rasional dimaksudkan untuk

mengarahkan konsumen pada hal-hal yang bersifat praktis dan fungsional dari produk atau

jasa yang dibutuhkan. Sedangkan daya tarik emosional merupakan daya tarik yang

melibatkan aspek-aspek psikologis, sosial, dan simbolis dari kebutuhan konsumen.

2.2. Perumusan Pesan Iklan

Sedangkan dalam kaitannya dengan perumusan pesan iklan, Bolen (1984: 170)

menuliskan setidaknya ada empat hal yang seharusnya mendapatkan perhatian para kreator

iklan. Keempat hal tersebut menyangkut pada masalah ide naskah (copy thinking), format

naskah (copy format), struktur naskah (Copy structure), dan gaya naskah (Copy style).

2.2.1 Ide Naskah (Copy Thinking)

Problema dalam penciptaan sebuah pesan iklan pada dasarnya bertumpu pada dua

persoalan yang paling mendasar yakni apa yang akan dikatakan (what to say) dan bagaimana

mengatakannya (how to say) (Rothchild 1987: 170). Apa yang akan dikatakan merupakan

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

22

pertanyaan paling mendasar yang harus dijawab oleh para kreator iklan. Ini akan melibatkan

segenap kemampuan para kreator iklan untuk dapat menggali dan memiliki pengetahuan

sebanyak-banyaknya mengenai produk yang akan diiklankan, mengenai pasar, mengenai

para pesaing, dan mengenai target consumers-nya.

Berdasarkan data dan fakta yang telah dikumpulkan itu kemudian dirumuskan sebuah

strategi kreatif periklanan. Strategi kreatif adalah merupakan bagian dari suatu proses kreatif

pembuatan sebuah iklan. Strategi kreatif menyatakan apa-apa yang akan dikatakan oleh iklan

tetapi tidak mengkhususkan bagaimana cara mengatakannya. Proses kreatif berjalan dengan

berpegang pada strategi kreatif, sehingga naskah iklan tidak melenceng dari konsep awal

yang telah ada. Dengan strategi kreatif para kreator iklan menyusun suatu pemikiran untuk

menerjemahkan ide/konsep yang ada menjadi sebuah karya.

Tahap awal dari proses kreatif adalah mengolah data yang diberikan oleh account

executive kepada tim kreatif untuk dibuat menjadi sebuah strategi kreatif. Yang terpenting

dari strategi kreatif adalah menemukan ide sentral (central idea) atau ide-ide kreatif yang

menjadi tema sebuah iklan (Nylen 1975/1993: 386). Ide sentral atau ide-ide kreatif ini sangat

penting karena merupakan nyawa dari sebuah iklan. Pada tahap ini para kreator iklan tidak

hanya dituntut kemampuannya dalam memahami data-data yang disajikan, akan tetapi

bagaimana data-data yang disajikan tersebut dapat diformulasikan sedemikian rupa menjadi

sebuah ide sentral yang unik bagi sebuah iklan (the big idea).

Disini diperlukan kreatifitas dari para kreator iklan, karena kreatifitas merupakan

kunci dari pencarian ide. Tanpa kreatifitas, sebuah iklan tentu tidak akan mampu menarik

perhatian konsumennya, dan ini berarti sebuah kegagalan yang besar dalam upaya

mempengaruhi konsumen atau dalam menciptakan pengaruh pasar. Sebaliknya dengan

kreatifitas, ide yang muncul mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri. Oleh karena itu,

ide naskah harus menekankan pada Unique Selling Porposition atau penawaran penjualan

yang unik, biasa disingkat dengan USP. Menetapkan apa yang harus dikatakan pada iklan

inilah yang oleh Bolen dikatakan sebagai copy thinking.

Jadi Copy thinking pada dasarnya merupakan proses penggalian ide naskah (central

idea) yang pada pemaparan di atas dikatakan sebagai proses menemukan mengenai apa yang

harus dikatakan (what to say). Mengenai apa saja yang harus dikatakan dalam naskah iklan

secara terinci diuraikan dalam sebuah platform naskah (copy platform) yang merupakan

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

23

pedoman dasar dalam pembuatan iklan. Sementara copy format, copy structure dan copy

style lebih pada bagaimana menyampaikan atau mengatakannya pada konsumen (how to say).

2.2.2 Format Naskah (Copy Format)

Copy format atau format naskah berkaitan dengan bagaimana suatu naskah iklan

disajikan. Terdapat beberapa macam format naskah yang masing-masing memiliki

keunggulan dan digunakan sesuai dengan tujuan periklanan dan ide naskah yang

dikembangkan. Ada beberapa format naskah yang dikenal, kreator iklan harus dapat memilih

format-format naskah yang tepat untuk iklan yang akan dibuatnya, atau

mengombinasikannya. Bolen mengidentifikasikan setidaknya terdapat sebelas format naskah

(Bolen 1984: 176 – 183), sedangkan Russel dan Lane mengklasifikasikan menjadi dua puluh

format naskah (Russel & Lane 1999: 523- 526).

2.2.3 Struktur Naskah (Copy Structure)

Copy structure atau struktur naskah secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian,

diantaranya adalah : headline, body copy, close (Bolen 1984 : 184). Ini merupakan struktur

naskah yang terdapat pada media cetak. Pada media penyiaran, media televisi khususnya

struktur naskahnya dibagi menjadi opening, middle, dan close (Nylen 1975 : 496) atau

beginning, midlle, dan end (Rubenstein 1980 : 71). Meskipun memiliki karakter media yang

berbeda antara media cetak dengan media televisi, struktur naskahnya secara substantif

sebenarnya tidaklah berbeda, hanya masalah penamaannya saja mungkin agak berbeda.

Headline merupakan penangkap pandang yang diposisikan untuk menarik atau

meraih perhatian konsumen. Sama halnya dengan opening atau beginning pada media

televisi, opening atau beginning juga diposisikan untuk menarik perhatian melalui pandangan

dan pendengaran calon konsumen sekaligus memperkenalkan ide sentral pesan penawaran

yang disampaikan.

Bagaimanapun untuk mendapatkan perhatian audiens terhadap suatu pesan,

khususnya pesan yang bersifat komersial bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Audiens

dibombardir oleh ribuan pesan setiap harinya, akibatnya audiens akan bersifat selektif

terhadap setiap pesan yang datang. Pada saat yang sama audiens bisa menerima sebuah

pesan tetapi sekaligus juga meniadakan yang lainnya. Selain itu meskipun suatu pesan sampai

kepada audiens dan diterima oleh alat indranya, belum tentu audiens menyadari akan pesan

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

24

yang datang dan diterimanya itu. Hal ini dikarenakan fokus perhatian audiens sedang tidak

pada pesan yang datang. Dengan demikian menjadi sangat penting untuk mendapatkan fokus

perhatian audiens, dan ini akan sangat terkait dengan pemahaman dan pengertian dari

perhatian itu sendiri. DeLozier (1976: 35) mendifinisikan perhatian sebagai ”… as the

mental process of consciously focusing on a given stimulus.” Proses pemusatan kesadaran

mental inilah yang harus dipikirkan oleh para kreator iklan.

Jadi sebelum seorang komunikator dapat mempengaruhi audiens untuk menerima

pandangan-pandangannya, terlebih dahulu haruslah dapat menarik perhatian audiensnya

melalui hal-hal yang audiens dapat memberikan sepenuhnya pemusatan kesadaran mentalnya

terhadap hal-hal yang disampaikan itu. Headline atau Opening biasanya digunakan untuk

mengatasi hal ini, dengan menggunakan pengantar yang provokatif atau yang dapat

menimbulkan self interest calon konsumen melalui penguraian masalah yang disampaikan

dalam pesan-pesan penawaran.

Body copy atau badan naskah, dalam media televisi lebih dikenal dengan sebutan

midlle, biasanya berisi uraian atau alasan mengapa seseorang harus membeli produk yang

ditawarkan. Konsumen membeli suatu produk bisa didasarkan atas motif rasional maupun

motif emosional. Badan naskah iklan haruslah dapat memberikan alasan-alasannya baik yang

rasional (objektif) maupun yang emosional (subjektif).

Badan naskah iklan sebuah produk dapat saja mengatakan bahwa produk yang

ditawarkan itu bermutu tinggi dengan harga yang murah, ini merupakan alasan rasional yang

dikemukakan sehingga seseorang harus membeli produk itu. Sementara alasan emosionalnya,

dapat saja dikembangkan perasaan senang dan perasaan bangga pada diri konsumen apabila

menggunakan produk yang ditawarkan. Setiap produk harus mempunyai bauran alasan

rasional dan emosional tersendiri yang unik dan tepat. Badan iklan merupakan tempat

dimana alasan-alasan ini dikemukakan.

Fungsi utama dari badan naskah sebenarnya adalah untuk membangkitkan minat dan

keinginan konsumen tehadap suatu produk. Untuk itulah dalam badan naskah harus dapat

menunjukkan dan meyakinkan konsumen akan manfaat-manfaat serta keuntungan-

keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan produk yang ditawarkan.

Kreator iklan haruslah benar-benar mempelajari platform naskah secara hati-hati,

dan memasukkan semua unsur penting dalam platform naskah ke dalam badan naskah.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

25

Selain juga harus mempertimbangkan apakah badan naskah dimaksudkan untuk

menyampaikan image mengenai nilai-nilai yang positif. Yang jelas tujuannya adalah

menjual, sehingga setiap kata dalam badan naskah harus dipilih dengan mengutamakan hal-

hal itu.

Clossing merupakan bagian akhir dari suatu iklan yang berfungsi sebagai penutup,

karenanya biasanya diletakkan di bagian bawah atau bagian akhir dari sebuah iklan. Closing

berisi pesan akhir, berupa pengulangan elemen-elemen kunci pada pesan dan dengan

identifikasi terhadap nama produk atau kemasannya. Hal ini dimaksudkan untuk

mengingatkan konsumen dan untuk menghindari dari mis-identifikasi terhadap produk.

Closing sering berisi informasi tentang tempat dimana produk diperoleh, nama dan alamat

dealer produk, informasi tentang harga atau cara pembayarannya, gaya, ukuran dan jenis

produk yang tersedia, dan sering juga berupa saran/anjuran agar konsumen segera

mempunyai keinginan membeli atau mengambil tindakan membeli. Pada dasarnya closing

menegaskan kembali secara singkat pesan-pesan penjualan yang telah disampaikan, mungkin

hanya berisi satu atau dua kalimat saja, akan tetapi closing merupakan key word dari

keseluruhan pesan yang disampaikan.

Dalam menentukan closing, ada dua hal yang harus dipertimbangkan ; akan

menggunakan pendekatan penjualan (selling approach) ataukah menggunakan hal-hal yang

pasif (passive points) (Bolen 1984: 187). Pendekatan penjualan berada pada pilihan antara

hardsell atau softsell. Hardsell merupakan pendekatan penjualan dengan gaya menekan,

yang mengatakan kepada konsumen untuk melakukan tindakan pembelian sekarang juga

karena jumlah barang yang terbatas misalnya. Tujuan dari pendekatan ini untuk mengatasi

penundaan pembelian oleh konsumen. Sedangkan pendekatan softsell memang disampaikan

dengan gaya yang halus, tujuannya sama untuk melahirkan tindakan tetapi tidak segera atau

tidak secara langsung. Yang akan dicapai adalah kesinambungan dalam penggunaan produk

oleh konsumen melalui penetrasi merek dalam ingatan konsumen sehingga membentuk

brand image, yang memungkinkan merek produk tersebut tetap berada pada puncak ingatan

(top of mind) konsumen. Closing juga bisa menggunakan informasi tertentu dari hal-hal yang

bersifat pasif (passive points) seperti nama, logo atau symbol, alamat dan nomor telepon dari

sebuah tempat penjualan. Atau yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat legal dari sebuah

produk seperti merek dagang, merek jasa, hak cipta dan sebagainya. Hal-hal ini memang

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

26

pasif, akan tetapi sangat penting jika ia ditinggalkan, karena yang demikian itu bisa

menimbulkan masalah.

Head line, body copy dan closing merupakan sebagian saja dari unsur yang terdapat

pada struktur naskah di media cetak (surat kabar dan majalah), masih banyak unsur-unsur

lain dalam struktur naskah, seperti sub headline, tagline, caption, banner/splash,

logotype/brand, dan slogan. Namun tidak semua iklan memasukan unsur-unsur struktur

naskah ini dalam naskah iklannya.

2.2.4 Gaya Naskah (Copy Style)

Hal lain yang terkait dengan naskah iklan adalah masalah yang menyangkut gaya

naskah (copy style). Meskipun berangkat dari ide sentral yang sama dan berpegang pada

platform naskah yang sama, naskah iklan dari setiap kreator iklan bisa sangat berbeda. Ini

dikarenakan adanya perbedaan gaya dalam mengekspresikan kreatifitas dari masing-masing

kreator iklan pada naskah iklannya.

Sebagian besar iklan berakhir dengan cara meminta atau menyarankan konsumen

agar membeli produk. Kreator iklan harus dapat menjelaskan keunggulan produk dengan cara

yang menyebabkan konsumen memandangnya dengan pengertian dan penghargaan baru.

Cara bagaimana kreator iklan mengatakan apa yang harus dikatakan agar tampak menonjol di

antara kerumunan naskah iklan lainnya sehingga mendapat perhatian konsumen, itulah yang

disebut dengan gaya.

Tidak ada klasifikasi atau pembagian khusus mengenai gaya naskah ini, semuanya

tergantung pada masing-masing kreator iklan itu sendiri. Tetapi setidaknya ada beberapa hal

yang dapat dijadikan pedoman, di antaranya adalah Beleivability, Simplicity, Readability,

Cliches and superlatives, Connotation, Word count, dan Message adaptation (Bolen 1984:

188).

Selain itu gaya naskah akan sangat terkait dengan pendekatan utama yang digunakan

dalam menjelaskan sesuatu. Rusell dalam hal ini membedakannya dalam tiga pendekatan

utama yaitu Factual Approach, Imajinative Approach, dan Emotional Approach (Rusel

1999: 459-461). Sedangkan Baldwin dengan istilahnya yang lain yakni Basic Style atau

Tone, membedakannya menjadi Rational, Emotional, Serious, Humorous, Realistic dan

Exaggerated (Baldwin 1989: 93).

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

27

3. Ilustrasi/Visualisasi Iklan

Sementara terkait dengan strategi ilustrasi atau visualisasi iklan, juga ada beberapa

kaidah yang harus menjadi perhatian para kreator iklan. Ilustrasi atau visualisasi menjadi

faktor penting yang sangat membantu keberhasilan sebuah iklan dalam menarik perhatian

konsumen dan mempengaruhi image konsumen terhadap produk atau merek produk yang

diiklankan. Hal ini dapat dimengerti mengingat aspek-aspek visual seringkali lebih impresif

dan lebih mudah diterima. Ungkapan lama yang menyatakan “ A picture is worth one

thousand words” (Laszlo 2006: 129) (Russ 2011: 163) tidaklah terlalu berlebihan. Ungkapan

ini mengandung makna bahwa sebuah gambar dapat mengungkapkan seribu kata-kata.

Ilustrasi atau visualisasi merupakan elemen yang menyatu dengan naskah; berfungsi

sebagai penegas atau penjelas isi pesan yang dikandung dalam iklan, sebagai penghias atau

penangkap pandang, sekaligus juga sebagai stimulus yang mendorong serta mengajak

audiens untuk lebih memahami mengenai isi pesan yang disampaikan. Wallace S. Baldinger

menyatakan “……illustration it self is a picture made for spesific text and design to help the

reader visualize the character and the action of story” (Baldinger 1960/1966: 207). Ilustrasi

atau visualisasi dapat berupa gambar, foto, grafik, diagram, peta, tanda-tanda ataupun wujud-

wujud visual lainnya yang terdapat pada sebuah iklan.

Karena berfungsi sebagai penegas isi pesan maka Ilustrasi harus memiliki

keselarasan dengan teks atau naskah iklan agar dapat lebih cepat mencapai tujuan

periklanannya, selain itu ilustrasi harus dapat menunjukkan susunan dan tanda-tanda

hubungan yang lebih cepat daripada yang diperbuat oleh kata-kata.

Bagaimana seharusnya ilustrasi atau visualisasi iklan ditampilkan, Bolen (1984: 213)

mengatakan bahwa media cetak maupun media penyiaran berada pada satu dilema yang

sama. Pengiklan ingin menonjolkan atau menyatakan secara tidak langsung keuntungan dari

produk yang mereka tawarkan. Pemvisualisasiannya akan sangat bergantung pada USP

(Uniq Selling Proposition) yang disusun pada saat strategi kreatif dikembangkan. Setelah itu

baru dapat dilakukan pilihan terhadap teknik atau cara penyajian ilustrasinya. Ada beberapa

cara penyajian ilustrasi atau visualisasi yang selama ini telah dikembangkan, Dirksen dan

Kroeger membaginya menjadi 14 teknik penyajian (Dirksen 1968: 316), sementara Otto

Klepner membaginya menjadi 17 (Kleppner 1959: 156 -157).

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

28

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi perumusan pesan pada dasarnya

adalah merumuskan ide-ide utama yang akan digunakan dalam iklan, kemudian menetapkan

daya tarik, format naskah serta gaya naskahnya, dan kemudian diformulasikan dalam bentuk

kata-kata dan kalimat (copy writing) yang disusun pada struktur naskah yang terdiri dari

headline, bodycopy dan closing. Kesemuanya ini dirumuskan dan disusun dengan

menggunakan tanda-tanda bahasa verbal.

Sedangkan untuk strategi visualisasinya, pilihan terhadap teknik visualisasi

disesuaikan dengan apa yang menjadi alur pada strategi perumusan naskah (creative

strategy). Karena fungsi visualisasi adalah untuk menguatkan pesan yang disampaikan pada

naskah iklan, maka visualisasi iklan harus memiliki koherensi dan kohesi dengan naskah

verbalnya.

4. Wacana dalam Iklan

Fokus kajian pada penelitian ini adalah iklan politik sebagai sebuah wacana. Iklan

adalah wacana yang di dalamnya juga terdapat wacana. Menurut Rotzoll, iklan sebagai

sebuah wacana pertama-tama harus dipahami sebagai “ as paid, non personal communication

forms used by identified sources through various media with persuasive intent”. As paid

communication forms untuk menunjukkan bahwa iklan berbeda dengan publisitas yang

dilakukan melalui rilis berita (press release) misalnya, atau public relations melalui

konferensi pers (pers conference) yang sering diliput oleh media tanpa dipungut biaya. “Non

personal” maksudnya untuk membedakan iklan dengan bentuk penjualan personal yang

terdapat pada perusahaan-perusahaan dagang atau yang melalui door to door. “By identified

source” maksudnya pengiklannya dapat dikenali lewat pesan-pesan yang disampaikan.

“Through various media” maksudnya pesan-pesan iklan disampaikan melalui berbagai

saluran media seperti surat kabar, majalah, televisi, sinema, radio, atau billboard, poster dan

sebagainya. “With persuasive intent” maksudnya iklan digunakan untuk tujuan mempersuasi.

Ini artinya, pengiklan berusaha untuk mempengaruhi atau mengubah perilaku, kesadaran,

pengetahuan, sikap dan sebagainya dari sasaran dengan cara yang menguntungkan bagi

mereka. Atau untuk mempengaruhi cara orang berpikir tentang posisi sosial atau ekonomi

tertentu (Rotzoll dalam Van Dijk 1985: 94).

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

29

Sedangkan wacana dalam iklan adalah substansi idiologis yang tersembunyi dalam

struktur teks, baik verbal maupun visual. Ketika kita melihat iklan sebagai sesuatu yang

bermakna ideologis, maka kita akan melihatnya dalam pengertiannya sebagai berikut.

“1) as discourses that socially and culturally construct a world, 2) as discourses that

disguise and suppress inequalities, injustices, irrationalities, and contradiction, 3) as

discourse that promote a normative vision of our world and our relationships, and 4)

as discourse that reflect the logic of capital. In this sense, ideologi refers to the

meaning made necessary by the conditions of our society while helping to

perpetuate those conditions. Ads are ideological insofar as they construct socially

neccesary illusions and normalized distorted communication (Goldman & Papson

1996: 18)”.

Dari kutipan di atas, secara idiologi iklan memang sebuah wacana yang

mewacanakan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat dan memang diperlukan

masyarakat. Oleh karenanya iklan menjadi instrumen dalam sistim kemasyarakatan. Sebagai

instrumen dalam sistim kemasyarakatan (ekonomi, sosial, politik, dan budaya), maka

keberadaan iklan tidak terlepas dari konteks sistim yang meliputinya. Oleh karenanya iklan

sebagai sebuah teks sosial bisa digunakan untuk memahami dinamika masyarakat selama

periode ketika iklan tersebut dimunculkan. Dan juga sebagai sebuah teks yang mampu

merespon perkembangan-perkembangan kunci yang terjadi dalam sebuah sistem sosial

dimana iklan tersebut menjadi salah satu bagian dari sistem tersebut (Noviani 2002: 141).

Wacana menurut arti katanya secara bahasa adalah bacaan, kemudian berkembang

menjadi bicara, kata, atau ucapan, dan terakhir menjadi komunikasi verbal atau percakapan.

Di bidang linguistik, wacana berarti unsur bahasa terlengkap dan merupakan satuan tertinggi

dalam hierarki gramatikal, yang direalisasikan dalam bentuk karangan utuh dengan amanat

yang lengkap karena adanya hubungan isi (koherensi) dan hubungan bahasa (kohesi) yang

erat dan serasi di antara bagian-bagiannya. Jadi wacana dapat diartikan sebagai rentetan

kalimat yang saling berkait yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang

lainnya sehingga menjadi satu kesatuan dan terbentuklah makna yang utuh dan serasi di

antara kalimat-kalimat pembentuknya (Arifin 2010: 2). Wacana merupakan satuan tertinggi

di atas unsur-unsur pembentuk bahasa, atau unit bahasa yang lebih besar dari unit-unit

bahasa lainnya. Wacana mencakup wacana lisan yang berupa percakapan atau tuturan, dan

wacana tulis yang disebut dengan teks (Wedhawati 2006: 595-596).

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

30

Meski kajian utama dalam wacana adalah bahasa, namun tidak dapat diartikan

sebagai bahasa dalam pengertiannya sendiri (linguistik). Dalam komunikasi, bahasa

merupakan elemen paling utama yang berisi tanda atau simbol yang digunakan untuk saling

bertukar makna antara pihak yang terlibat dalam komunikasi. Dalam konteks komunikasi,

maka bahasa merupakan entitas yang terkait dengan elemen-elemen komunikasi lainnya.

Setidaknya sebagaimana dikemukakan oleh Cook, konteknya akan melibatkan “siapa

berkomunikasi dengan siapa dan mengapa, dalam masyarakat dan situasi seperti apa, melalui

media apa, bagaimana jenis dan tindakan komunikasi dikembangkan, dan bagaimana

hubungan antar masing-masing pihak yang berkomunikasi. Kalau dalam berkomunikasi

melibatkan tidak hanya bahasa, namun juga musik dan gambar yang dimaksudkan untuk

mengubah atau menambah makna dari bahasa itu, maka analisis wacana yang dikembangkan

harus mempertimbangkan hal-hal ini secara keseluruhannya (Cook 2001: 3).

Dalam hal ini, bahasa bukanlah sebuah objek yang murni terisolasi dalam dirinya,

akan tetapi dilihat dalam konteksnya yang menyeluruh. Dengan demikian dalam memahami

bahasa dalam komunikasi haruslah melihat dalam satu rangkaian yang menyeluruh antara

teks bahasa, konteks, dan wacana. Guy Cook (2001: 4-5) menggambarkan kaitan antara teks,

konteks dan wacana sebagai berikut.

Teks digunakan untuk menunjukkan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan ilmu bahasa

(linguistik), yang secara temporer dan artifisial dipisahkan dari konteks untuk tujuan-

tujuan analisis.

Konteks merupakan keseluruhan aspek yang melingkupi sebuah teks yang komponen-

komponennya terdiri dari : Substansi (Substance), Musik dan gambar (Music and

pictures), Parabahasa (Paralanguage), Situasi (Situation), Ko-teks (Co-text), Interteks

(Intertext), Partisipan (Participants), Fungsi (Function).

Wacana adalah teks dan konteks bersama-sama, berinteraksi dengan cara yang dianggap

bermakna dan disatukan oleh para peserta (yang keduanya adalah bagian dari konteks

dan pengamat itu). Tugas analisis wacana adalah untuk menjelaskan kedua fenomena ini

dalam kasus umum dan khusus, dan untuk mengatakan bagaimana peserta membedakan

satu jenis wacana dari yang lain. Untuk melakukan hal ini, perlu memperhatikan bukan

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

31

hanya untuk proses kognitif manusia secara umum, tetapi juga fitur khusus untuk suatu

budaya tertentu.

5. Wacana dan Representasi Idiologi dalam Iklan

Wacana membuat publik tidak pernah memiliki akses yang murni kepada realita,

karena persepsi publik dipengaruhi oleh sistim idiologi yang dominan. Idiologi dan wacana

adalah ekspresi struktur kekuasaan masyarakat, karena disana ada distribusi kekuasaan yang

tidak seimbang yang dengan jelas menjadikan masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang

tersubordinasi. Antonio Gramsci menyatakan bahwa kelas-kelas dominan tidak sepenuhnya

memegang kekuasaan melalui paksaan, bahkan metode mereka yang paling kuat adalah

mendapatkan persetujuan dari massa. Kelas pekerja merasa tidak mendapatkan tekanan,

mereka menyetujui bahwa kelas yang memegang aturan seharusnya mengatur mereka (Lacey

1998: 113).

Idiologi merupakan fondasi dari seluruh masyarakat, yang akan mempengaruhi

artefak-artefak media yang diciptakan dalam masyarakat. Karena fondasi-fondasi biasanya

tersembunyi, kita selaku bagian dari publik hanya dapat menjadi sadar tentang sebuah artefak

idiologi yang mendasarkan pada keterampilan kita sebagai seorang pembaca. Keterampilan

kita mencakup untuk mendiskripsikan fondasi tersebut melalui dekonstruksi apa yang dapat

dilihat, yaitu lewat teks itu sendiri. Pemahaman kita tentang dunia sebagai akibat dari proses

idiologi, oleh karenanya dalam wacana sebagaimana halnya dalam mitos, kita dapat

mengamati idiologi dalam prakteknya melalui pembacaan teks di media. Wacana dalam hal

ini beroperasi pada level individu, dalam konteks sosial, dan tunduk pada perubahan sejarah

(Lacey 1998: 106).

Dalam perspektif sosio kognitif, idiologi adalah sistim yang berada di dasar kognisi

sosial politik masyarakat (Lau dan Sears, 1986; Rosenberg 1988). Van Dijk (1998)

menyebutkan idiologi sebagai 1) bentuk khusus dari kognisi sosial yang dibagi bersama oleh

kelompok-kelompok sosial, 2) suatu sistim pengorganisasian dan pengawasan kepercayaan,

sikap dan opini yang kompleks yang dibagi bersama secara sosial (Van Dijk 1998). Di sini

idiologi tidak dilihat hanya sebagai bentuk gagasan, sistim kepercayaan atau sikap yang

berlaku, tetapi sebagai reperesentasi mental umum dan abstrak yang mengendalikan

pengetahuan dan sikap kelompok-kelompok sosial, yang memiliki satu dimensi dimana

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

32

kelompok sosial atau institusi sosial terlibat dalam informasi, afirmasi, reproduksi atau

perubahan idiologi itu sendiri yang ditetapkan oleh anggota kelompok melalui praktek-

praktek sosial dalam kelembagaan wacana baik perkataan maupun teks (Van Dijk 2000).

Dengan pengertian ini idiologi menjadi suatu bentuk kognisi sosial yang direproduksi melalui

praktek-praktek sosial dan wacana (Lopez 2000: 34).

Ideologi secara normatif adalah sarana yang berfungsi sebagai pengatur sikap

kelompok-kelompok sosial khususnya pengendalian pendapat umum yang dilakukan secara

skematis yang menyangkut isu-isu sosial yang relevan seperti masalah aborsi, pengangguran,

energi nuklir ataupun tindakan afirmatif lainnya (Eagly dan Chaiken 1993), atau pada cara

dimana dan bagaimana bentuk-bentuk sosial dan proses-proses sosial bekerja dalam

menciptakan ruang bagi beroperasinya bentuk-bentuk simbolik sehingga dapat beredar di

dunia sosial (Thompson 1990). Idiologi pada tataran normatif membutuhkan suatu pandangan

pada tingkat operasional agar idiologi dapat menjalankan fungsi atau operasinya dalam dunia

sosial. Dalam tataran operasional idiologi dapat dikatakan sebagai pemetaan realitas sosial

oleh individu yang digunakan untuk menggerakkan kelompok atau masyarakat guna

mengubah kondisi nyata seperti apa yang dinyatakan di dalam muatan ideologi. Secara

skematis tataran operasional idiologi dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel I.1. Skema Tataran Operasional Idiologi

Kondisi Agama

Kondisi Sosial

Kondisi Ekonomi

Kondisi Politik

Kondisi Budaya

Dimensi Ideosinkretik

Individu :

Ras/etnik, status sosial,

status ekonomi, agama,

budaya, aliran politik,

pendidikan, pergaulan.

Individu

Pemetaan

Idiologi Masyarakat

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

33

Dikutip dari http://www.setabasri01.blogspot.com/2009/02/ideologi.html. tanggal 10 April

2012.

Pada skema di atas idiologi merupakan representasi dari berbagai kondisi

kemasyarakatan yang dirasakan oleh individu dan diformulasikan sesuai latar belakang yang

membentuk kognisi sosialnya dan disebarkannya sebagai kepercayaan sosial bersama dalam

masyarakat21

. Basis idiologi adalah berbagai kondisi riil dalam kehidupan masyarakat dan

dirasakan oleh masyarakat. Kondisi-kondisi tersebut sebagian atau seluruhnya diserap

individu dan individu memetakannya sesuai dengan persepsinya yang didasarkan atas

dimensi-dimensi ideosinkretiknya yang berupa latar belakang ras/etnik, status sosial, status

ekonomi, agama, budaya, aliran politik, pendidikan, dan pergaulan tertentu. Hasil pemetaan

pemikiran ini melahirkan idiologi yang kemudian disebarkan oleh individu kepada

kelompok-kelompok masyarakat yang berpotensi mendukung atau digerakkan untuk

mengubah kondisi nyata melalui bentuk-bentuk simbolik yang ada sesuai dengan tujuan

idiologi bersangkutan.

Iklan sebagai suatu institusi sosial tidak bisa tidak terlibat dalam pusaran-pusaran

kepentingan kelas-kelas yang mempertahankan hubungan dominatif dalam kehidupan sosial.

Iklan sebagai suatu bentuk simbolik pada dasarnya merupakan medium yang netral sebagai

media penyampai informasi. Yang menjadikan iklan sebagai medium yang tidak lagi netral

adalah kekuatan-kekuatan yang menjadikan iklan sebagai elemen taktis bagi kepentingan-

kepentingan yang bersifat hegemonik, yang mendominasi aras kehidupan masyarakat demi

tujuan-tujuan yang bersifat politis maupun ekonomi. Dalam terminologi Althuser iklan

merupakan salah satu wujud dari ideological state apparatus. Tidak mengherankan kalau

iklan pada akhirnya menjadi sarat dengan kepentingan-kepentingan dan menyiratkan

berbagai idiologi yang ada di dalamnya.

Idiologi dalam iklan sama dengan idiologi yang terdapat pada teks-teks lainnya,

bersemayam dan tersembunyi pada wacana yang tersimpan dibalik teks. Oleh karenanya

idiologi menjadi substansi tersembunyi dibalik teks dan wacana. Kesadaran kita tentang

sebuah idiologi adalah dengan keterampilan kita membaca teks dan mengidentifikasi wacana

21

Kesimpulan mengenai definisi idiologi ini sejalan dengan yang dituliskan oleh Althusser yang

menyatakan idiologi sebagai "a representation of the imaginary relationship of individuals to the real

condition of existence (Montag, 2003; 80).

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

34

yang ada di dalam teks. Dari wacana itulah kita akan dapatkan idiologi yang bersemayam di

dalam sebuah teks. Idiologi dalam iklan yang dimaksudkan di sini merupakan substansi dari

keseluruhan pemaknaan yang ada pada wacana sebagai bentuk representasi dari kepercayaan

sosial hasil dari kognisi sosial yang dibagi bersama oleh pengiklan dalam kehidupan sosial

melalui bentuk-bentuk simbolik dalam praktek kebahasaan yang ditampilkan dalam iklan.

6. Analisis Wacana Iklan

Iklan bekerja tidak hanya ketika orang-orang melihat iklan, akan tetapi juga ketika

orang-orang mengubah perilaku mereka ataupun kebiasaan mereka seperti apa yang

dikehendaki dalam iklan. Dengan demikian telah terjadi kolonisasi iklan terhadap kehidupan

publik melalui kampanye periklanan dalam mempengaruhi aktifitas-aktifitas harian publik,

serta pemahaman tentang diri mereka dan dunia di sekitar mereka (Mathenson 2005: 50).

Hegemoni terstruktur atas pikiran dan kehidupan publik lewat teks-teks yang disampaikan

inilah yang kemudian melahirkan analisis terhadap wacana yang terdapat dalam teks-teks

iklan. Wacana dalam hal ini merupakan elemen taktis yang digunakan untuk mempengaruhi

pola pikir masyarakat dalam kerangka membangun dominasi atau hegemoni tertentu dalam

kaitannya dengan pelestarian suatu kekuasaan atau dominasi.

Dalam memahami wacana di dalam iklan, analisis wacananya dapat menggunakan

pendekatan sebagaimana yang terdapat pada studi linguistik, yakni pendekatan positivis

empirik, pendekatan kontruktivis, dan pendekatan kritis (Hikam dalam Latif dan Subandi

1996: 78 - 86). Dalam terbitannya yang lain, Hikam menyebutkannya sebagai analisis

wacana positivis (positivist discourse analysis), analisis wacana interpretivis (interpretivist

discourse analysis), dan analisis wacana kritisis (critical discourse analysis).22

Pendekatan

positivis empiris atau analisis wacana positivis merupakan pendekatan yang menekankan

penggunaan bahasa sebagai media ekspresi pengalaman yang disampaikan melalui kaidah-

kaidah kebahasaan yang benar dalam hal sintaksis dan semantiknya. Fokus analisisnya adalah

pada tata aturan kalimat, atau benar tidaknya bahasa yang digunakan secara gramatikal.

22

Mohammad AS.Hikam.1999. Bahasa, Politik dan Penghampiran Discursive Practice : Sebuah

Catatan Awal , dalam Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, Sebagaimana dikutip Sakban

Rosidi dalam makalahnya “Analisis Wacana Kritis sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana” di

Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 15 Desember 2007, hal 7-8.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

35

Pendekatan konstruktifis atau analisis wacana interpretifis memandang bahasa tidak

hanya sebagai alat untuk memahami realitas objektif saja yang dipisahkan dari subjek sebagai

penyampai pernyataan. Subjek adalah aktor sentral yang memproduksi wacana, dan memiliki

kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.

Analisis wacana pada pendekatan kontruktivis ini dimaksudkan untuk membongkar maksud-

maksud dan makna-makna tertentu yang tersembunyi dari subjek yang mengemukakan

pernyataan.

Pendekatan kritis atau analisis wacana kritis melihat bahasa dalam kaitannya dengan

kekuasaan. Bahasa bukanlah medium netral, akan tetapi representasi yang berperan dalam

membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu dan strategi-strategi tertentu. Individu

juga bukan subjek yang netral yang bebas menafsirkan pemikirannya sendiri, karena pada

dasarnya pemikiran individu sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan

sosial yang ada dalam masyarakat (Mey 2009: 167). Oleh karenanya pendekatan kritis ini

mencoba melihat konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi

makna.

Analisis wacana pada pendekatan kritis dipakai untuk membongkar kuasa yang ada

pada setiap proses bahasa, melihat bahasa yang selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan,

terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam

masyarakat. Karena menggunakan pendekatan kritis, maka analisis wacana ini disebut

dengan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/CDA) (Eriyanto 2001: 6).

Secara konseptual analisis wacana kritis dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan

interdisipliner untuk mempelajari wacana yang melihat bahasa sebagai bentuk praktek sosial

dan memusatkan pada cara-cara dominasi sosial dan politik diproduksi melalui teks dan

ujaran (Fairclough 1989: 20). Hal ini dikarenakan analisis wacana kritis tidak hanya

digunakan sebagai metode analisis kajian bahasa, akan tetapi analisis terhadap seluruh ilmu

humaniora dan sosial yang tidak membatasi pada satu metode, yang tidak homogen, tetapi

bersatu dalam pendekatan didasarkan pada asumsi tunggal bahwa bahasa dan kekuasaan

merupakan fenomena yang saling terkait.

Dalam memahami analisis wacana kritis, Ruth Wodak melihatnya dalam enam

pendekatan, yakni 1) Discourse Historical Approach yang dikembangkan oleh Ruth Wodak

dan Martin Reisigl dengan basis teoritik pada teori kritis dan teori interaksionis simbolik, 2)

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 36: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

36

Corpus Linguistic Approach yang dikembangkan oleh Gerlinde Mautner dengan basis

teoritik pada teori Michael Foucoult, 3) Social Actor Approach yang dikembangkan oleh

Theo Van Leeuwen dengan basis teoritik pada teori kritis, 4) Dispositive Analysis yang

dikembangkan oleh Siegfried Jager dan Florentine Maier dengan basis teoritik pada teori

kritis, 5) Socio Cognitive Approach yang dikembangkan oleh Teun A. Van Dijk dengan basis

teoritis pada teori Sarge Moscovici, dan 6) Dialectical Relational Approach yang

dikembangkan oleh Norman Fairclough dengan basis teoritik pada teori Michael Foucoult,

Karl marx dan M.K. Halliday (Wodak dan Meyer 2009: 20).

7. Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk

Basis teoritik yang digunakan oleh Van Dijk dalam mengembangkan analisis wacana

kritisnya adalah teori representasi sosial yang dikembangkan oleh Sarge Moscovici, atau

lebih tepatnya lagi adalah teori socio-cognitive representation yang didefinisikan sebagai “as

organized, coherent, socially share set(s) of knowledge about an object or domain of objects

which combine with affective structures with inherent normative and evaluative dimensions”

(Hart 2011: 120).

Representasi bukanlah model mental individu, melainkan struktur

pengetahuan/kognisi yang dibagi bersama kepada anggota suatu kelompok tertentu.

Representasi dibangun secara sosial dari sesuatu yang sebenarnya tidak saling berhubungan

tapi kemudian dihubungkan melalui komunikasi, menempatkan identitas sosial dan

hubungan-hubungannya dengan yang dikomunikasikan, dan cenderung pada perubahan yang

terus menerus melalui pasang surut dan arus hubungan antar kelompok. Pada studi linguistik,

hal ini dikenal dengan istilah intertekstualitas (intertextuality) dan interdiskursivitas

(interdiscursivity) dalam teks.

Pada pendekatan socio-cognitive, kerangka kerja dalam pendekatan terhadap analisis

wacana kritis tidak hanya analisis terhadap kondisi-kondisi sosial dan akibat-akibatnya pada

wacana, akan tetapi juga pada kognisi sosial (socio-cognitive). Hal ini didasarkan pada

asumsi bahwa 1) kognisi adalah suatu hubungan yang diperlukan antara masyarakat dan

wacana, dan 2) struktur kognisi berhubungan dengan aspek-aspek sosial pada saat yang

sama, seperti halnya pada pengetahuan, sikap, idiologi, norma dan nilai. Kognisi sosial

menegaskan bahwa kepercayaan/pengetahuan dibagi bersama oleh anggota kelompok dan

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 37: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

37

komunitas. Dengan demikian pada perspektif ini pengetahuan bukanlah sebagai kepercayaan

pribadi (personal beliefs), akan tetapi sebagai kepercayaan sosial bersama yang diisyaratkan

dengan anggota komunitas yang berpengetahuan (Wodak 2005: 87).

Pengertian kepercayaan sosial yang dimaksudkan di sini adalah sebagai pengetahuan

yang dibagi bersama secara sosial, dan/atau sebagai pengetahuan yang dikelola melalui

model-model konteks yang merepresentasikan situasi-situasi yang komunikatif. Model-

model mental mengenai kepercayaan sosial ini pada saat yang bersamaan berada pada pribadi

individu, karena mereka harus menyatukan pengalaman-pengalaman personal individualnya,

tujuan-tujuan dan kepentingan pengguna bahasa.

Dengan demikian bahasa dalam hal ini inheren atau tidak dapat dipisahkan dengan

kehidupan sosial. Bahasa digunakan secara beragam dalam situasi sosial yang nyata. Melalui

cara inilah dapat dijelaskan dimensi-dimensi sosial, kultural dan politik dari wacana dalam

bahasa. Pendekatan socio-cognitive terhadap wacana menawarkan sesuatu yang unik, yang

menghadapkan antara aspek makro dari masyarakat dengan aspek mikro dari wacana dan

interaksi (Wodak 2005: 87).

Iklan merupakan sebuah praktek (dalam kehidupan) sosial bersama yang di dalamnya

terdapat struktur kognisi yang terkait dengan pengetahuan, sikap, idiologi, norma dan nilai-

nilai. Sama dengan praktek (kehidupan) sosial lainnya, struktur kognisi dalam iklan juga

dibagi bersama oleh anggota kelompok dan komunitas sehingga apa yang disampaikan dalam

iklan menjadi kepercayaan sosial atau pengetahuan bersama23

.

Praktek-praktek kebahasaan dalam iklan baik melalui bahasa verbal maupun bahasa

visual, menghadirkan sebuah representasi sosial dalam bentuk wacana yang dipahami

sebagai kepercayaan atau pengetahuan bersama dalam kehidupan sosial (masyarakat).

Dengan demikian representasi sosial24

merupakan interaksi di antara tiga unsur yang menjadi

23

Kepercayaan sosial atau pengetahuan bersama dalam terminologi Van Dijk dikatakan sebagai

idiologi. Menurut Van Dijk, idiologi adalah kumpulan ide yang membentuk sistim kepercayaan

kolektif. Sistim kepercayaan ini disebarkan oleh sekelompok aktor sosial. Idiologi merupakan

representasi sosial yang mendifinisikan identitas sosial dari suatu kelompok yang menyebarkan sistim

kepercayaan yang dianutnya dengan berbagai cara yang menunjukkan keberadaan dirinya dan melalui

berbagai reproduksi menyebarkan sistim kepercayaan tersebut. Teun A. Van Dijk. Journal of Political

Ideologies, Volume 11, Number 2, June 2006 , p. 116. 24

Moscovici menyebutkan representasi sosial dalam teorinya sebagai “One individual‟s cognition is

informed by dynamic constructs known as social representations, that is, the concepts, values, norms

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 38: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

38

representasinya, yakni kognisi, wacana dan masyarakat. Interaksi ketiga unsur inilah yang

dijadikan oleh Van Dijk sebagai dasar dalam mengembangkan kajian analisis wacana

kritisnya dengan mengembangkan pendekatan socio-cognitive.

Vand Dijk memulainya dengan teks formal bahasa dan kemudian elemen-elemen

yang tergabung dari model memori psikologis standard, bersama dengan gagasan dari frame

yang diambil dari ilmu kognisi. Dari sinilah Van Dijk melakukan penelitian yang terkait

dengan masalah strereotipe, prasangka reproduksi etnik, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh

elit dan juga perlawanan oleh kelompok-kelompok yang didominasi.

Van Dijk juga menekankan kontrol dimensi wacana sebagai sarana untuk

mendapatkan akses ke kekuasaan. Kontrol tersebut dapat berkaitan dengan tindakan dan

kognisi (Van Dijk 1993: 245). Kognisi atau kepercayaan sosial diwujudkan dalam model

mental kolektif sebagai hasil konsensus yang menghadapkan antara struktur sosial dan

wacana (Van Dijk dalam Wodak & Meyer 2009: 62-86). Dengan menggunakan kekuatan

kognisi inilah anggota dari suatu kelompok masyarakat mempengaruhi pikiran anggota

kelompok lainnya, lebih spesifik lagi mengubah pikiran orang lain untuk mengikuti agenda

atau kepentingannya. Disinilah yang dikatakan sebagai peranan wacana dalam reproduksi

kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat, yakni dengan mengontrol kepercayaan

masyarakat melalui wacana.

Untuk melakukan analisis terhadap suatu wacana, Van Dijk membuat kerangka

analisis wacana yang terdiri atas tiga struktur utama, yakni struktur makro (tematik), super

struktur (skematik), dan struktur mikro (Van Dijk 1985: 69-70 ; Eriyanto 2001: 227-229;

Sobur 2001: 73-84) 25

. Wacana pada teks merupakan manifestasi dari kognisi sosial dan

konteks sosial dimana wacana tersebut diproduksi. Oleh karenanya Van Dijk memasukkan

kognisi sosial dan konteks sosial dalam struktur analisis wacananya sebagai satu kesatuan

yang integratif dalam memahami wacana sebuah teks dan latar belakang diproduksinya

sebuah teks.

and images shared in a social group, and activated and maintained in discourse” (Moscovici 2000: 1-

17). 25

Untuk memudahkan dalam operasionalisasi kerangka analisis wacana dari Van Dijk, maka elemen-

elemen struktur wacananya dapat disederhanakan menjadi : tematik (apa yang dikatakan), skematik

(bagaimana mengatakannya), semantik (makna apa yang ditekankan), sintaksis (bagaimana susunan

kata yang digunakan), stalistik ( kata-kata apa yang digunakan), dan retoris (bagaimana dan dengan

cara apa penekanan kata dilakukan sehingga menimbulkan makna tertentu).

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 39: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

39

8. Multimodalitas dalam Analisis Wacana Kritis Iklan Politik

Van Dijk melakukan kajian wacananya pada teks-teks berita yang terdapat pada surat

kabar. Dengan demikian kerangka analisis wacananya memusatkan pada struktur bahasa

yang digunakan dalam pemberitaan. Van Dijk menggunakan tingkatan struktur yang jelas

dan sederhana dalam menganalisis unit-unit wacana dalam suatu struktur bahasa, oleh

karenanya kerangka analisis wacana dari Van Dijk banyak digunakan untuk menganalisis

berbagai teks yang tidak masuk dalam kategori berita, seperti teks iklan misalnya. Padahal

penggunaan gramatika bahasa dalam teks iklan berbeda dengan penggunaan gramatika

bahasa dalam teks berita, demikian pula dengan unsur yang membentuk teksnya.

Pada teks iklan di media cetak, selain teks verbal juga terdapat teks visual.

Sebagaimana dikemukakan Cook, apabila dalam berkomunikasi melibatkan tidak hanya

bahasa, namun juga musik dan gambar yang dimaksudkan untuk mengubah atau menambah

makna dari bahasa itu, maka analisis wacana yang dikembangkan harus mempertimbangkan

hal-hal ini secara keseluruhannya (Cook 2001: 3). Kerangka analisis wacana Van Dijk,

sebagaimana juga pada kerangka analisis wacana kritis pada umumnya, kurang dalam

mempertimbangkan aspek lain selain bahasa verbal.

Dalam iklan media cetak, teks verbal dan teks visual merupakan satu kesatuan dalam

membentuk makna dan wacana, sehingga ketika hendak melihat sebuah wacana dalam iklan,

maka harus melakukan analisa secara menyeluruh terhadap kedua komponen teks tersebut.

Oleh karenanya diperlukan pendekatan lain dalam bentuk analisis multimodal dalam

melakukan analisis terhadap teks iklan. Analisis multimodal menjadi suatu pendekatan

alternatif untuk mengetahui makna atau wacana dalam sebuah teks iklan (Kress dan Van

Leeuwen 2006: 15; Young dan Fitzgerald 2006: 169-173).

Analisis multimodal merupakan analisis menyeluruh terhadap teks yang tidak

berfokus hanya pada teks verbal, tetapi juga menggabungkannya dengan bentuk-bentuk teks

lainnya seperti teks visual, suara, percakapan, gerak, tindakan dan sebagainya26

. Melalui

26 Menurut Simpson dan Myer, orang jarang berkomunikasi secara monomodal, yakni hanya melalui

bahasa saja, tetapi secara multimodal. Multimodal artinya berkomunikasi melalui kombinasi dari

berbagai unsur yang menyertai bahasa seperti : citra visual, bahasa, suara dan bahkan bahasa tubuh.

Kalau bahasa mencitrakan ideologi, maka demikian pula halnya dengan komunikasi visual.

Komunikasi visual dapat membentuk pandangan kita tentang dunia dan menegosiasikan antara

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 40: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

40

analisis multimodal, analisis wacana terhadap sebuah teks akan menjadi lebih integratif dan

komprehensif karena semua sumberdaya semiotik yang menimbulkan makna dapat dianalisis

dan diinterpretasikan secara bersama untuk mendapatkan satu pengertian bersama dari

sesuatu yang dianalisis. Terkait dengan multimodal discourse analysis Nugroho (2009; 71)

menyatakan :

“Multimodality or multimodal discourse analysis provides the tools and techniques to

analyse texts which employ more than one mode of discourse. It is interesting to see

how different semiotic resources are deployed simultaneously in the process of

making the intended meaning well-projected by the advertisement designers to the

viewers, the potential buyers of the advertised product”.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa multimodal discourse analysis bukan hanya

sebuah konsep tentang sumberdaya semiotik yang terdapat dalam sebuah teks, akan tetapi

juga sebagai perangkat dan teknik yang dapat digunakan untuk menganalisis teks yang

menggunakan lebih dari satu sumber daya semiotik. Melalui analisis multimodal akan

diketahui bagaimana bentuk-bentuk teks membangun makna atau wacana suatu teks secara

keseluruhan, apakah bentuk-bentuk teks tersebut saling mendukung, saling bertentangan,

saling tumpang tindih, atau bahkan memberikan makna yang berbeda satu sama lain

meskipun dalam teks yang sama. Keseluruhan informasi dalam teks akan menentukan makna

atau wacana seperti apa yang ingin ditampilkan oleh teks kepada khalayak (Young dan

Fitzgerald 2006: 170).

Fondasi teori analisis multimodal pada awalnya dikembangkan oleh Halliday melalui

teorinya “the Systemic Functional Linguistic” (SFL) yang melihat bahasa sebagai fenomena

sosial dan semiotika sosial (Jewit 2006: 3). Teori linguistik fungsional sistemik melihat

bahasa sebagai fenomena sosial yang berhubungan dengan konteks sosial pemakaian bahasa

hubungan sosial dan kekuasaan. Struktur visual juga mengekspresikan makna dan berkontribusi pada

keseluruhan pesan teks. Analisis komunikasi visual oleh karenanya menjadi suatu bagian yang sangat

penting dalam analisis kritis, baik dalam media, iklan, atau teks-teks lain yang disertai dengan desain

visual. Menurut Kress dan Leuween, image visual sepenuhnya berada pada bidang ideologi sebagai

sarana – selalu- untuk munculnya posisi idiologis. (1996/2006: 13).

Karena berbagai mode komunikasi telah digunakan dalam mode yang lebih terintegrasi, saat ini di

kalangan peneliti berkembang suatu pendekatan penelitian yang sering disebut dengan Multimodal

Discourse Analysis (MDA) (untuk melengkapi) kajian Critical Discourse Analysis (CDA) yang lebih

berfokus pada analisis struktur linguistik yang bersifat monomodal, yang memberikan perhatian pada

produksi sosial berkaitan dengan ketimpangan, kekuasaan, ideologi, dan manipulasi. (Simpson & Mayr

2010: 87). Kress menyatakan ; ”Now imposible to make sense of text….without having a clear idea of

what these others feature might be contributing to the meaning of the text “ (Kress 2000: 337).

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 41: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

41

yang mencakup fungsi, sistem, makna, semiotika sosial, dan konteks. Bahasa bersama-sama

dengan sistem sosial lainnya bekerja dalam menciptakan makna. Sebagai semiotika sosial,

bahasa merupakan sistem makna yang melihat tanda dalam arti yang lebih luas, yakni sebagai

suatu sistem tanda yang merupakan bagian tatanan-tatanan yang saling berhubungan sebagai

pembawa makna dalam budaya. Sehingga bahasa dalam semiotika sosial mendapatkan

maknanya melalui interaksi sosial, dengan perantara sosial, dan untuk tujuan sosial (Halliday

dan Hasan 1992: 4-6).

Halliday membuat empat klaim utama tentang bahasa, yakni 1) fungsional,

menyangkut klaim apa yang bahasa dapat lakukan atau apa yang dapat dilakukan dengan

bahasa, 2) semantik, menyangkut klaim bahasa yang digunakan untuk menciptakan makna,

3) kontekstual, menyangkut pertukaran makna yang dipengaruhi oleh situasi sosial dan

kultural, 4) semiotik, menyangkut proses pembuatan makna melalui proses seleksi, dari

seluruh pilihan yang membenarkan apa yang dimaksudkan (Halliday 1975/1985: 53).

Halliday juga mengidentifikasikan tiga jenis makna yang diwujudkan dalam bahasa sebagai

suatu keseluruhan, membentuk basis organisasi semantik dari semua bahasa alamiah. Ini

dikatakannya sebagai meta fungsi (metafunction) bahasa yakni, komponen-komponen yang

beroperasi secara simultan dalam semantik setiap bahasa, yang didefinisikannya sebagai

berikut.

o the Ideational metafunction, which is the resource for the “representation of

experience : our experience of the world that lies about us, and also inside us,

the world of our imagination. It is meaning in the sense of „content‟.

o the Interpersonal metafunction, which is the resource for “meaning as form of

action. The speaker or writer doing something to the listener or reader by

means of language.

o the Textstual metafunction, which is the resource for maintaining “ relevance to

the context : both the preceding (and following) text, and context of situation

(Halliday 1985: 53).

Teori Systemic Functional Language (SFL) Halliday dengan meta fungsi bahasanya

kemudian dikembangkan oleh O’Tole (1994), Kress dan van Leuwen (1996/2006), Martin

(2002), Martin dan Rose (2003), yang menggunakan teori ini untuk kajian semiotik yang

melibatkan bahasa dan visual. Fokus kajiannya adalah mengembangkan teori tentang

interaksi dan integrasi antara bahasa dan gambar. Kajian-kajian inilah yang pada akhirnya

melahirkan istilah multimodal, yakni penyebaran sumber daya semiotik dalam suatu teks

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 42: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

42

yang bersifat multimodal, sebagaimana analisis yang dilakukan oleh Thibault (2000) tentang

analisis integrasi bahasa, visual image, suara dan musik pada iklan televisi (O’Halloran 2006:

221).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teks multimodal merupakan teks yang

dibentuk oleh lebih dari satu sistem tanda atau penandaan dalam semiotika, misalnya teks

yang terdiri dari tulisan dan gambar. Menurut Kress dan Van Leeuwen (2006: 18,40,41)

tulisan dan gambar dapat merepresentasikan berbagai pengalaman-pengalaman sosial.

Misalnya dalam iklan produk kecantikan, komponen verbalnya mungkin tidak mengarah

kepada prasangka-prasangka gender yang seksis, tetapi komponen visualnya mungkin

sebaliknya, mengarah pada prasangka-prasangka gender yang seksis. Ini karena sistem

semiotik memiliki kemampuan untuk merepresentasikan aspek-aspek pengalaman dunia di

luar sistem tanda baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam melakukan

analisisnya, Kress dan van Leeuwen mengembangkan ketiga komponen metafungsi

sebagaimana dikemukakan Halliday di atas (komponen ideasional, komponen interpersonal

dan komponen tekstual) untuk sistem semiotik dalam suatu teks multimodal yang ditelitinya.

Dalam melakukan analisis terhadap teks yang bersifat multimodal khususnya untuk

iklan di media cetak, ada beberapa model analisis yang dikembangkan, di antaranya adalah

yang dikembangkan oleh Lim dengan “the Integrative Multi Semiotic Model (IMM) (Fei

2004: 220-225)27

. Model analisis lainnya adalah apa yang dikemukakan oleh Halliday dan

Hasan (1985: 64) tentang apa yang disebutnya sebagai “the Generic Structure of

Advertisement”. Awalnya struktur umum dari iklan ini merupakan gagasan Hasan yang

membagi struktur umum iklan terdiri atas Capture, Focus, Justification (Hasan 1996: 41-42

dalam Yuen 2004: 164).

Capture merupakan komponen yang digunakan sebagai penangkap pandang atau

penarik perhatian, yang diwujudkan dalam tata-letak visual (visual lay-out), pola huruf,

dan/atau keberadaan gambar. Sedangkan Focus dan Justification tidak terdapat keterangan

27

Pada model ini menurut Martin (1992), terdapat dua sumber daya semiotik yang dianalisis yaitu

bahasa dan gambar (visual image). Dua sumber daya semiotik ini kemudian dikonsepsualisasikan pada

tiga tahap perencanaan yaitu 1) expression plane, mencakup tipografi (untuk bahasa), dan grafis

(untuk gambar), 2) content plane, mencakup leksikal-grammer dan wacana semantik (untuk bahasa)

dan visual grammer dan wacana semantik (untuk visual) 3) contex plane, mencakup register, genre dan

idiologi.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 43: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

43

apakah berkaitan dengan aspek visual atau aspek linguistiknya, tetapi yang jelas digunakan

sebagai komponen pendukung Capture. Karena ada ketidak jelasan antara komponen verbal

dan visual, maka struktur umum iklan ini kemudian disempurnakan kembali oleh Halliday

dan Hasan (1985: 64) yang memformulasikan Capture sebagai keseluruhan elemen yang

terdapat pada suatu iklan baik yang wajib maupun yang opsional yang di antaranya terdiri

atas : Lead, Display, Emblem, Announcemen, Enhancer, Tag, Call and Visit Information.

Secara skematik struktur umum dari iklan cetak digambarkan sebagai berikut.

Tabel I.2. The Generic Structure of Print Advertisement

(O”Halloran 2004: 165)

Pada skema ini, komponen visual dan linguistik dalam iklan dibedakan secara

eksplisit, dan menjadi sumber-sumber semiotik yang saling berinteraksi menciptakan makna

baik pada tataran ideasional, interpersonal maupun dan komposisional (textual meaning).

H. Kerangka Konsep

Iklan sebagai sebuah wacana merupakan konsepsi terstruktur atas karakteristiknya

sebagai medium penyampai pesan tentang “ide” (dalam arti luas) yang bersifat impersonal,

dan dibiayai untuk tujuan mempersuasi kelompok-kelompok masyarakat tertentu demi motif

atau kepentingan-kepentingan pihak yang membiayai atau yang mempersuasi. Oleh

karenanya sebagai sebuah artefak komunikasi, iklan dipenuhi dengan simbol-simbol yang di

Visual component Lead : Locus of Attention (LoA) Complement to

the Locus of Attention (Comp. LoA)

Display : Explicit, Implicit, Congruent, Incongruent

(Metaphorical).

Emblem :

Linguistic component Announcement : Primary, Secondary

Enhancer

Emblem

Tag

Call and Visit Information

Interaction to create Interpersonal, Ideational and compositional/Textual Meaning

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 44: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

44

dalamnya menyiratkan substansi idiologis yang tersembunyi dalam struktur teks, baik melalui

tanda-tanda verbal maupun tanda-tanda visual yang ditampilkan. Substansi idiologis inilah

yang menjadi inti wacana dalam iklan, yang hanya dapat dipahami melalui pembacaan teks

iklan atau melalui dekonstruksi terhadap teks iklan itu sendiri. Jadi secara idiologis, iklan

memang sebuah wacana yang mewacanakan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat.

Oleh karena karakteristiknya yang secara idiologis sebagai media yang

mewacanakan aspek-aspek kehidupan tertentu yang menjadi kepentingan pengiklan, maka

iklan sering dicurigai sebagai alat kepentingan dari pihak-pihak yang berdaya/berkuasa

untuk menciptakan dominasi atau kekuasaan melalui idiologi yang ditanamkannya secara

manipulatif melalui simbol-simbol yang terdapat pada iklan. Untuk mengurai substansi

idiologi yang terdapat dalam iklan politik yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini,

maka hal-hal yang akan diurai adalah tentang apa yang diwacanakan, bagaimana

mewacanakannya dan apa alasan-alasan yang mendasari dari dipilihnya wacana-wacana

tertentu beserta konteks yang menyertainya. Ini menyangkut produksi wacana yang

memerlukan penyelidikan terhadap unsur-unsur yang membentuk iklan.

Secara konsepsional, produksi wacana dalam iklan merupakan pergulatan dalam

dialektika kreatif untuk menentukan ide utama yang menjadi inti atau substansi yang akan

dikatakan (diwacanakan) dalam iklan. Pergulatan dialektika kreatif dalam menentukan ide

utama ini melibatkan, tidak hanya penggalian informasi tentang aspek-aspek intrinsik/internal

dari produk, ide atau jasa yang akan diiklankan, akan tetapi juga aspek-aspek eksternal yang

terkait langsung atau tidak langsung dengan produk, ide atau jasa yang akan diiklankan.

Faktor eksternal ini bisa para pesaing, khalayak yang menjadi target konsumernya, situasi

pasar, atau pada konteks kemasyarakatan yang lebih besar yang mencakup aspek sosial dan

budaya, dan sebagainya.

Setelah mendapatkan ide utama yang menjadi substansi yang akan diwacanakan,

rangkaian berikutnya adalah pergulatan kreatif untuk menentukan bagaimana

mewacanakannya. Meski tidak serumit seperti dalam menentukan ide utama, namun dalam

mewacanakan ide utama juga perlu mempertimbangkan konteks yang melatar belakangi

terbentuknya ide utama tersebut. Dari sini kemudian ditetapkan daya tarik apa yang akan

digunakan untuk menarik perhatian dan memikat publik yang menjadi target sasarannya, dan

kemudian akan dikemas dengan format naskah, struktur naskah dan gaya naskah yang

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 45: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

45

bagaimana. Berdasarkan ide utama, daya tarik, format naskah, struktur naskah, dan gaya

naskah kemudian ditetapkan ilustrasi atau visualisasinya. Pada saat inilah iklan telah

terbentuk sebagai sebuah teks yang dipresentasikan melalui teks verbal dan teks visual

sebagai sebuah satu kesatuan wacana.

Dalam upaya melakukan pembacaan terhadap wacana dalam iklan, pada penelitian

ini digunakan kerangka analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk yang terdiri dari struktur

makro, supra struktur dan struktur mikro, selain juga kognisi sosial dan konteks sosialnya.

Dengan menggunakan kerangka analisis wacana Van Dijk, akan diketahui substansi dan

struktur wacana melalui struktur bahasa yang digunakan dalam teks verbal, juga kognisi

sosial dan konteks sosial yang melatarbelakanginya. Namun karena keutuhan wacana dalam

iklan cetak tidak hanya meliputi teks verbal akan tetapi juga teks visual, maka diperlukan

perangkat analisis lain dalam bentuk analisis multimodal. Analisis multimodal merupakan

analisis terhadap keseluruhan elemen dalam iklan, yang berupaya untuk mencari koherensi

dan kohesifitas antara teks verbal dan teks visual.

Model analisis multimodal yang digunakan adalah model yang dikembangkan oleh

Halliday dan Hasan dengan menggunakan struktur umum iklan cetak yang unsur-unsur

visualnya terdiri dari Lead, Display, Emblem, sedangkan unsur verbalnya terdiri dari

Announcement, Enhancer, Emblem, Tag, Call and Visit Information, dimana kedua unsur ini

(verbal dan visual) berinteraksi membentuk metafungsi bahasa yang bersifat ideasional,

interpersonal, dan komposisional dalam membentuk makna teks dalam teori Linguistik

Fungsional Sistemik (LFS) sebagaimana dimaksudkan oleh Halliday.

Dalam mengintegrasikan model analisis wacana kritis Van Dijk dan analisis

multimodal melalui The Generic Structure of Print Advertisement dari Halliday dan Hassan,

sumber-sumber semiotik berupa komponen linguistiknya dapat diintegrasikan dalam

superstruktur yang terdapat pada model analisis wacana kritis Van Dijk. Sumber-sumber

semiotik dalam komponen linguistik analisis multimodal Halliday dan Hassan yang berupa

Announcement, Enhancer, Emblem, Tag, Call and Visit Information adalah bagian-bagian

yang tersusun pada struktur iklan. Pada model analisis wacana kritis Van Dijk superstruktur

adalah kerangka dasar sebuah teks yang meliputi susunan atau rangkaian struktur atau elemen

sebuah teks dalam membentuk satu kesatuan bentuk yang koheren. Dengan kata lain,

superstruktur dalam analisis wacana Van Dijk merupakan skema atau alur sebuah teks.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 46: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

46

Apabila diterapkan dalam iklan, superstruktur yang dimaksud adalah bagian-bagian yang

tersusun pada struktur naskah iklan sebagaimana disebutkan di atas. Jadi superstruktur

analisis wacana kritis Van Dijk dalam konteks penelitian ini merupakan rangkaian struktur

dalam teks iklan yang terdiri dari Announcement, Enhancer, Emblem, Tag, dan Call and

Visit Information. Sedangkan visual component-nya tetap berdiri sendiri sebagai sebuah

struktur visual dengan unsur-unsur Lead, Display dan Emblem.

Adapun skema atau bagan konsep tentang produksi wacana dan analisis wacana iklan

sebagaimana dimaksudkan pada penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Tabel I.3

Bagan Konsep Produksi Wacana dan Analisis Wacana Kritis Iklan

Konteks Sosial Politik

P R O S E S K R E A T I F

Format Naskah Struktur Naskah Gaya Naskah

Teks Iklan

Verbal Visual

R E P R E S E N T A S I

W A C A N A

Teknik Ilustrasi

Publik

MULTIMODALITAS

Struktur Verbal

Struktur Makro

Super Struktur

Struktur Mikro

Struktur Visual

Ide Utama

Daya Tarik

Kognisi Sosial

Analisis

Produk

Analisis Pasar

dan Pesaing

Strategi

Periklanan

Tujuan

Periklanan

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 47: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

47

I. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian berkenaan dengan prosedur atau tata cara penelitian dilakukan

dalam upaya mendapatkan jawaban terhadap permasalahan penelitian28

. Di dalamnya

mencakup bukan hanya pada metode (cara/teknik) bagaimana penelitian dilakukan, akan

tetapi juga epistemologi yang mendasari dipilihnya suatu metode (cara/teknik) tertentu untuk

mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Oleh karena itu dalam

mengurai metodologi penelitian pada penelitian ini pertama yang perlu dikemukakan adalah

paradigma penelitiannya, yang dengan paradigma ini dapat ditentukan metode (cara/teknik)

penelitiannya, cara pengumpulan datanya serta teknik analisis data penelitiannya.

1. Paradigma Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Dasarnya

adalah karena iklan politik merupakan fenomena komunikasi yang di dalamnya

mengindikasikan adanya relasi kuasa melalui bahasa (verbal dan visual), dimana pengiklan

berusaha untuk mempengaruhi atau mengubah kesadaran, pengetahuan, sikap, dan perilaku

dari khalayak sasaran dengan cara yang menguntungkan mereka untuk tujuan dan

kepentingan politik, ekonomi atau idiologi tertentu. Atau untuk mempengaruhi cara orang

berpikir tentang posisi sosial atau ekonomi tertentu. Iklan dalam hal ini menjadi alat yang

digunakan untuk melanggengkan hubungan yang tidak sederajat antara yang “berkuasa”

dengan yang “dikuasai”.

2 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan

jenis penelitian yang bersifat deskriptif. Gabungan di antara keduanya sering disebut sebagai

penelitian deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif memfokuskan pada aspek kualitas atau

makna dari suatu objek atau fakta yang dijelaskan melalui penggunaan bahasa atau kata-kata,

28

Metodologi berasal dari kata Yunani “metodhologia” yang berarti teknik atau prosedur. Metodologi

merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh (general logic) dan gagasan teoritis (theoretic

perspectives) suatu penelitian (Raco 2010: 1). Atau ilmu tentang jenjang-jenjang yang harus dilalui

dalam suatu proses penelitian (Adi 2004: 1). Bailey menggambarkan metode dan metodologi sebagai

berikut :”By method we simply mean the research technique or tool used to gather data…By

methodology we mean the philosophy of the research process (Bailey 1978: 32). Dengan demikian

metodologi lebih merujuk pada filosofi proses penelitian, sedangkan metode menunjuk pada teknik

yang digunakan dalam penelitian seperti survey, eksperimen dan sebagainya.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 48: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

48

bukan dalam bentuk bilangan, angka, nilai, peringkat atau frekuensi. Creswell

menggambarkan pendekatan kualitatif sebagai

”…is one in which the inquirer often makes knowledge claims based primarily on

constructivist perspectives (i.e. the multiple meanings of individual experiences,

meanings socially and historically constructed, with an intent of developing a theory

or pattern) or advocacy/participatory perspectives (i.e. political, issue-oriented,

collaborative or change oriented) or both” (Creswell 2003: 18).

Sedangkan penelitian deskriptif yang dimaksudkan di sini adalah “research focused

on providing an accurate description or picture of the status or characteristics of a situation

or phenomenom” (Johnson & Larry 2012: 366). Titik tekan pada penelitian diskriptif adalah

memberikan gambaran yang akurat tentang suatu objek, fenomena, situasi atau fakta tertentu.

Jadi tidak dimaksudkan untuk menerangkan hubungan sebab akibat ataupun pengaruh dari

objek, fenomena, situasi atau fakta tertentu. Dengan demikian penelitian deskriptif kualitatif

dimaksudkan untuk memberikan gambaran/penjelasan dengan mendiskripsikan ataupun

menguraikan objek/fakta yang diteliti melalui uraian-uraian yang bersifat kualitatif sebagai

jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Oleh karenanya diperlukan kedalaman

pemahaman terhadap sifat/ciri/karakteristik dari objek yang diteliti agar diketahui apa,

mengapa dan bagaimana sifat/ciri atau karakter dari objek yang diteliti.

3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Analisis

Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA). Digunakannya Critical Disscourse

Analysis (CDA) sebagai metode pada penelitian ini karena praktek kebahasaan dalam iklan

politik merupakan praktek kebahasaan yang terstruktur, dominan, hegemonik, dan

diterministik yang diupayakan sedemikian rupa oleh pengiklan untuk tujuan terciptanya

sebuah struktur kesadaran, pengalaman dan pengetahuan yang dirasakan sama oleh khalayak

sasarannya.

Model analisis CDA yang digunakan merupakan kombinasi antara model analisis

wacana kritis dari Teun A. Van Dijk dan analisis wacana multimodal (Multimodal Discourse

Analysis) dari Halliday dan Hassan, yakni dengan menggabungkan kedua model analisis

yang ada sehingga didapatkan komponen analisis yang terdiri atas komponen visual,

komponen verbal, komponen kognisi sosial, dan komponen konteks sosial. Level analisis dari

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 49: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

49

masing-masing komponen analisis ini mencakup pada struktur visual, struktur verbal,

struktur kognisi sosial, dan struktur konteks sosial. Pada masing-masing level analisis

dijabarkan unit analisisnya sebagai berikut :

Pada struktur visual komponen unit analisisnya terdiri atas Lead, Display dan Emblem.

Lead merupakan gambar yang paling menonjol yang menjadi fokus utama yang

menarik perhatian penonton. Lead dalam hal ini dibedakan menjadi dua yakni lead

utama (Locus of Attention/LoA) lead pelengkap (Complementary Locus of

Attention/Comp. LoA).

Display merupakan komponen visual yang menunjukkan karakteristik dari lead

dalam dua kategori ; Explisit – Implicit; dan Congruent – Incongruent. Display

eksplisit berfungsi menggambarkan produk secara nyata; display implisit berfungsi

merealisasikan bentuk produk ataupun jasa yang tidak nyata menjadi nyata melalui

medium lain; display kongruen berfungsi untuk merealisasikan produk tanpa melalui

simbolisasi; dan display inkongruen berfungsi merealisasikan produk melalui

simbolisasi.

Emblem merupakan komponen visual yang ketiga dalam iklan yang merujuk pada

logo atau merek sebuah produk atau perusahaan yang berfungsi sebagai identitas atau

penanda dari produk atau perusahaan itu sendiri.

Pada struktur verbal yang merupakan struktur wacana, dibedakan atas tiga sub struktur

yang terdiri dari struktur makro, superstruktur dan struktur mikro. Masing-masing unit

analisisnya adalah sebagai berikut :

1) Struktur makro dengan tema sebagai unit analisisnya.

Struktur makro merupakan makna umum dari teks yang dilihat dari tema atau topik

yang dikemukakan. Tema atau topik ini berisi gagasan inti yang menjadi konsep

dominan, sentral dan paling penting dalam teks. Gagasan inti yang menjadi wacana

dalam iklan tidak hanya melibatkan teks, karena wacana dalam iklan terdiri dari teks

dan konteks yang ditanggapi secara menyatu oleh orang yang melihat iklan tersebut.

Konteks merupakan keseluruhan aspek yang melingkupi sebuah teks yang

komponen-komponennya terdiri dari : Substansi (Substance), Musik dan gambar

(Music and pictures), Parabahasa (Paralanguage), Situasi (Situation), Ko-teks (Co-

text), Interteks (Intertext), Partisipan (Participants), dan Fungsi (Function).

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 50: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

50

2) Superstruktur dengan Announcemen, Enhancer, Tag, Emblem, Call and Visit

Information sebagai unit analisisnya.

Announcement merupakan komponen terpenting dalam sebuah teks iklan.

Berfungsi sebagai penarik atau penangkap pandang dan membawa esensi makna

yang dimiliki pesan iklan. Primary announcement merupakan malumat (pesan)

utama yang biasanya ditampilkan dengan huruf kapital dengan ukuran (font)

huruf yang besar dan skala yang berbeda dengan bagian linguistik lainnya dalam

teks. Secondary Announcement merupakan pesan pendukung yang sifatnya

melengkapi pesan utama dalam Primary announcemen, yang biasanya

ditampilkan dengan huruf biasa yang ukurannya lebih kecil dari ukuran huruf

yang digunakan pada Primary announcement. Dalam struktur kreatif iklan,

Primary announcement ini merupakan headline dan Secondary Announcement

merupakan sub headline.

Enhancer yang merupakan keterangan detil dari pesan utama yang terdapat pada

Primary announcement berkedudukan sebagai bodycopy. Hal ini dicirikan dari

typology hurufnya yang menggunakan font huruf yang lebih kecil dibandingkan

dengan font huruf yang digunakan pada Enhancer terdiri dari komponen-

komponen linguistik yang biasanya berbentuk paragraph, menjelaskan

hubungan-hubungan antar klausa dan membangun atau memoodifikasi makna

yang berasal dari interaksi antara lead dengan announcement.

Tag merupakan phrase tambahan atau klausa yang memberikan

keterangan/penjelasan atau omentar singkat dari sebuah objek visual pada iklan,

yang pada elemen kreatif disebut dengan banner. Biasanya dicetak dalam bentuk

tulisan kecil yang tidak menonjol.

Emblem lingusitik merupakan komponen linguistik yang menyertai emblem

visual yang merupakan logo type.

Call-and-Visit Information adalah komponen linguistik yang berupa kontak

informasi dimana pembaca iklan dapat melakukan kontak kepada perusahaan

untuk mendapatkan produk yang diiklankan.

3) Struktur mikro dengan semantik, sintaksis, stalistik, retoris sebagai unit analisisnya.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 51: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

51

Unsur semantik merupakan makna lokal (local meaning), yakni makna yang

muncul dari kata, klausa, kalimat, dan paragraf, serta hubungan di antara mereka,

seperti hubungan antarkata, hubungan antarklausa, antarkalimat, dan antar

paragraf yang membangun satu kesatuan makna dalam satu kesatuan teks. Unsur

semantik terdiri dari beberapa elemen yang menyusun bangunan makna secara

utuh yakni latar, detail, ilustrasi, maksud, pengandaian, dan penalaran.

Unsur sintaksis

Merupakan salah satu elemen yang membantu pembuat teks untuk memanipulasi

keadaan dengan jalan penekanan secara tematik pada tatanan kalimat. Analisis

sintaksis dilakukan dengan melakukan analisis terhadap koherensi, nominalisasi,

abstraksi, bentuk kalimat, dan kata ganti yang digunakan dalam kalimat.

Unsur stilistik

Merupakan unsur style atau ragam tampilan sebuah teks dengan menggunakan

bahasa sebagai sarananya. Unsur stalistik yang dianalisis pada iklan ini adalah

kata kunci dan pilihan kata (leksikon).

Unsur retoris

Merupakan unsur gaya penekanan dan interaksi dalam bahasa dalam sebuah teks.

Pada struktur kognisi sosial maka unit analisisnya adalah pengetahuan/ kepercayaan

sosial yang dibagi bersama oleh pembuat iklan melalui wacana.

Pada struktur konteks sosial unit analisisnya adalah berbagai peristiwa yang terjadi di

masyarakat dan yang menjadi wacana di masyarakat.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 52: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

52

Tabel I.4

Integrasi Model Analisis Wacana Kritis Van Dijk dan Analisis Wacana Multimodal Halliday

dan Hassan

Komponen

Analisis

Level Analisis Unit

Analisis

Elemen

Visual Struktur visual Visual Lead

Display

Emblem

Linguistik/

verbal

Struktur

verbal

Struktur Makro Teks Tema (teks dan konteks)

Superstruktur Teks Announcement

Enhancer

Emblem

Tag

Call and Visit Information

Struktur Mikro Teks Semantik Latar

Detail

Ilustrasi

Maksud

Pengandaian

Penalaran

Sintaksis Koherensi

Nominalisasi

Abstraksi

Bentuk kalimat

Kata ganti

Stilistik Kata kunci

Pilihan kata

Retoris Gaya

Interaksi

Kognisi

Sosial

Struktur kognisi sosial Pengetahuan/kepercayaan

sosial yang dibagi bersama

melalui wacana.

Konteks

Sosial

Struktur konteks sosial Berbagai peristiwa yang

terjadi di masyarakat dan

yang menjadi wacana di

masyarakat.

4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik atau metode pengumpulan data dilakukan dengan

beberapa cara, di antaranya adalah:

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 53: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

53

a. Dokumentasi

Karena obyek penelitian dalam penelitian ini adalah iklan politik yang terdapat pada

Surat Kabar Harian Kompas masa diselenggarakannya pemilu tahun 1999, maka dengan

demikian diperlukan dokumen-dokumen dari iklan-iklan politik yang dimaksud.

b. Wawancara mendalam

Wawancara mendalam pada penelitian ini dilakukan untuk menggali berbagai informasi

mengenai bagaimana proses kreatif pembuatan iklan sehingga melahirkan wacana

tertentu yang diusung dalam iklan. Penulisan teks akan sangat dipengaruhi oleh

kesadaran mental penulis dan pemahamaannya atas peristiwa tertentu. Dalam kaitannya

dengan penelitian ini wawancara mendalam akan dilakukan khususnya pada creative

director, art director dan copywriter.

c. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk memperkuat analisis wacana pada level konteks sosial

sebagai bentuk praksis dinamika kehidupan sosial yang menjadi seting kepercayaan

sosial yang diwacanakan.

5 Analisis Data

Iklan politik yang telah dipilih dianalisis melalui enam tahapan analisis dengan

urutan tahapan sebagai berikut:

a. Tahap pertama adalah analisis terhadap struktur kreatif iklan, mencakup elemen teks dan

visual dengan unit-unit yang dianalisis terdiri atas ide naskah, daya tarik naskah, format

naskah, struktur naskah, gaya naskah, dan ilustrasi iklan.

b. Tahap kedua adalah analisis pada struktur visual iklan yang terdiri lead, display dan

emblem.

c. Tahap ketiga adalah analisis struktur verbal, mencakup struktur makro, superstruktur,

dan struktur mikro dengan unit-unit yang dianalisis terdiri atas tema, skema, semantik,

sintaksis, stilistik, retoris.

d. Tahap keempat adalah analisis kognisi sosial, mencakup analisis terhadap pemahaman

kreator iklan terhadap berbagai situasi yang menginspirasinya yang diyakininya sebagai

kepercayaan sosial yang harus dibagi bersama dalam kehidupan sosial melalui iklan yang

dibuatnya.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 54: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

54

e. Tahap kelima adalah analisis konteks sosial, mencakup analisis terhadap berbagai situasi

dan kondisi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang menjadi pengetahuan

bersama yang menjadi konteks dalam sebuah wacana.

f. Tahap keenam adalah analisis idiologi yang terdapat dalam iklan politik, mencakup

substansi dari keseluruhan pemaknaan yang ada dalam wacana iklan politik yang diteliti.

Data-data hasil tahapan analisis kemudian diproses dengan melalui tiga alur analisis

yang dilakukan secara bersamaan yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan (Miles & Huberman 1992: 16). Reduksi data merupakan kegiatan pemilihan,

penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” terhadap catatan-catatan

tertulis di lapangan. Hal ini dilakukan melalui penseleksian yang dilakukan secara ketat

terhadap data-data lapangan dan menggolongkannya dalam satu pola yang lebih luas, dan

disusun dalam sebuah susunan yang sistimatis sesuai dengan kebutuhan penelitian.

Setelah dilakukan kategorisasi, data-data penelitian kemudian disajikan dalam bentuk

penyajian data yang tersusun secara rapi dan sistimatis dengan berbagai bentuk penyajian

(bagan ataupun ringkasan) yang memudahkan bagi peneliti untuk melakukan analisis dan

penarikan kesimpulannya. Yang terpenting disini adalah menyusun data yang relevan dan

memiliki alur pikir yang jelas sehingga menjadi informasi yang dapat disimpulkan dan

memiliki makna tertentu yang dapat ditindaklanjuti untuk mencapai tujuan penelitian. Prosesi

akhir dari analisis data adalah penarikan kesimpulan setelah sebelumnya dilakukan

interpretasi terhadap data-data yang telah disusun yang disesuaikan dengan tujuan

penelitiannya. Penarikan kesimpulan ini merupakan konfigurasi yang utuh yang diverifikasi

selama berlangsungnya penelitian dengan merujuk kembali pada catatan-catatan lapangan

yang telah disusun selama penelitian berlangsung.

6. Definisi Operasional

Fokus penelitian ini secara substantif berkisar di tiga area analisis wacana yakni apa

yang diwacanakan, bagaimana mewacanakannya, serta idiologi apa yang terdapat di balik

wacana. Untuk mengurai tiga area analisis wacana pada penelitian ini dilakukan enam

tahapan analisis sebagaimana telah dikemukakan pada poin analisis data di atas. Masing-

masing tahapan analisis dioperasionalkan sebagai berikut:

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 55: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

55

a. Analisis struktur kreatif iklan adalah analisis terhadap komponen-komponen kreatif iklan

sebagai sebuah kesatuan yang membentuk pengertian dalam teks yang diwacanakan.

Dilihat dari komponen-komponen kreatif dalam struktur iklan yang terdiri dari : Ide

naskah, Daya tarik naskah, Format naskah, Struktur naskah, Gaya naskah,

Ilustrasi/visualisasi.

b. Analisis struktur visual adalah analisis terhadap elemen-elemen visual sebagai unsur

pembentuk wacana dalam iklan yang dilihat dari lead, display dan emblem.

c. Analisis struktur wacana adalah analisis terhadap praktek kebahasaan yang digunakan

dalam ujaran tertulis teks iklan. Analisis struktur wacana pada teks iklan dlihat dari :

Struktur makro (tematik), yakni struktur utama dari teks yang merupakan arus utama

dari keseluruhan pemikiran yang ada dalam teks yang menjadi inti wacana, dilihat

dari koherensi pada keseluruhan pemikiran yang ada pada teks dikombinasikan

dengan konteks yang menyertainya yang terdiri atas : Substansi (Substance), Musik

dan gambar (Music and pictures), Parabahasa (Paralanguage), Situasi (Situation),

Ko-teks (Co-text), Interteks (Intertext),

Partisipan (Participants), dan Fungsi (Function).

Super struktur (skematik), yakni komponen-komponen yang membangun struktur

teks yang dalam iklan secara garis besarnya dilihat dari : Announcement,

Enhancer, Emblem, Tag, dan Call and Visit Information.

Struktur mikro, yakni unsur-unsur bahasa (linguistik) yang digunakan dalam

membangun pemaknaan dalam konstruksi wacana yang dalam hal ini dilihat dari

unsur semantik, unsur sintaksis, unsur stilistik, dan unsur retoris.

a. Unsur semantik terdiri atas : Latar, Detail, Ilustrasi, Maksud,Pengandaian,

Penalaran

b. Unsur sintaksis terdiri atas : Koherensi, Nominalisasi, Abstraksi, Bentuk

kalimat, Kata ganti.

c. Unsur stilistik terdiri atas : Kata kunci, Pilihan kata.

d. Unsur retoris terdiri atas : Gaya, Interaksi.

d. Analisis kognisi sosial adalah analisis terhadap struktur pengetahuan dari berbagai

kondisi kemasyarakatan yang diterima dan dipahami pembuat teks dengan

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 56: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94614/potongan/S3-2016-293017...berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. ... Argumentasi

56

ideosinkretiknya sehingga melatarbelakangi lahirnya sebuah teks dengan wacana tertentu

yang terdapat di dalamnya, dilihat dari pengetahuan dan pemahaman pembuat teks

tentang berbagai kondisi dan situasi kemasyarakatan yang terjadi pada saat dibuatnya

teks.

e. Analisis konteks sosial adalah analisis terhadap berbagai situasi dan kondisi

kemasyarakatan yang terjadi pada suatu kurun waktu tertentu yang dirasakan sebagai

kepercayaan bersama oleh masyarakat, dilihat dari kondisi sosial, ekonomi, politik,

budaya, agama dan sebagainya yang menyangkut langsung kehidupan masyarakat.

f. Analisis idiologi adalah analisis terhadap substansi yang tersembunyi dalam teks dan

wacana dan yang menjadi inti dalam wacana. Analisis idiologi dilakukan dengan

melakukan interpretasi terhadap wacana yang ada (ekstraksi wacana) dan dikaitkan

secara intertekstualitas dengan tanda-tanda verbal dan tanda-tanda visual dalam iklan

sehingga diperoleh inti wacana (ekstrak) yang disebut sebagai idiologi.

Wacana dan Representasi Ideologi Iklan Politik Indonesia di Era ReformasiWIDODO AGUS SETIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/