argumentasi ontologi cartesian

26
CARTESIAN ONTOLOGICAL ARGUMENT ON THE EXISTENCE OF GOD PAPER Diajukan untuk memenuhi Nilai Tugas KAT pada mata kuliah Sejarah Pemikiran Periode Semester Akselerasi 2015/2016 Disusun Oleh: Bunga Rosi Yanti 1305000000 In Gesbie Marino 00000001074 Kevin Laurent 1305003607 Shelviana Kristalia 00000000953 Sanjaya 1305000506 Jurusan Teknik Industri dan Teknik Sipil

Upload: kevin-laurent

Post on 11-Jan-2016

20 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

History of Though

TRANSCRIPT

Page 1: Argumentasi Ontologi Cartesian

CARTESIAN ONTOLOGICAL ARGUMENT ON

THE EXISTENCE OF GOD

PAPER

Diajukan untuk memenuhi Nilai Tugas KAT pada mata kuliah Sejarah Pemikiran Periode

Semester Akselerasi 2015/2016

Disusun Oleh:

Bunga Rosi Yanti 1305000000

In Gesbie Marino 00000001074

Kevin Laurent 1305003607

Shelviana Kristalia 00000000953

Sanjaya 1305000506

Jurusan Teknik Industri dan Teknik Sipil

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Pelita Harapan

Tangerang

2015

Page 2: Argumentasi Ontologi Cartesian

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan, yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan paper ini yang berjudul “Cartesian Ontological Argument on The

Existence of God”. Paper ini disusun untuk memenuhi nilai KAT pada mata kuliah

Sejarah Pemikiran periode semester akselerasi 2015/2016.

Dengan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya maka melalui kesempatan ini

kami menyampaikan rasa hormat kepada:

1. Stenly Djatah, Ph. D selaku dosen Sejarah Pemikiran yang telah memberikan

masukkan kepada penulis untuk menyusun paper ini.

2. Pihak-pihak yang turut membantu kelancaran penulisan paper ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari

bentuk penyusunan maupun materinya. Akhir kata semoga makalah ini dapat

memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Jakarta, 5 July 2015

Kelompok Penulis

Page 3: Argumentasi Ontologi Cartesian

I. PENDAHULUAN

Lahirnya sebuah pemikiran filosofis dalam sejarah filsafat, tentunya tidaklah begitu

saja adanya. Ia merupakan serangkaian rentetan pemikiran yang saling berkait antara

filosof satu dengan yang lainnya. Begitu halnya dengan filsafat Cartesian, ia lahir sebagai

respon atas skeptisme yang digagas oleh Montaigne. Pada mulanya Montaigne

maragukan kemampuan indera dalam sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan, ia

menunjukkan betapa indera menyesatkan. Ia menyontohkan bagaimana indera

membohongi kita. Ketika kita berada di atas sebuah gedung bertingkat kemudian kita

melihat benda-benda dari kejahuan maka nampak kecil, padahal sejatinya benda-benda

yang dilihatnya besar. Dan ketika mata yang memiliki penyakit kuning akan melihat

segala yang ada disekitarnya nampak kuning. Melihat menjamurnya skeptisme pada kala

itu, dengan metode meragunya, Desacartes mencoba mencari sebuah epistemologi baru

untuk meruntuhkan bangunan skeptisme. Berbeda dengan para kaum skeptis, Descartes

menggunakan metode meragu untuk memperoleh sebuah kepastian. Metode meragu

descartes menghasilkan res-cogitan (thinking being) dan res-extansa (objek dalam bentuk

materi), yang nantinya melahirkan dualisme-cartesian. Namun usaha yang dilakukan

Descartes dalam merobohkan skeptisme masihlah meninggalkan celah kritik bagi filosof

selepasnya. Para filosof penerusnya melakukan tambal sulam atas filsafat Cartesianisme.

Di antaranya terdapat para pengkritik dualisme-cartesian ialah Hobbes, Locke dan

Leibniz, dll.

Dalam makalah ini, mencoba memaparkan dualisme-cartesian dari berbagai cara pandang

filosof (Hobbes, Locke, Leibniz) dan sudut pandang dari kelompok yang mempercayai

Tuhan itu tidak ada. Langkah pertama, memaparkan apa itu dualisme-cartesian.

Kemudian, bagaimana para filosof yang tadi disebut melihat dualisme-cartesian, meliputi

argumentasi-argumentasi kenapaa mereka melakukan penolakan ataupun penerimaan

kepada dualisme-cartesian.

Page 4: Argumentasi Ontologi Cartesian

II. ISI MAKALAH

A. Sejarah Asal Mula Cartesian

Kata Cartesian sendiri diadopsi dari nama Latin filsuf terkenal

dari Perancis yaitu Rene Descartes.

Rene Descartes atau yang dikenal dalam bahasa latin sebagai

Renatus Cartesius adalah seorang filsuf yang menganut paham

rasionalis dan disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern yang

lahir di kota La Haye Totiraine, Perancis pada tanggal 31 Maret

1596 dan meninggal pada tanggal 11 Februari 1650 di usianya ke

54 tahun di Swedia. yang merupakan turunan kaum borjouis.

Banyak warisan yang ditinggalkan dari pemikiran Descartes ini seperti ordinat-ordinat

cartesius dalam ilmu matematika yang juga memberikan dasar bagi Newton dan Leibniz

untuk dikembangkan sehingga yang kita kenal sebagai kalkulus. Pengertian akan Cartesian

pun dikutip dari namanya dan digunakan dalam banyak bidang sebagai berikut: Cartesian

anxiety, Cartesian circle, Cartesian dualism, Cartesian physics, dll.

Dimasa mudanya ia pergi melancong ke berbagai negara seperti Belanda, Jerman,

Hungaria, Swiss, Italia, hingga Swedia. Selama pelancongan nya ia menulis buku-bukunya

yang termashyur dan mempengaruhi gerak zaman modern seperti Discours de la Methode

(1637) dan Meditationes de Prima Philosophia (1641).

Descartes berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah dari dalam diri

manusia itu sendiri. Descartes mengatakan bahwa kemampuan berpikir manusia yang

sekarang tidak lagi semurni dan sekokoh sebagaimana jika manusia menggunakan nalarnya

sendiri sejak dilahirkan karena sejak kecil cara berpikir manusia sudah dipengaruhi oleh cara

berpikir orang lain yang ditanamkan melalui pendidikan. Sehingga muncullah sebuah

pemikiran yang revolusioner yaitu dari ungkapan yang menjadi pedoman Rene Descartes

yaitu “ Cogito Ergo sum” atau dalam bahasa perancis nya “Je pense donc je suis”.

Ide cogito ergo sum, digagasnya untuk meruntuhkan tradisi filsafat Aristotelian,

Skolastik, dan skeptisme yang menjadi tradisi pada abad pertengahan. Dalam cogito ergo

sum, Descartes menawarkan sebuah metode baru untuk mendapatkan kepastian. Pada

mulanya tidak jauh berbeda dengan para pengikut skeptis, Descartes meragukan indera yang

Page 5: Argumentasi Ontologi Cartesian

dianggapnya kadang kala menipu, kemudian dia meragukan geometri dan juga segala

penalaran yang telah dibentuknya sebelumnya, kecuali diri yang melakukan berpikir dan

Tuhan. Dengan meragukan semuanya, maka sampailah ia pada thesis cogito ergo sum. Ia

beranggapan bahwasanya bangunan filsafatnya ini sangatlah kokoh, bahkan kaum skeptis

pun, menurutnya, tidak akan mampu merobohkan bangunan filsafatnya. Dari sini pula lah,

Descartes melakukan pembuktian keberadaan Tuhan sebagai yang maha sempurna dan yang

memberi daya bagi jiwa.

B. Konsep Tuhan menurut Rene Descartes

Fokus dalam topik Discussion of God ini adalah 2 pendapat dari Descartes mengenai

eksistensi Tuhan. Dua pendapat itu terbagi dalam dua kategori, yaitu cosmological dan

ontological. Berikut isi dari keduanya yang dikutip dari buku Fifty Major Philosophers

karangan Collinson & Plant : “The first argument starts from his recognition of himself as

a being who, in virtue of his doubts, is imperfect, yet who is able to entertain the idea of

God as perfect being. This perfect idea, he maintains, can come only from the perfect

being, therefore God must exist as it source”.

Pernyataan pertama Descartes tersebut, kami menyimpulkan bahwa Descartes memulai

pemikirannya dengan mengakui dirinya sebagai seseorang (dalam keragu-raguannya) bahwa

ia tidak sempurna. Namun, ia dapat mengungkapkan ide tentang Allah yang sempurna. Ide

tentang “yang sempurna” itu, ia anggap hanya dapat berasal dari “yang empunya sempurna”.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Allah pasti/harus ada sebagai sumber ide itu,

pendapat ini termasuk dalam pendapat cosmological.

Kesempurnaan itu merupakan sesuatu yang berasal dari yang lebih sempurna dari pada

dia. Pemikiran ini juga yang diletakkan oleh “yang sempurna” itu di dalam dirinya oleh yang

Maha Sempurna, yakni Allah. Dapat ditarik kesimpulan, eksistensi Allah adalah benar.

Alasan mengapa Descartes berani mengemukakan bahwa Allah adalah sempurna adalah

karena dia mengetahui beberapa kesempurnaan yang tidak dia miliki. Sebab ia mengetahui

dan merasa bahwa ia tidak memiliki ciri-ciri “yang sempurna” yang hanya ada pada Allah,

yakni maha tahu, abadi, tidak terbatas, tidak berubah, dan maha kuasa.

Page 6: Argumentasi Ontologi Cartesian

“The second of Descartes’ arguments for the existence of God points out that the idea

of a most perfect being is of a being containing every perfection and thus being entirely

real. The idea of the most perfect being therefore contain the idea existence” (Collinson &

Plant, 2006).

Pendapat Descartes yang kedua mengenai eksistensi Allah mengacu pada eksistensi dan

esensi dari “perfect being” itu sendiri. Ia beranggapan bahwa ide dari yang paling sempurna

adalah makhluk yang mengandung kesempurnaan itu sendiri. Melalui gagasan itu, akhirnya

Descartes berpendapat bahwa oleh karena Tuhan itu sempurna, maka Ia tidak akan membawa

seseorang ke dalam kesalahan, dan melalui kemampuan manusia kemudian dinyatakan

menjadi pengetahuan. Di dalam bukunya The Last Meditation pada akhirnya ia berpendapat

bahwa apa yang ia percayai sekarang dari benda-benda fisik (metafisik) adalah sesuatu yang

benar yang bukan tipuan atau kesesatan, karena itu berasal dari Tuhan yang adalah perfect

being yang tidak mungkin menipu.

Terdapat dua versi argumen ontologis yang didebatkan, yaitu

1. Argumen Langsung

Pada arguman langsung kesimpulan langsung diberikan setelah premis tanpa ada

asumsi tambahan. Versi ini dikenal dengan versi Cartesian yang diperkenalkan oleh

Descartes. Ide dasar dari Cartesian ini sangat sederhana. Jika sesuatu itu Tuhan, Ianya

mesti sempurna. Kesempurnaan itu meliputi maha kuasa, maha tahu dan secara moral

sempurna. Jika keberadaan merupakan salah satu bukti dari kesempurnaan maka Tuhan

pasti memiliki unsur keberadaan. Karena itu Tuhan pasti ada.

2. Argumen Tidak Langsung

Argumen tak langsung, atau lebih pas disebut argumen reductio ad absurdum. Pada

versi ini kesimpulan diambil setelah menunjukkan bahwa argumen yang menolak

kesimpulan ini salah. Versi ini dikenal dengan versi Anselmian yang diperkenalkan oleh

St. Anselman.St. Anselman berpendapat bahwa sesuatu itu Tuhan jika dan hanya jika Ia

adalah sesuatu yang paling dapat dipercaya. Tuhan adalah sesuatu yang tidak ada yang

lebih besar darinya.

Page 7: Argumentasi Ontologi Cartesian

Kaum Ateis setuju dengan pernyataan bahwa Tuhan itu pastilah lebih besar dari apapun.

Namun, mereka berpendapat bahwa Tuhan itu hanya ada dalam pikiran, tidak dalam

kenyataan. Karena itu Tuhan itu tidak ada.

Argumentasi ontologis yang dikeluarkan oleh Descartes adalah argumen ontologis

langsung. Dalam argumentasinya, Descartes menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan itu juga

merupakan sesuatu yang necessary sebab tidak mungkin untuk memikirkan tentang Tuhan

tanpa membuat eksistensi itu sebagai sebuah predikat dari Tuhan. Jika Tuhan itu adalah

sebuah kesempurnaan, maka Tuhan juga harus memiliki eksistensi sebagai predikatnya.

Dalam hal ini, Descartes memahami eksistensi sebagai sebuah predikat kualitas. Disini lah

yang menjadi bahan acuan dalam pembahasan kali ini.

Jadi bagi Descartes, memang ada perbedaan Tuhan sebagai ide (ada dalam pikiran)

dengan  Tuhan yang ada secara riil (tidak kelihatan tetapi ada). Karena Tuhan Maha-

sempurna, tidak mungkin Tuhan yang ada dalam ide atau kesadaran tidak ada secara riil.

Karena itu bagi Descartes, jika Tuhan ada dalam ide saja berarti Tuhan itu tidak sempurna.

Tuhan yang sempurna adalah Tuhan yang  bereksistensi pada ide dan pada kenyataan. Dengn

demikian, ide kesempurnaan yang ada dalam kesadaran manusia justru menjadi jaminan bagi

eksistensi Tuhan itu. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Tuhan bereksistensi secara

nyata dan Dialah yang merupakan kebenaran yang Maha-Sempurna.

Decrates mendeskripsikan Tuhan sebagai makhluk sempurna yang tak terhingga. Gagasan

tersebut tidak mungkin muncul begitu saja dari hasil pikiran dan pengalaman manusia karena

kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak sempurna dan bisa diragukan dan tidak

memenuhi sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan tentang Tuhan itu muncul karena ada

yang menaruh pikiran itu ke dalam pikiran manusia, yaitu Tuhan tersebut.

Setelah membuktikan keberadaan Tuhan, Descartes mencoba membuktikan benda

material itu ada. Ia menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan ketidakmampuan

untuk membuktikan bahwa benda material itu sejatinya tidak ada, bahkan Tuhan menciptakan

manusia untuk memiliki kecenderungan bahwa benda material itu ada. Jika pemahaman

bahwa benda material itu ada hanya sebuah matrik kompleks yang menipu pikiran manusia,

hal itu menunjukkan bahwa Tuhan adalah penipu dan bagi Descrates penipu adalah

ketidaksempurnaan sedangkan Tuhan adalah makhluk sempurna sehingga Tuhan tidak

mungkin menipu dan benda material itu ada.

Page 8: Argumentasi Ontologi Cartesian

C. Rasionalisme

Jika kita ingin mengerti pemikiran Descartes mengenai Tuhan, maka kita harus mengerti

terlebih dahulu pola pemikiran yang dianutnya. Dan dalam melakukan pemikiran nya selama

ini, Descartes menggunakan paham rasionalis.

Kata rasionalisme secara berasal dari kata rasio yang memiliki arti masuk akal, akal budi.

Rasional memiliki beberapa pengertian, yaitu:

1. Secara umum, rasional menunjukkan modus atau cara pengetahuan diskursif,

konseptual yang khas manusiawi.

2. Secara khusus, raisonal memiliki makna konklusif, logis, metodik. Ilmu pengetahuan

rasional merupakan ilmuyang bersifat deduktif atau reduktif.

3. Rasional juga menunjukkan sesuatu yang mempunyai atau mengandung rasio atau

dicirikan oleh rasio, dapat dipahami, cocok dengan rasio, dapat dimengerti/ditangkap.

Bentukan kata lain dari kata rasio adalah rasionalisasi yg memiliki dua makna umum, yaitu:

1. Makna positif, yaitu membuat rasional (masuk akal) atau membuat sesuatu dengan

akal budi atau menjadi masuk akal.

2. Arti negatif, yaitu pembenaran berdasarkan motif-motif tersembunyi.

Adapun rasionalisme adalah prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam

menjelaskan sesuatu. Secara umum kata rasionalisme menunjuk pada pendekatan filosofis

yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan. Rasionalisme

menjadi aliran baru dalam filsafat sejak Descartes mengemukakan hasil filosofinya dengan

menggunakan pikiran dan rasionya untuk menguji kebenaran pengetahuan. Dasar-dasar dari

aliran ini dilandaskan pada pemikiran filsafat Descartes yang kemudian dikenal sebagai

Rasionalisme Kontinental.

Page 9: Argumentasi Ontologi Cartesian

Descartes mengemukakan empat prinsip rasionalisme yang dapat digunakan untuk

mendapatkan pengetahuan yang benar-benar benar dan tidak dapat diragukan atau

disangsikan lagi, yaitu :

a. Tidak pernah menerima apapun sebagai benar kecuali jika saya mengetahuinya

secara jelas bahwa hal itu memang benar, artinya menghindari secara hati-hati

penyimpulan yang terlalu cepat dan praduga, dan tidak memasukkan apapun dalam

pikiran saya kecuali apa yang tampil sedemikian jelas dan gamblang di dalam nalar

saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.

b. Memilah satu per satu kesulitan yang akan saya telaah menjadi bagian-bagian kecil

sebanyak mungkin atau sejumlah yang diperlukan, untuk memudahkan

penyelesaiannya.

c. Berpikir secara runtut dengan mulai dari objek-objek yang paling sederhana dan

paling mudah dikenali, lalu meningkat sedikit demi sedikit sampai ke masalah yang

paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan objek-objek yang secara alami

tidak beraturan.

d. Membuat perincian yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang demikian

menyeluruh sampai saya yakin bahwa tidak ada yang terlupakan.The ontological

argument is an argument in that it does not rely on experience to prove its point – that

God exists.

D. Dualisme – Cartesian

Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua

substansi yaitu jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan.

Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap

substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa

Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Descartes

mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan

sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh

dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis (sebuah kelenjar kecil yang letaknya di

Page 10: Argumentasi Ontologi Cartesian

bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahn ini tidak memadai bagi Descartes

sendiri.

Selanjutnya, Descartes menjelaskan bahwasannya manusia terdiri dari dua dimensi

yang berbeda yakni jiwa dan tubuh, dan sifatnya sebagai komposisi dan membentuk

sebagai sebuah kesatuan yang sangat erat (intimate union). Bagaimana yang immateri

dengan yang materi dapat bersatu dengan kata lain bagaimana dua subtansi dapat

menyatu dalam satu entitas? Dari berbagai buku yang pernah penulis baca, tidak penulis

temukan argumentasi Descartes bagaimana dua subtansi ini dapat menyatu selain itu

karena kekuasaan Tuhan yang maha sempurna. Mengenai letak jiwa, ia berargumentasi

dengan kinerja sebuah indera (ia mencontohkan dengan mata) yang melihat objek, dari

indera kemudian cairan-cairan kelenjar dari mata membawa informasi ke otak. Dari sini

ia berkesimpulan bahwasannya jiwa terletak di sela-sela kelenjar otak. Ia berfungsi untuk

memfungsikan organ tubuh, disinilah pandangan mekanisme Desacartes di dalam

dualismenya.

Kalau kita perhatikan, cara Descartes berargumentasi lebih mirip dengan kinerja otak

sebagai motorik bagi tubuh. Yang menarik bagi saya, Desacartes memosisikan bahwa

bayang yang ada di otak adalah bayangan yang ada di jiwa. Lantas, apa yang

membedakan antara tubuh dengan jiwa? Dia berargumentasi bahwasannya kita memiliki

sepasang mata lain yang berada di dalam otak yang terletak beberapa sentimeter di

belakang mata.

Page 11: Argumentasi Ontologi Cartesian

Bagaimana cara jiwa dalam menggerakkan tubuh? “….Dengan cara yang sama, otak

menyebarkan jiwa yang sehat itu ke dalam otot-otot agar anggota badan melakukan

berbagai gerakan, sesuai dengan tampilannya berbagai obejek pada indera,

dan sejalan dengan cita-rasa yang berada di dalamnya, sehingga anggota badan kita

dapat bergerak tanpa dikendalikan kehendak. Manusia tak ubahnya seperti robot yang

digerakkan oleh jiwa sebagai motoriknya. Jika jiwanya tidak ada, maka ia akan mati.

Kesimpulannya, Rene Descartes mengemukakan ide tentang soul-body, melahirkan

Cartesian dualism yang sangat populer dan digunakan oleh para filsuf lainnya juga :

• Soul (dinyatakan dalam mind): sebuah entitas yang berbeda dan terpisah dari body,

lebih mudah dipahami oleh manusia karena ada proses self-reflection/self-awareness yang

diasumsikan inherent pada manusia.

• Body : entitas fisik pada manusia yang tunduk pada prinsip mekanisme fisiologis, sama

seperti yang terjadi pada hewan. Namun pada manusia, aktivitas fisik tunduk pada

perintah mind

E. Kritik mengenai Argumen Ontologis Cartesian

Argumen ontologis menjelaskan bahwa Jika sesuatu itu Tuhan, Ianya mesti sempurna.

Kesempurnaan itu meliputi maha kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna. Jika

keberadaan merupakan salah satu bukti dari kesempurnaan maka Tuhan pasti memiliki

unsur keberadaan. Karena itu Tuhan pasti ada.Bagi kaum Ateis argumen ini sangat lemah.

Bagaimana mungkin atribut kesempurnaan merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada?

Bukankan argumen yang dikemukakan tersebut semua hanya ada dalam konsep, dalam

pengertian? Memang tidak dapat dimungkiri bahwa sesuatu disebut Tuhan jika ia lebih

segala-galanya dari makhluk apapun. Namun, tidak ada hal seperti ini yang dapat kita

temukan dalam kenyataan. Kita hanya menemukan hal seperti ini dalam pengertian.

Adapula kritik-kritik lainnya dari berbagai pandangan, seperti:

1. Kritik dari Kant

Argumentasi ontologis semacam ini dikritisi oleh Immanuel Kant. Ia terutama

mengkritisi pemahaman yang dilontarkan oleh Descartes. Menurut Kant, terdapat

Page 12: Argumentasi Ontologi Cartesian

ketidaktepatan dalam meletakkan eksistensi sebagai sebuah predikat. Ia menilai

bahwa eksistensi bukan merupakan sebuah predikat. Jika kata “eksis” ditambahkan

kepada suatu substansi, ia tidak menambahkan predikat apapun kepada nature dari

benda tersebut.

Menurut Kant, eksistensi adalah sebuah pernyataan sintetik yang kebenarannya

harus dapat dibuktikan terlebih dahulu baik melalui sebuah observasi ataupun

pengalaman. Jadi, dalam analogi segitiga yang terkenal, Kant menilai bahwa memang

benar segitiga harus memiliki tiga sisi. Namun harus dipastikan terlebih dahulu bahwa

segitiga itu ada disana.

Oleh karena itu, bagi Kant, tidak bisa kata eksistensi mengikuti kata Tuhan sebab eksis

bukanlah sebuah pernyataan analisis yang sudah mengandung kebenaran di dalamnya.

Lebih jauh, harus dipastikan bahwa Tuhan memang ada di sana dan manusia baru bisa

memberikan predikat tentang Tuhan tanpa harus membubuhi kata “eksis” di dalamnya

2. Kritik dari kaum penolak keberadaan Tuhan

Kritik terhadap argumen logika keberadaan kejahatan Salah satu argumen yang

digunakan oleh kaum Ateis untuk menolak keberadaan Tuhan adalah dengan

menyatakan bahwa: "Jika Tuhan itu ada dan secara moral sempurna, maka Ia tidak

akan mengijinkan adanya kejahatan yang Ia ketahui dan dapat mencegahnya".

Argumen ini bukanlah kebenaran yang sesungguhnya, dan kemungkinan

salah. Sebagai sesuatu yang secara moral sempurna, Tuhan pastilah membiarkankan

terjadinya kejahatan diatas bumi. Tujuannya adalah untuk menciptakan dunia yang

memiliki kebebasan bagi manusia untuk memilih dan menentukan sendiri apa yang

akan dilakukannya.Dunia yang memiliki penduduknya yang mempunya tanggung

jawab moral adalah dunia yang lebih baik secara moral daripada dunia yang tidak

memiliki tanggung jawab moral. Keadaan ini memerlukan penduduk yang memiliki

kebebasan memilih. Jika seseorang tidak memiliki kebebasan maka ia tidak dapat

disalahkan atau dipuji atas apa yang dilakukan. Karena itu sesuatu yang secara moral

sempurna, yaitu Tuhan, tentunya mempunyai maksud untuk menciptakan dunia yang

memiliki tanggung jawab moral, dan memberikan kebebasan kepada ciptaannya. Jika

ciptaannya memiliki kebebasan yang sesungguhnya, maka kepada mereka mesti

diberi kebebesan untuk memilih kejahatan atau kebaikan.

Page 13: Argumentasi Ontologi Cartesian

Karena itu adanya kejahatan diatas dunia bukanlah karena Tuhan tidak ada.

Argumen yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi karena tidak ada Tuhan adalah

argumen yang benar, karena itu harus ditolak.Kritik terhadap argumen kejahatan

sebagai bukti ketiadaan Tuhan Argumen lain dalam menolak keberadaan Tuhan

adalah dengan menunjukkan bahwa adanya kejahatan di alam semesta adalah bukti

dari tidak adanya Tuhan. Bagaimana mungkin Tuhan yang katanya maha esa, maha

kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna mau berdampingan dengan kejahatan.

3. Kritik dari Hobbes

Hobbes mengembangkan suatu model dunia yang murni materialis dan

mekanistis—dunia yang semata-mata merupakan “materi yang sedang bergerak.”

Yang menarik dari materialisme Hobbes, bahwa  gerak hanya dapat kita temukan

dalam bentuk materi. Dan pengertian materi menurut Hobbes ialah segala sesuatu

yang dapat diukur, dan yang dapat diukur adalah segala sesuatu yang dapat kita lihat.

Lebih ekstrimnya, menurut Hobbes, jika pun Tuhan ada maka Ia dalam bentuk materi.

            Dari serangkaian pandangan Hobbes mengenai materi, yang penulis dapati

mengenai materialisme hobbes; bahwa materi ialah segala sesuatu yang dapat kita

inderai dan melakukan gerak. Bagaimana dengan jiwa yang ada dalam pembahasan

dualisme-cartesian? Menurut Hobbes, jiwa adalah materi karena ia berada di dalam

badan.

Selain persamaan di antara kedua tokoh yang penulis sampaikan di atas, terdapat pula

titik seteru yang sangat menonjol di antara keduanya. Descartes berpendapat bahwa

manusia terdiri atas jiwa dan tubuh yang saling terpisah, sedangkan Hobbes

berpendapat bahwa tidak ada dualitas antara jiwa dengan tubuh, menurutnya, jiwa dan

tubuh adalah sebuah satu-kesatuan.

            Tidak jauh berbeda dengan Descartes, dalam mengafirmasi filsafat

Aristotelian tentang pembedaan antara manusia dengan hewan. Hobbes dan Descartes

mempercayai adanya sebuah kinerja mekanistik pada manusia. Dalam hal ini

keduanya sepakat bahwa; manusia tidak ubahnya sebuah robot. Namun menurut

Descartes jiwa sebagai penggerak bagi gerakan tubuh—dengan kata lain jiwa sebagai

motorik. Sedangkan Hobbes yang memiliki padangan materialistik, ia berargumentasi

dengan berangkat dari gerak. Di atas tadi sudah penulis sebutkan bahwa dalam

pandangan Hobbes, segala yang melakukan gerak adalah materi, dan yang dapat

Page 14: Argumentasi Ontologi Cartesian

disebut materi baginya ialah segala hal yang dapat diukur, dan jiwa berintegrasi

dengan tubuh manusia dan menjadi materi (sehingga, jiwa=tubuh), menurut Hobbes

bukanlah seperti yang dikatakan Descartes, tubuh lah yang melakukan gerak bukan

jiwa. Robot itu (manusia) akan mati jika jiwa telah meninggalkannya. Sedangkan

menurut Hobbes, manusia dikatakan telah mati jika ia sudah tidak melakukan gerak.

4. Kritik dari John Locke

Locke berbicara tentang bagaimana manusia memperoleh ilmu pengetahuan.

Ia setuju dengan pandangan dualisme-cartesian, bahwasannya manusia terdiri dari

jiwa dan tubuh (mind and body). Namun, di dalam ide yang sama dengan Descartes

itu, dia juga agak memiliki pandangan yang lain. Dia menolak ide Descartes bahwa

manusia memperoleh ilmu pengetahuan dari pikirannya (innate ideas) bersifat a

priori.

Menurutnya, pikiran (jiwa) manusia ketika baru lahir tak ubahnya  seperti

lembaran kertas (tabula rasa), lalu pengalaman akan menulis di dalamnya, dan apa

yang ditulis oleh pengalaman inilah yang bisa diketahui oleh akal—dengan kata lain

manusia memperoleh pengetahuan paling awal berdasarkan pengalaman empiris.

Pendapat ini juga meruntuhkan paradigma cartesian-circle—Tuhan menjamin

kejernihan ide rasional manusia, dan keberadaan Tuhan dijamin oleh kejernihan

rasional manusia.

Locke juga mengambil ide subjektivisme Descartes, pandangan bahwa apa yang

paling aku ketahui adalah akalku sendiri dan ide yang ada di dalamnya. Jurang

pemisah antara akal pikiran bersama ide yang ada di dalamnya dengan objek

jasmaniah dan manusia dimana ide pikiranku merujuk diluar diriku. Locke setuju

adanya dualisme-cartesian, namun dia melakukan modifikasi bahwasannya manusia

memperoleh pengetahuan berdasarkan pengalaman yang didapat, dan inilah yang

menjadi cikal bakal dari berdirinya mendapat pengetahuan berdasarkan empirisme. 

5. Kritik dari Gottfried Wilheim von Leibniz

Mengenai bagaimana manusia mendapatkan ilmu pengetahuan, Leibniz

menawarkan empat tahap bagaimana manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan.

Pertama; pertama kita lahir kita tahu kita ada dan ada orang tua kita. Kedua, ia

menolak metode deduksi Descartes dan setuju dengan metode induksi Locke. Ketiga;

Page 15: Argumentasi Ontologi Cartesian

dengan melakukan pembandingan antara esensi suatu benda dengan benda lainnya,

maka kita mendapatkan sebuah pengetahuan. Matahari yang kita lihat tidaklah sebesar

matahari yang sebenarnya. Dan terakhir adalah pengetahuan yang didapat dari

keapaan suatu benda, seperti pengetahuan lingkaran geometri.

Dalam hubungan jiwa dengan tubuh, Leibniz berpendapat bahwa tubuh

berhubungan erat dengan jiwa. Tidak seperti pandangan Descartes yang menganggap

tubuh hanya merupakan teman tidur (bersifat pasif), Leibniz memandang bahwa

tubuh tidak terus-terusan terdiri dari ukuran, bentuk, dan gerakan, melainkan kita

harus mengenali sesuatu yang terdapat dalam tubuh yang menghubungkan dengan

jiwa, Leibniz menyebutnya dengan subtansi—Leibniz menyebut subtansi dengan

monad. Ia menyebutkan bahwa di dalam manusia terdapat sesuatu yang menyerupai

jiwa, Leibniz menyebutnya dengan subtansi (monad), yang memberi daya kepada

tubuh untuk melakukan aktivitas.

III.PENUTUP

Kesimpulan

Lewat argumen-argumen pembuktian yang dikemukakan Descartes, kita dapat

memahami bahwa pembuktian eksistensi Tuhan yang ditelusurinya ini amat bersifat

rasional. Sikap rasional yang diterapkan dalam usaha penelusurannya untuk membuktikan

eksistensi Tuhan ini hanya didasarkan pada analisis-analisis cogito yang dimiliki

manusia. Dengan cogito ergo sum yang dijadikannya sebagai landasan yang kokoh,

Descartes berani berusaha mengungkapkan keberadaan Tuhan entah di dalam pikiran atau

pun di dalam kenyataan  sebagai Yang Maha-Sempurna. Derngan demikian, Tuhan

adalah Dia yang bereksistensi secara Sempurna.

Page 16: Argumentasi Ontologi Cartesian

DAFTAR PUSTAKA

http://www.kompasiana.com/nicholausprasetya/eksistensi-tuhan-dan-argumentasi-ontologis_550b4507a33311226a2e4181

http://achillesmuda.blogspot.com/2010/05/filsafat-ilmu.html

Scruton, Roger, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein (Canada: Routledge, 1996)

Hardiman, F. Budi, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, Erlangga, 2011.

Descartes, Rene. Risalah tentang Metode. Terj. I. Husein dan R.S Hidayat. Jakarata: Gramedia Pustaka utama, 1995.

Smith, Linda dan Wiliam Raeper, Ide-Ide: Filsafat dan Agama.Dulu dan Sekarang. Yokyakarta: Kanisius, 2000.