landasan ontologi

25
Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Manajemen Pendidikan Juni 7, 2008 — azharighalib PENDAHULUAN Membahas tentang filsafat manajemen pendidikan, tidak bisa kita pisahkan dengan sejarah filsafat. Seperti kita ketahui filsafat mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Bisa dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural Philosophy) dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut Ibnu Khaldun disebabkan oleh berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia Dalam abad ke 18 dengan bermunculannya negara-negara maju dibelahan dunia, muncul cabang ilmu pengetahuan baru yakni manajemen, yang semula masih segan diakui sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini bukanlah suatu yang baru. Ilmu kemasyarakatan (yang sejak semula dinamakan sosiologi) harus

Upload: gun-adi-komara

Post on 02-Dec-2015

78 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Landasan Ontologi

Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Manajemen Pendidikan

Juni 7, 2008 — azharighalib

PENDAHULUAN

Membahas tentang filsafat manajemen pendidikan, tidak bisa kita pisahkan dengan

sejarah filsafat. Seperti kita ketahui filsafat mempunyai andil yang sangat besar

terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim

filsafat. Bisa dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase

awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural

Philosophy) dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari 650

cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut Ibnu Khaldun disebabkan

oleh berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia

Dalam abad ke 18 dengan bermunculannya negara-negara maju dibelahan

dunia, muncul cabang ilmu pengetahuan baru yakni manajemen, yang semula masih

segan diakui sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini bukanlah suatu yang baru. Ilmu

kemasyarakatan (yang sejak semula dinamakan sosiologi) harus memperjuangkan

kedudukannya untuk menjadi ilmu pengetahuan disamping ilmu-ilmu pengetahuan yang

lain. Demikian pula halnya ilmu ”manajemen” yang menjadi bahan perbincangan kita

sekarang. Barulah pada masa Taylor dan Fuyol, seiring dengan tumbuhnya negara-

negara industri ilmu manajemen itu mulai dianggap sebagai ilmu. Kelahiran ilmu

manajemen kemudian diadopsi oleh dunia pendidikan yang kemudian disintesiskan

menjadi menajemen pendidikan.

Page 2: Landasan Ontologi

Menurut Suriasumantri (2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala atau objek

sesuatu ilmu pengetahuan (manajemen pendidikan), paling sedikit kita pertanyakan (1)

apa hakikat gejala/objek itu (landasan ontologis), (2) bagaimana cara mendapatkan

atau penggarapan gejala/objek itu (landasan epistemologis), (3) apa manfaat

gejala/objek itu (landasan aksiologis).

Rumusan Masalah :

1. Bagaimanakah landasan ontologis manajemen pendidikan?

2. Bagaimana landasan epistemologis manajemen pendidikan?

3. Apa manfaat atau landasan aksiologis manajemen pendidikan?.

A. Landasan Ontologi Manajemen Pendidikan

Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari manajemen

pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan manajemen pendidikan

melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris baik

yang berupa tingkat kwalitas maupun kwantitas hasil yang dicapai. Objek materi

manjemen pendidikan pendidikan ialah sisi manajemen yang mengatur seluruh

kegiatan kependidikan, yaitu, Perencanaan, pengorganisasian, Pengerahan

(motivasi, kepemimpinan, pengambilan keputusan, komonikasi, koordinasi, dan

negoisasi serta pengembangan organisasi) dan pengendalian (Meliputi

Pemantauan,penilaian, dan pelaporan.

B. Landasan Epistemologis Manajemen Pendidikan

Page 3: Landasan Ontologi

Menurut Husaini (2006:7) pengertian manajemen pendidikan adalah seni atau ilmu

mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaa, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

Negara.

Manajemen pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengelola

sumber daya pendidikan mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sumber

daya pendidikan adalah sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan

yang meliputi enam hal; (1) administrasi peserta didik; (2) administrasi tenaga pendidik;

(3)administrasi keuangan; (4) administrasi sarana dan prasarana; (5) admistrasi

hubungan sekolah dengan masyarakat; dan (6) administrasi layanan khusus.

Perencanaan adalah sejumlah kegiatan yang ditentukan sebelumnya untuk

dilaksanakan pada suatu periode tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang

ditetapkan.

Tujuan perencanaan adalah (1) standar pengawasan, (2) Mengetahui kapan

pelaksanaan dan selesainya suatu kegiatan, (3) mengetahui siapa saja yang terlibat, (4)

mendapatkan kegiatan yang sitematis, (5) meminimalkan kegiatan yang tidak produktif,

(6) mendeteksi hambatan dan kesulitan yang ditemui, dan (7) mengarahkan pada

pencapaian tujuan.

Manfaat dari perencanaan adalah :

Page 4: Landasan Ontologi

1. sebagai standar pengaasan dan pengawasan2. pemuilihan sebagai alterbatif terbaik3. penyusunan skala proritas, baik sasaran maupun kegiatan 4. menghemat pemanfaatan sumber daya organisasi.5. membantu manajer menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.6. alat yang memudahkan dalam berkoordinasi dengan pihak terkait.7. alat yang meminimalkan pekerjaan yang tidak pasti.

Pengorganisasian adalah (1) penentuan sumber daya dan kegiatan yang dibutuhkan

untuk mencapai tujuan organisasi, (2) proses perencanaan dan pengembangan suatu

organisasi, (3) penguasaan tanggung jawab tertentu, (4) pendelegasian wewenangyang

diperlukan untuk individu-individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Tiga komponen pengorganisasian:

1. ada kerja sama,

2. ada orang (pelaksana), dan

3. adanya tujuan bersama

Manfaat Pengorganisasian adaah :

1. Mengatasi terbatasnya kemampuan, kemauan, dan sumber dayayang dimiliki.2. untuk mencapai tujuan yang lebih efektif dan efesien,3. wadah memanfaatkan sumber daya yang dimiliki secara bersama-sama.4. wadah mengembangkan potensi dan spesialisasi yang dimiliki sesorang.5. wadah mendapatkan jabatan dan pembagian kerja.6. dawah mencari keuntungan bersama.7. wadah mengelola lingkungan bersama-sama.8. wadah menggunakan kekuasaan dan pengawasan9. wadah mendapatkan pengahrgaan.10. wadah memenuhi kebutuhan manusia.11. wadah menambah pergaulan

Page 5: Landasan Ontologi

Salah satu fungsi manejeman adalah pengerahan atau pelaksanaan. Setelah

melaksanakan perencaan dan pengorganisian yang terpenting adalah implementasi

dari perencaaan yaitu pelaksaan. Pelasanaan dalam program organisasi sangat

terggantung dari dua aspek, yaitu: Kepemimpinan, dan motivasi kerja anggota

organisasi. Antar pemimpin dan pelaksana mempunyai tugas dan bertanggung jawab

masing masing atas tugasnya. Program tidak akan berjalan sesuai dengan yang

diinginkan apabila tidak didukung oleh kepemimpinan yang kuat dan motivasi kerja para

anggota organisasi.

Pengendalian adalah proses pemantauan, penilaian dan pelaporan perencanaan

atas pencapaian tujuan yang dicapai yang telah ditetapkan untuk tindakan korektif guna

penyempurnaan lebih lanjut.

Pengendalian sering disebut dengan pengawasan atau controlling. Tujuannnya adalah:

1. menghentikan atau meniadakan masalah, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, banbatan dan ketidak adilan.

2. Mencegah terulangnya kembali kesalahan penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, banbatan dan ketidak adilan.

3. menciptakan cara yang lebih baik untuk membina yang telah baik.4. menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi dan akuntabilitas

organisasi. 5. meningkatkan kelancaran operasi organisasi.6. memberikn opini atas kerja organisasi.

menciptakan terwujudnya pemerintahan yang bersih.

Manfaat pengawasan adalah menigkatnya akuntabilitas dan keterbukaan dalam

organisasi.

Page 6: Landasan Ontologi

Dasar epistemologis diperlukan dalam manajemen pendidikan atau pakar ilmu

pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab.

Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga

pemula namun telaah atas objek formil ilmu manajemen pendidikan memerlukaan

pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-

fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan

pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme.

Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan

sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju

tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, dalam Umaedi:

1999)

Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan

peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai

institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal

dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School

Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan

(developmental) disebut School Based Quality Improvement.

Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan

tujuan;

a. Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.

b. Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosio-ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.

Page 7: Landasan Ontologi

c. Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.

d. Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing – masing.

e. Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.

f. Memotivasi timbulnya pemikiran-pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut.

g. Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.

h. Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi sekolah kedepan.

Peran Esensial Pemimpin Kepemimpinan mempunyai peran strategis dalam

upaya perbaikan kualitas. Setiap anggota organisasi harus memberikan konstribusi

penting dalam upaya tersebut. Namun, setiap upaya perbaikan yang tidak didukung

secara aktif oleh pimpinan, komitment, kreatifitas, maka lama-kelamaan akan hilang

C. Dasar Aksiologis Managemen Pendidikan

Aksiologi merupakan suatu pendidikan yang menguji danmenitegrasikan semua

nilai tersebut dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain nilai-nilai tersebut

ditanamkan dalam pribadi para pemimpin pendidikan (kepala sekolah), guru, staf dan

anak didik. Sesuai dengan tujuannya, maka manfaat manajemen pendidikan; Pertama,

terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang Aktif, Inovative, Kreatif,

Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM); Kedua, terciptanya peserta didik yang aktif

mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara; Ketiga, terpenuhinya salah satu

Page 8: Landasan Ontologi

dari 4 kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan (tertunjangnya kompetensi

profesional sebagai pendidik dan tenaga kependidikan sebagai manajer); Keempat,

tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien; Kelima, terbekalinya tenaga

kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas administrasi pendidikan

(tertunjangnya profesi sebagai manajer pendidikan atau konsultan manajemen

pendidikan); Keenam, teratasinya masalah mutu pendidikan.(Husaini, 2006:8)

Kemanfaatan teori Manajemen pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi

juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses

pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai manajemen pendidikan tidak hanya

bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu

untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap

pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan

demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis

antar pekerjaan administrasi pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini

relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti

dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula untuk

menjembatani persoalan yang sedang berlangsung maupun yang akan terjadi.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Landasan Ontologi, Epistemologi

dan Aksiologi (pragmatis) dalam Managemen pendidikan mempunyai peran penting

dalam :

Page 9: Landasan Ontologi

1. Menentukan nilai-nilai filosofis dalam pengembangan manajemen pendidikan. 2. Dasar ontologi manajemen pendidikan adalah objek materi manjemen

pendidikan ialah sisi manajemen yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan, yaitu, Perencanaan, pengorganisasian, Pengerahan (motivasi, kepemimpinan, pengambilan keputusan, komonikasi, koordinasi, dan negoisasi serta pengembangan organisasi) dan pengendalian (Meliputi Pemantauan,penilaian, dan pelaporan.

3. Dasar epistemologis diperlukan dalam manajemen pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab.

4. Dasar Aksiologis Managemen Pendidikan adalah Kemanfaatan teori Manajemen pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai manajemen pendidikan.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka setiap pembahasan mengenai ilmu pengetahuan

diharapkan melalui kajian landasan filosofis, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi

agar supaya upaya dan usaha yang menjadi program dalam manajemen pendidikan

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Page 10: Landasan Ontologi

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI

DAN AKSIOLOGI

  

PENDAHULUAN

Dalam makalah ini akan memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama di

sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud

yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia

(sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?. Kedua di sebut dengan

landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya

pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita

mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya?

Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.

Sedang yang ketiga, di sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa

pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut

dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan

moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah

dengan norma-norma moral/professional?1[1]

Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya.

Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat

membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini

memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta

meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa

mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan

kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu di kacaukan

dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan

dari itu?

1[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 34-35.

Page 11: Landasan Ontologi

 

PEMBAHASAN

A.     Ontologi

Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi

filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di

gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.

Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan

tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran

semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau

dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam

semua bentuknya.

1.      Objek Formal

Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan

kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi

kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme,

atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak.

Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik

akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles

dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami

sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme

dari mental.

2.      Metode dalam Ontologi

Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :

abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan

Page 12: Landasan Ontologi

keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat

umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik

mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang

dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.

Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan

menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.

Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu

dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran

kesimpulan.

Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)

Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)

Jadi, badan itu fana’ (S-P)

Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah

realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam

kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik

sebagai berikut:

Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)

Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)

Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)

Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori

di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj

menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan

Page 13: Landasan Ontologi

dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas

dalam kesimpulan.2[2]

Sementara Jujun S. Suriasumantri dalam pembahasan tentang ontologi memaparkan juga

tentang asumsi dan peluang. Sementara dalam tugas ini penulis tidak hendak ingin membahas

dua point tersebut.

  

B.     Epistemologi 

Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan.

Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan

dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas

pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat

di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan

setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari

kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa

apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau

mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya

kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.

Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan

pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?3[3]

 

Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan

a.      Empirisme 

2[2] Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001

3[3] Louis O. Kattsouff, Pengantar filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta, 1996, Hal. 135-136.

Page 14: Landasan Ontologi

Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.

Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.

  

b.      Rasionalisme 

Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.

  

c.       Fenomenalisme 

Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman.

Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan

diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan

jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu

seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada

kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).

Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di

dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut

Page 15: Landasan Ontologi

rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang

sesuatu serta pengalaman.

  

d.      Intusionisme 

Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.

Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat

menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.

Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini

memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh

indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi

pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap

benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan

demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.

Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan

pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa

bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai

lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada

yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka,

sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang

sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya

intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.

e. Dan masih masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.

  

C.     Aksiologi 

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan

penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun

Page 16: Landasan Ontologi

bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain,

ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun

bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain,

ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun

juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.”

Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang

menciptakan Goethe.”

Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana

adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu

harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana

perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi

bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup

dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan

kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk

menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.

Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun

dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang

kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan

sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan

moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin

mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu

mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar

bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik

ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh

pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar

mengelilingi matahari.

Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya

dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di

paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak

pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah

Page 17: Landasan Ontologi

sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah

membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi

yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya

di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap;

keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).

Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha menjawab

pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana

kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek

yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang

merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?4[4]

4[4] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 34-35.

Page 18: Landasan Ontologi

PENUTUP 

 

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan :

1. Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki

dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert

berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.

2. Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan

yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita

mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah

kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang

berupa ilmu?.

3. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan

antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang

ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang

merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?5[5]

5[5] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 34-35

Page 19: Landasan Ontologi

DAFTAR PUSTAKA 

  

 

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 1996.

Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001.

Louis O. Kattsouff, Pengantar filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta

Sidi Gazalba, Sistematika filsafat II, Yogjakarta, 1995.