landasan ontologi
TRANSCRIPT
Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Manajemen Pendidikan
Juni 7, 2008 — azharighalib
PENDAHULUAN
Membahas tentang filsafat manajemen pendidikan, tidak bisa kita pisahkan dengan
sejarah filsafat. Seperti kita ketahui filsafat mempunyai andil yang sangat besar
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim
filsafat. Bisa dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase
awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural
Philosophy) dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari 650
cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut Ibnu Khaldun disebabkan
oleh berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia
Dalam abad ke 18 dengan bermunculannya negara-negara maju dibelahan
dunia, muncul cabang ilmu pengetahuan baru yakni manajemen, yang semula masih
segan diakui sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini bukanlah suatu yang baru. Ilmu
kemasyarakatan (yang sejak semula dinamakan sosiologi) harus memperjuangkan
kedudukannya untuk menjadi ilmu pengetahuan disamping ilmu-ilmu pengetahuan yang
lain. Demikian pula halnya ilmu ”manajemen” yang menjadi bahan perbincangan kita
sekarang. Barulah pada masa Taylor dan Fuyol, seiring dengan tumbuhnya negara-
negara industri ilmu manajemen itu mulai dianggap sebagai ilmu. Kelahiran ilmu
manajemen kemudian diadopsi oleh dunia pendidikan yang kemudian disintesiskan
menjadi menajemen pendidikan.
Menurut Suriasumantri (2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala atau objek
sesuatu ilmu pengetahuan (manajemen pendidikan), paling sedikit kita pertanyakan (1)
apa hakikat gejala/objek itu (landasan ontologis), (2) bagaimana cara mendapatkan
atau penggarapan gejala/objek itu (landasan epistemologis), (3) apa manfaat
gejala/objek itu (landasan aksiologis).
Rumusan Masalah :
1. Bagaimanakah landasan ontologis manajemen pendidikan?
2. Bagaimana landasan epistemologis manajemen pendidikan?
3. Apa manfaat atau landasan aksiologis manajemen pendidikan?.
A. Landasan Ontologi Manajemen Pendidikan
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari manajemen
pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan manajemen pendidikan
melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris baik
yang berupa tingkat kwalitas maupun kwantitas hasil yang dicapai. Objek materi
manjemen pendidikan pendidikan ialah sisi manajemen yang mengatur seluruh
kegiatan kependidikan, yaitu, Perencanaan, pengorganisasian, Pengerahan
(motivasi, kepemimpinan, pengambilan keputusan, komonikasi, koordinasi, dan
negoisasi serta pengembangan organisasi) dan pengendalian (Meliputi
Pemantauan,penilaian, dan pelaporan.
B. Landasan Epistemologis Manajemen Pendidikan
Menurut Husaini (2006:7) pengertian manajemen pendidikan adalah seni atau ilmu
mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaa, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.
Manajemen pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengelola
sumber daya pendidikan mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sumber
daya pendidikan adalah sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan
yang meliputi enam hal; (1) administrasi peserta didik; (2) administrasi tenaga pendidik;
(3)administrasi keuangan; (4) administrasi sarana dan prasarana; (5) admistrasi
hubungan sekolah dengan masyarakat; dan (6) administrasi layanan khusus.
Perencanaan adalah sejumlah kegiatan yang ditentukan sebelumnya untuk
dilaksanakan pada suatu periode tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang
ditetapkan.
Tujuan perencanaan adalah (1) standar pengawasan, (2) Mengetahui kapan
pelaksanaan dan selesainya suatu kegiatan, (3) mengetahui siapa saja yang terlibat, (4)
mendapatkan kegiatan yang sitematis, (5) meminimalkan kegiatan yang tidak produktif,
(6) mendeteksi hambatan dan kesulitan yang ditemui, dan (7) mengarahkan pada
pencapaian tujuan.
Manfaat dari perencanaan adalah :
1. sebagai standar pengaasan dan pengawasan2. pemuilihan sebagai alterbatif terbaik3. penyusunan skala proritas, baik sasaran maupun kegiatan 4. menghemat pemanfaatan sumber daya organisasi.5. membantu manajer menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.6. alat yang memudahkan dalam berkoordinasi dengan pihak terkait.7. alat yang meminimalkan pekerjaan yang tidak pasti.
Pengorganisasian adalah (1) penentuan sumber daya dan kegiatan yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan organisasi, (2) proses perencanaan dan pengembangan suatu
organisasi, (3) penguasaan tanggung jawab tertentu, (4) pendelegasian wewenangyang
diperlukan untuk individu-individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Tiga komponen pengorganisasian:
1. ada kerja sama,
2. ada orang (pelaksana), dan
3. adanya tujuan bersama
Manfaat Pengorganisasian adaah :
1. Mengatasi terbatasnya kemampuan, kemauan, dan sumber dayayang dimiliki.2. untuk mencapai tujuan yang lebih efektif dan efesien,3. wadah memanfaatkan sumber daya yang dimiliki secara bersama-sama.4. wadah mengembangkan potensi dan spesialisasi yang dimiliki sesorang.5. wadah mendapatkan jabatan dan pembagian kerja.6. dawah mencari keuntungan bersama.7. wadah mengelola lingkungan bersama-sama.8. wadah menggunakan kekuasaan dan pengawasan9. wadah mendapatkan pengahrgaan.10. wadah memenuhi kebutuhan manusia.11. wadah menambah pergaulan
Salah satu fungsi manejeman adalah pengerahan atau pelaksanaan. Setelah
melaksanakan perencaan dan pengorganisian yang terpenting adalah implementasi
dari perencaaan yaitu pelaksaan. Pelasanaan dalam program organisasi sangat
terggantung dari dua aspek, yaitu: Kepemimpinan, dan motivasi kerja anggota
organisasi. Antar pemimpin dan pelaksana mempunyai tugas dan bertanggung jawab
masing masing atas tugasnya. Program tidak akan berjalan sesuai dengan yang
diinginkan apabila tidak didukung oleh kepemimpinan yang kuat dan motivasi kerja para
anggota organisasi.
Pengendalian adalah proses pemantauan, penilaian dan pelaporan perencanaan
atas pencapaian tujuan yang dicapai yang telah ditetapkan untuk tindakan korektif guna
penyempurnaan lebih lanjut.
Pengendalian sering disebut dengan pengawasan atau controlling. Tujuannnya adalah:
1. menghentikan atau meniadakan masalah, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, banbatan dan ketidak adilan.
2. Mencegah terulangnya kembali kesalahan penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, banbatan dan ketidak adilan.
3. menciptakan cara yang lebih baik untuk membina yang telah baik.4. menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi dan akuntabilitas
organisasi. 5. meningkatkan kelancaran operasi organisasi.6. memberikn opini atas kerja organisasi.
menciptakan terwujudnya pemerintahan yang bersih.
Manfaat pengawasan adalah menigkatnya akuntabilitas dan keterbukaan dalam
organisasi.
Dasar epistemologis diperlukan dalam manajemen pendidikan atau pakar ilmu
pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab.
Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga
pemula namun telaah atas objek formil ilmu manajemen pendidikan memerlukaan
pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-
fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan
pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme.
Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan
sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju
tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, dalam Umaedi:
1999)
Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan
peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai
institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal
dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School
Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan
(developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan
tujuan;
a. Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.
b. Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosio-ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.
c. Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.
d. Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing – masing.
e. Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.
f. Memotivasi timbulnya pemikiran-pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut.
g. Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.
h. Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi sekolah kedepan.
Peran Esensial Pemimpin Kepemimpinan mempunyai peran strategis dalam
upaya perbaikan kualitas. Setiap anggota organisasi harus memberikan konstribusi
penting dalam upaya tersebut. Namun, setiap upaya perbaikan yang tidak didukung
secara aktif oleh pimpinan, komitment, kreatifitas, maka lama-kelamaan akan hilang
C. Dasar Aksiologis Managemen Pendidikan
Aksiologi merupakan suatu pendidikan yang menguji danmenitegrasikan semua
nilai tersebut dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain nilai-nilai tersebut
ditanamkan dalam pribadi para pemimpin pendidikan (kepala sekolah), guru, staf dan
anak didik. Sesuai dengan tujuannya, maka manfaat manajemen pendidikan; Pertama,
terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang Aktif, Inovative, Kreatif,
Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM); Kedua, terciptanya peserta didik yang aktif
mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara; Ketiga, terpenuhinya salah satu
dari 4 kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan (tertunjangnya kompetensi
profesional sebagai pendidik dan tenaga kependidikan sebagai manajer); Keempat,
tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien; Kelima, terbekalinya tenaga
kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas administrasi pendidikan
(tertunjangnya profesi sebagai manajer pendidikan atau konsultan manajemen
pendidikan); Keenam, teratasinya masalah mutu pendidikan.(Husaini, 2006:8)
Kemanfaatan teori Manajemen pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi
juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai manajemen pendidikan tidak hanya
bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu
untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap
pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan
demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis
antar pekerjaan administrasi pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini
relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti
dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula untuk
menjembatani persoalan yang sedang berlangsung maupun yang akan terjadi.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Landasan Ontologi, Epistemologi
dan Aksiologi (pragmatis) dalam Managemen pendidikan mempunyai peran penting
dalam :
1. Menentukan nilai-nilai filosofis dalam pengembangan manajemen pendidikan. 2. Dasar ontologi manajemen pendidikan adalah objek materi manjemen
pendidikan ialah sisi manajemen yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan, yaitu, Perencanaan, pengorganisasian, Pengerahan (motivasi, kepemimpinan, pengambilan keputusan, komonikasi, koordinasi, dan negoisasi serta pengembangan organisasi) dan pengendalian (Meliputi Pemantauan,penilaian, dan pelaporan.
3. Dasar epistemologis diperlukan dalam manajemen pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab.
4. Dasar Aksiologis Managemen Pendidikan adalah Kemanfaatan teori Manajemen pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai manajemen pendidikan.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka setiap pembahasan mengenai ilmu pengetahuan
diharapkan melalui kajian landasan filosofis, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi
agar supaya upaya dan usaha yang menjadi program dalam manajemen pendidikan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI
DAN AKSIOLOGI
PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama di
sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud
yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia
(sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?. Kedua di sebut dengan
landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya
pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya?
Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
Sedang yang ketiga, di sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut
dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral/professional?1[1]
Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat
membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini
memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta
meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa
mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan
kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu di kacaukan
dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan
dari itu?
1[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 34-35.
PEMBAHASAN
A. Ontologi
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi
filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di
gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran
semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau
dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam
semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan
kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi
kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme,
atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak.
Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik
akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles
dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami
sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme
dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :
abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan
keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat
umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik
mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang
dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan
menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu
dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran
kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan itu fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah
realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam
kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik
sebagai berikut:
Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori
di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan
dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas
dalam kesimpulan.2[2]
Sementara Jujun S. Suriasumantri dalam pembahasan tentang ontologi memaparkan juga
tentang asumsi dan peluang. Sementara dalam tugas ini penulis tidak hendak ingin membahas
dua point tersebut.
B. Epistemologi
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan.
Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan
dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas
pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat
di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan
setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa
apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau
mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya
kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan
pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?3[3]
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
2[2] Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001
3[3] Louis O. Kattsouff, Pengantar filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta, 1996, Hal. 135-136.
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman.
Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan
diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan
jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu
seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada
kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di
dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut
rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang
sesuatu serta pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.
Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat
menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini
memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh
indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi
pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap
benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan
demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan
pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa
bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai
lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada
yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka,
sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang
sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya
intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e. Dan masih masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.
C. Aksiologi
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan
penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun
bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain,
ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun
bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain,
ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun
juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.”
Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang
menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana
adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu
harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana
perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi
bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup
dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan
kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk
menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun
dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang
kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan
sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan
moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin
mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu
mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar
bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik
ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh
pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar
mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya
dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di
paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak
pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah
sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah
membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi
yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya
di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap;
keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek
yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?4[4]
4[4] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 34-35.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan :
1. Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki
dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert
berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
2. Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan
yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah
kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu?.
3. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan
antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?5[5]
5[5] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 34-35
DAFTAR PUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1996.
Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001.
Louis O. Kattsouff, Pengantar filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta
Sidi Gazalba, Sistematika filsafat II, Yogjakarta, 1995.
.