bab i pendahuluan -...

31
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Foucault (1990) keberadaan suatu kelompok masyarakat dapat ditentukan oleh wacana sosial di luar kendali kelompok yang menjadi obyek dari wacana tersebut. Hal ini dimungkinkan untuk reproduksi kekuasaan bagi kelompok yang mendapat keuntungan dari wacana sosial yang beroperasi dalam kurun waktu yang sangat lama hingga terkesan menjadi pengetahuan umum. Lebih lanjut Foucault menjelaskan bahwa mereka ada karena dihadirkan oleh “kita” sebagai akibat discursive process yang melibatkan banyak agen, seperti negara, LSM, media massa, bacaan, dan ilmu pengetahuan (dalam Abdullah 2001, h.3). Ini artinya semua kelompok masyarakat telah berperan serta melanggengkan wacana sosial tertentu. Salah satu bahan yang dapat menjadi wacana sosial adalah tampilan bentuk tubuh seseorang. Tubuh mampu dijadikan obyek manipulasi untuk mereproduksi kekuasaan. Seperti yang diungkapkan oleh Foucault, tubuh merupakan tempat paling esensial untuk mengamati penyebaran dan beroperasinya relasi-relasi kekuasaan dalam masyarakat (Suyono 2002; Demartoto 2005, h. 14). Tubuh tidak hanya sekedar anatomi sel-sel melainkan terkait dengan perkembangan teknik-teknik rekayasa tertentu yang tak lepas dari kekuasaan politik. Ini berkaitan dengan proses identifikasi seseorang dengan orang-orang di sekitarnya melalui tampilan bentuk tubuhnya. Orang akan cenderung mengelompok berdasarkan persamaan kategori fisik-biologis tertentu. Hal inilah yang akan membentuk identitas diri, dimana ketika kita mengidentifikasi diri (selfness) secara bersamaan juga akan mengidentifikasi orang lain (the other). Proses pengidentifikasian diri ini merupakan sesuatu hal yang akan memberikan kejelasan posisi dan perannya di lingkungan masyarakat dan dalam relasinya dengan orang lain. Orang yang mempunyai fisik sempurna dan kuat cenderung akan mengambil peran yang lebih dalam kehidupan bermasyarakat. Ini berkaitan

Upload: phamthien

Post on 17-Sep-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Foucault (1990) keberadaan suatu kelompok masyarakat dapat

ditentukan oleh wacana sosial di luar kendali kelompok yang menjadi obyek dari

wacana tersebut. Hal ini dimungkinkan untuk reproduksi kekuasaan bagi

kelompok yang mendapat keuntungan dari wacana sosial yang beroperasi dalam

kurun waktu yang sangat lama hingga terkesan menjadi pengetahuan umum.

Lebih lanjut Foucault menjelaskan bahwa mereka ada karena dihadirkan oleh

“kita” sebagai akibat discursive process yang melibatkan banyak agen, seperti

negara, LSM, media massa, bacaan, dan ilmu pengetahuan (dalam Abdullah 2001,

h.3). Ini artinya semua kelompok masyarakat telah berperan serta melanggengkan

wacana sosial tertentu.

Salah satu bahan yang dapat menjadi wacana sosial adalah tampilan

bentuk tubuh seseorang. Tubuh mampu dijadikan obyek manipulasi untuk

mereproduksi kekuasaan. Seperti yang diungkapkan oleh Foucault, tubuh

merupakan tempat paling esensial untuk mengamati penyebaran dan

beroperasinya relasi-relasi kekuasaan dalam masyarakat (Suyono 2002;

Demartoto 2005, h. 14). Tubuh tidak hanya sekedar anatomi sel-sel melainkan

terkait dengan perkembangan teknik-teknik rekayasa tertentu yang tak lepas dari

kekuasaan politik.

Ini berkaitan dengan proses identifikasi seseorang dengan orang-orang di

sekitarnya melalui tampilan bentuk tubuhnya. Orang akan cenderung

mengelompok berdasarkan persamaan kategori fisik-biologis tertentu. Hal inilah

yang akan membentuk identitas diri, dimana ketika kita mengidentifikasi diri

(selfness) secara bersamaan juga akan mengidentifikasi orang lain (the other).

Proses pengidentifikasian diri ini merupakan sesuatu hal yang akan memberikan

kejelasan posisi dan perannya di lingkungan masyarakat dan dalam relasinya

dengan orang lain. Orang yang mempunyai fisik sempurna dan kuat cenderung

akan mengambil peran yang lebih dalam kehidupan bermasyarakat. Ini berkaitan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

2

dengan adanya kesadaran bahwa dirinya lebih mempunyai pengetahuan dan

kemampuan dibanding orang yang mempunyai kelemahan secara fisik.

Kelompok perempuan dan difabel (penyandang disabilitas) merupakan

sebagian dari kelompok masyarakat yang telah dikondisikan oleh wacana sosial

mengenai tampilan bentuk tubuhnya. Wacana yang dibangun cenderung

memunculkan ketimpangan dan cenderung meminggirkan keberadaan mereka.

Kondisi demikian dimanfaatkan kelompok tertentu untuk melanggengkan

kekuasaannya dengan menunjukkan siapa yang berhak mendefinikan.

Difabel (people with different ability) merupakan istilah yang

diperkenalkan pada tahun 1999 oleh para aktivis untuk menyebut penyandang

cacat, yaitu orang-orang yang menjalankan aktivitas hidup dengan kondisi fisik

dan atau mental yang berbeda dengan orang kebanyakan. Kondisi ini bisa

merupakan bawaan sejak lahir ataupun muncul saat dewasa, seperti akibat dari

penyakit, malnutrisi, kecelakaan, penganiayaan, atau sebab-sebab lain sehingga

menyebabkan cacat fisik dan atau mental. Istilah difabel dianggap sebagai langkah

mengubah persepsi masyarakat yang cenderung memiliki persepsi menyudutkan

kaum difabel, yang dimana menekankan artinya dengan orang yang mempunyai

kemampuan berbeda. Namun pada tahun 2010, oleh pemerintah Indonesia

penyebutan difabel diubah menjadi penyandang disabilitas. Berkaitan dengan

penelitian ini, saya akan menggunakan istilah penyandang disabilitas dalam

penyebutannya.

Keberadaan penyandang disabilitas selama ini diidentifikasi melalui

pemahaman oposisi biner antara normal dan cacat. Oleh orang ‘normal’—dalam

arti mempunyai fisik sempurna, memandang orang yang tidak memiliki salah satu

anggota tubuh ataupun mental yang berbeda dengan orang-orang kebanyakan

dikategorisasikan sebagai orang cacat. Artinya bahwa kecacatan merupakan

sebuah konstruksi sosial yang berasal dari persepsi orang-orang yang merasa

dirinya normal. Ada hegemoni paham normalisme yang bekerja dalam masyarakat,

sehingga penyandang disabilitas menerima minoritisasi dari kaum yang secara

fisik-biologis sempurna.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

3

Pembagian masyarakat berdasarkan fisik-biologis telah ada pada zaman

kolonial. Pemerintah Belanda pada waktu itu membedakan antara manusia normal

dan tidak normal dengan membangun klinik-klinik yang menampung para

penyandang disabilitas (Syaddad 2012). Menurut data WHO (World Health

Organization) penyandang disabilitas di Indonesia pada tahun 2007 mencapai

10% dari total jumlah penduduk Indonesia. Itu berarti sekitar 20 juta lebih orang.

Hal ini meningkat dari data sebelumnya yang dirilis Duta Besar (Dubes) Amerika

Serikat (AS) tahun 1998 yang didasarkan pada data Departemen Sosial (Depsos),

terdapat enam juta orang atau sekitar 3% penyandang disabilitas dari 200 juta

penduduk Indonesia. Sedangkan menurut asumsi data dari PBB, terdapat sekitar

10 % penyandang disabilitas. Terlebih lagi berbagai bencana yang terjadi di

Indonesia seperti tsunami Aceh tahun 2005 dan gempa di Yogyakarta tahun 2006

membuat jumlah penyandang disabilitas bertambah banyak (Difabel News 2010,

h. 5).

Sedangkan, perempuan hadir sebagai kelompok yang dirugikan karena

perbedaan gender (gender differences). Gender merupakan suatu sifat yang

melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial

(Fakih 1996, h. 8). Konstruksi sosial terhadap perempuan dapat dilihat dari segi

pengelolaan tubuh. Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa

untuk memperkuat posisi laki-laki terhadap perempuan.

Abdullah (2001, h. 66) menjelaskan mengenai pemanfaatan tubuh

perempuan yang dapat dilihat dari dua bidang. Pertama, tubuh perempuan

digunakan untuk pembentukan masyarakat konsumen. Perempuan selalu

dibicarakan mengenai kemolekan tubuhnya dan diwacanakan sebagai makhluk

yang cantik, menarik, dan menggairahkan. Menejemen tubuh perempuan ini telah

menjadi bisnis, karena digunakan sebagai alat untuk membangkitkan gairah

konsumen terhadap suatu produk melalui iklan-iklan yang menonjolkan bagian

tubuh perempuan. Seperti pendapat Fine dan Leopold (1993) iklan hanya terus

menerus menggambarkan perempuan sebagai obyek seks kaum laki-laki. Namun,

di sisi lain perempuan menjadi obyek pasar utama di masa kapitalisme ini.

Wacana untuk selalu tampil cantik dan awet muda membuat mereka menjadi

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

4

konsumen terbesar produk-produk yang mampu meningkatkan prestise mereka,

seperti produk-produk kecantikan dan perawatan tubuh.

Kedua, dilihat dari segi kesehatan. Kapasitas tubuh perempuan untuk

melahirkan, menyusui, dan menstruasi dianggap laki-laki sebagai ciri-ciri

kelemahan perempuan. Ini yang dijadikan alasan bagi laki-laki untuk menghalangi

keterlibatan perempuan dalam urusan publik. Perempuan dianggap hanya berhak

mengurusi urusan domestik rumah tangga. Seolah-olah perempuan hanya

memiliki kemampuan di bidang reproduksi dan hanya sebagai obyek seks bagi

laki-laki. Tindakan kekerasan seperti pemukulan dan pemerkosaan menjadi bukti

bahwa tubuh perempuan telah menjadi arena untuk menguatkan dominasi laki-

laki.

Melihat keberadaan penyandang disabilitas dan perempuan yang dibangun

atas wacana sosial yang berkembang, menarik untuk dilihat lebih lanjut

bagaimana dengan kaum perempuan yang sekaligus penyandang disabilitas?

Anggapan ketidakmampuan penyandang disabilitas dalam melakukan pekerjaan

orang-orang normal dan sekaligus ia sebagai perempuan membuat perempuan

penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan diskriminatif yang lebih besar

dibanding laki-laki penyandang disabilitas baik di keluarga, masyarakat maupun

negara.

Eksistensi perempuan penyandang disabilitas sepertinya dijadikan arena

memperkuat posisi kekuasaan bagi pihak tertentu. Hal ini terkait dengan

stereotype yang berkembang dalam masyarakat yaitu diantaranya, (1) mereka

tidak berdaya dan harus tergantung pada orang lain, (2) tidak bisa

mengembangkan diri karena keterbatasan fisik/mental, (3) tidak mampu untuk

beraktivitas seperti pada orang normal, (4) jika sudah berkeluarga, dinilai akan

melahirkan keturunan yang penyandang disabilitas juga, (5) dinilai bukan orang

yang produktif sehingga tersingkirkan dalam urusan publik.

Kerentanan perempuan penyandang disabilitas tersebut dipelihara oleh

lingkungan dan justru dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Ini terbukti dengan

banyaknya kasus kekerasan pada perempuan penyandang disabilitas, seperti

pelecehan seksual, pemerkosaan, penipuan, dan pemukulan. Perlakuan kasar

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

5

tersebut yang menurut Abdullah (2001) telah menjadi ekspresi simbolik hubungan

kuasa. Dengan menunjukkan siapa yang menindas, maka ia lah yang berkuasa.

Seperti pendapat Carole Sheffield, dimana ada ketakutan maka di sana ada

kekuasaan yang sedang berlangsung.

Beberapa hal mengenai perlakuan yang tidak menyenangkan terhadap

perempuan penyandang disabilitas tersebut, mengindikasikan bahwa mereka

belum sepenuhnya mampu menyentuh ruang-ruang publik untuk menunjukkan

keberadaan mereka. Penyandang disabilitas tidak dipahami sebagai orang yang

mempunyai perbedaan kemampuan, tetapi orang yang tidak berdaya. Akibatnya,

mereka diperlakukan diskriminatif. Diskriminasi bahkan dilakukan oleh anggota

keluarga penyandang disabilitas. Diantaranya dengan mengisolasi anak

penyandang disabilitas dalam rumah, membatasi relasi sosial anak dengan dunia

luar, dan semakin membuatnya tampak tidak berdaya. Bahkan kasus-kasus di

Indonesia seringkali mereka dipasung hingga bertahun-tahun karena dianggap aib

bagi keluarga. Hal ini menyebabkan turunnya kepercayaan diri mereka untuk

hidup bermasyarakat. Bahkan penerimaan dari pihak keluarga pun belum

sepenuhnya didapat.

Hal tersebut menunjukkan bahwa selama ini mereka masih diangggap

sebagai ‘an existence which should not exist’, eksistensi yang seharusnya tidak

ada (Indosuara team 2012). Tanpa disadari, mereka diposisikan sebagai

masyarakat kelas dua. Berbagai permasalahan yang hadir pada perempuan

penyandang disabilitas memunculkan reaksi gerakan sosial yang melakukan

advokasi terhadap hak perempuan penyandang disabilitas agar keberadaan mereka

dapat diterima dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Salah satu agen gerakan

sosial adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

LSM merupakan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat yang mampu

membangun transformasi sosial. Sebagai agen gerakan sosial, LSM hadir untuk

mewujudkan keswadayaan dan kemandirian masyarakat yang terbelenggu oleh

struktur yang melemahkan. Hal ini terkait perannya sebagai penghubung dan

sekaligus penengah bagi sektor-sektor publik yang mengalami perlakuan marginal.

LSM memandang kelompok perempuan penyandang disabilitas perlu merebut hak

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

6

dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhan dan mengharapkan perlakuan

yang merugikan tidak pernah terjadi kembali.

Untuk itu, penelitian ini menjadi penting untuk mengetahui bagaimana

LSM yang concern mengenai perempuan penyandang disabilitas melakukan

advokasi agar keberadaan mereka diakui dalam kehidupan bermasyarakat. Studi

ini akan fokus pada LSM Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak

(SAPDA) yang ada di Yogyakarta.

SAPDA mempunyai tujuan untuk mewujudkan inklusivitas dalam aspek

kehidupan sosial yang menjadi hak penyandang disabilitas di bidang pendidikan,

kesehatan, pekerjaan, politik, hukum atas dasar persamaan hak asasi manusia.

Mereka bertujuan untuk membangun masyarakat inklusif terhadap penyandang

disabilitas. Masyarakat inklusif yang dimaksud adalah sebuah masyarakat yang

menjunjung keadilan, kesetaraan serta kesamaan hak bagi penyandang disabilitas,

sehingga masyarakat penyandang disabilitas dapat berpartisipasi penuh secara

inklusif dalam kehidupan sosial mereka.

Seperti yang dirilis dalam situs resmi mereka yaitu www.sapdajogja.org,

aktivitas yang dilakukan SAPDA diantaranya, pertama, melakukan kajian

keilmuan dan penelitian ilmiah. Mereka seringkali melakukan diskusi-diskusi dan

kajian keilmuan dengan para akademisi, aktivis, maupun stakeholder yang terkait.

Melalui kajian-kajian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman atas

eksistensi penyandang disabilitas di tengah kehidupan bermasyarakat. Hasil kajian

mereka diinformasikan kepada pembaca melalui buletin, yaitu Buletin Sapda

Jogja yang disebarkan secara periodik.

Kedua, memperjuangkan agar kebijakan publik yang ada mampu

menjamin pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas. Ini dilakukan dengan

membuka dialog dengan pemangku kebijakan seperti pemerintah dan anggota

DPRD. Selama ini, kebijakan publik yang ada kurang memperhatikan kebutuhan

penyandang disabilitas karena pada dasarnya mereka tidak disertakan dalam

pengambilan kebijakan yang terkait dengan mereka. Untuk itu, menjalin

kerjasama dengan stakeholder menjadi hal yang harus dilakukan untuk

menunjukkan pentingnya perhatian terhadap mereka. Ketiga, melakukan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

7

pemberdayaan dalam tubuh penyandang disabilitas sendiri. Hal ini penting

kiranya agar mampu meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri mereka di

tengah orang-orang normal.

Kajian mengenai gerakan eksistensi perempuan penyandang disabilitas ini

menjadi penting, karena peneliti menganggap masih adanya empati yang dangkal,

pengabaian dari masyarakat, ataupun tidak adanya perhatian khusus dari

pemerintah dan masyarakat terhadap mereka. Hal ini dilihat dari masih banyaknya

perlakuan diskriminatif terhadap perempuan penyandang disabilitas. Selain itu,

kajian ini akan mengungkap bagaimana proses wacana sosial itu bekerja hingga

mengakibatkan peminggiran mereka, terutama dalam urusan publik. Untuk itu,

yang diperlukan adalah proses menggugah kesadaran masyarakat terhadap mereka.

Keberadaan mereka di tengah kehidupan bermasyarakat tidak hanya perlu diakui

tetapi juga dipahami dengan cara yang berbeda. Konstruksi sosial yang

membelenggu psikologis masyarakat perlu dibongkar, sehingga terjadi

penerimaan dari pemerintah maupun masyarakat. Mengenalinya melalui

pemahaman bahwa mereka berkemampuan berbeda (different ability) bukan tidak

berkemampuan (disabled), serta tidak menjadikannya sebagai kelompok manusia

terpinggirkan, dan yang perlu dikasihani. Oleh karena itu, penting juga untuk

mengetahui upaya-upaya SAPDA selama ini untuk mendapatkan keadilan tersebut.

Dalam upaya penyadaran masyarakat akan keberadaan perempuan

penyandang disabilitas, dapat dikatakan ini merupakan suatu gerakan sosial baru

(new social movement). Dimana adanya upaya pertahanan kelompok yang

dirugikan untuk melawan ekspansi negara maupun kekuatan-kekuatan penekan

dari pihak luar. Menurut Cohen dan Arato (1994) gerakan ini melibatkan norma-

norma baru dan identitas kolektif. Di sini kelompok penyandang disabilitas

membawa isu identitas-identitas sosial mereka untuk mendobrak hegemoni kaum

dominan.

Penelitian ini nantinya akan menggunakan metode studi kasus, yang

dimana hanya fokus pada LSM SAPDA di Yogyakarta. Ini akan melihat

bagaimana wacana pembentukan perbedaan fisik mampu mendiskriminasikan

suatu kelompok, yang di sini adalah kaum perempuan penyandang disabilitas di

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

8

Daerah Istimewa Yogyakarta. Lantas, bagaimana upaya suatu kelompok yang

disisihkan dalam masyarakat ini melakukan strategi eksistensinya.

Dalam penelitian ini, peneliti melihat kaum perempuan penyandang

disabilitas sebagai kelompok yang perlu diberi kesempatan untuk mendapatkan

kesempatan yang sama dalam mengakses ruang-ruang publik, karena adanya

dominasi orang-orang normal dan kuat yang lebih mampu mengatur dan

menentukan pendisiplinan aturan yang berkembang di masyarakat. Orang-orang

yang menganggap dirinya normal perlu memahami bahwa penyandang disabilitas

mempunyai kemampuan yang berbeda, oleh karena itu mereka mempunyai cara

sendiri untuk memproduksi sesuatu. Melalui ini diharapkan nantinya akan

menguak relasi kuasa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dimana

proses inklusivitas dan eksklusivitas bisa terus menerus terjadi tanpa disadari oleh

banyak orang.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan diajukan dalam penelitian ini, adalah:

“Bagaimana strategi SAPDA dalam memperjuangkan eksistensi kaum perempuan

penyandang disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta?”

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini, adalah:

- Untuk mengetahui bagaimana bentuk tubuh dapat mereproduksi

kekuasaan

- Untuk mengetahui bagaimana SAPDA melakukan strategi eksistensi untuk

perempuan penyandang disabilitas

- Untuk mengetahui gerakan SAPDA sebagai gerakan new sosial movement

D. Kerangka Teori D.1. Biopolitik: Reproduksi Kekuasaan Melalui Tubuh

Seseorang akan mengidentifikasi diri dengan orang lain atas dasar

kesamaan karakteristik tertentu. Dalam interaksinya antar manusia, sebagai

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

9

individu maupun kelompok akan senantiasa dilekatkan berbagai latar belakang,

bisa berdasarkan pada etnis, agama, ras, tradisi, gender, sosial budaya, dan

sebagainya. Perbedaan berbagai latar belakang ini yang membentuk identitas.

Menurut Lan (2000) identitas diperlukan seseorang untuk memberikan sense of

belonging dan eksistensi sosial (dalam Susetyo 2002). Identitas berbicara

mengenai persamaan dengan sejumlah orang dan tentang apa yang

membedakannya dengan yang lainnya. Ketika individu mengidentifikasi diri

mengenai kesamaan dengan yang lain atau menjadi bagian identitas kolektif

tertentu, pada saat yang sama juga mengidentifikasi perbedaan dengan identitas

kolektif lainnya. Bisa dikatakan identitas berkaitan erat dengan perbedaan.

Sehingga, menurut Agnes Heller politik identitas merupakan konsep dan gerakan

politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu

kategori politik yang utama.

Dalam hal ini, kita bisa melihat bagaimana pengidentifikasian seseorang

dapat melalui perbedaan bentuk fisik-biologisnya. Pengidentifikasian identitas

kaum perempuan dan penyandang disabilitas sendiri berdasarkan karakteristik

tubuh. Hal ini yang disebut dengan biopolitik (politik tubuh), yaitu politik

identitas yang mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari

perbedaan fisik (Abdilah 2002, h. 41). Adalah Michel Foucault yang melihat

tubuh menjadi suatu objek dan subjek politik ditemukannya akar-akar identitas

politik. Tubuh tidak sekedar fakta biologis, melainkan suatu bentuk konstruksi

sosial dan dipolitisir menjadi sebuah perbedaan (Elam 2010, h. 187). Tubuh telah

menjadi pembeda dan penentu status sosial seseorang. Hal ini terlihat ketika tubuh

dihadapkan dalam hubungan antara tubuh dan yang lainnya, yaitu ketika tubuh

dilawankan dan menjadi objek kekuasaan (Abdilah 2002, h. 14). Dengan

demikian ada status tubuh orang sakit dan sehat, tubuh ningrat dan tubuh budak,

dan sebagainya.

Melalui tubuh inilah ditemukannya praktik-praktik kekuasaan, yang pada

perkembangannya telah membawa rasisme. Rasisme adalah suatu kepercayaan

bahwa kenyataan seseorang, nilai-nilainya, dan sifat-sifatnya ditentukan dan lihat

bukan dari penilaian atas kualitas akalnya, melainkan dari faktor anatomi tubuh

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

10

(Suyono 2002; Abdilah 2002, h. 182). Hal ini menjadikan orang dinilai atau

dihargai atas keanggotaan rasial, dan juga sebaliknya untuk menilai dan

menghargai orang lain atas dasar yang sama juga. Artinya bahwa penerimaan

sosial dan hubungan sosial ditentukan oleh bentuk tubuh sesorang (Abdullah 2001,

h. 78). Ini yang menyebabkan timbulnya superioritas dan inferioritas berdasarkan

kepemilikan bentuk tubuh.

Menurut Foucault, biopolitik dijalankan untuk mempertahankan biopower,

yang dipertahankan melalui dua metode, yaitu pendisiplinan dan kontrol regulatif.

Dalam pendisiplinan, tubuh dianggap sebagai mesin yang harus dioptimalkan

kapabilitasnya. Sedangkan kontrol regulatif meliputi politik populasi, kelahiran

dan kematian, dan tingkatan kesehatan (Abdilah 2002, h. 53). Tujuan biopower ini

didukung oleh proses normalisasi oleh wacana ilmu pengetahuan.

Kita bisa melihat bagaimana ini terjadi pada kaum perempuan dan

penyandang disabilitas. Menurut Simone de Beauvoir (1953) perempuan tidak

dilahirkan, tetapi mereka dibentuk. Hal ini terkait dengan konsep gender yaitu

pelekatan karakteristik dan sifat tertentu sebagai akibat dari perbedaan kelamin.

Menjadi perempuan maupun laki-laki merupakan sebuah proses yang berjalan

terus menerus yang tidak hanya dilakukan secara individual tetapi melalui

kelompok sosial yang terstruktur dengan institusi sosial maupun ideologi kultural

(Sugihastuti & Itsna 2007, hh. 13-18). Perbedaan gender ini telah membawa

pembagian sosial. Dalam hal ini perempuan seringkali berada pada posisi yang

dirugikan dari perbedaan gender tersebut.

Perbedaan gender dimunculkan melalui perbedaan entitas fisik. Perbedaan

fisik biologis ini dimunculkan terus menerus sebagai kebutuhan akan konstruksi

gender. Hal ini kaitannya dengan kapasitas fisik yang mempengaruhi kemampuan

dan watak. Misalkan, tingkat testosteron (hormon reproduksi) yang dimana lebih

banyak dimiliki laki-laki dibanding perempuan, menjadi alasan mengapa laki-laki

lebih agresif dibandingkan perempuan. Selain itu, otak kiri laki-laki lebih

dominan berfungsi dianggap menjadikan laki-laki lebih rasional, sedangkan otak

kiri perempuan lebih sedikit berfungsi sehingga mereka dianggap lebih emosional,

sensitif, dan cenderung tidak irrasional. (Sugiharti & Itsna 2007, h. 8).

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

11

Permasalahannya bukan terletak pada ada tidaknya pengaruh fisik biologis

terhadap kemampuan dari suatu jenis kelamin, namun generalisasi semacam ini

telah membawa stereotype karakter dan sifat tertentu dari suatu jenis kelamin.

Dimana pada akhirnya membangun perbedaan gender dan ketidaksetaraan.

Perempuan yang dirugikan disini. Hal ini dikonstruksi terus menerus untuk

memperkuat kuasa kaum laki-laki. Melalui ini dengan mudah laki-laki dapat

memanfaatkan tubuh perempuan, yang pada akhirnya mempengaruhi batas gerak

perempuan dalam kehidupan.

Kapasitas tubuh perempuan yang dapat hamil, melahirkan, dan harus

menyusui anaknya dianggap bahwa mereka hanya bisa berkembang dalam ranah

reproduksi, bukan produksi (yang dianggap ranah laki-laki). Meskipun reproduksi

dan produksi tidak dapat dikontradiksikan, namun klasterisasi reproduktif dan

produktif mempertajam anggapan bahwa perempuan tidak bisa menghasilkan

produk yang bernilai bagi lingkungannya. Perempuan dikontrol untuk tetap

dirumah dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Adanya pembagian kerja inilah

yang akhirnya memperkukuh superioritas laki-laki atas perempuan dan

menganggap lebih mampu mengatur kehidupan bermasyarakat.

Eksistensi perempuan tersingkirkan dalam sistem kemasyarakatan yang

dimana laki-laki lebih mendominasi terutama dalam isu-isu publik. Para aktivis

perempuan menganggap absensi perempuan dalam isu publik ini dikarenakan

wacana yang berkembang bahwa perempuan itu lemah. Akibatnya, pertama,

potensi perempuan telah dilupakan, sehingga jika ada perempuan yang aktif

dalam urusan publik dinilai bukan hal yang wajar. Kedua, wacana perempuan

sebagai pihak yang lemah telah membawa ketergantungan perempuan terhadap

laki-laki (Abdullah 2001, h. 192).

Begitupun dengan tubuh penyandang disabilitas. Sebelum diperkenalkan

dengan sebutan penyandang disabilitas, kelompok ini sering disebut sebagai

kelompok penyandang cacat (meskipun masih banyak yang menyebutnya

demikian). Disebut orang cacat karena melihat bentuk tubuhnya yang tidak

lengkap dan tidak berfungsi sebagaimana bentuk tubuh orang normal. Lantas,

siapa yang dapat menyebut dirinya orang normal? Sebutan orang normal adalah

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

12

mereka dengan bentuk tubuh yang dominan, sedangkan yang selainnya disebut

tidak normal. Sesuatu yang tidak biasa bagi seseorang akan dilihat sebagai

kelainan. Cara pandang inilah yang dijadikan untuk memahami orang cacat.

Karena jumlahnya yang sedikit dalam kumpulan orang normal, mereka dianggap

sebagai orang yang tidak normal.

Dengan menyebutnya sebagai kelompok penyandang cacat menunjukkan

adanya pengelompokkan seseorang berdasarkan perbedaan tubuh. Orang

mendefinikan keberadaannya dengan mengidentifikasi anatomi tubuhnya. Orang

yang memiliki kapastitas tubuh yang tidak berfungsi sebagaimana orang-orang

normal dikelompokkan dan diberikan istilah untuk menyebut mereka. Hal ini

menjadi permasalahan ketika melalui pengidentifikasian ini menimbulkan

diskriminasi terhadap kelompok tersebut. Artinya bahwa bentuk tubuh dapat

berujung pada penerimaan sosial dan hubungan sosial.

Penyandang cacat dianggap sebagai kelompok yang harus dinormalkan

dan perlu dibantu agar dapat diterima dalam masyarakat. Merekalah yang pada

akhirnya harus menyesuaikan diri dengan orang-orang normal. Selama ini mereka

dianggap sebagai kelompok yang menderita gangguan kesehatan dan perlu segera

disembuhkan. Inilah pandangan medis dalam melihat mereka. Mereka dipisahkan

dalam kehidupan bermasyarakat dengan memasukkan mereka ke rumah sakit.

Mereka dianggap bukan orang yang sehat dan perlu dinormalkan.

Pandangan tersebut menunjukkan arogansi orang normal untuk

mendisiplinkan mereka yang tidak normal karena dianggap lemah dan tidak

berdaya (Nugroho 2005, h. ix). Ini yang disebut dengan manajemen normalitas

(the management of normality). Ada paksaan dari orang normal agar mereka sama

dengan orang normal. Normalisasi berarti penyingkiran segala yang dianggap

menyimpang, membangkang, anomali, dan tidak teratur. Proses normalisasi ini

merupakan bentuk kuasa orang-orang normal untuk mengatur kelompok orang-

orang yang dianggap lemah.

Dominasi orang normal terhadap penyandang disabilitas ditunjukkan

dalam aktivitas keseharian dan dalam berbagai aspek kehidupan. Dari segi istilah

penyandang cacat untuk menyebut mereka pun terdapat unsur diskriminatif.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

13

Seolah-olah mereka adalah kelompok manusia yang rusak dan perlu disortir dari

yang lainnya. Inilah yang mendorong para aktivis untuk mengganti istilah tersebut.

Penggatian istilah dari penyandang cacat dengan penyandang disabilitas

diharapkan mampu memberikan cara pandang baru dalam melihat mereka. Bukan

melihat dari ketidakmampuannya melakukan sesuatu yang sesuai dengan orang

pada umumnya, tapi lebih melihat mereka sebagai kelompok yang memiliki

kemampuan yang berbeda dalam memproduksi sesuatu. Namun penggantian

istilah belum sepenuhnya mengubah pandangan orang lain. Mereka masih

dipandang sebagai kelompok yang lemah karena perbedaan fisiknya.

Proses normalisasi adalah proses yang secara sosial, kultural, dan politik

dibuat oleh rezim-rezim hegemonis dan dominan untuk mengatur yang dianggap

tidak sesuai dengan norma-norma yang dianggap ‘umum’. Artinya bahwa ada

anggapan orang yang mempunyai bentuk tubuh yang normal dan kuat lebih

mempunyai kekuasaan untuk mengatur kelompok orang-orang yang lemah.

Normalisasi berarti penyingkiran segala yang dianggap menyimpang,

membangkang, anomali, dan tidak teratur. Sehingga, proses normalisasi ini

memunculkan adanya eksklusi dan inklusi yang terjadi secara sistematis dalam

kehidupan sehari-hari. Inklusivitas dan eksklusivitas terhadap seseorang telah

menjadi wacana (discource) yang berkembang meskipun tidak banyak orang yang

menyadarinya.

Eksklusi merupakan mekanisme yang berperan dalam memisahkan

kelompok-kelompok orang dari mainstream sosial (Giddens 2002, h. 121).

Mainstream tubuh yang normal kebanyakan orang adalah bentuk tubuh yang

secara fisik sempurna. Sehingga penyandang disabilitas yang secara fisik tidak

sempurna sebagaimana pendefinisian sempurna oleh orang normal, diperlakukan

sebagai the others. Sedangkan perempuan yang dengan kapasitas bentuk tubuhnya

itu dianggap sebagai kelemahan, sehingga tidak dapat masuk ke ranah produksi.

Hal ini menjadikan mereka mendapatkan berbagai diskriminasi dalam

kehidupannya. Ada semacam stereotype terhadap mereka yang dianggap sebagai

kelompok orang yang tidak berdaya Stereotype dapat muncul terhadap kelompok

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

14

tertentu, dimana ini terkait dengan pengetahuan dominan yang mereproduksinya

(Noorsalim dkk 2007, h. 6).

Melalui berbagai kondisi yang menyudutkan perempuan penyandang

disabilitas dalam kehidupan bermasyarakatnya inilah mereka membangun

eksistensi untuk mendobrak mainstream yang ada, sehingga mereka mendapat

pengakuan dari masyarakat. Di sinilah letak fungsi identitas. Ketika timbul

kesadaran individu akan dunianya dan kesadaran kolektif akan identitasnya,

terbentuklah identitas kelompok. Pengorganisasian identitas menjadi penting

untuk mempertahankan eksistensi kelompok perempuan penyandang disabilitas.

Hal tersebut menurut Hogg dan Abrams (1988) dalam upaya memperoleh

persamaan identitas sosial (social equality) dan pengakuan (recognition) dari

pihak lain.

Upaya pengorganisasian identitas perempuan penyandang disabilitas ini

dapat dilihat dari konsep mikropolitiknya Foucault. Yang dimana mencakup dua

komponen kunci yaitu politik wacana dan biopolitik (Abdilah 2002, hh. 48-49).

Politik wacana melihat kelompok-kelompok marjinal yang berusaha menghadapi

wacana-wacana hegemonik. Wacana merupakan bentuk kekuasaan, karena adanya

unsur memaksakan norma-norma yang dianggap rasional. Sehingga yang berada

di luar wacana akan termarjinalkan. Ini yang menurut Foucault dapat menjadi

strategi perlawanan kelompok-kelompok yang dirugikan oleh wacana hegemonik.

Sedangkan, dalam biopolitik, ada upaya untuk memberontak dari kekuasaan-

kekuasaan pendisiplinan yang menyebabkan potensi normalisasi. Maka dari itu,

gerakan identitas kolektif dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah

kelompok sosial yang merasa dirugikan dan tersingkir oleh dominasi arus besar

dalam sebuah bangsa atau negara. Di sinilah ide tentang keadilan untuk semua

kelompok menjadi sangat relevan (Maarif 2012, h. 4).

Melalui identitas kolektif ini, dapat memunculkan gerakan sosial politik.

Salah satu agen gerakan sosial politik adalah Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM). Kehadiran LSM ini untuk sebagai penghubung dan sekaligus penengah

bagi sektor-sektor publik yang mengalami perlakuan marginal. Mereka

melakukan advokasi bagi kelompok yang terpinggirkan karena represi kuasa.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

15

D.2. Memahami Gerakan Perempuan Penyandang Disabilitas Sebagai

New Social Movement

Seperti yang dijelaskan sebelumnya politik identitas merupakan gerakan

politik itu sendiri yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference). Dalam

kondisi dimana penyandang disabilitas mendapatkan diskriminasi dari orang-

orang yang secara fisik sempurna, gerakan politik menjadi suatu hal yang tak

terelakkan untuk membangun eksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat. Ini

menjadi bentuk perlawanan terhadap hegemoni normalitas. Seperti yang

diutarakan Tarrow (1998) (dalam Suharko 2006, h. 1) gerakan sebagai politik

perlawanan yang terjadi ketika rakyat biasa menggalang kekuatan untuk melawan

elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Perlawanan ini

dimaksudkan untuk membangun tatanan baru dalam kehidupan (Blumer 1969, h.

8). Keinginan untuk membangun tatanan baru ini dipicu adanya rasa

ketidakpuasan terhadap pola interaksi dalam masyarakat.

Menurut Ritzer et. Al (1979) dalam Haryanto (hh. 3-4) terdapat prasyarat

tertentu untuk mengindikasikan suatu gerakan sosial politik. Yaitu, pertama, suatu

gerakan melibatkan sebagian besar individu yang berusaha memprotes suatu

keadaan. Kedua, suatu gerakan harus mempunyai skope (ruang) yang relatif luas,

sehingga mampu mempengaruhi sebagian besar masyarakat. Ketiga, gerakan

tersebut dapat menggunakan berbagai macam taktik untuk mencapai tujuannya,

baik yang sifatnya menggunakan kekerasan maupun tidak. Keempat, tujuan akhir

dari gerakan tersebut adalah mengubah kondisi yang ada pada masyarakat. Kelima,

gerakan tersebut merupakan suatu usaha yang secara sadar dilakukan untuk

mengadakan perubahan, dan bagi mereka yang terlibat didalamnya secara sadar

mengetahui tujuan utama dari gerakan meski tidak menyadari segala tindakannya.

Sedangkan, kemunculan suatu gerakan politik dapat melihat konsep

contentious politics. Menurut Tilly dan Tarrow (2007) contentious politics adalah

interaksi suatu aktor atau kelompok yang membuat tuntutan yang mengandung

kepentingan tertentu, dan dikoordinir dalam sebuah program untuk melawan

pemerintah atau pihak ketiga. Contentious politics terdiri dari tiga aspek, yaitu

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

16

contention atau tuntutan, collective action atau aksi kolektif, serta politics atau

interaksi dengan kekuasaan dan pemerintahan. Gerakan sosial politik lahir ketika

terdapat titik temu permasalahan yang berujung tuntutan, pengorganisassian

kelompok masyarakat, dan peluang melawan elit. Elemen penting dalam

contentious politics, yaitu adanya kesempatan/ peluang politik dan hambatan

politik dan kognisi di tubuh individu-individu yang pada akhirnya merumuskan

persepsi kolektif mengenai kondisi yang dianggap tidak adil.

Adapun proses dalam contentious politics, yaitu pertama identity

formation, yaitu bagaimana sesuatu identitas bersama berkembang dalam sebuah

kelompok. Kedua, scale shift (eskalasi), yaitu bagaimana sebuah konflik yang

muncul mengalami eskalasi sehingga melibatkan aktor-aktor yang jauh lebih

banyak dan meluas. Ketiga, polarisasi, yaitu bagaimana ruang politis antara pihak-

pihak yang saling berseteru menjauh dan bergeser ke arah titik-titik ekstrim.

Keempat, mobilisasi, yaitu pihak-pihak yang biasanya bersikap acuh tak acuh

untuk dapat digerakkan untuk turut andil dalam gerakan. Kelima, pembentukan

aktor, yaitu bagaimana sebuah kelompok yang sebelumnya tidak terorganisir

berubah menjadi sebuah aktor politik tunggal yang mengorganisir.

Aktor politik dalam gerakan sosial politik salah satunya datang dari

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM selama ini telah mampu menjadi

kekuatan dalam masyarakat, karena memiliki kepedulian terhadap berbagai

masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik itu permasalahan yang

disadari maupun tidak disadari masyarakat umum. Tak lain karena para aktivis

LSM merupakan mereka yang berasal kelas menengah keatas yang memiliki

kesadaran kritis dan mampu memegang peranan kunci dalam mengelola sumber

daya, merencanakan strategi, menghimpun dana, serta menjalin jaringan dengan

berbagai pihak. Pada akhirnya diharapkan mampu melakukan transformasi sosial.

Menurut David Korten (dalam Saidi 1995, hh. 5-7) LSM telah mengalami

perkembangan strategi yang digunakannya. Pada LSM generasi pertama berperan

sebagai pelaku langsung dalam mengatasi persoalan-persoalan yang terlihat dalam

masyarakat. LSM generasi pertama ini dikenal sebagi relief and welfare (bantuan

dan kesejahteraan). Pendekatan yang dilakukan adalah derma, dengan

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

17

memberikan apa saja kekurangan yang menjadi kebutuhan masyarakat. Dalam

pendekatan LSM generasi pertama tidak disertai dengan upaya penyadaran

masyarakat untuk keluar dari permasalahannya.

LSM generasi kedua memusatkan perhatian pada upaya pengembangan

kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pada

generasi kedua ini dikenal dengan small scale, self reliance local development.

Peran LSM disini hanya sebagai penggerak masyarakat bukan pelaku langsung.

Fokus kegiatannya pada upaya membantu masyarakat untuk memecahkan

masalah dengan mencari akar dan penyebabnya untuk dikaitkan dengan persoalan

kebijakan pembangunan.

LSM generasi ketiga melihat masalah mikro dalam masyarakat tidak dapat

dipisahkan dari masalah politik pembangunan nasional. Maka dari itu untuk

menuju perubahan diperlukan pula perubahan pada struktur yang mengungkung

masyarakat. Strateginya adalah dengan mendekati badan-badan nasional agar

membuat atau merubah arah kebijakan pembangunan berkelanjutan yang sesuai

dengan solusi atas permasalahan dalam masyarakat. LSM pada generasi ini

disebut sebagai sustainable system development.

Sedangkan LSM generasi keempat adalah LSM yang merupakan bagian

dari gerakan masyarakat, dan disebut dengan people movement. Pada generasi ini,

mereka memfokuskan pada upaya advokasi dan berupaya membangun

transformasi struktur sosial dalam masyarakat supaya tercipta dunia baru yang

lebih baik. Apa yang diperjuangkannya untuk jangka waktu yang sangat panjang

dengan menjunjung gagasan nilai-nilai kemanusian.

Banyak LSM pada hari ini telah menuju pada generasi terakhir tersebut.

LSM didorong untuk mampu menciptakan transformasi sosial agar mampu

menciptakan kehidupan yang berkeadilan. Bisa jadi inilah yang dilakukan

SAPDA yang turut membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi perempuan

penyandang disabilitas. Mereka merupakan agen gerakan yang hadir untuk

mendorong penyandang disabilitas agar bersuara akan kondisinya. Yang pada

akhirnya menciptakan kehidupan yang berkeadilan.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

18

Adapun gerakan eksistensi perempuan penyandang disabilitas ini dapat

dikategorikan sebagai gerakan sosial baru (new social movement). Hal ini

dikarenakan isu yang mereka angkat berbasiskan identitas kolektif, dan adanya

keinginan mendobrak hegemoni kaum dominan yang di sini adalah orang-orang

normal. New social movement tidak lagi seperti gerakan sosial lama yang

berbasiskan nalar materialistik. Menurut Suharko (2006) new social movement

lebih memilih saluran di luar politik normal, menerapkan taktik yang mengganggu

(disruptive), dan memobilisasi opini publik untuk mendapatkan daya tawar politik.

New social movement atau gerakan sosial baru merupakan perkembangan

gerakan sosial itu sendiri. New social movement mulai muncul dan berkembang

sejak pertengahan tahun 1960an sebagai alternatif lain dari prinsip-prinsip,

strategi, aksi atau pun pilihan ideologi dari pandangan-pandangan teori marxis

tradisional yang lebih menekankan pada perjuangan kelas dan tujuan ekonomis.

Kecenderungannya, gerakan sosial selalu dipelopori oleh kaum buruh yang

terlibat secara langsung atas relasi produksi yang tidak seimbang. Namun, dalam

perkembangan sistem kapitalisme dan era globalisasi, justru mereka yang tidak

terlibat secara langsung dalam relasi produksi juga merasakan kekecewaan serta

melahirkan posisi tawar kolektif terhadap negara (Fakih 2002, h. xxviii). Gerakan

sosial baru ini menempatkan arah perjuangannya melawan the social inequalities,

atas dominasi suatu sistem maupun sekelompok masyarakat.

Menurut Nash (dalam Putra dkk (eds) 2006, h. 63-64) new social

movement berpusat pada tujuan-tujuan non-material dan menekankan pada

perubahan-perubahan dalam gaya hidup dan kebudayaan dibanding mendorong

perubahan-perubahan spesifik seperti perubahan ekonomi. Struktur gerakannya

lebih responsif terhadap kebutuhan individu-individu, yakni stuktur yang lebih

terbuka.

Sedangkan menurut Haryanto dkk, ada tiga hal yang membedakan gerakan

sosial yang sebelumnya dengan gerakan sosial baru. Yaitu, pertama, gerakan

sosial lama—jika disebut demikian, memusatkan perhatian pada persoalan

ekonomi, misal upah, kesehatan, dan sebagainya. Sedangkan gerakan sosial baru

menaruh perhatian pada isu yang lebih luas, misal kualitas hidup manusia, hak

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

19

asasi manusia. Kedua, gerakan sosial lama kebanyakan didukung oleh para kelas

pekerja, sedangkan gerakan sosial baru kebanyakan didukung oleh anggota kelas

menengah. Dari sisi aktor, ada tiga aktor utama, yaitu yang menurut aktor dari

gerakan sosial baru ada tiga sektor, yaitu kelas menengah baru, unsur-unsur kelas

menengah lama, dan orang-orang yang menempati posisi pinggiran yang tidak

terlalu terlibat dalam pasar kerja, seperti mahasiswa, ibu rumah tangga, dan

lainnya (Offe (1985) dalam Putra dkk (eds) 2006, hh. 69-70). Ketiga, skala

gerakan sosial baru lebih meluas yaitu di tingkat nasional maupun internasional,

tidak lagi terpaku pada lokalitas.

Rajendra Singh melihat new social movement sebagai bentuk respon

terhadap hadir dan menguatnya dua institusi yang masuk ke dalam kehidupan

masyarakat yaitu negara (state) dan pasar (market) (Suharko 2006, h. 10). Adapun

karakteristik yang disampaikan, yaitu pertama, new social movement mencuatkan

isu pertahanan diri komunitas dan masyarakat untuk melawan ekspansi aparatus

negara. Kedua, new social movement mengubah paradigma Marxis yang

menjelaskan konflik sebagai perjuangan kelas dan semua bentuk pengelompokkan

manusia sebagai pengelompokkan kelas. New social movement berusaha melewati

paradigma kelas, karena karakter gerakan-gerakan sosial yang berkembang tidak

lagi penjelasan secara materialistik. Ketiga, new social movement berupaya

merespon isu-isu yang bersumber dari masyarakat sipil daripada perekonomian

dan negara. Keempat, new social movement didefinisikan oleh pluralitas cita-cita,

tujuan, kehendak, orientasi, dan oleh heterogenitas basis sosial.

Pembacaan gerakan eksistensi perempuan penyandang disabilitas melalui

new social movement ini dapat membantu untuk memahami sasaran

perjuangannya. Menurut Cohen (dalam Suharko 2006, h. 10) terdapat empat hal

yang menjadi perjuangannya, yaitu tidak berjuang untuk kembalinya komunitas-

komunitas utopia yang tidak terjangkau di masa lalu; berjuang untuk otonomi,

pluraritas dan keberbedaan; melakukan upaya sadar untuk belajar dari

pengalaman masa lalu untuk merelatifkan nilai-nilai melalui penalaran; dan

mempertimbangkan keberadaan negara dan pasar. Dari sini dapat dilihat bahwa

pada dasarnya gerakan penyandang disabilitas ini akan berupaya diakui dalam

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

20

masyarakat atas hegeomoni paham normalisme dengan memperhatikan kekuatan

institusi yang ada di sekitarnya. Mereka melakukan strategi eksistensi guna

menciptakan ruang publik yang di dalamnya wacana demokratis mengenai

otonomi dan kebebasan individual, kolektivitas, serta identitas dan orientasi

mereka bisa didiskusikan dan tidak dimarjinalkan karena mereka berbeda secara

fisik. Isu-isu yang diangkatnya lebih ke arah isu hak-hak asasi manusia. Nilai-nilai

universal lah yang menjadi titik pijakan untuk menyadarkan masyarakat atas

keberadaan mereka.

D.3. Strategi Gerakan: Upaya Counterattact Wacana

Pada dasarnya gerakan yaitu ingin mencapai targetan apa (what) dan yang

paling penting adalah dengan cara yang bagaimana (how) (Kamajaya 2007).

Sehingga strategi gerakan merupakan suatu hal penting dalam pencapaian tujuan

suatu gerakan. Strategi gerakan akan mempengaruhi keberhasilan suatu gerakan.

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), strategi berarti rencana yg

cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Dapat dikatakan

bahwa strategi gerakan merupakan seperangkat konsep perencanaan gerakan yang

dikembangkan menjadi agenda aksi untuk pelaksanaan gerakan sosial politik.

Penggunaan metode strategi tertentu didasarkan pada tujuan dan juga kondisi dan

situasi yang melingkupi suatu gerakan.

Setidaknya ada empat hal untuk untuk melihat sebagaimana gerakan sosial

melakukan strateginya (Putra dkk 2006, hh. 11-12). Pertama, low profile strategy.

Dalam hal ini aktor gerakan sosial secara sadar memutuskan untuk mengisolasi

diri menghindari hubungan dengan agen-agen negara. Ini dilakukan dengan cara

membentuk komunitas aktif untuk mengorganisir suatu kelompok sosial. Kedua,

strategi pelapisan (layering), yaitu pengembangan penyediaan pelayanan yang

berorientasi pada kesejahteraan dan pemberdayaan. Ketiga, strategi advokasi. Ini

dilakukan untuk mendesak perubahan-perubahan sosial, terutama kebijakan

pemerintah. Keempat, keterlibatan kritis, merupakan kombinasi strategi advokasi

dengan strategi kerjasama ketika menghadapi kekuatan yang lebih besar, misal

pemerintah atau pun agen-agen negara lainnya.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

21

Strategi gerakan dapat dibedakan melalui penggunaan metode kekerasan

(violence) dan metode tidak dengan kekerasan (non-violence) (Haryanto hh. 15-

17). Penggunaan metode kekerasan berpotensi berhasil apabila gerakan tersebut

terkonsolidasi dengan baik dan militan di satu sisi. Di sisi lain potensi untuk gagal

juga besar karena kurangnya simpati atau dukungan dari masyarakat (Gamson

1975, h. 54). Sedangkan penggunaan metode non-violence lebih mementingkan

gerakan politik jalan damai.

Pemilihan kedua strategi tersebut berdasarkan kondisi internal dan

eksternal suatu gerakan. Dalam kondisi internal, yang menjadi pertimbangan

dalam pemelihan metode yaitu antara lain berkaitan dengan tujuan atau sasaran

yang ingin dicapai dari suatu gerakan, dan potensi atau kekuatan yang dimiliki

gerakan. Sedangkan, pengaruh kondisi eksternal adalah kondisi lawan gerakan.

Jika potensi dan kekuatan lawan relatif lebih kuat lebih baik mempertimbangkan

penggunaaan metode non-violence daripada violence. Ini dilakukan untuk

meminimalisir kekalahan. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Pertimbangan kekuatan

dan potensi lawan merupakan suatu hal yang penting, karena akan mempengaruhi

tingkat keberhasilan gerakan.

Selain kedua metode strategi perlawanan tersebut, James Scott juga

mengemukakan bentuk perlawanan. Meskipun Scott melihat bentuk perlawanan

yang dilakukan petani, namun karakter perlawanannya dapat juga dilihat untuk

melihat perlawanan yang dilakukan kaum difabel. Perlawanan petani yang diteliti

Scott lebih bersifat tersembunyi dan diam-diam yang disebutnya sebagai bentuk

perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance) (Scott 2000, h. 40).

Perlawanan sehari-hari merupakan upaya perjuangan petani yang biasa-biasa saja

namun terjadi secara terus-menerus antara kaum tani dengan orang-orang yang

berusaha untuk menghisap tenaga kerja, makanan, pajak, sewa, dan keuntungan

dari mereka. Perlawanan petani tidak selalu merupakan bentuk aksi bersama,

tetapi kadang-kadang merupakan resistensi individual yang dilakukan secara

diam-diam. Strategi perlawanan ini lebih aman karena tidak perlu dilakukan

melalui sebuah organisasi lengkap dengan pemimpinnya yang mudah terdeteksi.

Mereka menentang secara langsung norma dan dominasi kaum elit yang dapat

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

22

saja menurunkan kewibawaan dan produktivitas pemerintah. Bentuk perlawanan

ini misalnya menipu, membakar, melakukan sabotase, mengumpat di belakang,

mencuri kecil-kecilan, menghambat kerja dan sebagainya.

Aksi yang terlihat tidak terorganisir tersebut lebih dikarenakan adanya

itikad, nilai dan tujuan yang mendasarinya. Dalam hal ini Scott menjelaskan

adanya hubungan yang tidak terpisahkan antara aksi dengan maksud (intention).

Pertama, baik intensi maupun aksi selalu dalam dialog. Aksi yang dilahirkan dari

intensi berputar kembali untuk mempengaruhi kesadaran, dan akan merencanakan

intensi dan aksis selanjutnya. Kedua, mungkin dan biasa untuk membayangkan

suatu aksi, pada suatu saat bisa saja tidak praktis dan tidak mungkin. Jadi,

seseorang dapat bermimpi tentang balas dendam atau tentang dunia yang penuh

dengan keadilan. Bisa jadi, perlawanan melawan hegemoni wacana orang-orang

normal oleh kaum difabel menjadi suatu agenda tiap-tiap individu dan itu sifatnya

keseharian. Dengan mengingat intensi/ maksud mereka dapat menjadi nalar yang

penting dalam setiap tindakan yang mereka lakukan.

Perlawanan yang dilakukan perempuan penyandang disabilitas perlu

mempertimbangkan kondisi fisik. Penggunaan metode violence meski itu

mungkin namun sulit untuk dilaksanakan mengingat yang menjadi lawan mereka

adalah orang-orang yang memiliki fisik sempurna dan lebih kuat. Sehingga, upaya

non-violence sangat mungkin dilakukan. Selain itu, metode non-violence juga

mampu mengundang simpati dan empati masyarakat luas karena gerakannya yang

tergolong damai tanpa kekerasan. Dan mungkin juga dapat dilakukan dalam

keseharian, tanpa terbelenggu pada organisasi formal.

D.4. Biopolitik, New Social Movement, dan Strategi Gerakan Untuk

Menjawab Pertanyaan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori biopolitik, new social

movement, dan strategi gerakan untuk membantu menjawab rumusan masalah

yang diajukan. Pengidentifikasian perempuan dan penyandang disabilitas melalui

karakteristik bentuk tubuh telah membawa tindakan diskriminasi terhadap mereka,

karena muncul stereotype bahwa mereka merupakan kelompok yang lemah secara

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

23

fisik. Stereotype ini menguat ketika kelompok tersebut adalah seorang perempuan

sekaligus seorang penyandang disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas

dianggap sebagai kelompok yang menderita gangguan kesehatan dan perlu segera

disembuhkan. Sehingga, dianggap sebagai kelompok yang harus dinormalkan dan

perlu dibantu agar dapat diterima dalam masyarakat. Merekalah yang pada

akhirnya harus menyesuaikan diri dengan orang-orang normal.

Tindakan diskriminatif tersebut, membawa kesempatan kelompok yang

dirugikan ini untuk mendobrak mainstream yang ada, sehingga mereka mendapat

pengakuan dari masyarakat maupun negara. Pengorganisasian identitas ini

merupakan suatu bentuk gerakan sosial politik, yang dimana membawa karakter

gerakan sosial baru (new social movement). Hal ini dapat dilihat melalui aktor

yang berasal dari kelas menengah, isu yang dibawa mengenai perubahan kualitas

hidup dan strategi yang dilakukan dengan memobilisasi opini publik dengan skala

gerakan yang luas. Karakter gerakan ini akan termanifestasi dalam strategi

gerakan SAPDA. Dimana strategi SAPDA didasarkan pada tujuan dan juga

kondisi dan situasi yang melingkupi gerakan SAPDA.

Dalam melakukan strategi gerakan akan menimbang apa yang menjadi

peluang, tantangan, dan concern agen gerakan sehingga apa yang menjadi

tujuannya mampu dicapai. Selama ini perempuan penyandang disabilitas

mengalami tindakan diskriminatif karena mindset kelompok masyarakat lainnya

menganggap mereka bukan orang normal. Ketersingkiran akibat perbedaan fisik

ini yang ingin diubah SAPDA agar perempuan penyandang disabilitas mampu

diterima di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun negara.

E. Definisi Konseptual

E.1. Biopolitik

Menurut Michel Foucault biopolitik adalah politik identitas yang

mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari perbedaan

fisik. Tubuh menjadi suatu objek dan subjek politik ditemukannya akar-

akar identitas politik. Biopolitik dijalankan untuk mempertahankan

biopower, yang dipertahankan melalui dua metode, yaitu pendisiplinan

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

24

dan kontrol regulatif. Tujuan biopower ini didukung oleh proses

normalisasi oleh wacana ilmu pengetahuan.

E.2. New Social Movement

New social movement merupakan gerakan sosial yang dalam

perjuangannya tidak berbasiskan nalar materialistik dan menekankan pada

perubahan-perubahan dalam gaya hidup dan kebudayaan dibanding

mendorong perubahan-perubahan spesifik seperti bidang ekonomi.

Gerakan ini melibatkan norma-norma baru dan identitas kolektif.

New social movement lebih memilih saluran di luar politik normal,

menerapkan taktik yang mengganggu (disruptive), dan memobilisasi opini

publik untuk mendapatkan daya tawar politik.

E.3. Strategi Gerakan

Strategi gerakan adalah seperangkat konsep perencanaan gerakan

yang dikembangkan menjadi agenda aksi untuk pelaksanaan gerakan

sosial politik. Penggunaan metode strategi tertentu didasarkan pada tujuan

dan juga kondisi dan situasi yang melingkupi suatu gerakan. Berdasarkan

metode, strategi gerakan dapat dibagi menjadi dua yaitu violence dan non-

violence.

F. Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan beberapa indikator dalam menganalisa strategi

eksistensi perempuan penyandang disabilitas yang dilakukan oleh SAPDA.

Adapun indikator-indikator tersebut adalah:

F.1. Biopolitik

a. Pendefinisian the selfness dan the other

- persamaan fisik

- persamaan kepentingan

b. Penerimaan sosial berdasarkan bentuk tubuh

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

25

F.2. New Social Movement

a. Contentious politics, melihat pembentukan SAPDA dengan

membawa tuntutan untuk melawan wacana mainstream dan tindak

diskriminasi yang terjadi pada perempuan penyandang disabilitas.

b. Gerakan perempuan penyandang disabiitas sebagai new social

movement, dengan melihat:

- isu, membawa isu kualitas hidup, nilai-nilai kemanusiaan

- strategi, upaya memobilisasi opini publik, skala gerakan luas

- aktor, melibatkan kelas menengah

F.3. Strategi Gerakan

a. Target gerakan

b. Metode gerakan

penggunaan metode berdasarkan faktor internal yaitu potensi atau

kekuatan yang dimiliki gerakan, dan eksternal gerakan yaitu

kondisi “lawan” gerakan. Secara umum terdapat dua metode, yaitu:

- violence, metode gerakan dengan menggunakan kekerasan

- non-violence, metode gerakan tanpa menggunakan kekerasan

c. Strategi dalam gerakan sosial politik

- low profile strategy, penumbuhan kesadaran

- strategi pelapisan (layering)

- strategi advokasi

- keterlibatan kritis dengan menjalin kerjasama

G. Metode Penelitian

G.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode

studi kasus. Alasan pemilihan metode studi kasus adalah peneliti ingin

melakukan eksplanasi terhadap data yang didapat, yang kemudian menjadi

basis dalam membangun argumen. Dalam penelitian ini, peneliti akan

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

26

mengangkat Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA)

sebagai obyek penelitian.

Selain itu tujuan penggunaan metode studi kasus dalam penelitian

juga didasarkan pada karakter kasus itu sendiri. Studi kasus merupakan

metode penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer

yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata (Yin 1985, h. 23).

Penelitiannya dibatasi waktu, tempat, dan kasus yang dipelajari berupa

peristiwa, aktivitas, dan sebagainya. Strategi eksistensi perempuan

penyandang disabilitas merupakan suatu fenomena yang terjadi dan masih

berlangsung pada saat ini. Selain itu, kasus ini juga merupakan kasus yang

sudah ada, artinya bahwa bukan kasus yang artifisial. Adapun boundaries

dalam kasus ini dengan memfokuskan pada SAPDA yang ada di

Yogyakarta. Sehingga, jika penelitian ini dilakukan di daerah lain maka

kemungkinan hasil data dan analisisnya akan berbeda.

Metode penelitian studi kasus ini memiliki beberapa kelebihan,

yaitu diantaranya pertama, menurut Salim (2006, h. 124) studi kasus

mengungkapkan banyak hal detail, melihat hal-hal yang tidak terungkap

metode lain, dan dapat menangkap makna di balik kasus, pada saat yang

sama objek tetap berada dalam kondisi yang alami. Sehingga bermanfaat

untuk mengungkap atau memecahkan masalah-masalah yang sifatnya

spesifik. Kedua, studi kasus lebih dari sekedar memberikan laporan faktual,

tetapi juga memberi nuansa pikiran-pikiran yang berkembang dalam kasus

yang terkadang emosional. Ketiga, ketika data yang didapat di lapangan di

luar teori yang ada, data tersebut dapat menjadi penambah dan

pengembangan teori. Keempat, tinjauan pustaka digunakan untuk

mengembangan pertanyaan-pertanyaan di lapangan dan menambah

argumentasi dalam penulisan.

Namun, studi kasus ini juga mempunyai beberapa kelemahan

(Salim 2006, h. 125). Pertama, kaitannya dengan validitas, yang melihat

tingkat keabsahan objek. Objek pada studi kasus umumnya sedikit

jumlahnya, akibatnya tingkat validitas hasil penelitiannya seringkali

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

27

diragukan. Kedua, keraguan akan reliabilitas yang melihat kesahihan hasil

yang diperoleh apabila studi yang sama diulang pada kasus lain di tempat

dan waktu yang lain. Ketiga, studi kasus kecenderungannya akan

mendapatkan data yang banyak dan kesulitan untuk meng-

kategorisasikannya.

Melihat beberapa kelemahan studi kasus tersebut, peneliti akan

menggunakan mekanisme cross-chek informan untuk mendapatkan tingkat

kevalidan yang tinggi. Artinya bahwa akan menggunakan lebih dari satu

informan. Sedangkan untuk menjamin reliabilitas data, peneliti akan

menggunakan informan yang dianggap mewakili stakeholder dalam kasus

yang bersangkutan (representative informan). Kaitannya dengan hasil

yang akan diperoleh di daerah lain jika penelitian yang sama dilakukan,

peneliti tidak bertanggungjawab atas hal tersebut. Karena pada dasarnya

studi kasus terikat pada kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya dari

tempat kasus tersebut terjadi. Kemungkinan akan berbeda hasil dan analisa

itu suatu hal yang wajar. Selain itu, dalam mengolah dan mengintretasikan

data, peneliti akan menggunakan pertimbangan informasi dari informan,

meminta bantuan dosen pembimbing, dan diskusi kelompok dengan teman

lainnya.

G.2. Unit Analisa Data

Penelitian ini mengambil lokasi di Yogyakarta. Dalam hal ini,

peneliti memiliki target LSM perempuan difabel yaitu Sentra Advokasi

Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA). Alasan pemilihan unit analisa

ini adalah pertama, SAPDA ini mempunyai tujuan untuk mewujudkan

inklusivitas dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan menjunjung tinggi

persamaan hak asasi manusia. Kedua, SAPDA telah melakukan berbagai

kegiatan sebagai wujud keeksistensian mereka, yang diantaranya

melakukan kajian kelilmuan, memperjuangkan kebijakan publik yang pro

dengan difabel, dan melakukan pemberdayaan bagi difabel. Berdasarkan

data awal tersebut, adapun sasaran informan untuk menggali data yaitu:

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

28

1. Ketua SAPDA

2. Anggota LSM SAPDA

G.3 Teknik Pengumpulan Data

G.3.1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data

sekunder. Data primer merupakan data yang didapat langsung dari

informan. Dalam penelitian kali ini data primer yang dibutuhkan yaitu,

pertama, mengenai bagaimana perempuan penyandang disabilitas selama

ini diwacanakan oleh kelompok masyarakat lainnya. Mengapa hal tersebut

terjadi? Informasi ini diperoleh melalui wawancara dengan ketua dan

anggota SAPDA.

Kedua, tentang apa-apa saja permasalahan yang dihadapi

perempuan difabel selama ini. Lantas, bagaimana selama ini mereka

mengatasi berbagai permasalahan tersebut? Data ini akan diperoleh

melalui wawancara dengan ketua dan anggota SAPDA.

Sedangkan, data primer yang ketiga terkait dengan strategi gerakan.

Data yang dibutuhkan adalah informasi mengenai perjalanan gerakan dan

strategi yang selama ini digunakan. Perkembangan gerakan dan strategi

dilihat berdasarkan beberapa indikator. Pertama, upaya menumbuhkan

kesadaran kaum perempuan difabel akan identitasnya beserta diskriminasi

yang selama ini diperolehnya. Kedua, target gerakan. Ketiga, metode

strategi gerakan. Data ini akan diperoleh melalui wawancara dan observasi

partisipan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan mereka. Untuk informan

meliputi ketua dan anggota SAPDA.

Sedangkan data sekunder meliputi dokumen-dokumen yang

dimiliki SAPDA baik bentuknya data profil, buletin, majalah, koran, serta

makalah diskusi dan seminar. Selain itu, peneliti akan menggunakan buku-

buku yang terkait dengan topik dan juga situs internet untuk memperdalam

data dan analisis.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

29

G.3.2. Cara Mengumpulkan Data

Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan melalui

beberapa cara. Pertama, melalui indepth interview dengan informan.

Peneliti berusaha membawa wawancara ini dengan suasana informal, agar

membentuk hubungan peneliti dan informan tidak kaku dan lebih mudah

untuk mendapatkan informasi. Selama wawancara, peneliti akan merekam

pembicaraan agar selanjutnya mempermudah pengolahan data. Rekaman

dilakukan atas ijin informan, ini terkait dengan etika dalam penelitian.

Kedua, melalui observasi partisipan. Untuk memahami bagaimana mereka

melakukan strategi eksistensinya, peneliti perlu mengetahui secara detail

kegiatan-kegiatan yang diadakan mereka. Observasi partisipan ini hanya

sebatas mengikuti beberapa kegiatan, tidak sedalam apa yang dilakukan

etnografer. Namun, lebih kearah diskusi dan sharing pendapat antara

informan dan peneliti. Jika memungkinkan data juga akan diambil melalui

audio visual dan juga foto-foto kegiatan mereka. Ketiga, untuk

mendapatkan data sekunder, didapat melalui arsip-arsip atau dokumen

yang dimiliki informan, majalah, buletin, surat kabar, buku-buku yang

terkait, jurnal, dan situs internet.

Tabel 1 Cara Mengumpulkan Data

Jenis Data

Fokus Substansi Data Indikator Fokus Substansi Data

Cara Mengumpulkan

Sumber Data

Primer Wacana sosial mengenai perempuan penyandang disabilitas

� Pandangan masyarakat mengenai mereka

� Alasan bergulirnya wacana mengenai perempuan penyandang disabilitas

� Wawancara � Studi pustaka

� SAPDA � Perempuan

penyandang disabilitas

Permasalahan yang dihadapi perempuan difabel

� Identifikasi permasalahan

� Upaya penyelesaian permasalahan

� Wawancara � Studi pustaka

� SAPDA � Perempuan

penyandang disabilitas

Perjalanan gerakan dan strateginya

� upaya menumbuhkan

� Observasi partisipan

� SAPDA � Perempuan

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

30

kesadaran kaum perempuan difabel akan identitasnya

� target gerakan. � metode strategi

gerakan.

� Wawancara � Studi pustaka

penyandang disabilitas

Sekunder Data yang dibutuhkan selama penelitian Studi pustaka Buku, jurnal, makalah, seminar, majalah, buletin, surat kabar, dan situs internet yang relevan

G.4. Teknik Analisa Data

Dalam analisa data, yang perlu dilakukan pertama kali adalah

mengumpulkan data-data yang didapat dan melakukan pembacaan, baik

data yang bentuknya catatan, rekaman suara, audio visual, maupun

dokumentasi foto. Data yang bentuknya cacatan akan dirapikan untuk

mempermudah pembacaan. Untuk data yang berupa rekaman suara akan

ditranskip. Sedangkan, data yang bentuknya audio visual maupun

dokumentasi foto akan digunakan sebagai bahan untuk mempertajam

analisis dan memberikan gambaran keadaan yang ada di lapangan.

Baik catatan maupun rekaman, kemudian akan diklasifikasikan

sesuai dengan bagian yang diteliti. Tujuan pengklasifikasian ini adalah

untuk mempermudah peneliti dalam memilah jawaban-jawaban dari

informan agar sesuai dengan pertanyaan penelitian. Ini dilakukan untuk

meminimalisir pembahasan melebar dan kabur karena tidak sesuai dengan

pertanyaan penelitian. Setelah pengklasifikasian, maka data yang ada di

lapangan didikorelasikan dengan teori yang digunakan. Melalui

pengkorelasian ini, maka kesimpulan dapat diambil.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini nantinya akan dibagi menjadi empat

bab. Bab pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan, kerangka

teori, dan metode penelitian. Pada bab pertama ini, akan dijelaskan

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79437/potongan/S1-2015... · Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa ... luar,

31

mengenai teori yang dijadikan sebagai landasan dalam penelitian ini.

Dalam hal ini penulis menggunakan teori biopolitik yang salah satu teori

identitas yang dimana menjelaskan mengenai perbedaan fisik mampu

memunculkan relasi kuasa dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara itu

untuk memahami gerakan yang berbasiskan perbedaan fisik ini melalui

kacamata new social movement beserta berbagai strategi yang

digunakannya. Pada dasarnya teori ini sebagai landasan untuk melihat

bagaimana perempuan difabel melakukan strategi eksistensinya ditengah

orang-orang normal.

Pada bab kedua akan menjelaskan mengenai perempuan

penyandang disabilitas dan kemunculan SAPDA. Berbagai permasalahan

yang dihadapi perempuan disabilitas, membuka peluang kemunculan

SAPDA untuk memperjuangkan keberadaan mereka dalam ruang

bermasyarakat. Lebih lanjut akan menjelaskan siapa SAPDA dan apa yang

akan diperjuangkannya.

Pada bab ketiga akan menjelaskan mengenai bagaimana SAPDA

melakukan strategi eksistensi perempuan penyandang disabilitas.

Bagaimana mereka berupaya dan dengan cara apa. Ini akan menjawab

rumusan masalah yang peneliti ajukan. Selain itu, ini juga untuk

mengetahui seberapa jauh usaha dan tingkat keberhasilan mereka atas

gerakan yang dilakukannya.

Sedangkan pada bab keeempat akan menjelaskan kesimpulan dari

penelitian ini. Kesimpulan ini merupakan jawaban peneliti dari rumusan

masalah yang telah diajukan.