at-tasyri' v2 n1

150
AT-TASYRI’ Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah Diterbitkan oleh: SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) TEUNGKU DIRUNDENG, MEULABOH ACEH BARAT Vol. II, No. 1, Februari - Mei 2010 Pemberdayaan Zakat Produktif Syamsuar Basyariah Profit And Loss Sharing Dan Aplikasinya Pada Perbankan Syari’ah Fauzi Saleh Penukaran dan Penjualan Harta Wakaf Dalam Perspektif Ibn Taymiyah dan Jumhur Ulama Anton Jamal ISSN 2085 - 2541

Upload: khairul-umami

Post on 27-Mar-2016

299 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

ISSN 2085 - 2541 Penukaran dan Penjualan Harta Wakaf Dalam Perspektif Ibn Taymiyah dan Jumhur Ulama Profit And Loss Sharing Dan Aplikasinya Pada Perbankan Syari’ah Syamsuar Basyariah Vol. II, No. 1, Februari - Mei 2010 Anton Jamal Fauzi Saleh AT-TASYRI´ JURNAL ILMIAH PRODI MUAMALAH

TRANSCRIPT

Page 1: At-Tasyri' V2 N1

AT-TASYRI’Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

Diterbitkan oleh:SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)TEUNGKU DIRUNDENG, MEULABOHACEH BARAT

Vol. II, No. 1, Februari - Mei 2010

Pemberdayaan Zakat ProduktifSyamsuar Basyariah

Profit And Loss Sharing Dan Aplikasinya Pada Perbankan Syari’ahFauzi Saleh

Penukaran dan Penjualan Harta Wakaf Dalam Perspektif Ibn Taymiyah dan Jumhur UlamaAnton Jamal

ISSN 2085 - 2541

Page 2: At-Tasyri' V2 N1
Page 3: At-Tasyri' V2 N1

AT-TASYRI´JURNAL ILMIAH PRODI MUAMALAH

Page 4: At-Tasyri' V2 N1

Penanggung Jawab SyamsuarBasyariah

Ketua Redaksi Asmawati

Redaktur Pelaksana FauziSaleh MuliadiKurdi JamaluddinThayyib BantaAliAbdullah

Penyunting Ahli JuhayaS.Praja NurAhamadFadhilLubis NazaruddinAW UsamahEl-Madny MuhammadMaulana ZulkarnainAbdullah

Administrasi dan Tata Usaha AmrizalHamsa HanifuddinJamin

Setting/Layout KhairulUmami

Sirkulasi M.Yunus Nurhayati Maidijar

ALAMAT REDAKSI JalanTeukuUmarKomplekMasjidNurulHuda, Meulaboh-AcehBarat No.100Telp:0655-7551591;Fax:0655-7551591 E-mail:[email protected] Website:www.staidirundeng.ac.id

SUSUNAN PENGURUS JURNAL AT-TASYRI'

ISSN:2085-2541Volume II Nomor 1Februari-Mei2010

Page 5: At-Tasyri' V2 N1

Kata Pengantar .............................................................................................. v

Pemberdayaan Zakat ProduktifSyamsuar Basyariah ..................................................................................... 1

Penukaran dan Penjualan Harta WakafDalam Perspektif Ibn Taymiyah dan Jumhūr UlamaAnton Jamal ................................................................................................... 25

Profit And Loss Sharing Dan Aplikasinya Pada Perbankan Syari’ahFauzi Saleh ..................................................................................................... 37

Positifikasi Hukum Ekonomi Syariah Dalam Sistem Hukum IndonesiaNevi Hasnita .................................................................................................. 59

Strategi Pengelolaan Zakat Infak Sedekah Untuk Usaha Produktif Rahmat Pramulya ......................................................................................... 77

Konsep MudārabahHamdi ............................................................................................................... 99

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Pandangan Etika Bisnis IslamYulia ................................................................................................................. 109

Bank Syari`ah Dan Bank KonvensionalRaswiadi ......................................................................................................... 125

DAFTAR ISI

Page 6: At-Tasyri' V2 N1
Page 7: At-Tasyri' V2 N1

Segala puji kepada Allah Swt. Yang telah menjadikan dunia dengan segenap ’aksesorisnya’ sebagai fasilitas untuk berbekal taqwa saat kembali setiap manusia kepada-Nya. Shalawat dan salawat selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad Saw. Nabi yang pernah memesankan ”antum a’lamu bi umuri dunyakum”, kalian lebih tahu tentang urusan duniamu. Pesan itu secara implisit bahwa Nabi saw., mengajak umatnya untuk melakukan ijtihadi muamalah dalam pengembangan potensi alam baik yang renewable resources (dapat diperbaharui) maupun unrenewable resources (tidak dapat diperbaharui).

Untuk maksud tersebut, jurnal Tasyri’ Prodi Muamalah STAI Teungku Dirundeng Meulaboh yang bermitra dengan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh bersahaja menurunkan tulisan dalam konteks di atas.

Syamsuar Basyariah dalam tulisannya ”Pemberdayaan Zakat Produktif” mencoba menggagas kembali fungsi zakat yang pernah mengangkat martabat umat Islam dalam panggung sejarah. Zakat yang selama ini difungsikan pada kontribusi yang sifat konsumtif tidak akan banyak memberikan nilai manfaat

KATA PENGANTAR

Page 8: At-Tasyri' V2 N1

vi At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

bagi keberlangsungan apalagi pemberdayaan ekonomi umat. Karena itu, tulisan ini secara kritis dan cermat mencoba melahirkan gagasan dan ide dalam membangun ekonomi melalui pemberdayaan zakat.

Fungsi sosial zakat juga terdapat lembaga wakaf. Wakaf dalam Islam dianggap sebagai ibadah yang berdimensi sosial dan berforkus untuk membantu memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan umum. Wakaf dalam tataran realistik masih mengalami kendala terutama dalam mehamami wakaf secara teoritis tatkala berbentuk dengan kenyataan di lapangan. Ulasan dan jalan keluar perihal ini diuraikan Anton Jamal dalam tulisannya berjudul ”Penukaran Dan Penjualan Harta Wakaf Dalam Perspektif Ibnu Taimiyah Dan Jumhur Ulama”.

Pemberdayaan umat juga ditempuh produk perbankan. Fauzi Saleh mencoba mengupas Profit And Loss Sharing Dan Aplikasinya Pada Perbankan Syari’ah dalam usahanya memberikan kesempatan masyarakat untuk bekerja. Pengembangan usaha yang didanai bank syari’ah dengan system PLS ini banyak memberikan manfaat dengan membangun simbiosis mutualisme antara pihak pemodal dengan pekerja. Fauzi Saleh secara fokus menguraikan tataran aplikatif sehingga masyarakat betul-betul menikmati hasil kerja dengan cara transparan dan tidak memeras.

Kepastian dan keadilan ekonomi ini ditentukan harus diformat dalam suatu system hukum yang mengikat ‘orang bawah’ dan mengontrol ‘orang atas’. Balances (keseimbangan-keseimbangan) ini kemudian akan menggairahkan roda kehidupan termasuk dalam economic clan. Urgensitas ini sebaik baik diuraikan Nevi Hasnita dalam tulisannya berjudul” Positifikasi Hukum Ekonomi Syariah Dalam Sistem Hukum Indonesia: Kajian Terhadap Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”.

Rahmat Pramulya secara khusus menelaah aplikasi konsep zakat produktif di wilayah Bogor. Tulisannya yang berjudul Strategi Pengelolaan Zakat Infak Sedekah Untuk Usaha Produktif: Studi Kasus Program Ikhtiar Di Wilayah Bogor” hendak mendeskripsikan suatu program yang dijalankan di wilayat tersebut yang berbasis usaha produktif.

Page 9: At-Tasyri' V2 N1

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah vii

Hamdi mengupas “Konsep Mudharabah” dengan menfokus pada analitis teoritik dengan mengembangkan beberapa bagian yang kiranya dapat diterapkan dalam kehidupan real. Konsep ini tentu sudah banyak disebutkan dalam kitab mazhab, namun tetap diperlukan modifikasi sehingga salih likul zaman wa makan (compatible setip zaman dan tempat). Ruh zaman ini dicoba rangkaikan Hamdi dalam bingkai kehidupan ekonomi yang semakin mewacana.

Konsep, hukum dan seterunya merupakan perangkat pentingg dalam mengembangkan ekonomi umat. Sisi lain yang tak kalah penting adalah etika bisnis yang berbasis nilai-nilai Islami. Menurut Yulia, pelaku bisnis muslim tidak akan mengabaikan tanggung jawabnya baik bersifat struktural maupun horizontal yang secara detail diuraikan dalam tulisan berjudul: ”Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Pandangan Etika Bisnis Islam”

“Bank Syari`ah Dan Bank Konvensional” tulisan Raswiadi menyempurnakan model pemberdayaan umat dari sekian tulisan dalam edisi ini. Komparasi dua perbankan itu kiranya urgent dalam kancah perekonomian global meningat kedua model bank ini telah diuji dengan dinamika perkembangannya. Raswiadi mengungkapkan sisi plus-minus yang dimiliki bank dan sisi spesifik yang dimiliki salah satunya sehingga mampu menghadang gelombang ekonomi global yang semakin mewacana.

Akhirnya, sumbangsih dan kontribusi pemikiran yang diuraikan dalam jurnal ini semoga mendapat tempat di hati pembaca. Kritik konstruktif tetap dinanti untuk perbaikan yang lebih baik. Kepada lembaga LKAS diucapkan terima kasih atas kerja samanya semoga tetap jaya untuk masa kini dan mendatang.

Meulaboh, Februari 2010Kepala STAI – Tgk. Dirundeng

dto

Syamsuar Basyariah

Page 10: At-Tasyri' V2 N1
Page 11: At-Tasyri' V2 N1

Syamsuar Basyariah

Abstract

Zakat in Islamic teaching has two perspective,’ibādah mahdah and social empowering. According to some ulemas, zakat has upgraded the standard of the umat life. In the ’Umar ibn Abd al-’Aziz era, zakat was formatted as a modal for the poorman. The case of empowering umat became the important issue let alone many of them live in unfortune condition. What ’Umar ibn Abd al-’Aziz has done is considered as productive zakat. Nowadays, zakat usually is distibuted for consument importance. If the end model can not upgrade the condition ummat, so the productive zakat is considered a solution to cover the problem.

Kata kunci: Pemberdayaan, zakat produktif

PEMBERDAYAAN ZAKAT PRODUKTIF

Ketua STAI Teungku Dirundeng Meulaboh dan alumnus S3 IAIN Ar-RaniryDarussalam Banda Aceh, Konsentrasi Fiqh Modern.

Page 12: At-Tasyri' V2 N1

2

SyamSuar BaSyariah

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

A. Pendahuluan Memberi zakat1 adalah termasuk melaksanakan rukun Islam yang

keempat, dan berfungsi ganda yaitu untuk membantu orang-orang yang tidak mampu, sekaligus dapat membersihkan harta muzakki (pemberi zakat). Di samping itu dengan berzakat dipastikan pemberinya atau muzakki semakin bertambah hartanya atau akan menjadi kaya.2 Setiap umat Islam yang memiliki harta kekayaan yang sudah mencapai nisab zakat dan telah memenuhi hawl, maka diwajibkan atasnya untuk membayar zakat. Begitu pentingnya peranan zakat tersebut sehingga Khalifah Abu Bakar berijtihad untuk memerangi kabilah yang enggan membayar zakat kepadanya.3 Bahkan tidak membayar zakat bukan hanya berdosa, juga menjadikan keislamannya cacat atau tercela, walaupun tidak langsung kafir.4

Banyak ayat dan hadith yang membicarakan tentang zakat dan kewajiban pemberinya, serta pengelolaannya. Untuk mengelola zakat tersebut, Alquran telah mengaturnya sedemikian rupa, sehingga tidak semua orang dapat menjadi pengelola zakat sesuai yang diinginkan Allah. Berkenaan dengan pengelolaan zakat, Alquran dengan tegas menyatakan bahwa yang berhak untuk mengelola zakat tersebut adalah ‘amilin, dan ‘amilin tersebut juga

1 Ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan “mengeluarkan bagian tertentu dari harta tertentu yang telah mencapai satu nisab bagi orang yang berhak menerimanya, dengan ketentuan harta itu milik sempurna, telah haul, dan bukan merupakan barang tambang.” definisi ini hanya untuk zakat mal, tidak mencakup pengertian zakat fitrah. Sementara Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan ”sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau jiwa dengan cara tertentu.” dalam definisi ini secara jelas ditunjukkan bahwa zakat yang mereka maksudkan adalah zakat ”harta” dan zakat ”jiwa” dalam definisi ini mengandung pengertian zakat harta dan zakat fitrah (jiwa). Abdul Aziz Dahlan dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6., Cet. VII, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), hal. 1985.2 Didin Hafidhuddin dan Rahmat Pramulya, Kaya karena Berzakat, Cet. I, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2008). 3 Pada saat Abu Bakar diangkat menjadi khalifah timbul beberapa kabilah yang enggan untuk membayar zakat kepada beliau. Diantaranya adalah kabilah Abs dan Zubyan. Keengganan membayar zakat tersebut muncul karena sifat kikir dan beranggapan bahwa pembayaran zakat merupakan upeti yang sudah tidak berlaku lagi sesudah Rasulullah saw wafat, dan boleh dibayar kepada siapa saja yang mereka pilih sendiri. Kemudian Khalifah Abu Bakar mengambil inisiatif untuk memerangi mereka. Perang yang terjadi ini disebut dengan perang Riddah. Muhammad Husain Haikal, Abu Bakar As-Siddiq; Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, terj. Ali Audah, (Jakarta: Litera Antara Nusa, 2001), hal. 87-97. K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 95-100.4 Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, Cet. V, (Jakarta: UI-Press, 1990), hal. 243.

Page 13: At-Tasyri' V2 N1

3

PEmBErDayaaN ZaKaT PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

menjadi salah satu penerima dana zakat. Semakin luasnya ilmu ‘amilin maka maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan para mustahiq.5 Hal ini dapat dilihat dalam surat at-Tawbah ayat 60:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Dipahami dari ayat tersebut bahwa secara konseptual, Allah mengatur pengelola zakat secara general dalam firman-Nya, sementara secara teknikal, dipercayakan kepada orang-orang muslim yang berkompeten.6 Ayat di atas juga menyebutkan mengenai orang yang berhak menerima zakat (asnaf zakat). Hal ini menunjukkkan bahwa zakat tidak hanya memiliki hubungan kewajiban selaku hamba Allah kepada penciptanya, melainkan memiliki pula aspek horizontal sesama manusia yang dapat dirasakan langsung manfaatnya. Namun demikian agar manfaat zakat tersebut dapat dirasakan lebih maksimal tentunya diperlukan strategi khusus agar asnaf zakat tersebut tidak terlena dan timbul sifat kemalasan dengan hanya mengharapkan dana zakat setiap tahunnya. Apabila hal ini timbul tentunya sangat membahayakan bagi umat Islam itu sendiri, karena tidak akan dapat meningkatkan perekonomianya. Oleh karena hal tersebut pemerintahanpun mengambil andil dalam

5 M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 186.6 Menurut Didin Hafidhuddin dan Rahmat Pramulya dengan mengutip Imam al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat 103 surat at-Tawbah menyatakan bahwa amil itu adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam atau pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung, dan mencatat zakat yang diambilnya dari para muzakki untuk kemudian kepada yang berhak menerima (mustahik). Didin Hafidhuddin dan Rahmat Pramulya, Kaya karena …, hal. 135.

Page 14: At-Tasyri' V2 N1

4

SyamSuar BaSyariah

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

permasalahan ini.7Karena Islam tidak menyukai umatnya untuk bermalas-malasan dan hanya mengharapkan pemberian orang lain,8 sebaliknya Islam menyukai orang yang dermawan yang suka memberi hartanya di jalan yang diridhai Allah, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah saw., yang berarti, “Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw., bersabda, beliau menyabutkan sedekah dan enggan untuk meminta-minta “tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, tangan di atas adalah orang yang berinfak dan tangan di bawah adalah orang yang meminta.”9

Hadis tersebut dimaknai oleh Nurcholish Madjid sebuah “idiom yang artinya menjadi pemberi di satu sisi dan dilarang berbuat meminta-minta yang dipandang sebagai merendahkan martabat dan harga diri pada sisi lain,”10 atau dapat dipahami bahwa zakat yang diberikan kepada orang yang tidak mampu harus dengan pemanfaatan secara kontinu, dalam arti bisa tumbuh dan berkembang dan dalam istilah sekarang disebut dengan zakat produktif. Salah satu strategi yang diterapkan para ‘amilin untuk meningkatkan perekonomian umat Islam adalah melalui penyaluran zakat produktif. Pemahaman zakat memang telah berkembang sejak lama di dalam masyarakat, namun untuk zakat produktif ini, masih terdapat sebagian ulama dan umat Islam yang beranggapan bahwasanya zakat tidak boleh disalurkan dalam bentuk produktif. Berkaitan dengan zakat produktif, kiranya dapat diindikasi pendapat M. Dawam Rahardjo mengarah ke sini dengan mengatakan bahwa ”dari pengamatan saya, memang tampak ada pretensi bahwa teori-teori ekonomi Islam ditujukan untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi dunia dewasa ini.”11

7 Abdul Hadi Ali An-Najjar, Islam dan Ekonomi, (Banda Aceh: Majlis Ulama Daerah Istimewa Acah, 2000), hal. 162-163.8 Dengan mengutip Muhammad Iqbal, M. Dawam Rahardjo mengatakan bahwa Islam adalah agama yang lebih mementingkan tindakan dari pada cita-cita, … atau secara singkat, Islam lebih pada sikap pragmatis dari pada ideologis. M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendekiawan Muslim, Cet. IV, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 443.9 Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Sahih Sunan Nasa’i, (terj.), Fathurrahman dkk., (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hal. 323.10 Budhy Munawar Rachman, Nurcholish Madjid, Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Jilid 4, Cet. I, (Bandung: Mizan, 2006), hal. 3634. 11 M. Dawam Rahardjo, Intelektual ..., hal. 104.

Page 15: At-Tasyri' V2 N1

5

PEmBErDayaaN ZaKaT PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

Dalam hal ini dapat dilihat pada berbagai kesempatan yang berbicara mengenai zakat, baik melalui televisi, radio, dan media cetak. Pertanyaan yang muncul masih berkisar hukum zakat, seperti hukum zakat profesi, hukum zakat produktif dan lain sebagainya. Tentunya hal ini memerlukan pendekatan dan penjelasan lebih mendalam lagi agar zakat produktif tersebut dapat diterima oleh semua kalangan umat Islam. Dengan demikian dalam hal ini, penulis mengharapkan pertanyaan kemudian hari tidak lagi berkisar mengenai hukum, melainkan bagaimana konsep dalam mengurangi tingkat kemiskinan, pekerjaan apa yang dapat dilakukan mustahiq tersebut dan lain sebagainya. Dengan demikian, diharapkan pada masanya nanti peranan zakat benar-benar dapat menjadi salah satu solusi dalam peningkatan perekonomian Islam.

Sepertinya dari zakat sebagai basis kekuatan perekonomian Islam, sekarang telah lahir lembaga baru dalam pengelolaan keuangan Islam yaitu Undang-undang Perbankan Syari’ah Nomor 21 Tahun 2008 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syari’ah Negara.12 Lembaga keuangan Islam ini berfungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.

B. Pengertian Zakat Produktif Zakat produktif adalah harta/al-mal yang diberikan dan dimanfaatkan

dengan jangka panjang. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa’ “al-mal huwa kull ‘aynin dhat qimatin madiyatin baynan nas” maksudnya harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai materi di kalangan masyarakat.”13Namun seseorang tidak boleh berlaku sewenang-wenang dalam menggunakan hartanya itu, atau dengan kata lain harus mengikuti ketentuan Allah dan rasul-Nya,14dimana salah satunya adalah dengan mengeluarkan zakat kepada lembaga Badan Amil Zakat atau Badan baitul Mal agar disalurkan

12 Afnil Guza, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Cet. I, (Jakarta: Asa Mandiri, 2008). 13 Mustafa Ahmad az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqh al-’Am, Jilid III, (Beirut: dar al-Fikr, 1946), hal. 118.14 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Cet. II, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal. 75.

Page 16: At-Tasyri' V2 N1

6

SyamSuar BaSyariah

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

secara produktif.15

Karena penegasan Alquran dan hadis disebutkan dengan jelas tentang bantuan permanen, maka zakat produktif16lebih tepat solusinya. Untuk itu perlu diberikan definisi. Zakat produktif terdiri dari dua suku kata: Pertama, zakat dan kedua, produktif. Untuk pengertian zakat, menurut hemat penulis telah banyak diuraikan oleh para ulama dan tidak asing lagi di kalangan umat Islam, dimana makna zakat dari segi bahasa merupakan kata dasar (masdar) dari zakat yang berarti berkah, tumbuh dan baik.17Adapun zakat dari istilah fiqh ialah “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak,” di samping berarti “mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri.”18

Adapun kata yang kedua adalah produktif. Kata produktif sendiri berasal dari bahasa Inggris “productive” yang berarti banyak menghasilkan, memberikan hasil, banyak menghasilkan barang-barang berharga yang mempunyai hasil baik, “productive” daya produksi.19

Pengertian di atas, dipahami bahwa zakat produktif ialah zakat yang disalurkan kepada mustahiq zakat sehingga ia dapat memenuhi kehidupannya pada masa yang akan datang atau terus-menerus dan pada masanya nanti diharapkan akan dapat mengangkat perekonomiannya serta menjadi

15 Adapun tujuan produksi dalam konsep ekonomi Islam ialah pertama, merealisasi keuntungan seoptimal mungkin, kedua, merealisasikan kecukupan individu dan keluarga, ketiga, tidak mengandalkan orang lain, keempat, melindungi harta dan mengembangkannya, kelima, mengeksplorasi sumber-sumber ekonomi dan mempersiapkannya untuk dimanfaatkan, keenam, pembebasan dari belenggu taklid ekonomi, dan ketujuh, taqarrub kepada Allah Ta’ala. Jaribah bin Ahmad al-Harithi, Al-Fiqh al-Iqtisādī li Āmiril Mukminin ’Umar ibn al-Khattāb, (terj.), Asmuni Salihan Zamakhsyari, Cet. I, (Jakarta: Khalifa, 2006), hal. 50-62. 16 Jika diperhatikan konsep perekonomian Indonesia, kelihatan bahwa ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat yang memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income). Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam (Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia), Cet. I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 102. 17 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat: Studi Komperatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Alquran dan Hadīth, (terj.), Salman Harun dkk, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2004), hal. 34. 18 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat: ... , hal. 34.19 Joyce M. Hawkins, Kamus Dwi bahasa Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, (Oxford: Erlangga, 1996), hal. 267.

Page 17: At-Tasyri' V2 N1

7

PEmBErDayaaN ZaKaT PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

muzakki.20Adapun lawan dari zakat produktif ini ialah zakat yang disalurkan dalam bentuk konsumtif.

C. Zakat Produktif dan Perekonomian Umat IslamApa hubungannya zakat dengan perekonomian umat Islam?. Zakat

merupakan salah satu nama yang diberikan untuk harta yang dikeluarkan oleh orang yang berhak kepada fakir dan miskin atau kepada delapan asnaf. Dinamakan zakat karena di dalamnya terdapat harapan akan adanya keberkahan, kesucian jiwa, dan berkembang di dalam kebaikan. Sebagaimana makna dari zakat itu sendiri yang berarti berkembang, suci, dan berkah,21 sebagaimana firman Allah di dalam surat at-Tawbah ayat 103:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Kata-kata zakat dengan segala bentuknya di dalam Alquran terulang sebanyak 30 kali dan 27 kali di antaranya digandengkan dengan mendirikan shalat. Di samping pemakaian kata zakat dalam berbagai ayat itu, Alquran juga menggunakan lafaz al-sadaqah (sedekah) dengan makna zakat, seperti dalam surat al-Tawbah ayat 58, 60 dan 10322 :

20 Untuk melepaskan mereka dari kemiskinan dan ketergantungan mereka dengan bantuan orang lain termasuk bantuan dari zakat dan pemerintah, maka bagi mereka yang mempunyai keterampilan/keahlian tertentu, misalnya perdagangan, berilah modal uang dan kios untuk berdagang, bagi yang mempunyai keterampilan jahit-menjahit, potong rambut, melukis/menggambar, berkebun/bertani, dan sebagainya berilah mereka alat-alat dan modal lainnya yang sesuai dengan bidang ketrampilan/keahliannya. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Edisi II, Cet. II, (Jakarta: Haji Masagung, 1991), hal. 240. 21 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 37-38.22 Abdul Aziz Dahlan (ed.) dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006), hal. 1986.

Page 18: At-Tasyri' V2 N1

8

SyamSuar BaSyariah

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.”

Kata “sadaqah” dalam ayat di atas dapat dimaknai dengan zakat atau harta yang dimiliki oleh seseorang muslim untuk diserahkan kepada yang berhak menerima. Surat al-Tawbah ayat 60 menyebutkan artinya:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Kepada siapa diserahkan zakat itu? Ayat 58 surat al-Tawbah di atas dijawab oleh Allah dalam ayat 60 dalam surat yang sama, dimana penerimanya adalah yang terdiri dari delapan asnaf. Ternyata dalam Islam masih ada orang yang enggan memberikan zakat walaupun sudah sampai hawl dan nisap, karena itu Allah memerintahkan kepada khalifah, presiden, emir, sultan, raja, gubernur, bupati, camat, dan kepala desa/Geuchik mengambil paksa zakat pada mereka. Surat al-Tawbah ayat 103 menyebutkan artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” Maksudnya yang diambil adalah yang bersifat produktif, dalam arti bahwa kekayaan tersebut dapat atau potensial mendatangkan hasil.23

Banyak sekali ulama-ulama fiqh menulis dalam kitab-kitabnya tentang zakat, sehingga diketahui bahwa pembahasan mengenai zakat merupakan

23 Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Cet. I, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2007), hal. 58.

Page 19: At-Tasyri' V2 N1

9

PEmBErDayaaN ZaKaT PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

bagian dari hukum Islam. Sebagai bagian dari pembahasan hukum, pembahasan zakat terfokus pada sah dan tidak sahnya pemungutan dan penyerahan zakat, boleh atau tidak bolehnya pemungutan dan penyerahan zakat, wajib atau tidak wajibnya sesuatu kekayaan dipungut zakatnya dan sebagainya.

Kerangka berfikir hukum dalam Islam terfokus kepada konsep sah atau tidak sah, boleh atau tidak boleh yang dalam fiqh diistilahkan dengan wajib, sunat, mubah, makruh dan haram atau dengan istilah lain dikenal dengan hukum taklifi.24 Tradisi pembahasan ajaran zakat sebagai bagian dari hukum Islam telah tumbuh di kalangan masyarakat, bahkan sampai kepada perguruan tinggi. Pembahasan zakat di perguruan tinggi bukanlah suatu mata kuliah yang khusus, melainkan dimasukkan ke dalam bab fiqh. Karena dimasukkan ke dalam bab fiqh, maka yang lebih menonjol adalah dimensi hukumnya dari pada dimensi spiritual. Padahal zakat, tidak hanya memiliki aspek vertikal semata melainkan juga memiliki aspek horizontal25 yang dapat dirasakan langsung oleh yang menerimanya.

Adapun aspek horizontal, selain berpengaruh langsung pada penerima, juga dapat meningkatkan penerima menjadi lebih taat kepada pencipta. Jadi Fiqh seharusnya dikatkan juga dengan ibadah mahdhah. Sebagai bahagian dari Fiqh Islam, pemikiran tentang zakat telah berkembang pula di kalangan ulama tradisional dengan pola pemahaman zakat merupakan bahagian dari hukum Islam dan pemahaman inilah yang telah disosialisasikan kepada masyarakat dan telah melekat dan membentuk perilaku masyarakat dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran zakat.

Kenyataan ini dapat dengan mudah dilihat dalam berbagai pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat pada kegiatan pengembangan Badan Baitul

24 Hukum taklifi adalah bagian dari hukum syara’ dan penamaannya adalah karena titah di sini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 283. Hukum taklifi ialah sesuatu yang menuntut pekerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Abd Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul Fiqh, Terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib, (Semarang: Dina Utama, 1994), hal. 144.25 Tujuan ekonomi dalam Islam bukanlah untuk mereguk materi semata-mata, tetapi ia menjadi bahagian dari ibadah yang melibatkan hubungan manusia dengan Allah, dan hubungan manusia dengan manusia serta dengan makhluk lainnya. Hasanuddin Yusuf Adan, “Ekonomi Islam dan Sumber Ekonomi Negara Islam”, dalam Media Syari’ah, Vol X, Nomor 20, Juli-Desember 2008, hal. 267.

Page 20: At-Tasyri' V2 N1

10

SyamSuar BaSyariah

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

Mal.26 Dalam berbagai kesempatan yang diadakan oleh Badan Baitul Mal dengan masyarakat atau masyarakat yang mengundang Badan Baitul Mal untuk menyampaikan beberapa materi tentang pengelolaan zakat, timbul beberapa pertanyaan, yang paling banyak timbul pertanyaan adalah mengenai hukum. Ketika penulis mensosialisasikan ajaran zakat produktif kepada masyarakat melalui media jum’at di Meulaboh Aceh Barat, hadirin/jama’ah mengajukan pertanyaan, apakah zakat boleh disimpan di Baitul Mal.

Dilihat dari perspektif pertanyaan umat, dapat dimengerti jika umat Islam ternyata menginginkan perekonomiannya semakin maju, berkembang dan kokoh. Hal ini dapat diketahui dari kemajuan dan jumlah lembaga perekonomian umat27 yang tersebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Sejumlah petugas Badan Baitul Mal di Aceh juga disodorkan pertanyaan yang bernada agak sama, seperti masyarakat juga bertanya bagaimana hukumnya apabila zakat dibayar langsung kepada mustahiq tanpa melalui petugas amil, bagaimana hukum zakat disalurkan hanya kepada satu senif saja. Bagaimana hukum menjadikan zakat sebagai modal usaha. Apakah sah zakat, sah dipakai untuk tujuan seperti itu, dan bagaimana hukum zakat profesi dan lain sebagainya.

Sejumlah pertanyaan itu oleh salah seorang ulama terkenal M. Hasbi Ash-Ashiddieqy, dicoba jawab bahwa zakat merupakan manifestasi dari kegotong royongan bagi harta antara hartawan dengan fakir miskin. Pengeluaran zakat merupakan perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun mental.28Dengan demikian, dalam memahami zakat hendaknya tidak terfokus kepada permasalahan hukum semata, melainkan bagaimana diupayakan agar dengan zakat

26 Di Provinsi Aceh, telah dibuat Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat, dimana di dalam terdapat Badan Baitul Mal. Dijelaskan pada Pasal 11 ayat 1 bahwa Badan Baitul Mal merupakan Lembaga Daerah yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat, dan harta agama lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan dengan Pelaksanaan Syari’at Islam, Cet. I, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005), hal. 320. 27 A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), Cet. II, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002).28 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1992), hal. 8-9.

Page 21: At-Tasyri' V2 N1

11

PEmBErDayaaN ZaKaT PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

tersebut dapat mengangkat perekonomian masyarakat lemah. Masyarakat akan terpelihara dari bencana-bencana tersebut menjadi masyarakat yang hidup, subur dan berkembang keutamaan di dalamnya. Pengertian ini yang hendaknya digunakan dalam memahami Alquran surat Al-Tawbah sebagaimana tersebut di atas, dan bila sesuai dengan maksud Alquran, kiranya umat Islam telah memenuhi harapan Allah dan dengan demikian kemungkinan bencana akan menipis.

Salah satu asas hukum mu’amalah atau ekonomi dalam Islam adalah asas ta’awun (asas tolong-menolong). Maka dapat dipahami bahwa inti dari ajaran zakat adalah saling tolong-menolong sesama manusia, bukannya saling memangsa atau saling menghancurkan sesama manusia. Kehidupan manusia akan berkembang apabila manusia memiliki rasa kepedulian antara sesama manusia. Ketidak pedulian adalah salah satu wujud kelalaian yang menyebabkan manusia akan mendapat azab Allah.29 Hal ini sesuai dengan disain Allah dalam surat Al-A’raf ayat 179:

“Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Ulama fiqh menyatakan bahwa sudah merupakan sunnatullah ada orang yang rezekinya dilapangkan Allah, sehingga ia memiliki harta yang banyak, sementara sebagian yang lain tidak demikian, sehingga mereka berada dalam

29 Sudah terkenal dalam masyarakat Islam, bahwa Abu Dzar mengharamkan kita menyimpan yang lebih dari kadar kebutuhan sehari-hari. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits, Jilid 4, Cet. I, Edisi II, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), hal. 95.

Page 22: At-Tasyri' V2 N1

12

SyamSuar BaSyariah

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

kemiskinan sebagaimana tersebut dalam Alquran surat al-Nahl ayat 71 yang maknanya:

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?”

Salah satu sifat negatif manusia adalah cenderung kepada kemungkaran, dalam arti kalau dikaitkan dengan harta yakni mereka enggan membayar zakat. Harta merupakan pemberian Allah30yang bila digunakan pada jalan salah akan menjadi laknak, bukan membawa nikmat. Keinginan untuk memiliki pendapatan dan kekayaan merupakan bagian dari naluri alamiah manusia yang dapat menjadi sarana pendorong dalam mengembangkan kehidupan, meningkatkan kepribadian dan harga diri, sekaligus sebagai sarana pensucian jiwa manusia. Perbedaan faktor penunjang dalam mengembangkan naluri manusia untuk memperoleh pendapatan dan kekayaan, berimplikasi pada ketidaksamaan peluang untuk memperolehnya.

Ketidaksamaan itu merupakan bagian dari ciri kehidupan secara alamiah dan tidak boleh dikikis habis secara sengaja oleh siapun dalam masyarakat yang mengakui pemilikan harta kekayaan secara individu,31 namun demikian Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan perekonomian. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, mengenai pandangan Islam terhadap harta dan kegiatan perekonomian,32 adalah sebagai berikut:

1. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi

30 Ini artinya ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. System ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at Allah. Yusuf Qardhawi, Dawr al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtisadi al-Islami, Terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husein, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Cet. IV, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 31.31 Islam membolehkan pemilikan harta secara individu dalam segala kehidupan. Islam membolehkan kepemilikan ini, tetapi tidak untuk menciptakan jurang antara kelompok miskin dan kelompok kaya dalam kelompok sosial yang berbeda. Islam tetap mempertahankan perbedaan ekonomi diantara mereka dalam “batas yang wajar “dan tidak berlebihan. Afzahurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Terj. Soeroyo dan Nastangin, (Yokyakarta: Dhana Bakti Wakaf, 1995), hal.125. 32 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta: Kerjasama Bank Indonesia dan Tazkia Institut, 1999), hal. 41-45.

Page 23: At-Tasyri' V2 N1

13

PEmBErDayaaN ZaKaT PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

ini termasuk harta benda, adalah Allah.33 Kepemilikan manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah dan memanfaatkan sesuai dengan, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan, sesuai dengan ketentuan-Nya;

2. Status harta yang dimiliki manusia adalah;a. Harta sebagai amanah (titipan Allah).34 Manusia hanyalah sebagai

pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda tadi;

b. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai dan menikmati harta;

c. Sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak. Karena itulah dikatakan bahwa zakat dinyatakan sebagai salah satu ciri orang beriman.35

3. Pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha (a’mal) atau mata pencaharian (ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. Banyak sekali ayat dan hadis yang mendorong umat Islam bekerja mencari nafkah secara halal;

4. Dilarang mencari harta secara haram, berusaha atau bekerja yang dapat melupakan kematian, melupakan zikrullah dengan segala ketentuan-Nya, melupakan shalat dan zakat dan memusatkan kekayaan hanya pada kelompok orang kaya saja;

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa Islam mengakui adanya perbedaan pendapat, namun demikian bukan berarti Islam membenarkan

33 Dalam prinsip kepemilikan harta, Islam menegaskan bahwa alam beserta isinya adalah milik Allah semata; pemilikan Allah terhadap sesuatu yang telah diciptakan-Nya bersifat mutlak. Iskandar Usman, ”Prinsip-prinsip Ekonomi dalam Alquran”, dalam Media Syari’ah, vol. 1 nomor 2, Desember 1999, hal. 16-30.34 Amanah (tanggung jawab, kepercayaan, kepribadian) menjadi misi hidup setiap muslim... sifat ini akan membentuk kredibilitas yang tinggi dan sikap penuh tanggung jawab pada setiap individu muslim... karena tanpa kredibilitas dan tanggung jawab, kehidupan ekonomi dan bisnis akan hancur. Adimarwan A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Cet. III, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 39.35 Budhy Munawar Rachman, Ensiklopedi ... , Jilid 4, hal. 3634.

Page 24: At-Tasyri' V2 N1

14

SyamSuar BaSyariah

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

harta itu hanya bertumpuk pada satu individu atau kolektif tertentu. Untuk mengatasi agar harta tersebut beredar secara merata, Islam mewajibkan zakat.

Kewajiban itu sesuai dengan hakikat penciptaan manusia agar ia mencapai kesucian di dunia dan akhirat. Zakat menurut pandangan Islam merupakan sumber kekuatan pembangunan ekonomi umat dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan umat manusia. Zakat merupakan dana tersembunyi (hidden funds) yang apabila digali dan dimanfaatkan denga baik akan mampu mewarnai tingkat kehidupan ekonomi dan menjaga keseimbangan stabilitas politik. Selain itu, zakat dapat membantu mempercepat keadilan dalam distribusi sumber-sumber perekonomian. Akan tetapi diharapkan penyalurannya lebih kepada produktif, karena akan memberikan kesempatan kerja yang sama bagi golongan miskin, sehingga dapat meningkatkan taraf ekonomi yang selama ini menjadi harapan mereka.36Apalagi jika penyaluran produktif itu di arahkan pada pemberian beasiswa mahasiswa miskin dan berprestasi.

D. Eksistensi Badan Baitul Mal dan Badan Amil Zakat dan ShadaqahLembaga keuangan Islam dari masa klasik sampai modern masih cocok

digunakan Badan Baitul Mal. Lembaga ini di Aceh digunakan sesuai dengan semangat syari’at Islam.37Sementara di Indonesia digunakan Badan Amil Zakat dan Shadaqah. Maka zakat harus dikelola dengan baik dan karena itu membutuhkan lembaga pengelolaan yang kredibel, kapabel, dan transparan serta akuntabel. Beberapa pakar menyebutkan bahwa zakat mempunyai pengaruh besar dalam peningkatan perekonomian, namun sangat disayangkan bila zakat ini tidak dikelola dengan baik, maka pengaruhnya tidak akan berarti apa-apa. Salah satu upaya untuk meningkatkan perekonomian adalah melalui penyaluran zakat dalam bentuk produktif. Dalam hal ini, terdapat suatu filosofi yang mengatakan bahwa “berikan kailnya, bukan ikannya.”

Memberikan alat/kemampuan skill bagi penerima zakat adalah suatu

36 Muhammad Muflih, Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Cet. I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 140-141.37 Dalam Bab V, Pasal 14 disebutkan bahwa Badan Baitul Mal mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan zakat, pembinaan mustahiq, dan muzakki serta pemberdayaan harta agama sesuai dengan ketentuan Syari’at Islam, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, Himpunan..., hal. 320.

Page 25: At-Tasyri' V2 N1

15

PEmBErDayaaN ZaKaT PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

solusi yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Berangkat dari filosofi tersebut, penyaluran dalam bentuk zakat produktif merupakan suatu cara sangat layak untuk kehidupan ekonomi jangka panjang mustahiq, namun dalam penyalurannya hendaknya harus diperhatikan pula kebutuhan konsumtif mustahiq. Apabila mustahiq sangat membutuhkan “ikan” tetapi diberikan kail, maka akan terjadi kelaparan. Apabila dia tidak dapat makanan untuk dikosumsi, maka bisa jadi dia akan mati kelaparan.

Beberapa pakar ekonomi Islam seperti Nazaruddin AW (Doktor lulusan Malaysia bidang ekonomi Islam), Zaki Fuad Chalil (Doktor lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, konsentrasi Ekonomi Islam), dan Armiadi (Doktor lulusan Malaysia, konsentrasi Ekonomi Islam), berpendapat bahwa “yang terbaik adalah memberikan kepada mustahiq ikannya hari ini, dan berikan kailnya untuk kehidupan ekonominya esok.” Oleh sebab itu peran Badan Baitul Mal sebagai amil yang ada sekarang ini hendaknya tidak hanya memberikan zakat konsumtif semata, karena hal ini tidak akan mendidik mustahiq merubah kondisinya (miskin), tetapi dengan mengoptimalkan harta zakat untuk didistribusikan kepada fakir miskin untuk bantuan usaha (zakat produktif). Dengan demikian diharapkan bantuan dana zakat tersebut dapat membantu masyarakat miskin membuka lapangan kerja, sehingga pembangunan di sektor riil dapat berkembang dan taraf hidup orang-orang yang termajinalkan dapat terangkat dari sisi ekonominya.

Membiarkan umat Islam lemah dalam hal ekonominya, sama dengan mengundang murka Tuhan. Karena itu, zakat memberi kesempatan terbuka bagi sesuatu program pemberantasan kemiskinan secara efektif. Zakat perlu dikaitkan dengan ayat-ayat Alquran yang paling relevan, misalnya tentang doktrin yang menghendaki jangan sampai terjadi konsentrasi kekayaan dan peredaran yang melingkar di sekitar golongan elit, juga Hadith Nabi Muhammad Saw yang menjelaskan fungsi zakat, yaitu mengalihkan kekayaan dari kelompok kaya ke golongan miskin.38 Ini berkaitan juga dengan ayat yang memerintahkan ta’awun (kerja sama dalam kebaikan), fakk raqabah (membebaskan manusia dari perbudakan), birr (berbuat kebajikan umum), ihsan (memperbaiki dan membaikkan sesuatu), ta’amul miskin (memberi

38 Imam Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma‘il bin Ibrahim bin Bardarbah al-Bukhāri al-Ja’fiy, Sahih al-Bukhāriy, Juzu' V, (Beirut: Dār al-Fikr, tt), hal.130.

Page 26: At-Tasyri' V2 N1

16

SyamSuar BaSyariah

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

kesempatan kepada orang-orang miskin untuk melakukan konsumsi terhadap kebutuhan yang paling dasar), dan akhirnya berkaitan juga dengan kuwalitas muslim sebagai insan muttaqin.

Untuk kondisi Aceh, lembaga keuangan Islam itu dimainkan oleh Badan Baitul Mal. Melihat betapa zakat sangat dibutuhkan dan merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan taraf hidup kaum muslimin Indonesia. Karena itu didirikanlah lembaga BAZ (Badan Amil Zakat), latar belakang pendirian lembaga ini dikarenakan kondisi nasional, dimana semua komponen bangsa dituntut untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kedua lembaga ekonomi Islam ini dinilai berkompeten membantu perekonomian bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya.

Demikian pula dengan umat Islam di Indonesia yang merupakan salah satu komponen bangsa wajib ikut serta dalam mengisi dan melanjutkan usaha pemakmuran. Namun dalam pelaksanaannya, negara menghadapi berbagai poblematika, dimana salah satunya adalah mengenai biaya, padahal lembaga seperti ini sudah ada sejak masa Rasulullah saw., walaupun belum ada lembaga resmi, namun dewasa ini ternyata Badan Amil Zakat yang populer disebut Badan Baitul Mal tidak tampak dengan jelas, sehingga pranata ekonomi Islam yang potensial itu tidak bisa diaktualisasikan. Di sini terlihat pembentukan Badan Baitul Mal itu sendiri tidak mengalami kendala, akan tetapi implementasi yang mengalami kendala, namun masih bisa dipikirkan, dikomunikasikan, dan dimusyawarahkan sehingga terdapat jalan keluar yang baik, dan tepat sasaran.

E. Asas-asas Pengelolaann Amil Zakat dan Pengertiannya.1. Pengertian

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa istilah BAZ merupakan kependekan dari Badan Amil Zakat yang sebelumnnya disebut BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah), dimana pengertian ini bisa didapatkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 1991 dan Menteri Agama Nomor 47 Tahun 1991 tentang pembinaannya terdapat dalam pasal 1 SKB yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengelola penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan pemanfaatan zakat, infaq dan sedekah.

Page 27: At-Tasyri' V2 N1

17

PEmBErDayaaN ZaKaT PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

Lembaga Amil Zakat sama pengertiannya dengan BAZIS.39Namun demikian dalam stuktur organisasi pengololaan zakat menurut Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 ada perbedaan, kalau Badan Amil Zakat dibentuk oleh pemerintah, sedangkan Lembaga Amil Zakat dibentuk oleh masyarakat.40 Perkembangan Lembaga Amil Zakat dewasa ini telah banyak terdapat kemajuan, dalam arti tidak hanya dibentuk oleh pemerintah, melainkan juga oleh masyarakat melalui yayasan-yayasan. Adapun teknik penyalurannya pun berbeda sesuai dengan keputusan dan kebijakan yayasan yang bersangkutan.

2. Asas-asas Pengelolaan Sistem mu’amalah dalam Islam memerlukan aturan, dimana salah satunya adalah asas. Dikatakan asas karena ia berkaitan dengan persoalan social kemasyarakatan. Dalam pengelolaan Baitul Mal, dan Badan Amil Zakat terdapat beberapa asas yang harus diikuti dan ditaati agar pengelolaan itu dapat berhasil seperti yang diharapkan. Asas-asas dimaksud ialah asas keterbukaan, sukarela, keterpaduan, profesionalisme, dan asas kemandirian. Pertama, Asas keterbukaan artinya dalam pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah hendaknya dilaksanakan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum, hal ini diperlukan agar masyarakat percaya kepada lembaga tersebut. Asas kedua, adalah sukarela, berarti dalam pemungutan dan pengumpulan zakat hendaknya tidak terdapat unsur-unsur pemaksaan, dalam hal ini pengumpulan zakat lebih diarahkan kepada motivasi tentang kewajiban tersebut. Asas ketiga adalah keterpaduan yaitu dalam menjalankan tugas dan fungsinya mesti dilakukan secara terpadu di antara komponen-komponennya, untuk itu prinsip-prinsip menajeman yang

39 A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomoan Umat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 39-40.40 Dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Amil Zakat adalah institusi pengelola zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam.

Page 28: At-Tasyri' V2 N1

18

SyamSuar BaSyariah

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

modern hendaknya diterapkan di bawah pengendalian pemimpin. Asas keempat dalam pengelolaan zakat adalah profesionalisme, dalam artian dalam pengelolaannya sangat dianjurkan kepada mereka yang memiliki kemampuan dalam bidang tersebut, serta yang etos kerja bagus serta memiliki tanggung jawab yang tinggi. Sementara asas yang terakhir adalah kemandirian, asas ini merupakan kelanjutan dari asas keempat yakni profesionalisme dengan demikian diharapkan lembaga ini mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sendiri tanpa perlu menunggu bantuan dari pihak lain.41 Suatu lembaga sepertinya sulit berkembang bila tidak dibantu atau didorong dari luar. Dengan demikian fungsi stekholder memajukan lembaga ekonomi Islam sangat menentukan.

3. Lembaga Amil Zakat dalam Pemahaman Masyarakat Dalam ilmu sosial terdapat stratifikasi sosial yang bermakna terdapat tingkatan-tingkatan sosial. Maka jelas bahwa pemahaman kelas sosial ekonomi dengan kelas elit politik berbeda, begitu seterusnya. Pemahaman yang dimaksud disini adalah pengertian masyarakat tentang zakat yang dikelola oleh lembaga amil, hal ini dikarenakan pemahaman masyarakat masih sangat terbatas dibandingkan dengan pemahaman mereka tentang shalat dan puasa yang sering diperolah lewat pengajian formal dan non formal. Permasalahan ini disebabkan pendidikan agama pada masa lalu kurang memberi penekanan terhadap zakat dan seluk-beluknya, akibatnya masyarakat kurang dalam memahami apa sesuangguhnya zakat itu, sehingga berinplikasi pada pelaksanaannya. Apalagi yang berhubungan dengan pengelolaan zakat dan pendayagunaannya oleh badan amil yang resmi dibentuk oleh pemerintah, ini dianggap tidak begitu penting untuk dipelajari sehingga masalah ini jarang sekali ditemukan dalam kurikulum pembelajaran.42Selain itu sepertinya pemerintah hanya terkesan melahirkan Undang-undang Zakat saja, tanpa mau atau kurang serius mempromosi dan bertanggung jawab memajukannya. Hal ini terbukti belum adanya unsur pemaksaan terhadap konglomerat yang enggan membayar zakat.

41 A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga... , hal. 45-47. 42 Armiadi, Zakat Produktif: Solusi Arternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2008), hal. 173.

Page 29: At-Tasyri' V2 N1

19

PEmBErDayaaN ZaKaT PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

Akan tetapi akhir-akhir ini kesadaran masyarakat makin tumbuh tentang pentingnya eksitensi lembaga amil walau tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada juga sebagian masyarakat yang kurang percaya terhadap pengurusan zakat oleh lembaga. Untuk menghilangkan rasa ragu-ragu atau skepsistisme masyarakat muslim, maka pemikiran ekonomi Islam yang lahir dari tokoh-tokoh/ulama Islam perlu dihidupkan dan dikaji pada kalangan intelektual atau perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam seperti pemikir Ibn Taimiyah, Imam Al-Ghazali, M. Umar Chapra, M. Abdul Mannan, dan Baqir As-Sadr, Afdhalurrahman.43

Sikap ini ditujukan kapada orang atau lembaga dan merupakan warisan sejarah, seperti sikap kurang percayanya masyarakat terhadap lembaga keuangan publik lainnya seperti koperasi karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pengurusnya. Karena itu pengelola zakat harus muhasabah internal demi perbaikan dan kemajuan ekonomi Islam. Melihat budaya korupsi di berbagai elemen pemerintahan, maka wajar rakyat tidak percaya terhadap lembaga ini. Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat apalagi milik pemerintah dilatar belakangi oleh prilaku pemerintah sendiri di semua level yang selama ini terkesan adanya budaya korup dalam mengelola dan mengurus uang negara, mulai dari tingkat nasional sampai ke tingkat desa. Namun sikap ini tentu saja bisa dikurangi walaupun tak dapat dihapuskan, jika lembaga amil mampu mewujudkan pengelolaan dengan baik dan terancang terutama sistem manajemen, amanah, kerja sukarela, transparan, akuntabel serta melalui pengawasan yang ketat dan sempurna.44

Di samping permasalahan di atas, pada umumnya lembaga pengelolaan zakat juga menghadapi permasalahan-permasalahan lain, di antaranya: belum memiliki data muzakki, mustahiq dan data potensi zakat secara lengkap dan akurat, sehingga belum dapat dibuat rancangan secara tepat dan cermat. Belum lagi mengharapkan pengelolaannya dengan sistem komputerisasi dengan akses secara on line. Demikian juga dengan sarana dan pra sarana yang tersedia, seperti fasilitas kantor yang umumnya tidak

43 Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics, Ekonomi Syari’ah bukan Opsi, tetapi Solusi, Cet. I, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 374-384.44 Armiadi, Zakat Produktif: ... , hal. 175-176.

Page 30: At-Tasyri' V2 N1

20

SyamSuar BaSyariah

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

respresentatif untuk sebuah lembaga atau organisasi yang mengelola dana publik. Jika dibandingkan dengan Negara tetangga Malaysia, dalam hal fasilitas dan sarana pengelolaan zakat, Indonesia masih jauh ketinggalan. Untuk itu, Indonesia umumnya, dan Aceh khususnya harus belajar lebih banyak kepada Malaysia, karena mereka jauh lebih mapan. Jadi, keterbukaan lembaga Amil Zakat dengan masyarakat sangat diperlukan, serta pembuktian kepada masyarakat bahwa lembaga Amil Zakat ini adalah milik bersama yang akan mengelola zakat dan memberdayakan perekonomian umat sehingga ekonomi umat Islam bisa bangkit dari keterpurukan.

F. PenutupZakat adalah bagian sakral dalam ajaran Islam yang merupakan milik

bersama sehingga harus dikelola dengan asas-asas yang telah disepakati. Pengelolaan ini membutuhkan tenaga ahli agar dapat mengdongkrak ekonomi umat Islam. Jika tidak ahli dan profesional dalam mengelolanya, maka selamanya zakat itu diberikan dalam bentuk konsumtif yang menyebabkan umat Islam akan semakin lemah. Sesungguhnya selain zakat konsumtif, masih diperlukan pemberian zakat yang bersifat produktif.

Zakat produktif ialah zakat yang disalurkan kepada mustahiq zakat sehingga ia dapat memenuhi kehidupannya pada masa yang akan datang atau terus- menerus dan pada masanya nanti diharapkan akan dapat mengangkat perekonomiannya dan menjadi muzakki. Adapun lawan dari zakat produktif ini ialah zakat yang disalurkan dalam bentuk konsumtif.

Mengharapkan berjalannya fungsi zakat produktif, maka seharusnya zakat diberikan kepada muzakki yang berstatus santri aktif dan berprestasi sekaligus kepada mahasiswa fakir miskin, tetapi rajin, pintar, dan berprestasi. Untuk mewujudkan dan memantapkan zakat produktif, diperlukan peran stekholder sehingga terkesan bahwa zakat itu milik bersama umat Islam yang wajib diperjuangkan.

Page 31: At-Tasyri' V2 N1

21

PEmBErDayaaN ZaKaT PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

DAFTAR PUSTAKA

A. Dahlan, Abdul Aziz dkk. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6., Cet. VII, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006.

Adan, Hasanuddin Yusuf. “Ekonomi Islam dan Sumber Ekonomi Negara Islam,” dalam Media Syari’ah, Vol X, Nomor 20, Juli-Desember 2008.

Afzalurrahman. Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin. Yokyakarta: Dhana Bakti Wakaf, 1995.

Al-Bani, Muhammad Nashir al-Din. Sahih Sunan Nasa’i., terj. Fathhurrahman dkk., Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Al-Harithi, Jaribah bin Ahmad, Al-Fiqh al-Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibn al-Khaththab, terj. Asmuni Salihan Zamakhsyari, Cet. I. Jakarta: Khalifa, 2006.

Al-Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat: Studi Komperatif Mengenai Statusdan Filsafat Zakat Berdasarkan Alquran dan Hadis., terj. Salman Harun dkk., Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2004.

Amalia, Euis, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam (Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia), Cet. I. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

An-Najjar, Abdul Hadi Ali. Islam dan Ekonomi. Banda Aceh: Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, 2000.

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah: Wacana Ulama dan Cendikiawan. Jakarta: Kerjasama Bank Indonesia dan Tazkia Institut, 1999.

Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Cet. I, Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2007.

Armiadi. Zakat Produktif: Solusi Arternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2008.

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Pedoman Zakat. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1992.

---------, Teungku Muhammad Hasbi, Mutiara Hadits, Jilid 4, Cet. I, Edisi II, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003.

Page 32: At-Tasyri' V2 N1

22

SyamSuar BaSyariah

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

Az-Zarqa’, Mustafa Ahmad, al-Madkhal al-Fiqh al-’Am, Jilid III, Beirut: dar al-Fikr, 1946.

Bakry, Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia, Cet. V, Jakarta: UI-Press, 1990.

Cuza, Afnil, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Cet. I, Jakarta: Asa Mandiri, 2008.

Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan dengan Pelaksanaan Syari’at Islam, Cet. I, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005.

Djazuli, A. dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Hafidhuddin, Didin, dan Pramulya, Rahmat, Kaya karena Berzakat, Cet. I, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2008.

Harun, Nasroen dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006.

----------, Fiqh Muamalah, Cet. II, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Hawkins, Joyce M. Kamus Dwi Bahasa Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris. Oxford: Erlangga, 1996.

Haikal, Muhammad Husain, Abu Bakar As-Siddiq; Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, terj. Ali Audah, Jakarta: Litera Antara Nusa, 2001.

Imam Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma‘il bin Ibrahim bin Bardarbah al-Bukhāri al-Ja’fiy, Sahih al-Bukhāriy, Juzu' V, Beirut: Dār al-Fikr, tt.

Khallaf, ‘Abd Wahhab. ‘Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib. Semarang: Dina Utama, 1994.

K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Karim, Adimarwan A, Ekonomi Mikro Islami, Cet. III, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.

Page 33: At-Tasyri' V2 N1

23

PEmBErDayaaN ZaKaT PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

Mufraini, M. Arif, Akuntansi dan Manajemen Zakat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Muflih, Muhammad, Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Cet. I, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.

Qardhawi, Yusuf, Hukum Zakat: Studi Komperatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Alquran dan Hadith, Terj. Salman Harun dkk, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2004.

---------, Dawr al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtisadi al-Islami, Terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husein, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Cet. IV, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Rachman, Budhy Munawar, Nurcholish Madjid, Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Jilid 4, Cet. I, Bandung: Mizan, 2006.

Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendekiawan Muslim, Cet. IV, Bandung: Mizan, 1999.

Rivai, Veithzal, dan Buchari, Andi, Islamic Economics, Ekonomi Syari’ah bukan Opsi, tetapi Solusi, Cet. I, Jakarta: Bumi Aksara, 2009

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003.

Syarifuddin, Amir, Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Usman, Iskandar, ”Prinsip-prinsip Ekonomi dalam Alquran”, dalam Media Syari’ah, vol. 1 Nomor 2, Desember 1999.

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Edisi II, Cet. II, Jakarta: Haji Masagung, 1991.

Page 34: At-Tasyri' V2 N1
Page 35: At-Tasyri' V2 N1

Anton Jamal

Abstract

The waqf is a problem which interested to be studied as its sides still debatable. It’s because the term not mentioned explicitly in the Alqur’an and sunnah. The writer – in this context – will explore around the change and sale of the mosque as the waqf. The mosque focused here as case because it’s considered the holy and glorified place for the moslem. So, how the position of the mosque in fuqaha perspective and their reasoning approach in the frame of finding the law related to changing and selling the waqf property. The writing will be focused at this side in frame to make a waqf concept as a tool for empowerig the ummah economic comparately between Ibn Taymiyyah and Jumhur

Kata kunci: Wakaf, penukaran dan penjualan, mesjid

PENUKARAN DAN PENJUALANHARTA WAKAF DALAM PERSPEKTIF

IBN TAYMIYAH DAN JUMHUR ULAMA

Dosen Prodi Mu’amalah Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh.Memperoleh Magister (S2) dari PPs IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh

dengan Konsentrasi Fiqh Modern

Page 36: At-Tasyri' V2 N1

26

aNTON Jamal

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

A. PendahuluanWakaf adalah salah satu bentuk ibadah yang berkaitan dengan mu'malah

yang bertujuan disamping untuk taqarrub ila Allah juga untuk kemaslahatan kaum muslimin. Sejauh itu wakaf bukanlah merupakan sebuah persoalan yang memerlukan pengkajian lebih dalam karena bersifat amaliah (praktis) yang dianjurkan dan tidak sampai pada taraf wajib untuk dilakukan. Akan tetapi ketika dilihat syarat-syarat seorang wakif, bentuk-bentuk harta yang diwakafkan serta status harta itu dikemudian hari akan timbul persoalan. Karena Alqur'an dan sunnah tidak menjelaskan secara langsung seputar permasalahan wakaf. Bahkan wakaf itu sendiri tidak disinggung secara spesifik oleh kedua sumber hukum tersebut.

Permasalahan ini akan menjadi lebih rumit pada saat munculnya kasus, berupa keinginan untuk menjual atau menukar harta wakaf terlebih jika harta wakaf itu berbentuk rumah ibadah (mesjid) mengingat mesjid semata-mata diserahkan untuk kepentingan ibadah. Dalam hal ini penulis berupaya untuk memaparkan tentang perbedaan yang terang antara pendapat yang terbatas oleh keinginan untuk memelihara harta wakaf secara utuh dan pendapat yang bebas dalam menukar atau menjual harta wakaf berupa mesjid tersebut. Kedua pendapat ini dipelopori oleh Jumhur ulama dan Ibn Taymiyah . Lebih jelasnya penulis akan berusaha memisahkan sisi-sisi perbedaan yang ada pada keduanya dengan mengikutsertakan sejumlah dalil dan argumen yang mereka gunakan. Agar kita dapat melihat sejauh mana perbedaan yang terjadi antara keduanya, dengan sebuah tujuan akhir untuk bisa menerapkan hukum yang tersimpul dalam pendapat-pendapat itu dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang muslim yang memiliki tanggung jawab vertikal kepada Allah Swt dan horizontal kepada sesama manusia. Dua sisi ini pula vang menjadi bahan pertimbangan kedua belah pihak sehingga berakhir dengan sebuah perbedaan hasil ijtihad.

B. Pengertian WakafDalam merumuskan pengertian wakaf, para ulama Fikih tidak memiliki

kata sepakat. Menurut Jumhur ulama, wakaf mereka defenisikan sebagai kegiatan penahanan harta yang berkemungkinan bermanfaat oleh pemiliknya dengan membiarkan ‘ayn (materi)nya tetap kekal dan tidak dipindahmilikkan

Page 37: At-Tasyri' V2 N1

27

PENuKaraN DaN PENJualaN harTa WaKaF Dalam PErSPEKTiF iBN Taymiyah DaN Jumhur ulama

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

kepada kaum kerabatnya atau kepada pihak lain.1

Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa wakaf adalah membiarkan harta seseorang itu tetap menjadi hak miliknya serta menyedekahkan manfaat harta itu untuk kebajikan.2 Sedangkan ulama Malikiyyah berpendapat bahwa wakaf adalah penahanan sesuatu hak milik supaya ia tetap menjadi milik pihak yang berwakaf sambil menyedekahkan hasil-hasilnya.3

Terdapatnya perbedaan rumusan tersebut pada dasarnya diakibatkan oleh pendapat masing-masing tentang status harta wakaf dibelakang hari, yakni tentang apakah harta itu akan bersifat tetap menjadi hak milik yang berwakaf, atau bisa dipindahkan hak miliknya, atau diwariskan. Namun demikian, terlepas dari bisa atau tidaknya harta wakaf ditarik kembali, definisi-definisi tersebut mewujudkan suatu pandangan yang sama bahwa harta wakaf adalah penahanan pemindahan hak milik oleh pihak yang berwakaf dan menyedekahkan segala manfaat dan hasil yang bisa diambil dari harta tersebut untuk kebajikan dalam rangka mencari keridhaan Allah Swt.,4 atau menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa merusak atau menghabiskan ‘ain benda itu sendiri serta digunakan untuk tujuan kebajikan.5

C. Kedudukan Wakaf Dalam IslamAlqur’an tidak pernah berbicara secara spesifik dan tegas tentang

wakaf, hanya saja, karena wakaf itu merupakan salah satu bentuk kebijakan melalui harta benda, maka para ulama sekalipun memahami bahwa ayat-ayat Alqur’an yang memerintahkan pemanfaatan harta untuk kebajikan kuga mencakup kebajikan melalui wakaf. Karena itu di dalam kitab-kitab Fikih ditemukan pendapat yang mengatakan bahwa dasar hokum waqaf disimpulkan dari beberapa ayat seperti:

1. Firman Allah dalam surat Ali Imran:

1 Fath Durrayni, Al-Fiqh al-Islamiyyah al-Muqaran Ma’a al-Madhahib, (Damaskus: Maktabah al-Ta’yin, 1980), hal. 379. Wahbah Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Juz III, hal. 159.2 Ibid., hal. 153.3 Ibid., hal. 3824 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 382.5 Muhammad ibn Isma’il al-Kahlani, Subul al-Salam, (Mesir: Muhammad Ali Sabit, t.t.), hal. 114.

Page 38: At-Tasyri' V2 N1

28

aNTON Jamal

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”6

2. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah:“Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah yang terbaik dari harta yang kamu usahakan.”7

Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa wakaf merupakan salah satu amal kebajikan yang dianjurkan karena dilihat dari tujuannya untuk memberikan manfaat kepada kepentingan ibadah atau kepentingan umum.

D. Fungsi WakafDalam Kompilasi Hukum Islam pasal 216 dan PP No. 28/1977 pasal

menyebutkan bahwa fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf yaitu melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan Ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.8

Dalam konsep Islam dikenal istilah jariyah artinya mengalir, maksudnya sedekah atau wakaf yang dikeluarkan sepanjang benda awakaf itu dimanfaatkan untuk kpentingan kebaikan maka selama itu pula si wakif mendapat pahala terus-menerus, meskipun telah meninggal dunia.

Firman Allah Swt.:“Sungguh telah kami ciptakan manusia dengan sebaik-baik kejadian kemudian kami hinakan mereka dengan serendah-rendahnya kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh serta mereka pahala yang tiada terputus.”9

Oleh karenanya pengekalan manfaat harta wakaf merupakan fungsi yang sangat penting dijaga oleh pihak pengguna wakaf agar sesuai dengan tujuan si wakif untuk mendapatkan pahala jariyah dari harta yang diwakafkan.

Sifat wakaf adalah menahan suatu benda dan memanfaatkan hasilnya,

6 Q.S. Ali ‘Imran: 92.7 Q.S. Al-Baqarah: 267.8 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 492.9 Q.S. Al-Tin: 4.

Page 39: At-Tasyri' V2 N1

29

PENuKaraN DaN PENJualaN harTa WaKaF Dalam PErSPEKTiF iBN Taymiyah DaN Jumhur ulama

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

agar dapat berkesinambungan manfaat benda tersebut. Karena itu benda wakaf haruslah bertahan lama, dan tidak cepat rusak. Namun demikian, wakaf tidak terbatas pada benda-benda yang tidak bergerak saja, akan tetapi dapat berupa benda bergerak, seperti : kuda, lembu, kambing, dan sebagainya.

E. Hukum Menjual dan Menukar Harta WakafHarta wakaf hendaknya diusahakan sedemikian rupa agar hasilnya

dan manfaatnya dapat diambil semaksimal mungkin. Tetapi kenyataannya menunjukkan selalu ada kemungkinan bahwa harta wakaf itu berkurang atau habis manfaatnya atau tidak ada hasilnya pada suatu saat di kemudian hari, rusak atau karena keadaan dan tempat tidak berfungsi lagi. Hal tersebut Seperti mesjid yang telah lama umurnya menjadi rusak atau karena kebun wakaf yang harus dijadikan jalan raya, atau sekolah karena tidak ada muridnva lagi sehingga bangunan itu menjadi rusak dan terlantar. Hal ini banyak dialami kaum muslimin di Turki, Mesir, Syria dan sebagainya.10

Karena itulah pada prinsipnya para ulama berpendapat bahwa harta wakaf itu dapat dijual jika keadaan menghendakinya. Hanya saja diantara mereka ada da vang mernbatasinva secara ketat dan ada pula yang tidak membatasinva secara ketat.

F. Perbedaan Jumhur Ulama dan Ibn Taymiyah tentang hukum Penukaran dan Penjualan Harta WakafJumhur ulama berpendapat bahwa harta wakaf dapat dijual atau ditukar

bila keadaan menghendaki demikian.11 Adapun mengenai harta wakaf berupa mesjid mereka sepakat tentang ketatnva persyaratan yang membolehkan penjualan harta wakaf tersebut.

Dibawah ini pendapat para ulama tentang masalah tersebut:a. Pendapat Jumhur Ulama

1. Golongan Hanafiyyah.Ulama Hanafiyyah membolehkan penjualan atau penukaran harta

wakaf berupa mesjid karena keadaan darurat dan mengizinkan untuk

10 Departemen Agama RI, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 1986), hal. 223-224.11 Wahbah Zuhayli, Al-Fiqh Islami., hal. 219.

Page 40: At-Tasyri' V2 N1

30

aNTON Jamal

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

bangunan non mesjid secara lebih longgar. Kalau bukan karena terpaksa, kelompok ini tidak membolehkan menjual atau menukar harta wakaf berupa mesjid. Bagi golongan Hanafiyyah, wakaf berupa mesjid tidak boleh dijual atau diganti dengan materi lain. Kendatipun orang tidak lagi memanfaatkan mesjid wakaf untuk tempat shalat karena sudah terlalu tua, bangunan tersebut harus dibiarkan saja apa adanya sebab kewajiban kaum muslimin untuk mendirikan mesjid baru sebagai penggantinva. Dalam keadaan seperti ini, harta wakaf itu kembali kepada pemiliknya atau ahli warisnya. Kalau wakif pernah berpesan bahwa harta wakaf yang diberikannya boleh diganti, penggantian atau penjualan terhadap wakaf itu dibolehkan. Penukaran dan penjualan harta wakaf juga dibolehkan bila didasarkan atas perintah hakim. Bila dua hal ini tidak ada, penukaran harta wakaf berupa bangunan mesjid tidak dibolehkan.12

2. Golongan MalikiyyahPara ulama mazhab Malik mengatakan bahwa wakaf berupa mesjid

tidak boleh dijual berdasarkan Ijma’. Akan tetapi wakaf berupa bangunan itu boleh ditukar asalkan bahan penukaran itu jenis yang sama dengan benda vang ditukar. Jadi, sebuah wakaf bangunan mesjid boleh saja ditukar dengan bangunan mesjid yang baru guna melestarikan nilai wakaf yang lama.13

3. Golongan Syafi’iyyahMenurut ulama Syafi’iyyah. bila sebuah bangunan mesjid wakaf

runtuh sehingga orang tidak mungkin lagi shalat didalamnya, maka hal itu tidak diserahkan kepada seseorang, termasuk kepada wakif atau ahli warisnya, dan tidak boleh pula dijual atau diganti oleh orang lain karena bangunan itu merupakan hak Allah. Akan tetapi, bila dalam keadaan terpaksa, seperti bangunan mesjid itu sudah terlalu sempit, maka bangunan tersebut boleh dijual atau ditukar yang uang penjualan atau harta penukaran itu dijadikan untuk dana pembangunan mesjid yang lebih besar.14

4. Golongan Hanabilah.

12 Ibid., hal. 222.13 Ibid., hal. 223.14 Helmi Karim, Fikih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 116.

Page 41: At-Tasyri' V2 N1

31

PENuKaraN DaN PENJualaN harTa WaKaF Dalam PErSPEKTiF iBN Taymiyah DaN Jumhur ulama

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

Para ulama dalam mazhab Hanbali agak longgar dalam penggantian dan penjualan harta wakaf. Menurut mereka boleh menjual mesjid jika mesjid itu tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal, baik ia masih utuh atau sudah runtuh.

Dengan demikian sangat jelas jika Jumhur ulama dalarn lingkungan empat mazhab berpendapat bahwa boleh menukar atau menjual harta wakaf berupa mesjid dengan pertimbangan darurat, terkecuali kalangan malikiyah yang tidak membolehkan sama sekali dengan alasan berdasarkan ijmak, atau mereka membolehkan menukar bangunan itu asalkan bahan penukaran itu dari jenis yang sama.

b. Pendapat Ibn Taymiyah .Ibn Taymiyah dan umumnya ulama-ulama Hanabilah yang

membolehkan menukar atau menjual mesjid bila sangat dibutuhkan, mereka membolehkan atau bahkan menganjurkan menjual benda wakaf atau menukarnya, jika kebijakasanaan demikian dipandang lebih baik dan lebih maslahat. Menurut Ibn Taymiyah, penukaran harta wakaf dengan yang lebih balk dilakukan karena dua alasan:

Pertama, karena dibutuhkan (hajat), seperti mewakafkan kuda untuk tentara yang sedang berjihad di jalan Allah swt., kemudian kuda tersebut tidak yang diperlukan lagi, begitu peperangan selesai. Dalam keadaan yang demikian, kata Ibn Taymiyah , kuda tersebut boleh dijual dan hasil penjualannya dipergunakan untuk membeli harta wakaf lain yang lebih bermanfaat.

Kedua, karena untuk kemaslahatan yang lebih besar, seperti menjual mesjid berikut tanahnya yang sudah kurang bermanfaat. Kemudian membeli tanah lain dan di atasnya dibangun mesjid baru yang lebih luas dan strategis jika dibandingkan dengan tempat dan mesjid yang lama. 15

Penukaran demikian pernah dilakukan khalifah ‘Umar r.a, ketika beliau memindahkan mesjid Kufah dari tempat yang lama ketempat yang baru. Demikian pula terhadap mesjid Nabawi, khalifah ‘Umar dan khalifah Uthman keduanya merehab mesjid tersebut dan memperluasnya di atas tanah yang bukan bekas bangunan mesjid semula.

15 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 530.

Page 42: At-Tasyri' V2 N1

32

aNTON Jamal

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

Atas dasar ini, menurut Ibn Taymiyah, menjual wakaf (termasuk di dalamnva mesjid) vang sudah tidak bermanfaat hukumnya boleh.16 Menukarkan benda wakaf atau menggantinya dengan harta wakaf lain yang sepadan, apalagi lebih tinggi nilainya, hukumnya wajib dalam kondisi yang benar-benar dibutuhkan dlan dalam keadaan yang tidak diperlukan pun tetap boleh, Jika takaran atau penggantinya ternyata lebih baik dan lebih bernilai guna. 17

Dalam hal ini alasan Ibn Taymiyah terkesan lebih rasional mengingat kebutuhan masyarakat dan pertimbangan atas kemaslahatan yang akan diperoleh darl penukaran atau penjualan harta wakaf yang termasuk di dalamnya mesjid lebih diutamakan dibanding dengan pemellharaan 'ain wakaf yang sudah kurang bermanfaat.

G. Aspek Perbedaan Pendapat Ibn Taymiyah dan Para Ulama.a. Prinsip penetapan hukum.Dalam membolehkan penukaran atau penjualan harta wakaf Jumhur

ulama lebih mengedepankan aspek darurat keadaan (emergency). Berdasarkan kaedah: al-darurat tubih al-mahdurat.

Akan tetapi selama masih ditemukannya alternatif lain maka mereka sama sekall tidak membenarkan penukaran atau penjualan mesjid. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa pendapat para ulama tersebut meskipun mereka membenarkan penukaran atau penjualan tersebut mereka tetap, memben'kan syarat yang amat ketat. Bahkan ulama kalangan Hanafi dan Syafi'i serta Maliki cenderung untuk tidak membolehkan sama sekali penjualan atau penggantian mesjid yang sudah roboh atau tidak digunakan lagi untuk melakukan shalat karena mereka memandang harta wakaf adalah hak Allah. Maka selayaknya manusia tidak turut Intervensi erhadap harta yang sudah menjadi hak Allah tersebut.

Adapun kebutuhan masvarakat terhadap mesjid yang baru maka sudah menjadi kewajiban masvarakat tersebut untuk membuatnya tanpa harus mengganggu harta wakaf. Lain halnva dengan kondisi mesjid yang masih

16 ‘Abd al-Rahman bin Muhammad ‘Asimi, Majmu’ al-Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taymiyah, Juz IV, (t.tp, t.t), hal. 100.17 ‘Ala al-Din Abu Hasan, al-Akhyar al-‘Ilmiyyah min Ikhtiyat al-Fiqihiyyah min Fatawa Syaikh Islam Ibn Taymiyah,(tp.: Dar al-Fikr, t.th.), hal.182.

Page 43: At-Tasyri' V2 N1

33

PENuKaraN DaN PENJualaN harTa WaKaF Dalam PErSPEKTiF iBN Taymiyah DaN Jumhur ulama

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

utuh dan tetap digunakan untuk shalat. Jika mesjid tersebut terlalu sempit dengan kondisi jama'ah yang terus bertambah maka keadaan membenarkan untuk memperluas mesjid karena harta wakaf tersebut akan berfungsi lebih balk lagi dari sebelumnya. Bahkan kalangan Maliki mensyaratkan bahan penukaran yang sama dengan benda yang ditukar, untuk menjaga kekalnya `ain dari benda yang diwakafkan disamping kekalnya manfaaat dari benda tersebut.

Sedangkan Ibn Taymiyah dalam menentukan hukum boleh tidaknya menukar atau menjual mesjid, disamping karena untuk menghindari kemungkinan timbulnya kerusakan atau penyia-nyiaan harta wakaf itu sendiri dan mempertahankan tujuan hakiki dari pensvari'atannya (saddan li al-bab al- fasad wa mura'atan limaqashid al-svari’)18 juga Ibn Taymiyah agaknya lebih banyak bersandar pada asas manfaat dan mashlahat maksimal dalam upaya mendayac,unakan wakaf berupa mesjid seperti terstrat dalam tindakan khalifah Umar yang telah dikutipkan sebelum ini.

Dalam pandangan Ibn Taymiyah , setiap tindakan yang oleh pelakunya dipandang mengundang maslahat, maka kemaslahatan itu pada dasamya dapat dianggap sebagai maslahat yang mu’tabarah selama tidak ada dalil, syar'i yang melarang atau membatalkannya. Jika ada dalil syar'i yang membatalkan, barulah dengan sendirinya maslahat tersebut menjadi batal dan mempertahankan maslahat yang demikian, menurut keyakinan Ibn Taymiyah pasti penilainnya didasarkan atas kecenderungan hawa nafsu. 19

Dari dua hal diatas dapat kita pahami bahwa Ibn Taymiyah mengedepankan unsur istislah sedangkan Jumhur ulama lebih mengedepankan unsur darurat keadaan kendatipun pada akhirnya keduanya membolehkan penukaran dan penjualan mesjid dengan katagori dan persyaratan yang mereka tentukan.

b. Nilai produktifitas.Jika dilihat dari pandangan Ibn Taymiyah dan Jumhur Ulama jelas bahwa

pendapat Ibn Taymiyah lebih memiliki nilai produktifitas. Karena beliau lebih melihat kepada apa yang sedang dibutuhkan oleh kaum muslim dan

18 Hasan Ahmad al-Khatib, al-Fiq al-Muqaran, (t.tp: Matba’ah Dar al-Ta’li, 1957), hal. 99.19 Al-‘Asimi, Majmu’at Fatawa., Juz xx, hal. 48.

Page 44: At-Tasyri' V2 N1

34

aNTON Jamal

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

tidak melihat perlunya mengatasi keadaan yang sudah sampai kepada taraf darurat, karena mengatasi keadaan darurat itu merupakan kewajiban, sebab tidak punya pilihan lain. kalau memang harta, wakaf dibutuhkan untuk sesuatu yang bermanfaat , boleh saja mesjid tersebut dijual atau di tukar kedalam bentuk lain tidak harus menunagu sampai keadaan darurat. Seperti mempertahankan harta wakaf berupa mesjid untuk tidak dijual padahal kaum muslim telah memiliki mesjid yang lain dan sangat membutuhkan perpustakaan Islam maka, Ibn taymiyah membolehkan mengambil hasil dari penjualan mesjid tersebut untuk kepentingan pembuatan pustaka bagi kaum muslimin.

c. Ketelitian dalam mempertahankan tujuan si wakif.Jumhur ulama sangat ketat di dalam syarat penukaran dan penjualan

mesjid. Karena disamping mereka menganggap bahwa, wakaf itu merupakan bentuk ibadah (taqarrub ila Allah) yang tidak boleh dikomersilkan apalagi berupa rumah ibadah, tindakan mereka juga merupakan bentuk kehati-hatian dalam memelihara tujuan si wakif dalam memberikan manfaat harta wakaf tersebut, karena bisa saja harta wakaf itu dijual untuk alasan-alasan tertentu yang pada akhirnya justru disamping harta wakaf itu sendiri kehilangan 'ainnya mungkin pula akan didapati penyelewengan harta wakaf yang berakibat kepada ticlak tercapainya, maksud dari wakif untuk memberikan manfaat dari harta, wakafnya. Akan tetapi jika teknis pemanfaatan harta wakaf itu sudah diyakini pertanggung jawabannya maka pendapat Jumhur ini perlu untuk dikaji kembali.

Lain halnya dengan lbnu Taymiyah beliau lebih cepat membaca kebutuhan masvarakat muslim terutama diperkotaan. Karena lahan yang kurang tentu banyak tanah-tanah wakaf yang tidak efesien akan merugikan umat Islam. Maka beliau cenderung untuk menjadikan harta wakaf termasuk mesjid sebagai harta produktif.

Ibn Taymiyah juga berpendapat bahwa persyaratan yang ditetapkan wakif, seperti larangan menukar atau menjual maukuf yang ia wakafkan, menurut beliau, boleh dikesampingkan karma menurut penalarannya, tujuan sejenis (taqarrub ila Allah) bagi si wakif tetap terdapat dalam wakaf yang baru sebagai hasil dari penukaran atau penjualan wakaf yang lama. Kecuali itu Ibn Taymiyah juga membenarkan mengubah persyaratan tertentu yang ditetapkan wakif. Karena perubahan situasi dan kondisi, selama syarat al-

Page 45: At-Tasyri' V2 N1

35

PENuKaraN DaN PENJualaN harTa WaKaF Dalam PErSPEKTiF iBN Taymiyah DaN Jumhur ulama

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

wakif (syarat yang ditetapkan wakif) itu untuk tujuan yang lebih maslahat.20

Ungkapan pernyataan wakif itu seperti teks-teks Syar’i (nusus al-waqif ka nusus al-syari’) yang sering dijadikan hujjah oleh para ahli Fikih dalam memenuhi ketentuan yang disyaratkan orang yang berwakaf, menurut pemahaman Ibn Taymiyah, bukan dalam soal kewajiban mengamalkan perkataan yang dinyatakan siwakif, melainkan dalam memenuhi tujuan hakiki dan maksud yang terkandung dalam ucapan itu sendiri. 21

H. PenutupPerbedaan pendapat yang terjadi antara Ibn Taymiyah dan Jumhur

ulama adalah perbedaan pemahaman yang jika dikaji secara sepintas tidak menunjukkan adanya perbedaan tersebut. Karena akhir dari uraian atas pendapat-pendapat mereka tetap bermuara kepada pembolehan menukar atau menjual harta wakaf berupa mesjid. Perbedaan itu akan sedikit lebih kentara jika kita melihat adanya persyaratan-persyaratan yang mereka tentukan serta analisis terhadap manfaat dan tujuan dari harta wakaf. Akan tetapi ketika kita mencoba untuk melihat lebih jauh kepada prinsip pembentukan hukum yang mereka terapkan, akan nyatalah bahwa keduanya berpijak pada dua sisi yang berbeda akan tetapi kesemuannya bertujuan untuk kebaikan.

Dan perbedaan pendapat ini merupakan khazanah yang layak untuk dijadikan bahan kajian. Karena kedua perbedaan itu dapat digunakan tanpa harus memisahkan mana yang lebih tepat untuk diterapkan dalam kasus perwakafan akan tetapi dapat dikembalikan kepada kebijakan ulama dalam melihat situasi dan kondisi masyarakat muslim sebagai objek hukum yang akan diberlakukan.

20 ‘Ala al-Din Abu al-Hasan, al-Akhyar al-‘Ilmiyyah., hal. 176.21 Ibid., hal. 176

Page 46: At-Tasyri' V2 N1

36

aNTON Jamal

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

DAFTAR PUSTAKA

‘Asimi, Abd al-Rahman bin Muhammad. Majmu’ al-Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taymiyah . Juz IV. t.tp: , t.th..

Abu Hasan, ‘Ala al-Din. al-Akhyar al-‘Ilmyyah min Ikhtiyat al-Fiqihiyyah min Fatawa Syaikh Islam Ibn Taymiyah. Beirut: Dar al-Fikr, t.tp..

al-Kahlani, Muhammad ibn Isma’il. Subul al-Salam, Mesir: Muhammad ’Ali Sabit, t.th..

al-Khatib, Hasan Ahmad. al-Fiqh al-Muqaran. t.tp: Matba’ah Dar al-Ta’li, 1957.

Departemen Agama RI. Ilmu Fiqih. Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 1986.

Duraini, Fathi. al-Fiqh al-Islamiyyah al-Muqaran ma’a al-Madhahib. Damaskus: Maktabah al-Ta’yin, 1980.

Karim, Helmi. Fikih Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1997.

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.

Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.

Page 47: At-Tasyri' V2 N1

Fauzi Saleh

Abstract

Shari’ah bank has proved it existence especially in crisis era. One of bank product that applied to empower the society is profit and loss sharing sistem or mudarabah. The sistem focuses the balances of the parties. The mutualism model has upgrade the trust for bank and it quality. Running this sistem, shariah bank has put the deep and strong root to enlarge its capacity. The writer will explore comprehensively the application of profit and loss sharing in relating to application in shariah bank.

Kata kunci: Profit, loss sharing, perbankan syari'ah

PROFIT AND LOSS SHARINGDAN APLIKASINYA

PADA PERBANKAN SYARI’AH

Dosen Fakultas Ushuluddin dan alumnus S3 IAIN Ar-Raniry Banda Aceh,Dosen Tidak Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh.

Page 48: At-Tasyri' V2 N1

38

FauZi SalEh

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

A. Pendahuluan Gagasan bank tanpa bunga didasarkan pada konsep hukum Islam

syirkah dan mudarabah yang secara bertahap berevolusi selama tiga puluh tahun lalu, yang menimbulkan model perbankan yang cukup lengkap di awal decade – 70an.1

Sejak awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern: neorevivalis dan modernis. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Alquran dan al sunnah. 2.

Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jama’ah haji secara nonkonvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islami contraction Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 diKairo, Mesir.3

IDB ini membantu mendirikan bank-bank Islam di berbagai negara. Untuk pengembangan sistem ekonomi syari’ah, institusi ini membangun sebuah institut riset dan pelatihan untuk pengembangan dan pelatihan ekonomi Islam, baik dalam bidang perbankan maupun keuangan secara umum. Lembaga ini disingkat dengan IRTI (Islamic Research and Training Institute)4.

Di Pakistan, pemerintah, pada tahun 1979-80 mensosialisasikan skema peminjaman tanpa bunga kepada petani dan nelayan. Tahun 1985, sistem perbankan Pakistan dikonversi dengan sistem baru, yaitu sistem perbankan syari’ah. Di Mesir, bank syariah pertama adalah Faisal Islamic Bank yang beroperasi tahun 1978. di Siprus, Faisal Islamic Bank of Kibris (Siprus) beroperasi tahun 1983. di Kuwait, institusi yang beroperasi dengan sistem tanpa bunga darai awal pendiriannya tahun 1977, yang namanya: Kuwait

1 Muhammad Nejatullah Siddiqi, Issues of Islamic Banking, diterjemahkan Asep Hikmat Suhendi, dengan judul Bank Islam, Cet. I, (Bandung: Pustaka, 1984), hal 12.2 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah, Dari Teori ke Praktik, Cet. II, (Jakarta: GIP, 2001), hal. 18.3 Ibid., 18.4 Ibid., hal 21.

Page 49: At-Tasyri' V2 N1

39

PROFIT AND LOSS SHARING DaN aPliKaSiNya PaDa PErBaNKaN Syari’ah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

Finance House. Kemudian berkembang di Bahrain dan Uni Emirat Arab. Sementara di Malaysia, didirikan Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) tahun 1983. Di Iran sudah ada sejak bangkit Revolusi Islam Iran tahun 1979. Turki pada tahun 1984 memberikan izin operasi sistem syariah kepada Daal Al Maal al-Islami.5

B. Perbankan Syari’ah di IndonesiaPerkembangan bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh

ke Indonesia. Awal tahun 80-an, digelar diskusi mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi. Prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam timbul pada tahun 1990. MUI menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan perbankan di Cisarua, pada Agustus 1990. Berdasarkan Munas IV MUI, dibentuk Tim Perbankan MUI untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.6

Sebagai hasilnya, lahir Bank Muamalah Indonesia yang berakte tanggal 1 November 1991 dengan komitmen pembelian saham Rp 84 miliar. 3 November 1991, dalaam acara silaturrahmi Presiden di Istana Bogor, total komitmen modal disetor awal besar 106.126.382.0007. Berikutnya, pasca reformasi diperkenankannnya konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang syari’ah.8

Pergantian bunga dengan bagi-hasil tidak akan menimbulkan masalah dalam penyelenggaraan dan stabilitas yang mulus. Untuk itu akan perlu kejelasan perbandingan/nisbah bagi-hasil antara penyedia modal dan para pemakainya dalam suatu perusahaan produktif. Bagi-hasil dengan bentuk mudarabah ini melahirkan suatu kerja sama yang juga berorientasi social dengan motif dan semangat Islam yang dikandung di dalamnya.

Dari uraian di atas, kelihatannya betapa pesat perkembangan perbankan syari’ah, maka selayaknya kita mengetahui produk-produk bank tersebut. Produk yang berasaskan pada Profit and Loss Sharing banyak, di antaranya: al-musyarakah (project financing participation), al-mudarabah (trust invesment), al-muzara’ah (harvest yield profit sharing), al-musaqah (plantation management

5 Antonio, hal. 22-25.6 Ibid., hal. 25.7 Ibid.8 Ibid., hal. 27.

Page 50: At-Tasyri' V2 N1

40

FauZi SalEh

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

fee based on certain portion yield) dan lain-lain. Di samping merupakan suatu ilmu, juga dapat disosialisasikan dalam masyarakat, karena ia merupakan salah satu bentuk dakwah, dimana setipa individu dapat memotivasikan masyarakat pada kegiatan ekonomi yang lebih Islami. Berpijak pada hal di atas, penulis mencoba untuk membahas salah satu produk perbankan syari’ah yakni system bagi hasil yang disebut profit and loss sharing.

C. Mudarabah salah satu konsep Usaha Islami 9

1. Pengertian mudarabah Fuqaha mendefinisikan bahwa mudarabah adalah:

“Yaitu seorang pemilik harta memberikan sejumlah modal kepada pekerja untuk berdagang, yang labanya sesuai dengan perjanjian keduanya, sementara kerugian menjadi tanggungan pemilik modal”.10

Ia merupakan tranformasi Islam dari suatu perekonomian modern yang merupakan penggantian pranata bunga11.

Konsep yang ditawarkan Islam sangat bervariasi yang sangat applicable baik bagi masyarakat kota maupun desa, petani, nelayan, pedagang atau lainnya dapat menjalankan usaha islami ini. Konsep ini memiliki prinsip-prinsip Ekonomika Islami, yakni: tauhid dan ukhuwwah, kerja dan

9 Islam mengedepankan suatu konsep Mudarabah (Profit and Loss System), yaitu suatu sistem usaha berbagai laba dan rugi, dimana pihak-pihak yang melakukan investasi memberikan modal, tenaga kerja, manajemen pada kesepakatan kontrak untuk usaha patungan dengan prosentase nisbah ditentukan diawal kontrak (lihat: Sarkaniputra, Murasa, Hutanku, Hutanmu, Hutan Kita semua, (Bogor: Yayasan Bina Lingkungan Gunung Salak, 2003), hal. 46.10 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh, Juz 5, Cet. VII, (Suria: Dar al-Fikr, 1997), hal. 3.924.11 Muhammad Najetullah Siddiqi, Issues in Islamic Bank, diterjemahkan oleh Asep Hikmat Suhendi, dengan judul Bank Islam, Cet. I, (Bandung: Pustaka, 1984), hal. 132.

Page 51: At-Tasyri' V2 N1

41

PROFIT AND LOSS SHARING DaN aPliKaSiNya PaDa PErBaNKaN Syari’ah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

produktivitas, keadilan distributif, santun lingkungan12. Yang perspektif dan produktivitas kerjanya untuk mencapai tiga sasaran; mencukupi kebutuhan hidup (isyba`), meraih laba yang wajar (irbah) dan menciptakan kemakmuran lingkungan baik sosial maupun alamiah (al-i`mar).13

2. Landasan Syari’ah: a. Alquran:

“dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…”

Wajh al-dilalah adalah kata yadribun yang sama dengan akar kata mudarabah yang berarti melaksanakan suatu perjalanan usaha. Jadi para ulama baik Syafi’i, Malik, Hanbali dan Hanafi memahami kata yadhribun itu menjalan suatu usaha.14

Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah swt.

Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu… Surah al Jumu’ah: 10 dan al Baqarah: 198 sama-sama mendorong

kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha.

12 Murasa Sarkaniputra, dkk, Tauhidi Epistemologi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003),hal. 28.13 Ibid.,hal. 31.14 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh, hal. 3925.

Page 52: At-Tasyri' V2 N1

42

FauZi SalEh

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

b. Hadis:

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudarabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tesebut kepada Rasulullah saw., dan Rasulullah pun membolehkannya”.

“Dari Salih ibn Suhayb ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: Jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudarabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan dijual” (HR. Ibnu Majah)

c. Ijma’ Imam Zayla’i telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus

terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudhrabah. Kesepatakan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadis yang dikutip Abu ‘Ubaid.15

Ibn Taymiyah menyatakan bahwa penetapan disyariatnya mudarabah itu adalah dengan ijma’ yang berasaskan pada nass, karena mudarabah merupakan hal yang masyhur di antara mereka pada masa jahiliyah, apalagi suku Quraish. Dimana mayoritas mereka pedagang, para pemilik

15 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, Dari Teori ke Praktik… hal. 95-96.

Page 53: At-Tasyri' V2 N1

43

PROFIT AND LOSS SHARING DaN aPliKaSiNya PaDa PErBaNKaN Syari’ah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

harta memberikan modalnya kepada para pekerja. Rasulullah saw., sendiri sebelum kenabiannya beliau berdagang dengan modal orang lain, seperti modal Khadijah. Barang dagangan bersama Abu Sufyan merupakan bentuk mudarabah yang paling besar. Ketika Islam datang, Rasulullah mentaqrirkan bentuk usaha ini. Para sahabat pun berdagang dengan modal orang lain dalam bentuk mudarabah, dan beliau tidak melarangnya.16

d. Qiyas Mudarabah dikiaskan kepada musaqah mengingat kebutuhan manusia

kepadanya, karena manusia itu ada yang kaya dan ada yang fakir. Mereka yang punya harta tetapi tidak mampu melakukan transaksi perdagangannya, sementara ada yang tidak punya harta namun mahir dalam berdagang.Allah mensyariatkan bentuk-bentuk akad semata-mata karena kebutuhan manusia kepadanya17

e. Analisa Dalil Kelihatannya ulama menggunakan keempat sumber hukum yang

muttafaq ‘alayh dalam menetapkan pensyariatan mudarabah. Secara bayani, para ulama – dengan isyarah al-nass -memahami yadribun melaksanakan suatu perjalanan usaha. Termasuk mudarabah, yang kriterianya dijelaskan dalam hadits Ibn Abbas misalnya dan juga syarat-syarat yang ditakrirkan Nabi saw. dalam transaksi yang dilakukan para sahabat saat itu.

Juga kata-kata fadl dalam ayat di atas merupakan lafazh umum, termasuk di dalamnya mudarabah, karena ia merupakan sarana mendapatkan karunia Allah SWT juga.

3. Macam-macam mudarabah a. Mudarabah Muthlaqah, yakni bentuk kerja sama antara shahibul mal

dan mudarib yang cakupannya sangat luas dana tidak ditabatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.

b. Mudarabah Muqayyadah (restricted mudarabah) yaitu si mudarib

16 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh …hal. 3926.17 Ibid., hal. 3927.

Page 54: At-Tasyri' V2 N1

44

FauZi SalEh

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.18 Model transaksi ini lebih mudah dalam pengontrolan dan memiliki batasan-batasan yang dibuat untuk mencapai target.

4. Rukun Mudarabah Menurut Hanafiah ada dua rukun akad mudarabah, yaitu ijab dan

kabul. Sedangkan jumhur, rukunnya ada tiga: `aqidani (pemilik harta dan pekerja), ma`qud `alayh (modal, pekerjaan dan laba), sighah (ijab dan kabul). Al-Syafi’iyyah menggapnya lima: modal, pekerjaan, laba, sighah dan `aqidani 19

5. Syarat-syarat mudarabah: Untuk kesahihan mudarabah, disyaratkan hal-hal sebagai berikut: a. Syarat pada `aqadayn: Rabb al-mal dan mudarib disyaratkan: keduanya memiliki ahliyyah

untuk melakukan tawkil20 dan wakalah, tidak disyaratkan sebagai seorang muslim. Malikiyah berpendapat makruh mudarabah antara muslim dengan zimmi pada usaha yang tidak diharamkan seperti mengandung ribawi.

b. Syarat pada modal: 1) Modal dalam bentuk alat tukar yang berlaku (al-nuqud al-raijah)

seperti dinar, dirham dan sejenisnya. Jumhur berpendapat bahwa tidak boleh sebidang kebun atau harta bergerak dijadikan modal21, namun boleh bila dihargakan. Modal dalam kontrak tersebut tidak boleh dianggap sebagai bentuk hutang pihak mudarib kepada rabb mal22.Alasannya adalah kalau dianggap hutang maka dimungkinkan si rabb mal mengambil keuntungan dari hutang tersebut, dan itu adalah riba yang

18 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, Dari Teori ke Praktik… hal. 97.19 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh …hal. 3928.20 Karena si mudarib berbuat sesuai dengan perintah pemilik modal.21 Alasannya: modal semacam itu masih samar jumlahnya, sehingga menyebabkan timbulnya jahalah (samar pula) pada pembagian laba, yang berpenghujung kepada perselisihan. Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh …: 3932.22 Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz 5 (Riyad: Maktabat al-Riyad al-Haditsah, 1981), hal. 73.

Page 55: At-Tasyri' V2 N1

45

PROFIT AND LOSS SHARING DaN aPliKaSiNya PaDa PErBaNKaN Syari’ah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

dipraktekkan pada masa pra-Islam23. 2) Jelas jumlahnya, sehingga pembagian hasilpun akan menjadi

jelas. 3) Modal hendaknya dalam bentuk harta kongkret dan bukan

utang, karena hutang itu baru dianggap harta rabb mal bila sudah diterima dari pihak yang berutang.24

4) Modal diserahkan kepada mudarib, karena ia merupakan amanah bagi mudarib. Jadi kekuasaan terhadap harta itu berpindah tangan ke si mudarib. Ini merupakan jumhur. Sedangkan Hanbali membolehkan rabb al-mal tetap berkuasa terhadap modal itu.25

Yang menjadi kewajiban mudarib: bersikap amanah, boleh memiliki bentuk usaha apa saja pada mudarabah mutlaqah dan investor menentukan jenis usaha tertentu pada muqayyadah, melaksanakan operasional yang layak. Sedangkan haknya: mendapatkan keuntungan sesuai perjanjian, tidak menanggung resiko bila telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur.26

c. Syarat pada laba 1) Hendaknnya laba itu jelas kadarnya, karena bila laba itu samar-

samar menyebabkan akad itu rusak27. Menurut Hanafiah, bila ada syarat yang menyebabkan samarnya kadar laba maka syarat itu bisa merusak akad mudarabah. Menurut Malikiyah, boleh mensyaratkan laba itu untuk salah satunya atau kepada

23 Ahmad Saeed, Islamic Bank, diterjemahkan Muhammad Ufuqul Mubin, dkk dengan judul Bank Islam dan Bunga, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal 94.24 `Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani, Badai` al-Shana-I`, Juz 6 (Beirut: al-Maktabah al-`Ilmiyyah, t.th.), hal. 83.25 Wahbah al Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh… hal. 3935-36.26 Wahbah al Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh…hal 3944-3950, Abdullah Saeed berpendapat bahwa apabila terjadi kerugian, maka investor menanggungnya sepanjang tidak terbukti bahwa mudarib menyelewengkan atau terjadi kesalahan manajemen dari dana mudârabah berdasarkan persyaratan kontrak yang telah disepakati dengan investor.(Abdullah Saeed, Islamic Bank, diterjemahkan Muhammad Ufuqul Mubin, dkk dengan judul Bank Islam dan Bunga (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2003), cet. I, hal. 10627 Syams al-Din al-Sarakhsi, al-Mabsut, Juz 22, Cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1414 H), 27, Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh… hal. 3937

Page 56: At-Tasyri' V2 N1

46

FauZi SalEh

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

orang lain. 2) Laba hendaknya berbentuk bagian tertentu yang sudah

masyhur, seperti: 1/3, 1/2, 1/4, dan sebagainya. Tidak boleh dalam jumlah pasti, misalnya 100 dinar.28

d. Hukum-Hukum mudarabah 1) Fasidah, bentuknya seperti kata seseorang kepada temannya:

pasanglah nyala ikan, nantinya kita bagi dua. Menurut Hanafiah, Syafi’iyyah dan Hanabilah bahwa si mudarib tidak berkewajiban melakukan seperti akad mudarabah yang shahih. Namun bagi pekerja cukup dibayar upah saja.29

2) Sahihah. Ini merujuk kepada kondisi tangan mudarib, pekerjaan mudarib, sebagian merujuk kepada apa yang berhak diperoleh mudarib dari pekerjaannya dan rabb mal dari modalnya.

- tangan mudarib: sepakat imam mazhab bahwa mudarib orang yang memegang amanah berupa modal yang ada pada tangannya sama dengan wadi’ah. Apabila mensyaratkan bahwa mudarib menjamin kerugian, maka syarat ini dianggap batil dan akadnya sah menurut pendapat Hanafiyyah dan Hanabilah. Sementara menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah menggapnya akadnya fasid karena syarat itu menambahkan gharar yang kontradiksi dengan normalnya akad.

- Tasarruf mudarib: hukumnya berbeda tergantung jenis mudarabah yang dijalankan yakni muqayyadah dan mutlaqah.

- Hak-hak mudarib ada dua hal: nafaqah (biaya operasional) dari harta mudarabah dan laba yang ditentukan dalam akad. Tentang biaya operasional, ada tiga pendapat: Syafi’ie dalam salah satu pendapatnya mengatakan tidak berhak. Ibrahim al-Nakha’ie dan Hasan Basri berkata: berhak baginya baik ketika musafir atau tidak. Jumhur mengatakan: berhak

28 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh…hal. 3940.29 `Ala’ al-Din Abu Bakr bin Mas’ud al-Kasani, Badai` al-Sana-i`…hal.108, Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh… hal. 3941.

Page 57: At-Tasyri' V2 N1

47

PROFIT AND LOSS SHARING DaN aPliKaSiNya PaDa PErBaNKaN Syari’ah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

nafakah ketika musafir saja. 30

6. Hal-hal Membatalkan mudarabah 1) Fasakh dan melarang (muharib) untuk tasharruf atau membatalkan

kembali kontrak (`azl) 2) Meninggal salah satu `aqidain. Sedangkan Malikiyyah

berpendapat: tidak batal dengan kematian salah satu `aqidayn, waris si mudarib berhak menggantikannya jika termasuk orang yang dipercaya.31

3) salah satu `aqidain gila. Demikian pendapat Jumhur, selain Syafi’iyyah. Adapun bila mudarib dihajr (dibatasi dalam melakukan transaksi) karena safah – menurut Hanafiyyah – tidak batal mudarabah, karena sama dengan anak-anak yang mumayyiz, ia bisa diberikan wakalah, maka bisa pula menjalankan mudarabah.32

4) Murtad rabb mal. Apabila rabb mal murtad, atau mati dalam keadaan riddah atau berada di dar al-harb menurut al-Hanafiah dapat membatalkan mudarabah. Tapi bila mudarib murtad maka mudarabah tetap sah dijalankan. Namun perlu diperhatikan, bila modal itu sudah dalam bentuk barang, maka si mudarib hendaknya menjalankan jual belinya hingga berbentuk uang kembali33

5) rusaknya harta mudarabah di tangan mudarib. Batalnya akad dengan rusaknya modal, ia laksana wadi’ah.34

7. Pertanggungjawaban Kerugian Jika terjadi kerugian dalam usaha, maka hal tersebut dianggap sebagai

reduksi atas modal dan ditanggung oleh pemilik modal itu sendiri. Hukuman atas gagalnya pemasukan tambahan modal ini tidak sepantasnya dibebankan

30 Wahbah al Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh… hal 3957.31 Ibid., hal. 3.96632 Ibid., hal. 3.966.33 Syams al-Din al-Sarakhsi, al-Mabsut…,hal. 112.34 Wahbah al Zuhayli, Fiqh al-Islâm wa adillatuh…, hal. 3.967.

Page 58: At-Tasyri' V2 N1

48

FauZi SalEh

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

kepada pihak yang menjalankan usaha tersebut.35Tapi jika si mudarib melanggar persetujuan kontrak dan mengalami kerugian dalam usahanya, maka dia harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang dialami. 36

8. Masa Berlakunya Kontrak Kontrak mudarabah tidak memuat aturan khusus mengenai batas

berlakunya kontrak. Mazhab Malik dan Syafi’i mengatakan adanya batasan masa berlakunya kontrak akan membuat kontrak batal. Namun Hanafi dan Hanbali 37memperkenannya. Kontrak mudarabah kontrak ini dapat diakhiri oleh salah satu pihak dengan jalan memberitahu pihak lain atas keputusan tesebut. Karena ia tidak mengikat.38

Menurut Imam Syafi’ie dan Abu Hanifah bahwa kontrak mudarabah dapat diakhiri kapan saja, sekalipun mudarib sudah mulai menjalankan usahanya. Tapi Imam Malik tidak membenarkannya.39

Namun kalau kita merujuk kepada klasifikasi mudarabah itu sendiri, maka memungkinkan mengambil salah satu dari dua alternatif, mutlaqah dan muqayyadah. Sebagaimana yang dijelaskan di atas.

D. Hubungan Antara Bank, Pemilik Modal dan Pengusaha Penulis melihat bahwa hubungan antara bank, pemilik modal dan

pengusaha merupakan bentuk wakalah.40Dimana pemilik modal dalam hal ini nasabah memberikan wakalah kepada Bank untuk diurus dan diberikan kepada pengusaha agar modal tersebut dapat dikembangkan dalam bentuk bisnis yang halal menurut syara’. Bank dalam hal ini menjadi wakil, sedangkan nasabah sebagai muwakkil.

35 M. Nejatullah Siddiqi, Partnership and Profit Sharing in Islamic Law, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hal 15-18.36 Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz 5, hal. 54.37 Ibid., hal. 69.38 Abdullah Saeed, Islamic Bank…, hal. 96.39 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid wa nihâyat al-muqtashid, Juz 2, (Semarang: Toha Putra Semarang: t.th.) hal. 181.40 Wakalah dari definisinya adalah: menyerahkan sesuatu urusan yang dapat digantikan kepada orang lain untuk dikerjakan olehnya. (Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 521.

Page 59: At-Tasyri' V2 N1

49

PROFIT AND LOSS SHARING DaN aPliKaSiNya PaDa PErBaNKaN Syari’ah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

Wakalah ini dibolehkan syara’ sesuai dengan ayat dan hadis Rasulullah saw., firman-Nya:

“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorangpun. (Q.S. al-Kahf: 19)

Apabila kamu mendatangi wakilku di Khaibar, maka ambil 500 wasaq darinya.

Hadis lain:

Page 60: At-Tasyri' V2 N1

50

FauZi SalEh

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

Pergilah wahai Anis menemui perempuan ini, apabila ia mengakui (perbuatannya) rajamlah ia).

1. Hukum Wakalah: Hukum asal wakalah: mubah, dengan mempertimbangkan:

a. Yang menyerahkan perwakilan dan yang menerimanya dewasa dan tidak gila

b. Pekerjaan yang akan diwakilkan harus jelas dan bukan ibadat, kecuali ibadat haji jika yang bersangkutan dalam keadaan berusia lanjut. Maka masalah di atas jelas bisa diwakilkan

c. Lafaz ke arah perwakilan itu harus jelas menunjukkan kerelaan orang yang menerima perwakilan itu. Dalam hal bank dengan jelas menerima kemauan dan keinginan pihak nasabah

d. Orang yang menerimaa perwakilan boleh menyerahkan haknya kepada orang lain yang jujur. Tentunya bila bank bangkrup maka akan diambil ahli bank pemerintah sebagaimanayang terjadi pada masa yang lalu

e. Seorang waki yang ditunjuk untuk menjual-belikan harus melalui ketetapan harga yang ada pada waktu itu, serta tidak merugikan pihak lain.

f. Bentuk pembelian barang dari seorang wakil yang ternyataa menarik keuntungan, maka hasil dari keuntungan tersebut harus diserahkan kepada orang yang menyerahkan perwakilan. Dalam hal ini, hasilnya yang diperoleh berdasarkan perjanjian antara bank, pengusaha dan nasabah.41

2. Rukun Wakalah: 1. Ijab Kabul dari kedua belah pihak 2. Pihak yang mewakilkan (muwakkil) dalam hal ini nasabah 3. Pihak yang menerima kewakilan (wakil). Dalam hal ini bank

sebagai wakil. 4. Tugas/pekerjaan yang diwakilkan (muwakkal fih), yakni tugas

bank mengurus jalannya dan operasional usaha sehingga dapat

41 Ibid. hal. 522-523.

Page 61: At-Tasyri' V2 N1

51

PROFIT AND LOSS SHARING DaN aPliKaSiNya PaDa PErBaNKaN Syari’ah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

berjalan baik sesuai yang diharapkan nasabah (muwakkil).42

3. Syarat muwakkil, wakil dan muwakkal fih: Adapun syarat muwakkil (dalam hal ini nasabah); Hendaknya orang

yang memiliki hak untuk bersanksi atas hartanya itu, bukan orang gila, anak-anak dan seterusnya.Syarat wakil: berakal bukan gila. Sedangkan syarat muwakkal fih: diketahui modal tersebut memang kepunyaan muwakkil.43

4. Batas-batas wakalah 1) wakil, tidak boleh mewakilkan lagi kepada orang lain, kecuali

seizing yang mewakilkan. 2) wakil bertanggung jawab atas segala sesuatu yang diwakilkan

kepadanya. Karena itu itu bila terjadi kerugian akibat kelalaiannya, maka dalam hal ini pihak bank bertanggung jawab untuk menggantikannya.

3) Wakil berhak dipecat dari tugasnya, karena: a. dipecat oleh yang mewakilkannnya b. mati atau bangkrup c. barang yang diwakilkan (modal) hilang.44

F. Mudarabah dan Aplikasinya dalam PerbankanMudarabah dapat diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan

pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, mudarabah diterapkan:a. tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan

khusus, seperti tabungan haji, tabungan kuban dan sebagainyab. deposito sesial (special investment), dimana dana yang dititpkan

nasabah khusus untuk bisnis tertentu45

Dalam hal ini, posisi mudarib bertindak sebagai nasabah bank Islam untuk meminta pembiayaan usaha berdasarkan kontrak mudarabah. Mudarib memberikan penjelasan terlebih dulu kepada bank mengenai seluk beluk

42 Ibid. hal. 523.43 Sayyid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1971), hal. 231-232.44 Ibid. hal. 523-524.45 Muhammad Syafi’ie Antonio, Bank Syariah…, hal. 97.

Page 62: At-Tasyri' V2 N1

52

FauZi SalEh

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

usaha yang berkaitan dengan barang, sumber pembelanjaan, maupun seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut. Mudarib mengajukan sejumlah persyaratan finansial yang memuat beberapa hal menyaangkut ketentuan harga penjualan, arus pembayaran, dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh.46

Selanjutnya akan dibahas tentang modal, manajemen, masa berlaku kontrak, jaminan dan PLS (profit and Loss Sharing).

a. Modal Bank Islam menentukan sejumlah modal yang dipinjamkan ke dalam

usaha yag akan dijalankan. Biasanya, pembiayaan tidak diberikan cash, sehingga memungkinkan pihak bank senantiasa mengawasi usaha tersebut. Dana yang dipinjamkan oleh pihak bank dijadikan sebagai modal usaha tidak boleh diselewengkan mudarib dan tidak boleh digunakan untuk tujuan lain.47

b. Manajemen Tugas mudarib menjalankan pembiayaan kontrak mudharah meliputi

mengelola dan mengatur pembelanjaan, penyimpanan, pemasaran, maupun penjualan barang dagangan. mudarib menjamin dalam mengelola barang trsebut sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati dalam pembiayaan mudarabah. Dia bertanggung jawab untuk menanggung segala kerugian yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri yang menyimpang dari prosedur ketentuan kontrak. Singkatnya, mudarib harus tunduk terhadap segala persyaratan yang telah ditentukan dalam kontrak yang berkaitan dengan pengelolaan usaha. Pelaksanaan tersebut umumnya diawasi oleh pihak bank.48

c. Masa berlakunya kontrak Kontrak mudarabah umumnya digunakan untuk tujuan perdagangan

jangka pendek (short term commercial) yang dapat dengan mudah menentukan masa berlakunya kontrak dan ketentuan tersebut yang umumnya berlaku pada bank-bank Islam. Dengan mengetahui batas berakhinya kontrak, tingkat keuntungan yang akan diperoleh dari pinjaman bank akan dapat dihitung

46 Abdullah Saeed, Islamic Bank…, hal. 99.47 Ibid., hal. 100-101.48 Ibid., hal. 101.

Page 63: At-Tasyri' V2 N1

53

PROFIT AND LOSS SHARING DaN aPliKaSiNya PaDa PErBaNKaN Syari’ah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

dan diketahui hasilnya, di samping itu juga penting bagi pihak bank untuk mengakhiri pembiayaan mudarabah dan modal bank akan dikembalikan sesuai batas waktu yang ditentukan dalam kontrak. International Islamic Bank for Investment and Development (IIBID), menyebutan kontrak secara otomatis akan diberhentikan sebelum masa kontrak. Mudarib harus mengembalikan dana pinjaman kontrak mudarabah kepada investor, apabila mudarib ternyata diketahi membiarkan dana tersebut selama berlangsungnya masa kontrak tanpa menunjukkan produktifitasnya.49.

d. Jaminan Bank Islam mengambil inisiatif meminta jaminan untuk meyakinkan

bahwa modal yang dipinjamkan kepada nasabah (mudarib) diharapkan kembali seperti semula sesuai dengan ketentuan awal ketika berlangsungnya kontrak. Meskipn dalam hukum Islam dijelaskan, bahwa investor tidak diperkenankan meminta jaminan (garansi) dari mudarib. Namun pihak bank mengatakan bahwa jaminan tidak dimaksudkan untuk memastikan kembalinya modal yang telah dipinjamkan, akan tetapi untuk meyakinkan bahwa mudarib benar-benar melaksanakan segala ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak.50

Pada Faisal Islam Bank of Mesir disebutkan :Jika terbukti mudarib tidak memanfaatkan dana atu tidak menjaga barang dagangan sebagaimana mestinya berdasarkan ketentuan persyaratan dari invesor, di mana mudarib mengalami kerugian, maka jaminan yang diberikan dijadikan sebagai ganti atas kerugian yang dialaminya. Jika tidak cukup, maka mudarib harus memberikan tambahan jaminan dalam jangka waktu yang ditentukan.51

e. PLS (Profit and Loss Sharing) Bank Islam dalam melaksanakan kontrak mudarabah membuat

kesepakatan dengan nasabah (mudarib) mengenai tingkat perbandingan keuntungan (profit ratio) yang ditentukan dalamkontrak. Perbandingan keuntungan tersebut dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya: Kesepakatan

49 Ibid., hal. 102.50 Ibid., hal. 103.51 Ibid., hal. 103.

Page 64: At-Tasyri' V2 N1

54

FauZi SalEh

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

dari nasabah (mudarib), prediksi keuntungan yang akan diperoleh, respon pasar, kemampuan memasarkan barang, dan juga berlakunya kontrak. Jika kontrak mudarabah ternyata tidak menghasilkan keuntungan, maka mudarib selaku pengelola usaha tersebut mendapatkan gaji/upah dari pekerjaannya.

Apabila terjadi kerugian, bank menanggung kerugian tersebut sepanjang tidak terbukti bahwa muhdarib tidak menyelewengkan atau terjadi kesalahan manajemen dari dana mudarabah berdasarkan atas persyaratan kontrak yang telah disepakati dengan investor namun jika terbukti akibat kecerobohan pihak mudarib, maka di yang berhak menanggung kerugian tersebut. Dalam kasus tersebut, barang jaminan yang dijadikan sarana pertanggungjawaban harus diberikan kepada bank.52

f. Manfaat mudarabah 1) Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat

keuntungan usaha nasabah meningkat. 2) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah

pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank hingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.

3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.

4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang bear-benar halal, aman dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.

5) Prinsip bagi hasil dalam mudarabah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jam bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.53

g. Resiko mudarabah Resikonya terutama pada penerapannya dalam pembiayaan relatif

52 Ibid., hal. 10553 Muhammad Syafi’ie Antonio, Bank Syariah… hal. 97-98.

Page 65: At-Tasyri' V2 N1

55

PROFIT AND LOSS SHARING DaN aPliKaSiNya PaDa PErBaNKaN Syari’ah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

tinggi. Di antaranya:1) Side streaming; nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang

disebut dalam kontrak;2) Lalai dan kesalahan yang disengaja;3) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak

jujur.54

G. KesimpulanSetelah membaca beberapa referensi, penulis melihat bahwa aplikasi

konsep mudarabah dalam dunia perbankan syariah sudah sesuai dengan ketentuan syariat, hanya saja ada beberapa hal, yang merupakan persyaratan tambahan seperti adanya jaminan (guarantee), yang hakekatnya tidak dibolehkan. Tapi mengingat semakin rusaknya zaman, banyak mudarib yang membawa lari modal investor atau menyalahi kontrak yang disepakati, maka menurut penulis hal tersebut tidaklah mengapa.

Dari uraian di atas pula dapat dipahami bahwa perbankan lebih condong menggunakan bentuk mudarabah muqayyadah. Menurut hemat penulis, bentuk ini lebih mudah bagi bank menggunakan untuk melakukan kontrol terhadap usaha yang dilakukan mudarib. Disamping itu, bank dapat membatalkan kontrak bila memantau bahwa mudarib tidak melakukan ketentuan yang disepakati pada saat kontrak.

Penulis juga berpendapat bahwa mudarabah muthlaqah itu dapat dilakukan bila pelaksana (mudarib) itu sudah benar-benar memiliki skill yang memadai, dia dapat mengukur bentuk usaha yang dapat mencapai profit yang memuaskan, dengan kata lain, mudarib yang dapat membaca pasar dengan baik.

Supaya bisnis Islami dapat berjalan lancar, maka perlu:a. Membersihkan jiwa dan ruh yang kotor, lalu memupuknya dengang

sifat amanah, sehingga timbulnya sifat saling percaya antara investor dan mudarib.

b. Membekali para mudârib berupa pelatihan bisnis ekonomi Islami produktif, yang halal lagi thayyib.

c. Bersifat transfaransi, dengan prinsip la darara wa la dirar

54 Ibid., hal. 98.

Page 66: At-Tasyri' V2 N1

56

FauZi SalEh

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

d. Hendaknya usaha didanai Bank Islam merupakan jelas usaha yang halal.

e. Disamping memiliki softwarenya yang syari’ah, namun hendaknya bank Islam memiliki sistem yang tak kalah dengan bank-bank konvensional.

Page 67: At-Tasyri' V2 N1

57

PROFIT AND LOSS SHARING DaN aPliKaSiNya PaDa PErBaNKaN Syari’ah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

DAFTAR PUSTAKA

Alquran

Al-Zuhayli, Wahbah. Fiqh al-Islâm wa adillatuh, Cet. VII. Suria: Dar al-Fikr, 1997.

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah, Cet. VI. Jakarta: GIP, 2001.

Ibn Qudamah. al-Mughni. Juz 5. Riyadh: Maktabat al-Riyad al-Hadithah, 1981.

Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid wa nihâyat al-muqtashid. Semarang: Toha Putra Semarang: t.th..

Saeed, Abdullah. Islamic Bank, diterjemahkan Muhammad Ufuqul Mubin, dkk. dengan judul Bank Islam dan Bunga, Cet. I. Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2003.

al-Sarakhsi, Syams al-Din. al-Mabsut. Juz 22. Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1414 H.

Sarkaniputra, Murasa. Hutanku, Hutanmu, Hutan Kita semua. Bogor: Yayasan Bina Lingkungan Gunung Salak, 2003.

Siddiqi,Muhammad Najetullah. Issues in Islamic Bank, diterjemahkan oleh Asep Hikmat Suhendi, dengan judul Bank Islam. Bandung: Pustaka, 1984.

Page 68: At-Tasyri' V2 N1

58

FauZi SalEh

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

PERJANJIAN BAGI HASIL

PROYEK/USAHA

PEMBAGIAN KEUNTUNGAN

MODAL

Mudhârib BankKeahlian Modal 100%

NisbahX %

NisbahY %

Pengambilan modal

(RABB AL-MÂL/INVESTOR) dan MUDHÂRIB

Lampiran:

Page 69: At-Tasyri' V2 N1

Nevi Hasnita

Abstract

The development of shari’ah economic growth in Indonesia has supported the effort legislation of shari’ah economic law. One of the ways is to produce Kompilasi Hukum Islam Ekonomi Syari’ah (KHES) that stipulated based on PERMA no. 2 years 2008. KHES compiled based on the need of the reference for economic shari’ah material law. Due to Law no. 3 year 2006, Religious Court authorized to judge the shariah economic cases. The authority should be completed with the material law to avoid from the disparity of law decision. KHES has been formatted in two years through the long process for a law and accommodate the muamalah principles of Quran and Hadis and enriched with qawaid Fikihiyyah. However, the product should be upgraded and re-evaluated. But, we must confess that the existence of KHES is a positive development of shariah economic side for moslem in Indonesia.

Kata kunci: Positifikasi, ekonomi syari’ah, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.

POSITIFIKASI HUKUM EKONOMI SYARI’AH DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

(Kajian terhadap Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah)

Dosen Fakultas Syari’ah dan Kandidat Doktor pada IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh

Page 70: At-Tasyri' V2 N1

60

NEvi haSNiTa

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

A. Pendahuluan Ekonomi syari’ah telah berkembang pesat di Indonesia sejak tahun 1992 sampai sekarang. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah bank umum syari’ah dan BPRS, yang saat ini telah ada empat Bank Umum Syari’ah dengan 114 kantor cabang dan pembantu Bank Syari’ah. Berdasarkan sudut pandang sosiologi hukum, hal ini merupakan cerminan menguatnya kesadaran hukum syari’ah di kalangan masyarakat muslim Indonesia.1 Pada awalnya perkembangan ekonomi syari’ah hanya dipandang sebagai gejala umum yang muncul di masyarakat tanpa diakomodir secara formal dalam aturan perundang-undangan. Namun demikian, perkembangan yang semakin pesat telah mendorong upaya positifikasi dan legislasi prinsip-prinsip ekonomi syari’ah ke dalam undang-undang nasional. Babak baru perkembangan ekonomi syari’ah ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan lahirnya Undang-undang ini, maka kewenangan mengadili sengketa ekonomi syari’ah menjadi wewenang absolut lembaga Peradilan Agama yang sebelumnya menjadi wewenang Peradilan Umum. Pada pasal 49 point i UU No 3/2006 disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syari’ah.2 Hal ini membawa implikasi besar terhadap Undang-Undang lain yang terkait, sehingga perlu dilakukan amandemen undang-undang yang telah ada ataupun penambahan undang-undang/aturan baru. Kewenangan ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi para hakim mengingat hukum ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab Fikih dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional. Perkembangan selanjutnya dalam bidang ekonomi syari’ah ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Kehadiran undang-undang ini telah memperkuat eksistensi perbankan syari’ah dan meningkatkan pertumbuhan kegiatan atau industri ekonomi syari’ah di Indonesia. Secara psikologis, Undang-undang ini juga

1 Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 12. 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Terhadap Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, pasal 49 point i.

Page 71: At-Tasyri' V2 N1

61

POSiTiFiKaSi huKum EKONOmi Syari’ah Dalam SiSTEm huKum iNDONESia

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

memberikan rasa tentram bagi masyarakat karena telah memiliki payung hukum untuk melaksanakan apa yang menjadi kesadaran agamanya. Meskipun demikian, kehadiran kedua UU ini (UU No.3 Tahun 2006 dan UU No. 21 Tahun 2008) belum menjawab semua kebutuhan hukum umat Islam dalam bidang muamalah. Substansi hukum materil kedua UU ini sangat terbatas, padahal materi hukum yang harus diatur sangat luas. Oleh karena itu, kehadiran kitab undang-undang hukum materil tentang ekonomi syari’ah yang komprehensif sangat dibutuhkan.3 Menyikapi masalah ini, Dewan Syari’ah Nasional - MUI telah mengeluarkan 53 fatwa yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah. Namun tetap saja fatwa ini tidak memenuhi kebutuhan akan hukum materil ekonomi syari’ah karena sifatnya yang tidak mengikat dan muatannya sangat terbatas. Keadaan inilah yang membuat Mahkamah Agung bertindak proaktif membentuk tim perumus kitab undang-undang hukum materil ekonomi syari’ah yang kemudian dikenal dengan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES). Landasan yuridis KHES ini adalah PERMA Nomor 2 Tahun 2008 dan disahkan pada tanggal 10 September 2008 untuk menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama dalam mengadili sengketa ekonomi syari’ah, sehingga disparitas keputusan dapat dihindari. Dari segi landasan yuridis, KHES berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHES disahkan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung, sedangkan KHI berdasarkan instruksi presiden. Hal ini menunjukkan bahwa landasan hukum KHES lebih rendah dibandingkan dengan KHI. Padahal kedudukan instruksi presiden (Inpres) saja tidak jelas dalam hierarki perundang-undangan Indonesia, apalagi PERMA yang hanya sebagai petunjuk teknis dari Mahkamah Agung kepada instansi di bawahnya. Sekilas, kedudukan KHES dalam hierarkhi perundang-undangan ini jelas belum memenuhi target umat Islam Indonesia akan hukum materil ekonomi syari’ah. Lahirnya Kompilasi Hukum Ekonomi syari’ah (KHES) ini merupakan salah satu bentuk positifikasi hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional. Secara singkat positifikasi dapat didefinisikan dengan ”pengundangan hukum normatif menjadi hukum positif”. Oleh karena itu KHES dapat

3 M. Arfin Hamid, Membumikan Ekonomi Syari’ah di Indonesia: Perspektif sosio Yuridis, (Jakarta: Elsas, 2008), hal. 43.

Page 72: At-Tasyri' V2 N1

62

NEvi haSNiTa

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

dikatakan sebagai positifikasi hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional karena ia merupakan penyerapan aturan atau norma fikih menjadi undang-undang yang berlaku secara nasional atau menjadi hukum positif.4 KHES terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, dan 796 Pasal. Buku pertama mengatur tentang subjek hukum dan harta, memuat 3 bab 19 pasal. Buku II mengatur tentang Aqad dan perikatan, memuat 29 bab 655 pasal. Buku III mengatur tentang Zakat dan Hibah memuat 4 bab 60 pasal, dan buku IV mengatur tentang Akuntansi syari’ah, memuat 7 bab 62 pasal.5 Dari substansinya cakupan KHES ini masih sangat terbatas jika dihadapkan dengan tuntutan perkembangan ekonomi syari’ah dengan segala problematikanya. Mengacu pada UU No. 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah yang meliputi: a. Bank Syari’ah; b. Lembaga keuangan mikro syari’ah; c. Asuransi syari’ah; d. Reasuransi Syari’ah; e. Reksadana Syari’ah; f. Obligasi Syari’ah dan surat berharga jangka panjang; g. Sekuritas Syari’ah; h. Pembiayaan syari’ah; i. Penggadaian syari’ah; j. Dana Pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k. Bisnis syari’ah (penjelasan Pasal 49 ayat 1). Dengan substansi KHES di atas, banyak sekali bidang bisnis yang hukum materilnya tidak diakomodir dalam KHES. Dari perspekstif ini kehadiran KHES yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hukum materil bagi hakim masih perlu dipertanyakan kembali. Berbicara tentang legislasi materi hukum ekonomi Islam menjadi hukum positif maka ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu substansi hukum/undang-undang, bentuk dan proses perundang-undangan.6 Kajian terhadap subtansi dimaksudkan untuk mengetahui prinsip, doktrin yang ada dalam kitab fikih, bentuk ijtihad serta fatwa ulama apa saja yang sudah diakomodir dalam aturan perundang-undangan tersebut. Kajian terhadap substansi ini juga diperlukan untuk melihat kesesuaiannya dengan realitas hukum dan kebutuhan masyarakat. Selanjutnya kajian terhadap bentuk, dimaksudkan untuk mengetahui jangkauan berlakunya sesuai dengan tingkatan hirarkis

4 Agustianto, Menggagas Fikih Muamalah Kontemporer, dalam www. Badilag.net, diakses tgl 15 Maret 2008, hal. 4 5 Asep Nursobah, Indeks Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, dalam www. Badilag.net, diakses tgl 15 Maret 2008, hal. 1.6 Suhartono, Prospek Legislasi Fikih Muamalah dalam Sistem Hukum Nasional, dalam www. Badilag.net, diakses tanggal 1 Maret 2009, hal. 6

Page 73: At-Tasyri' V2 N1

63

POSiTiFiKaSi huKum EKONOmi Syari’ah Dalam SiSTEm huKum iNDONESia

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

perundang-undangan di negara Republik Indonesia, juga relasinya dengan produk hukum yang lain. Sedangkan dalam hal proses, untuk mengetahui bagaimana langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dan pihak terkait lainnya dalam perumusan dan penyusunan undang-undang tersebut, juga politik hukum yang melatarinya. Hal inilah yang ingin dikaji dalam tulisan ini dengan melihat kepada substansi, bentuk dan proses penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) serta relevansinya dalam menjawab kebutuhan umat Islam Indonesia.

B. Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah di Indonesia Amandemen UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah membawa implikasi besar terhadap perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas. Amandemen ini juga membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Karena selama ini wewenang untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW). Ketika wewenang mengadili sengketa hukum ekonomi syari’ah menjadi wewenang absolut hakim pengadilan agama melalui UU No.3/2006, maka secara otomatis dibutuhkan adanya kodifikasi hukum ekonomi syari’ah yang lengkap agar memiliki kepastian hukum dan para hakim memiliki rujukan standar dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa bisnis syari’ah. Kebutuhan akan hukum materil ekonomi syari’ah ini merupakan sebuah keniscayaan, mengingat hukum ekonomi syari’ah telah dipraktekkan secara luas oleh masyarakat Indonesia, sebagaimana dalam bidang perkawinan, warisan dan waqaf, yang telah diakomodir oleh lahirnya KHI (Kompilasi Hukum Islam) sebagai sumber hukum materilnya. Berdasarkan sudut pandang dan realitas hukum di atas, maka hukum ekonomi syari’ah yang berasal dari fikih muamalah yang telah dipraktekkan dalam aktifitas di lembaga keuangan syari’ah, memerlukan wadah perundang-undangan agar memudahkan penerapannya di lembaga-lembaga keuangan syari’ah tersebut. Karena itulah, kebutuhan akan Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam sangat mendesak sifatnya dalam konteks Indonesia.

Page 74: At-Tasyri' V2 N1

64

NEvi haSNiTa

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

Kenyataan lain yang membuat perumusan KHES ini sangat urgen adalah karena sifat dari Fikih itu sendiri yang kaya akan perbedaan pendapat. Artinya, jika dalam pengambilan keputusan di Pengadilan para hakim merujuk kepada Fikih muamalah, maka akan sangat potensial terjadi perbedaan keputusan hukum. Untuk itulah diperlukan sebuah kitab rujukan untuk menjamin adanya kepastian hukum sebagai dasar pengambilan keputusan di Pengadilan. Terlebih lagi dengan karakteristik bidang muamalah yang bersifat “elastis dan terbuka” sangat memungkinkan bervariasinya putusan-putusan pengadilan yang nantinya sangat potensial dapat menghalangi pemenuhan rasa keadilan. Dengan sejumlah alasan logis di atas, lahirnya Kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah dalam sebuah Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata Islam adalah sebuah keniscayaan.

C. Proses Legislasi Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) Lahirnya KHES adalah tindak lanjut dari amandemen UU N0. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU No. 3 Tahun 2006. Undang-Undang hasil amandemen ini memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa dalam 11 bidang ekonomi syari’ah. Kewenangan mengadili ini tentu harus dilengkapi dengan pedoman dalam pengambilan keputusan (hukum materil) agar tidak terjadi disparitas dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu lahirlah KHES bertujuan untuk mengisi kekosongan dan kebutuhan hukum materil ekonomi syari’ah. Dengan perluasan kewenangan tersebut, Pengadilan Agama tidak hanya berwenang menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan sadaqah saja, melainkan juga menangani permohonan pengangkatan anak (adopsi), sengketa zakat, infaq, sengketa hak milik dan keperdataan lainnya antara sesama muslim, serta sengketa ekonomi syari’ah.7 Berkaitan dengan wewenang baru Pengadilan Agaman ini, Pasal 49 yang mengatur tentang kewenangan PA ini diubah menjadi: ”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus

dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e.

7 Abdul Mughits, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah: Peluang dan Tantangan”, dalam Al-Mawarid, Edisi XVIII Tahun 2008, hal. 143.

Page 75: At-Tasyri' V2 N1

65

POSiTiFiKaSi huKum EKONOmi Syari’ah Dalam SiSTEm huKum iNDONESia

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari’ah.”

Penjelasan untuk huruf i (ekonomi syari’ah): ”Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau

kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi: a. bank syari’ah; b. lembaga keuangan mikro syari’ah; c. asuransi syari’ah; d. reasuransi syari’ah; e. reksadana syari’ah; f. obligasi dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; g. sekuritas syari’ah; h. pembiayaan syari’ah; i. pegadaian syari’ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k. bisnis syari’ah.”8

Setelah UU No. 3/2006 tersebut diundangkan, Ketua Mahkamah Agung membentuk Tim Penyusunan KHES berdasarkan surat keputusan Nomor: KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20 Oktober 2006 yang diketuai oleh Abdul Manan. Tugas dari tim tersebut adalah menghimpun dan mengolah materi yang diperlukan untuk penyusunan kompilasi, menyusun draft naskah, menyelenggarakan diskusi dan seminar yang mengkaji draft naskah tersebut dengan lembaga, ulama dan para pakar, menyempurnakan naskah, dan melaporkan hasil penyusunan tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung RI. Adapun langkah-langkah atau tahapan yang telah ditempuh oleh tim tersebut adalah:1. Menyatukan pola pikir (united legal opinion) dalam bentuk seminar

ekonomi syari’ah pada tanggal 21-23 April 2006 dan seminar di Yogyakarta pada tanggal 4-6 Juni 2006. Pembicara dalam dua seminar tersebut adalah para pakar ekonomi syari’ah, baik dari perguruan tinggi, DSN/MUI, Basyarnas, dan para praktisi perbankan syari’ah (Bank Muamalat) serta para hakim dari lingkungan peradilan umum dan Pengadilan Agama.

2. Mencari format yang ideal (united legal frame work) dalam bentuk pertemuan dengan BI dalam rangka mencari masukan tentang segala hal yang berlaku pada BI terhadap ekonomi syari’ah dan sejauh mana pembinaan yang telah dilakukan oleh BI terhadap perbankan syari’ah.

8 Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang amandemen UU No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Page 76: At-Tasyri' V2 N1

66

NEvi haSNiTa

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

Acara tersebut dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 7 Juni 2006. Selain itu juga telah dilaksanakan Semiloka tentang ekonomi syari’ah di Jakarta tanggal 20 November 2006. Pembicara dalam acara tersebut adalah para pakar ekonomi syari’ah dari BI, Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah (PKES), MUI, Ikatan Para Ahli Ekonomi Syari’ah dan para praktisi hukum.

3. Melaksanakan kajian pustaka (library research) yang disesuaikan dengan pembagian empat kelompok di atas. Untuk melengkapi referensi, Tim KHES telah melakukan studi banding ke Pusat Kajian Ekonomi Islam Universitas Islam Internasional Kuala Lumpur, Pusat Takaful Malaysia Kuala Lumpur, Lembaga Keuangan Islam dan Lembaga Penyelesian Sengketa Perbankan di Kuala Lumpur pada tanggal 16-20 November 2006. Studi banding juga dilaksanakan ke Pusat Pengkajian Hukum Ekonomi Islam Universitas Islam Internasional Islamabad, Shariah Court Pakistan, Mizan Bank Islamabad Pakistan, Bank Islam Pakistan dan beberapa lembaga keuangan shariah di Pakistan. Kunjungan ini dilaksanakan pada tanggal 25-27 Juni 2007.

4. Tahap pengolahan dan analisis bahan dan data-data yang sudah terkumpul. Draft KHES yang disusun dalam tahap pertama sebanyak 1.015 pasal dilaksanakan selama empat bulan. Kemudian diadakan pembahasan dan diskusi tentang isi materi draft KHES tersebut.9

Selanjutnya, Tim perumus inti KHES juga melakukan pembahasan materi dan isi draft KHES tersebut dalam beberapa kegiatan, yaitu:1. Diskusi pertama pada tanggal 14-16 Juni 2007 di Cianjur Bogor. Hasil

dari diskusi tersebut adalah kesepakatan untuk penyempurnaan draft terutama dalam sistematika, metodologi, dan beberapa materi yang belum masuk.

2. Pertemuan dengan para konsultan pada tanggal 27-28 Juli 2007 di Bandung. Hasil dari pertemuan ini adalah kesepakatan bahwa dari segi sistematika dan metodologi KHES sudah memadai, tetapi dari segi substansi perlu disempurnakan lagi, terutama yang berhubungan dengan wanprestasi (cidera janji), perbuatan melawan hukum, ganti rugi dan overmach. Selain

9 Abdul Mughits Abdul Mughits, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah: Peluang…, hal. 144.

Page 77: At-Tasyri' V2 N1

67

POSiTiFiKaSi huKum EKONOmi Syari’ah Dalam SiSTEm huKum iNDONESia

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

itu, hal-hal yang menyangkut sanksi dan pidana harus dihapus karena menjadi kewenangan legislatif.

3. Finalisasi dalam satu bulan ke depan sejak pertemuan di atas. Hasil final dari semua pembahasan tersebut adalah KHES hanya memuat 845 pasal dengan format yang lebih singkat dan tambahan isi yang lebih padat.

Setelah melewati beberapa tahap penggodokan di atas, barulah KHES ini disahkan pada tanggal 10 September 2008 dalam bentuk PERMA Nomor 2 Tahun 2008. dengan demikian, KHES ini dapat menjadi pedoman dan pegangan bagi para Hakim Pengadilan Agama dalam mengadili sengketa ekonomi syari’ah. Tahapan atau proses penyusunan KHES diatas, jika dicermati ternyata dapat digolongkan singkat sekali, yaitu kurang lebih 2 tahun. Padahal KHES adalah kompilasi hukum positif yang tentunya menghendaki format baku dan komprehensif. Jika dibandingkan dengan tahapan dan proses penyusunan KHI dahulu yang memerlukan waktu sampai 4 tahun (1988-1991) dan proses pematangan yang berulang-ulang, sangat jelas perbedaannya dengan proses dan nuansa hukum pada saat penyusunan KHES. Kenyataan ini disebabkan karena belakangan ini telah terjadi gejala baru dalam politik hukum nasional di mana hukum Islam semakin mendapatkan tempat yang sangat luas dalam sistem hukum dan perundang-undangan nasional. Faktor pendukung lain menurutnya adalah gerakan ”islamisasi” ilmu pengetahuan dan praktek kehidupan umat Islam belakangan ini yang semakin massif. Disamping itu, banyaknya umat Islam yang peduli terhadap pemberlakuan hukum Islam di gelanggang politik dan lembaga-lembaga tinggi negara juga tidak bisa dinafikan perannya.10

Karena proses perumusannya yang relatif singkat ini, maka KHES ini jelas bukan merupakan sesuatu yang sudah final pembahasannya. Artinya, ketika KHES ini disosialisasikan, tetap diperlukan pembahasan kritis untuk penyempurnaan dari berbagai pihak, sehingga dapat mencapai format yang ideal. Secara garis besar perbandingan isi Draft KHES I dan II adalah:

10 Ibid., hal. 146.

Page 78: At-Tasyri' V2 N1

68

NEvi haSNiTa

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

Uraian Draft I Draft AkhirJumlah pasal 1040 pasal 845 pasalMateri/Isi Bab I: Kecakapan

Hukum, Pengampuan dan Keterpaksaan;Bab II: Harta;Bab III: Akad;Bab IV: Zakat;Bab V: Hibah

Bab I: Subyek Hukum dan Harta;Bab II: Akad;Bab III: Zakat dan Hibah;BabIV: Akuntansi Syari’ah.

Redaksi/bahasa Lebih banyak terminologi Fikih

Istilah bahasa Indonesia lebih diuatamakan, baru kemudian dipadankan dengan terminologi Fikih.

D. Penyerapan Nash-nash Alquran dan Hadis serta Fikih Muamalah ke dalam KHES Secara garis besar dapat dikatakan bahwa isi dari KHES telah merujuk kepada sumber-sumber hukum yang semestinya. Yang dimaksud sumber-sumber hukum di sini adalah sumber hukum Islam dan sumber lainnya yang dijadikan rujukan dalam penyusunan KHES. Sebagaimana diketahui, bahwa sumber hukum Islam itu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) sumber-sumber hukum yang disepakati (masadir al-ahkam al-muttafaq ’alayha atau sering disebut sumber-sumber utama, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas; dan (2) sumber-sumber hukum yang diperselisihkan (masadir al-ahkam al-mukhtalaf fiha), yaitu Istihsan, Istislah (al-Maslahah al-Mursalah), Sadd Dhara’i’, ’Urf, Istishab, Madhhab Sahabi, Syar’ Man Qablana, dan Dalalah al-Iqtiran.11 Dalam penyusunan KHES, nampak sekali telah merujuk ke banyak sumber, di samping sumber-sumber pokok juga sumber-sumber pendukung. Perujukan kepada Alquran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas dapat dilihat secara general dari ketentuan-ketentuan tentang harta, akad, jual beli, jual beli salam, dll. Sedangkan perujukan terhadap sumber-sumber yang diperselisihkan, dapat dilihat dari kasus per kasus. Misalnya dalam penggunaan dalil istihsan

11 Nasroen Haroen, Ushul Fikih, (Nasroen Haroen, 2000; 32).

Page 79: At-Tasyri' V2 N1

69

POSiTiFiKaSi huKum EKONOmi Syari’ah Dalam SiSTEm huKum iNDONESia

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

yang dapat dilihat dari kebolehan jual beli pesanan (bay’ al-salam) dan istisna’, meskipun hal itu pernah dipraktekkan pada masa sahabat. Dalil maslahat atau istislah, ’urf juga sudah banyak mewarnai dalam pasal-pasal KHES.12 Perujukan KHES terhadap nash Alquran sangat dimungkinkan karena banyak sekali ayat-ayat dalam alquran yang berbicara tentang norma-norma dasar hukum ekonomi dan keuangan. Ayat-ayat hukum ekonomi yang diserap ke dalam substansi KHES seperti:

a. Surah al-Mutaffifin ayat 1 – 4.b. Surah al-Maidah ayat 1.c. Surah al-Nisa’ ayat 29.

Selanjutnya, penyerapan Hadis sebagai sumber kedua hukum Islam juga cukup proporsional dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Beberapa nash Hadis yang diserap itu antara lain:

a. la darara wala dirara (tidak boleh membuat kemudharatan pada diri sendiri dan orang lain).

b. innama al-bay’ ‘an tarad (jual beli harus atas dasar saling meridhai)c. Al-bay’an bi al-khiyar ma lam yatafarraqa (penjual dan pembeli boleh

melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah).13

Namun demikian, penyerapan Hadis ini terkadang dapat menimbulkan beberapa permasalahan yang mendasar seperti (1) otentisitas Hadis, karena tidak semua Hadis berkualitas shahih; (2) perbedaan budaya dalam tata cara jual beli dan kegiatan ekonomi; dan (3) pergeseran nilai kebiasaan atau ’urf. Oleh karena itu dalam proses penyusunan draf KHES, penulis menilai bahwa Tim penyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah ini perlu melibatkan pakar Hadis guna penelusuran dan penentuan otentisitas Hadis-Hadis yang dijadikan dasar. Sebagaimana nash-nash al-Quran dan al-Hadis, kaidah-kaidah usuliyah dan Fiqhiyyah juga banyak digunakan dalam merumuskan kompilasi hukum ekonomi syari’ah. Kaidah-kaidah ushuliyah yang digunakan sebagai acuan dalam perumusan kompilasi hukum ekonomi syari’ah antara lain adalah:

a. al-asl fi al-amr li al-wujub (asal dari perintah adalah wajib).

12 Abdul Mughits, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah: Peluang dan Tantangan”, dalam Al-Mawarid, Edisi XVIII Tahun 2008, hal. 146.13 Abdul Mughits, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah: Peluang…, hal. 154.

Page 80: At-Tasyri' V2 N1

70

NEvi haSNiTa

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

b. al-asl fi al-nahy li al-tahrim (asal dari larangan adalah haram).c. al-‘ibrat bi ‘umum al-lafzh la bikhusus al-sabab (yang dijadikan pedoman

adalah keumuman lafazh bukan kekhususan sebab yang melatarinya). Di samping Kaidah Usuliyyah di atas, ada juga Kaidah-kaidah Fiqhiyyah yang digunakan sebagai acuan dalam perumusan kompilasi hukum ekonomi syari’ah antara lain adalah:

a. al-asl fi al-mu’amalat al-ibahah illa an yadulla dalil ‘ala tahrimiha (pada dasarnya semua bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya).

b. al- dhararu yuzal (bahaya harus dihilangkan).c. al-‘adat muhakkamah (adat kebiasaan [yang baik] dapat dijadikan

hukum). Sekalipun KHES telah merujuk pada sumber-sumber pokok di atas, namun tetap saja substansi Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tersebut perlu di bahas secara terbuka dan massal, sehingga bisa menjadi ijma’ ulama se-indonesia. Disamping itu, juga ada beberapa substansi (isi pasal- pasal dalam KHES) yang terkait sekali dengan fatwa-fatwa DSN, baik dalam formula yang hampir sama ataupun merujuk sebagian saja. Keterkaitan itu dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

No. Fatwa DSN-MUI Materi Fatwa Penyerapan KHESNo.: 5/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Salam Jenis-jenis Jual BeliNo.: 6/DSN-MUI/IV/2000 Bai’ al-Istisna’ Jenis-jenis Jual Beli No.: 4/DSN-MUI/IV/2000 Murabahah Jual Beli

MurabahahKonversi AkadMurabahah

No.:16/DSN-MUI/IX/2000 Diskon dalam Murabahah

No.:47/DSN-MUI/II/2005 Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah tidak Mampu Membayar

No.:48/DSN-MUI/II/2005 Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah

No.:49/DSN-MUI/II/2005 Konversi Akad Murabahah

Page 81: At-Tasyri' V2 N1

71

POSiTiFiKaSi huKum EKONOmi Syari’ah Dalam SiSTEm huKum iNDONESia

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

No.: 8/DSN-MUI/2000 Pembiayaan Musyarakah

Kontrak Kerjasama (Syirkah)

No.: 9/DSN-MUI/2000 Pembiayaan Ijarah Sewa MenyewaNo.: 10/DSN-MUI/2000 Wakalah Wakalah

(Pemberian Kuasa)No.: 11/DSN-MUI/2000 Kafalah Penjaminan

(Kafalah) No.: 12/DSN-MUI/2000 Hiwalah Pemindahan

Hutang (Hiwalah)No.: 21/DSN-MUI/2001No.: 39/DSN-MUI/2002

Pedoman UmumAsuransi Syari’ahAsuransi haji

Asuransi

E. Kedudukan KHES dalam Hierarkhi Perundang-undangan Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa landasan yuridis KHES adalah berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2008. Landasan yuridis ini berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres). Hal ini menunjukkan bahwa landasan hukum KHES lebih rendah dibandingkan dengan KHI. Padahal kedudukan Instruksi Presiden (Inpres) saja tidak jelas dalam hierarki perundang-undangan Indonesia, apalagi PERMA yang hanya sebagai petunjuk teknis dari Mahkamah Agung kepada instansi di bawahnya. Kedudukan KHES dalam hierarkhi perundang-undangan ini jelas belum memenuhi target dan kebutuhan umat Islam Indonesia akan hukum materil ekonomi syari’ah. Idealnya kedudukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah ini harus lebih kuat dari PERMA dan Instruksi Presiden (Inpres) sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa KHES tersebut dapat digunakan oleh Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah. Namun demikian dalam pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa perujukan kepada KHES ini tidak boleh mengurangi tanggungjawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.14

14 PERMA No. 2 Tahun 2008.

Page 82: At-Tasyri' V2 N1

72

NEvi haSNiTa

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

Penentuan landasan hukum KHES yang hanya berdasarkan PERMA ini tentu dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan dan kondisi politik hukum yang melatarinya. Karena logikanya, legislasi fikih muamalah dalam bentuk undang-undang, prosesnya akan lebih sulit daripada bentuk peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan dibawahnya. Namun demikian, lahirnya aturan tentang hukum materi ekonomi syari’ah –sebagai bagian dari fikih muamalah- adalah terobosan penting yang sangat potensial untuk pengembangan ekonomi syari’ah ketingkat selanjutnya.

F. Eksistensi KHES dan Relevansinya dengan Kebutuhan dan Pengembangan Ekonomi Syari’ah di Indonesia.

Jika dikaji berdasarkan term Fikih yang merupakan (1) ilmu tentang hukum syara’; (2) hukum Syara’ tersebut berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang bersifat praktis dan konkret, serta (3) pengetahuan itu diperoleh dengan cara ijtihad atau istidlal, yaitu mencurahkan segala potensi dan kesempatan dalam rangka mencapai kesimpulan hukum yang diderivatkan dari sumber pokoknya, maka KHES dapat dikategorikan sebagai produk pemikiran Fikih karena mencakup empat unsur di atas, yaitu berisi tentang hukum Islam (Syari’at); hukum tersebut tentang perbuatan mukallaf yang bersifat konkret; bahwa hukum tersebut digali dengan menggunakan metode ijtihad dan istidlal; dan hukum praktis itu digali dari sumber-sumbernya, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’ dan rasio (ra’y). Dengan demikian, KHES adalah Fikih yang sudah bercorak ke-Indonesia-an, karena lahirnya sebagai respon terhadap kebutuhan umat Islam akan penerapan hukum ekonomi di Indonesia. Ciri atau sifat lain dari Fikih adalah bahwa secara umum Fikih itu bersifat zanni (relatif) ketika masih dalam tingkatan produk pemikiran, sehingga tidak mengikat setiap muslim. Tetapi, ketika Fikih itu naik menjadi qanun atau hukum positif atau menjadi rujukan dalam keputusan hakim di pengadilan maka secara otomatis akan mengikat setiap umat Islam atau para pihak. Dalam konteks ini, karena KHES merupakan bentuk dari peng-qanun-an terhadap Fikih, maka eksistensi KHES menjadi kuat dan mengikat para pihak. Kaitannya dengan materi Fikih, penulis sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa masih banyak substansi KHES yang masih perlu dikaji dan disempurnakan kembali. Seperti dalam ketentuan Akad, KHES tidah

Page 83: At-Tasyri' V2 N1

73

POSiTiFiKaSi huKum EKONOmi Syari’ah Dalam SiSTEm huKum iNDONESia

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

menyebutkan asas-asas pokok dalam hukum akad (perjanjian), yakni asas ibahah, kebebasan berakad, konsensualisme, janji itu mengikat, keseimbangan, kemaslahatan, amanah, dan keadilan. Padahal asas-asas ini sangat penting sebagai pertimbangan filosofis dalam mengembangkan reinterpretasi hukum-hukum muamalat ke dalam cakupan yang lebih luas, karena ketika hukum sudah dibakukan maka akan semakin mempersempit cakupannya. Sebaliknya KHES lebih banyak menyebutkan kaidah-kaidah Fiqhiyyah dalam satu rangkaian yang belum diklasifikasikan jenis, cakupan dan fungsinya, padahal setiap topik itu memerlukan kaidah-kaidah tersebut sebagai landasan filosofisnya. Hal demikian dapat mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penerapannya, karena masih banyak ikhtilaf dalam hukum mu’amalat di kalangan ulama. Persoalan itu akan muncul ketika para pihak yang bertikai adalah para pakar dalam hukum muamalat. Persoalan lain yang juga muncul dalam isi Bab III KHES tentang Akad adalah pembahasannya yang terlalu global dan tidak disebutkannya sub-sub topik penting dalam akad. Hal ini akan menimbulkan masalah ketika muncul perkara yang tidak ter-cover dalam KHES, sehingga penafsiran hakim yang “dipaksakan” nantinya justru akan menimbulkan masalah lain, yaitu rasa keadilan para pihak. Di sinilah perlunya format hukum yang lebih rinci, sehingga dapat menjawab banyak persoalan. Karena jika hukum itu terlalu global, maka perbedaan tak dapat terelakkan, mengingat para hakim mempunyai paradigma dan perspektif yang berbeda-beda. Contoh lain adalah dalam ketentuan Mudharabah tidak disebutkan ketentuan jaminan, padahal masalah jaminan dalam mudharabah termasuk topik yang sangat populer dalam praktek di Lembaga Keuangan Syari’ah saat ini.15 Selanjutnya dalam akad qard juga tidak disinggung tentang status hukum riba, sementara larangan riba merupakan poin penting dalam kegiatan perbankan syari’ah dan ekonomi Islam. Tetapi disebutkan bahwa biaya administrasi dalam akad Qard dibebankan kepada nasabah, dengan tanpa diberi batasan. Hal ini akan menimbulkan masalah ketika kreditur menafsirkan secara berlebihan yang terlalu membebani debitur. Dalam ketentuan zakat tanam-tanaman dan buah-buahan juga tidak disebutkan ketentuan nisabnya, sedangkan jenis harta yang lainnya

15 Abdul Mughits, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah: Peluang…, hal. 153.

Page 84: At-Tasyri' V2 N1

74

NEvi haSNiTa

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

disebutkan semua. Hal ini akan menyisakan masalah dalam prakteknya nanti ketika menentukan besarnya nisab dari objek yang terkena wajib zakat. Demikian juga, dalam ketentuan zakat ini tidak disebutkan kriteria para mustahiq dan muzakki. Hal-hal pokok yang demikian semestinya harus disebutkan dengan jelas dalam KHES sebagai kitab pedoman hukum materil muamalah, dan ini jelas masih membutuhkan penyempurnaan kembali. Dengan komposisi isi yang 80% tentang akad, KHES ini belum cukup representatif dalam mengcover keseluruhan hukum materil ekonomi Islam yang memiliki 11 item sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 3 Tahun 2006 tersebut. Meskipun demikian, kehadiran KHES ini telah menampung sebagian aspirasi hukum masyarakat dalam bidang ekonomi Islam sehingga dapat memelihara dan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, dan mampu berperan sebagai perekayasa (social enginering) masyarakat muslim Indonesia.

G. Penutup Berdasarkan pembahasan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan penting sebagai berikut:1. Proses legislasi Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) ke dalam

sistem hukum nasional Indonesia sudah memenuhi persyaratan dan prosedur sebuah undang-undang. Namun demikian tetap sulit untuk langsung mendapatkan landasan hukum sebagai sebuah UU atau Kitab Hukum materil Ekonomi syari’ah, terbukti pada landasan hukum KHES yang hanya berdasarkan PERMA.

2. Dalam penyusunannya KHES telah merujuk kepada sumber-sumber pokok hukum Islam seperti al-Quran dan Hadis, kaidah-kaidah Fikih, serta sumber-sumber pendukung lainnya seperti istihsan, maslahat mursalat, istihsan dan fatwa-fatwa DSN-MUI.

3. Sekalipun tidak memiliki landasan hukum yang kuat dalam hirarkhis perundang-undangan Indonesia (hanya dengan PERMA), namun KHES akan memiliki peranan yang cukup besar dalam mengisi kekosongan hukum materil dalam bidang ekonomi syari’ah.

4. Dilihat dari substansinya, ada beberapa poin isi KHES yang masih perlu penyempurnan seperti pada persoalan aqad, jaminan mudharabah, qardh dan ketentuan zakat. Di samping itu isi KHES ini juga belum

Page 85: At-Tasyri' V2 N1

75

POSiTiFiKaSi huKum EKONOmi Syari’ah Dalam SiSTEm huKum iNDONESia

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

sepenuhnya memenuhi tuntutan hukum materil yang diinginkan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dimana hakim pengadilan agama diberikan kewenangan mengadili 11 bidang ekonomi syari’ah. Artinya KHES ini tidak memuat semua hukum materil dari 11 bidang dalam ekonomi syari’ah ini.

Page 86: At-Tasyri' V2 N1

76

NEvi haSNiTa

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

DAFTAR PUSTAKA

Agustianto. Menggagas Fikih Muamalah Kontemporer, dalam www. Badilag.net, diakses tgl 15 Maret 2008.

Ali, Zainuddin. Hukum Ekonomi Syari’ah. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Hamid, M. Arfin. Membumikan Ekonomi Syari’ah di Indonesia: Perspektif sosio Yuridis. Jakarta: Elsas, 2008.

Mughits, Abdul. “Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah: Peluang dan Tantangan”, dalam Al-Mawarid. Edisi XVIII Tahun 2008.

Nursobah, Asep. Indeks Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, dalam www. Badilag.net, diakses tgl 15 Maret 2008.

Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang amandemen UU No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

PERMA No. 2 Tahun 2008.

Suhartono. Prospek Legislasi Fikih Muamalah dalam Sistem Hukum Nasional, dalam www. Badilag.net, diakses tanggal 1 Maret 2009.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, pasal 49 point i.

Page 87: At-Tasyri' V2 N1

Rahmat Pramulya

Abstract

Zakah, infaq and sadaqah are considered a central position in the Islamic economy that have significant implications for human welfare. Use of these institutions of Islamic charity for poverty alleviation however, involves some major challenges arising out of differences in Shariah rules governing their management. This is the focus of the present paper that is based on a case study of Ikhtiar Program in Bogor region of Indonesia. The Program uses an “additive” approach by involving multiple institutions - Organization Pengelola Zakat and Baytul Maal Bogor to mobilize and distribute amanah funds (zakah) and non-amanah funds (infaq, sadaqa and other forms of donations and grants) respectively for the economic empowerment of communities through the provision of Shariah-compliant microfinance services. Program Ikhtiar also involves other organizations, such as, Peramu Foundation as the empowerment organization and Baytul Ikhtiar as the cooperative organization. The strategic role of each institution is uniquely different, but is influenced by the expectation and perception of the beneficiaries of the Program. The present study undertakes an investigation into factors - internal and external - that are key determinants of an overall

STRATEGI PENGELOLAAN ZAKAT INFAK SEDEKAH

UNTUK USAHA PRODUKTIF(STUDI KASUS PROGRAM IKHTIAR DI WILAYAH BOGOR)

Dosen Prodi Mu’amalah STAI Teungku Dirundeng Meulaboh-Aceh BaratAlumnus S2 IPB, Jurusan Agrobisnis

Page 88: At-Tasyri' V2 N1

78

rahmaT Pramulya

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

A. Pendahuluan Zakat adalah ibadah maliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis, dan menentukan baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Pengumpulan zakat, infak, dan sedekah masyarakat Indonesia oleh lembaga pengelola zakat sudah berlangsung lama sebelum disahkan UU No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Sejak berlakunya UU No 38 tahun 1999, pada tingkat nasional terdapat BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan di seluruh propinsi terdapat Badan Amil Zakat tingkat Propinsi dan hampir sebagian besar kota dan kabupaten telah memiliki Badan Amil Zakat Daerah. Selain itu terdapat 18 Lembaga Amil Zakat Nasional yang beroperasi di seluruh Indonesia dan Lembaga Amil Zakat Daerah yang dikukuhkan oleh Walikota atau Bupati setempat. Pada tahun 2009 potensi zakat nasional diperkirakan mencapai 12,3 - 12,7 trilyun rupiah. Dari jumlah tersebut, potensi penghimpunan dana zakat oleh BAZ dan LAZ adalah 911 milyar dan 884 milyar (Wibisono, 2009). Pendayagunaan zakat menghadapi tantangan ke depan mengingat angka kemiskinan meningkat Survei statistik BPS (Badan Pusat Statistik) pada bulan Maret 2006 menyebutkan bahwa terdapat 39,30 juta jiwa atau sekitar 17,75 % dari total penduduk Indonesia dalam kategori miskin.

strategy of poverty alleviation through microenterprise development. Results based on Importance Performance (IPA) Matrix Analysis shows that provision of financial services along with skill-development of poor women is expected to enhance the probability of success and achieving desired outcomes. Other components of a successful strategy are: (i) enhance cooperation between the BAZ/LAZ for community empowerment; (ii) create a sustainable innovation-based Shariah-compliant microfinance; (iii) create a Management Information System for the Peramu Community with a knowledge management approach; and (iv) establish and manage a Center for Community Empowerment. The study also highlights specific strategic responses on the part of the muzakki, amil zakat and mustahiq for the program to be successful.

Kata kunci: Strategi, ZIS, ikhtiar.

Page 89: At-Tasyri' V2 N1

79

STraTEgi PENgElOlaaN ZaKaT iNFaK SEDEKah uNTuK uSaha PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

Penanggulangan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat namun cenderung menggunakan pendekatan karitatif seperti P2KP, BLT Raskin, Program bantuan seperti ini memiliki kelemahan yaitu membuat mereka tergantung dan menumpulkan semangat swadaya. Pendekatan penanggulangan kemiskinan perlu diubah dengan pendekatann pemberdayaan melalui proses pendampingan. Pendekatan ini dilakukan oleh Komunitas Peramu. Pendekatan yang telah dilakukan Yayasan Peramu selama kurun waktu (1980 – 2009) menggunakan sistem BMT yang melibatkan tiga model lembaga yaitu organisasi pengelola zakat, BM Bogor; organisasi qiradh atau komersial, KBMT dan BPRS; dan organisasi penjamin resiko pembiayaan, Baytut Ta’min. Baytul Maal Bogor sendiri merupakan bagian dari Komunitas Peramu yang merupakan komunitas lembaga keuangan mikro syariah yang terdiri dari Koperasi BMT, BPRS, Koperasi dan Agency Takaful Mikro Indonesia. Peran strategis Baytul Maal Bogor adalah memobilisasi dan mendistribusikan dana-dana amanah zakat dan non zakat (infak/sedekah, wakaf, hibah dan lainnya) untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal ini dilatar belakangi atas keterbatasan pendekatan kelembagaan BMT dalam menghimpun dana amanah sedangkan sebagian besar mustahik tidak dapat mengakses lembaga keuangan mikro syariah lainnya (BMT dan BPRS).

B. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Teoritis a. Manajemen Strategi Strategi adalah cara untuk mencapai tujuan-tujuan jangka panjang. Strategi berupa tindakan yang memerlukan keputusan manajemen puncak dan sumber daya perusahaan untuk merealisasikannya1.

b. Analisa Lingkungan Menurut David, analisa lingkungan merupakan proses pemantauan lingkungan perusahaan baik eksternal maupun internal untuk

1 FR. David, Manajemen Strategis: Konsep-konsep, Edisi bahasa Indonesia (terj.), Kresno Saroso, (Jakarta: INDEKS Kelompok GRAMEDIA, 2006).

Page 90: At-Tasyri' V2 N1

80

rahmaT Pramulya

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

mengidentifikasikan faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.2

c Perumusan Strategi Teknik perumusan strategi yang penting dapat diintegrasikan ke dalam kerangka kerja pembuatan keputusan tiga tahap, yaitu (1) Tahap Masukan, (2) Tahap Pencocokan dan (3) Tahap Keputusan.

d. Konsep Pelayanan (Service) Pelayanan adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak pada pihak lain dan pada dasarnya tidak berwujud, serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu (Kotler, 1999).

e. Konsep Service Quality Menurut Parasuraman et al. (1985) ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam kualitas layanan, yaitu sebagai berikut:

1. Kualitas layanan sulit dievaluasi oleh pelanggan daripada kualitas barang.

2. Persepsi kualitas layanan dihasilkan dari perbandingan antara kepuasan pelanggan dan layanan yang diberikan secara nyata.

3. Evaluasi kualitas tidak semata-mata diperoleh dari hasil akhir sebuah layanan, tetapi juga mengikutsertakan evaluasi dari proses layanan tersebut.

Metode Importance Performance Analysis (IPA) dengan tujuan untuk mengukur hubungan antara persepsi konsumen dan prioritas peningkatan kualitas produk/jasa yang dikenal pula sebagai quadrant analysis.

f. Zakat untuk Usaha Produktif Al Qur’an dan Hadits telah menjelaskan secara terperinci tentang pihak-pihak (asnaf) yang berhak menerima zakat. Allah SWT berfirman dalam Surat At Taubah ayat ke-60 : ”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,

orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang

2 Ibid.

Page 91: At-Tasyri' V2 N1

81

STraTEgi PENgElOlaaN ZaKaT iNFaK SEDEKah uNTuK uSaha PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Hafidhuddin menyatakan bahwa zakat yang diberikan kepada asnaf fakir dan miskin dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi keperluan konsumsi sehari-hari mereka dan bersifat produktif yaitu untuk menambah modal usaha.3

g. Pengelolaan Zakat di Indonesia Pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Menurut Karim dan Syarief (2008), keberadaan pengelolaan zakat tidak terlepas dari kedua fenomena yang terdiri dari faktor penarik (pull factor) berupa semangat menyadarkan umat, semangat melayani secara profesional, semangat berinovasi membantu mustahik dan semangat memberdayakan masyarakat, dan faktor pendorong (push factor) berupa potensi penghimpunan dana zakat yang besar, regulasi yang mulai mendukung, infrastruktur IT yang mendukung dan tingkat kesadaran masyarakat yang meningkat. 2. Pendekatan Sistem dalam Pengelolaan Zakat Pengelolaan Zakat terkait dengan kebijakan pemerintah berarti kegiatan pengumpulan dan penyaluran untuk mencapai sangat kompleks dan harus didekatkan secara sistematik.4 (Muhammad, 2008). a. Keuangan Mikro di Indonesia Keuangan Mikro di Indonesia memiliki keanekaragaman yang tinggi. Keuangan Mikro merupakan alat yang cukup penting untuk mewujudkan

3 Didin Hafifuddin, Agar Harta Berkah dan Bertambah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2007).4 Sahri Muhammad, ”Pentingnya Penataan Zakat Demi Perbaikan di Masa Mendatang” Jurnal Zakat dan Empowering Volume 1 – Sya’ban 1429/Agustus 2008, (Jakarta: Circle of Information and Development, 2008).

Page 92: At-Tasyri' V2 N1

82

rahmaT Pramulya

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

pembangunan dalam tiga hal sekaligus yaitu pertama menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan (Profi, 2005). Kehadiran Lembaga Keuangan Mikro dirasakan dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Hal ini tidak terlepas dari sifat yang fleksibel serta memiliki kedekatan dan keeratan dengan masyarakat. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan keuangan syariah, maka berkembang pula Lembaga Keuangan Mikro yang menggunakan prinsip syariah seperti Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Maal wat Tamwil (BMT). BPRS melayani segmen pelaku usaha UKM formal dan BMT melayani nasabah UKM informal5 (Wijono, 2005).

3. Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang digunakan sebagai perbandingan penelitian ini berasal dari penelitian lembaga penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan penelitian tesis dari IPB, UI dan ITB. Penelitian tersebut berhubungan dengan pelaksanaan program zakat untuk usaha produktif yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ)/Lembaga Amil Zakat (LAZ) terhadap mustahik sebagai upaya pemberdayaan kegiatan ekonomi dan sebagai upaya pengentasan kemiskinan. Penelitian lainnya yang berhubungan dengan perencanaan strategis dengan mempergunakan alat analisa SWOT; serta yang berhubungan dengan persepsi konsumen terhadap pelayanan dan pengukuran kualitas pelayanan.

4. Kerangka Pemikiran Program Ikhtiar di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor berkaitan pemberdayaan berbasis komunitas (community based empowerment) melalui pelayanan keuangan mikro (microfinance services) dengan mekanisme kelompok (parcipatory group) yang ditujukan secara khusus bagi kaum perempuan dari keluarga berpenghasilan rendah (women of the poor or

5 WW. Wijono, “Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional : Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan : Kajian Ekonomi dan Keuangan”, Edisi Khusus Desember 2005. http://www.iei.or.id/publication.php?q=nfo&id=30. Diakses pada tanggal 10 Januari 2008.

Page 93: At-Tasyri' V2 N1

83

STraTEgi PENgElOlaaN ZaKaT iNFaK SEDEKah uNTuK uSaha PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

low income families).6 (Assadullah, 2007). Kerangka pemikiran konseptual penelitian ini bertujuan menghasilkan rekomendasi strategi yang berdasarkan atas prioritas strategi pengembangan Program Ikhtiar dan persepsi penerima manfaat Program Ikhtiar

Program Ikhtiar

Identifikasi Faktor Internal

Persepsi Penerima Manfaat Program Ikhtiar

Identifikasi Faktor Eksternal

Perumusan Strategi Program Ikhtiar

Prioritas Strategi Program Ikhtiar

Rekomendasi Strategi Program Ikhtiar

Gambar 1. Kerangka pemikiran konseptual

C. Metode Penelitian 1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan terhadap Program Ikhtiar bertempat di Kota dan Kabupaten Bogor yang dilaksanakan oleh BM Bogor bersama dengan Yayasan Peramu dan Koperasi Baitul Ikhtiar Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Maret 2009.

6 M., Asy’ari Assadullah, M. Hasan, A. Laela dan Soleh. ”Inovasi Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Pendekatan Agama” di dalam Warta Gubernur, Jurnal Otonomi dan Pembangunan Daerah Vol. 2 Tahun 1, Februari 2007, ( Jakarta: Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, 2007).

Page 94: At-Tasyri' V2 N1

84

rahmaT Pramulya

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

2. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang dilakukan menggunakan desain penelitian dengan delapan perspektif.

3. Data yang diperlukan dan Sumbernya Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Data dan Informasi Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan desain penelitian cross sectional melalui wawancara mendalam dengan sejumlah pertanyaan yang telah disusun sebelumnya dan responden menerima kuesioner sebagai panduan.

5. Teknik Pengambilan Contoh Teknik pengambilan contoh yang digunakan adalah metoda non propability sampling (sampling tidak berpeluang) dimana responden ditentukan secara sengaja (purposive sampling).

6. Teknik Pengolahan dan Analisa Data Langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menentukan strategi pendayagunaan zakat untuk usaha produktif Program Ikhtiar adalah perumusan strategi, analisa persepsi, dan prioritas strategi.

D. Gambaran Umum Obyek Penelitian 1. Baitul Maal Bogor Baitul Maal Bogor (BM Bogor) adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didirikan pada 1 Muharram 1420 H atau 17 april 1999 dengan status sebagai lembaga otonom di bawah Yayasan Peramu. Pada 18 Agustus 2003 Baytul Maal Bogor berubah menjadi Yayasan Baytul Maal Bogor menjadi lembaga independen terpisah dari Yayasan Peramu. Visi BM Bogor adalah “terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam ekonomi, sosial, budaya dan politik, mengedepankan rasa persaudaraan dan kasih sayang serta menguatkan dan membela kaum yang terpinggirkan”. Misi BM Bogor adalah bekerjasama

Page 95: At-Tasyri' V2 N1

85

STraTEgi PENgElOlaaN ZaKaT iNFaK SEDEKah uNTuK uSaha PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

dengan berbagai institusi dan kelompok masyarakat yang peduli untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pemiskinan melalui optimalisasi pendayagunaan zakat dan non zakat serta penyadaran aghniya – aqwiya dan pencerahan dhu’afa – mustad’afin. Tujuan didirikan BM Bogor adalah untuk memberdayakan ekonomi rakyat dengan mengoptimalkan pemanfaatan dana-dana amanah baik zakat maupun non zakat (infaq, shadaqah, wakaf dan hibah) dengan membentuk kerjasama sinergi dengan berbagai lembaga sejenis atau yang memiliki sikap dan kepedulian yang sama terhadap realita pengentasan kemiskinan.

2. Program Ikhtiar Program Ikhtiar merupakan program pemberdayaan berbasis komunitas (community based empowerment) melalui pelayanan keuangan mikro (microfinance services) dengan mekanisme kelompok (parcipatory group) yang ditujukan secara khusus bagi kaum perempuan dari keluarga berpenghasilan rendah (women of the poor or low income families). Program Ikhtiar adalah sebuah kerjasama program pendayagunaan ZIS antara BM Bogor dan jaringannya untuk menjangkau keluarga miskin di perkotaan dan pedesaan (urban and rural poor). Program ini dimulai pada akhir tahun 1999 di wilayah pedesaan Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor serta kawasan miskin perkotaan di kota Bogor pada tahun 2002.

E. Hasil dan Pembahasan 1. Faktor-Faktor Lingkungan Strategis Faktor-faktor lingkungan strategis berkaitan atas faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal yang memiliki pengaruh terhadap perumusan strategi. Setiap faktor memiliki peran yang sama di dalam tahapan perumusan strategi. Perbedaan bobot pada masing-masing faktor menggambarkan derajat kepentingan faktor terhadap faktor lainnya di dalam analisa lingkungan internal dan eksternal.

2. Faktor Lingkungan Internal Analisa dilakukan terhadap lingkungan internal Program Ikhtiar dengan tujuan untuk mendapatkan faktor kekuatan dan faktor kelemahan yang memiliki pengaruh di dalam perumusan strategi.

Page 96: At-Tasyri' V2 N1

86

rahmaT Pramulya

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

Faktor-Faktor Lingkungan Internal Program Ikhtiar

Strengths (Kekuatan) 1. Pemahaman perencana komunitas peramu terhadap fikih keuangan

mikro syariah 2. Proses partisipatif dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring

evaluasi di dalam Program Ikhtiar 3. Kemampuan Baytul Maal Bogor, Yayasan Peramu dan Koperasi Baik

untuk menjalin kerjasama dengan pihak eksternal dalam pengembangan Program Ikhtiar

4. Kemampuan perencana komunitas peramu yang terlibat dalam Program Ikhtiar

5. Proses internalisasi nilai-nilai budaya organisasi dalam Program Ikhtiar 6. Pengalaman dan keahlian Tim Pendamping Lapang Program Ikhtiar 7. Pola Pengembangan SDM Program Ikhtiar8. Sistem Informasi Manajemen Syirkah yang dimiliki Program Ikhtiar

Weaknesess (Kelemahan) 1. Peran Posisi lembaga internal Komunitas Peramu dalam Program

Ikhtiar 2. Aspek-aspek bisnis yang terkait di dalam pengembangan organisasi

UPK Ikhtiar menjadi Koperasi Baik3. Pelaporan dan analisa terhadap program dan keuangan yang terbuka

dan mudah diakses 4. Dana pendampingan bagi Program Ikhtiar 5. Kegiatan Pemasaran (termasuk sosialisasi dan promosi) yang terencana,

terjadwal dan bertarget

Tabel 1. Faktor-Faktor Lingkungan Internal

3. Faktor Lingkungan Eksternal Analisa dilakukan terhadap lingkungan eksternal Program Ikhtiar dengan tujuan untuk mendapatkan faktor ancaman dan faktor peluang yang memiliki dampak di dalam perumusan strategi. Faktor lingkungan merupakan faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh Program Ikhtiar tetapi memiliki pengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan jangka panjang serta memiliki relevansi atau keterkaitan di dalam merumuskan strategi.

Page 97: At-Tasyri' V2 N1

87

STraTEgi PENgElOlaaN ZaKaT iNFaK SEDEKah uNTuK uSaha PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

a. Persepsi Mustahik Penilaian terhadap Program Ikhtiar yang berkaitan dengan pelayanan keuangan mikro syariah dapat diamati dari kegiatan yang diperuntukkan kepada penerima manfaat dan bagaimana harapan mereka terhadap kegiatan tersebut. Sehingga pelaksana program dapat mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukan dan menyusun prioritas perbaikan kegiatan pelayanan.

Faktor-Faktor Lingkungan Eksternal Program Ikhtiar

Opportunities (Peluang)1. Keberadaan komunitas professional muslim yang peduli terhadap isu-

isu pemberdayaan masyarakat dan kemiskinanPotensi dana zakat yang belum dihimpun di masyarakat

2. Pemahaman dan minat masyarakat terhadap nilai-nilai syariah 3. Kerjasama diantara OPZ (LAZ dan BAZ) yang ada4. Perundangan-undangan, kebijakan dan peraturan pemerintah pusat

dan daerah terhadap keuangan mikro dan zakat 5. Potensi sumber daya alam di wilayah Program Ikhtiar 6. Dukungan pejabat terhadap keberadaan Program Ikhtiar 7. Keberadaan teknologi informasi yang berbasis internet

Threats (Ancaman) 1. Harga kebutuhan pokok dan harga sarana produksi yang fluktasi dan

cenderung naik2. Budaya dan Tradisi masyarakat yang menghambat keberhasilan

Program Ikhtiar3. Tingkat Pendidikan masyarakat dan anggota Program Ikhtiar yang

rendah4. Program keuangan mikro yang bersifat hibah tanpa perlu pengembalian

dana 5. Persaingan di dalam industri keuangan mikro

Tabel 2.Faktor-Faktor Lingkungan Eksternal

b. Tingkat Kinerja Atribut Pelayanan Hasil kuesioner di Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat atribut yang memiliki kinerja yang paling tinggi yaitu petugas yang ramah (4,57 dalam skala 5) dimana atribut ini berkaitan dengan petugas lapang yang

Page 98: At-Tasyri' V2 N1

88

rahmaT Pramulya

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

memberikan pelayanan dengan ramah, sopan dan akrab.

c. Tingkat Kepentingan Atribut Pelayanan Hasil kuesioner di Tabel 3 menunjukkan penerima manfaat memiliki kepentingan yang paling tinggi terhadap atribut petugas yang ramah (4,74 dalam skala 5) dan ini berkaitan dengan harapan mereka terhadap pentingnya petugas lapang yang dapat berkomunikasi sehingga memberikan kemudahan dalam proses pelayanan.

No Atribut Pelayanan Tingkat Kinerja Tingkat Kepentingan1 Modal Kerja 4,38 4,402 Pertemuan 4,46 4,433 Pelatihan 4,13 4,224 Pendampingan 3,18 3,895 Identitas 4,09 4,516 Prosedur 4,31 4,367 Petugas Ramah 4,57 4,748 Materi Pelatihan 4,26 4,419 Terpecaya 4,46 4,5910 Evaluasi 4,16 4,2811 Penguatan 4,01 4,2112 Pendidikan 4,16 4,2113 Permasalahan 4,40 4,4814 Penguasaan 3,81 4,1415 Konsisten 4,13 4,2016 Kegiatan Sosial 4,38 4,5517 Rekomendasi 4,28 4,1918 Kesungguhan 4,53 4,56

4,21 4,35

Tabel 3. Tingkat Kinerja dan Tingkat Kepentingan Atribut Pelayanan

d. Analisa terhadap Penilaian Atribut Pelayanan Penilaian yang dilakukan oleh penerima manfaat program berkaitan dengan tingkat harapan dan penilaian kinerja atas pelayanan keuangan

Page 99: At-Tasyri' V2 N1

89

STraTEgi PENgElOlaaN ZaKaT iNFaK SEDEKah uNTuK uSaha PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

mikro syariah Program Ikhtiar yang meliputi variabel-variabel Service Quality yang terdiri dari lima dimensi yaitu tangible (bukti fisik), reliability (keandalan), responsiveness (ketanggapan), assurance (jaminan) dan emphaty (empati). Analisa yang dilakukan terhadap penilaian tersebut dilakukan dengan menggunakan Importance Performance Analysis (IPA) yang dapat diinterpertasikan melalui analisa diagram kartesius.

Kuadran I (Prioritas Utama)

Kuadran IV(Berlebihan)

Kuadran III (Prioritas Rendah)

Kuadran I I(Pertahankan

Prestasi)

Gambar 2. Diagram Kartesius

1) Penyusunan Grand Strategi Penyusunan grand strategi menggunakan tahap pencocokan terhadap faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal. Pencocokan dilakukan dari kombinasi diantara faktor-faktor Strengths (Kekuatan) dan Weaknesess (Kelemahan) di Tabel 4 dan Threats (Ancaman) dan Opportunities (Peluang) di Tabel 5 ke dalam sebuah matriks di Tabel 6.

Page 100: At-Tasyri' V2 N1

90

rahmaT Pramulya

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

Strengths (Kekuatan) = 0,6321. Pemahaman perencana komunitas peramu terhadap fikih keuangan mikro syariah (0,088)2. Proses partisipatif dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring evaluasi di dalam Program

Ikhtiar (0,086)3. Kemampuan Baytul Maal Bogor, Yayasan Peramu dan Koperasi Baik untuk menjalin

kerjasama dengan pihak eksternal dalam pengembangan Program Ikhtiar (0,084)4. Kemampuan perencana komunitas peramu yang terlibat dalam Program Ikhtiar (0,082)5. Proses internalisasi nilai-nilai budaya organisasi dalam Program Ikhtiar (0,078)6. Pengalaman dan keahlian Tim Pendamping Lapang Program Ikhtiar (0,077)7. Pola Pengembangan SDM Program Ikhtiar (0,074)8. Sistem Informasi Manajemen Syirkah yang dimiliki Program Ikhtiar (0,063)

Weaknesess (Kelemahan) = 0,3681. Peran lembaga internal Komunitas Peramu dalam Program Ikhtiar yang tidak sinergi

(0,086)2. Aspek-aspek bisnis yang terkait di dalam pengembangan organisasi UPK Ikhtiar menjadi

Koperasi Baik (0,074)3. Saluran media pelaporan dan analisa terhadap program dan keuangan yang tidak terbuka

dan tidak mudah diakses (0,073)4. Dana pendampingan bagi Program Ikhtiar yang terbatas (0,068)5. Kegiatan Pemasaran (termasuk sosialisasi dan promosi) yang tidak terencana dan terjadwal

bertarget (0,066)

Tabel 4. Faktor Strengths (Kekuatan) dan Weaknesess (Kelemahan)

Opportunities (Peluang) = 0,6011. Keberadaan komunitas professional muslim yang peduli terhadap isu-isu pemberdayaan

masyarakat dan kemiskinan (0,087)2. Potensi dana zakat yang belum dihimpun di masyarakat (0,081)3. Pemahaman dan minat masyarakat terhadap nilai-nilai syariah (0,081)4. Kerjasama diantara OPZ (LAZ dan BAZ) yang ada (0,079)5. Perundangan-undangan, kebijakan dan peraturan pemerintah pusat dan daerah terhadap

keuangan mikro dan zakat (0,079)6. Potensi sumber daya alam di wilayah Program Ikhtiar (0,073)7. Dukungan pejabat terhadap keberadaan Program Ikhtiar (0,067)8. Keberadaan teknologi informasi yang berbasis internet (0,054)

Threats (Ancaman) = 0,3991. Harga kebutuhan pokok dan harga sarana produksi yang fluktasi dan cenderung naik

(0,092)2. Budaya – Tradisi – Etos Kerja masyarakat yang menghambat keberhasilan Program Ikhtiar

(0,085)3. Tingkat Pendidikan masyarakat dan anggota Program Ikhtiar (0,081)4. Program keuangan mikro yang bersifat hibah tanpa perlu pengembalian dana (0,073)5. Persaingan di dalam industri keuangan mikro (0,068)

Tabel 5. Faktor Opportunities (Peluang) dan Threats (Ancaman)

Page 101: At-Tasyri' V2 N1

91

STraTEgi PENgElOlaaN ZaKaT iNFaK SEDEKah uNTuK uSaha PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

Strategi SOCiptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang1. Pengembangan wakaf tunai (S1,S3, S4,

O1, O3, O5, O6)2. Kerjasama diantara BAZ/LAZ

untuk menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat (S1, S2, S3, S4, S5, S6, O1, O2, O4, O5, O6)

Strategi WOCiptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang1. Kerjasama pemanfaatan dana CSR

perusahaan dan PKBL BUMN (W4, W5, O1, O6)

2. Menciptakan Sistem Informasi Manajemen Komunitas Peramu dengan pendekatan Knowledge Management (W1, W2, W3, W5, O1, O2, O3, O6, O8)

Strategi STCiptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman1. Menciptakan inovasi berkelanjutan yang

berbasis kepada keuangan mikro syariah (S1, S2, S3, S4, S5, S6, T4, T5)

Strategi WTCiptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk mengatasi ancaman1. Menyelenggarakan Pusat Pelayanan

untuk Pemberdayaan Masyarakat (W1, T1, T2, T3)

Tabel 6. Matriks SWOT

2) Perumusan Strategi Perumusan strategi berdasarkan grand strategi yang didapat melalui pencocokan faktor-faktor lingkungan strategis di dalam matriks SWOT dan dengan mengikutsertakan analisa penilaian terhadap atribut pelayanan yang berasal dari Diagram Kartesius di Gambar 1. Strategi tersebut adalah sebagai berikut

a) Pengembangan wakaf tunai Pengalaman hampir tiga dekade dalam mengembangkan

program pemberdayaan masyarakat dengan basis keuangan mikro membuktikan perencana Komunitas Peramu dapat merespons peluang pengembangan keuangan mikro syariah sebagai faktor strategis.

Keberadaan wakaf tunai dapat menjadi salah satu alternatif pembiayaan bagi Program Ikhtiar mengingat penyelenggaraan pelayanan keuangan mikro masih memerlukan perbaikan di beberapa variabel pelayanan yaitu variabel penguatan, pendidikan, penguasaan, pelatihan, konsisten, pendampingan.

Page 102: At-Tasyri' V2 N1

92

rahmaT Pramulya

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

b) Kerjasama diantara BAZ/LAZ untuk menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat

Pelayanan keuangan mikro Program Ikhtiar memiliki keunggulan bagi penerima manfaat di dalam beberapa variabel pelayanan yaitu variabel petugas ramah, kegiatan sosial, terpecaya, kesungguhan, permasalahan, pertemuan, modal kerja, materi pelatihan dan prosedur. Selain itu kekuatan lainnya terdapat di dalam proses partisipatif dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring evaluasi Program Ikhtiar dan pengalaman dan keahlian dari tim pendamping lapang. Keunggulan adalah keberadaan Sistem Informasi Manajemen Syirkah yang bertujuan mengefisienkan pengelolaan data keuangan. Keunggulan dan kekuatan ini dapat direplikasi melalui program pemberdayaan masyarakat yang digagas bersama dengan BAZ/LAZ di wilayah Bogor.

c) Menciptakan inovasi berkelanjutan yang berbasis kepada keuangan mikro

Inovasi dimulai dari kompetensi dasar yang berasal dari keunggulan dan kekuatan Program Ikhtiar yaitu keunggulan variabel pelayanan dan kekuatan faktor internal organisasi Program Ikhtiar. Keunggulan berasal dari variabel petugas ramah, kegiatan sosial, terpecaya, kesungguhan, permasalahan, pertemuan, modal kerja, materi pelatihan dan prosedur. Kekuatan organisasi berasal dari proses partisipatif dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring evaluasi Program Ikhtiar dan pengalaman dan keahlian dari tim pendamping lapang; serta keberadaan Sistem Informasi Manajemen Syirkah yang bertujuan mengefisienkan pengelolaan data keuangan.

d) Kerjasama Pemanfaatan Dana CSR Perusahaan dan PKBL BUMN

Perusahaan swasta berdasarkan UU No 76 Tahun 2008 tentang Perseroan Terbatas menetapkan kewajiban perusahaan menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang merupakan bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR). Pelaksana Program Ikhtiar perlu memanfaatkan dana CSR untuk mengembangkan program dan menjangkau wilayah sekitar perusahaan. Adanya kerjasama ini juga dapat mengatasi keterbatasan

Page 103: At-Tasyri' V2 N1

93

STraTEgi PENgElOlaaN ZaKaT iNFaK SEDEKah uNTuK uSaha PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

dana pendampingan. Kerjasama pemanfaatan dana CSR perusahaan dan PKBL BUMN

juga dapat menjadi salah satu alternatif pembiayaan bagi Program Ikhtiar mengingat penyelenggaraan pelayanan keuangan mikro masih memerlukan perbaikan di beberapa variabel pelayanan yaitu variabel penguatan, pendidikan, penguasaan, pelatihan, konsisten, pendampingan.

e) Menciptakan Sistem Informasi Manajemen Komunitas Peramu dengan pendekatan Knowledge Management

Program Ikhtiar perlu menciptakan Sistem Informasi Manajemen (SIM) Komunitas Peramu dengan pendekatan Knowledge Management. SIM ini diperuntukkan untuk meningkatkan peran posisi lembaga internal Komunitas Peramu dalam Program Ikhtiar. Selama ini sinergisitas masih lemah di dalam merencanakan program dan mendukung keberlanjutan pembiayaan penerima manfaat. Keberadaan SIM akan mengatasi kelemahan program dari aspek peloporan dan analisa terhadap program dan keuangan yang terbuka dan mudah diakses. SIM dapat mengintegrasikan kegiatan komunikasi pemasaran kepada publik melalui situs integrasi milik Komunitas Peramu.

f) Menyelenggarakan Pusat Pelayanan untuk Pemberdayaan Masyarakat

Pusat ini mengikutsertakan peran lembaga internal Komunitas Peramu. Penyertaan mereka dalam menginisiasi pusat pelayanan diharapkan akan meningkatkan kepedulian dan peran aktif diantara anggota komunitas. Pusat Pelayanan untuk Pemberdayaan Masyarakat akan memperkuat identitas Program Ikhtiar. Sehingga dapat dilakukan perbaikan terhadap atribut pelayanan identitas.

Pusat pelayanan akan mengatasi keterbatasan pendidikan penerima manfaat dan masyarakat. Selain itu untuk melayani dan memberikan advokasi terhadap permasalahan sosial yang dialami masyarakat. Bentuk kegiatan yang akan diselenggarakan diantaranya adalah melatih penerima manfaat Program Ikhtiar dan masyarakat, melakukan pendampingan usaha keluarga miskin dan pelaku mikro dari aspek adminitrasi usaha, aspek produksi dan aspek pemasaran;

Page 104: At-Tasyri' V2 N1

94

rahmaT Pramulya

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

dan memberikan bimbingan dalam mengelola aset ekonomi rumah tangga.

Selain itu penyelenggaraan pusat pelayanan menjadi alternatif perbaikan pada beberapa variabel pelayanan yaitu variabel penguatan, pendidikan, penguasaan, pelatihan, konsisten, pendampingan.

e. Prioritas Strategi Prioritas Strategi dilakukan terhadap alternatif strategi dengan menggunakan Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif (QSPM). Berdasarkan penilaian responden yang menjadi alternatif strategi yang terbaik adalah strategi menciptakan inovasi berkelanjutan yang berbasis kepada keuangan mikro syariah. Tabel 7 memperlihatkan Matriks QSPM dengan keenam strategi sebagai berikut, yaitu1. Strategi 1 : Pengembangan wakaf 2. Strategi 2 : Kerjasama diantara BAZ/LAZ untuk menyelenggarakan

program pemberdayaan masyarakat 3. Strategi 3 : Menciptakan inovasi berkelanjutan yang berbasis kepada

keuangan mikro syariah 4. Strategi 4 : Kerjasama pemanfaatan dana CSR perusahaan dan BKL

BUMN5. Strategi 5 : Menciptakan Sistem Informasi Manajemen Komunitas Peramu

dengan pendekatan Knowledge Management6. Strategi 6 : Menyelenggarakan Pusat Pelayanan untuk Pemberdayaan

Masyarakat

f. Implikasi Manajerial Program Ikhtiar melibatkan lembaga internal yang berada di Yayasan Peramu yaitu Baitul Mal Bogor dan Koperasi Baytul Ikhtiar (Baik) serta yayasan sendiri. Berdasarkan batasan penelitian maka implikasi manajerial kepada masing-masing lembaga yaitu: 1. Baitul Mal Bogor dan Koperasi Baytul Ikhtiar perlu menjalin kerjasama

diantara BAZ/LAZ untuk menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat.

2. Yayasan Peramu perlu mendirikan Pusat Pelayanan untuk Pemberdayaan Masyarakat

Page 105: At-Tasyri' V2 N1

95

STraTEgi PENgElOlaaN ZaKaT iNFaK SEDEKah uNTuK uSaha PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

Secara umum masing-masing lembaga internal yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan dan pengembangan Program Ikhtiar perlu menciptakan inovasi berkelanjutan yang berbasis kepada keuangan mikro.

F. Penutup Penilaian terhadap Program Ikhtiar yang berkaitan dengan pelayanan keuangan mikro syariah dapat diamati dari kegiatan yang diperuntukkan kepada penerima manfaat dan bagaimana harapan mereka terhadap kegiatan tersebut. Analisa menunjukkan terdapat atribut yang memiliki kinerja yang paling tinggi yaitu petugas yang ramah. Pada tingkat kepentingan penerima manfaat, analisa menunjukkan kepentingan yang paling tinggi yaitu atribut petugas yang ramah dan ini berkaitan dengan harapan mereka terhadap pentingnya petugas lapang yang memberikan pelayanan yang komunikatif. Secara umum berdasarkan analisa Importance Performance Matrix, memperlihatkan bahwa Program Ikhtiar di dalam proses keuangan mikro dan proses pembelajaran pengorganisasian perempuan miskin memiliki prestasi. Program Ikhtiar memiliki kondisi internal yang menunjukkan bahwa secara umum Program Ikhtiar memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan kelemahan. Faktor internal utama yang menjadi kekuatan terletak pada pemahaman perencana komunitas peramu terhadap fikih keuangan mikro syariah. Faktor internal lainnya sebagai kelemahan utama Program Ikhtiar adalah peran posisi lembaga internal Komunitas Peramu dalam Program Ikhtiar. Program Ikhtiar menghadapi lingkungan eksternal yang memperlihatkan secara umum terdapat peluang yang lebih besar dibandingan ancaman. Terdapat faktor yang berpotensi menjadi ancaman bagi daya tahan anggota majelis adalah kecenderungan naiknya harga kebutuhan pokok dan harga sarana produksi yang fluktatif. Faktor peluang yang berpengaruh terhadap keberadaan dan pengembangan Program Ikhtiar, yaitu pertama, keberadaan komunitas profesional muslim yang peduli terhadap isu-isu pemberdayaan masyarakat dan kemiskinan; kedua, potensi dana zakat yang dihimpun di masyarakat; ketiga, pemahaman dan minat masyarakat terhadap nilai-nilai

Page 106: At-Tasyri' V2 N1

96

rahmaT Pramulya

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

syariah; keempat, pemahaman dan minat masyarakat terhadap nilai-nilai syariah; kelima, kerjasama diantara OPZ (LAZ dan BAZ) yang ada; keenam, perundangan-undangan, kebijakan dan peraturan pemerintah pusat dan daerah terhadap keuangan mikro dan zakat, dan; ketujuh, dukungan pejabat terhadap keberadaan Program Ikhtiar. Perumusan strategi menggunakan matriks SWOT didapat alternatif strategi, yaitu sebagai berikut:a. Strategi 1, Pengembangan wakaf b. Strategi 2, Kerjasama diantara BAZ/LAZ untuk menyelenggarakan

program pemberdayaan masyarakat c. Strategi 3, Menciptakan inovasi berkelanjutan yang berbasis kepada

keuangan mikro syariah d. Strategi 4, Kerjasama pemanfaatan dana CSR perusahaan dan BKL BUMNe. Strategi 5, Menciptakan Sistem Informasi Manajemen Komunitas Peramu

dengan pendekatan Knowledge Managementf. Strategi 6, Menyelenggarakan Pusat Pelayanan untuk Pemberdayaan

Masyarakat Analisa prioritas strategi menggunakan Matriks QSPM, didapat strategi yang memiliki prioritas pertama untuk diimplementasikan oleh Program Ikhtiar adalah menciptakan inovasi berkelanjutan yang berbasis kepada keuangan mikro syariah.

Page 107: At-Tasyri' V2 N1

97

STraTEgi PENgElOlaaN ZaKaT iNFaK SEDEKah uNTuK uSaha PrODuKTiF

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

DAFTAR PUSTAKA

Assadullah, M., Asy’ari, H., Hasan, M., Laela, A., dan Soleh. Inovasi Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Pendekatan Agama di dalam Warta Gubernur, Jurnal Otonomi dan Pembangunan Daerah Vol. 2 Tahun 1, Februari 2007. Jakarta: Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, 2007.

David, F. R. Manajemen Strategis : Konsep - konsep. Edisi Bahasa Indonesia. Terjemahan Kresno Saroso. Jakarta: INDEKS Kelompok GRAMEDIA, 2006.

Hafidhuddin, Didin. Agar Harta Berkah dan Bertambah. Jakarta: Gema Insani Press, 2007.

Karim, Adiwarman A dan A. Azhar Syarief. ”Fenomena Unik di Balik Menjamurnya Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia”. Jurnal Zakat dan Empowering Volume 1 – Sya’ban 1429/Agustus 2008. Jakarta: Circle of Information and Development, 2008.

Kotler, P. Manajemen Pemasaran Jilid 1(Edisi 6). Jakarta: Prehallindo, 1999.

Muhammad, Sahri. ”Pentingnya Penataan Zakat Demi Perbaikan di Masa Mendatang”. Jurnal Zakat dan Empowering Volume 1 – Sya’ban 1429/Agustus 2008. Jakarta: Circle of Information and Development, Jakarta.

Parasuraman, A., Zeithaml, V.A., and Berry, L.L. “A conceptual model of service quality and its implications for future research”. Journal of marketing Vol.49, 41-50, tahun 1985.

Profi. “Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembagan Keuangan Mikro”. http://www.profi.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3&Itemid=4&lang=id. Diakses pada tanggal 18 Januari 2008.

Wibisono, Yusuf. Indonesia Zakat dan Development Report 2009. Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI dan Circle of Information and Development, 2009.

Wijono, WW. “Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional : Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan : Kajian Ekonomi dan Keuangan”, Edisi Khusus

Page 108: At-Tasyri' V2 N1

98

rahmaT Pramulya

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

Desember 2005. http://www.iei.or.id/publication.php?q=nfo&id=30. Diakses pada tanggal 10 Januari 2008.

Page 109: At-Tasyri' V2 N1

Hamdi

Abstract

Mudarabah is a system in Islamic Economic to share the capital and work. In the case, the owner of capital and the worker have the portion that agreed by both of the parties. The concept as appeared more 1400 years ago but it still and will be relevant forever in economic system. The indicator of that is the concept utilized nowadays not only by moslem countries but also non-moslem countries. It indicated that the concept has provided the balanced and the just rule that considered support the mutualism for all parties. The writing will be explored the condition and application of the concept for developing the economic growth.

Kata kunci: Konsep, mudarabah

KONSEP MUDARABAH

Dosen Prodi Mu’amalah Pada Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh

Page 110: At-Tasyri' V2 N1

100

hamDi

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

A. Pengertian Mudarabah Mudarabah berasal dari kata”darb” yang artinya memukul atau lebih tepatnya proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usaha.”1 Secara termonologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudarabah atau qirad dengan:

“Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama”.

Kemudian secara teknis mudarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (sahib al-mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.2 Keuntungan usaha secara mudarabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pihak pemilik modal selama bukan akibat kelalaian sipengelola, seandainya kerugian diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian sipengelola, maka sipengelola harus bertanggung jawab atas kerugian”3

Nasroen Haroen mendefenisi mudarabah yaitu” (kerja sama bagi hasil) atau pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan sedangkan keuntungannya menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama”.4

Salah satu bentuk kerja sama antara pemilik modal dengan pedagang atau pengusaha dengan mempunyai aturan-aturan tertentu yang berlandaskan dasar hukum yang sah, namun di samping itu juga harus ada kesepakatan bersama antara kedua belah pihak terutama dalam hal pembagian hasil dari usaha yang mereka lakukan tersebut, ”Di dalam fiqh Islam disebut dengan

1 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, Cet., I, (Jakarta: Tazkia Institut, 1999). hal. 171.2 Al-Sarakhsi, al- Mabsut, Jilid 22, (Kairo: al-Maktabat Islami,1999), hal. 18.3 Ibid., hal. 171.4 Nasrun Haroen , “ Pendapat Para Ulama Fiqh”, Fiqh Mualamah,(Jakarta : Gaya Media Pratama), hal. 171.

Page 111: At-Tasyri' V2 N1

101

KONSEP muDaraBah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

mudarabah, yang oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan dengan qirad.5

Apabila terjadi kerugian dalam perdangangan itu, kerugian ini akan ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisi ini akan menunjukkan bahwa yang diserahkan kepada pekerja (pakar pedangang) itu adalah bentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah.6

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa mudarabah adalah suatu kerja sama yang dilakukan antara pemilik modal (sahibul mal) dengan pengelola ( mudarib) dalam usaha perdangangan sedangkan keuntungan menjadi milik bersama yang dibagi menurut kesepakatan bersama dengan memenui segala syarat dan rukun yang sah menurut hukum Islam.

B.Landasan Hukum MudarabahLandasan merupakan tempat berpijak/bersandar, bila tempat berpijak tersebut kuat maka tidak akan roboh atau terjerumus, justru itu mudarabah itu perlu landasan yang kuat. Yang dimaksud landasan yang kuat yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadith, berikut ini dalam surat Al-Baqarah ayat 275 dijelaskan:

”..Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”

Selanjutnya Allah swt., berfirman dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10 yang berbunyi.

”Apabila telah ditunaikan sembahyang,maka bertebarkanlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.7

Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa yang lebih utama dilakukan

5 Ibid., hal. 175.6 Ibid., hal. 176.7 Depertemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Surabaya: Jaya Sakti. 1989), hal. 933.

Page 112: At-Tasyri' V2 N1

102

hamDi

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

yaitu mengerjakan shalat setelah itu barulah melangkah untuk mencari kehidupan/ rezeki yang halal semoga Allah Swt., memberkahi segala urusan yang dilakukan. Selanjutnya Allah Swt., berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 198 yang berbunyi.

”Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu...”

Dari kesimpulan ayat diatas maka dapat disimpulkan bahwa untuk melangsungkan usaha yang sukses maka perlu adanya sebuah kerjasama yang baik antara pemodal dan pengusaha. Disamping itu landasan mudarabah yang lebih terperinci lagi, sebagai mana disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

”Dari Ibnu abbas, bahwa Sayydina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberi dana ke mitra usahanya secara mudarabah ia mengsyaratkan agar dana tidak dibawa mengarugi lautan, meneruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasullulah saw., dan Rasullulah pun saw.,-pun memperbolehkannya (H.R.Tabrani). 8

Pengertian hadist di atas jelas bahwa modal yang telah diberikan kepada pengelola jangan disalahgunakan jika hal itu terjadi maka pengelola akan bertanggung jawab atas dana tersebut, justru itu pengelolanya harus benar-benar dan hati-hati. Selanjutnya Rasulullah saw., bersabda yang berbunyi sebagai berikut:

8 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah ..., hal. 172.

Page 113: At-Tasyri' V2 N1

103

KONSEP muDaraBah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

Rasullulah saw., bersabda: ”Tiga hal yang ada di dalamnya terdapat keberkatan: Jual beli secara tangguh, muqaradha (mudarabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual ” (H.R. Ibnu Majah).9

Hadis di atas menjelaskan bahwa mudarabah merupakan salah satu bentuk akad yang dibolehkan oleh Allah Swt., hal ini disebabkan karena dalam tujuan dari akad awal membantu saudara muslim (pihak lain) yang tidak memiliki dana (modal) agar mampu berusaha/bekerja guna memenui kebutuhan hidupnya sehari-hari Jadi jelaslah bahwa mudarabah telah diperaktekkan pada masa Rasulullah SAW dengan cara dan syarat yang disepakati oleh kedua belah pihak. Selama kegiatan mudarabah ini dilakukan dengan benar dan jujur maka Allah Swt., akan memberikan keberkahan dalam kegiatan ini.

C. Syarat-Syarat dan Rukun mudarabah Mudarabah tidaklah dilakukan semberangan saja, akan tetapi mempunyai beberapa ketentuan syarat dan rukunnya. Adapun rukun mudarabah adalah sebagai berikut: 1. Pemodal. 2. Pengelola 3. Modal 4 Nisbah keuntungan 5. Sighat atau aqad.10

a. d. 1. dan 2. Pemodal dan pengelola: Dalam mudarabah ada dua pihak yang berkontrak: penyedia dana atau sahib mal dan pengelola atau mudarib, dimana syarat keduanya adalah

9 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz. II, (Bairut: Darul al Fikri, t.t.), hal. 187.10 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah ..., hal. 173.

Page 114: At-Tasyri' V2 N1

104

hamDi

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

sebagai berikut:1. Pemodal dan pengelola harus mampu melakukan tarnsaksi dan sah

secara hukum.2. Keduanya harus mampu bertindak sebagai wakil dan kafil dari

masing-Masing pihak-pihak.

a. d. 3. Modal. Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola untuk tujuan untuk menginvestasikannya dalam aktivitas mudarabah. Untuk itu modal harus memenui syarat-syarat sebagai berikut: 1. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya ( yaitu mata uang) 2. Modal harus tunai. Namun beberapa ulama membolehkan modal

mudarabah berbentuk aset perdagangan, misalnya inventory. Pada waktu aqad, nilai aset tersebut serta biaya yang telah terkandung di dalamnya (historical cost) harus dianggap sebagai modal mudarabah.

Mazhab Hanbali membolehkan penyediaan aset-aset non moneter seperti pesawat, kapal dan lain-lain untuk modal mudarabah. Pengelola memanfaatkan aset-aset ini dalam suatu usaha dan berbagi hasil dari usahanya dengan penyedia aset. Pengelola harus mengembalikan aset-aset tersebut kepada penyedia aset pada akhir masa kontrak.11

Karena mudarabah merupakan kerja sama antara dua belah pihak, maka bila shahibl mal memberikan dananya maka mudarib (pengelola) mengkontribusikan kerja dan keahliannya. Kontribusi mudarib dapat berbentuk tugas manajerial, marketing, atau enterpreneurship secara umum. Demi mengatur kontribusi mudarib, para ulama lebih lanjut membuat ketentuan sebagai berikut: 1. Pengelolaan adalah hak eksekutif mudarabah dan sahib mal tidak boleh

turut campur operasional teknis usaha yang dikelolanya. Namun Mazhab Hambali mengizinkan partisipasi penyedia dana dalam pekerjaan itu.

2. Penyedia dana tidak boleh membatasi tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat mengganggu upaya mencapai tujuan mudarabah, yaitu keuntungan:

11 Ibid., hal.175.

Page 115: At-Tasyri' V2 N1

105

KONSEP muDaraBah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

3. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariat Islam dalam tindakanya yang berhubungan dengan mudarabah, dan harus mematui kebiasaan yang berlaku pada aktifitas tersebut,

4. Pengelola harus mematui syarat-syarat yang ditentukan oleh penyedia dana jika syarat-syarat itu tidak bertolak belakang dengan isi kontrak mudarabah.

a. d. 4. Keuntungan Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.12Keuntungan adalah tujuan akhir mudarabah. Namun, keuntungan itu terkait oleh syarat-syarat sebagai berikut: 1. Keuntungan harus dibagi untuk dua pihak. Salah satu pihak tidak

diperkenalkan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi kepada pihak yang lain.

2. Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan misalnya 60 % dari keuntungan untuk pemodal 40 % dari keuntungan untuk pengelola.

3. Kalau jangka waktu aqad mudarabah relatif lama, tiga tahun keatas, maka nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu kewaktu;

4. Kedua belah pihak harus juga menyepakati biaya-biaya apa saja yang ditanggung pemodal dan biaya-biaya apa saja yang ditanggung pengelola kesepakatan ini penting karena biaya akan mempengaruhi nilai keuntungan.

a. d. 5. Shighat atau aqad Ucapan (Shighat) yaitu penawaran dan penerimaan (ijab dan kabul) harus diucapkan oleh kedua pihak guna menunjukkan kemauan mereka untuk menyempurnakan kontrak. Sighat tersebut harus sesuai dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Secara eksplisit dan implisit menunjukkan tujuan kontrak; 2. Shighat dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-

12 Ibid., hal.176.

Page 116: At-Tasyri' V2 N1

106

hamDi

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

syarat yang dianjukan dalam penawaran, atau salah satu pihak meninggal tempat berlangsungnya negosiasi kontrak tersebut, sebelum kesepakatan disempurnakan :

3. Kontrak boleh dilakukan secara lisan atau verbal, bisa juga secara tertulis dan ditandatangani Akademi Fiqih Islam dari Organisasi Konfrensi Islam (OKI) membolehkan pula pelaksanaan kontrak melalui korespondensi, atau dengan menggunakan dengan cara-cara komunikasi modern seperti faksimili atau komputer.13

D. Jenis-Jenis Mudarabah Secara umum mudarabah terbagi kepada dua jenis, yaitu mudarabah mutlaqah dan mudarabah muqayyadah14. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a. mudarabah mutlaqah Transaksi mudarabah mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara sahib al-mal dengan mudarib yang cukupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh speksfikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salaf ash Shalih sering kali dicontohkan dengan ucapan if’al masyi’ta ( lakukanlah sesuka mu) dari sahib al-mal ke mudarib yang diberi kekuasaan besar.15

Bila dilihat dari kutipan diatas jelas bahwa mudarabah Mudhlaqah mempunyai cakupan yang sangat luas, yang memberi kekuasaan yang sangat luas serta memberikan kekuasaan bebas kepada mudarib untuk melakukan apapun usahanya, sehingga usaha mudarib tidak terikat dengan usaha apa yang ditentukan, namun ia bebas untuk membuka usaha apapun yang ia inginkan yang diutamakan usaha yang dapat memberi mamfaat untuk kedua belah pihak.

b. Mudarabah Muqayyadah mudarabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudarabah / specified mudarabah adalah kebalikan dari mudarabah muqayyadah

13 Ibid., hal.174.14 Ibid., hal.176. 15 Ibid., hal. 173.

Page 117: At-Tasyri' V2 N1

107

KONSEP muDaraBah

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

.Si mudarib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau temapat usaha. Adanya pembatasan ini sering terjadi mencerminkan kecendrungan umum Si sahib al-mal dalam memasuki dunia usaha.16

Dengan demikian berarti mudarabah muqayyadah ini jelas merupakan kebalikan mudarabah mutlaqah. Mudarabah muqayyadah harus ditetapkan jenis usaha, waktu dan tempatnya .Dalam hal ini mudarib harus menjalankan jenis usaha yang telah ditentukan. Disini jelas nampak sahib al-mal ingin mengembangkan dan membudayakan sesuatu usaha, justru itu meminjamkan modal kepada mudarib dengan tujuan untuk membudidayakan sesuatu usaha dalam masyarakat. Dari dua akad mudarabah di atas, dapat diketahui bahwa mudarabah mutlaqah sangat banyak diminati oleh nasabah karena sesuai dengan kondisi nasabah sekarang, dimana nasabah senang dengan adanya kebebasan yang sifatnya tidak mengikat nasabah sehingga mempermudah para nasabah untuk mengembangkan usaha mereka sesuai dengan skill dan kemampuan mereka.

E. Penutup Mudarabah merupakan suatu sistem ekonomi syariah yang mengaju pada pembagian hasil. Dengan sistem ini diharapkan simbiosis ekonomi yang bersifat mutualisme dapat dicapai. Artinya tidak ada pihak yang merasa dirugikan sementara yang lain dianggap pemeras. Untuk menjaga agar balances ini tetap terjaga, maka mudarabah ditetapkan kontraknya dengan persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang ketat. Dengan demikian, pemodal dan pelaksana sudah sama-sama memaklumi apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing.

16 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, Cet, I, (Jakarta: Tazkia Institute, 1999), hal.173.

Page 118: At-Tasyri' V2 N1

108

hamDi

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

DAFTAR PUSTAKA

Al-Sarakhsi. al- Mabsut, Jilid 22. Kairo: al-Maktabat Islami, 1999.

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, Cet.I. Jakarta: Tazkia Institut, 1999.

Depertemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya. Surabaya: Jaya Sakti. 1989.

Haroen, Nasrun. “Pendapat Para Ulama Fiqh”. Fiqh Mualamah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majah. Juz II. Beirut: Dar al-Fikri, t.t.

Page 119: At-Tasyri' V2 N1

Yulia

Abstract

Ethics is one of the basic disciplines in philosophy, which reflects how human beings should live, including what must be responsible. Business ethics in Islam interpret the business as a business man to seek pleasure of Allah SWT. Business is not only short-term aims by purely mathematical calculations, but also the long term, namely personal and social responsibility was confronted with the community, country and God. Muamalah principles that have been stipulated in the rules of Islam are the values that run in the economic activity, it is a reflection of business ethics. The principle of fairness and justice is a key element in economic activities as stipulated in muamalah. If related to the provisions of Law No. 5 Year 1999 regarding Prohibition of Monopoly Practices and Unhealthy Competition, that business activities must be done by fair means business activities must be fair, was not monopolized by one business actor or a group of business actors only. Then, honest business activities must be conducted in healthy market competition and pricing.

Kata kunci: Tanggung jawab, pelaku usaha, dan Islam

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHADALAM PANDANGAN ETIKA BISNIS ISLAM

Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

Page 120: At-Tasyri' V2 N1

110

yulia

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

A. Pendahuluan Kegiatan perekonomian masyarakat yang terus meningkat, memberi dampak positif terhadap iklim dunia usaha. meningkatnya roda perekonomian dengan baik, maka akan memberikan keuntungan yang maksimal bagi semua pihak, dan hal ini perlu dijalankan dengan menekankan pada prinsip ekonomi beretika. Suatu dunia bisnis yang berjalan dengan etika akan lebih tertib dan stabil karena salah satu wujud dari etika adalah pelaku usaha mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat khususnya konsumen, sehingga masyarakat akan respek terhadap pelaku usaha. Menurut Patricia Aburdence dalam hasil penelitian mahasiswa STS Jambi, terdapat tujuh megatrend 2010 yang akan mewarnai dunia bisnis modern1, yaitu : 1. Muncul dan meningkatnya kekuatan spiritual. 2. Munculnya fajar baru conscious capitalism. 3. Munculnya kepemimpinan alternatif dari tengah. 4. Banyaknya penerapan spiritualisme dalam dunia bisnis. 5. Meningkatnya konsumen yang memutuskan perilakunya berdasarkan

sistem nilai. 6. Munculnya gelombang pemecahan masalah berdasarkan kesadaran. 7. Munculnya ledakan investasi dalam berbagai bidang bisnis yang

memiliki etika dan tanggung jawab sosial. Bisnis yang memiliki etika dan tanggung jawab inilah yang menarik untuk dikaji dalam konsep Islam. Dasar pemikiran kajian ini bahwa, dalam setiap esensi kehidupan manusia adalah didasari oleh hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam lingkungan. Oleh karena itu, pelaku usaha sebagai manusia pribadi mempunyai tanggung jawab kepada Tuhannya, manusia dan alam lingkungan sekitarnya dalam melakukan kegiatan bisnis. Penerapan nilai etika dalam dunia usaha atau bisnis berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha atas kegiatan bisnisnya, sehingga bisnis menjadi stabil. Perusahaan-perusahaan yang berskala besar, telah menerapkan nilai etika tertentu dalam rangka merebut pasar. Nilai etika yang diterapkan sangat

1 Hasil Penelitian Mahasiswa dan Dosen PPs IAIN STS Jambi, merupakan kerjasama Jambi Ekspres dengan PPs IAIN STS Jambi, Memajukan Ekonomi Melalui Penerapan Etika Bisnis Islam, diposting Jumat, 07 Mei 2010.

Page 121: At-Tasyri' V2 N1

111

TaNgguNg JaWaB PElaKu uSaha Dalam PaNDaNgaN ETiKa BiSNiS iSlam

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

tergantung pada sistem nilai yang dijadikan referensi oleh suatu perusahaan. Jika sistem nilai kapitalis yang dijadikan referensi, maka nilai etika bisnis yang diterapkan adalah etika kapitalis. Begitu pula, jika sistem nilai sosialis yang menjadi rujukan, maka etika sosialislah yang akan diterapkan. Demikian halnya dengan sistem nilai Islam yang dirujuk, maka etika bisnis Islamlah yang akan diterapkan.

B. Etika Bisnis menurut Pendapat Para Ahli dan Pelaku Usaha Etika merupakan bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral berbeda dengan etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan buruk, sedangkan etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk dan apa alasan pikirannya, merupakan lapangan etika. Menurut Frans Magnis, bahwa etika merupakan salah satu disiplin pokok dalam filsafat, etika adalah ilmu dan bukan ajaran, sehingga dengan etika yang merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar berhasil menjadi sebagai manusia2. Etika yang berasal dari Bahasa Yunani ethikos mempunyai beragam arti. 3 1. Sebagai analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti,

ugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain.

2. Pencairan ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. 3. Pencairan kehidupan yang baik secara moral.Bertens K. merumuskan pengertian etika kepada tiga pengertian, yaitu4: 1. Etika digunakan dalam pengertian nilai-niai dan norma-norma moral

yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

2 Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1999). 3 Hendro Wibowo, Konsep Etika Bisnis dalam Islam, Dosen STEI SEBI Jakarta & Kandidat Master Ekonomi Islam Univ. Paramadina, Diposting oleh Hendro Wibowo, 9 Februari 20094 Bertens K., Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000).

Page 122: At-Tasyri' V2 N1

112

yulia

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

2. Etika dalam pengertian kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik.

3. Etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk Secara filosofi, etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas, yang terbagi dalam bidang dengan fungsi dan perwujudannya yaitu 5: 1. Etika deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini secara normatif

menjelaskan pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk mengetahui motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia.

2. Etika normatif (normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia bertindak seperti yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan manusia.

3. Metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan6.

Menurut Ahmad Amin dalam tulisan Hendro Wibowo, memberikan batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat7. Etika dipahami sebagai perangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang salah, sedangkan bisnis adalah suatu serangkaian peristiwa yang melibatkan pelaku bisnis, maka etika diperlukan dalam bisnis. Etika bisnis adalah norma-norma atau kode etik yang dianut oleh pebisnis, baik sebagai institusi atau organisasi, maupun dalam interaksi bisnisnya dengan stake holders-nya. Etika dan tindak tanduk etisnya menjadi

5 Bambang Rudito & Melia Famiola, Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia. (t.tp.: tp., 2007).6 Ibid.7 Hendro Wibowo, Konsep Etika...

Page 123: At-Tasyri' V2 N1

113

TaNgguNg JaWaB PElaKu uSaha Dalam PaNDaNgaN ETiKa BiSNiS iSlam

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

bagian budaya perusahaan dan built-in sebagai perilaku (behavior) dalam diri karyawan biasa sampai CEO. bahkan pelaku usaha sekalipun yang standarnya tidak uniform atau universal, tapi lazimnya harus ada standar minimal. Ketidak-universal-an mencuatkan berbagai perspektif suatu bangsa dalam menjiwai, mengoperasikan dan setiap kali menggugat diri8.9

Apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan keputusan yang tak pantas dalam bekerja, para manajer menunjuk pada tingkah laku dari atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau moral. Karenanya, kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat mendirikan beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oraganisasi ke arah etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika perusahaan secara umum. Tetapi timbul pertanyaan bahwa dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah laku etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan�. Lebih lanjut, terhadap para pesaing, organisasi harus mampu bersaing secara sehat dengan organisasi lainnya untuk mempertahankan hidupnya. Hal inilah yang diartikan sebagai etika. Etika bisa ditafsirkan sebagai hak dan kewajiban seseorang mengenai aturan moral yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dan menjalin hubungan dengan orang lain. Moral dalam hal ini berarti mempunyai pengertian baik dan buruk. Suatu perbuatan dikatakan etis apabila sesuai atau tidak bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat, dan dikatakan tidak etis apabila bertentangan atau tidak sesuai dengan norma yang ada dalam masyarakat. Di sisi lain, para pelaku usaha menganggap bahwa bisnis dan etika merupakan dua hal yang terpisah. Hal ini dipengaruhi oleh keinginan dasar dalam berbisnis adalah semata-mata hanya mencari keuntungan finansial, sehingga akan mencari cara dan celah untuk mengejar keinginan tersebut. Mempertahan tetap dalam etika, mereka menganggap akan kehilangan keuntungan bahkan akan kehilangan kesempatan baik untuk keuntungan yang besar. Meskipun sebagian besar sekarang, perusahaan-perusahaan

8 Salmadanis, Mengantar Usahawan ke Pintu Syurga : Melalui Pemahaman Nilai-nilai Tauhid dalam Berusaha, Cet I, (Jakarta : Nuansa Madani, 2001).9 Laura Pincus Hartman, Perspective in Business Ethics, (Irvin McGraw Hill: tp, 1998).

Page 124: At-Tasyri' V2 N1

114

yulia

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

yang modern sudah menerapkan prinsip etika berbisnis. Etika dari seorang individu terbentuk atau dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain adalah keluarga, situasi dan kondisi, nilai, moral, agama, pengalaman, dan lingkungan. Keadaan tersebutlah yang menjadi seseorang bagaimana beretika dalam melakukan kegiatan bisnis dan bagaimana seseorang harus bertanggung jawab.

C. Etika Bisnis Dalam Islam Dalam Islam, kegiatan dunia usaha atau bisnis merupakan salah satu bidang muamalah. Hal ini juga telah diatur dalam rambu-rambu yang tertib. Bidang muamalah yang diatur hanya prinsip-prinsipnya saja, artinya semua kegiatan muamalah dapat dilakukan apabila tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut, termasuk dengan etika bisnis. Dalam Islam, masalah etika bisnis sudah termasuk dalam prinsip-prinsip muamalah. Islam telah mengatur dengan rapi dan tertib berkenaan dengan kegiatan bisnis atau perdagangan. Prinsip-prinsip muamalah yang telah diatur dalam Islam merupakan etika bisnis. Prinsip-prinsip perekonomian dalam Islam, antara lain sebagai berikut10: 1. Islam menentukan berbagai macam kerja yang halal dan yang haram. 2. Kerjasama kemanusiaan yang bersifat gotong royong dalam usaha

memenuhi kebutuhan harus ditegakkan. 3. Nilai keadilan dalam kerjasama kemanusiaan ditegakkan. Jika melihat prinsip-prinsip tersebut di atas, bahwa halal dan haram merupakan hukum dalam muamalah, jika kegiatan dilakukan dengan jujur dan adil, sesuai dengan aturan maka kegiatan tersebut akan menjadi halal sebaliknya, jika dilakukan kegiatan yang dilarang artinya tidak sesuai dengan yang diatur maka kegiatan tersebut akan haram. Kemudian nilai-nilai sosial kemasyarakatan, saling bahu membahu dalam memenuhi kebutuhan artinya tidak semata-mata mencari kekayaan sendiri tanpa mempedulikan orang lain, karena antara yang kaya dengan yang miskin saling membutuhkan. Prinsip-prinsip muamalah yang telah diatur dalam aturan Islam merupakan nilai-nilai yang dijalankan dalam kegiatan perekonomian, hal

10 Ahmad Aghar Basyir, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dalam Berrbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: P3EI-FE UII bekerjasama dengan Penerbit Tiara Wacana, 1992) , hal. 13-14.

Page 125: At-Tasyri' V2 N1

115

TaNgguNg JaWaB PElaKu uSaha Dalam PaNDaNgaN ETiKa BiSNiS iSlam

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

inilah cerminan etika bisnis. Prinsip kejujuran dan keadilan adalah unsur utama dalam kegiatan perekonomian yang diatur dalam muamalah. Jika dikaitkan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, bahwa kegiatan usaha harus dilakukan dengan adil artinya kegiatan usaha harus dilakukan secara fair, tidak dimonopoli oleh seorang pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha saja. Kemudian, jujur adalah kegiatan usaha harus dilakukan secara sehat dalam persaingan pasar dan penetapan harga. Etika memiliki dua pengertian yaitu sebagai moralitas, berisikan nilai dan norma-norma konkret yang menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam seluruh kehidupan dan etika sebagai refleksi kritis dan rasional. Etika membantu manusia bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggungjawabkan. penggabungan etika dan bisnis dapat berarti memaksakan norma-norma agama bagi dunia bisnis, memasang kode etik profesi bisnis, merevisi sistem dan hukum ekonomi, meningkatkan keterampilan, memenuhi tuntutan-tuntutan etika pihak-pihak luar untuk mencari aman dan sebagainya11. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang memiliki komitmen ketulusan dan kejurjuran dalam melaksanakan kegiatan bisnis. Selanjutnya, bisnis yang Islami merupakan serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi karena aturan halal dan haram, dalam cara memperolehnya dan menggunakannya. Etika bisnis Islam sebenarnya telah diajarkan Rasulullah SAW. saat menjalankan perdagangan, selain dedikasi dan keuletannya juga memiliki sifat sebagai berikut12: 1. Shidiq berarti mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan,

keyakinan dan amal perbuatan atas dasar nilai-nilai yang diajarkan Islam. Istiqamah atau konsisten dalam iman dan nilai-nilai kebaikan, meski menghadapi godaan dan tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan sehingga

11 Najmudin Ansorullah, Corporate Social Responsibility dalam Perspektif Islam, Alumni Fakultas Syari’ah UIN SGD Bandung, Kamis, 20 Mei 2010/ 6 Jamadil Akhir 1431 Hijriah12 Ibid.

Page 126: At-Tasyri' V2 N1

116

yulia

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

menghasilkan sesuatu yang optimal. 2. Fatanah berarti mengerti, memahami, dan menghayati secara

mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat ini akan menimbulkan kreatifitas dan kemampuan melakukakn berbagai macam inovasi yang bermanfaat.

3. Amanah, tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (kebajikan) dalam segala hal.

4. Tabligh, mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan.

Kemudian jika menelusuri sejarah dalam Agama Islam tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomi. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang, dan Agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Alquran terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan dengan cara halal, Allah SWT telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba13. Islam menempatkan kegiatan bisnis sebagai kegiatan di bidang muamalah yang memberikan kebebasan bagi para pelaku usaha. Kebebasan tersebut berada pada koridor prinsip-prinsip muamalah, artinya melakukan kegiatan bisnis yang seluas-luasnya dalam rangka memenuhi kebutuhan, akan tetapi tidak melupakan bahwa rezeki tersebut adalah berasal dari Allah Swt., sehingga harus melakukan sesuai dengan tuntunan Alquran dan hadist serta tidak melakukan kegiatan yang dilarang karena akan menjadi haram. Inilah koridor-koridor yang menjadi etika bisnis dalam Islam. Etika bisnis dalam Islam memposisikan pengertian bisnis pada hakikatnya merupakan usaha manusia untuk mencari keridhaan Allah Swt. Bisnis tidak bertujuan jangka pendek, individual dan semata-mata keuntungan yang berdasarkan kalkulasi matematika, tetapi juga jangka panjang, yang merupakan tanggung jawab pribadi dan sosial terhadap masyarakat, negara dan Allah SWT. Seorang Muslim diwajibkan melaksanakan secara penuh dan ketat semua

13 Mubyarto, Penerapan Ajaran Ekonomi Islam di Indonesia, makalah untuk Shariah Economics Days, Forum Studi Islam Senat mahasiswa FE-UI, Jakarta, 19 Februari 2002.

Page 127: At-Tasyri' V2 N1

117

TaNgguNg JaWaB PElaKu uSaha Dalam PaNDaNgaN ETiKa BiSNiS iSlam

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

etika bisnis yang ditata oleh Alquran pada saat melakukan semua transaksi, yakni14: 1. Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang

melakukan transaksi; 2. Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah; 3. Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai; 4. Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar; 5. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak saat jika

mendapatkan kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan. 6. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi

dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak. Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, karena itu diutuskan Rasulullah saw. ke dunia untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang pelaku usaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami yang mencakup husn al-khuluq. Pada derajat ini, Allah Swt. akan melapangkan hatinya, dan akan membukakan pintu rezeki, di mana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran15. Salah satu perwujudan makna kejujuran adalah seorang pelaku usaha senantiasa terbuka dan transparan dalam kegiatan bisnisnya. Prinsip kejujuran adalah modal utama dalam menjalan bisnisnya bagi seorang muslim, sehingga terhindarlah dia sebagai seorang yang munafik. Apa yang diucapkan haruslah sesuai dengan apa yang dikerjakan, begitulah kegiatan bisnis yang beretika Islami. Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tentang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Sang Pencipta, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah habl min Allah wa habl min annas. Dengan berpegang pada landasan ini, maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun

14 Hendro Wibowo, Etika Bisnis...15 Ahyar Eldien, Op. Cit.

Page 128: At-Tasyri' V2 N1

118

yulia

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

akan merasa ada kehadiran Sang Pencipta dalam setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menyatu dalam jiwa setiap muslim dalam berbisnis. Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika merupakan dua hal yang harus berjalan seimbang dan berdampingan, bisnis yang merupakan simbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian dari hal-hal yang bersifat investasi akhirat, seperti firman Allah Swt., ….seimbangkan antara urusan dunia dan akhirat. Artinya, jika orientasi bisnis dan upaya investasi akhirat sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Sang Pencipta, maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita di dunia yang untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Kegiatan bisnis yang bathil, yang dilarang, antara lain yaitu 16: 1. Riba, Alquran sangat mengecam keras pemakan riba dan menyebutnya

sebagai penghuni neraka yang kekal selamanya di dalamnya17. 2. Talaqqi Rukban adalah kegiatan pedagang dengan cara menyongsong

pedagang desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar). Substansi dari larangan talaqqi rukban ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya yang terjadi di pasar.

3. Ba’i Najasy adalah transaksi yang diharamkan dalam perdagangan karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga yang lebih tinggi, agar orang lain tertarik pula untuk membelinya.

4. Tadlis ialah transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak diketahui oleh salah satu pihak unknown to one party. Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Unknown to one party dalam bahasa fikihnya disebut tadlis (penipuan), dan dapat terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga, waktu penyerahan dan jual beli gharar.

16 Agustianto, Ekonomi Keuangan dan Perdagangan dalam Al-Quran, dipresentasikan pada Diskusi Mata Kuliah Tafsir Ahkam Konsentrasi Ekonomi Islam, Program Pascasarjana (S3) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.17 Q.S. Al-Baqarah : 275.

Page 129: At-Tasyri' V2 N1

119

TaNgguNg JaWaB PElaKu uSaha Dalam PaNDaNgaN ETiKa BiSNiS iSlam

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

5. Ihtikar dilarang dilakukan oleh pedagang yaitu melakukan penimbunan barang dengan tujuan spekulasi, sehingga ia mendapatkan keuntungan besar di atas keuntungan normal atau dia menjual hanya sedikit barang untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, sehingga mendapatkan keuntungan di atas keuntungan normal. Dalam ilmu ekonomi hal ini disebut dengan monopoly’s rent seeking.

Rasulullah SAW, telah banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya ialah18: 1. Prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. 2. Seorang palaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis.

Nabi Muhammad Saw mengatakan, Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis19.

3. Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut.

4. Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain agar orang membeli kepadanya.

5. Tidak melakukan ihtikar yaitu menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh.

6. Takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan.

7. Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah SWT. 8. Membayar upah sebelum kering keringat karyawan. 9. Tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah

melegitimasi monopoli dan oligopoli. 10. Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan

barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. 11. Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. 12. Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Etika bisnis Islam jelas sangat berbeda dengan etika bisnis kapitalis dan sosialis. Etika bisnis kapitalis lebih cenderung bersifat personal (egoisme) yang

18 Agustianto, Etika Bisnis dalam Islam, Agustianto Weblog, diposting April 11, 200819 Hadist Riwayat Bukhari dan Tarmizi

Page 130: At-Tasyri' V2 N1

120

yulia

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

tidak jarang mengabaikan etika sosial (komunalism). Etika bisnis seperti ini membuka peluang kepada keserakahan dan ketamakan. Etika bisnis sosialis mengedepankan pemerataan kesejahteraan sosial dengan menihilkan hak individu. Etika bisnis ini akan menginjak hak asasi manusia. Etika bisnis Islam bersifat religius yang berangkat dari satu asumsi dasar bahwa bisnis merupakan kegiatan individu dan sosial sekaligus. Etika bisnis Islam bertumpu pada tiga norma dasar yaitu 20: 1. Menghapuskan penindasan ekonomi 2. Menghapuskan tindakan spekulatif dalam berbisnis 3. Menjamin distribusi harta dan transaksi ekonomi yang adil dan jujur. Kemudian juga oleh Mubyarto, mengatakan bahwa Islam menekankan empat sifat sekaligus dalam kegiatan bisnis, karena kekayaan di dunia tidak dimiliki oleh manusia tapi oleh Allah SWT21 kesatuan (unity), keseimbangan (equilibrium), kebebasan (free will), tanggung jawab (responsibility). Syed Nawab Haidar Naqvi, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu, tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan, tanggung jawab. Tauhid, merupakan wacana teologis yang mendasari segala aktivitas manusia, termasuk kegiatan bisnis. Tauhid menyadarkan manusia sebagai makhluk ilahiyah, sosok makhluk yang mempunyai Tuhan. Dengan demikian, kegiatan bisnis manusia tidak terlepas dari pengawasan Tuhan, dan dalam rangka melaksanakan titah Tuhan22. Oleh karena itu, sangatlah tepat, dalam kegiatan bisnis memerlukan penerapan etika terlebih lagi etika bisnis secara Islam. Keberlanjutan dan keberkahan kegiatan bisnis akan berhasil dengan keberadaan etika. Urgensi penerapan etika dalam kegiatan bisnis merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap resiko kebangkrutan dan kehancuran kegiatan bisnis. Pada prinsipnya, penawaran suatu produk harus diimbangi dengan pelayanan yang berlandaskan pada nilai etika.

20 Mubyarto, Penerapan Ajaran Ekonomi Islam di Indonesia, makalah untuk Shariah Economics Day….21 Ibid.22 Syed Nawab Haider Naqvi, Etika Dan Ilmu Ekonomi : Suatu Sintesis Islami, (Bandung: Mizan, 1985).

Page 131: At-Tasyri' V2 N1

121

TaNgguNg JaWaB PElaKu uSaha Dalam PaNDaNgaN ETiKa BiSNiS iSlam

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

D. Penutup Dalam tataran dasar, etika merupakan landasan bagaimana manusia harus bersikap supaya berhasil, dan bisnis adalah kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menawarkan sutau produk atau jasa. Lebih lanjut, etika bisnis adalah hal yang harus diterapkan oleh pelaku usaha dalam kegiatan bisnis agar berhasil, di mana pelaku usaha harus dapat mengimbangi pelayanan atas penawaran produk atau jasa yang ditawarkan. Etika bisnis Islam mempersembahkan prinsip kejujuran dan keadilan antara pelaku usaha dengan masyarakat, di mana tanggung jawab pelaku usaha atas penawaran produk atau jasanya. Pada prinsipnya, tanggung jawab pelaku usaha yang dilandasi etika bisnis secara Islam tidak hanya terhadap manusia di dunia, akan tetapi sebagai ibadah antara keseimbangan dunia dengan akhirat, pelaku usaha harus bertanggung jawab kepada Allah swt., manusia dan alam lingkungannya.

Page 132: At-Tasyri' V2 N1

122

yulia

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

DAFTAR PUSTAKA

Manan, Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Seri 2, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995.

Basyir, Aghar. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam. Yogyakarta: P3EI-FE UII bekerjasama dengan Penerbit Tiara Wacana, 1992.

Bertens K., Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Ya’kub, Hamzah. Etika Islam, Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar) , Bandung: CV Diponegoro, 1996

Keraf, Sony dan Robert Haryono Imam, 1995. Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur, Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1995.

Hartman, Laura Pincus. Perspective in Business Ethics, Irvin McGraw Hill, 1998.

Wilson, Roodney. Economics, Etnich and Religion, Macmillian, 1997.

Salmadanis, Mengantar Usahawan ke Pintu Syurga : Melalui Pemahaman Nilai-nilai Tauhid dalam Berusaha, Cet. I. Jakarta: Nuansa Madani, 2001.

Naqvi, Syed Nawab Haider. Etika Dan Ilmu Ekonomi : Suatu Sintesis Islami, Mizan, Bandung, 1985.

Kholiq, Achmad. Etika Bisnis Dalam Perpektif Islam. Cendekiawan Muslim, Dosen STAIN. Ketua MES, Komisi Dakwah MUI Cirebon, Ketua Dewan Dakwah Korwil Cirebon, diposting Kamis, 20 Mei 2010/ 6 Jamadil Akhir 1431 Hijriah.

Agustianto. Etika Bisnis dalam Islam. Weblog diposting oleh Agustianto April 11, 2008.

Agustianto, Dipresentasikan pada Diskusi Mata Kuliah Tafsir Ahkam Konsentrasi Ekonomi Islam.Program Pascasarjana (S3) Universitas

Page 133: At-Tasyri' V2 N1

123

TaNgguNg JaWaB PElaKu uSaha Dalam PaNDaNgaN ETiKa BiSNiS iSlam

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004

Rudito, Bambang & Melia Famiola. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, 2007.

Hasil Penelitian Mahasiswa dan Dosen PPs IAIN STS Jambi, merupakan kerjasama Jambi Ekspres dengan PPs IAIN STS Jambi, Memajukan Ekonomi Melalui Penerapan Etika Bisnis Islam, diposting Jumat, 07 Mei 2010 10:01.

Wibowo, Hendro. Konsep Etika Bisnis dalam Islam. Dosen STEI SEBI Jakarta & Kandidat Master Ekonomi Islam Univ. Paramadina, Diposting oleh Hendro Wibowo, 9 February 2009.

Gunawan, Johanes. Tanggung Jawab Pelaku Usaha menurut Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Makalah Seminar Sehari tentang Penerapan Undnag-undang Anti Monopoli dan Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam Kegiatan Perekonomian Guna Menghindari Praktek Bisnis Curang, Bandung, 25 Februari 2000.

Page 134: At-Tasyri' V2 N1

124

yulia

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

Page 135: At-Tasyri' V2 N1

Raswiadi

Abstract

The bank has provided the benefit for human being. Nowadays, no body live in the world except use the bank for deposit, loan and so on. The variety of bank has promoted the variety of product. Let alone, if it’s related to the base of normative values, syari’ah. Concerning the value, shari’ah bank should referred the regulation in the Qur’an and Hadith. Meanwhile, the conventional bank referred the rule of a certain country. generally, shari’ah bank has a similar basic among them in the world. The writer should explain this comparatively. This writing tries to provide the wholly understanding about the rule, system, and management of both of the banks.

Kata kunci: Bank, syari’ah, konvensional

BANK SYARI`AHDAN BANK KONVENSIONAL

Dosen Prodi Muamalah STAI Teungku Dirundeng Meulaboh

Page 136: At-Tasyri' V2 N1

126

raSWiaDi

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

A. Pendahuluan Bagi orang Islam, Alquran adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang secara absolute dipenuhi. Terdapat banyak ayat Alquran dan Hadis Nabi Muhammad saw., yang mendorong manusia untuk rajin bekerja (termasuk di dalamnya kegiatan perekonomian) dan mencela orang menjadi pemalas. Melakukan kegiatan ekonomi tersebut merupakan aktifitas sehari-hari manusia dan telah menjadi tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kegiatan itu memperoleh rizki dan dengan rizki itu manusia dapat melangsungkan kehidupannya. Tetapi tidak semua kegiatan ekonomi yang ada sekarang ini dibenarkan baik dalam Alquran maupun Hadis, apabila kegiatan itu punya watak yang merugikan banyak orangdan menguntungkan sebagian kecil orang seperti monopoli dagang, calo, perjudian dan termasuk ke dalamnya riba. Investasi harta yang membahayakan masyarakat, dalam hal ini termasuk salah satunya riba dalam sebuah praktek perbankan, karena riba salah satu bentuk investasi harta yang merealisasikan kepentingan ribadi dan membahayakan kepentingan umum, produksi dan keuntungan yang diperoleh dengan jalan ribamerupakan suatu bentuk eksploitasi dan menimbulkan bahaya yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab lemahnya kekuatan ekonomi umat bahkan sebuah bangsa. Kelemahan dalam sektor ekonomi ini menyebabkan kelemahan di dalam sektor kehidupan yang lain seperti politik, keamanan, sosial, pendidikan dan kebudayaan. Islam dan agama Samawi lainnya mengharamkan riba, kerana dengan riba dapat menimbulkan resiko ekonomi, hal ini menunjukkan bahwa riba merupakan mediasi yang tidak cocok bagi kegiatan ekonomi. Dalam makalah ini, penulis mencoba membahas tentang permasalahan bank konvensional dan bank Syari’ah (Islam) dan kaitannya dengan riba (haram), beserta dasar hukum plarangan riba, karena kita ketahui bersama bahwa riba merupakan suatu instrument yang sangat dilarang dalam Islam

B. Gambaran Umum Bank Konvensional dan Bank Syari’ah Bank berasal dari kata Italia “banco” yang artinya “bangku”, bangku ini yang digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan operasional bank pada masa awal perbankan. Istilah bangku secara resmi dan popular menjadi “bank”. Bank termasuk perusahaan industri jasa, karena aktivitas poerasionalnya

Page 137: At-Tasyri' V2 N1

127

BaNK Syari`ah DaN BaNK KONvENSiONal

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

hanya memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.1

Pada umumnya tidak terdapat definisi yang tepat berkenaan dengan bank, Undang-Undang Perbankan New York mendefinisikan bank sebagai segala tempat transaksi valuta setempat, juga merupakan tempat usaha yang berbentuk trust, pemberian discont dan memperjual belikan surat kuasa, draf, rekening dan sistem peminjaman, menerima deposito dan semua bentuk surat berharga, memberikan pinjaman uang dengan memberikan jaminan berbentuk harta atau keselamatan pribadi dan memperdagangkan emas batangan, perak, uang dan rekening bank. Istilah “banker” dalam Undang-Undang Bills of Exchange Act 1882 dab Stamp Act 1891 didefinisikan sebagai orang-orang yang hendak melakukan perdagangan dalam dunia perbankan tanpa menimbulkan akibat apapun terhadap pelakunya.2

Secara teknis, istilah Bank Syari’ah atau Bank Islam memiliki pengertian yang sama. Bank Syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syari’at Islam.3

Berdasarkan rumusan tersebut, Bank Syari’ah berarti bank yang tata cara operasinya didasari pada tata cara bermuamalat Islam, yakni mengaju pada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini memang Al-Qur’an dan Sunnah hanya memberikan prinsip-prinsip dan filosofi dasar dan menegaskan larangan yang harus dijauhi. Dengan demikian, yang harus dilakukan hanyalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang oleh Islam. Selain itu, semuanya diperbolehkan dan umat Islam dapat melakukan inovasi dan kreativitas sebanyak mungkin sebagaimana dalam kaidah ushul fiqih yang berkaitan dengan hukum asal muamalat menyatakan bahwa “Segala sesuatu dibolehkan, kecuali ada larangan dalam Alquran dan Sunnah”. Istilah bank tanpa bunga sebenarnya dapat memberikan konotasi yang berbeda dari esensi Bank Syari’ah. Istilah tanpa bunga ini sering diasosiasikan

1 Malayu S.P, Teori dan Praktek Kegiatan Operasional Bank, (Jakarta:Citra Haji Masagung, 1996), hal. 1.2 Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, (Jakarta: Grafindo, 2000), hal. 1.3 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful) di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 5.

Page 138: At-Tasyri' V2 N1

128

raSWiaDi

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

dengan tanpa biaya (no interest) yang sebenarnya tidak tepat. Oleh karena itu sebaiknya kita pakai saja istilah Bank bagi hasil yang juga dipakai di Bank Indonesia (Bank Syari’ah). Memang bank brdasar Syari’ah ini tergolong baru di Indonesia dibandingkan Malaysia yang sudah mengenalnya sejak 10 tahun yang lalu. Di negara lain seperti Arab Saudi, Mesir, Jordan, Pakistan, Kuwait, Luxemburg bahkan sudah lebih dahulu mempraktekkannya. Cara operasi Bank Syari’ah ini hakikatnya sama saja dengan Bank Konvensional biasa, yang berbeda hanya dalam masalah bunga dan praktek lainnya yang menurut Syari’ah Islam tidak dibenarkan.4 Bank Islam atau Bank yang menggunakan prinsip bagi hasil adalah bank yang beroperasinya sesuai dengan Syari’ah Islam. Dengan kata lain bank operasinya mengacu pada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah. Ada beberapa ketentuan yang terdapat dalam permasalahan ini antara lain sebagai berikut: 1. Induk dan pengaturannya didasarkan pada UU No 7 Tahun 1992. 2. Latar belakangnya ada suatu keyakinan dalam agama Islam. 3. Merupakan suatu altrnative/perbankan yang kekhususannya pada

bagi hasil. 4. Tujuannya adalah melihat filosofi didirikan bank bagi hasil. Prinsip Bank Syari’ah adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan Syari’ah Islam, dalam tata cara bermuamalat itu dijauhi praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dari pembiayaan perdagangan.

C. Pengertian Riba Riba adalah al-ziyadah5, menurut bahasa adalah kelebihan tambahan6. Dalam pengertian lain berarti juga tumbuh dan besar, maksudnya tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang7. Sedangkan menurut istilah lain, berarti pengembalian tambahan dari harta pokok atau modal secara

4 Sofyan Syafri, Akuntansi Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, t.th.), hal. 95.5 Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Jilid 3, (Beirut:Darul Fikr, 1983) hal. 176.6 Nasrun Harun, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal. 181.7 Ibid., hal. 182.

Page 139: At-Tasyri' V2 N1

129

BaNK Syari`ah DaN BaNK KONvENSiONal

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

bathil.8Dalam Alquran disebutkan bahwa:“Jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu modalmu, kamu tidak berbuat zhalim dan tidak dizhalimi” (Q.S. Al-Baqarah: 279).

Dalam kaitannya dengan yang bathil dalam firman-Nya:“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil”.

Pengertian bathil dalam ayat tersebut menurut Ibnu Al-Farabi Al-Malk dalam kitabnya al-Ahkam Alquran menjelaskan bahwa pengertian riba secara bahasa adalah tambahan. Namun, yang dimaksud dengan riba dalam ayat di atas yaitu penambahan yang diambil tanpa adanya suatu transaksi pengganti atau penyeimbangyang dibenarkan Syari’ah. Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional sipemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga (riba) tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima sipeminjam, kecuali kesempatan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Hal yang dinilai tidak adildi sini adalah sipeminjam diwajibkan untuk selalu, harus, dan muthlak pasti mendapatkan keuntungan dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut, padahal jelas dalam Alquran dijelaskan bahwa manusia tidak pernah tau apa yang akan terjadi esok.

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat, dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang mengetahui (dengan pasti) apa yang diusahakannya besok9 dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

D. Jenis-Jenis Riba Riba dibagi ke dalam dua jenis, yaitu riba hutang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi menjadi dua yaitu qirad dan jahiliyah.

8 Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: SuatuPengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Institut, 2000), hal. 59.9 Maksudnya: manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya. Namun demikianmereka diwajibkan berusaha.

Page 140: At-Tasyri' V2 N1

130

raSWiaDi

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

Sedangkan yang kedua terbagi menjadi dua macam yaitu riba fadl dan riba nasi’ah.10

Kelompok pertama pembagian riba pada dua macam yaitu sebagai berikut: 1. Riba Qirad Yaitu suatu manfat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang. Syarat tersebut ditetapkan di awal akad, riba seperti ini yang sering dipraktekkan di dalam perbankan konvensional, dimana bunga bunga tersebut ditetapkan diawal dalam bentuk persentase dengan perhitungan persentase (tingkat suku bunga) inilah bank konvensional menetapkan berapa tambahan atas pinjaman dan simpanan, persentase tersebut dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya kesepakatan anatar nasabah dengan pihak bank. 2. Riba Jahiliah Yaitu hutang yang dibayar lebih dari pokoknya karena sipeminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan atau pada saat jatuh tempo. Tambahan atas pokok ini sebagai ganti waktu penundaan, jadi tidak mungkin dikembalikan maka keuntungan dari harta pokok tersebut akan terus dilipat gandakan, kondisi ini berlangsung hingga terjadi pelunasan. Dalam kehidupan zaman sekarang ini teraplikasi dalam sistem pembayaran kartu redit (credit card), jika seorang pengguna kartu kredit tidak mampu membayar dan pembayarannya telah jatuh tempo maka sipengguna diwajibkan untuk membayar bungaatas penndaan pembayaran, yang akan terus berlipat ganda jika si pengguna tidak mampu membayar tagihan atas penggunaan kartu kreditnya. Pengelompokkan kedua terdapat dua macam riba, yaitu sebagai berikut: 1. Riba Fadl Yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran berbeda, sedangkan barang yang ditertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Haramnya riba fadl telah ditetapkan dengan dasar sabda Rasulllullah saw.

“Emas dengan emas yang satu ukuran, perak dengan perak yang satu jenis, kurma dengan kurma yang sejenis, anggur dengan anggur yang

10 Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu….., hal. 63.

Page 141: At-Tasyri' V2 N1

131

BaNK Syari`ah DaN BaNK KONvENSiONal

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

sejenis, garam dengan garam yang sejenis, dan gandum dengan gandum yang sejenis. Barang siapa yang menambahkan atau meminta tambahan maka ia telah melakukan riba. Juallah emas dengan pera sekehendakmu dari satu tangan ke tangan pemilik lainnya. Dan juallah gandum dengan kurma sekehendakmu dari satu tangan ke tangan lainnya”.

2. Riba Nasiah Yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasiah bisa terjadi dalam proses jual beli yaitu dengan jual beli barang sejenis dengan kelebihan salah satunya, yang pembayarannya ditunda. Misalnya dalam barter barang sejenis membeli satu kilogram beras dengan dua kilogram beras yang akan dibayarkan satu bulan mendatang. Kelebihan salah satu barang sejenis atau tidak yang dibarengi dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu termasuk ke dalam riba nasiah.

D. Dasar Hukum Pelarangan Riba Umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larangan supaya umat Islam tidak melibatkan diri dengan sumber riba bersumber dari berbagai firman Allah Saw., dalam Alquran dan Hadis Rasullullah saw. 1. Larangan Riba dalam Alquran Larangan riba yang terdapat dalam Alquran tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap sebagai berikut: Tahap Pertama: menolak anggapan bahwa pinjaman riba pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah Swt. Dan menunjukkan bahwa riba bersifat negatif, isyarat ini yang terdapat dalam Alquran yaitu pada surah Ar-Rum ayat 39 sebagai berikut:

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” (Q.S. Ar-Rum : 39).

Ayat di atas secara zhahir tidak ada syarat yang menunjukkan

Page 142: At-Tasyri' V2 N1

132

raSWiaDi

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

pengharaman atas riba, akan tetapi hanya menerangkan akan kemungkaran Allah terhadap praktek riba yang sudah ada di kalangan masyarakat pada saat itu. Tahap kedua: turunnya surah al-Nisa’ ayat 160-161 yaitu sebagai berikut:

“Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mreka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah (Ayat 160). Dan disebabkan mreka memakan riba, pada sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (Q.S. an-Nisa’ : 161).

Riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah Swt. telah memberi isyarat akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktek riba yang ada di kalangan Yahudi, dimana ayat tersebut berisi pelajaran dan kisah-kisah Yahudi yang tidak mengindahkan larangan riba sehingga Allah Swt. memberi laknat dan kemungkaran. Tahap ketiga: riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Maka turunlah surah Ali-‘Imran ayat 130 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda11 dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Q.S. Ali-‘Imran: 130).

Ayat di atas secara tegas mengharamkan riba, namun keharamannya masih bersifat sebagian (juz’iy), belum menyeluruh. Karena haramnya di sini adalah satu macam dari riba yang ada disebut riba fahisy (riba paling

11 Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi’ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi’ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasi’ah dan fadl. Riba nasi’ah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasi’ah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.

Page 143: At-Tasyri' V2 N1

133

BaNK Syari`ah DaN BaNK KONvENSiONal

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

keji) yaitu suatu riba yang melipat gandakan pembayaran akibat ketidak mampuan dalam membayar hutang. Tahap keempat: pada tahap terakhir ini Allah Swt., dengan jelas dan tegas mengharamkan riba apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan dalam masalah riba. Surah al-Baqarah ayat 275-280 dengan tegas menyatakan keharaman atas riba, ayat ini tidak lagi membedakan banyak atau sedikitnya riba yang diambil.12

2. Larangan riba dalam HadisLarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Alquran, melainkan juga pada Hadith. Sebagai posisi Hadith yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Alquran.

Dari Abu Sa’id al-Khudari bahwasanya Nabi Muhammad saw., bersabda, “Janganlah kalian menjual satu dirham dengan imbalan dua dirham, karena sesungguhnya aku takut akan berlaku riba pada kalian”.

Dari Abu Sa’id al-Khudari bahwasanya Rasullullah saw., bersabda “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan garam, harus ditukar dengan sama dan kontan. Barang siapa menambah atau meminta tambah maka berarti dia berbuat riba, yang menerima dan memberi adalah sama” (H.R. Ahmad dan Bukhari).13

Dari Hadith di atas dapat disimpulkan bahwa Rasullullah saw. sebagai seorang pemimpin umat yang memegang roda pemerintahan dan mengatur kegiatan perekonomian, menyadari betul bahaya riba yang bukan secara emosional (keagamaan) saja menimbulkan dampak negatif tetapi juga secara rasional dapat menghancurkan stabilitas ekonomi umat.

E. Bunga Bank Pengertian bunga bank dalam literature konvensional adalah harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dan harga yang

12 Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, (Damaskus: Maktabah Al Ghazali, Jilid I, tt).13 Sayyid Sabiq Fiqh al- Sunnah, Jilid 3, (Beirut: Darul Fikr, 1983) hal. 25.

Page 144: At-Tasyri' V2 N1

134

raSWiaDi

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

harus dibayar oleh nasabah kepada bank (yang memperoleh pinjaman).14

Dalam pembahasan ulama fiqh klasik tidak dijumpai pembahasan tentang kaitan antara bunga bank dengan riba, karena sistem perekonomian dengan bank belum dikenal di zaman mereka. Pembahasan tentang bunga bank termasuk riba baru ditemukan dalam literatur fiqh kontemporer. Wahbah al-Zuhayli seorang pakar fiqh Syiria membahas hukum bunga bank melalui kacamata riba dalam terminology ulama-ulama klasik dalam berbagai mazhab fiqh. Menurutnya apabila standart riba yang digunakan adalah pandangan para ulama mazhab fiqh klasik maka bunga bank termasuk Riba Nasi’ah karena bunga bank itu termasuk kelebihan uang anpa imbalan dari pihak penerima dengan tambahan tenggang waktu. Alasan lain dikemukakan adalah apabila bank memberkan pinjaman maka ditetapkan harus ada lebihnya dari pokok harta yang dipinjamkan ketika mengembalikannya, baik itu dalam tahunan maupun bulanan, seperti 7 %, 5 % dan sebagainya dari harta pokok.15

Hal ini menurutnya sama halnya seperti para ulama klasik, oleh sebab itu bunga bank termasuk riba yang diharamkan. Demikian juga pembahasan riba yang dilakukan oleh Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah di Kairo, walaupun mereka mengakui bahwa sistem perekonomian suatu negara tidak boleh maju tnapa bank dan bank belum dikenal di masa Rasul. Namun karena sifat bunga itu merupakan kelebihan dari pokok hutang yang tidak ada imbalan bagi orang yang berpiutang dan sering menjurus pada sifat adh’afan mudha’afan (berlipat ganda) apabila uang tidak dibayar tepat waktu maka lembaga ini menetapkan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan syara’.16

F. Penutup Dewasa ini keterpurukan ekonomi semakin meningkat, laju inflasi terus melanda kestabilan ekonomi. Perbankan yang berperan sebagai lembaga yang mampu mengatasi segala kesulitan masyrakat dalam hal perekonomian semakin tidak efektif, sehingga sebagai lembaga keuangan semakin sulit untuk

14 Kasmir. Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 133.15 Wahbah al-Zuhayli. Al-Fiqh al Islam wa Adillatuh, Jilid 5, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), hal. 3.714.16 Sayyid Sabiq, Fiqh...., hal. 67.

Page 145: At-Tasyri' V2 N1

135

BaNK Syari`ah DaN BaNK KONvENSiONal

Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah

bertahan dalam krisis yang dihadapi Negara ini. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia semakin berusaha agar mampu menghindari segala keterpurukan yang dihadapi karena perbankan konvensional dalam tingkat persentase bunga yang tinggi tidak mampu memenuhi kewajibannya dalam memberi bunga (persen) pada nasabah. Sehingga adanya kenyataan bahwa banyak bank konvensional yang ditutup dan sebagiannya harus direkapitulasidengan biaya ratusan triliun rupiah. Dasar pemikiran pengembangan bank Syari’ah adalah untuk memberikan pelayanan jasa perbankan kepada sebagian masyarakat Indonesia yang tidak dapat dilayani oleh perbanan yang sudah ada karena bank-bank tersebut menggunakan sistem bunga. Lahirnya perbanan Syari’ah merupakan suatu kemajuan besar umat Islam dibidang perekonomian, sebab dengan adanya bank-bank Syari’ah maka diharapkan kegiatan perekonomian baik Negara Islam maupun masyarakat Islam akan dapat mencapai titik kesejahteraan. Hal tersebut aan dapat terealisasi dengan konsisnay masyarakat muslim dalam mendukung perkembangan Bank Syari’ah. Selain itu dukungan media informasi dalam mensosialisasikan bank Syari’ah kepada masyarakat sangat diperlukan. Juga lembaga-lembaga pendidikan dalam memproduksi sumber dana insan yang terlibat di Institusi Syari’ah, sehingga akan dapat memiliki pengalam akademis maupun praktis dalam Islamic Banking dan mampu mengamalkan ekonomi Syari’ah secara optimal. Pesan dan pengantar dalam Surah Al-Baqarah ayat 278-279 menjadi suatu peringatan yang tegas terhadap kaum muslimin akan berkembangnya praktek riba dalam segenap dimensi transaksi finansial umat. Pedoman yang terdapat dalam Al-Qur’an dalam hal perekonomian merupakan suatu landasan yang diyakini oleh kaum muslimin bahwa kegiatan perbankan yang menggunakan sistem bunga tidak sejalan dengan prinsip Syari’ah. Dengan dikembangkan perbankan berdasarkan prinsip Syari’ah diharapkan mobilisasi dana dan potensi ekonomi masyarakat muslim dapat dioptimalkan yang pada akhirnya akan meningkakan peran masyrakat dalam perekonomian nasional.

Page 146: At-Tasyri' V2 N1

136

raSWiaDi

At-Tasyri' | Volume II. No. 1, Februari - Mei 2010

DAFTAR PUSTAKA

Alquran dan Terjemahan.

al-Sabuni, Muhammad ‘Ali. Rawa’i Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam. Damaskus: Maktabah al-Ghazali, Jilid 1, t.th..

al-Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Jilid 5. Beirut:Dar al-Fikr, 2004.

Antonio, Syafi’i. Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum. Jakarta: Tazkia Institut, 1999.

Harun, Nasrun. Fiqh Muamalat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.

Kasmir. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Malayu S.P. Teori dan Praktek Kegiatan Operasional Bank. Jakarta: Citra Haji Masagung, 1996.

Muslehuddin. Sistem Perbankan Dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Jilid 3. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.

Sofyan. Akuntansi Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, t.th..

Sumitro, Warkum. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful) di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Page 147: At-Tasyri' V2 N1

PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL

PETUNJUK UMUM1. Artikel harus merupakan produk ilmiah orisinil, belum pernah

dipublikasikan di media manapun.2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia baku, bahasa Inggris dan bahasa

Arab.3. Isi tulisan berkaitan dalam bentuk konseptual, hasil penelitian dan

terjemahan dari bahasa asing.4. Panjang tulisan antara 15 sampai 20 halaman kwarto dengan spasi ganda.5. Artikel diserahkan dalam bentuk print out dan soft copy

PETUNJUK TEKNIS1. Kerangka tulisan meliputi judul, nama penulis, abstrak, kata kunci,

pendahuluan, data, pembahasan serta kesimpulan.2. Abstrak boleh dibuat dalam bahasa Inggris/Arab dengan memuat inti

permasalahan dan panjang tulisan antara 250-300 kata.3. Kata kunci bisa berbentuk kata maupun frasa maksimum 3 kosa kata.4. Pendahuluan mencakup permasalahan, tujuan dan metodologi yang

dipergunakan.5. Data disesuaikan dengan bentuk tulisan (library research) atau (field

research).6. Pembahasan harus dilakukan secara sistematis dengan merujuk pada

pendapat para ahli atau kajian yang pernah dilakukan mengenai topik yang dibahas.

7. Kesimpulan dapat berisi ungkapan singkat yang telah dibahas atau dapat

Page 148: At-Tasyri' V2 N1

berupa ungkapan implikatif yang tertarik dan topik yang diangkat untuk diterapkan pada kondisi dan tempat tertentu.

8. Curriculum Vitae disebutkan alumni dan bidang keahlian.9. Daftar Rujukan dalam bentuk FOOT NOTE dan hanya buku yang

karyanya dikaji saja yang dimasukkan dalam daftar isi.10. Transliterasi Arab Latin dipergunakan transliterasi sebagaimana yang

terdapat dalam konkordasi Alquran yang disusun oleh Ali Audah.

CATATAN1. Dewan Redaksi dapat mengubah dan mengoreksi bahasa dan istilah

tanpa merubah isinya atau tanpa diberitahukan kepada penulis. Untuk kondisi tertentu naskah yang masuk akan dikembalikan untuk diadakan perbaikan seperlunya.

2. Jadwal Penerbitan "at-Tasyri’" empat kali dalam setahun.

Page 149: At-Tasyri' V2 N1
Page 150: At-Tasyri' V2 N1

AT-TASYRI’ adalah jurnal Prodi Mu’amalah memuat solusi problematika ekonomi kontemporer dalam perspektif hukum Islam. Jurnal ini diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh bekerjasama dengan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh.

Redaksi mengundang para penulis, peneliti dan peminat ekonomi Islam agar dapat memberikan kontribusinya dalam bentuk tulisan ilmiah.

Tulisan dapat dikirim ke alamat redaksi :Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda, Meulaboh-Aceh Barat No. 100 Telp: 0655-7551591;Fax: 0655-7551591E-mail: [email protected]: www.staidirundeng.ac.id