asma bronchiale
Embed Size (px)
DESCRIPTION
asmaTRANSCRIPT

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
LAPORAN KASUS
BAGIAN KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KELAS C CIAMIS
1. Identitas PasienNama : Tn. HUsia : 53 TahunJenis Kelamin : Laki-lakiAlamat : ImbanagaraPekerjaan : WiraswastaAgama : IslamStatus : MenikahTanggal Masuk RS : 14 Juni 2013Jam Masuk RS : 18.00 WIB
2. AnamnesisKeluhan Utama : sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang :Os datang dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
napas disertai dengan bunyi mengi dan dirasakan semakin lama semakin berat. Sesak timbul bila cuaca dingin dan berada di lingkungan berdebu, dan os mengatakan sesaknya terjadi sebanyak 3 kali dalam seminggu. Os mengatakan sering bersin-bersin jika berada di lingkungan yang berdebu, kemudian hidung berair pada pagi hari dan menghilang pada siang hari. Keluhan sesak disertai dengan rasa dada seperti ditekan benda berat. Os juga mengeluhkan batuk berdahak. Keluhan demam, nyeri dada, terbangun pada malam hari karena sesak dan bengkak-bengkak pada tubuh disangkal os.
Riwayat Penyakit Dahulu :Os diketahui menderita asma sejak kecil, dan os menggunakan obat Salbutamol tablet
untuk meredakan sesaknya.
Riwayat Keluarga :Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan serupa dengan os. Namun, orang tua os
memiliki riwayat alergi makanan laut.
Riwayat Habituasi :Os mengaku merokok sejak usia 10 tahun hingga sekarang. Dalam sehari menghabiskan
sebungkus rokok.

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
3. Pemeriksaan FisikKeadaan umum : tampak sakit sedangKesadaran : compos mentis
Tanda VitalTekanan Darah : 120/80 mmHgNadi : 96 x / menit, reguler, isi cukupPernapasan : 20 x / menit, abdominal-thorakalSuhu : 36,5oC
Kepala– Inspeksi : normocephali, rambut hitam lebat, tidak tampak benjolan atau
lesi, wajah simetris, ekspresi wajah sesuai mood dan tidak ada paralisis, pernapasan cuping hidung (-).
– Palpasi : tidak teraba benjolan, tidak teraba krepitasi.– Perkusi : ketuk glabella (-)
Mata : simetris, edema palpebra (-/-), eksoftalmus (-/-), strabismus (-/-), conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+), sekret (-/-)
Leher : deviasi trakea (-), KGB tidak teraba membesar, JVP 5+2 cm H2O, kelenjar tiroid tidak tampak dan tidak teraba membesar, retraksi suprasternal (-)
ThoraxInspeksi : bentuk dada normal, simetris, jejas (-), retraksi interkostalis (-)Palpasi : nyeri tekan (-), krepitasi (-), massa abnormal (-)
Paru-paruAnterior:Inspeksi : simetris, deformitas (-)Palpasi : vokal fremitus normal simetris kanan dan kiri Perkusi : sonor di kedua lapang paru Auskultasi : vesikular breathing sound simetris kanan dan kiri, ronkhi -/-,
wheezing +/+Posterior:Inspeksi : simetris, deformitas (-)Palpasi : vokal fremitus normal simetris kanan dan kiri Perkusi : sonor di kedua lapang paru Auskultasi : vesikular breathing sound simetris kanan dan kiri, ronkhi -/-,
wheezing +/+

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
JantungInspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis tidak teraba Perkusi
• Batas kanan atas : ICS II linea parasternalis dextra • Batas kanan bawah : ICS IV linea parasternalis dextra • Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra • Batas kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
AbdomenInspeksi : sikatriks (-), striae (-), rata, benjolan (-), simetris Auskultasi : bunyi usus (+) normalPerkusi : timpani pada keempat kuadranPalpasi : nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, spleen tidak teraba pembesaran,
ballotement -/-
EkstremitasHangat + +
+ +
Edema - -- -
Kekuatan otot 5 5 5 5
Capillary refill < 2 detik
5. Resume Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang disertai bunyi mengi sejak 3 hari SMRS,
timbul jika cuaca dingin dan berada di lingkungan berdebu. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak. Pasien diketahui menderita asma sejak kecil. Pasien memiliki riwayat keluarga dengan alergi makanan laut. Pasien mengkonsumsi rokok sejak usia 10 tahun, menghabiskan 1 bungkus rokok setiap
harinya hingga saat ini. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 96 x/menit (reguler, isi cukup),

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
pernapasan 20 x/menit (abdominal-thorakal), suhu 36,5oC, wheezing +/+ pada thorax anterior maupun posterior.
6. Pemeriksaan PenunjangTanggal 14/06/2013
Hematologi
Hb :17,7g/dl ( ♂ = 14-18, ♀ = 12-16)
Ht : 50,9 % ( ♂ = 40-50, ♀ = 35-45)
Leu : 9.100/µL (5.000 – 10.000)
Trom : 223.000/µL (150.000 – 350.000)
Kimia Darah
Ureum : 24 mg/dl ( 10 – 50 )
Kreatinin : 0,89 mg/dl ( 0,5 – 1,1 )Asam urat : 5,6 mg/dl ( 3,4 – 7,0 )Kolesterol total : 110 mg/dl ( < 200 )Trigliserida : 61 mg/dl ( 60 – 200)
7. Diagnosis KlinisAsma bronchiale persisten ringanDD/ Bronkitis kronik
8. Penatalaksanaan- IVFD Ring As 20 tpm- Nebulizer Combivent® + 2 cc NaCl 0,9% / 12 jam- O2 nasal canule 4 lpm (lembab)- Nairet® Syrup 3xC1
9. Usulan Pemeriksaan- Pemeriksaan sputum- Rontgen thorax
FOLLOW UP HARIAN
Tanggal 15 Juni 2013 17 Juni 2013
S Sesak napas berkurang, batuk
berkurang
Sesak napas berkurang, batuk
berkurang
O KU : tampak sakit sedang,
Kes : CM
KU : tampak sakit sedang,
Kes : CM

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
T: 130/80 mmHg
N : 80 x/menit
S : 36,3°C
R : 20 x/menit
Paru : wheezing +/+ (anterior
dan posterior)
T : 120/80 mmHg
N : 80 x/menit
S : 36,5°C
R : 20 x/menit
Paru : wheezing +/+ (anterior
dan posterior)
A Asma bronchiale persisten
ringan
DD/ bronchitis kronik
Asma bronchiale persisten
ringan
DD/ bronchitis kronik
P IVFD Ring As 20 gtt/mnt
Nairet® syrup 3xC1
Nebulizer per 12 jam
IVFD Ring As 20 gtt/mnt
Nairet® syrup 3xC1
Nebulizer per 12 jam
Metilprednisolon 3x1tab
Tanggal 18 Juni 2013 19 Juni 2013
S Sesak berkurang, batuk
berkurang
Sesak (-), batuk berkurang
O KU : tampak sakit sedang,
Kes : CM
T : 120/80 mmHg
N : 80 x/menit
S : 36°C
R : 20 x/menit
Paru : wheezing +/+ (anterior
dan posterior)
KU : tampak membaik
Kes : CM
T : 120/80 mmHg
N : 80 x/menit
S : 36,5°C
R : 20 x/menit
Paru : wheezing -/- (anterior dan
posterior)
A Asma bronchiale persisten
ringan
DD/ bronchitis kronik
Asma bronchiale persisten
ringan
DD/ bronchitis kronik
P IVFD Ring As 20
gtt/mnt
Nairet® syrup 3xC1
Nebulizer per 12 jam
Metilprednisolon
BLPL

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
3x1tab

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
TINJAUAN PUSTAKA
ASMA BRONKIAL
1. DEFINISI
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia
dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran
napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada
rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.
(PDPI, 2006; GINA, 2009).
Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang
rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan
hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.
Gambar 2.1 Hubungan antara inflamasi, gejala klinis, dan patofisiologi Asma Sumber:
NHLBI, 2007.
2. EPIDEMIOLOGI

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300 juta
penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun
dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA, 2003).
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan
(morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma,
bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia
atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia
sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006).
Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar
4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar
5–15%.
3. PENYEBAB
a. Faktor Ekstrinsik (asma imunologik / asma alergi)
- Reaksi antigen-antibodi
- Inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang)
b. Faktor Intrinsik (asma non imunologi / asma non alergi)
- Infeksi : parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal
- Fisik : cuaca dingin, perubahan temperatur
- Iritan : kimia
- Polusi udara : CO, asap rokok, parfum
- Emosional : takut, cemas dan tegang
- Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus.
(Suriadi, 2001 : 7)
4. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ASMA
Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah:
1. Imunitas dasar

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma kemungkinan terjadi
ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007). Menurut Moffatt, dkk (2007), gen
ORMDL3 mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi asma.
2. Umur
Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu umur 5 – 14 tahun.
Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma
and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh Australian
Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18 – 34 tahun
adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada
RSUP Persahabatan menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun
(Pratama dkk, 2009).
3. Jenis Kelamin
Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah
faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio
prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada
manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis
kelamin (Maryono, 2009).
4. Faktor pencetus
Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling penting. Alergen–
allergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu
umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah
dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di perkotaan (NHLBI,
2007). Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang,
khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma. Konsentrasi
polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh angin dalam bentuk
partikel – partikel besar.
Iritan – iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga telah dikaitkan
dengan kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan dengan penurunan fungsi paru pada

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
penderita asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan mengurangi responsivitas
terhadap pengobatan asma dan pengontrolan asma. Menurut Dezateux dkk (1999), balita dari
ibu yang merokok mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi
dalam tahun pertama kehidupannya.
Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang adekuat juga dapat memicu
terjadinya serangan asma (Nurafiatin dkk, 2007). Riwayat penyakit infeksi saluran
pernapasan juga telah dihubungkan dengan kejadian asma. Menurut sebuat studi prospektif
oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita asma dengan riwayat infeksi saluran
pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan terus menderita mengi atau menderita asma
dalam kehidupannya.
5. Status sosioekonomik
Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomik / pendapatan
dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat paling banyak
terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40%.
5. PATOFISIOLOGI
Inflamasi berperan dalam peningkatan reaktifitas jalan napas. Mekanisme yang
menyebabkan inflamasi jalan napas cukup beragam, dan peran setiap mekanisme tersebut
bervariasi dan satu anak ke anak lain serta selama perjalanan penyakit.
Komponen penting asma lainnya adalah bronkosplasma dan obstruksi. Mekanisme yang
menyebabkan gejala obstruktif meliputi: Inflamasi dan udemamembran mukosa, akumulasi
sekresi yang berlebihan dari kelenjar mukosa, spasma otot – otot halus dan bronkiolus yang
menurunkan diameter bronkiolus.
Konstriksi bronkus merupakan reaksi normal terhadap stimulus asing, namun pada anak
yang menderita asma biasanya sangat parah hingga menyebabkan gangguan fungsi pernapasan:
otot halus, berbentuk kumparan spiral disekeliling jalan napas, menyebabkan penyempitan dan
pemendekan jalan napas, yang secara signifikan meningkatkan resistensi jalan napas terhadap
aliran udara. Pada saat inspirasi dan berkontraksi serta memendek selama ekspresi. Oleh karena
itu, kesulitan bernapas lebih berat terjadi selama fase ekspresi.

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
Peningkatan tahanan dalam jalan napas menyebabkan ekspresi yang dipaksakan melewati
lumen sempit. Volume udara yang terjebak dalam parumeningkat pada saat jalan napas secara
fungsional menutup di titik antara alveoli dan bronkus lobucus. Gas yang terjebak ini mendorong
individu untuk bernapas pada volume paru yang semakin tinggi. Akibatnya orang yang
menderita asma harus berjuang untuk menginspirasi jumlah udara yang cukup. Upaya keras
untuk bernapas ini akan menyebabkan keletihan, penurunan efektivitas pernapasan, dan
peningkatan konsumsi oksigen.
Inspirasi yang terjadi ketika volume paru lebih tinggi akan menginflasi alveoli secara
berlebihan dan menurunkan efektivitas batuk. Jika obstruksi semakin parah, terjadi penurunan
ventilasi alveolus disertai retensi karbondioksida, hipoksemia, asidosis pernapasan dan akhirnya
gagal napas (Wong, 2003).
6. TANDA DAN GEJALA
1. Stadium dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
a. Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek
b. Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang
timbul
c. Whezing belum ada
d. Belum ada kelainan bentuk thorak
e. Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
f. BGA belum patologis
Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan
a. Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
b. Whezing
c. Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
d. Penurunan tekanan parsial O2
2. Stadium lanjut/kronik
a. Batuk, ronchi
b. Sesak nafas berat dan dada seolah –olah tertekan
c. Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
d. Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest)
e. Thorak seperti barel chest
f. Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
g. Sianosis
h. BGA Pa O2 kurang dari 80%
i. Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan
kiri
j. Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik
(Halim Danukusumo, 2000, hal 218-229)
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Spirometri
Uji provokasi bronkus
Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan cosinofit total
Uji kulit
Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
Foto dada
Analisis gas darah
8. Diagnosis
Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan anamnesis
yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.
Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:
1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman, riwayat
alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada dan berdahak
yang berulang
4. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator
Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal (GINA, 2009).
Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah mengi. Pada
sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal
paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat
membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran
pernapasan (Chung, 2002). Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil
oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini
dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru
yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan
menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009).
1. Faal Paru
Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini
disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar keparahannya,
demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai derajat keparahan
hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu kita menegakkan diagnosis asma. Akan
tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat dengan gejala, hanya sebagai informasi
tambahan akan kadar kontrol terhadap asma (Pellegrino dkk, 2005). Banyak metode untuk
menilai faal paru, tetapi yang telah dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah: (1)
pemeriksaan spirometri dan (2) Arus Puncak Ekspirasi meter (APE). Pemeriksaan spirometri
merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA
(2009). Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil
yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
turunnya angka VEP1. Maka dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi
(%) dan atau rasio VEP1/KVP (%). Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat,
dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore (tidak lebih
dari 20%). Untuk mendapatkan variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari
sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan nilai APE
tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2006).
9. Klasifikasi
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan faal paru dapat ditentukan klasifikasi (derajat)
asma.
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
I. Intermiten Bulanan APE ≥ 80 %
• Gejala < 1x / minggu • Tanpa gejala di luar serangan • Serangan singkat
• ≤ 2 kali sebulan • VEP1 ≥ 80 % nilai prediksi • APE ≥ 80 % nilai terbaik • Variabiliti APE < 20 %
II. Persisten Ringan Mingguan APE ≥ 80 %
• Gejala > 1x / minggu, tetapi < 1x / hari • Serangan dapat mengganggu aktiviti dan tidur
• > 2 kali sebulan • VEP1 ≥ 80 % nilai prediksi • APE ≥ 80 % nilai terbaik • Variabiliti APE 20-30%
III. Persisten sedang Harian APE 60 - 80 %
• Gejala setiap hari • Serangan mengganggu aktiviti dan tidur • Membutuhkan bronkodilator setiap hari
• > 1x / seminggu • VEP1 60 - 80 % nilai prediksi • APE 60 - 80 % nilai terbaik • Variabiliti APE > 30%
IV. Persisten berat Kontinyu APE ≤ 60 %
• Gejala terus menerus • Sering kambuh • Aktiviti fisik terbatas
• Sering • VEP1 ≤ 60 % nilai prediksi • APE ≤ 60 % nilai terbaik • Variabiliti APE > 30%

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
Sumber: PDPI, 2006
10. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi klinis dari
penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar
penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
GINA (2009) dan PDPI (2006) menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan berdasarakan
kontrol. Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor
yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
1. Medikasi
2. Pengobatan berdasarkan derajat
▪ Medikasi
Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara seperti
inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui inhalasi agar
langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang minimal ataupun tidak ada. Macam–
macam pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan alat
bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI), breath–actuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma
terdiri atas pengontrol (controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol adalah medikasi asma
jangka panjang, terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar
asma tetap terkontrol (PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut
sebagai pencegah terdiri dari:
1. Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik
2. Leukotriene modifiers
3. Agonis β-2 kerja lama (inhalasi dan oral)
4. Metilsantin (teofilin)
5. Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium)
Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi
bronkokonstriksi dan mengurangi gejala – gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah dengan

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat
bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk.
Akan tetapi golongan obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hipersensitivitas jalan napas. Pelega terdiri dari:
1. Agonis β-2 kerja singkat
2. Kortikosteroid sistemik
3. Antikolinergik (Ipratropium bromide)
4. Metilsantin
Pengobatan Berdasarkan Derajat
Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi:
1. Asma Intermiten (Lihat Gambar 2.5)
a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol
b. Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan
agonis β-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat
oral atau antikolinergik inhalasi
c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka
sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan.
2. Asma Persisten Ringan (Lihat Gambar 2.5)
a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma,
dengan pilihan:
• Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari)
dan agonis β-2 kerja lama inhalasi
Budenoside : 200–400 μg/hari
Fluticasone propionate : 100–250 μg/hari
• Teofilin lepas lambat
• Kromolin
• Leukotriene modifiers
b. Pelega bronkodilator (Agonis β-2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu.

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
3. Asma Persisten Sedang (Lihat Gambar 2.5)
a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma,
dengan pilihan: • Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2 kerja
lama inhalasi
• Budenoside: 400–800 μg/hari
• Fluticasone propionate : 250–500 μg/hari
• Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah teofilin lepas lambat
• Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah agonis β-2 kerja lama oral
• Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μg/hari)
• Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah leukotriene modifiers
b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu
• Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 3–4 kali sehari, atau
• Agonis β-2 kerja singkat oral, atau
• Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat
• Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan
teofilin lepas lambat sebagai pengontrol
c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum
terkontrol; maka harus ditambahkan agonis β-2 kerja lama inhalasi
d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi
dalam satu kemasan agar lebih mudah
4. Asma Persisten Berat

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
• Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin,
kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik,
variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin
• Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan
pilihan: • Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2
kerja lama inhalasi
• Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari
• Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat
digunakan sebagai alternative agonis β-2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi
• Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek
samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas
atas

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis
Gambar. Penatalaksanaan Berdasarkan Derajat Asma.
Sumber: GINA, 2009.