antro ph ology

11
Tourism Anthropology & Philosopies Nama: Triono/13 0957 Kelas: S1-F PARIWISATA : ANTARA INDUSTRI DAN KEMANDIRIAN ILMU A. Fenomena Pariwisata Pariwisata lahir karena pergerakan manusia dalam mencari sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, menjelajahi wilayah-wilayah baru, mencari perubahan suasana untuk mendapatkan perjalanan baru. Perjalanan pariwisata selalu melibatkan dua entitas manusia: wisatawan dan masyarakat yang dikunjungi. Dua entitas tersebut saling berhubungan, saling memepengaruhi atau dua entitas yang berdialektik. Melalui ilmu filsafat pariwisata dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai ilmu yang mapan dan diuraikan

Upload: tindyop

Post on 04-Oct-2015

230 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

good

TRANSCRIPT

PARIWISATA :

Tourism Anthropology & Philosopies

Nama: Triono/13 0957

Kelas: S1-F

PARIWISATA :

ANTARA INDUSTRI DAN KEMANDIRIAN ILMU

Fenomena Pariwisata

Pariwisata lahir karena pergerakan manusia dalam mencari sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, menjelajahi wilayah-wilayah baru, mencari perubahan suasana untuk mendapatkan perjalanan baru.

Perjalanan pariwisata selalu melibatkan dua entitas manusia: wisatawan dan masyarakat yang dikunjungi. Dua entitas tersebut saling berhubungan, saling memepengaruhi atau dua entitas yang berdialektik.

Melalui ilmu filsafat pariwisata dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai ilmu yang mapan dan diuraikan menjadi askiologi, epistemologi dan ontologi pariwisata. Dari sudut pandang ekonomi pariwisata merupakan agregat tersendiri yang turut berpengaruh pada pendapatan bruto nasional, mempengaruhi perputaran permintaan, pertukaran mata uang dan distribusi barang dan transportasi. Dari sudut pandang politik pariwisata adalah alat untuk menyatukan identitas kebudayaan yang ditinggalkan oleh induk kebudayaannya.

Dari sudut ilmu sosiologi dan antropologi pariwisata mengalami interaksi perubahan manusia dan struktur yang terpengaruh akibat datangnya budaya baru, manfaat dan sisi negatif industri pariwisata bagi masyarakat lokal. Karena dalam kajian ilmu filsafat dapat diselidiki kajian mengenai efisiensi (menejemen), tujuan, sifat, karakter (sosiologi), pengaruh negatif dan positif (antropologi), dampak, relasi-relasi yang mungkin muncul (politik dan ekonomi) dan sebagainya.

Dalam perjalanan pariwisata terdapat makna perjalanan, makna eksistensi manusia, gaya hidup, modernitas, konsumsi, produksi, pertukaran simbol, yang semua itu tidak dapat diperoleh menggunakan ilmu-ilmu murni lain.

Pariwisata mengandung kepentingan yang bersifat kompleks: kepentingan pribadi menyakngkut gaya hidup, prestise, kesenangan, kepuasan, kebebasan, dan kemerdekaan. Hal tersebut berpengaruh terhadap positif-negatif fenomena pariwisata.

Sebagai fenomena yang dinamis, perkembangan pariwisata menimbulkan masalah terhadap lingkungan misalnya polusi udara, kekurangan air, keramaian lalu lintas dan kerusakan alam, adanya erupsi budaya, intregrasi sosial dan dampak lain. Dampak tersebut menemukan sebagai isu kontemporer industri pariwisata yang berlanjut terhadap isu lingkungan, isu moral, dan isu budaya masyarakat lokal. Pemahaman ini memerlukan kajian atau studi kriris terhadap fenomena pariwisata.

Spillane (1994) menjelaskan pariwisata merupakam gejala insani yang bersifat semesta, teratur dan ajek, kerap muncul tanpa ruang dan waktu. Secara fungsional, para pembuat kebijakan sadar bahwa pertumbuhan dan perkembangan pariwisata dapat menghadirkan bisnis raksasa dan pembangunan ramah lingkungan atau justru kerusakan tradisi. Industri pariwisata - termasuk sub-sub sektor pariwisata: travel dan transportasi. Pariwisata merupakam industri yang rentan gangguan keamanan, beresiko tinggi, mudah terpengaruh faktor ekonomi dunia, faktor stabilitas politik lokal dan nasional.

Satu segi metodelogi dan satu model penelitian saja tidak mampu memotret secara utuh fenomena pariwisata kontemporer. Penelitian Phillipmore dan Goodson (2004) dan penelitian Jamal & Holinshead (2001) menunjukkan bahwa ilmu pariwisata umumnya ragu-ragu dalam mengembangkan pemahaman mereka dari proses filosofos untuk digunakan sebagai dasar dari pengetahuan teoritis dan praksis. Holinshead mengajukan cara pandang ontologis explicates dalam penelitian perilaku sosial (pariwisata), bahwa masalah ontologis harus selalu mendahului pilihan metode penelitian tertentu.

Sebagai fenomena aktual, pemerintah indonesia telah merespon pariwisata dengan memberikan legalitas formal yang bersifat kasustik dalam bidang pendididkan ilmu pariwisata melalui keluarnya surat keputusan dari Dirjen Dikti Depdiknas No. 947/D/T/2008 dan 948/D/T/2008. Pengakuan ilmu pariwisata sebagai salah satu cabang science memiliki konsekuensi ilmiah yang rumit, karena saat ini industri pariwisata merupaka cermin dimana fenomena pariwisata dapat diamati fluktuasinya.

Pandangan Fungsional Ilmu PariwisataPariwisata adalah perjalan manusia (wisatawan) baik seorang maupun beberapa orang. Secara terminologis, pariwisata hanyalah pengadaan perjalanan yang disebut dengan travel atau tourism. Institute of Tourism in Britain (1976) merumuskan pariwisata sebagai kepergian orang-orang sementara dalam jangka waktu singkat ketempat tujuan diluar tempat tinggal dan pekerjaan sehari-hari serta kegiatan selama berda ditempat tujuan tersebut.

Pengertian ilmu pariwisata sebagai ilmu mandiri adalah ilmu yang mempelajari secara sistematik baik yang berkaitan dengan perjalan, gejala interaksi dan pengaruhnya, serta sistem pengelolaannya.

Ilmu pariwisata masuk pada ilmu humniora karena focus interest-nya adalah kehidupan masyarakat manusia. Ilmu pariwisata juga memliki kajian substantif yaitu kajian teori atau penguasaan keilmuan yang meliputi tentang pemahaman wisatawan yang berserak dalam disiplin ilmu sosisologi, antropologi, psikologi, ekologi, budaya ditambah ilmu seperti ekonomi bisnis dan ilmu tata ruang. Kajian ilmu praksis meliputi trampil bahasa, etika praksis, estetika, teknologi informatika dan lainnya (Spillane,2002).

Arah Baru Studi Ilmu Pariwisata: Metode FenomenologiSubstansi objek studi ilmu adalah kenyataan atau fakta dan kebenaran yang dihayati oleh manusia. Positivisme hanya mengakui penghayatan yang empirik sensual. Sesuatu dianggap real apabila korespondensi sensualitas yang satu dengan yang lainnya.

Pendekatan fenomenologik ada dua. Pertama, menjurus kekohenrensi rasional objektif. Kedua, menjurus ke arah koherensi moral. Pada penggunaan metode fenomenologik ada subjektifitas peneliti, karena subjek memiliki pemikiran tertentu. Subjektifitas peneliti bukan ada pada maknanya, melainkan dalam makna pengakuan teradap sikap selektif sejak pengumpulan data, analisis ampai kesimpulan.

Cara berpikir fenomenologik terjadi karena bertemunya subjek dengan objek ilmu. Suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, subjek, objek dan penemuan (Verhaak, 1989; Keraf, 2001). Pengalaman inderawi (empirik) sebagai permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara yang berlainan. Sedangkan positivismehanya mengakui sesuatu sebagai nyata dan benar apabila sesuatu itu dapat diamati dengan indera. Positivisme menolak dinyatakan sebagai fakta tetapi tidak dapat diamati dan tidak dapat diulang kembali seperti makna, hakikat lain.

Heidegger dengan destruksi fenomenologis dan pembongkaran metodis bertujuan untuk membersihkan problematika metafisika tradisional dari fenomenologi, untuk menolak pengertian fenomena tradisi Kantian yang artinya penampakan objek berkesadaran. Fenomena disebut pemahaman pertama sejauh mendahului setiap asumsi atau prasangka pengamat yang memiliki derajat pengetahuan sebenarnya.

Realitas pariwisata adalah perjalanan manusia yang direncanakan dan dikelola sacara profesional. Dalam pemahaman realitas perjalanan tersebut bahwa pariwisata bukanlah semata masalah empiris yaitu relasi antara wisatawan dan objek masyarakat serta timbul akibat perjanan tersebut. Untuk menujukeilmuan yang mandiri, setiap ilmu minimal memiliki tiga syarat dasra yakni: ontologi (objek yang dikaji), epistemologi (metodelogi untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran) dan aksiologi (nilai manfaat pengetahuan). Landasan ilmu dan kerangka praksis harus dipertimbangakan secara integral dalam kajian ilmu pariwisata dan aplikasinya di dunia industri pariwisata. Praksis ilmu pariwisata dengan praktik para pelaku di industri pariwisata harus sejalan.