analisis risiko kesehatan pajanan benzena melalui penentuan level trans trans muconic acid dalam...
DESCRIPTION
tulisan saya ini adalah mengenai analisis risiko pajanan benzena. umumnya penelitian risiko pajanan Benzena (dan zat – zat yang lain) di dapat dengan terlebih dahulu mengukur konsentrasinya pada media pajanan. namun pada penelitian ini, saya memulai dengan mengukur BIOLOGICAL EXPOSURE INDICES dari TRANS,TRANS-MUCONIC ACID sebagai indikator pajanan BENZENA terlebih dahulu dari urin karyawan SPBU. kemudian dengan persamaan yang saya dapatkan dari buku BIOLOGICAL MONITORING : A PRACTICAL>> FIELD MANUAL (AIHA, 2004), saya mendapatkan konsentrasi pajanan BENZENA di udara tanpa harus mengukur konsentrasinyaTRANSCRIPT
ANA
MELA
ACI
Diaju
PROGR
ALISIS R
ALUI PEN
ID DALA
ukan seba
FAKURAM STU
UNIVER
RISIKO K
NENTUAN
AM URIN
JAKA
agai salahSarjana K
Z
ULTAS KEUDI SARKESEHA
DE
RSITAS I
KESEHAT
N LEVEL
N PADA K
ARTA UT
h satu syaKesehata
SKRIP
ZULIYAW
0806386
ESEHATRJANA KATAN LI
DEPOESEMBE
INDONE
TAN PAJ
L TRANS
KARYAW
TARA 201
rat untukan Masyar
PSI
WAN
6240
AN MASKESEHATINGKUNGOK ER 2010
ESIA
ANAN BE
S,TRANS
WAN DI S
10
k memperrakat
SYARAKATAN MASGAN
ENZENA
-MUCON
SPBU ‘X’,
roleh gela
AT SYARAK
A
NIC
,
ar
KAT
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanallahu wata’ala, sebuah
pujian yang sangat layak saya sampaikan, karena dengan rahmat-Nya, saya dapat
menyelesaikan sebuah tulisan kecil dalam bentuk skripsi yang berjudul Analisis
Resiko Kesehatan Pajanan Benzena Melalui Penentuan Level Trans, Trans-
Muconic Acid dalam Urin Pada Karyawan di SPBU ‘X’, Jakarta Utara, dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat, jurusan Kesehatan Lingkungan pada Universitas Indonesia.
Semenjak awal perkuliahan sampai dengan penulisan skripsi ini, tak
terhitung banyak dukungan dan bantuan yang saya dapatkan dari berbagai pihak,
untuk itu ucapan tulus terimakasih saya sampaikan kepada:
Kedua orang tua, anak dan istri yang tak henti - hentinya mengalirkan doa,
memberikan semangat, membantu (terutama pada masa penyusunan skripsi) dan
merelakan sebagian haknya terabaikan.
(1) Bapak drg. Paripurna H,S.M.Kes (semoga ALLAH SUBHANALAHU
WATA’ALA mengampuni dosa dan menerima semua amal beliau), selaku
Kepala Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Jakarta Utara saat penulis
mengajukan permohonan mendapatkan Tugas Belajar, yang telah
memberikan saya izin untuk mendaftar program Tugas Belajar.
(2) Bapak drg. Iwan Kurniawan, selaku Kepala Seksi Penyakit Menular Suku
Dinas Kesehatan masyarakat Jakarta Utara saat penulis mengajukan
permohonan mendapatkan Tugas Belajar, atas dorongan penuh bagi saya
untuk ikut mendaftar program Tugas Belajar. Terimakasih dok karena
memudahkan urusan untuk meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan saya di jalur gratisan.
(3) Bapak Drs. Bambang Wispriyono, Apt.,Ph.D. selaku Dekan FKM UI dan
Pembimbing saya, yang masih memberikan kesempatan dalam kesempitan
kondisi saya, memacu saya untuk melakukan penelitian yang tidak biasa.
Terimakasih Pak, semoga ALLAH SUBHANALAHU WATA’ALA
memudahkan semua urusan Bapak dalam menjalankan tugas.
vi
(4) Bapak Drs. Abdur Rahman, M.Env. selaku penguji saya yang ramah dan
baik hati yang memperkenankan waktunya untuk berdiskusi dan
memberikan solusi.
(5) Ibu Febriyetty, SKM, MKM. yang menyediakan waktunya untuk menguji
saya, mudah-mudahan mendapatkan suasana yang nyaman dan
menenangkan di tempat tugas yang baru.
(6) Bapak Dedi, karyawan di SPBU ‘X’, yang telah menyediakan waktunya
untuk menemani saya dalam melakukan penelitian di tempat tugasnya.
(7) Bapak Sumadi, Karyawan Puskesmas Kecamatan Tanjung Priok,
penghubung saya dengan SPBU ‘X’, terimakasih kang, juga untuk
dukungannya.
(8) Dosen dan staf Departemen Kesehatan Lingkungan, Pak Tusin dan Pak
Nasir, terimakasih untuk kebersamaan dan kenyamanan yang diberikan
selama saya mengikuti perkuliahan.
(9) Edy Sumanto, teman SMA saya, sahabat yang menyenangkan, saudara
yang penuh perhatian, penyemangat yang bersemangat. Jazakallahu
Khairan, semoga ALLAH SUBHANALAHU WATA’ALA membalas
kebaikan antum, memudahkan semua urusan dan memberikan jalan keluar
bagi setiap kebuntuan yang antum alami.
(10) Rekan-rekan satu kantor saya, Pak Toto, Mba Lisna, Mas Topo (apa kabar
kang? Terimakasih kaosnya), Mba Irma, Tariswan (selamat menempuh
S2), Yusniar, Pak Wahyudi, dr. Dience, dr. Yanti, Mbah Jack, kita begitu
dekat, bahkan ketika tuntutan pekerjaan memisahkan kita saat ini, rasa
dekat itu tetap ada di hati kita. Ada canda, celoteh, nasehat, ledekan, gosip,
sampai tangisan justru menjadikan kita semakin menikmati rasa 'keluarga'
itu (kutipan dr. Yanti).
(11) Bu Ava (Kepala Labkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta),
terimakasih Bu atas potongan harga untuk pemeriksaan sampel penelitian
saya, Mba Nia (Sekretaris Dekan), terimakasih Mba atas setiap tanggal
dan jam yang saya pesan untuk ketemu Pak Bambang, teman-teman satu
angkatan, Mba Yanti, Dila, Pak Edy, Mas Dwi, Modrig (mudah-mudahan
pinggangnya cepet sembuh), Pak Erwanto (semangat Kapt!), Gita yang
vii
sudah sangat membantu saya (SUBHANALLAH, semoga ALLAH
SUBHANALAHU WATA’ALA membalas dengan banyak kebaikan,
jangan lupa tawaran saya soal “itu” masih berlaku), tetangga dan saudara
saya, Pakde Sakiman (terimakasih soal pelajaran hidup dan kehidupan),
Bude Bambang yang udah direpotin soal itungan Logaritma, Pakde Kris,
keluarga Pak Toto (terimakasih perhatiannya pada keluarga saya).
Sebagai penutup, saya berharap dan berdoa, semoga ALLAH
SUBHANALAHU WATA’ALA memberikan kebaikan dan keberkahan atas
dukungan dan bantuan semua pihak yang diberikan kepada saya. Skripsi saya
sangat jauh dari kata “sempurna”. Seperti Pak Rahman bilang, “penelitian boleh
salah, sehingga penelitian tidak akan pernah berhenti dilakukan”, untuk itu mohon
kiranya pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang akan sangat bermanfaat
buat saya.
Depok, 23 Desember 2010
Penulis
ix
ABSTRAK
Nama : Zuliyawan Program Studi : Sarjana Judul : Analisis Risiko Kesehatan Pajanan Benzena Melalui Penentuan
Level Trans, Trans-Muconic Acid dalam Urin Pada Karyawan di SPBU ‘X’, Jakarta Utara 2010
Sejak ditemukannya bukti gangguan kesehatan akibat pajanan benzena pada pekerja pabrik ban di Swedia satu abad yang lampau, benzena telah menjadi salah satu bahan kimia yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia. Tidak ada batas terendah yang aman terhadap pemajanan senyawa kimia ini untuk mendapatkan resiko leukemia pada semua tingkat pajanan. Trans,trans-Muconid Acid (t,t-MA) adalah metabolit minor dari benzena yang dapat digunakan sebagai indikator biologi untuk pajanan benzena. Beberapa penelitian mengindikasikan hubungan kwantitas antara pajanan inhalasi dengan t,t-MA sebagai biomarker pajanan benzene. Karyawan SPBU, khususnya operator pengisian BBM adalah salah satu populasi pekerja yang memiliki tingkat resiko pajanan benzena yang tinggi, terutama melalui jalur inhalasi dalam waktu pajanan yang kontinyu. Untuk itu dilakukan penelitian mengenai analisis risiko kesehatan pajanan benzena melalui penentuan level t,t-MA dalam Urin Pada Karyawan di SPBU ‘X’ Jakarta Utara, untuk mengetahui besar resiko kesehatan pajanan inhalasi udara yang mengandung benzena yang mungkin dialami. Metode yang digunakan adalah analisis risiko kesehatan lingkungan, yaitu menghitung besar risiko individu dan populasi. Dilakukan perhitungan asupan dari variable konsentrasi benzena pada area pernapasan karyawan, berat badan karyawan, lama pajanan, frekwensi pajanan, durasi pajanan dan periode waktu rata-rata. Konsentrasi benzena didapat dengan melakukan konversi menggunakan persamaan log (MA, mg/g creatinine) = 0,429 log (A-benzen ppm) – 0,304. Besar risiko efek nonkanker didapat dengan membagi asupan dengan nilai RfC, sedangkan besar risiko efek kanker didapat dengan mengalikan asupan dengan Slope Factor. Pada estimasi risiko individu, karyawan yang memiliki risiko efek nonkanker (RQ>1) dengan durasi pajanan realtime, 3 tahun dan lifetime berturut-turut adalah 1 orang (10%), 2 orang (20%) dan 8 orang (80%). Sedangkan untuk risiko nonkanker (ECR > 10⁻⁴) berturut-turut adalah 1 orang (10%), 3 orang (30%) dan 8 orang (80%). Tidak terdapat risiko efek nonkanker untuk semua durasi pajanan pada estimasi risiko populasi, sedangkan untuk efek kanker, hanya pada durasi pajanan lifetime populasi karyawan memiliki risiko mendapatkan efek kanker. Di sarankan agar karyawan SPBU ‘X’ bekerja tidak lebih dari 3 tahun agar terlindung dari risiko kanker. Kata kunci : Benzena, Trans,trans-Muconic Acid, Karyawan SPBU, Analisis Risiko Kesehatan, Asupan, Besar Risiko.
x
ABSTRACT
Name : Zuliyawan Study Program: Bachelor of Degree Title : Health Risk Analysis Of Benzene Exposure Through Determination Levels Of Trans,trans-Muconic Acid In Urine On Employees In gas Station ‘X’ Jakarta Utara 2010
Since the discovery of evidence of health problems from exposure to benzene at the tire factory workers in Sweden a century ago, benzene has been one of the most dangerous chemicals to human health. There is no safe lower limit of exposure of this chemical compound to get a leukemia risk at all levels of exposure. Trans, trans-Muconid Acid (t, t-MA) is a minor metabolite of benzene that can be used as a biological indicator for benzene exposure. Some studies indicate the quantity relationship between inhalation exposure to t, t-MA as a biomarker of exposure to benzene. Employees filling stations, particularly the operator filling the fuel is one of the working population that has a high risk of exposure to benzene is high, mainly through the inhalation route in a time of continuous exposure. For that conducted research on the analysis of the health risks of benzene exposure by determining the level of t, t-MA in Urine On employees at the 'X' gas station Jakarta Utara, to know the health risks of exposure to inhalation of air containing benzene that may be experienced. The method used is the analysis of environmental health risks, namely computing the individual risk and population. The calculation of variable intake of benzene concentration in the respiratory area employees, employees' weight, length of exposure, exposure frequency, duration of exposure and the average time period. Concentrations of benzene obtained by converting the equation log (MA, mg / g creatinine) = 0.429 log (A-benzene ppm) - 0.304. Risk of non cancer effects are obtained by dividing the intake by the RFC, while the risk of cancer effects are obtained by multiplying the intake with the Slope Factor. At the risk estimates of individuals, employees who have a risk of non cancer effects (RQ> 1) with duration of exposure to real-time, 3 years and a lifetime in a row is 1 person (10%), 2 people (20%) and 8 people (80%). As for non cancer risk (ECR> 10 ⁻ ⁴) in a row is 1 person (10%), 3 people (30%) and 8 people (80%). There is no risk of non cancer effects for all the duration of exposure on estimates of population risk, while for the effects of cancer, only on the duration of lifetime exposure to employee population has the risk of getting cancer effects. At the ‘X’ gas stations suggest that employees work no more than 3 years to protect themselves from cancer risks. Keywords: Benzene, Trans,trans-Muconic Acid, Gas Station Employees, Health Risk Analysis, Intake, Risks.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….. i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS …………………………..... ii SURAT PERNYATAAN …………………………………………........... iii LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………........... iv KATA PENGANTAR ……………………………………………………... v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……….…. viii ABSTRAK ………………………………………………………………….. ix DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. xi DAFTAR TABEL….. ……………………………………………………… xiv DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….. xv DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xvi 1 PENDAHULUAN ………………………………………………….. 1.1 Latar Belakang………………………………………………………. 1 1.2 Perumusan Masalah………………………………………………….. 4 1.3 Pertanyaan Penelitian………………………………………………... 4 1.4 Tujuan………………………………………………………………... 5 1.4.1 Tujuan Umum………………………………………………… 5 1.4.1 Tujuan Khusus.………………………………………………… 5 1.5 Manfaat Penelitian…………………………………………………… 5 1.6 Ruang Lingkup Penelitian…………………………………………… 6 2 TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………… 2.1 Tinjauan Tentang Benzena.......................................................... 7 2.1.1 Pengertian, Jenis dan Karakteristik............................................ 7 2.1.2 Sumber Pajanan Benzena…………………………………… 8 2.1.2.1 Sumber Alami……………………………………….. 8 2.1.2.2 Sumber Antropogenik……………………………….. 8 2.1.3 Jalur Pajanan Benzena………………………………………. 9 2.1.3.1 Inhalasi………………………………………………. 10 2.1.3.2 Ingesti..………………………………………………. 10 2.1.3.3 Kulit dan Mata…..…………….……………………. 10 2.1.4 Toksikokinetik Benzena dalam Tubuh……………………… 11 2.1.4.1 Absorbsi.....…………………………………………. 11 2.1.4.2 Distribusi……………………………………………. 12 2.1.4.3 Metabolisme……...…………….……………………. 12 2.1.4.4 Eliminasi……………………………………………. 14 2.1.5 Penggunaan Benzena………………………………………….. 14 2.1.6 Penetapan/Pengukuran Konsentrasi Benzena………………. 15 2.1.7 Efek Kesehatan Akibat Pajanan Benzena…………………... 16 2.1.7.1 Efek Pajanan Akut…………………………………… 17 2.1.7.2 Efek Pajanan Kronis………………………………… 18 2.1.8 Tanda dan Gejala Pajanan Benzena 19 2.1.8.1 Tanda dan Gejala Pajanan Akut……………………… 19 2.1.8.2 Tanda dan Gejala Pajanan Kronis…………………… 20 2.1.9 Batas Pajanan Benzena……………………………………… 20
xii
2.1.9.1 Batas pajanan udara…………………………………. 20 2.1.9.2 Batas pajanan air…..…………………………………. 20 2.1.9.3 Batas pajanan makanan………………………………. 21 2.1.10 Alat Perlindungan Diri……………………………………….. 21 2.1.11 Biomarker…………………………………………………….. 22 2.1.11.1 Definisi……………………………………………… 22 2.1.11.2 Jenis biomarker……..……………………………… 23 2.1.11.3 Biomarker pajanan benzena………………………… 24 2.1.11.4 Pengukuran trans,trans-Muconic Acid dalam
urin……………………………..………………….. 25
2.1.11.5 Biological exposures indices……………………… 25 2.2 Pajanan Benzena di SPBU…………………………………………... 27 2.3 Analisis Risiko dan Manajemen Risiko 27 2.3.1 Hazard Identification (Identifikasi Bahaya)…………………… 29 2.3.2 Exposure Assessment (Analisis Pemajanan)………………… 29 2.3.3 Dose-respons assessment (Penilaian dosis-respon)…………… 33 2.3.4 Risk characterization (Karakterisasi risiko)…………………… 35 2.3.5 Risk management (Manajemen risiko)…...…………………… 36 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN
DEFINISI OPERATIONAL …………………………………...…. 37
3.1 Kerangka Teori………………………………………………………. 37 3.2 Kerangka Konsep……………………………………………………. 37 3.3 Definisi Operasional…………………………………………………. 38 4 METODE PENELITIAN …………………………………………. 4.1 Rancangan Studi……………………………………………………... 40 4.2 Rancangan Sampel…………………………………………………... 40 4.2.1 Populasi sampel………………………………………………... 40 4.2.2 Perhitungan sampel……………………………………………. 41 4.2.3 Cara pengambilan spesimen biologis………………………….. 41 4.2.4 Cara pemeriksaan spesimen biologis………………………….. 41 4.3 Pengumpulan Data…………………………………………………... 42 4.3.1 Pengumpulan data variabel independen……………………... 42 4.3.2 Tempat dan waktu……………………………………………... 42 4.3.3 Pengorganisasian………………………..……………………... 42 4.4 Analisis Data………………………………………………………… 43 5 HASIL ……………………………………………………………… 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian………………………………… 45 5.2 Level t,t-MA Dalam Urin……………………………………………. 45 5.3 Distribusi Variabel Antropogenik Dan Pola Aktifitas Faktor-faktor
Pemajanan…………………………………………………………… 46
5.3.1 Konsentrasi pajanan benzene………………………………….. 46 5.3.2 Umur karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara 48 5.3.3 Berat badan karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara 49 5.3.4 Lama bekerja Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara 49
xiii
5.4 Analisis Pemajanan………………………………………………….. 50 5.5 Karakteristik Risiko………………………………………………….. 53 5.6 Estimasi Risiko Populasi Karyawan SPBU yang Terpajan Benzena... 56 5.7 Manajemen Risiko…………………………………………………… 59 6 PEMBAHASAN ………………………………………………..….. 62 6.1 Sumber Pajanan Benzena di SPBU ‘X’……………………………... 62 6.2 Level t,t-MA dalam urin (µg/g creatinine)…………………………... 62 6.3 Distribusi Variabel Antropogenik Dan Pola Aktifitas Faktor-faktor
Pemajanan…………………………………………………………… 63
6.3.1 Konsentrasi pajanan benzene………………………………….. 63 6.3.2 Berat Badan Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara………………. 64 6.3.3 Lama Bekerja Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara…………….. 65 6.4 Analisis Pemajanan dan Perhitungan Intake………………………… 65 6.5 Karakteristik Resiko…………………………………………………. 66 6.6 Estimasi Resiko Populasi Karyawan SPBU ‘X’yang Terpajan
Benzen……………………………………………………………….. 67
6.7 Manajemen Risiko…………………………………………………… 68 7 KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………. 7.1 Kesimpulan…………………………………………………………... 70 7.2 Saran…………………………………………………………………. 71 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 73
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sifat Fisik dan Kimia Benzena……………………………….. 8 Tabel 2.2 Aspek – aspek Dalam Analisis Pajanan……………………… 30 Tabel 2.3 Beberapa nilai default faktor-faktor pemajanan
untuk
menghitung asupan berbagai jalur pajanan…………………... 32
Tabel 2.4 Dosis-respon Kuantitatif Nonkarsinogenik dan Karsinogenik Benzena……………………………………………………….
34
Tabel 5.1 Level t,t-MA dalam urin pada Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara…………………………………………………………..
46
Tabel 5.2 Distribusi Level t,t-MA dalam urin pada Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara……………………………………………
46
Tabel 5.3 Konsentrasi Pajanan Benzena Hasil Konversi kandungan t,t-MA Urin Pada Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara………….
47
Tabel 5.4 Distribusi Konsentrasi Pajanan Benzen (mg/M³) Hasil Konversi kandungan t,t-MA Urin pada Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara…………………………………………………
48
Tabel 5.5 Distribusi Umur Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara………… 48 Tabel 5.6 Umur Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara……………………. 48 Tabel 5.7 Distribusi Berat Badan Karyawan SPBU’X’ Jakarta Utara….. 49 Tabel 5.8 Distribusi Durasi Kerja Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara…. 50 Tabel 5.9 Distribusi Intake (Asupan) efek nonkanker berdasarkan
pajanan Benzena realtime, 3 tahun dan lifetime pada Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara…………………………..
51
Tabel 5.10 Distribusi Intake (Asupan) Efek Kanker Berdasarkan Pajanan Benzena realtime, 3 tahun dan lifetime Pada Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara……………………………………………
52
Tabel 5.11 Distribusi Risk Quotient (RQ) berdasarkan pajanan Benzena realtime, 3 tahun dan lifetime pada Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara…………………………………………………..
54
Tabel 5.12 Distribusi Risk Quotient realtime, 3 tahun dan lifetime Berdasarkan Perhitungan Individu Pada Sampel Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara………………………………………
54
Tabel 5.13 Distribusi Excess Cancer Risk realtime , 3 tahun dan lifetime Berdasarkan Perhitungan Individu Pada Sampel Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara………………………………………
55
Tabel 5.14 Distribusi Excess Cancer Risk realtime, 3 tahun dan lifetime Berdasarkan Perhitungan Individu Pada Sampel Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara………………………………………
56
Tabel 5.15 Data Hasil Perhitungan Pilihan Pengendalian Risiko Efek Kanker dengan Menurunkan Konsentrasi, Lama, Frekwensi dan Durasi Pajanan Benzena yang aman Pada Populasi Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara…………………………...
61
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Metabolisme Benzena………………………………………………13
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Surat ijin penelitian SPBU ‘X; Lampiran 2 Hasil pemeriksaan Laboratorium t,t-MA urin karyawan SPBU ‘X’ Lampiran 3 Kuesioner
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu bahan kimia yang keberadaan dan penggunaannya tersebar luas
adalah benzena. Benzena secara luas digunakan di Amerika Serikat dan berada di
daftar 20 bahan kimia terbesar yang diproduksi. Sumber benzena di udara ambient
antara lain adalah asap rokok, pembakaran dan penguapan bensin yang
mengandung Benzena (lebih dari 5%), industri petrokimia, serta proses
pembakaran. Rata-rata konsentrasi benzena di udara perkotaan dan pedesaan
adalah sekitar 1 µg/M³ sampai 5-20 µg/M³. Konsentrasi lebih tinggi benzena di
dalam dan luar ruangan akan ditemukan di sekitar sumber emisi seperti Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) (WHO-Europe, 2000).
Sejak ditemukannya bukti gangguan kesehatan akibat pajanan benzena
pada pekerja pabrik ban di Swedia satu abad yang lampau, benzena telah menjadi
salah satu bahan kimia yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia (Snyder
dan Rutgers, 2009). Benzena adalah karsinogenik pada manusia melalui pajanan
inhalasi, pajanan benzena di lingkungan kerja telah dikaitkan terutama dengan
peningkatan insiden leukemia myeloblastic atau erythroblastic myeloid akut dan
kronis dan leukemia limfoid di antara para pekerja (Tennessee University, 2009).
Tidak ada batas terendah yang aman terhadap pemajanan senyawa kimia ini untuk
mendapatkan resiko leukemia pada semua tingkat pajanan. WHO memberikan
peringatan bahwa setiap pajanan benzena setingkat 1 µg/M³ akan terdapat 4 – 8
tambahan kasus leukemia per sejuta populasi selama masa hidup (Larbey, 1994
dalam Haryanto, 2005). Apabila menggunakan the UK Department of the
Environment Guidelines sebesar 5 ppb (18.6 µg/M³) akan terdapat tambahan
sebesar 1.000 kasus leukemia di kota sebesar London selama masa hidup. Pajanan
oleh benzena bisa terjadi saat pengisian BBM, selama di perjalanan, dan di
jalanan karena emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor. Sebesar 79%
benzena di lingkungan berasal dari emisi kendaraan bermotor pengguna bensin
tanpa timbal (Haryanto, 2005).
1
2
Universitas Indonesia
Populasi pekerja yang bekerja pada industri yang memproduksi atau
menggunakan benzena dapat terpajan dengan tingkat pajanan tertinggi (NIOSH,
2005). Karyawan SPBU, khususnya operator pengisian BBM adalah salah satu
populasi pekerja yang memiliki tingkat resiko pajanan benzena yang tinggi,
terutama melalui jalur inhalasi dalam waktu pajanan yang kontinyu. Egeghy et al
(2000) menyebutkan bahwa, pembeli BBM secara swalayan terpajan benzena
yang antara lain diemisikan dari proses pembakaran bahan bakar, dari tanki
penyimpanan bawah tanah, tumpahan BBM, dan dari perpindahan uap dari tangki
bahan bakar. Dari jumlah tersebut, perpindahan uap bahan bakar dianggap sebagai
proses yang paling bertanggung jawab atas sebagian besar pajanan. ATSDR
(2007) mengestimasikan bahwa rata-rata pajanan benzena terhadap pekerja pada
area SPBU adalah sebesar 0,12 ppm.
Pernapasan (inhalasi) adalah jalur pajanan benzena yang dominan terhadap
manusia. Pajanan singkat dengan konsentrasi yang tinggi dapat terjadi saat
pengisian BBM kendaraan (WHO – Europe, 2000). Penilaian pajanan dapat
dilakukan melalui pengukuran udara ambient (ambient air monitoring) dan
pengukuran bahan biologis (biological monitoring). Penilaian pajanan secara
akurat merupakan langkah penting, baik dalam hal penilaian resiko maupun studi
epidemiologi, yang melibatkan pajanan potensial oleh agent lingkungan. Berbagai
metode telah digunakan untuk menilai pajanan terhadap manusia. Antara lain
metode berdasarkan kedekatan manusia dengan sumber pajanan secara temporal
dan spasial, dan metode pengukuran materi biologis manusia (Biomarker).
Pendekatan melalui metode pengukuran materi biologis manusia merupakan "gold
standar" untuk penilaian pajanan secara akurat (Needhal LL et al, 1999).
Beberapa Biomarker pajanan terhadap lingkungan dapat digunakan untuk
mengestimasikan konsentrasi pajanan (IPCS, 2000).
Trans,trans-Muconid Acid (t,t-MA) adalah metabolit minor dari benzena
yang dapat digunakan sebagai indikator biologi untuk pajanan benzena (Ducos et
al, 1992). Meskipun t,t-MA telah diidentifikasi sebagai hasil dari metabolisme
benzena di awal abad ini, aplikasinya sebagai biomarker untuk pajanan benzena
pada lingkungan kerja baru dikenal akhir – akhir ini saja (Scherer G, Renner T,
Meger M,1998). t,t-MA dalam urin dapat digunakan sebagai indikator yang
3
Universitas Indonesia
sensitif dan spesifik untuk pemantauan biologi, terutama untuk pajanan rendah
benzena (Liu L et al, 1996). Beberapa penelitian mengindikasikan hubungan
kwantitas antara pajanan inhalasi dengan t,t-MA sebagai biomarker pajanan
benzena (WHO, 1996).
Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) merupakan
prasarana umum yang disediakan oleh PT. Pertamina untuk masyarakat luas guna
memenuhi kebutuhan bahan bakar. Pada umumnya SPBU menjual bahan bakar
sejenis premium, solar, pertamax dan pertamax plus (PT. Pertamina, 2009). Bahan
bakar minyak adalah campuran lebih dari 500 senyawa Hydrocarbon yang mudah
menguap, dan benzena adalah senyawa Hydrocarbon yang menjadi perhatian
utama dalam penelitian yang menjelaskan gangguan kesehatan akibat pajanan
bensin (Keenan et al, 2009).
Berdasarkan penelusuran literatur dari berbagai sumber, peneliti
mendapatkan bahwa tidak ditemukan penelitian mengenai t,t-MA sebagai
Biomarker pajanan benzena pada karyawan SPBU di Indonesia. Penelitian yang
ada mengenai pajanan benzena pada operator SPBU antara lain yang berhubungan
dengan kadar hemoglobin darah (Maywati, 2000), kadar fenol dalam urin
(Pudyoko, 2010) dan analisis paparan benzena terhadap profil darah (Ramon,
2007).
Berbagai penelitian di luar negeri telah banyak dilakukan untuk mengukur
t,t-MA dalam urin sebagai Biomarker pajanan benzena. Penelitian t,t-MA dalam
urin sebagai Biomarker pajanan benzena pada petugas kebersihan di SPBU di
Thailand, dilakukan oleh Viroj Wiwanitkit et al (2001), dengan kesimpulan bahwa
terdapat perbedaan level t,t-MA dalam urin yang bermakna antara kelompok
petugas kebersihan di SPBU dengan kelompok kontrol yang berasal dari
penduduk sekitar SPBU (p < 0.05). Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian
oleh Jamsai Suwansaksri (2000), yang melakukan penelitian level trans,trans-
Muconic Acid dalam urin pada kelompok mekanik dan kontrol, serta oleh
Thummachinda (2002) yang melakukan penelitian pada kelompok nelayan dan
kontrol.
Dalam hal penilaian resiko kesehatan terhadap pajanan lingkungan,
peneliti juga tidak menemukan hasil penelitian yang memanfaatkan biomarker
4
Universitas Indonesia
pajanan sebagai titik awal penilaian resiko kesehatan terhadap populasi yang
beresiko. Metode penilaian resiko kesehatan terhadap pajanan lingkungan
(termasuk benzena) yang umum adalah dengan mengukur konsentrasi pada media
lingkungan.
1.2 Perumusan Masalah
Viroj Wiwanitkit et al (2007) menyebutkan bahwa t,t-MA urin diukur
untuk mendiagnosa akumulasi benzena, guna menentukan toksisitas akut dan
pajanan kronis benzena, apabila konsentrasi t,t-MA dalam urin tinggi, hal tersebut
menandakan bahwa telah terjadi pajanan tinggi dari benzena. Inoue et al (1989)
mengestimasikan bahwa paru – paru akan mengabsorbsi konsentrasi senyawa
benzena sebanyak 50% dari konsentrasi pajanan, dan sebanyak 1,9% dari yang
terabsorsi tersebut akan diekskresikan ke dalam urin sebagai t,t-MA. Sedangkan
Ghittori, S, et al. (1994) mendapatkan hasil dari penelitian yang dilakukan,
sebuah persamaan yang menghubungkan konsentrasi biomarker t,t-MA dalam
urine dengan konsentrasi benzena dalam area pernapasan. Adapun bentuk
persamaan tersebut adalah : log (MA, mg/g creatinine) = 0,429 log (A-benzen
ppm) – 0,304, dengan besar hubungan (korelasi) yang kuat (r = 0,58).
Dari beberapa hal tersebut di atas, mengundang peneliti untuk mengadakan
penelitian tentang level kandungan t,t-MA dalam urin sebagai biomarker indikator
pajanan benzena, kemudian melakukan konversi berdasarkan persamaan Ghittori,
S, et al. (1994), untuk mendapatkan konsentrasi pajanan benzena pada area
pernapasan karyawan, yang kemudian digunakan untuk penilaian resiko kesehatan
pada karyawan stasun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Berapakah level kandungan t,t-MA dalam urin sebagai biomarker
indikator pajanan benzena pada karyawan SPBU di SPBU ‘X’ Jakarta
Utara?
2. Berapakah konsentrasi benzena di area pernapasan pada karyawan SPBU
di SPBU ‘X’ Jakarta Utara?
5
Universitas Indonesia
3. Seberapa jauh kemungkinan resiko pajanan inhalasi udara yang
mengandung benzena pada karyawan SPBU di SPBU ‘X’ Jakarta Utara?
4. Bagaimana cara mengurangi resiko akibat pajanan inhalasi udara yang
mengandung benzena pada karyawan SPBU di SPBU di SPBU ‘X’ Jakarta
Utara?
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui besar resiko kesehatan pajanan inhalasi udara yang
mengandung benzena yang mungkin dialami karyawan SPBU di SPBU ‘X’
Jakarta Utara.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui kandungan t,t-MA dalam urin sebagai biomarker indikator
pajanan benzena pada karyawan SPBU di SPBU ‘X’ Jakarta Utara.
2. Mengestimasi konsentrasi benzena di area pernapasan pada karyawan
SPBU di SPBU ‘X’ Jakarta Utara.
3. Mengestimasi tingkat resiko akibat pajanan inhalasi benzena pada
karyawan SPBU di SPBU ‘X’ Jakarta Utara.
4. Merumuskan cara mengurangi resiko akibat pajanan inhalasi benzena
pada karyawan SPBU di SPBU ‘X’ Jakarta Utara.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Diharapkan peneliti mendapatkan tambahan wawasan dan ilmu
pengetahuan mengenai metode analisa resiko kesehatan akibat pajanan
benzena, dengan memanfaatkan kandungan t,t-MA dalam urin sebagai
biomarker indikator pajanan benzena pada pada karyawan SPBU.
2. Bagi Manajemen SPBU
Memberikan informasi bagi manajemen SPBU dan karyawan dalam
perencanaan dan pengelolaan kesehatan keselamatan kerja.
3. Bagi Universitas Indonesia
6
Universitas Indonesia
Diharapkan dapat menambah referensi dan informasi tentang metode
analisa resiko kesehatan akibat pajanan benzena, dengan menggunakan t,t-
MA dalam urin untuk menghitung konsentrasi pajanan pada karyawan
SPBU.
1.6 Ruang Lingkup
Jenis penelitian ini adalah penelitian mengenai analisa resiko kesehatan
akibat pajanan inhalasi benzena, dengan menggunakan t,t-MA sebagai biomarker
pajanan benzena untuk mendapatkan konsentrasi pajanan benzena di udara
pernapasan karyawan. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember sampai dengan
Desember 2010. Tempat penelitian adalah SPBU ‘X’ Jakarta Utara.
Data mengenai level kandungan t,t-MA dalam urin sebagai hasil
metabolisme benzena adalah data primer, yang didapat dengan mengambil sampel
urin pada karyawan SPBU, yang kemudian dilakukan pemeriksaan pada
Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi DKI Jakarta, menggunakan metode
Liquid Chromatography Mass Spectra (LCMS). Data konsentrasi benzena pada
udara pernapasan karyawan didapat dengan melakukan konversi berdasarkan
persamaan Ghittori, S, et al. (1994).
Data mengenai jenis pekerjaan dan durasi kerja adalah data primer dengan
melakukan wawancara, sedangkan berat badan adalah data primer yang didapat
dengan melakukan penimbangan.
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Benzena
Benzena adalah senyawa paling stabil dengan ukuran yang terkecil dari
senyawa aromatik (Kongtip, 2009). Senyawa ini adalah jenis pelarut yang paling
sering dijadikan objek penelitian (WHO, 1996). WHO (1996) dan ATSDR (2007)
menyebutkan bahwa, benzena merupakan senyawa hidrokarbon aromatik rantai
tertutup tidak jenuh, mempunyai nama lain benzol, cyclohexatrene, phenyl
hydride, atau coal naphta.
Benzena tersebar luas di lingkungan karena penggunaannya dalam
berbagai proses industri dan secara alami terkandung dalam BBM bensin.
Benzena adalah bahan baku dalam sintesis kimia dan telah digunakan sebagai
pelarut yang utama. Benzena bersifat lipofilik, sehingga Benzena merupakan
pelarut yang sangat baik. Digunakan dalam cat, thinner, tinta, lem, dan karet.
Kehadiran benzena di udara biasanya dihasilkan oleh kegiatan yang berhubungan
dengan proses pekerjaan bahan kimia atau industri BBM, termasuk fasilitas
bongkar muat bensin dan pembakaran mesin (misalnya, mobil, mesin pemotong
rumput, dan pemecah salju). Benzena merupakan komponen polusi udara baik
dalam ruangan ataupun luar ruangan. Benzena memiliki aroma yang
menyenangkan dan dapat terdeteksi pada konsentrasi 1,5-4,7 ppm (ATSDR,
2006).
2.1.1 Pengertian, Jenis dan Karakteristik
Benzena adalah senyawa hidrokarbon aromatik. Dalam suhu ruangan,
benzena adalah cairan tidak berwarna, mudah menguap dengan bau aromatik yang
khas. sedikit larut dalam air tetapi sangat mudah larut dengan pelarut organik,
benzena akan mengapung di permukaan air. Mendidih pada suhu 80,1°C dan
sangat mudah terbakar serta dapat menyebar ke sumber api. Uapnya sangat mudah
meledak, memiliki titik leleh 5,5°C dan spontan terbakar pada suhu 498°C
(ATSDR, 2007).
7
8
Universitas Indonesia
Tabel 2.1 Sifat Fisik dan Kimia Benzena
No Sifat Fisik dan Kimia Keterangan
1. Nama kimia Benzena 2. Rumus kimia C6H6 3. Berat molekul 78.11 gr/mol 4. Berat jenis pada15°C 0.8787 5. Bau Aromatik 6. Warna Tidak Berwarna 7. Titik leleh 5.5°C 8. Titik didih 80.1°C 9. Titik nyala -11.1°C 10. Kelarutan dalam air pada 25°C 0,188% w/w atau 1.8 gr/L 11. Kelarutan dalam pelarut Alkohol, chlorofom, ether,
carbon disulfide, acetone, oils, carbon tetrachloride, glacial acetic acid
12. Suhu spontan terbakar 498°C Sumber : ATSDR (2007)
IPCS (1993) dan NIOSH (2005) menetapkan nilai konversi untuk benzena 1 ppm
= 3,2 mg/M3 , pada suhu 20 °C dan tekanan normal atmosfir.
2.1.2 Sumber Pajanan Benzena
Benzena dapat terbentuk melalui proses alami maupun hasil dari kegiatan
manusia.
2.1.2.1 Sumber Alami
Benzena terbentuk dari proses alami dan hasil dari kegiatan manusia,
Sumber alami termasuk gunung merapi dan kebakaran hutan. Benzena juga secara
alami terkandung dalam minyak mentah, BBM dan asap rokok.
2.1.2.2 Sumber Antropogenik
Sebagian besar sumber pajanan benzena adalah berasal dari asap rokok,
bengkel, pembakaran kendaraan bermotor dan emisi dari industri. sumber pajanan
yang lain berasal dari uap atau gas dari produk-produk yang mengandung
benzena seperti lem, cat, lilin pelapis peralatan rumah tangga dan sabun deterjen.
Sekitar 20% dari pajanan berasal dari knalpot dan emisi dari industri. Di Amerika
Serikat, setengah dari sumber pajanan berasal dari asap rokok. Rata-rata jumlah
9
Universitas Indonesia
asupan benzena yang terserap perokok (32 batang per hari) adalah sekitar 1,8 mg
per hari. Jumlah ini lebih besar 10 kali lipat dibandingkan dengan rata-rata asupan
benzena per hari dari orang yang tidak merokok. Pada tahun 2004 diperkirakan
jumlah emisi benzena yang dilepaskan di Amerika Serikat dari 968 pabrik atau
industri yang menggunakan benzena ke atmosfir, air permukaan dan tanah
berturut-turut adalah sebesar 3.055 M³, 7 M³ dan 11 M³ (ATSDR, 2007).
Bersama dengan toluene, ethylBenzena dan xylenes, benzena adalah
komponen terbesar dari BBM. Sumber pajanan utama terhadap populasi secara
umum adalah berasal dari knalpot kendaraan bermotor karena kehadirannya
dalam BBM, benzena juga diproduksi melalui reaksi kimia selama proses
pembakaran mesin (Department of Justice and Attorney-General, 2010).
Konsentrasi lebih tinggi benzena di dalam dan luar ruangan akan
ditemukan di sekitar sumber emisi seperti Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum
(SPBU) (WHO-Europe, 2000). Sumber utama yang berasal dari proses penguapan
adalah penguapan dari BBM, yang mengandung 1-5% Benzena (WHO, 1996).
Benzena telah dideteksi ditemukan dalam botol air minum, minuman keras
dan makanan. Kebocoran dari gudang penyimpanan BBM bawah tanah dapat
menyebabkan kontaminasi air tanah. Pada sisi lain, pajanan juga dapat dihasilkan
dari menghirup benzena pada saat mandi, keramas dan memasak dengan
menggunakan air yang telah terkontaminasi (ATSDR, 2007).
Pekerja pada industri yang membuat atau menggunakan benzena
(petrokimia, penyulingan minyak bumi, tambang batubara, pabrik ban,
penyimpanan dan distribusi benzena, penyimpanan dan distribusi BBM yang
mengandung benzena) dapat terpajan dengan level yang tinggi. Pekerja lain yang
dapat terpajan benzena adalah pekerja yang bekerja di tungku batu bara pada
industri baja, percetakan, pabrik sepatu, teknisi laboratorium, pemadam kebakaran
dan operator SPBU (ATSDR, 2007).
2.1.3 Jalur Pajanan Benzena
Jalur pajanan menunjukkan perbedaan jalan masuk bahan/materi ke dalam
tubuh, dapat melalui kulit, saluran pencernaan dan saluran pernapasan (IPCS,
2000). Meskipun pajanan yang berasal dari lingkungan dan tempat kerja dapat
10
Universitas Indonesia
melalui inhalasi, ingesti dan kulit. Inhalasi dan kulit adalah jalur yang menjadi
perhatian utama pada beberapa skenario pajanan (ATSDR, 2007).
2.1.3.1 Inhalasi
Inhalasi adalah jalur pajanan yang dominan. Konsentrasi ambang bau
Benzena (1,5-5 ppm) umumnya memberikan peringatan yang cukup tentang
bahaya akut. Uap Benzena lebih berat daripada udara dan dapat menyebabkan
sesak napas di ruang tertutup, berventilasi buruk atau di dataran rendah.
Jalur pajanan inhalasi menyebabkan terjadinya asupan harian sebesar 99%
dari seluruh jalur pajanan. Laporan kasus pada pajanan inhalasi akut telah ada
sejak awal tahun 1900. Kejadian kematian tiba-tiba terjadi setelah beberapa jam
pajanan. Tidak diketahui berapa konsentrasi benzena yang ditemukan pada
korban. Namun diperkirakan bahwa pajanan sebesar 20.000 ppm selama 5-10
menit akan mengakibatkan hal kejadian yang fatal (ATSDR, 2007).
2.1.3.2 Ingesti
Benzena sebagai kontaminan masuk melalui air minum, makanan dan
sayur-sayuran (IPCS, 2000). Absorpsi benzena yang efektif melalui pencernaan
dapat mengakibatkan intoksikasi akut, walaupun data kuantitatif pada manusia
masih kurang (WHO, 1996). Tidak ada informasi tentang absorpsi oral dari
benzena pada larutan encer, diasumsikan bahwa absorpsi oral dari air adalah
hampir 100% (Ramon, 2007).
Laporan kasus kematian pada pajanan ingesti akut telah ada sejak awal
tahun 1900. Tidak diketahui berapa konsentrasi benzena yang ditemukan pada
korban. Namun diperkirakan bahwa pajanan sebesar 10 mL adalah dosis
mematikan bagi manusia.
2.1.3.3 Kulit dan Mata
Benzena yang memercik di mata dapat mengakibatkan rasa sakit dan
cedera pada kornea. Tidak terdapat penelitian yang berhubungan dengan kematian
hewan percobaan setelah terjadi pajanan Benzena pada kulit. Sebuah penelitian
kohort terhadap 338 pekerja laki-laki menemukan 3 kematian. Kematian ini
11
Universitas Indonesia
disebabkan oleh leukimia pada mekanik, yang biasanya menggunakan BBM
untuk membersihkan onderdil kendaraan dan mencuci tangan mereka (Hunting et
al, 2005 dalam ATSDR, 2007).
2.1.4 Toksikokinetik Benzena dalam Tubuh
Benzena adalah bahan kimia yang larut dalam lemak. Benzena terdistribusi
pada tempat yang berbeda, tergantung kandungan lemak dari organ (WHO, 1996).
Hati memiliki fungsi penting dalam metabolisme benzena, yang menghasilkan
produksi beberapa metabolit. Pada tingkat pajanan rendah, benzena dengan cepat
dimetabolisme dan diekskresikan terutama sebagai metabolit kemih terkonjugasi.
Pada tingkat pajanan yang lebih tinggi, sebagian besar dari dosis benzena yang
diabsorbsi diekskresikan sebagai senyawa induk yang dihembuskan melalui udara
pernapasan (ATSDR, 2007).
2.1.4.1 Absorbsi
Benzena dengan cepat diabsorbsi melalui saluran pernapasan dan
pencernaan. Penyerapan melalui kulit cepat tetapi tidak luas, hal ini disebabkan
karena benzena yang menguap dengan cepat. Sekitar 50% dari benzena yang
dihirup diabsorbsi setelah pajanan 4 jam pada konsentrasi sekitar 50 ppm benzena
di udara. Sebuah penelitian in vivo pada manusia menunjukkan bahwa terjadi
absorbsi sekitar 0,05% dari dosis benzena yang diaplikasikan pada kulit,
sedangkan pada penelitian in vitro kulit manusia, penyerapan benzena secara
konsisten sebanyak 0,2% setelah pajanan dosis antara 0,01-520 mikroliter per
persegi sentimeter. Belum ada penelitian absorbsi melalui oral pada manusia.
Pada hewan, di sedikitnya 90% dari benzena diserap setelah konsumsi pada dosis
340-500 miligram per kilogram per hari (mg/kg/hari) (ATSDR, 2006).
Setengah dari benzena yang terhirup dalam konsentrasi tinggi akan masuk
ke dalam saluran pernafasan yang kemudian masuk ke dalam aliran darah. Hal
yang sama terjadi jika pajanan benzena melalui makanan dan minuman, sebagian
besar benzena akan masuk ke dalam jaringan gastrointestinal, kemudian masuk
kedalam jaringan darah. Sejumlah kecil benzena masuk melalui kulit melalui
kontak langsung antara kulit dengan benzena atau produk yang mengandung
12
Universitas Indonesia
benzena. Di dalam jaringan darah, benzena akan beredar ke seluruh tubuh dan
disimpan sementara di dalam lemak dan sumsum tulang, kemudian akan
dikonversi menjadi metabolit di dalam hati dan sumsum tulang. Sebagian besar
hasil metabolisme akan keluar melalui urin dengan waktu sekitar 48 jam setelah
pajanan.
Apabila tidak segera dikeluarkan melalui ekspirasi, benzena akan
diabsorbsi ke dalam darah. Benzena larut dalam cairan tubuh dalam konsentrasi
rendah dan secara cepat dapat terakumulasi dalam jaringan lemak karena
kelarutannya yang tinggi dalam lemak. Uap benzena mudah diabsorbsi oleh darah
yang sebelumnya diabsorbsi oleh jaringan lemak.
Benzena masuk ke dalam tubuh dalam bentuk uap melalui inhalasi dan
absorbsi terutama melalui paru‐paru, jumlah uap benzena yang diinhalasi sekitar
40 ‐ 50% dari keseluruhan jumlah benzena yang masuk ke dalam tubuh. Benzena
mudah diabsorbsi melalui saluran pernafasan, ketahanan paru‐paru mengabsorbsi
benzena kira - kira 50% untuk pajanan sebesar 2‐100 cm3/m3 selama beberapa jam
pajanan (ATSDR 2007).
2.1.4.2 Distribusi
Benzena terdistribusi ke seluruh tubuh melalui absorbsi dalam darah,
karena benzena adalah lipofilik, maka distribusi terbesar adalah dalam jaringan
lemak. Jaringan lemak, sumsum tulang dan urin mengandung Benzena kira‐kira
20 kali lebih banyak dari yang terdapat dalam darah. Kadar benzena dalam otot
dan organ 1‐3 kali lebih banyak dibandingkan dalam darah. Sel darah merah
mengandung benzena dua kali lebih banyak dari pada dalam plasma (ATSDR
2005 dalam Pudyoko 2010).
2.1.4.3 Metabolisme
Meskipun metabolisme benzena telah dipelajari secara ekstensif, proses
terjadinya toksisitas Benzena belum sepenuhnya dipahami. Umumnya dipahami
bahwa efek kanker dan nonkanker disebabkan oleh satu atau lebih metabolit
reaktif dari benzena. Metabolit diproduksi di hati, kemudian dibawa ke sumsum
tulang di
yang sedik
Ta
benzena
Benzena
adalah bah
reaksi oks
dan non e
yang utam
dengan a
kathekol,
dari fenol
yang lain,
produk re
2005 dalam
Sumber : N
mana toksi
kit terdapat
ahap pertam
oksida den
oksida kem
han yang di
sidasi ini, b
enzimatik. B
ma adalah f
sam sulfat
karbon dio
merupakan
, kathekol d
eaksi dari b
m Pudyoko
Nebert et al. 2
isitas benze
dalam sum
ma metabol
ngan katali
mudian men
ihasilkan se
beberapa me
Biotransform
fenol yang
atau gluk
oksida dan
n metabolit
dan quinol,
benzena den
o 2010).
Me
2002; Ross 20
ena terlihat
msum tulang
lisme di h
is cytochro
ncapai kese
cara langsu
etabolit seku
masi Benzen
dieksresika
kuronat. Sej
asam muko
benzena da
asam merk
ngan guana
Gambaretabolisme
00 dalam ATS
. Metabolis
(ATSDR, 2
ati adalah
ome p‐450‐eimbangan
ung oleh rea
under akan
na dalam tu
an lewat ur
jumlah kec
onat. Gluko
alam urin ya
kapturat, tra
anine, N‐7‐p
r 2.1 Benzena
SDR , 2007
Unive
sme benzen
2007).
oksidasi b
‐dependent‐dengan ex
aksi biotrans
terbentuk s
ubuh berupa
rin dalam b
cil dimetab
oronida dan
ang paling u
ans‐trans‐m
phenyl‐guan
ersitas Indo
na dalam ju
benzena me
‐monooxyge
xepin. Meta
sformasi. Se
secara enzim
a metabolit
bentuk konj
bolisme me
n konjugat
utama. Kon
muconic acid
nanine (AT
13
onesia
umlah
enjadi
enase.
abolit
etelah
matik
akhir
jugasi
enjadi
sulfat
njugat
d dan
TSDR
14
Universitas Indonesia
2.1.4.4 Eliminasi
Eliminasi benzena dalam tubuh terjadi melalui proses eksresi dan ekhalasi,
benzena terutama dieksresikan di dalam urin sebagai metabolit khususnya
konjugasi phenol, glucuronic dan sulphuric acid, dan ekhalasi ke udara dalam
bentuk yang tidak berubah. Diperkirakan sesudah terpajan Benzena di tempat
kerja pada tingkat 100 cm3/m3, sejumlah 13,2% fenol, 10,2% quinol, 1,9 % t.tMA,
1,6 % kathekol, dan 0,5% 1,2,4,-benzenatriol dari jumlah yang diabsorpsi,
diekskresikan lewat urin sesudah jam kerja. Proporsi benzena yang diabsorpsi
kemudian dieksresikan melalui ekshalasi adalah sebanyak 8-17%. Sejumlah kecil
benzena juga terdeteksi dalam urin, waktu paruh tergantung pada disposisi
benzena pada beberapa bagian tubuh. Waktu paruh yang lebih pendek dilaporkan
kira-kira 10-15 menit, sedang 40-60 menit, dan lama 16-20 jam. Bagian dari
benzena yang diabsorpsi tanpa diubah adalah 12-50% lewat udara ekspirasi dan
kurang dari 1% lewat urin. Jumlah rata-rata fenol yang dieliminasi adalah sekitar
30% dari dosis yang diabsorpsi. Untuk benzena yang tidak mengalami reaksi
metabolisme, proses berlangsung reversibel, dan benzena diekskresikan melalui
paru-paru (ATSDR, 2005 dalam Ramon, 2007).
2.1.5 Penggunaan Benzena
Pada tahun 1825, Faraday mengisolasi benzena dari bentuk gas menjadi
cair. Benzena pertama kali disintesa oleh Mitscherlich pada tahun 1833 dengan
menyaring benzoic acid dengan kapur. Benzena pertama kali menjadi zat yang
komersil pada tahun 1849 yang berasal dari light oil yang merupakat derivat dari
aspal batubara dan dari industri perminyakan (ATSDR, 2007).
Benzena adalah salah satu komoditas bahan kimia utama di dunia.
Sebagian besar penggunaannya (85% dari produksi) adalah sebagai perantara
dalam produksi bahan kimia lainnya, terutama stirena (untuk styrofoam dan
plastik lainnya), kumena (Untuk berbagai resin), dan sikloheksana (untuk nilon
dan serat sintetis lainnya). Benzena adalah bahan baku yang penting untuk
pembuatan karet sintetis, permen karet, pelumas, pewarna, farmasi, dan bahan
15
Universitas Indonesia
kimia pertanian. Benzena ditambahkan ke dalam bahan bakar bermotor bebas
timbal untuk meningkatkan kinerja (ATSDR, 2006).
Pemanfaatan benzena sangat luas di bidang industri, komersial dan ilmu
pengetahuan. Benzena digunakan sebagai penambah oktan dan anti-knock
(bersama dengan toluena dan xilena) pada BBM. Beberapa industri menggunakan
benzena untuk membuat plastik, resin, serat sintetik. Benzena juga digunakan
untuk membuat beberapa jenis minyak pelumas, bahan karet, bahan pencelup,
sabun, obat – obatan, lem perekat dan pestisida (NIOSH, 2005).
Benzena telah digunakan pula secara luas sebagai bahan pelarut, terutama
dibidang laboratorium, industri cat, perekat, cairan penghapus cat, pelumas,
perabotan karet dan industri sepatu. Telah dilaporkan pula bahwa uap benzena
dideteksi pada beberapa produk seperti lem karpet, detergent dan lilin pelapis
(Wallace et al, 1987 dalam IPCS, 1993).
2.1.6 Penetapan/Pengukuran Konsentrasi Benzena
Sampling dan analisis dapat dilakukan melalui pengumpulan uap benzena
atau tabung penyerapan arang. Analisis kimia berikutnya dilakukan dengan
menggunakan Gas Chromatography. Keuntungan dari metode ini adalah,
perangkat sampling kecil, portabel, dan tidak terdapat cairan. Gangguan yang
terjadi sangat minimal, dan jika terdapat masalah, dapat dihilangkan dengan
mengubah kondisi kromatografi. Sampel dianalisis dengan menggunakan metode
dan instrumen yang cepat.
Metode yang tersedia untuk penentuan benzena di udara, sedimen air,
tanah, makanan, asap rokok, dan minyak bumi dan produk minyak bumi, sebagian
besar melibatkan pemisahan dengan Gas Chromatography (GC) yang dideteksi
melalui Flame Ionization nyala (FID) atau Photoionization (PID) atau dengan
Mass Spectrometry massa (MS).
Pengukuran benzena di udara (ambien dan tempat kerja) biasanya
melibatkan langkah prekonsentrasi di mana sampel dilewatkan melalui sebuah
penyerap padat. Umumnya adsorben yang digunakan adalah resin TenaxR, silika
gel, dan karbon aktif. Prekonsentrasi benzena juga bisa dilakukan dengan
perangkap kriogenik langsung pada kolom. Tehnik GC / FID atau / GC PID
16
Universitas Indonesia
memiliki batas deteksi yang rendah, dari konsentrasi rendah dalam satuan ppb
(µg/M3) sampai konsentrasi rendah dalam satuan ppt (Ng/M3). Sedangkan
metode GC / MS memiliki batas deteksi konsentrasi yang rendah dalam satuan
ppb (µg/M3).
Meskipun GC / FID dan GC / PID memberikan sensitivitas lebih besar dari
GC / MS, namun tehnik GC / MS umumnya dianggap lebih handal untuk
pengukuran benzena pada sampel yang mengandung beberapa komponen yang
memiliki karakteristik yang serupa. Atomic line molecular spectrometry (ALMS)
telah dikembangkan untuk memantau benzena dan senyawa organik lainnya pada
udara ambient. Batas deteksi adalah 800 µg/M3 (250 ppb).
Benzena di tempat kerja dapat diukur dengan instrumen portabel yang
dapat langsung dibaca. Real-time continuous Monitoring Systems dan Passive
Dosimeters memiliki kepekaan jangkauan dalam ppm (mg/M3). Di Amerika
Serikat, prosedur penggunaan Charcoal yang diikuti dengan analisis GC / MS
adalah prosedur yang sensitif yang menjadi pilihan untuk pengukuran Benzena di
udara.
Benzena dalam media air, tanah, endapan dan makanan diisolasi melalui
metode Purge and Trap, yang kemudian di analisis dengan metode GC / MS, GC /
FID atau GC / PID. Gas inert seperti nitrogen digunakan untuk membersihkan
sampel, Benzena terjebak pada zat pengabsorbsi seperti TenaxR atau arang aktif,
kemudian diikuti oleh desorpsi termal. Sensitivitas dari metode ini dapat
mendeteksi pada konsentrasi rendah dalam satuan mg / liter (IPCS, 1993).
Metode lain juga tersedia untuk mendeteksi Benzena di media lingkungan
lain seperti asap rokok, bensin, dan bahan bakar jet serta asapnya. Pemisahan dan
pendeteksian dengan tehnik HPLC / UV, GC / FID, dan GC / MS telah digunakan
untuk analisis ini. Sensitivitas dan keandalan metode ini tidak dapat dibandingkan
karena kurangnya data (ATSDR, 2007).
2.1.7 Efek Kesehatan Akibat Pajanan Benzena
Orang yang hanya terpajan uap benzena tidak menimbulkan risiko besar
kontaminasi sekunder kepada orang lain. Orang dengan pakaian atau kulit yang
terkontaminasi dengan cairan benzena dapat menyebabkan kontaminasi sekunder
17
Universitas Indonesia
melalui kontak langsung atau melalui inhalasi uap beracun. Bau harum aromatik
benzena secara umum memberikan cukup peringatan atas bahaya akut. Benzena
diserap dengan cepat dan ekstensif setelah inhalasi dan konsumsi. Walaupun
penyerapan melalui kulit rendah namun, penyerapannya dapat berkontribusi
terhadap beban total tubuh.
2.1.7.1 Efek Pajanan Akut
Efek pajanan akut benzena dengan konsentrasi tinggi pada sistem syaraf,
kulit, sistem pernapasan dan pencernaan dapat segera terjadi setelah pajanan. Efek
Neurologis adalah efek yang pertama muncul di pusat sistem saraf. Reaksi
anestesi benzena di pusat sistem saraf mirip dengan gas anestesi lain, pertama
merangsang eksitasi diikuti oleh depresi, dan jika pajanan terus terjadi, kematian
dapat terjadi karena kegagalan pernapasan. Efek pada kulit, pernapasan dan efek
gastrointestinal disebabkan sifat iritasi dari benzena.
Umumnya, gejala keracunan pada Sistem Syaraf Pusat jelas segera terlihat
setelah pajanan inhalasi dengan konsentrasi tinggi (3.000 ppm selama 5 menit),
dan 30 sampai 60 menit setelah pajanan ingesti. Efek ringan termasuk sakit
kepala, sakit kepala ringan, pusing, kebingungan, mual, gangguan aktifitas, dan
penglihatan kabur. Efek yang lebih parah termasuk tremor, depresi saluran
pernafasan, kebingungan, kehilangan kesadaran, koma dan kematian.
Ketidaksadaran mungkin berkepanjangan, meskipun sebagian besar korban cepat
sadar setelah mereka dijauhkan dari sumber pajanan.
Pajanan akut uap benzena dapat mengiritasi membran mukosa saluran
pernapasan. Dengan pajanan 20.000 ppm selama 5 menit, akumulasi cairan di
paru-paru dan saluran pernapasan dapat terjadi. Paru-paru yang terendam cairan
yang mengandung benzena dapat menyebabkan terjadinya perdarahan parah
karena radang paru-paru.
Pajanan benzena dengan konsentrasi sangat tinggi (lebih dari 1.000 ppm)
dapat menurunkan ambang dari otot jantung ke efek epinefrin. Efek ini biasanya
reversibel jika pajanan dihentikan.
Benzena dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan karena merupakan
pelarut lemak, maka benzena melarutkan lemak pada kulit, terutama setelah
18
Universitas Indonesia
pajanan berulang atau lama dengan cairan. Benzena dapat menghasilkan eritema,
sensasi terbakar, dan pada beberapa kasus, dapat menyebabkan edema parah dan
bahkan melepuhnya kulit.
Jika tertelan, benzena dapat mengiritasi perut, menyebabkan mual,
muntah, dan diare. Dosis oral yang diperkirakan mematikan adalah 100 mL
(Sekitar 1 g/kg, untuk seorang pria dengan berat 75 kg), meskipun dosis kecil
sebesar 15 mL atau 50 mg/kg dilaporkan telah pula dapat menyebabkan kematian.
Konsentrasi tinggi dari uap benzena dapat menyebabkan iritasi dan
kaburnya pandangan mata. Ketika benzena terpercik ke mata, dapat menyebabkan
nyeri terbakar dan pengelupasan permukaan mata. Benzena yang diserap melalui
kulit dapat menyebabkan keracunan sistemik.
2.1.7.2 Efek Pajanan Kronis
Pajanan berulang benzena tingkat tinggi (200 ppm) dapat mengakibatkan
efek SSP yang persisten. Pajanan kronis benzena di tempat kerja telah dikaitkan
dengan gangguan hematologi (yaitu, trombositopenia, anemia aplastik,
pansitopenia, dan akut myelgenous leukemia). Pajanan kronis mungkin lebih
serius untuk anak-anak karena periode pajanan potensial yang berlangsung lama.
EPA memperkirakan bahwa pajanan benzena seumur hidup pada
konsentrasi 4 ppb di udara akan menghasilkan 1 tambahan kasus leukemia dalam
10.000 orang yang terpajan. EPA juga memperkirakan bahwa pajanan benzena
seumur hidup pada konsentrasi 100 ppb dalam air minum akan menambah 1 kasus
kanker tambahan dalam 10.000 orang yang terpajan (ATSDR, 2006).
Benzena tidak termasuk dalam bahan kimia beracun yang mempengaruhi
reproduksi dan perkembangan janin, namun, telah terbukti bahwa benzena dapat
melewati plasenta. Tidak ada informasi kandungan benzena di air susu ibu atau
terjadinya transfer kandungan benzena yang didapat bayi dari ibu saat menyusu.
Benzena telah terbukti menyebabkan efek imunologi pada manusia setelah
pajanan inhalasi untuk jangka waktu menengah dan kronis. Efek tersebut
termasuk kerusakan tanggapan humoral (antibodi) dan selular (Leukosit).
Benzena menyebabkan penurunan tingkat peredaran leukosit pada pekerja pada
pajanan konsentrasi rendah (30 ppm), dan penurunan tingkat sirkulasi antibodi
19
Universitas Indonesia
pada pekerja yang terpajan benzena dengan konsentrasi 3-7 ppm. Penelitian lain
telah menunjukkan penurunan limfosit manusia dan unsur darah lainnya setelah
terpajan, efek ini terlihat pada tingkat pajanan 1 ppm atau kurang (ATSDR, 2006).
EPA, IARC, dan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan
Amerika Serikat telah menyimpulkan bahwa benzena adalah karsinogen terhadap
manusia. Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat
menetapkan benzena adalah karsinogen berdasarkan bukti yang menunjukkan
hubungan kausal antara paparan benzena dan kanker. IARC mengklasifikasikan
benzena di Grup 1 (karsinogenik pada manusia), sedangkan EPA
mengklasifikasikan benzena dalam Kategori A (terbukti karsinogen pada
manusia) berdasarkan bukti yang meyakinkan pada manusia didukung oleh bukti
dari studi hewan. Benzena ditetapkan karsinogen pada manusia untuk semua rute
pajanan. Hematologi neoplasma seperti leukemia akut myelogenous telah
didokumentasikan terjadi pada pajanan kronis dengan konsentrasi rendah (10
ppm).
2.1.8 Tanda dan Gejala Pajanan Benzena
2.1.8.1 Pajanan Akut
Benzol jag adalah istilah yang digunakan para pekerja untuk menjelaskan
gejala kebingungan, euforia, dan gaya berjalan goyah terkait dengan pajanan
benzena akut. Tergantung pada besarnya dosis, orang yang menelan Benzena
mungkin mengalami efek ini 30 sampai 60 menit setelah benzena dikonsumsi.
Dalam satu laporan kasus, dosis oral 10 mililiter dilaporkan menghasilkan hal
yang mengejutkan, muntah, takikardia, pneumonitis, mengantuk, delirium, kejang,
koma, dan kematian. Gejala lain termasuk iritasi bronkial dan laring setelah
pajanan inhalasi. Pulmonary edema telah dilaporkan. Pajanan ingesti dapat
menyebabkan nyeri substernal, batuk, suara serak, dan rasa terbakar pada mulut,
faring, dan kerongkongan tak lama setelah konsumsi. Hal ini juga dapat
menyebabkan sakit perut, mual, dan muntah (ATSDR, 2006).
20
Universitas Indonesia
2.1.8.2 Pajanan Kronis
Gejala awal pajanan kronis benzena sering tidak spesifik tetapi
menunjukkan tanda yang bervariasi. Demam akibat infeksi atau manifestasi
trombositopenia, seperti perdarahan diatesis dengan perdarahan dari gusi, hidung,
kulit, saluran pencernaan, atau di tempat lain, kelelahan, dan anoreksia. Dalam
sebuah studi kohort terhadap sekitar 300 pekerja pada industri percetakan yang
menggunakan tinta pelarut dan pengencer berisi 75 sampai 80% benzena. Setelah
diuji, 22 orang memiliki kelainan hematologi berat. Setelah dilakukan
penghentian pajanan selama setahun terhadap pekerja, sebagian besar pasien pulih
setelah pajanan berhenti (ATSDR, 2006).
2.1.9 Batas Pajanan Benzena
Internal Agency for Research on Cancer (IARC), mengindikasikasikan
bahwa tidak ada tingkat pajanan yang aman untuk semua jalur pajanan benzena.
2.1.9.1 Batas pajanan udara
ACGIH menetapkan untuk pajanan 8 jam waktu kerja (TWA) sebesar 0.5
ppm dan pajanan singkat 15 menit (STEL) sebesar 2.5 ppm, NIOSH menetapkan
untuk pajanan 10 jam waktu kerja (TWA) sebesar 0.1 ppm dan pajanan singkat 15
menit (STEL) sebesar 1 ppm dan OSHA menetapkan untuk pajanan 8 jam waktu
kerja (TWA) sebesar 1 ppm dan pajanan singkat 15 menit (STEL) 5 ppm
(ATSDR, 2007).
EPA tidak menetapkan standar udara ambient untuk benzena, namun
memberlakukan larangan yang dirancang untuk menurunkan emisi industri
benzena sebesar 90% selama 20 tahun ke depan.
2.1.9.2 Batas pajanan air
Peraturan Nasional Air Minum yang diumumkan EPA tahun 1987
mengatur tingkat kontaminan maksimum untuk benzena sebesar 0,005 ppm (5
ppb).
21
Universitas Indonesia
2.1.9.3 Batas pajanan makanan
Efektif sejak April 1988, FDA melarang penggunaan benzena pada
makanan, dan menetapkan bahwa benzena hanya dapat menjadi bahan aditif tidak
langsung dalam perekat yang digunakan untuk kemasan makanan.
Indonesia telah menetapkan ambang batas benzena di udara melalui Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja no 01 tahun 1997 yang diadopsi menjadi SNI no
19‐0232‐2005 tahun 2005 tentang nilai ambang batas zat kimia lingkungan kerja
sebesar 10 ppm.
2.1.10 Alat Perlindungan Diri
Jika perlengkapan perlindungan pernapasan berfungsi dengan baik, maka
seharusnya pajanan dapat diminimalkan. Namun hal tersebut harus dibuktikan dan
tidak sekedar sebuah asumsi. Terutama pada pajanan timah dan benzene, alat
perlindungan pernapasan sangat dibutuhkan (AIHA).
Alat perlindungan diri (APD) adalah alat yang mempunyai kemampuan
untuk melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga
kerja dari bahaya di tempat kerja. APD dipakai setelah usaha rekayasa
(engineering) dan cara kerja yang aman (work practice) telah maksimum. Namun
pemakaian APD bukanlah pengganti dari kedua usaha tersebut. Sebagai usaha
terakhir dalam usaha melindungi tenaga kerja, APD haruslah enak dipakai, tidak
mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap bahaya.
Alat pelindung pernapasan berfungsi untuk memberikan perlindungan
terhadap sumber – sumber bahaya di udara tempat kerja seperti kekurangan
oksigen, pencemaran oleh partikel, pencemaran oleh gas atau uap. Ada tiga jenis
alat pelindung diri pernapasan yaitu : 1) respirator yang bersifat memurnikan
udara, 2) respirator yang dihubungkan dengan suplai udara bersih dan 3)
respirator pemasok oksigen.
Sebelum memilih alat pelindung pernapasan yang sesuai, ada beberapa
faktor yang harus dipertimbangkan :
1. Sifat bahaya (partikulat, gas, uap dan lain-lain)
2. Cukup tanda-tanda adanya zat pencemar
22
Universitas Indonesia
3. Kadar zat pencemar
4. Kegawatan bahaya (akibat bila alat pernapasan tidak berfungsi)
5. Lamanya (panjangnya waktu dalam lingkungan yang tercemar)
6. Lokasi (sehubungan dengan sumber udara segar)
7. Jalan (ke dan dari tempat yang tercemar)
8. Aktivitas pemakai yang diperkirakan (kekuatan fisiknya)
9. Mobilitas pemakai
10. Pasnya pada muka dan kenyamanan
Untuk pajanan inhalasi benzena dengan konsentrasi kurang atau sama
dengan 10 ppm, 50 ppm dan 100 ppm tipe masker pelindung pernapasan yang
digunakan berturut-turut adalah half mask respirator with organic vapor catridge,
full faceplace with organic vapor catridge dan full faceplace powered with
organic vapor catridge (Gunawan, 2000).
2.1.11 Biomarker
Berbagai jaringan, cairan tubuh, dan produk-produk ekskresi berpotensi
berguna untuk penentuan metabolit in vivo: misalnya, (a) darah atau fraksinya, air
liur, dan susu; (b) jaringan adiposa, cerumen, gigi, rambut, dan kuku, dan (c) urin,
tinja, dan udara pernapasan. Jika jaringan dapat dikumpulkan dari mayat yang di
otopsi, dapat memiliki jangkauan yang lebih luas yang dapat digunakan dalam
studi pajanan seumur hidup untuk bahan kimia yang terakumulasi dalam tubuh.
Logam hadir dalam jaringan atau cairan tubuh (misalnya, timbal dalam darah,
tulang atau gigi, kadmium di ginjal, dan merkuri dalam rambut), mereka mungkin
hadir sebagai metabolit. Untuk tujuan pemantauan pajanan, mereka biasanya
ditentukan sebagai logam, dan bukan sebagai metabolit (Slorach, 1991).
2.1.11.1 Definisi
Biomarker adalah istilah umum pada pengukuran yang spesifik yang
menghubungkan sistem biologi dan agent lingkungan (Marek Jakubowski and
Malgorzata, 2005). Penilaian pajanan secara akurat merupakan langkah penting,
baik dalam hal penilaian risiko maupun studi epidemiologi, yang melibatkan
23
Universitas Indonesia
pajanan potensial oleh agent lingkungan. Berbagai metode telah digunakan untuk
menilai pajanan terhadap manusia. Antara lain metode berdasarkan kedekatan
manusia dengan sumber pajanan secara temporal dan spasial, dan metode
pengukuran materi biologis manusia (Biomarker). Pendekatan melalui metode
pengukuran materi biologis manusia merupakan "gold standar" untuk penilaian
pajanan secara akurat (Needhal LL et al, 1999).
Toniolo et al (1997) dalam Richard Albertini et al (2006) menyebutkan
bahwa Biomonitoring adalah analisis pengukuran biomarker pada unit unit
jaringan spesifik atau produk tubuh (Darah, urine, dll). Biomarker adalah setiap
zat, struktur, atau proses yang diukur yang mengindikasikan adanya pajanan atau
kerentanan serta untuk memprediksi kejadian kesakitan atau penyakit. Sedangkan
EPA (2004) mendefinisikan Biomarker sebagai perubahan yang terukur dari
bahan kimia, sel atau jaringan pada media biologis, seperti pada jaringan, sel, atau
cairan manusia atau hasil dari interaksi antara agen xenobiotic dan beberapa
molekul target.
Biomarker termasuk gen yang spesifik, lesi prakanker atau polip, dan
tanda-tanda yang dapat membatu diagnosa. Biomarker tidak hanya berupa
penanda prognosis saja, namun juga dapat berupa hasil pemeriksaan medis atau
hasil uji klinis (seperti analisa kepadatan mineral tulang, EEGs, atau x-ray),
pemeriksaan perubahan perilaku/kognitif, pertumbuhan atau pengukuran fisik
lainnya atau hasil observasi (seperti berat lahir, panjang, lingkar kepala, atau
menghitung bubungan sidik jari) (EPA, 2004).
2.1.11.2 Jenis Biomarker
Terdapat tiga pembagian biomarker, yaitu biomarker pajanan (Biomarker
exposure), biomarker efek (Biomarker effect) dan biomarker kerentanan
(Biomarker susceptibility) (EPA, 2004).
Biomarker pajanan merupakan penanda dalam sistem biologis yang
menunjukkan apakah pajanan telah terjadi atau tidak (Medeiros, 2010). Biomarker
pajanan termasuk bahan kimia dalam bentuk awal pajanan, hasil metabolisme atau
reaksi dalam cairan atau jaringan tubuh. Indikator biologis menggambarkan
kehadiran atau ketidak hadiran sebuah bahan atau zat dalam tubuh. Slorach (1991)
24
Universitas Indonesia
menyebutkan kriteria metabolit yang dapat dijadikan indikator pajanan bahan
kimia sebagai berikut:
1. Metabolit harus spesifik untuk bahan kimia yang bersangkutan;
2. Proses metabolisme bahan kimia dalam suatu organisme yang diukur
harus diketahui;
3. Seperti pada semua pemantauan, metode sampling dan analisa yang
digunakan harus dapat diandalkan dan jaminan kualitas analisis harus
dilakukan untuk memperoleh hasil yang valid.
Biomarker efek digunakan untuk mengukur perkembangan dari sebuah
penyakit seperti benzo-pyrene-DNA adducts, produksi antigen, benjolan tumor
dan gene suppression. Biomarker kerentanan mengindikasikan keadaan subklinis
dari sebuah penyakit atau perlindungan potensial melawan efek negatif dari
pajanan (EPA, 2004).
2.1.11.3 Biomarker pajanan Benzena
WHO (1996) dan Taylor et al (1996) menyebutkan bahwa, Biomarker
yang dapat dijadikan indikator pajanan Benzena antara lain adalah Benzena dalam
darah, Benzena dalam urin, Benzena dalam udara pernapasan, phenol dalam
urin, cathecol dalam urin, hydroquinon dalam urin, 1,2,4 trihydroxiBenzena dalam
urin, phenylmercapturic acid dalam urin dan trans, trans-Muconic Acid dalam
urin.
Trans, trans-Muconic Acid adalah metabolit minor dari benzena yang
dapat digunakan sebagai indikator biologi untuk pajanan Benzena (Ducos et al,
1992). Meskipun t,t-MA telah diidentifikasi sebagai metabolit urin benzena di
awal abad ini, aplikasinya sebagai biomarker untuk pajanan benzena pada
lingkungan kerja baru dikenal akhir-akhir ini saja (Scherer G, Renner T, Meger
M,1998). Level dari t,t-MA dalam urin dapat dipertimbangkan sebagai biomarker
yang dapat dipercaya pada pajanan benzena di lingkungan kerja (Apostoli, 2000
dalam Cocco et al, 2002).
t,t-MA dalam urin dapat digunakan sebagai indikator yang sensitif dan
spesifik untuk pemantauan biologi, terutama untuk pajanan rendah benzena (Liu L
25
Universitas Indonesia
et al, 1996). T,t-MA dalam urin dapat mendeteksi pajanan benzena dengan
konsentrasi sampai 0.1 ppm (ACGIH, 2003). Suwansaksri dan Wiwanitkit (2000)
merekomendasikan penggunaan Biomarker trans,trans-Muconic Acid dalam urin,
untuk memonitor pajanan Benzena terhadap pekerja dengan risiko tinggi pajanan.
Beberapa penelitian mengindikasikan hubungan kuantitas antara pajanan
inhalasi benzene dengan konsentrasi t,t-MA dalam urin (WHO, 1996). Inoue et al
(1989) mengestimasikan bahwa paru-paru akan menyerap konsentrasi senyawa
benzena sebanyak 50% dari konsentrasi pajanan, dan sebanyak 1,9% dari yang
terserap tersebut akan diekskresikan ke dalam urin sebagai t,t-MA. Sedangkan
Ghittori, S, et al. (1994) mendapatkan hasil dari penelitian yang dilakukan,
sebuah persamaan yang menghubungkan konsentrasi biomarker t,t-MA dalam
urine dengan konsentrasi benzena dalam area pernapasan. Adapun bentuk
persamaan tersebut adalah : log (MA, mg/g creatinine) = 0,429 log (A-benzen
ppm) – 0,304, dengan besar hubungan (korelasi) yang kuat (r = 0,58).
2.1.11.4 Pengukuran trans, trans-Muconic Acid dalam urin
Eskresi Trans, trans-Muconic Acid dalam urin berada pada puncaknya
setelah pajanan, dengan waktu paruh beberapa jam, sehingga Sampel urin harus
segera dikumpulkan setelah pajanan terjadi (WHO, 1996).
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) adalah metode
termudah dalam penentuan t,t-MA dalam urin yang dapat digunakan untuk
memonitor pajanan benzena terhadap pekerja (Suwansaksri dan Wiwanitkit,
2000). t,t-MA dalam urin sebagai Biomarker juga dapat ditentukan dengan
metode Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) dan Liquid
Chromatography-Mass Spectrometry (LC-MS).
2.1.11.5 Biological exposure indices
Pemantauan biologi memerlukan pengukuran konsentrasi dari bahan
kimia pada media biologis yang terpajan dan merupakan indikator dari
penyerapan zat (ACGIH, 2003).
Biological exposure indices (BEI) adalah nilai referensi yang
dimaksudkan untuk digunakan dalam praktik higiene industri sebagai pedoman
26
Universitas Indonesia
atau rekomendasi untuk membantu dalam mengendalikan potensi bahaya
kesehatan di tempat kerja. Nilai referensi yang diberikan sebagai rekomendasi
untuk praktik yang baik tanpa jaminan bahwa nilai tersebut memberikan batas
yang jelas antara kondisi aman dan tidak aman. Biological exposure indices
merupakan tingkat penentu yang paling mungkin diamati dalam spesimen yang
dikumpulkan dari pekerja sehat yang telah terpajan bahan kimia melalui pajanan
inhalasi yang sama selama 8 jam waktu kerja (ACGIH, 2003).
BEI dapat memainkan peran yang signifikan dalam evaluasi dan kontrol
terhadap pajanan bahan kimia berbahaya di tempat kerja. BEI menentukan tingkat
industri bahan kimia, perubahan metabolit atau biokimia yang terkait dengan
pajanan dan sebagian besar Biological exposure indices dihubungkan dengan nilai
ambang batas (NAB) yang sesuai (Morgan, 1996).
Istilah creatinine corrects adalah istilah yang diberikan untuk
pengenceran urin yang berasal dari adanya asupan cairan ke dalam urin. Untuk
tujuan agar dapat dilakukan perbandingan dengan BEI, analisa creatinine pada
sampel segar urin harus dilakukan (AIHA).
ACGIH (2006) merekomendasi BEI pada akhir waktu kerja, terhadap
pajanan benzena dengan biomarker t,t-MA dalam urin sebesar 500 µg/gram
creatinine.
2.2 Pajanan Benzena di SPBU
SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum) merupakan
prasarana umum yang disediakan oleh PT. Pertamina untuk masyarakat luas guna
memenuhi kebutuhan bahan bakar. Pada umumnya SPBU menjual bahan bakar
sejenis premium, solar, pertamax dan pertamax plus (PT. Pertamina, 2009). Bahan
bakar minyak (BBM) adalah campuran lebih dari 500 senyawa Hydrocarbon yang
mudah menguap, dan Benzena adalah senyawa Hydrocarbon yang menjadi
perhatian utama dalam penelitian yang menjelaskan gangguan kesehatan akibat
pajanan bensin (Keenan et al, 2009).
Populasi pekerja yang bekerja pada industri yang memproduksi atau
menggunakan benzena dapat terpajan dengan tingkat pajanan tertinggi (NIOSH,
2005). Operator pengisian BBM pada SPBU adalah salah satu populasi pekerja,
27
Universitas Indonesia
yang memiliki tingkat risiko pajanan benzena yang tinggi, terutama melalui jalur
inhalasi dalam waktu pajanan yang kontinyu. Egeghy et al (2000) menyebutkan
bahwa, pembeli BBM secara swalayan terpajan benzena yang antara lain
diemisikan dari proses pembakaran bahan bakar, dari tanki penyimpanan bawah
tanah, tumpahan BBM, dan dari perpindahan uap dari tangki bahan bakar. Dari
jumlah tersebut, perpindahan uap bahan bakar dianggap sebagai proses yang
paling bertanggung jawab atas sebagian besar pajanan. ATSDR (2007)
mengestimasikan bahwa rata – rata pajanan benzena terhadap pekerja pada area
SPBU adalah sebesar 0,12 ppm.
2.3 Analisis Risiko dan Manajemen Risiko
Analisis Risiko adalah proses yang bertujuan untuk menghitung atau
memperkirakan risiko pada suatu organisme sasaran, sistem atau populasi,
termasuk identifikasi ketidak pastian yang menyertainya, setelah terpajan oleh
agent tertentu, dengan memperhatikan karakteristik yang melekat pada agent yang
menjadi perhatian dan karakteristik sistem sasaran yang spesifik (IPCS, 2004).
Sedangkan Louvar & Louvar (1998) menyebutkan bahwa Risk Asessment atau
Analisis Risiko merupakan suatu tahapan proses untuk melihat hubungan antara
pajanan bahan kimia dan agent fisik dengan efek negatif yang mungkin terjadi.
Risk Asessment adalah penilaian tingkat efek dari kemungkinan bahaya pada
populasi atau ekosistem akibat pajanan suatu agent. Commonwealth of Australia
(2002) mendefinisikan Analisis Risiko sebagai proses memperkirakan potensi
dampak dari bahan kimia, fisik, mikrobiologis atau bahaya psikososial pada
populasi yang spesifik, atau sistem ekologi pada kondisi yang spesifik dan waktu
yang tertentu.
Analisis risiko bisa dilakukan untuk pemajanan bahaya lingkungan yang
telah lampau (post exposure), dengan efek yang merugikan sudah atau belum
terjadi, bisa juga dilakukan sebagai suatu prediksi risiko untuk pemajanan yang
akan datang (Rahman, 2007). Rahman (2007) menyebutkan bahwa ada dua
kemungkinan kajian ARKL yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Evaluasi di atas meja (Desktop Evaluation), selanjutnya disebut ARKL Meja;
2. Kajian lapangan (Field Study), selanjutnya disebut ARKL Lengkap.
28
Universitas Indonesia
ARKL Meja dilakukan untuk menghitung estimasi risiko dengan segera
tanpa harus mengumpulkan data dan informasi baru dari lapangan. Kajian ini
biasanya dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan khalayak ramai yang
(bisa) menimbulkan kepanikan meluas, mencegah provokasi yang dapat memicu
ketegangan sosial, atau dalam situasi kecelakaan dan bencana. ARKL Lengkap
biasanya berlangsung dalam suasana normal, tidak ada tuntutan mendesak namun
perlu dilakukan sebagai tindakan proaktif untuk melindungi dan meningkatan
kesehatan masyarakat. Evaluasi di atas meja hanya membutuhkan konsentrasi risk
agent dalam media lingkungan bermasalah, dosis referensi risk agent dan nilai
default faktor-faktor antropometri pemajanan untuk menghitung asupan.
ARKL lengkap pada dasarnya sama dengan evaluasi di atas meja namun
didasarkan pada data lingkungan dan faktor-faktor pemajanan antropometri
sebenarnya yang didapat dari lapangan, bukan dengan asumsi atau simulasi.
Kajian ini membutuhkan data dan informasi tentang jalur pemajanan dan populasi
berisiko. Berikut ádalah langkah-langkah ARKL, baik ARKL Meja maupun
ARKL lengkap.
Berikut adalah langkah-langkah ARKL, baik ARKL Meja maupun ARKL
lengkap.
2.3.1 Hazard Identification (Identifikasi Bahaya)
Identifikasi bahaya, atau hazard identification, adalah tahap awal ARKL
untuk mengenali sumber risiko. Informasinya bisa ditelusuri dari sumber dan
penggunaan risk agent memakai pendekatan agent oriented (WHO, 1983).
Identifikasi bahaya juga bisa dilakukan dengan mengamati gejala dan penyakit
yang berhubungan dengan toksisitas risk agent di masyarakat yang telah
terkumpul dalam studi-studi sebelumnya, baik di wilayah kajian atau di tempat-
tempat lain. Penelusuran seperti ini dikenal sebagai pendekatan disease oriented
(WHO 1983). Dengan cara ini identifikasi keberadaan risk agent yang potensial
dan aktual dalam media lingkungan dapat digunakan untuk analisis dosis-respon
(Rahman, 2007).
Identifikasi bahaya dimulai dengan mengetahui besar toksisitas suatu
bahan (profil toksisitas), dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi
29
Universitas Indonesia
terkait toksisitas suatu bahan kimia. Studi pada tingkat sel dapat membantu untuk
mengetahui tingkat toksisitas kemudian studi pada hewan dan manusia dapat
memperlihatkan/ mengembangkan profil toksisitas suatu zat. Hazard
Identification adalah suatu proses mengenal semua bahaya dari suatu bahan
dengan potensinya untuk membahayakan individu atau lingkungan (Louvar &
Louvar, 1998).
Berdasarkan studi-studi yang dilakukan dengan hasil akhir efek yang
mungkin terjadi dapat disimpulkan, apakah hazard (bahan kimia) tersebut dapat
membahayakan kesehatan manusia. Dengan menggunakan penggabungan antara
studi pada hewan atau pengamatan pada populasi manusia, dapat dilakukan studi
epidemiologi untuk membuktikan toksisitas suatu hazard . Studi pada manusia
akan sangat jelas memberikan gambaran toksisitas hazard tersebut pada manusia,
akan tetapi akan membutuhkan banyak waktu dan uang, serta seringkali terdapat
variable yang sulit dikontrol (Gilbert, 2004).
2.3.2 Exposure Assessment (Analisis Pemajanan)
Exposure atau Pemajanan adalah proses yang menyebabkan organisme
kontak dengan bahaya. Pemajanan adalah penghubung antara bahaya dan risiko.
Pemajanan dapat terjadi karena risk agent terhirup dalam udara, tertelan bersama
air atau makanan, terserap melalui kulit atau kontak langsung dalam kasus radiasi
(Kolluru et al, 1996).
Exposure assessment atau Analisis pemajanan disebut juga penilaian
kontak, bertujuan untuk mengenali jalur-jalur pajanan risk agent agar jumlah
asupan yang diterima individu dalam populasi berisiko bisa dihitung (Rahman,
1997).
30
Universitas Indonesia
Tabel 2.2 Aspek – aspek Dalam Analisis Pajanan
No Aspek Keterangan
1. Agent Biologis, kimia dan fisika Agent tunggal, campuran dan berganda 2. Sumber Antropogenik/non antropogenik, area/titik, Bergerak /diam, indoor/outdoor 3. Media pembawa Udara, air, tanah, debu, makanan dan produk 4. Jalur pajanan Menghirup udara yang terkontaminasi, makan makanan yang terkontaminasi, menyentuh permukaan benda 5. Konsentrasi pajanan mg/m3(udara), mg/kg(makanan), mg/liter(air) 6. Rute pajanan Inhalasi, ingesti, kontak kulit, rute berganda 7. Durasi Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, seumur hidup 8. Frekwensi Kontinu, intermiten, bersiklus, acak 9. Latar pajanan Pemukiman/bukan pemukiman, lingkungan kerja/bukan lingkungan kerja, indoor/outdoor 10. Populasi terpajan Populasi, sub populasi, individu 11. Lingkup geografis Tempat/sumber spesifik, local, regional, nasional, internasional, global 12. Kerangka waktu Masa lalu, masa sekarang, masa depan, trend
Sumber : Kolluru et al (1996) dalam Sianipar (2009)
Penilaian pajanan dinilai dengan menilai rute pajanan yang paling banyak
terjadi, seperti melalui oral/ingesti, inhalasi atau kulit/absorbsi. Seberapa banyak
absorbsi yang mungkin diterima dari tiap rute pajanan tersebut, informasi terkait
jumlah (konsentrasi), durasi dan frekwensi pajanan yang mungkin diterima.
Tempat pajanan terjadi merupakan salah satu identifikasi pajanan, seperti pajanan
terjadi di sekolah rumah, tempat kerja atau area lain, informasi ini dapat
membantu dalam menentukan populasi berisiko. Informasi populasi terpajan
mungkin dapat digunakan untuk merancang studi yang cocok pada penelitian
hazard dan untuk langkah selanjutnya, yaitu hubungan dosis respon. Penilaian
pajanan adalah evaluasi kualitatif dan kuantitatif kemungkinan asupan bahan
kimia melalui makanan dari suatu sumber (IPCS, 2009).
Risk agent bisa berada di dalam tanah, di udara, air, atau pangan seperti
ikan, daging, telur, susu, sayur-mayur dan buah –buahan (Rahman, 2007). Asumsi
efek agent merugikan dapat terjadi pada pajanan oral, inhalasi dan absorbsi kulit
dengan material yang mengandung agent tertentu. Perhitungan dengan
menggunakan rumus Intake persamaan (1) (Louvar and Louvard, 1998) , yaitu :
31
Universitas Indonesia
(1)
I = Asupan (intake), mg/kg/hari
C = Konsentrasi risk agent, mg/M3 untuk medium udara, mg/L untuk
air minum, mg/kg untuk makanan atau pangan
R = Laju asupan atau konsumsi, M3/jam untuk inhalasi, L/hari untuk
air minum, g/hari untuk makanan
tE = Lama pajanan, jam/hari
fE = Frekuensi pajanan, hari/tahun
Dt = Durasi pajanan, tahun (real time
atau proyeksi, 30 tahun untuk nilai
default residensial)
Wb = Berat badan, kg
tavg
= Perioda waktu rata-rata (Dt×365 hari/tahun untuk zat nonkarsinogen, 70
tahun×365 hari/tahun untuk zat karsinogen)
Konsentrasi risk agent dalam media lingkungan diperlakukan menurut
karakteristik statistiknya. Jika distribusi konsentrasi risk agent normal, bisa
digunakan nilai arithmetic meannya. Jika distribusinya tidak normal, harus
digunakan log normal atau mediannya. Normal tidaknya distribusi konsentrasi
risk agent bisa ditentukan dengan menghitung coefficience of variance (CoV),
yaitu SD dibagi mean. Jika CoV ≤20% distribusi dianggap normal dan karena itu
dapat digunakan nilai mean.
Sebelum nilai default nasional tersedia berdasarkan hasil survey maka tE,
fE
dan Wb
hasil studi pencemaran udara di 9 kota padat transportasi (Nukman et al.
2005) dapat dipakai sebagai nilai numerik faktor antropometri pemajanan. Nilai
numerik lainnya terpaksa harus diambil dari Exposure Factors Handbook (EPA
1990). Nilai numerik beberapa variabel Persamaan (1) dicantumkan dalam Tabel
4. Tabel ini mungkin belum mencukupi karena ada beberapa kasus dengan tata
guna lahan (land use) lain belum tercantum. US-EPA mengingatkan bahwa data
32
Universitas Indonesia
setempat yang spesifik bisa menghasilkan nilai default berbeda dengan Tabel 4,
tergantung dari karakteristik antropometri dan pola aktivitas populasi yang
bersangkutan.
Tabel 2.3 Beberapa nilai default faktor-faktor pemajanan
a untuk menghitung asupan
berbagai jalur pajanan Tata Guna
Lahan Jalur
pajanan Asupan Harian Frekwensi
Pajanan (hari/tahun)
Durasi Pajanan (tahun)
Berat badan (kg)
Residensial
Industri & Komersial
Pertanian
Rekreasi
Air minum Tanah & debu (tertelan) Inhalasi (terhirup) Air minum Tanah & debu (tertelan) Tanaman pekarangan Air minum Tanah & debu (tertelan) Inhalasi (terhirup) Ikan tangkapan
2 L (dewasa)
1 L (anak-anak)
200 mg (anak-anak) 100mg (dewasa)
20 M3 (dewasa)
12 M3 (anak-anak)
1 L
50 mg
42 g (buah) 80 g (sayur)
2 L (dewasa)
1 L (anak-anak)
200 mg (anak-anak)
100 mg (dewasa)
20 M3 (dewasa)
54 g
350
350
350 350
350
350
250
250
350
350
350 350
350
350
30
6
6 24
30
6
25
25
30
30
6 24
30
30
70 kg 55 kgb
15 kg
15 kg 70 kg 55 kgb
70 kg 55 kgb
15 kg
70 kg 55 kgb
70 kg 55 kgb
70 kg 55 kgb
70 kg 55 kgb
15 kg
15 kg 70 kg 55 kgb
70 kg 55 kgb
70 kg 55 kgb
aKecuali disebutkan, semua angka berasal dari Exposure Factor Handbook (EPA, 1990). bNukman et al (2005) Sumber : Rahman (2007)
33
Universitas Indonesia
2.3.3 Dose-respons assessment (Penilaian dosis-respon)
Analisis dosis-respon, disebut juga dose-response assessment atau toxicity
assessment, menetapkan nilai-nilai kuantitatif toksisitas risk agent untuk setiap
bentuk spesi kimianya. Toksisitas dinyatakan sebagai dosis referensi (reference
dose, RfD) untuk efek-efek nonkarsinogenik dan Cancer Slope Factor (CSF) atau
Cancer Unit Risk (CCR) untuk efek-efek karsinogenik.
Analisis dosis-respon merupakan tahap paling menentukan karena ARKL
hanya bisa dilakukan untuk risk agent yang sudah ada dosis-responnya. RfD
adalah toksisitas kuantitatif nonkarsinogenik, menyatakan estimasi dosis pajanan
harian yang diprakirakan tidak menimbulkan efek merugikan kesehatan meskipun
pajanan berlanjut sepanjang hayat (IPCS 2004a). Dosis referensi dibedakan untuk
pajanan oral atau tertelan (ingesi, untuk makanan dan minuman) yang disebut RfD
(saja) dan untuk pajanan inhalasi (udara) yang disebut reference concentration
(RfC).
Dalam analisis dosis-respon, dosis dinyatakan sebagai risk agent yang
terhirup (inhaled), tertelan (ingested) atau terserap melalui kulit (absorbed) per kg
berat badan per hari (mg/kg/hari). Respon atau efek nonkarsinogenik, yang
disebut juga efek sistemik, yang ditimbulkan oleh dosis risk agent tersebut dapat
beragam, mulai dari yang tidak teramati yang sifatnya sementara, kerusakan organ
yang menetap, kelainan fungsional yang kronik, sampai kematian. Dosis yang
digunakan untuk menetapkan RfD adalah yang menyebabkan efek paling rendah
yang disebut NOAEL (No Observed Adverse Effect Level) atau LOAEL (Lowest
Observed Adverse Effect Level). NOAEL adalah dosis tertinggi suatu zat pada
studi toksisitas kronik atau subkronik yang secara statistik atau biologis tidak
menunjukkan efek merugikan pada hewan uji atau pada manusia sedangkan
LOAEL berarti dosis terendah yang (masih) menimbulkan efek. RfD atau RfC
diturunkan dari NOAEL atau LOAEL menurut Persamaan (2):
(2)
34
Universitas Indonesia
UF adalah uncertainty factor (faktor ketidakpastian) dengan UF1
= 10
untuk variasi sensitivitas dalam populasi manusia (10H, human), UF2
= 10 untuk
ekstrapolasi dari hewan ke manusia (10A, animal), UF3
= 10 jika NOAEL
diturunkan dari uji subkronik, bukan kronik, UF3
= 10 bila menggunakan LOAEL
bukan NOAEL dan MF adalah modifying factor bernilai 1 s/d 10 untuk
mengakomodasi kekurangan atau kelemahan studi yang tidak tertampung UF.
Menentukan dosis-respon suatu risk agent sangat sulit, membutuhkan data
dan informasi studi toksisitas yang asli dan lengkap, ahli-ahli kimia, toksikologi,
farmakologi, biologi, epidemiologi dan spesialis-spesialis lain yang berhubungan
dengan toksisitas dan farma-kologi zat. Namun, saat ini RfD, RfC, SF dan UCR
zat-zat kimia dalam berbagai spesi, termasuk fomulanya, telah ada dalam
pangkalan data Integrated Risk Information System dari US-EPA (IRIS 2007)
yang tersedia di http://www.epa.gov/iris dan pangkalan data TOXNET di
http://www.nlm/ yang lebih besar daripada IRIS. Ada ratusan spesi kimia zat yang
telah dimasukkan ke dalam daftar IRIS dan sudah ditabulasi (Louvar and Louvar
1998) sehingga bisa langsung digunakan (Rahman, 2007).
Di bawah ini adalah dosis-respon benzena untuk efek nonkarsinogenik dan
karsinogenik.
Tabel 2.4 Dosis-respon Kuantitatif Nonkarsinogenik dan Karsinogenik Benzena
Dosis-respon Kuantitatif Nonkarsinogenik Dosis-respon Kuantitatif Karsinogenik
RfC Efek Sumber Data CSF Efek Sumber Data
3 x 10⁻² mg/M³, di
konversi ke dalam
satuan
(mg/kg/hari) :
0,03 mgM³
+ 20M³
harix 1
70kg
= 0,0086
Penurunan
jumlah
limposit
Penelitian
Rothman et al.,
1996 pada
pajanan
inhalasi di
lingkungan
kerja
2,73E-02
(mg/kg/hari)⁻1
Leukemia Rinsky et al.,
1981, 1987;
Paustenbach et
al., 1993;
Crump and
Allen, 1984;
Crump, 1992,
1994; U.S.
EPA, 1998
35
Universitas Indonesia
2.3.4 Risk characterization (Karakterisasi risiko)
Karakterisasi risiko adalah penghubung antara risiko dengan manajemen
risiko. Asupan manusia (intake) dibandingkan dengan konsentrasi acuan (RfD
atau RfC). Rasio antara asupan dengan RfD atau RfC dikenal dengan bilangan
risiko (Risk quotients), disingkat RQ. Dalam Analisa Risiko Kesehatan
Lingkungan (ARKL), RQ menyatakan kemungkinan risiko yang potensial terjadi.
Semakin besar RQ di atas 1, semakin besar pula kemungkinan risiko itu terjadi.
Dan sebaliknya, jika nilai RQ kurang dari 1, maka semakin kecil kemungkinan
risiko kesehatan itu terjadi (Kolluru et al, 1996 dalam Sianipar, 2009).
Rahman (2007) menyebutkan bahwa Karakteristik risiko kesehatan
dinyatakan sebagai Risk Quotient (RQ, Tingkat Risiko) untuk efek-efek
nonkarsinogenik (ATSDR 2005; EPA 1986; IPCS 2004; Kolluru 1996; Louvar
and Louvar 1998) dan Excess Cancer Risk (ECR) untuk efek-efek karsinogenik
(EPA, 2005). RQ dihitung dengan membagi asupan nonkarsinogenik (Ink
) risk
agent dengan RfD atau RfC-nya menurut Persamaan (3):
(3)
Hasil perhitungan RQ akan diketahui:
a. Jika RQ > 1 maka konsentrasi agent berisiko dapat menimbulkan efek
merugikan kesehatan
b. Jika RQ ≤ 1 maka konsentrasi agent belum berisiko dapat menimbulkan efek
merugikan kesehatan
ECR dihitung dengan mengalikan CSF dengan asupan karsinogenik risk agent (Ik)
menurut Persamaan (4):
ECR = CSF× Ik
(4)
36
Universitas Indonesia
EPA membatasi ECR pada rentang 10-4 sampai dengan 10-6, ECR
dinyatakan sebagai jumlah penduduk yang terkena efek merugikan yang dapat
terkenan efek yang merugikan yang dapat berkembang sebagai kanker untuk
setiap 10.000, 100.000 atau 1.000.000 penduduk.
2.3.5 Risk management (Manajemen risiko)
Berdasarkan karakterisasi risiko, dapat dirumuskan pilihan-pilihan
manajemen risiko untuk meminimalkan RQ dan ECR dengan memanipulasi
(mengubah) nilai faktor-faktor pemajanan yang tercakup dalam Persamaan (1)
sedemikian rupa sehingga asupan lebih kecil atau sama dengan dosis referensi
toksisitasnya. Pada dasarnya hanya ada dua cara untuk menyamakan Ink
dengan
RfD atau RfC, yaitu menurunkan konsentrasi risk agent atau mengurangi waktu
kontak. Ini berarti hanya variabel-variabel Persamaan (1) tertentu saja yang bisa
diubah-ubah nilainya (Rahman, 2007).
Manajemen risiko adalah proses pengambilan keputusan yang
menyertakan pertimbangan politik, sosial, ekonomi dan faktor-faktor tehnis yang
relevan dengan informasi yang didapat dari penilaian risiko, yang berhubungan
dengan bahaya. Manajemen risiko digunakan untuk membangun, menganalisa,
memilih dan mengimplementasikan pilihan untuk mengurangi risiko. Risk
manajemen terdiri dari 3 elemen, evaluasi risiko, pengendalian emisi dan pajanan,
serta monitoring risiko (IPCS, 2009).
Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFINISI
OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan kepustakaan mengenai benzena dan analisis resiko
kesehatan akibat pajanan benzena , maka dapat disusun kerangka teori sebagai
berikut:
3.2 Kerangka Konsep
Proses sejak analisis pajanan sampai dengan penilaian resiko kesehatan
pajanan benzena pada manusia membutuhkan variabel konsentrasi, laju asupan,
lama pajanan, frekwensi pajanan, durasi pajanan, berat badan dan periode waktu
rata – rata.
37
38
Universitas Indonesia
3.3 Definisi Operasional Variabel Definisi
Operational Alat ukur Cara ukur Skala
Urin trans,trans-Muconic Acid
Konsentrasi Biomarker pajanan benzene dalam urin
Liquid Chromatography Mass Spectra (LCMS)
Pengukuran Lab. Kesda Provinsi DKI Jakarta
Rasio
Konsentrasi (C)
Konsentrasi Benzena dalam udara inhalasi karyawan SPBU
Kalkulator ESB 7.1.0. Tabel logaritma
Konversi dengan persamaan persamaan Ghittori, S, et al. (1994): log (MA, mg/g creatinine) = 0,429 log (A-benzen ppm) – 0,304
Rasio
Laju Inhalasi (R)
Banyaknya udara yang dihirup manusia dewasa (karyawan) M3 per jam.
Default US - EPA 0,83 M3/jam
Literatur Rasio
Lama Pajanan (t
E )
Jumlah jam karyawan terpajan Benzena inhalasi dalam satu hari
Nukman et al (2005), Kep Menaker No. 102/Men/VI/2004 8 jam
Literatur Rasio
Frekuensi Pajanan (f
E)
Jumlah hari karyawan terpajan Benzena inhalasi dalam satu tahun
Default US - EPA 350 hari/tahun
Literatur
Rasio
Durasi Pajanan (D
t)
Lamanya karyawan terpajan Benzena dari udara inhalasi
Pajanan real time, 3 tahun
dan proyeksi
30 tahun untuk nilai default residensial
kuesioner mewawancarai karyawan dan literatur
Rasio
Berat badan (W
b)
Berat badan karyawan pada waktu penelitian
Secca (Timbangan dengan ketelitian 0,1 kg)
Mengukur berat badan karyawan
Rasio
Periode waktu rata-rata (t
avg)
Periode waktu rata-rata karyawan terpajan Benzena dari udara ambien
Proyeksi: Untuk efek non karsinogenik : 30 tahun x 365 hari/tahun Untuk efek karsinogenik : 70 tahun x 365 hari/tahun
Literatur Rasio
39
Universitas Indonesia
Variabel Definisi Operational
Alat ukur Cara ukur Skala
Intake/asupan (I)
Banyaknya benzena yang masuk kedalam tubuh karyawan SPBU melalui saluran pernapasan per satuan berat badan per hari.
Rumus
Berdasarkan perhitungan dengan rumus
Rasio
RfC Estimasi jumlah maksimum agen (bahan kimia) per kilogram berat badan dimana populasi yang terpajan setiap hari selama hidupnya tidak menyebabkan risiko kesehatan (IPCS, 2009)
berdasarkan US EPA untuk Benzene = 3 x 10-2 mg/M3, laju asupan 20 M3/hari, 70 kg berat badan, maka didapat RfC sebesar 0,0086 mg/kg/hari
Konversi Rasio
CSF toksisitas kuantitatif karsinogenik , menyatakan estimasi dosis pajanan harian yang diprakirakan tidak menimbulkan efek merugikan kesehatan meskipun pajanan berlanjut sepanjang hayat (IPCS 2009)
CSF berdasarkan The Risk Assessment Information System untuk Benzene = 2.73E-02 (mg/kg/hari)⁻1
Literatur Rasio
Karakteristik Risiko efek non karsinogenik (RQ)
Perbandingan asupan dengan RfC RQ > 1: Kemungkinan berpotensi terjadinya efek yang merugikan bagi kesehatan karyawan RQ ≤ 1 Kemungkinan belum atau tidak berpotensi terjadinya risiko efek yang merugikan bagi kesehatan karyawan
Perhitungan dengan pendekatan bilangan risiko atau risk Quotient (RQ) Rumus:
Berdasarkan perhitungan dengan rumus
Rasio
Karakterisrik Risiko efek karsinogenik (ECR)
Perkalian asupan dengan CSF
Rumus : ECR = CSF× I
k
Berdasarkan perhitungan dengan rumus
Rasio
Universitas Indonesia
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Studi
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah
desain analisis risiko kesehatan lingkungan. Paradigma analisis risiko untuk
kesehatan masyarakat pertama kali diusulkan oleh National Academy of Sciences
of the United States of America tahun 1983 dan difokuskan pada penilaian risiko
efek kanker terhadap pajanan bahan kimia melalui makanan. Pengambilan
keputusan di bidang kesehatan masyarakat terhadap risiko yang mungkin terjadi
dari pajanan bahan kimia, menghasilkan beberapa keputusan yang dapat diambil.
Tujuan utama adalah untuk mengimplementasikan aksi dari manajemen risiko
yang dapat menurunkan risiko itu sendiri. Proses pengambilan keputusan terdiri
dari 3 langkah utama. Penelitian, penilaian risiko dan manajemen risiko (IPCS.
2009).
Adapun IPCS (2009) memberikan langkah-langkah penilaian risiko
sebagai berikut :
a) Identifikasi bahaya (hazard identification) dengan mengumpulkan informasi
terkait zat/bahan yang akan diteliti, baik karakteristik ataupun toksisitasnya;
b) Analisis pajanan (exposure assessment), yaitu dengan menilai rute pajanan
(inhalasi), jumlah pajanan, serta durasi dan frekuensi;
c) Analisis efek (dose-response assessment), yaitu mengidentifikasi efek
merugikan yang diakibatkan oleh zat/bahan tersebut, dan;
d) Karakteristik risiko (risk characterization), yaitu memperkirakan risiko yang
mungkin muncul akibat pajanan.
4.2 Rancangan Sampel
4.2.1 Populasi Sampel
Subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 28 orang karyawan SPBU ‘X’
Jakarta Utara. 28 orang karyawan tersebut terdiri dari 19 orang adalah karyawan
operator mesin pompa bahan bakar minyak kendaraan, 6 orang adalah karyawan
40
41
Universitas Indonesia
bagian administrasi, masing-masing 1 orang penjaga toko, keamanan, petugas
kebersihan.
4.2.2 Perhitungan Sampel
Dengan menggunakan tehnik Purposive Sampling, jumlah sampel dalam
penelitian ini adalah 10 karyawan. 2 orang bekerja di dalam ruangan sebagai
karyawan administrasi, dan 8 orang bekerja di luar ruangan sebagai operator
mesin pompa bahan bakar minyak kendaraan.
4.2.3 Cara Pengambilan Spesimen Biologis
Sampel yang diambil adalah urin, yang diambil setelah akhir waktu kerja
(WHO, 1996). Satu sampel urin dikumpulkan pukul 15.00 sampai dengan 16.00
WIB setelah akhir waktu kerja shift pertama (06.00 sampai dengan 14.00),
terhadap 10 orang tersebut di atas. Pengumpulan urin menggunakan wadah dari
kaca. Jumlah sampel urin kira – kira 25 ml, jumlah yang cukup apabila akan
dilakukan analisa ulang (WHO, 1996).
4.2.4 Cara Pemeriksaan Spesimen Biologis
Penetapan kadar metabolit benzena dilakukan di Laboratorium Kesehatan
Daerah Provinsi DKI Jakarta, yang dilakukan dengan metode Liquid
Chromatography Mass Spectra. Adapun langkah-langkah pemeriksaan adalah
sebagai berikut :
1. Siapkan sampel, blanko dan QC (standar t,t-MA)
2. Siapkan tabung dan beri identitas
3. Pipet 2 mL sampel, blanko, QC ke dalam tiap tabung sesuai identitas
4. Buat deret standar
- 25 ppb ~ 50 uL dari standar t,t-MA 1 ppm
- 50 ppb ~ 100 uL dari standar t,t-MA 1 ppm
- 100 ppb ~ 200 uL dari standar t,t-MA 1 ppm
- 200 ppb ~ 400 uL dari standar t,t-MA 1 ppm
- 400 ppb ~ 800 uL dari standar t,t-MA 1 ppm
5. Catat seluruh identitas tabung ke dalam lembar kerja
42
Universitas Indonesia
6. Siapkan seppak cartridge dan cuci dengan 3 mL methanol dan 3 mL
aquabidest, agar partikel aktif
7. Lewatkan sampel, blanko dan QC ke dalam seppak cartridge
8. Untuk mengikat t,t-MA, Cuci dengan 3 mL aquabidest, dilanjutkan dengan 3
mL Buffer Phospat 5 mMolar, pH 7 dan 3 mL asam asetat 1%
9. Agar t,t-MA turun, lakukan elusi dengan 4 mL asam asetat 4%
10. Sisanya diekstraksi 2 kali dengan 5 mL Ethyl asetat selama 30 menit
11. Pisahkan fasa organic ke dalam tabung yang lain
12. Keringkan fasa organic dengan gas N2
13. Larutkan kembali tabung 150 uL fase gerak
14. Pindahkan ke dalam vial ulir
15. Inject sampel dengan LCMS, untuk mendapatkan luas area sampel t,t-MA
terhadap urin
4.3 Pengumpulan Data
4.3.1 Pengumpulan data variabel independen
Pengumpulan data berupa berat badan dan durasi kerja didapat dengan
wawancara, dilakukan setelah selesai pekerjaan, menjelang pulang, kemudian
meminta kesediaan karyawan berkenan untuk diambil sampel urinnya.
4.3.2 Tempat dan waktu
Pengambilan sampel urin dilakukan di SPBU ’X” Jakarta Utara. Waktu
penelitian dilakukan dari bulan Nopember sampai dengan Desember 2010.
4.3.3 Pengorganisasian
Sebelum pengambilan data, dilakukan proses perijinan kepada pihak
SPBU ’X’ Jakarta Utara. Setelah itu, pengumpulan data dilakukan oleh 1 orang
(peneliti), yang akan mengambil sampel urin. Kegiatan dilakukan selama 1 hari,
waktu yang cukup untuk pengambilan sampel urin terhadap 10 orang.
43
Universitas Indonesia
4.4 Analisis Data
Asumsi efek merugikan agen adalah hanya pada pajanan
inhalasi/pernapasan, yaitu menghirup udara yang mengandung Benzene.
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan Rumus Intake, yaitu:
Untuk melakukan perhitungan Nilai Intake, asumsi-asumsi yang digunakan yaitu:
1) Konsentrasi (C) agen didapat dengan melakukan konversi kandungan t,t-MA
dalam urin hasil pemeriksaan laboratorium (mg/M3)
2) Laju Asupan (R) 20 M3 untuk dewasa, berdasarkan US-EPA Default Exposure
Factor dengan efek pajanan bukan kanker atau tidak menyebabkan kanker.
3) Lama pajanan (tE
) 8 jam diperoleh dari peraturan jam kerja karyawan, dan
hasil penelitian Nukman et al (2005).
4) Frekuensi pajanan (fE) 350 hari per tahun berdasarkan US-EPA Default
Exposure Factor dengan efek pajanan bukan kanker atau tidak menyebabkan
kanker dan hasil penelitian Nukman et al (2005).
5) Durasi pajanan (Dt) 30 tahun untuk dewasa, berdasarkan US-EPA Default
Exposure Factor.
6) Berat badan (Wb), berat orang dewasa berdasarkan US-EPA Default Exposure
Factor dengan efek pajanan bukan kanker atau tidak menyebabkan kanker
adalah 70 kg, dan 55 kg berdasarkan Nukman et al (2005). Namun data berat
badan didapat dari pengambilan sampel berat badan pada karyawan.
7) Periode waktu rata-rata (tavg
) yaitu 365 hari selama 30 tahun untuk dewasa
berdasarkan faktor pajanan non-karsinogen dan 70 tahun untuk pajanan
karsinogen.
Dengan menggunakan asumsi – asumsi di atas, maka didapat Intake dalam
satuan mg/kg/hari. Penilaian dosis respon dihitung berdasarkan nilai RfC Benzena
sebesar 3 x 10-2 mg/M3 (US EPA) untuk efek nonkanker dan berdasarkan nilai
CSF Benzena sebesar 2.73E-02 mg/kg/hari (RAIS).
44
Universitas Indonesia
Karateristik risiko nonkanker diketahui dengan melakukan perhitungan
dengan rumus:
a. Ink = Intake nonkanker dari hasil perhitungan penilaian pajanan (mg/kg/hari)
b. RfC = Dosis atau konsentrasi referensi (mg/M3) dalam perhitungan ini yang
dipergunakan adalah RfC karena pajanan melalui inhalasi.
Hasil perhitungan RQ akan diketahui
a) Jika RQ > 1 maka konsentrasi agen berisiko dapat menimbulkan efek
merugikan kesehatan.
b) Jika RQ ≤1 maka konsentrasi agen belum berisiko dapat menimbulkan efek
kesehatan.
Karateristik risiko kanker diketahui dengan melakukan perhitungan
dengan rumus:
ECR = CSF× Ik
a. Ik = Intake kanker dari hasil perhitungan penilaian pajanan (mg/kg/hari)
b. CSF = Dosis atau konsentrasi referensi (mg/kg/hari)⁻1 .
EPA membatasi ECR pada rentang 10-4 sampai dengan 10-6, ECR
dinyatakan sebagai jumlah penduduk yang terkena efek merugikan yang dapat
terkena efek yang merugikan yang dapat berkembang sebagai kanker untuk setiap
10.000, 100.000 atau 1.000.000 penduduk (Rahman, 2007).
Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi SPBU ‘X’ terletak di Jakarta Utara. SPBU ini memiliki 3 tempat
penyimpanan BBM bawah tanah untuk Premium, Pertamax dan Solar dengan
kapasitas secara berurutan adalah 90 ton, 26 ton dan 32 ton. Terdapat 5 mesin
pompa bahan bakar yaitu, 1 mesin pompa untuk Solar, 3 untuk premium dan 1
untuk Pertamax. Jumlah seluruh karyawan adalah sebanyak 28 orang, yang terdiri
dari 6 orang bagian administrasi (5 laki-laki, 1 perempuan), 19 orang operator
mesin bahan bakar minyak (9 laki-laki, 10 perempuan) dan masing-masing 1
orang laki-laki untuk petugas keamanan, petugas kebersihan dan penjaga toko.
Untuk operator mesin bahan bakar minyak, dari hari Senin sampai dengan
Jumat terbagi menjadi 3 shift. Shift pertama bertugas sejak pukul 06.00 sampai
dengan 14.00 WIB, Shift kedua bertugas sejak pukul 14.00 sampai dengan 22.00
WIB dan Shift ketiga bertugas sejak pukul 22.00 sampai dengan 06.00 WIB.
Sedangkan untuk hari Sabtu dan Minggu, hanya terbagi menjadi 2 Shift, Shift
pertama bertugas sejak pukul 06.00 sampai dengan 14.00 WIB dan Shift kedua
bertugas sejak pukul 14.00 sampai dengan 22.00 WIB.
5.2 Level t,t-MA dalam urin
Terdapat dua nilai level t,t-MA yang masuk ke dalam urin, yang pertama
menggambarkan level t,t-MA yang masuk ke dalam urin (µg/L ), dan yang kedua
adalah level t,t-MA setelah dilakukan koreksi terhadap creatinine (µg/g
creatinine). Tabel 5.1 adalah hasil pemeriksaan kadar t,t-MA dalam urin sebagai
biomarker pajanan benzena yang dilakukan pada bulan November 2010 pada
karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara.
45
46
Universitas Indonesia
Tabel 5.1 Level t,t-MA dalam urin pada Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara No. Responden Konsentrasi
(µg/L) Creatinin (mg/dL)
Kadar (µg/g Creatinin)
1. Responden 1** 2,85 124 2,3 2. Responden 2** 15,33 338 4,54 3. Responden 3** 45,55 476,5 9,56 4. Responden 4* 38,51 421 9,15 5. Responden 5** 16,92 161 10,51 6. Responden 6* 8,71 75 11,62 7. Responden 7** 37,88 314,5 12,04 8. Responden 8** 25,27 121 20,88 9. Responden 9** 76,86 312,5 24,59 10. Responden 10** 214,01 291 73,54
*Karyawan administrasi **Operator mesin pompa BBM
Tabel 5.2 Distribusi Level t,t-MA dalam urin pada Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
5.3 Distribusi Variabel Antropogenik Dan Pola Aktifitas Faktor-faktor
Pemajanan
5.3.1 Konsentrasi pajanan benzena
Untuk mendapatkan konsentrasi pajanan benzena dalam area pernapasan,
digunakan persamaan : log (MA, mg/g creatinine) = 0,429 log (A-benzen ppm) –
0,304 (Ghittori, S, et al, 1994). Responden pertama akan digunakan sebagai
contoh perhitungan.
Konsentrasi t,tMA dalam urin responden pertama sebesar 2.3 µg/g creatinin,
dikonversi ke dalam satuan mg/g creatinine, maka konsentrasi t,t-MA
responden pertama menjadi sebesar 0,0023 mg/g creatinine.
Konsentrasi pajanan benzene pada area pernapasan responden pertama dihitung
sebagai berikut :
Variabel Mean Median SD Minimal
Maksimal Skewness Std. Error
Level t,t-MA dalam urin
(µg/g Creatinin)
17,87 20,67150
2,3 2,588 6,5369
11,06 73,54
47
Universitas Indonesia
log (MA, mg/g creatinine) = 0,429 log (A-benzen ppm) – 0,304 log 0,0023 = 0,429 log A – 0,304 log (2,3 x log 10-3) = 0,429 log A – 0,304 log 2,3 x log 10-3 = 0,429 log A – 0,304 log 2,3 – 3 = 0,429 log A – 0,304 0,3617 – 3 = 0,429 log A – 0,304 0,3617 – 3 + 0,304 = 0,429 log A -2,1243 = 0,429 log A log A = -2,1243 : 0,429 log A = -5,44 = 0,560 – 6 = log 3,63 – log 1000000 = log (3,63 : 1000000) = log 0.00000363 A = 0.00000363 ppm A = 0.00363 mg/M3
Tabel 5.3 Konsentrasi Pajanan Benzena Hasil Konversi kandungan t,t-MA Urin Pada
Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
No. Responden Kandungan t,t-MA urin
(µg/g creatinine)
Kandungan t,t-MA urin
(mg/g creatinine)
Konsentrasi Pajanan Benzena
(mg/M3) 1. Responden 1** 2,3 0.0023 0.00363 2. Responden 2** 4,54 0.00454 0.0174 3. Responden 3** 9,56 0.00956 0.102 4. Responden 4* 9,15 0.00915 0.0911 5. Responden 5** 10,51 0.01051 0.126 6. Responden 6* 11,62 0.01162 0.1585 7. Responden 7** 12,04 0.01204 0.17 8. Responden 8** 20,88 0.02088 0.616 9. Responden 9** 24,59 0.02459 0.911 10. Responden 10** 73,54 0.07354 11.83
*Karyawan administrasi **Operator mesin pompa BBM
Konsentrasi pajanan benzena tertinggi sejumlah 11.83 mg/M³ pada
responden ke sepuluh. Sedangkan pajanan terendah pada responden pertama
dengan konsentrasi 0,00363 mg/M³. Ditemukan bahwa ternyata responden dengan
konsentrasi pajanan terendah adalah karyawan operator mesin pompa BBM
(responden pertama), jauh di bawah karyawan bagian administrasi (responden ke-
empat dan ke-enam).
48
Universitas Indonesia
Tabel 5.4 Distribusi Konsentrasi Pajanan Benzen (mg/M³) Hasil Konversi kandungan
t,t-MA Urin pada Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
Dari hasil analisis data didapatkan nilai mean dan median konsentrasi
pajanan benzena pada pekerja SPBU adalah 1,4026 mg/M³.dan 0,1423 mg/M³,
dengan nilai skewness 3,126. Artinya data konsentrasi pajanan benzena tidak
berdistribusi normal. sehingga nilai konsentrasi yang mewakili adalah nilai
median, yaitu 0,1423 mg/M³.
5.3.2 Umur Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
Tabel 5.5 Distribusi Umur Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
Diketahui bahwa rata-rata umur responden adalah 20 tahun dengan standar
deviasi 1,7 dan median 20 tahun. Umur minimal responden diketahui adalah 18
tahun dan maksimal 23 tahun.
Tabel 5.6 Umur Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara Umur
(tahun) Jumlah Persentase (%)
18 3 30 20 4 40 21 1 10 22 1 10 23 1 10
Total 10 100
Variabel Mean Median SD Minimal
Maksimal Skewness Std. Error
Konsentrasi Pajanan Benzen (mg/m³)
1,4026 3,67537
0,00363 3,126 1,16226
0,1423 11,83
Variabel Mean Median SD
Minimal
Maksimal
Umur (tahun)20
1,7 18
20 23
49
Universitas Indonesia
Dari 10 responden diketahui sebanyak 4 orang beumur 20 tahun (20%) dan 3
orang berumur 18 tahun (30%). Sedangkan selain itu umur responden adalah lebih
dari 20 tahun.
5.3.3 Berat Badan Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
Tabel 5.7 Distribusi Berat Badan Karyawan SPBU’X’ Jakarta Utara
Berat badan responden diketahui berdistribusi normal dengan rata-rata
50,3 kg (95% CI: 43,41-57,19) dengan standar deviasi 9,6. Berat badan terendah
38 kg dan yang tertinggi 64 kg, 95% dapat diyakini bahwa rata-rata berat badan
responden berada pada 43,41 sampai dengan 57,19 kg.
5.3.4 Lama Bekerja Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
Tabel 5.8 Distribusi Durasi Kerja Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
Dari hasil analisis data durasi kerja diketahui masa kerja responden
minimal 1 bulan dan maksimal 24 bulan atau 2 tahun. Nilai rata-rata yang didapat
adalah 9,5 bulan (95% CI: 4,68-14,32) dengan standar deviasi 6,7. Dari hasil
estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa masa kerja
responden berada pada 4,68 bulan sampai 14,32 bulan.
Variabel Mean Median SD Minimal
Maksimal 95% CI Skewness Std. Error
Berat Badan (kg) 50,3
9,62738
43,41-57,19 0,259 0,687 47,5 64
Variabel Mean Median SD Minimal
Maksimal 95% CI Skewness Std. Error
Lama Kerja / Dt (Bulan)
9,5 6,737
1 4,68-14,32 0,958 0,687
8 24
50
Universitas Indonesia
5.4 Analisis Pemajanan dan Perhitungan Intake
Untuk melakukan analisis pajanan dilakukan perhitungan intake (asupan)
benzena dengan memasukan nilai variabel yang dibutuhkan dalam perhitungan.
Data konsentrasi yang dimasukan dalam perhitungan adalah data konsentrasi
pajanan atau konsentrasi Benzena dilingkungan yang didapat dari nilai kadar
Trans‐Trans‐Muconic Acid yang sudah diukur sebelumnya. Intake (asupan) yang
dihitung adalah berdasarkan kondisi pajanan realtime, 3 tahun (UU RI No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan, batas waktu maksimal kontrak kerja
karyawan) dan lifetime.
Intake I
Perhitungan Intake Individu sebagai contoh akan dilakukan pada responden
pertama dengan data-data yang dimiliki oleh responden pertama, antara lain:
a Perhitungan Intake pada pajanan nonkanker.
I 0,00363 mg
M 0,83 mjam 8 jam
hr 350 hrth
14 th
47 kg 30 th 365 hrth
1,1E 05 mg/kg/hari
I 0,00363 mg
M 0,83 mjam 8 jam
hr 350 hrth 3 th
47 kg 30 th 365 hrth
4,94E 05 mg/kg/hari
I 0,00363 mg
M 0,83 mjam 8 jam
hr 350 hrth 30 th
47 kg 30 th 365 hrth
4,94E 04 mg/kg/hari
Perhitungan intake pajanan nonkanker dilakukan pada pajanan realtime, 3
tahun dan lifetime. Yang membedakan pajanan realtime, 3 tahun dan lifetime
51
Universitas Indonesia
adalah nilai waktu/durasi pajanan, yaitu pada pajanan realtime durasi yang
diperhitungkan adalah durasi sebenarnya atau lama responden telah bekerja di
SPBU tersebut. Pada pajanan 3 tahun, nilai durasi yang digunakan adalah durasi
batas waktu maksimal kontrak kerja karyawan berdasarkan UU RI No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenaga Kerjaan. Sedangkan pada pajanan lifetime nilai durasi
yang digunakan adalah nilai default untuk pajanan lifetime nonkanker, yaitu 30
tahun.
Nilai konsentrasi (C) adalah nilai konsentrasi pajanan pada responden
pertama, nilai laju inhalasi (R) adalah nilai default laju inhalasi (20 m3 per hari)
yang dikonvert kedalam jam, sehingga didapatkan nilai 0,83 m3/jam. Waktu
/lama pajanan (te), adalah nilai waktu pajanan responden selama 1 hari, yaitu 8
jam/hari. Nilai ini sama pada semua responden karena lama jam kerja responden
adalah 8 jam dalam 1 shift. Durasi pajanan (Dt) pada masing-masing responden
berbeda tergantung telah berapa lama responden bekerja. Nilai berat badan (Wb)
yang dimasukkan pada perhitungan analisis risiko pada individu adalah nilai berat
badan masing-masing individu yang pasti berbeda.
Tabel 5.9 Distribusi Intake (Asupan) efek nonkanker berdasarkan pajanan Benzena
realtime, 3 tahun dan lifetime pada Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
No. Responden Realtime (mg/kg/hari)
3 tahun (mg/kg/hari)
lifetime (mg/kg/hari)
1. Responden 1** 1,1E-05 4,94E-05 4.94E-04 2. Responden 2** 5,79E-05 1,74E-04 1.74E-03 3. Responden 3** 3,18E-05 1,14E-03 1.14E-02 4. Responden 4* 6,26E-05 9,39E-04 9.39E-03 5. Responden 5** 7,46E-05 1,34E-03 1.34E-02 6. Responden 6* 5,93E-04 2,67E-03 2.67E-02 7. Responden 7** 5,75E-04 2,59E-03 2.59E-02 8. Responden 8** 2,73E-03 8,2E-02 8.20E-02 9. Responden 9** 6,07E-03 1,46E-02 1.46E-01 10. Responden 10** 2,33E-02 1,68E-01 1.68
*Karyawan administrasi **Operator mesin pompa BBM
52
Universitas Indonesia
b Perhitungan Intake pada pajanan kanker
I 0,00363 mg
M 0,83 mjam 8 jam
hr 350 hrth
14 th
47 kg 70 th 365 hrth
4,7E 06 mg/kg/hari
I 0,00363 mg
M 0,83 mjam 8 jam
hr 350 hrth 3 th
47 kg 70 th 365 hrth
2,12E 05 mg/kg/hari
I 0,00363 mg
M 0,83 mjam 8 jam
hr 350 hrth 30 th
47 kg 70 th 365 hrth
2,12E 04 mg/kg/hari
Pada pajanan benzena yang dapat berakibat kanker, perhitungan yang dilakukan
hampir sama, yang berbeda hanya nilai periode waktu rata –rata pajanan untuk
kanker adalah 70 tahun.
Tabel 5.10 Distribusi Intake (Asupan) Efek Kanker Berdasarkan Pajanan Benzena realtime, 3 tahun dan lifetime Pada Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
No. Responden Realtime
(mg/kg/hari) 3 tahun
(mg/kg/hari) lifetime
(mg/kg/hari) 1. Responden 1** 4.70E-06 2.12E-05 2.12E-04 2. Responden 2** 2.79E-05 1.25E-04 1.25E-03 3. Responden 3** 1.46E-04 4.37E-04 4.37E-03 4. Responden 4* 2.31E-05 4.16E-04 4.16E-03 5. Responden 5** 2.40E-04 7.19E-04 7.19E-03 6. Responden 6* 4.67E-04 7.00E-04 7.00E-03 7. Responden 7** 2.27E-05 8.17E-04 8.17E-03 8. Responden 8** 8.93E-04 4.02E-03 4.02E-02 9. Responden 9** 2.60E-03 6.24E-03 6.24E-02 10. Responden 10** 1.00E-02 7.20E-02 7.20E-01
*Karyawan administrasi **Operator mesin pompa BBM
53
Universitas Indonesia
5.5 Karakteristik Risiko
Karakteristik risiko untuk efek nonkanker dapat diketahui dengan dengan
membagi nilai Intake dengan RfD atau RfC.
Asumsi setelah diketahui hasil RQ antara lain:
Jika RQ > 1 maka konsentrasi agen berisiko dapat menimbulkan efek
merugikan kesehatan.
Jika RQ ≤ 1 maka konsentrasi agen belum berisiko dapat menimbulkan efek
kesehatan.
Sedangkan karakteristik untuk efek kanker dapat diketahui dengan mengalikan
nilai Intake dengan nilai CSF.
ECR LADD atau Intake
a Perhitungan Risk Quotient (RQ) pada Individu untuk pajanan nonkanker
(pada responden pertama):
RQ 4.70E 06 mg/kg/hr
0,0086 mg/kg/hr0,0013
RQ 2.12E 05 mg/kg/hr
0,0086 mg/kg/hr0,0057
RQ 2.12E 04 mg/kg/hr
0,0086 mg/kg/hr0,057
Diketahui pada responden pertama RQ pada pajanan realtime, 3 tahun dan
pajanan lifetime berturut – turut adalah 0,0013; 0,0057 dan 0,057 (RQ ≤ 1), ini
menunjukan bahwa seluruh durasi pajanan belum memiliki risiko nonkanker.
54
Universitas Indonesia
Tabel 5.11 Distribusi Risk Quotient (RQ) berdasarkan pajanan Benzena realtime, 3
tahun dan lifetime pada Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
No. Nama Responden Realtime 3 tahun lifetime 1. Responden 1** 0.0013 0.0057 0.0574 2. Responden 2** 0.0067 0.0202 0.2021 3. Responden 3** 0.0037 0.1330 1.3302 4. Responden 4* 0.0728 0.1092 1.0922 5. Responden 5** 0.0087 0.1561 1.5610 6. Responden 6* 0.0689 0.3100 3.1005 7. Responden 7** 0.0669 0.3009 3.0087 8. Responden 8** 0.3180 0.9539 9.5395 9. Responden 9** 0.7054 1.6929 16.9295 10. Responden 10** 2.7141 19.5415 195.4149
*Karyawan administrasi **Operator mesin pompa BBM
Tabel 5.12
Distribusi Risk Quotient realtime, 3 tahun dan lifetime Berdasarkan Perhitungan Individu Pada Sampel Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara Risk
Quotient Jumlah Total
Orang Persentase RQ
realtime RQ ≤ 1 9 90
RQ > 1 1 10 10 RQ
3 tahun RQ ≤ 1
RQ > 1
8
2
80
20
10
RQ Lifetime RQ ≤ 1 2 20
RQ > 1 8 80 10
diketahui nilai RQ dari seluruh responden antara lain; pada pajanan realtime
terdapat 1 orang (10%) dengan nilai RQ>1 dan 9 orang (10%) dengan nilai RQ≤1,
Pada pajanan 3 tahun terdapat 2 orang (20%) dengan nilai RQ>1 dan 8 orang
(80%) dengan nilai RQ≤1, pada pajanan lifetime, terdapat 8 orang (80%) dengan
nilai RQ>1 dan 2 orang (20%) dengan nilai RQ≤1.
55
Universitas Indonesia
b Perhitungan Risiko Kanker (ECR) Individu pada pajanan yang
mengakibatkan kanker (pada responden pertama):
ECR LADD atau Intake
ECR 4.70E 06 2,73 10 1.28E 07
ECR 2.12E 05 2,73 10 5.78E 07
ECR 2.12E 04 2,73 10 5.78E 06
Perhitungan risiko kanker (ECR) pada responden pertama pada pajanan realtime,
3 tahun dan lifetime berturut-turut adalah 1.28E 07, 5.78E 07 dan 5.78E 06.
ECR pada semua durasi pajanan belum memiliki resiko kanker terhadap karyawan
SPBU.
Tabel 5.13 Distribusi Excess Cancer Risk realtime , 3 tahun dan lifetime Berdasarkan
Perhitungan Individu Pada Sampel Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara No. Nama Responden realtime 3 tahun lifetime 1. Responden 1** 1.28E-07 5.78E-07 5.78E-06 2. Responden 2** 7.61E-07 3.42E-06 3.42E-05 3. Responden 3** 3.97E-06 1.19E-05 1.19E-04 4. Responden 4* 6.31E-07 1.14E-05 1.14E-04 5. Responden 5** 6.54E-06 1.96E-05 1.96E-04 6. Responden 6* 1.27E-05 1.91E-05 1.91E-04 7. Responden 7** 6.20E-07 2.23E-05 2.23E-04 8. Responden 8** 2.44E-05 1.10E-04 1.10E-03 9. Responden 9** 7.10E-05 1.70E-04 1.70E-03 10. Responden 10** 2.73E-04 1.97E-03 1.97E-02
*Karyawan administrasi **Operator mesin pompa BBM
56
Universitas Indonesia
Tabel 5.14 Distribusi Excess Cancer Risk realtime, 3 tahun dan lifetime Berdasarkan
Perhitungan Individu Pada Sampel Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara Risk
Quotient Jumlah Total
Orang Persentase ECR
realtime ECR < 10⁻⁴ 9 90
ECR > 10⁻⁴ 1 10 10 ECR
3 tahun ECR < 10⁻⁴
ECR > 10⁻⁴
7
3
70
30
10
ECR lifetime ECR < 10⁻⁴ 2 20
ECR > 10⁻⁴ 8 80 10
Diketahui nilai ECR dari seluruh responden antara lain; pada pajanan realtime
terdapat 1 orang (10%) dengan nilai ECR>10−4
dan 9 orang (90%) dengan nilai
ECR<10−4
, pada pajanan 3 tahun terdapat 3 orang (30%) dengan nilai ECR>10−4
dan 7 orang (70%) dengan nilai ECR<10−4
, pada pajanan lifetime terdapat 8 orang
(80%) dengan nilai ECR>10−4
dan 2 orang (20%) dengan nilai ECR<10−4
.
5.6 Estimasi Risiko Populasi Karyawan SPBU yang Terpajan Benzena
Perhitungan Risiko populasi pada pajanan Benzena dilakukan pada durasi
pajanan realtime ,3 tahun dan lifetime. Yang membedakan perhitungan populasi
dengan individu adalah nilai variabel yang dimasukkan pada perhitungan ini
merupakan nilai yang mewakili nilai tiap-tiap variabel pada populasi.
Nilai konsentrasi (C) adalah nilai konsentrasi pajanan benzena yang
mewakili nilai pajanan pada populasi pekerja, yaitu 0,1423 mg/M³ yang didapat
dari perhitungan data yang didapat dengan melihat kenormalan data. Nilai laju
inhalasi (R) yang digunakan sama seperti pada perhitungan individu, yaitu nilai
default laju inhalasi (20 m3 per hari) yang dikonvert kedalam jam, sehingga
didapatkan nilai 0,83 m3/jam. Waktu/lama pajanan (te), adalah nilai waktu
pajanan responden selama 1 hari, yaitu 8 jam/hari. Nilai ini sama pada semua
responden karena lama jam kerja responden adalah 8 jam dalam 1 shift.
Durasi pajanan (Dt) pada masing-masing responden berbeda tergantung
telah berapa lama responden bekerja untuk pajanan realtime. Berdasarkan
57
Universitas Indonesia
pengolahan data, diketahui bahwa data durasi responden bekerja berdistribusi
normal, sehingga durasi yang digunakan adalah data mean sebesar 9,5 bulan (0.8
tahun).
Pajanan 3 tahun dihitung untuk mempertimbangkan waktu maksimal
seorang karyawan diperkerjakan di dalam sebuah perusahaan. Sedangkan untuk
pajanan lifetime digunakan nilai default (30 tahun untuk nonkanker dan 70 tahun
untuk kanker). Nilai berat badan (Wb) yang dimasukkan pada perhitungan analisis
risiko populasi adalah nilai berat badan dari distribusi data yang dianggap
mewakili populasi, yaitu 50,3 kg.
Perhitungan Estimasi Populasi pada pajanan Benzena nonkanker adalah
sebagai berikut:
I 0,1423 mg
M 0,83 mjam 8 jam
hr 350 hrth 0,8 th
50,3 kg 30 th 365 hrth
0,00048 mg/kg/hari
I 0,1423 mg
M 0,83 mjam 8 jam
hr 350 hrth 3 th
50,3 kg 30 th 365 hrth
0,00181 mg/kg/hari
I 0,1423 mg
M 0,83 mjam 8 jam
hr 350 hrth 30th
50,3 kg 30 th 365 hrth
0,01808 mg/kg/hari
Berdasarkan perhitungan intake didapatkan nilai 0,00048 mg/kg/hari untuk
pajanan realtime, 0,00181mg/kg/hari untuk pajanan 3 tahun dan 0,01808 mg/kg/
hari untuk pajanan lifetime.
Perhitungan Risk Quotient:
RQ 0,00048 mg/kg/hr0,0086 mg/kg/hr
0,016
58
Universitas Indonesia
RQ 0,00181 mg/kg/hr0,0086 mg/kg/hr
0,06
RQ 0,01808 mg/kg/hr0,0086 mg/kg/hr
0,6
Nilai estimasi risiko nonkanker (RQ) pada populasi pekerja SPBU yang
terpajan Benzena untuk pajanan realtime, 3 tahun dan lifetime berturut-turut
adalah 0,016; 0,06 dan 0,6. Dari nilai tersebut, diketahui bahwa karyawan
SPBU belum berisiko terkena efek nonkanker pada semua durasi pajanan.
Perhitungan Estimasi Populasi pada pajanan Benzen yang berakibat kanker
adalah sebagai berikut :
I 0,1423 mg
M 0,83 mjam 8 jam
hr 350 hrth 0,8 th
50,3 kg 70 th 365 hrth
0,0002 mg/kg/hari
I 0,1423 mg
M 0,83 mjam 8 jam
hr 350 hrth 3 th
50,3 kg 70 th 365 hrth
0,00077 mg/kg/hari
I 0,1423 mg
M 0,83 mjam 8 jam
hr 350 hrth 30th
50,3 kg 70 th 365 hrth
0,0077 mg/kg/hari
Pada perhitungan intake untuk risiko kanker didapatkan nilai 0,0002 mg/kg/hari
pada durasi realtime, 0,00077 mg/kg/hari untuk pajanan 3 tahun dan 0,0077 mg/
kg/hari pada durasi lifetime.
59
Universitas Indonesia
Perhitungan Risiko kanker:
ECR 0,0002 2,73 10 5,58E 06
ECR 0,00077 2,73 10 2,12E 05
ECR 0,0077 2,73 10 2,12E 04
Nilai estimasi risiko kanker (ECR) pada populasi pekerja SPBU yang terpajan
Benzena untuk pajanan realtime, 3 tahun dan lifetime berturut-turut adalah
5,58E-06; 2,12E-05 dan 2,12E-04.
5.7 Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah suatu upaya untuk melindungi populasi yang
terpajan dengan berbagai cara, dapat dengan menghindari kontak, mengurangi
kontak atau menggunakan alat perlindungan. Namun dalam perhitungan Analisis
Risiko Kesehatan, manajemen risiko yang dilakukan adalah dengan
memperhitungkan setiap komponen /variabel sehingga ditemukan batas aman
yang dapat melindungi populasi, yaitu dengan menurunkan konsentrasi pajanan,
mengurangi waktu keterpajanan atau durasi keterpajanan, dan frekuensi pajanan.
Pada prinsip ARKL, pengelolaan risiko nonkanker dilakukan apabila RQ
> 1 (nukman et al., 2005) dan ECR > 10-4. Upaya manajemen risiko dilakukan
dengan cara memanipulasi komponen yang ada kecuali nilai RfC, sehingga nilai
RQ = 1 untuk non karsinogenik dan nilai ECR = 10-4 untuk karsinogenik.
Dari hasil perhitungan untuk efek nonkanker, diketahui bahwa konsentrasi
benzena pada semua durasi pajanan belum berisiko dapat menimbulkan efek
merugikan kesehatan pada populasi karyawan SPBU (RQ ≤ 1), sehingga tidak
diperlukan suatu manajemen risiko. Pada perhitungan untuk efek kanker,
diketahui bahwa hanya pada durasi pajanan lifetime, konsentrasi benzena berisiko
dapat menimbulkan efek merugikan kesehatan pada populasi karyawan SPBU
(ECR > 10-4), sehingga diperlukan suatu manajemen risiko untuk melindungi
populasi karyawan SPBU yang terpajan.
Beberapa pilihan manajemen risiko yang dapat dilakukan antara lain
adalah menurunkan konsentrasi pajanan (C), mengurangi waktu kontak,
diantaranya dapat dilakukan dengan mengurangi lama pajanan (te), mengurangi
60
Universitas Indonesia
frekuensi pajanan (fe) dan mengurangi durasi pajanan (dt). Menurunkan
konsentrasi pajanan dilakukan dengan menggunakan nilai batas ECR aman (10-4)
dan nilai CSF . Nilai ECR aman dibagi dengan nilai CSF untuk mendapatkan nilai
intake. Setelah diketahui nilai intake, nilai tersebut kemudian digunakan pada
persamaan (1).
Perhitungan intake pada kegiatan manajemen risiko efek karsinogenik
pada karyawan SPBU ‘X’ adalah sebagai berikut :
Intake = 10-4
0,0273
= 0.0037 mg/kg/hari
a. Penurunan konsentrasi pajanan benzena
0.0037 mg/kg/hari = C mg
M3 × 0,833 M3
jam × 8 jamhr ×350 hr
th ×30 tahun
50,3 kg× 70 tahun ×365 hari
CmgM3 =
0,0037 mg/kg/hari× 50,3 kg× 70 tahun ×365 hari
0,833 M3
jam × 8 jamhr ×350 hr
th ×30 tahun
= 0,068 mg/M3
b. Mengurangi waktu kontak, diantaranya dapat dilakukan dengan mengurangi
lama pajanan (te), mengurangi frekuensi pajanan (fe) dan mengurangi durasi
pajanan (dt)
Mengurangi lama pajanan benzena (te)
0.0037 mg/kg/hari = 0,1423 mg
M3 × 0,833 M3
jam × te jamhr ×350 hr
th ×30 tahun
50,3 kg× 70 tahun ×365 hari
te jamhr
= 0,0037 mg/kg/hari× 50,3 kg× 70 tahun ×365 hari
0,1423 mgM3 × 0,833 M3
jam × 350 hrth ×30 tahun
= 3,8 jam/hari
Dibulatkan menjadi 4 jam dalam 1 hari kerja.
61
Universitas Indonesia
Mengurangi frekuensi pajanan benzena (fe)
0.0037 mg/kg/hari = 0,1423 mg
M3 × 0,833 M3
jam × 8 jamhr ×fe hr
th ×30 tahun
50,3 kg× 70 tahun ×365 hari
fehrth
= 0,0037 mg/kg/hari× 50,3 kg× 70 tahun ×365 hari
0,1423 mgM3 × 0,833 M3
jam × 8 jamhr × 30 tahun
= 167,15 hari/tahun
Dibulatkan menjadi 167 hari/tahun.
Mengurangi durasi pajanan benzena (dt)
Durasi pajanan dapat langsung ditentukan sebesar 3 tahun terhadap
karyawan SPBU ‘X’, hasil perhitungan estimasi risiko kanker terhadap
populasi karyawan SPBU yang terpajan benzene dengan durasi pajanan 3
tahun ternyata belum berisiko untuk mendapatkan efek kanker pada
populasi tersebut.
Tabel 5.15 Data Hasil Perhitungan Pilihan Pengendalian Risiko Efek Kanker dengan
Menurunkan Konsentrasi, Lama, Frekwensi dan Durasi Pajanan Benzena yang aman Pada Populasi Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
Komponen ARKL Data Awal Variabel Aman
Konsentrasi (C) 0,1423 mgM3 0,068
mgM3
Lama Pajanan (te) 8 jamhr
4 jamhr
Frekuensi pajanan (fe)
350 hari
tahun 167
haritahun
Durasi pajanan (fe) 30 tahun 3 tahun
Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan data primer dengan mengambil sampel urin
karyawan SPBU, untuk melihat level t,t-MA sebagai biomarker pajanan benzena.
Jika terdapat zat metabolit t,t-MA tersebut, maka dapat dibuktikan bahwa
karyawan tersebut telah terpajan benzena pada lingkungan kerja SPBU. Data
kemudian di analisis dengan analisis resiko kesehatan lingkungan untuk
memperkirakan kemungkinan resiko kesehatan yang akan muncul akibat pajanan
tersebut.
6.1 Sumber Pajanan Benzena di SPBU ‘X’
Terdapat beberapa sumber pajanan Benzena potensial pada SPBU ‘X’
Jakarta Utara. Sumber pajanan tetatp adalah di antaranya adalah 3 tempat
penyimpanan BBM bawah tanah untuk Premium, Pertamax dan Solar dengan
kapasitas secara berurutan adalah 90 ton, 26 ton dan 32 ton. Kemudian 5 mesin
pompa bahan bakar yaitu, 1 mesin pompa untuk Solar, 3 untuk premium dan 1
untuk Pertamax. Sedangkan sumber tidak tetap adalah yang berasal dari
pembakaran kendaraan bermotor yang mengantri untuk membeli bahan bakar
minyak pada SPBU tersebut.
6.2 Level t,t-MA dalam urin (µg/g creatinine)
Kadar Trans‐Trans‐Muconic Acid dari hasil pemeriksaan sampel urin
karyawan SPBU membuktikan terjadinya pajanan benzena terhadap populasi
karyawan SPBU. Dari hasil pemeriksaan tersebut, diketahui bahwa level
kandungan t.t-MA rata-rata 17,87 µg/g creatinine, dengan nilai maksimal 73,54
µg/g creatinine dan nilai minimal 2,3 µg/g creatinine. Nilai ini masih berada di
bawah nilai biological exposure indices (BEI), yang ditetapkan oleh ACGIH (500
µg/g creatinine). Namun hal tersebut tidak berarti populasi karyawan aman
terhadap efek merugikan dari pajanan benzena. ACGIH (2003) menyebutkan
bahwa Biological exposure indices (BEI) adalah nilai referensi yang dimaksudkan
untuk digunakan dalam praktik higiene industri sebagai pedoman atau
62
63
Universitas Indonesia
rekomendasi untuk membantu dalam mengendalikan potensi bahaya kesehatan di
tempat kerja. Nilai referensi yang diberikan sebagai rekomendasi untuk praktik
yang baik tanpa jaminan bahwa nilai tersebut memberikan batas yang jelas antara
kondisi aman dan tidak aman. Sehingga kondisi tersebut tetap harus menjadi
sebuah perhatian, karena risiko terhadap timbulnya efek merugikan kesehatan
tetap menjadi ancaman bagi karyawan SPBU.
Level t,t-MA dalam urin pada karyawan SPBU ‘X’ masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan hasil penelitian tentang kandungan t,t-MA pada operator
SPBU di Thailand (Wiwanitkit, 2001), dengan rentang level t,t-MA antara 4
sampai dengan 12,49 mg/g creatinine.
6.3 Distribusi Variabel Antropogenik Dan Pola Aktifitas Faktor-faktor
Pemajanan
6.3.1 Konsentrasi pajanan benzena
Data level t,t-MA yang didapat dikonversikan menjadi data konsentrasi
pemajanan berdasarkan persamaan : log (MA, mg/g creatinine) = 0,429 log (A-
benzen ppm) – 0,304 (Ghittori, S, et al, 1994).
Konsentrasi pajanan benzena tertinggi sejumlah 11.83 mg/M³ pada
responden ke sepuluh. Sedangkan pajanan terendah pada responden pertama
dengan konsentrasi 0,00363 mg/M³. Ditemukan bahwa terdapat 2 orang karyawan
pada bagian administrasi yang ternyata terpajan dengan konsentrasi pajanan yang
tidak rendah (responden ke empat dan ke-enam), lebih tinggi daripada beberapa
karyawan operator mesin pompa bahan bakar. Hal ini sangat dimungkinkan
karena walaupun pintu selalu dalam keadaan tertutup, aktifitas keluar masuk
karyawan dari dan ke ruang administrasi sangat sering terjadi, sehingga benzena
yang diemisikan dari beberapa sumber dilingkungan SPBU dengan mudah dapat
masuk ke dalam ruangan, kemudian akan terjadi akumulasi konsentrasi karena
tidak terjadi pengenceran udara. Selain itu, karyawan operator mesin pompa
melakukan absensi dan brifing setelah selesai bertugas di ruangan administrasi,
sehingga kulit dan pakaian kerja yang mereka gunakan dapat menghantarkan uap
benzena ke dalam ruangan akibat percikan atau tumpahan bahan bakar.
64
Universitas Indonesia
Konsentrasi pajanan yang digunakan dalam perhitungan individu
merupakan konsentrasi dari masing-masing individu, sedangkan konsentrasi yang
digunakan untuk menghitung resiko populasi merupakan konsentrasi yang
mewakili populasi, dalam penelitian ini konsentrasi 0,1423 mg/M³, adalah nilai
median yang dianggap mewakili distribusi data yang tidak normal.
Jika dibandingkan dengan batas aman (NAB) yang ditentukan oleh
ACGIH, NIOSH dan OSHA (0,5 ppm, 0,1 ppm dan 1 ppm), konsentrasi benzena
di lingkungan SPBU ‘X’ masih berada jauh di bawah nilai NAB yang ditetapkan
untuk pajanan selama 8 jam di tempat kerja. Konsentrasi pajanan benzena pada
populasi karyawan SPBU ‘X’ sebesar 0,1423 mg/M³ atau setara dengan 0,044
ppm berdasarkan konversi pada suhu 200C dan tekanan normal atmosfir, 1 ppm =
3,2 mg/M3 (NIOSH, 2005 dan IPCS, 1993), dan masih pula jauh berada di bawah
estimasi ATSDR (2007) yang menyebutkan bahwa rata – rata pajanan benzena
terhadap pekerja pada area SPBU di dunia hanyalah sebesar 0,12 ppm.
Konsentrasi ini pun masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil
penelitian di Thailand dengan rentang konsentrasi pajanan antara 0,76 ppm
sampai dengan 4,14 ppm (Wiwatnitkit, 2001).
6.3.2 Berat Badan Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
Besarnya nilai intake berbanding lurus dengan nilai konsentrasi bahan
kimia, laju asupan, frekuensi pajanan dan durasi pajanan, yang artinya semakin
besar nilai tersebut maka akan semakin besar asupan seseorang. Sedangkan
asupan berbanding terbalik dengan nilai berat badan dan periode waktu rata-rata,
yaitu semakin besar berat badan maka akan semakin kecil resiko kesehatannya.
Rata-rata berat badan pekerja 50,3 yang digunakan dalam perhitungan, namun
demikian dasar perhitungan ini mengacu pada EPA yang notabene menggunakan
pengukuran dengan dasar berat badan orang barat dewasa yaitu dengan nilai
default 70 tahun. Berdasarkan konsep ARKL semakin rendah berat badan maka
akan semakin beresiko, sehingga kemungkinan resiko orang Indonesia untuk
mendapatkan efek yang merugikan dari pajanan suatu bahan/zat lebih tinggi.
65
Universitas Indonesia
6.3.3 Lama Bekerja Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara
Masa kerja karyawan SPBU 34.14310 di Sunter Jakarta Utara, rata-rata 9,5
bulan dengan 1 orang yang baru bekerja selama 1 bulan dan 1 orang pula yang
telah bekerja selama 2 tahun. Masa kerja sangat mempengaruhi pajanan dan nilai
asupan yang kemudian dapat menimbulkan resiko kesehatan. Undang – Undang
Republik Indonesia No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
mengisyaratkan batas waktu maksimal 3 tahun bagi pengusaha untuk
memperkerjakan karyawan, secara tidak langsung memberikan perlindungan
kepada karyawan SPBU terhadap pajanan dan nilai asupan senyawa benzena
dalam waktu yang lebih lama.
EPA memperkirakan bahwa pajanan benzena seumur hidup pada
konsentrasi 4 ppb di udara akan menghasilkan 1 tambahan kasus leukemia dalam
10.000 orang yang terpajan (ATSDR, 2006).
6.4 Analisis Pemajanan dan Perhitungan Intake
Dalam penelitian ini perhitungan intake dilakukan dengan membedakan
durasi pajanan, yaitu durasi untuk pajanan realtime (perhitungan berdasarkan
waktu pajanan yang sebenarnya), pajanan 3 tahun dan pajanan lifetime (dengan
durasi pajanan seumur hidup). Pada pajanan nonkarsinogenik periode waktu rata-
rata selama 30 tahun untuk orang dewasa. Sedangkan pada karsinogenik selama
70 tahun. Nilai resiko (RQ) Pajanan nonkarsinogenik dapat diperhitungkan jika
diketahui nilai RfD atau RfC, sedangkan pada karsinogenik dapat diperhitungkan
jika diketahui nilai Slope Factor. Besarnya nilai intake berbanding lurus dengan
nilai konsentrasi bahan kimia, laju asupan, frekuensi pajanan dan durasi pajanan,
yang artinya semakin besar nilai tersebut maka akan semakin besar asupan
seseorang. Sedangkan asupan berbanding terbalik dengan nilai berat badan dan
periode waktu rata-rata, yaitu semakin besar berat badan maka akan semakin kecil
resiko kesehatan.
Dari hasil perhitungan dapat diketahui intake realtime (nk) pada populasi
karyawan SPBU adalah sebesar 0,00048 mg/kg/hari. Sedangkan intake 3 tahun
(nk) adalah sebesar 0,00181 mg/kg/hari, dan intake lifetime (nk) adalah sebesar
0,01808 mg/kg/hari.
66
Universitas Indonesia
Dari hasil perhitungan dapat diketahui intake realtime (k) pada populasi
karyawan SPBU adalah sebesar 0,0002 mg/kg/hari. Sedangkan intake 3 tahun
adalah sebesar 0,00077 mg/kg/hari dan untuk intake lifetime (k) adalah sebesar
0,0077 mg/kg/hari.
Dari perhitungan tersebut, ternyata durasi pajanan sangat berpengaruh
terhadap nilai intake, semakin lama karyawan bekerja maka nilai intake akan
semakin tinggi dan risiko untuk mendapatkan efek yang merugikan kesehatan pun
akan semakin tinggi pula.
6.5 Karakteristik Resiko
Karakteristik resiko dapat ditentukan dari hasil perbandingan intake
dengan nilai dosis referensi yang diperbolehkan, dengan hubungan semakin besar
intake maka akan semakin besar resiko. Nilai RfC 0,03 dari Benzene adalah
0,0086 mg/kg/hr (EPA, 2003) dan nilai Slope Factor (SF) 2,73 x10-2
(http://rais.ornl.gov/tox/profiles/Benzene_ragsa.html). Nilai ini digunakan baik
pada pajanan realtime , 3 tahun maupun lifetime. Berdasarkan hasil perhitungan
didapatkan pekerja yang memiliki resiko kesehatan dengan pekerja yang belum
memiliki resiko kesehatan, hal ini dipengaruhi oleh besar asupan yang masuk
kedalam tubuh.
Pada pajanan realtime terdapat 1 orang karyawan (10%) dengan nilai
RQ>1 dan 9 orang karyawan (10%) dengan nilai RQ≤1, Pada pajanan 3 tahun
terdapat 2 orang karyawan (20%) dengan nilai RQ>1 dan 8 orang karyawan (80%)
dengan nilai RQ≤1, pada pajanan lifetime, terdapat 8 orang karyawan (80%)
dengan nilai RQ>1 dan 2 orang karyawan (20%) dengan nilai RQ≤1. Terdapat
peningkatan jumlah responden yang memiliki risiko efek nonkanker seiring
bertambahnya durasi pajanan.
Efek pajanan akut benzena dengan konsentrasi tinggi pada sistem syaraf,
kulit, sistem pernapasan dan pencernaan dapat segera terjadi setelah pajanan. Efek
Neurologis adalah efek yang pertama muncul di pusat sistem saraf. Reaksi
anestesi benzena di pusat sistem saraf mirip dengan gas anestesi lain, pertama
merangsang eksitasi diikuti oleh depresi, dan jika pajanan terus terjadi, kematian
67
Universitas Indonesia
dapat terjadi karena kegagalan pernapasan. Efek pada kulit, pernapasan dan efek
gastrointestinal disebabkan sifat iritasi dari Benzene (ATSDR, 2007).
Pada risiko efek kanker, pajanan realtime terdapat 1 orang (10%) dengan
nilai ECR>10−4
dan 9 orang (90%) dengan nilai ECR<10−4
, pada pajanan 3 tahun
terdapat 3 orang (30%) dengan nilai ECR>10−4
dan 7 orang (70%) dengan nilai
ECR<10−4
, pada pajanan lifetime terdapat 8 orang (80%) dengan nilai ECR>10−4
dan 2 orang (20%) dengan nilai ECR<10−4
. Terdapat peningkatan jumlah
responden yang memiliki risiko efek kanker seiring bertambahnya durasi pajanan.
Tidak ada batas terendah yang aman terhadap pemajanan senyawa kimia
ini untuk mendapatkan resiko leukemia pada semua tingkat pajanan. WHO
memberikan peringatan bahwa setiap pajanan benzena setingkat 1 µg/M³ akan
terdapat 4 – 8 tambahan kasus leukemia per sejuta populasi selama masa hidup
(Larbey, 1994 dalam Haryanto 2005).
EPA, IARC, dan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan
Amerika Serikat telah menyimpulkan bahwa benzena adalah karsinogen terhadap
manusia. Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat
menetapkan benzena adalah karsinogen berdasarkan bukti yang menunjukkan
hubungan kausal antara paparan benzena dan kanker. IARC mengklasifikasikan
Benzene di Grup 1 (karsinogenik pada manusia), sedangkan EPA
mengklasifikasikan benzena dalam Kategori A (terbukti karsinogen pada
manusia) berdasarkan bukti yang meyakinkan pada manusia didukung oleh bukti
dari studi hewan. Benzena ditetapkan karsinogen pada manusia untuk semua rute
pajanan. Hematologi neoplasma seperti leukemia akut myelogenous telah
didokumentasikan terjadi pada pajanan kronis dengan konsentrasi rendah (10
ppm).
6.6 Estimasi Resiko Populasi Karyawan SPBU ‘X’yang Terpajan Benzen
Dari hasil perhitungan estimasi resiko nonkanker (RQ) terhadap populasi
karyawan SPBU pada pajanan realtime sebesar 0,016, pada pajanan 3 tahun
sebesar 0,06 dan pajanan lifetime sebesar 0,6.
Nilai estimasi risiko kanker (ECR) pada populasi pekerja SPBU yang
terpajan benzena untuk pajanan realtime, 3 tahun dan lifetime berturut-turut
68
Universitas Indonesia
adalah 5,58E-06; 2,12E-05 dan 2,12E-04. Dari nilai tersebut, hanya pada pajanan
lifetime yang memiliki risiko untuk mendapatkan efek kanker (ECR>10 ),
artinya bahwa semua responden karyawan SPBU memiliki risiko mendapatkan
efek kanker untuk durasi pajanan lifetime, sehingga diperlukan manajemen resiko
lebih lanjut.
6.7 Manajemen Risiko
Analisis Resiko Kesehatan Lingkungan pada prinsipnya harus dilakukan
dalam bentuk pengelolaan resiko jika nilai RQ>1 dan ECR>10-4. Manajemen
resiko yang dapat dilakukan antara lain menurunkan konsentrasi pajanan (C),
mengurangi waktu kontak, diantaranya dapat dilakukan dengan mengurangi lama
pajanan (te), mengurangi frekuensi pajanan (fe) dan mengurangi durasi pajanan
(dt).
Menurunkan konsentrasi pajanan yang aman dilakukan dengan
mengganti nilai intake dengan nilai RfC pada pajanan nonkanker, sedangkan nilai
komponen lain yang digunakan sesuai dengan keadaan saat sampling. Nilai RfC
dianggap sebagai nilai asupan aman sehingga didapatkan nilai konsentrasi aman.
Perlakuan perhitungan yang sama dilakukan pada pajanan efek kanker, namun
nilai yang menggantikan nilai intake adalah nilai CSF = 2,73 x10-2 mg/kg/hr.
Dari perhitungan, diketahui bahwa seluruh karyawan pada seluruh durasi
pajanan belum memiliki resiko untuk mendapatkan efek nonkanker (RQ≤1),
sehingga tidak diperlukan manajemen resiko lebih lanjut. Sedangkan untuk risiko
kanker, diketahui bahwa hanya pada pajanan lifetime karyawan SPBU memiliki
risiko mendapatkan efek kanker (ECR 2,12E-04), artinya terdapat 2 orang dalam
10.000 populasi yang kemungkinan berisiko mendapatkan efek kanker sehingga
membutuhkan manajemen risiko lebih lanjut.
Konsentrasi pajanan benzena terhadap karyawan SPBU ‘X’ tergantung
pada kandungan benzena dalam bahan bakar minyak dan dipengaruhi oleh kondisi
pencemaran benzena pada udara ambient di lingkungan SPBU. Sedangkan
variable waktu berhubungan dengan ketentuan/peraturan kerja yang telah
disepakati antara karyawan dan manajemen SPBU, yang mengaju kepada
peraturan ketenagakerjaan. Hasil perhitungan pada kegiatan manajemen risiko
69
Universitas Indonesia
terhadap konsentrasi, lama, frekwensi dan durasi pajanan berturut-turut adalah
0,068 mg/M3, 4 jam/hari, 167 hari/tahun dan 3 tahun.
Dari hasil tersebut, pilihan yang dapat diambil sebagai upaya pengedalian
efek karsinogenik bagi populasi karyawan SPBU ‘X’, dengan konsentrasi pajanan
benzena sebesar 0,1423 mg/M3, lama pajanan 8 jam/hari, frekwensi pajanan 350
hari/tahun dengan berat badan 50,3 kg , adalah menetapkan durasi pajanan paling
lama adalah 3 tahun. Dan bila melihat peraturan ketenagakerjaan di Indonesia
(UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan) yang mengisyaratkan
mengenai kontrak kerja maksimal 3 tahun terhadap seorang karyawan, maka
pilihan manajemen risiko di atas sangat tepat, karena secara tidak langsung
peraturan tersebut ternyata memberikan perlindungan bagi karyawan SPBU ‘X’
untuk menghindari efek kanker akibat pajanan benzena di SPBU.
Penggunaan masker half mask respirator with organic vapor catridge
pada konsentrasi pajanan benzena kurang atau sama dengan 10 ppm (Gunawan,
2000), dapat dijadikan sebagai alternatif lain, apabila dikemudian hari terjadi
perubahan kondisi/ peraturan yang memungkinkan manajemen SPBU ‘X’ untuk
memperkerjakan karyawan secara tetap atau lebih lama dari 3 tahun.
.
Universitas Indonesia
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian analisis risiko pajanan benzena pada pekerja SPBU
dapat disimpulkan beberapa hal antara lain:
1. Karyawan pada SPBU ‘X’ dapat diklasifikasikan sebagai pekerja dengan
resiko tinggi pajanan Benzena. Mereka secara konstan terpajan benzena karena
berada pada lingkungan yang mengemisikan benzena yang berasal dari mesin
pompa bahan bakar minyak saat pengisian BBM, gudang penyimpanan bahan
bakar minyak, serta yang dikeluarkan oleh knalpot kendaraan pada saat antrian
pengisian bahan bakar.
2. Karyawan SPBU ‘X’ Jakarta Utara berdasarkan pemeriksaan laboratorium,
ternyata terbukti telah terpajan benzene, dengan indikator t,t-MA dalam urin,
dengan nilai maksimal 73,54 µg/g creatinine, nilai minimal 2,3 µg/g creatinine
dan nilai rata – rata 17,87 µg/g creatinine, masih berada jauh di bawah nilai
biological exposure indices (500 µg/g creatinine).
3. t,t-MA dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi Benzena pada wilayah
pernapasan karyawan SPBU ‘X’.
4. Dari hasil hasil konversi level t,t-MA dalam urin, didapatkan bahwa
konsentrasi pajanan benzena terhadap populasi karyawan SPBU ‘X’ Jakarta
Utara sebesar 0,1423 m/M3, atau setara dengan 0,044 ppm. Nilai ini masih
berada jauh di bawah nilai ambang batas. Jika dibandingkan dengan beberapa
standar (ACGIH, NIOSH, OSHA) serta Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja no
01 tahun 1997 yang diadopsi menjadi SNI no 19-0232-2005 tahun 2005
tentang nilai ambang batas zat kimia di lingkungan kerja.
5. Populasi karyawan SPBU ‘X’ belum memiliki risiko untuk mendapatkan efek
nonkanker pada semua durasi pajanan (RQ≤1).
6. Populasi karyawan SPBU ‘X’ memiliki risiko mendapatkan efek kanker pada
durasi pajanan lifetime (ECR>10−4
).
70
71
Universitas Indonesia
7. Berdasarkan perhitungan manajemen resiko efek kanker yang dapat diambil
adalah menetapkan durasi pajanan paling lama adalah 3 tahun terhadap
populasi karyawan SPBU ‘X’.
7.2 Saran
Saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Kepada manajemen SPBU ‘X’ Jakarta Utara
a. Menetapkan masa kerja karyawan tidak boleh lebih dari 3 tahun.
b. Pelaksanaan absensi dan briefing pada SPBU ‘X’ Jakarta Utara setelah
selesai bertugas agar tidak dilakukan di dalam ruang administrasi, karena
dapat menambah konsentrasi pajanan benzena di dalam ruangan, yang
berasal dari pakaian/kulit yang terciprat bahan bakar minyak dan
pernapasan eskhalasi dari karyawan operator mesin pompa bahan bakar
minyak sesaat setelah selesai bertugas.
Sebuah penelitian mengenai penggunaan alat pelindung diri (Gunawan,
2000) berupa half mask respirator catridge tipe for organic vapors pada
pajanan benzena, menghasilkan terjadinya penurunan bermakna kadar fenol
dalam urin terhadap pekerja, dan dengan mempertimbangkan agent yang
sama, hal tersebut dapat pula diterapkan terhadap pajanan benzena dengan
biomarker t,t-MA dalam urin.
c. Pemeriksaan secara berkala kadar Biomarker pajanan benzene, terutama
t,t-MA, untuk memantau kondisi konsentrasi benzena pada udara ambient/
area pernapasan karyawan SPBU.
2. Kepada Pemerintah dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja
Meninjau kembali nilai ambang batas yang telah ditetapkan untuk konsentrasi
benzena di lingkungan kerja, karena konsentrasi yang sedikit pun ternyata
memiliki efek kanker terhadap karyawan SPBU. yang telah ditetapkan saat ini
(10 ppm).
72
Universitas Indonesia
3. Bagi PT. Pertamina
Di masa depan, PT. Pertamina perlu membuat SPBU dengan sistem swalayan,
sehingga populasi beresiko terhadap pajanan Benzena semakin berkurang.
4. Bagi Universitas Indonesia
Perlunya penelitian lebih lanjut dengan memperbesar sampel dari beberapa
SPBU dari beberapa daerah, sehingga hasil serta manajemen risiko yang
didapat mewakili populasi karyawan SPBU di Indonesia
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Albertini, R, et al. (2006). The Use of Biomonitoring Data in Exposure and Human Health. USA. Environmental Health Perspectives, Volume 114.
Ardyani,G. (2010). Analisis Resiko Kesehatan Anak Sekolah dasar Akibat Pengkonsumsian jajanan Yang Mengandung Formalin Pada Dua Sekolah Di Kecamatan Pancoranmas, Depok 2010 [Skripsi]. Depok. FKM-UI.
AIHA. (2004). Biological Monitoring: A Practical Field Manual. AIHA Guideline 1.
ATSDR. (2006). Case Studies in Environmental Medicine, Benzene Toxicity. U.S. Department of Health and Human Service.
ATSDR. (2007). Toxicological Profile for Benzene. U.S. Department of Health and Human Service.
Cocco, P, et al. (2002). Trans,trans -Muconic acid excretion in relation to environmental exposure to benzene. Italy. University of Cagliari.
Ducos, P, et al. (1992). trans,trans-Muconic acid, a reliable biological indicator for the detection of individual benzene exposure down to the ppm level. France. International Archives of OCC Environmental Health.
Egeghy, P, P, et al. (2000). Environmental and Biological Monitoring of Benzene during Self-Service Automobile Refueling. USA. Environmental Health Perspectives, Volume 108, Number 12.
EPA. (2004). User’s Guide Biomarkers Data Base. SER’S GUIDE Biomarkers Database. USA. Environmental Protection Agency’s.
Ghittori, S, et al. (1994). Evaluation of occupational exposure to benzene by urinalysis. Italy. University of Pavia,
Gunawan, S. (2000). Manfaat Pemakaian Masker Terhadap Perubahan Kadar Fenol Dalam Urin Akibat Pajanan Benzene di Unit Penatalaksanaan Limbah PT. V Kalimantan Timur, 2000 [Thesis]. Depok. FKM-UI.
Haryanto, B. (2005). Dampak Kesehatan Pencemaran Udara. Urbant Air Quality Improvement Project. Jakarta. Bappenas.
IPCS (2009). Environmental Health Criteria 239.Principles for Modelling Dose – Response For The Risk Assessment of Chemical. Human Exposure Assessment. WHO.
IPCS (2000). Environmental Health Criteria 214. Human Exposure Assessment. WHO. UNEP.
IPCS (1993). Environmental Health Criteria 150. Benzene. WHO. Inoue, O, et al. (1989). Urinary Trans, Trans-Muconic Acid as an indicator of
exposure to benzene. Japan. Tohoku University School of Medicine. Integrated Risk Information System. (2003). Benzene; CASRN 71-43-2;
04/17/2003. http://www.epa.gov/IRIS/subst/0276.htm#carc (Diakses 11 Desember 2010).
Jakubowski, M and Malgorzata. (2005). Biological Monitoring of exposure : Trends and keys development. Poland. Nofer Institut of Occupational Medicine.
Keenan, J,J, et al. (2009). Gasoline: A complex chemical mixture or a dangerous vehicle for benzene exposure. USA. ChemRisk, Inc., San Francisco, CA.
73
74
Universitas Indonesia
Kongtip, et al. (2009). Trans Muconic Acid by Gas Chromatography in Gasoline Service Attendants.
Larry K. Lowry. (2003). Biological Exposure Indices (BEIs) Process and Use. USA. ACGIH.
Liu, L, et al. (1996). Urine level of trans, trans-muconic acid used as an index of internal dose of exposure to benzene.
Louvar FL and Louvar BD. (1998). Health and Environmental Risk Analysis Volume 2. New Jersey, Prentice Hall PTR.
Maywati, Sri. (2000). Hubungan Lama Pemaparan Senyawa Benzena Dalam Bahan Bakar Motor Dengan Kadar Hemoglobin Darah Operator SPBU di Semarang, Studi Kasus Pada 6 Lokasi SPBU di Semarang [Tesis]. Semarang. FKM-UNDIP.
Medeiros, A, M, et al. (1996). Potensial Biomarkers of Benzene Exposure. Journal of Toxicology and Environmental Health, Part A, 51: 6, 519 — 539. USA. Exxon Biomedical Sciences, Inc.
Michael S. Morgan. (1996). The Biological Exposure Indices: A Key Component in Protecting Workers from Toxic Chemicals. Washington. Department of Environmental Health, University of Washington, Seattle.
NIOSH. (2005). Pocket Guide to Chemical Hazards. http://www.bt.cdc.gov/agent/benzene/basics/facts.asp (Diakses 10 Nopember 2010.
Needham LL, et al. (1999). Exposure assessment: serum levels of TCDD in Seveso, Italy.
Nukman, A. (2005). Analisis Dan Manajemen Resiko Kesehatan Pencemaran Udara, Studi Kasus di Sembilan Kota Besar Padat Transportasi. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 4 No. 2, 270-289. Indonesia. Subdit Pengendalian Dampak Pencemaran Udara, Ditjen P2M & PL Depkes RI dan Pusat Kajian Kesehatan Lingkungan dan Industri FKM-UI, Depok.
Presiden Republik Indonesia. (2003). Undang Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenaga Kerjaan. Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39.
P J Boogaard, N J van Sittert. (1995). Biological monitoring of exposure to benzene: a comparison between S-phenylmercapturic acid, trans,trans-muconic acid, and phenol. Netherlands. Shell Internationale Petroleum Maatschappij BV.
Paustenbach, D and Galbraith, D. (2006). Biomonitoring and Biomarkers: Exposure Assessment Will Never Be the Same. USA. ChemRisk Inc, Environmental Health Perspectives, Volume 114, Number 8.
Pudyoko, S. (2010). Hubungan Pajanan Benzene dengan Kadar Fenol Daalam Urin dan Gangguan Sistem Hematopoietic pada Pekerja Instalasi BBM [Tesis]. Semarang. FKM-UNDIP.
PT. Pertamina. (2009). Info SPBU. http://sppbe.pertamina.com/spbu.aspx#spbu2 (Diakses tanggal 10 Nopember).
Rahman, A. (2007). Public Health Assessment : Model Kajian Prediktif Dampak Lingkungan dan Aplikasinya untuk Manajemen Risiko Kesehatan. Depok. Pusat Kajian Kesehatan Lingkungan dan Industri FKM-UI.
Ramon, A. (2007). Analisis Paparan Benzena Terhadap Profil Darah Pada Pekerja Industri Pengolahan Minyak Bumi [Tesis]. Semarang. FKM-UNDIP.
75
Universitas Indonesia
Sianipar, R, H. (2009). Analisis Resiko Paparan Hydrogen sulfida Pada Masyarakat Sekitar TPA Sampah Terjun kecamatan Medan Marelan [Tesis]. Medan. FKM-USU.
Suwansakri, J and Wiwanitkit, V. (2000). Urine Trans, Trans-Muconic Acid Determination For Monitoring of Benzene Exposure in Mechanics. Bangkok. Chulalongkorn University.
Snyder, R. (2009). A century of research on the hematotoxic effects of benzene and aims of the Symposium. USA. The State University of New Jersey School of Pharmacy and the Environmental and Occupational Health Sciences Institute, Piscataway, NJ, USA.
Scherer, G, et al.(1998). Analysis and evaluation of trans,trans-muconic acid as a biomarker for benzene exposure.
Slorach, S, A. (1991). Measurement of Metabolites as Indicators of Exposure to Chemicals, Methods for Assessing Exposure of Human and Non-Human Biota. USA. Scope.
Tennessee University. (2009). RAGs A Format for Benzene - CAS Number 71432. http://rais.ornl.gov/tox/profiles/Benzene_ragsa.html (Diakses 13 Desember 2010).
Thummachinda, S. (2002). High Urine Trans, Trans-Muconic Acid Levels Among Fishermen From a Thai Rural Village. Bangkok. Chulalongkorn University.
Wiwanitkit, V, et al. (2007). A Correlative Study on Red Blood Cell Parameters and Urine Trans, Trans-Muconic Acid in Subjects with Occupational Benzene Exposure.
WHO. (2000). Air Quality Guidelines for Europe. Geneva. World Health Organisation.
WHO. (1996). Biological Monitoring of Chemical Exposure in the Work place Guidelines, Volume 2. Geneva. WHO.
Workplace Health and Safety Queensland. (2010). Benzene Health Surveillance Guidelines. Australia. Department of Justice and Attorney-General.
Wiwanitkit, V, et al. (2001). Urine Trans, Trans-Muconic Acid as Biomarker for Benzene Exposure in Gas Attendants in Bangkok, Thailand. Bangkok. Chulalongkorn University.
Xia-Min Hu, et al. (2006). High-performance Liquid Chromatographic Determination of Urinary Trans, Trans-Muconic Acid Excreted by Workers Occupationally Exposed to Benzene. China. Wuhan University of Science and Technology.
3
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
KUESIONER No.__
Terimakasih atas kesediaan dan kerjasamanya untuk menjawab kuesioner
kegiatan penelitian ini. Kuesioner ini bertujuan untuk mendapatkan data tentang
masa kerja karyawan sebagai variable perhitungan dalam penelitian yang
dilakukan penulis.
Petunjuk pengisian kuesioner (untuk pewawancara)
V. Nama Pewawancara : ________________________
• Isi bagian pertanyaan yang digaris bawahi
• Beri tanda silang pada angka di depan jawaban yang tersedia
• Lakukan kegiatan penimbangan berat badan dengan alat yang telah
disediakan untuk pertanyaan mengenai berat badan
•
VI. Identitas Responden
15. Nama : _________________
16. Jenis Kelamin : _________________
17. Umur : _________________
18. Berat Badan : _________________
19. Sudah berapa lama bekerja : _________________
20. Berapa lama bekerja dalam satu hari? : _________________
21. Jenis pekerjaan apa yang dilakukan di SPBU ‘X’?
5. Pengisian BBM kendaraan
6. Pekerjaan Administrasi