analisis perkawinan sejenis menurut hukum positif di indonesia

27
A. PENDAHULUAN Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik-menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan bathin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga/rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi. 1 Hal ini bukanlah suatu keharusan, agar orang berpendapat kepada persetubuhan belaka, walaupun hal persetubuhan adalah faktor yang juga penting sebagai penunjang atau pendorong dalam rangka merealisir keinginan hidup bersama, baik untuk mendapatkan keturunan, maupun sekedar memenuhi kebutuhan biologis atau keinginan hawa nafsu belaka. Seseorang yang hidup bersama, kekuatan untuk bersetubuh bukanlah merupakan suatu syarat yang tidak boleh tidak harus ada, karena hal ini tidaklah selalu terdapat pada semua golongan orang, seperti misalnya orang yang sudah lanjut usia. 2 Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH: “bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang sudah sangat lanjut usianya, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan dinamakan “In ex tremis”, yaitu pada waktu salah satu pihak sudah hamper meninggal dunia.” 3 1 Djoko Prakoso dan I Ketut Muartika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di IndonesiaI, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 1. 2 Ibid. 3 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia,(Jakarta: Penerbit Sumur Bandung, 1984), hlm. 7. 1

Upload: annissa

Post on 02-Feb-2016

106 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

ANALISIS PERKAWINAN SEJENIS MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

A. PENDAHULUAN

Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya

(laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik-menarik antara

satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat

dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan bathin dengan tujuan

menciptakan suatu keluarga/rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan

abadi.1

Hal ini bukanlah suatu keharusan, agar orang berpendapat kepada

persetubuhan belaka, walaupun hal persetubuhan adalah faktor yang juga penting

sebagai penunjang atau pendorong dalam rangka merealisir keinginan hidup

bersama, baik untuk mendapatkan keturunan, maupun sekedar memenuhi

kebutuhan biologis atau keinginan hawa nafsu belaka. Seseorang yang hidup

bersama, kekuatan untuk bersetubuh bukanlah merupakan suatu syarat yang

tidak boleh tidak harus ada, karena hal ini tidaklah selalu terdapat pada semua

golongan orang, seperti misalnya orang yang sudah lanjut usia.2 Hal ini seperti

yang dikemukakan oleh Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH:

“bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang sudah sangat lanjut usianya, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan dinamakan “In ex tremis”, yaitu pada waktu salah satu pihak sudah hamper meninggal dunia.”3

Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis

dan kehendak kemanusiaan semata tetapi lebih dari itu, yaitu suatu ikatan atau

hubungan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita.

“Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera dan bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami suatu proses pshykologis yang berat yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan.”4

Pernyataan tersebut di atas, terkesan bebas dan demokratis serta penuh

1 Djoko Prakoso dan I Ketut Muartika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di IndonesiaI, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 1.

2 Ibid.3 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia,(Jakarta: Penerbit Sumur

Bandung, 1984), hlm. 7.4 Majalah Nasehat Perkawinan No. 109 ke X Jni 1981, Penerbit Badan Penasehat

Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4), hlm. 14.

1

Page 2: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

penghargaan terhadap HAM untuk melangsungkan suatu perkawinan yang

dilandasi atas hubungan seksual. Kini menjadi suatu kajian tersendiri bagi

hubungan seksual yang dilakukan secara menyimpang atau tidak umum

dilakukan oleh kebanyakan orang (yaitu hubungan kelamin laki-laki dengan

kelamin perempuan), melainkan hubungan seksual yang dilakukan laki-laki

dengan laki-laki, yang lazim disebut hubungan secara sodomi, pelakunya

yang umum dikenal homoseksual. Begitu juga hubungan seksual yang

menyimpang karena dilakukan oleh perempuan dengan perempuan, melalui

oralseks, pelakunya lazim disebut lesbian.

Perkawinan sesama jenis (gay dan lesbian) merupakan bentuk menyalahi

ketentuan hukum positif dan hukum Islam dalam suatu hidup bersama antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat dalam

peraturan perundang-undangan maupun agama. Sebagaimana tujuan

perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan suami isteri, untuk mendapatkan

keturunan dan menegakkan ajaran agama, dalam kesatuan kelurga yang bersifat

parental. Sementara itu agama, menekankan esensi perkawinan untuk

mencegahmaksiat atau terjadinya perzinahan maupun pelacuran. Namun, tujuan

tersebut mulai tidak berlaku bagi kaum gay dan lesbian dalam menuntut hak

asasi manusia atau HAM atas kesetaraan gender, yakni dengan menuntut agar

keinginan berpasangan untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.

Salah satu syarat sah dari suatu perkawinan menurut ketentuan

hukum positif sebagaimana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang

menyebutkan bahwa adanya ikatan lahir batin antara laki-laki dan

perempuan. Sementara itu, hukum Islam lebih lanjut menekankan bahwa

perkawinan menjadi sah apabila terdapat tujuan untuk menegakkan ajaran

agama dalam kesatuan kelurga yang bersifat parental. Namun, masalah

yang kemudian muncul adalah kebebasan hak asasi manusia (HAM) dalam

menuntut kebebasan memilih dan menentukan perkawinannya. Salah satu

kebebasan yang dikehendaki tersebut yakni perkawinan sejenis yang

dilakukan oleh kaum gay dan lesbian. Perkawinan sejenis dipandang

destruktif dan menyalahi kodrati fitrah manusia yang seharusnya dapat

melakukan ikatan bersama lawan sejenis dan mendapat

keturunan, namun berbeda dengan perkawinan sejenis yang lebih menginginkan

hubungan menyimpang tersebut atas dasar cinta dan kasih saying guna

2

Page 3: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.5

B. ISSUE HUKUM

Belakangan ini pernikahan sesama jenis kembali menjadi pembicaraan

yang hangat baik di media cetak maupun elektronik. Pro kontra terhadap

pernikahan sesama jenis memang sejak lama dibicarakan khalayak ramai. Namun

tepatnya beberapa pekan kemarin media massa kembali memblow-up berita

terkait pernikahan sesama jenis. Pasalnya pada hari Jum’at, 26 Mei 2015 yang

lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan untuk diberlakukan aturan

secara nasional (sebanyak 50 Negara Bagian) pernikahan sesama jenis, dimana

sebelumnya hanya 37 Negara Bagian pernikahan sesama jenis ini secara sah

diberlakukan.

Masyarakat Indonesia sendiri dihebohkan dengan beredarnya foto-foto

perkawinan sejenis di laman  Facebook. Foto-foto yang diunggah itu

memperlihatkan pesta pernikahan sejenis yang kabarnya dilangsungkan di

kawasan wisata di Sayan, Ubud, Gianyar, di hotel bintang lima berinisial FS.

Namun belum bisa dipastikan apakah foto-foto yang beredar di dunia maya itu

benar-benar pesta pernikahan atau bukan. Foto-foto di Facebook itu

memperlihatkan adegan prosesi seperti sebuah pernikahan antara pria bule dan

pria Indonesia. Salah satu gambar berlatar belakang seorang pemangku

(rohaniwan Hindu). Ada pula foto salah satu pria meminta restu kepada pasangan

orang tua.6

Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali menyikapi serius foto heboh

pernikahan sejenis di Facebook tersebut. Ketua MUDP Jero Gede Suwena Putus

Upadhesa mengatakan pihaknya sudah membentuk tim khusus untuk menyelidiki

kasus yang menghebohkan itu. Suwena menegaskan, pernikahan sejenis dilarang

dalam agama Hindu dan, bila benar-benar terjadi, dianggap sebagai cuntaka atau

peristiwa yang menimbulkan kekotoran spiritual. "Harus dilakukan upacara adat

untuk pembersihan."

5 Nur Chasanah, Studi Komparatif Hukum Positif Dan Hukum Islam Di Indonesia Mengenai Perkawinan Sejenis, Jurnal Cendekia Vol. 12 No 3 Sept 2014, hlm. 67-68.

6 Rofqi Hasan, Heboh Pernikahan Sejenis di Bali, Majelis Adat: Ini Cuntaka! http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/16/058701212/heboh-pernikahan-sejenis-di-bali-majelis-adat-ini-cuntaka diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015

3

Page 4: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

Bila ternyata itu bukan upacara pernikahan, keberadaan rohaniwan dan simbol-

simbol Hindu dapat dianggap sebagai suatu penodaan atas simbol agama.

“Penelitian akan sampai ke masalah itu dengan meminta keterangan desa adat

dan aparat setempat dan tentunya pihak hotel atau tempat yang menjadi lokasi,”

ujarnya. Hal ini dilakukan karena perkawinan sejenis yang diduga dilakukan di Bali

itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah

Indonesia.

C. PEMBAHASAN

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-

laki dengan seorang wanita.7 Oleh sebab itulah, beberapa ahli memandang dan

memberikan arti yang sangat penting terhadap institusi yang bernama

perkawinan. Asser, Scholten, Pitlo, Petit, Melis, dan Wiarda, memberikan definisi

bahwa perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang

wanita yang diakui oleh negara untuk bersama/bersekutu yang kekal. Esensi dari

yang dikemukakan para pakar tersebut adalah bahwa perkawinan sebagai

lembaga hukum, baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa

yang terdapat di dalamnya. 8

Sementara menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa

perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita yang

dikukuhkan secara formal dengan undang-undang (yuridis) dan kebanyakan

religius. Pendapat lain disampaikan Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum

Perdata yang mengatakan, bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara

seorang lelaki dan seoarang perempuan untuk waktu yang lama.9

Begitupun dengan Kaelany H.D. yang mengatakan bahwa perkawinan

adalah akad antara calon suami isteri untuk memenuhi hajat sejenisnya menurut

7 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),hlm. 61.

8 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya: Airlangga Press University, 2008), hlm. 18.

9 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2000), hlm. 23.

4

Page 5: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

yang diatur oleh syariah. Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan

bergaul sebagai suami isteri.10

Pengertian perkawinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang

membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata

dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi.11

Adapun faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan ikatan

tersebut (perkawinan), yakni

1. Adanya saling suka dan menanggapi;

2. Untuk melindungi kehormatan seseorang;

3. Waktu dan uang;

4. Adanya keterlibatan emosional;

5. Adanya rasa aman.

Perlu diketahui bahwa kelima faktor tersebut memiliki esensi yang

berbeda ditiap-tiap daerah sesuai dengan adat istiadat di masing-masing

daerah, yang intinya perkawinan itu sendiri adalah dilaksanakan untuk

menjaga kemurnian sistem kekerabatan.12

Lebih lanjut, masalah yang kemudian muncul adalah menyoal

perubahan seiring dengan zaman ke arah modernitas sebagai bagaian dari

terori stimulus value role, yang mana menyebutkan bahwa perkawinan

terjadi karena situasi yang bebas memilih akibat rangsangan (stimulus)

ketertarikan fisik, perbandingan nilai (value) kesamaan atau sebaliknya dan

peran (role) yang melengkapi. Kebebasan yang dimaksud dalam hal ini

sudah dipisahkan dengan pakem atau adat istiadat dan juga agama. Salah

satu kebebasan perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan sesama jenis

atau sering disebut dengan pernikahan gay atau homoseksual. Pernikahan

sesama jenis adalah pernikahan yang ditinjau secara normatif ataupun

sosial diakuai hanya berjenis kelamin sama (laki-laki dengan laki-laki 10 Kaelany H.D., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, (Bandung: Bumi Aksara), hlm.

107.11 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1988).12 Nur Chasanah, Op.Cit., hlm 69.

5

Page 6: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

maupun perempuan dengan perempuan). Tentu dalam hal tersebut sudah

menyeleweng dari syarat mutlak membentuk keluarga dengan perkawinan.

Timbulnya penyelewengan tersebut atau adanya perkawinan sesama sejenis

adalah akibat pengaruh konflik masyarakat yang dipengaruhi oleh gerakan-

gerakan sosial dari individu dan kelompok sosial berbasis pada identitas,

golongan, etnis, maupun tribal (kaum gay dan kaum lesbian). Konfik

tersebut menuntut kaum gay dan kaum lesbian atas dasar persamaan hak

asasi manusia dan juga kodrati.

Sementara itu, berkaitan dengan permasalahan diatas perkawinan sesama

jenis di Indonesia mengindikasikan bahwa belum ada keinginan masyarakat

(individu gay atau lesbian) untuk melakukan keinginan berpasangan untuk

membentuk keluarga melalui perkawinan. Hal ini disebabkan masyarakat

Indonesia paham akan pakem dan juga menjunjung hukum dan adat (norma).

Namun, tidak menutup kemungkinan belum adanya keinginan masyarakat

Indonesia untuk melakukan perkawinan sejenis juga mereka (gay

dan lesbian) masih melakukan hubungan seksual dan batin layaknya

sebuah keluarga. Berikut ialah beberapa pandangan mengenai perkawinan

sejenis menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.

1. Ditinjau dari Hukum Positif di Indonesia

Di Indonesia sendiri, telah ada hukum perkawinan yang secara otentik

diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Secara normatif sebagaimana

ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

menyatakan bahwa perkawinan pada asasnya dilakukan oleh hubungan

antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yakni dengan tujuan

memperoleh keturunan dan membina rumah tangga yang diharapkan. Hal ini

berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan13

(“UU Perkawinan”), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri.

13 Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU. No. 1 Tahun 1974, Lembaran Negara No. 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.,Pasal 1.

6

Page 7: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

Pasal 1

“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha esa.”

Pengertian perkawinan seperti yang tercantum dalam UU Perkawinan

Pasal 1, bila diperinci sebagai berikut:14

- Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri;

- Ikatan lahir bathin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia yang kekal dan sejahtera;

- Ikatan lahir bathin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam UU Perkawinan juga ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas

mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan

yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Prinsip-

prinsip tersebut diantaranya:15

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-

masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan materiil;

b. Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu; disamping itu tiap-tiap

perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

c. Undang-Undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki

oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang

bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari

seorang;

14 Djoko Prakoso dan I Ketut Muartika, Op.Cit., hlm. 3.15 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm. 7-9.

7

Page 8: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

d. Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus

telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan,

agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa

berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

UU ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita,

ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita;

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

bahagia, kekal dan sejahtera, maka UU ini menganut prinsip untuk

mempersukar terjadinya perceraian;

f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan

masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga

dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

Selain itu, di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan16 dikatakan juga

bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya. Ini berarti selain negara hanya mengenal

perkawinan antara wanita dan pria, negara juga mengembalikan lagi hal tersebut

kepada agama masing-masing.

Mengenai perkawinan yang diakui oleh negara hanyalah perkawinan

antara pria dan wanita juga dapat kita lihat dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-

Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan17

Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:

Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.

16 Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, Op.Cit., Pasal 2 ayat (1).17 Republik Indonesia, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, UU. No. 23 Tahun

2006, Lembaran Negara No. 124 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674., Pasal 34 ayat (1).

8

Page 9: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:

Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Sebagaimana dijelaskan pada perkawinan sesama jenis di atas,

mengindikasikan bahwa hal tersebut menyalahi kodrat yang telah ditentukan

hukum dan juga adat (pakem). Perkawinan sesama jenis secara normatif

berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak dapat

dilakukan, karena dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan sudah disebutkan bahwa perkawinan adalah jalinan batin dan

biologis antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.

2. Ditinjau dari Hukum Islam

Hukum Islam senantiasa memperhatikan kemaslahatan manusia dalam

menghadapi masalah dalam kehidupannya, salah satunya terkait dengan

substansi jiwanya yang berasal dari kehendak hawa nafsu manusia yang ingin

melampiaskan seks di luar ketentuan hukum Islam. Namun, dari sisi agama

Islam, perkawinan antara sesama jenis secara tegas dilarang. Penyimpangan

biologis yang melanggar fitrah manusia seperti perkawinan sejenis dalam hukum

Islam menentang secara keras, karena telah menyalahi aturan yang telah ada

dalam Al-Quran dan Al-Hadist sebagai dasar hukum Islam yang telah ada.18

Lebih lanjut menekankan bahwa Islam memberikan bentuk nash dalam

perbuatan yang tercela yang pernah terjadi pada kaum Nabi Nuh dan Nabi Luth

yang terbukti telah membawa malapetaka yang luar biasa baik berujud kutukan

wabah penyakit dan lainnya (QS. Al-Ankabut (29): 28-35.

Al-Qur’an melarang segala hubungan seks selain hubungan seks di dalam

ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Sebagian besar

penikmat homoseksualitas mengklaim bahwa mereka terlahir dengan

kecenderungan seks sesama jenis itu. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak

mempunyai pilihan, “sudah dari sananya”. Meskipun asumsi ini masih

18 Terdapat 7 (tujuh) surat yang menyatakan lingkupan homoseksual atau gay, yakni QS. Al-A;raf (7):80-102, QS. Hud (11):77-82, QS. Al-Anbiya’ (21):74, QS. Al-Syu’ara’ (26): 160-173, QS. An-Naml (27):54-58, dan QS. Al-Ankabut (29): 26-35, dikutip dari Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1975), hlm. 165.

9

Page 10: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

bisadiperdebatkan di dunia medis, bahkan kalaupun asumsi ini memang benar, al-

Qur’an dengan tegas menolak menjadikannya sebagai pembenaran bagi pecinta

sesama jenis.19

Dari arti surah di atas dapat penulis tarik bahwasanya dari sisi agama

Islam, perkawinan antara sesama jenis secara tegas dilarang. Hal ini dapat dilihat

dalam Surah Al-A’raaf (7): 80-84, jadi perkawinan sejenis adalah haram

hukumnya. Di samping itu Perkawinan sesama jenis di Indonesia, dari kacamatra

agama dan adat, belum mendapat perespektif layak untuk dilakukan, bahkan

dapat disebut dari kacamata agama sebagai suatu perbuatan dosa dan dari

kacamata adat merupakan perbuatan dosa dan aib. Diluar Indonesia, di negara-

negara yang telah lama menjungjung tinggi HAM, persamaan jender, ada yang

sudah berani mengakui perkawinan sesama jenis.

Di Negara Eropa dan Amerika sudah melegalkan perkawinan sesama

jenis di tingkat Nasional, seperti Argentina, Belgia, Kanada, Islandia, Belanda,

Norwegia, Portugal, Spanyol, Afrika Selatan, Swedia, Alagoas Brasil, Mexico

City dan Amerika Serikat. Alasan Negara-Negara tersebut melegalkan

perkawinan sejenis karena bentuk toleransi guna menekan diskriminasi

berdasarkan orientasi seksual. Argumen lain dalam mendukung pernikahan

sesama jenis adalah pernyataan bahwa keuangan, psikologis dan fisik

kesejahteraan diperkuat oleh perkawinan sesama jenis, yakni diperolah

dengan cara mengadopsi anak guna memberikan manfaat dan

dibesarkan oleh kedua orangtua gay maupun lesbi, selain itu

perkawinan tersebut juga mendapat dukungan hukum secara absolute dan

lembaga-lembaga masyarakat bersangkutan.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara ekplisit memang tidak

mengatur masalah yang berkaitan dengan pernikahan sesama jenis. Besar

kemungkinan, karena formulasi nikah versi KHI ini sudah tidak lagi

memperhatikan subjek yang melakukan akad. Artinya membangun rumah tangga

yang sakinah mawaddah wa rahmah, seperti yang tertulis dalam regulasi tersebut,

sedikitpun tidak menyiratkan adanya peluang bagi legalisasi pernikahan gay dan

19Abu Ameenah Bilal Philips, Islam dan Homoseksual, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003),hlm. 44.

10

Page 11: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

lesbian. Karena dalam pasal lain disebutkan bahwa asas perkawinan adalah

monogami.

Pernikahan yang di anggap wajar dalam masyarakat adalah pernikahan

heteroseksual atau nikah dengan lawan jenis. Maka tidaklah salah ketika

pernikahan homoseksual atau nikah dengan sesama jenis banyak mendapat

kontroversi di masyarakat karena di anggap aneh, menyimpang dari hukum

syara’, dan yang lebih ironis lagi di bilang sakit jiwa.

Selain itu juga, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempertegas

dengan beberapa Pasal yang tidak jauh berbeda dengan hukum normatif,

yakni syarat perkawinan yang sah adalah ikatan batin dan biologis antara laki-

laki dan perempuan sebagaimana ketentuan Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf d,

Pasal 29 ayat (3) serta Pasal 30 KHI. 

Pasal 1 huruf a KHI:

Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.

 

Pasal 1 huruf d KHI:

Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam

Pasal 29 ayat (3) KHI:

Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

 

Pasal 30 KHI:

Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita dengan jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Artinya, pasal-pasal KHI tersebut dengan tegas menyatakan

melarang perkawinan sesama jenis apabila tidak ada ketentuan baku syarat

sahnya sesuai dengan peraturan Undang-Undang dan juga agama. Lebih

11

Page 12: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

lanjut, dalil fikih ulama secara umum mekankan hukum haram bagi

perkawinan sejenis, yakni;

1) Pelaku (gay) harus dibunuh secara muthlak,

2) Pelakunya (gay) harus di hadd sebagaimana hadd zina, yakni dengan

hukuman muhsan maupun dirajam, dan

3) Pelakunya harus disanksi sesuai perlakuannya.20

Selain itu, mengenai perkawinan sejenis ini, beberapa tokoh juga

memberikan pendapatnya. Di dalam artikel hukumonline yang berjudul Menilik

Kontroversi Perkawinan Sejenis, sebagaimana kami sarikan, Ketua Komisi Fatwa

MUI KH Ma'ruf Amin dengan tegas menyatakan bahwa pernikahan sejenis adalah

haram. Lebih lanjut Ma'ruf Amin mengatakan, “Masak laki-laki sama laki-laki atau

perempuan sama perempuan. Itu kan kaumnya Nabi Luth. Perbuatan ini jelas

lebih buruk daripada zina.” Penolakan serupa juga dikatakan oleh pengajar hukum

Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Farida Prihatini. Dia mengatakan

bahwa perkawinan sejenis itu tidak boleh karena dalam Al Quran jelas perkawinan

itu antara laki-laki dan perempuan.21

3. Ditinjau dari Hukum Hak Asasi Manusia

Di sisi yang lain berdasarkan perspektif hak asasi manusia atau

HAM, yang menyebutkan bahwa tidak ada seorangpun yang menghendaki

dilahirkan di dunia dengan keadaan yang menyimpang dan juga tidak

dibenarkan adanya suatu kaidah hukum apapun membedakan orang yang satu

dengan yang lain. Artinya, hubungan seksual yang menyimpang seperti

perkawinan sejenis tidak dapat dianggap perbuatan dosa dan aib, karena

telah mendapat pengakuan dan pengaturannya.

Pengakuan hukum perkawinan sesama jenis kadang-kadang disebut

sebagai kesetaraan perkawinan atau pernikahan setara, terutama oleh para

pendukungnya. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi timbulnya

perkawinan sesama jenis sebagaimana dimaksud, diantaranya sebagai berikut ini.

1) diskriminatif, maksudnya kaum gay dan lesbian belum memiliki ruang

20 Mohammad Thalib, As-Sayid Sabiq Cet. Ke-13., Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1997), hlm. 132.

21 Hukum Perkawinan Sesama Jenis di Indonesia, Hukum Online, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50c9f71e463aa/hukum-perkawinan-sesama-jenis-di-indonesia , diakses pada Jumat, 9 Oktober 2015.

12

Page 13: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

atau wilayah yang menurutnya belum dapat diterimanya di

masyarakat yang pluralis dan multikultural seperti di Indonesia,

sehingga kaum gay dan lesbian membentuk sebuah kelompok ataupun

organisasi yang menuntut adanya legalisasi hak asasi manusia seperti

halnya perkawinan sejenis tersebut. Adapun jenis dari diskrimanisi

dalam hal ini disebut sebagai diskriminasi gender22

2) stereotype, maksudnya kaum gay dan lesbian mendapat prasangka

yang subjektif dan tidak tepat seperti penampilan, tingkah laku (feminim),

dan hubungan dengan lingkungan hedonis. Tentu dalam hal ini,

stereotype masyarakat memandang gay dan lesbian memiliki

konsep orientasi seksual dengan peran gender yang memiliki risiko

di kalangan masyarakat kebanyakan, sehingga gay dan lesbian

merasa terpinggirkan dan diwaspadai.23 dan

3) psyco-social, maksudnya kaum gay dan lesbian membentuk identitas

dirinya mulai sejak usia dini melalui hubungan dan interaksi yang

kompleks atau secara biologis, psikologis dan faktor-faktor sosial

lainnya.24

Mengenai perkawinan disinggung dalam Pasal 16 Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia (DUHAM). Menurut Pasal ini,  pria dan wanita yang sudah dewasa,

tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk

menikah dan untuk membentuk keluarga. Keduanya mempunyai hak yang sama

atas perkawinan, selama masa perkawinan dan pada saat perceraian.  Syarat

perkawinan hanya dilihat dari faktor persetujuan saja. Perkawinan hanya dapat

dilakukan bila keduanya setuju tanpa syarat.

Menurut DUHAM, keluarga merupakan sebuah kesatuan alamiah dan

fundamental dari masyarakat. Oleh sebab itu, hak ini harus mendapat

perlindungan dari masyarakat dan negara. DUHAM menegaskan bahwa

pelaksanaan hak tersebut harus dilakukan tanpa pengecualian apapun, termasuk

22 Komisi Persamaan Kesempatan (EOC), 2010, Memahami Undang-Undang Diskriminasi Ras, Taikoo Shing, Hong Kong, diunduh pada Kamis, 8 Oktober 2015, melalui eoc.org.hk

23 LGBT Stereotype, algbtical.org, diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015.24 Endang Sumiari, Gender dan Feminisme, (Yogyakarta: Penerbit Jala Sutra, 2004),

hlm. 33.

13

Page 14: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau

pendapat yang berlainan, kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran

ataupun kedudukan lain. Demikian juga, pembedaan tidak boleh didasarkan atas

dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau

daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang

berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan

kedaulatan yang lain.

Demikian juga dengan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak

Sipil dan Politik) dan ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi,

Sosial dan Budaya). Dalam Pasal 23 ICCPR, disebutkan bahwa keluarga

merupakan kesatuan masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak

mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara. Setiap laki-laki dan wanita

yang sudah dalam usia perkawinan berhak untuk melakukan perkawinan dan hak

untuk membentuk keluarga harus diakui. Syarat mendasar bagi perkawinan

adalah adanya persetujuan yang bebas dari para pihak yang menikah (jo. Pasal

10 ICESCR).

Pandangan negara yang telah maju mempraktekan HAM hubungan

seksual yang menyimpang tidaklah dianggap perbuatan dosa dan aib, karena itu

penyimpangan perilaku seksual telah mendapat pengakuan dan pengaturannya,

seperti yang dilakukan di negeri Belanda. Artinya keluarga dapat dibentuk

melalui perkawinan oleh mereka yang sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki,

perempuan dengan perempuan). Bagaimanakah hal itu di Indonesia untuk

waktu yang akan datang? Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat dilihat dalam

ketentuan UUD 1945 Bab XA Pasal 28B (1) yang menyatakan25

“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan

keturunan melalui perkawinan yang sah”,

artinya kaidah dasar normatif tidak melarang berperilaku menyimpang (gay dan

lesbian) maupun menuntut agar keinginan berpasangan untuk membentuk

keluarga melalui perkawinan yang sah.

Hal tersebut ditekankan kembali pada Pasal 28I (5)26 yang menyatakan

25 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD 1945, Pasal 28 B ayat (1).

14

Page 15: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

bahwa

“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai

dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka

pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan

dalam peraturan perundang-undangan”.

Melalui kedua kaidah dasar yang disebutkan itu, kita tentu tidak mungkin

mengabaikan keinginan Warga Negara Indonesia (WNI) yang ditakdirkan Tuhan

YME yang berperilaku menyimpang (para gay dan lesbian) untuk menuntut

keinginan mereka untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.

Ketentuan-ketentuan Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 yang

berkorelasi dengan pengaturan hubungan seksual yang menyimpang untuk

waktu-waktu yang akan datang haruslah diupayakan menerima bagi kalangan

agama dan masyarakat adat, baru kemudian negara memberikan legalitasnya dan

bentuk hukum. Apabila hubungan seksual menyimpang (sesama jenis)

terbukti dan teruji mengakibatkan potensial menimbulkan penyakit (HIV/AIDS) dan

menular, tentu saja soal HAM bagi pelakunya tidak patut mendapatkan

pelayanan hukum keabsahan bagi hubungan mereka dalam peraturan

perkawinan.

Pelaksanaan HAM dalam hal itu cukup mengupayakan, bagaimana

penyakit yang diderita itu bisa diobati atau setidaknya diringankan deritanya dan

tidak menular. Hal ini disadari bahwa bila membentuk pengukuhan hukum atas

hubungan mereka, berarti menumbuh suburkan suatu poenyakit yang konon

tidak ada obatnya akan berakhir kepada kesulitan negara untuk mengatasinya.

Bila tidak berakibat demikian, ulasan tentang prilaku seks yang menyimpang

(homoseksual dan lesbian) patut menjadi kajian tersendiri dalam korelasinya

dengan HAM, mengingat siapapun di dunia ini tidak ingin diciptakan sebagai

mahkluk yang berprilaku menyimpang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkawinan sejenis yang akan

datang haruslah diupayakan menerima bagi kalangan agama dan masyarakat

adat, baru kemudian negara memberikan legalitasnya dalam bentuk hukum.

26 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Op. Cit., Pasal 28 I ayat (5).

15

Page 16: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

Namun, HAM menjadi tidak berlaku apabila hubungan sejenis tersebut secara

potensial menimbulkan penyakit seks menular, yakni tidak berlakunya pelayanan

hukum keabsahan bagi hubungan mereja dalam peraturan perkawinan.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

perkawinan sesama jenis tidak dapat dilakukan karena menurut hukum,

perkawinan adalah antara seorang pria dan seorang wanita. Pada sisi lain, hukum

agama Islam secara tegas melarang perkawinan sesama jenis.

Perkawinan sesama jenis (gay dan lesbian) secara kodrati telah melawan

fitrah hidup maniusia yang dilahirkan untuk menjalin ikatan batin dan biologis

antar lawan jenisnya, yakni antara laki-laki dan perempuan. Tinjauan hukum

positif di Indonesia menekankan bahwa dalam Undang-Undang Perkawinan

menyebutkan bahwa perkawinan dibangun atas dasar hukum perkawinan yang

menetapkan suatu perkawinan merupakan ikatan lahir batin seorang laki-laki

dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga dan

meneruskan keturunan serta bertujuan menegakkan ajaran agama dan

menjalankan adat istiadat.

Selain itu, perspektif HAM juga memberikan jaminan bahwa perkawinan

sejenis dapat membentuk keluarga melalui lembaga perkawinan sepanjang

hubungan mereka tidak berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat seperti

menularkan penyakit seks menular.

Sedangkan tinjauan hukum Islam secara jelas dan keras mengaskan

perkawinan sejenis digolongkan dalam hukum haram, hal ini dikarenakan sudah

tidak sesuai lagi dengan dalil syar’i, hal ini dikarenakan bertentangan dengan

nash-nash dalam Al-Quran dan Al-Hadist sebagai dasar hukum Islam. Oleh

karenanya, perlu diupayakan dengan menekan hubungan gay dan lesbian guna

menghindari adanya ketercelaan bahkan disertai ancaman-ancaman.Salah satu

upaya yang dapat dilakukan, yakni melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir

keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum

gay dan lesbian.

16

Page 17: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abu Ameenah Bilal Philips, Islam dan Homoseksual, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003).

Endang Sumiari, Gender dan Feminisme, (Yogyakarta: Penerbit Jala Sutra,

2004).

Djoko Prakoso dan I Ketut Muartika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di IndonesiaI,

(Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987).

Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1975).

Kaelany H.D., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, (Bandung: Bumi Aksara).

Mohammad Thalib, As-Sayid Sabiq Cet. Ke-13., Fikih Sunnah, (Bandung: Al-

Ma’arif, 1997)

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga,

(Surabaya: Airlangga Press University, 2008).

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia ,(Jakarta: Penerbit

Sumur Bandung, 1984).

Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika,

2002).

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2000).

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005).

Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, UUD 1945.

Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU. No. 1 Tahun 1974,

Lembaran Negara No. 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3019.

Republik Indonesia, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, UU. No. 23

Tahun 2006, Lembaran Negara No. 124 Tahun 2006, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4674.

Kompilasi Hukum Islam

17

Page 18: Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)

ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

Jurnal

Nur Chasanah, Studi Komparatif Hukum Positif Dan Hukum Islam Di Indonesia

Mengenai Perkawinan Sejenis, Jurnal Cendekia Vol. 12 No 3 Sept 2014.

Kamus

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1988).

Majalah

Majalah Nasehat Perkawinan No. 109 ke X Jni 1981, Penerbit Badan Penasehat

Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4).

Artikel dalam Internet

Hukum Perkawinan Sesama Jenis di Indonesia, Hukum Online,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50c9f71e463aa/hukum-perkawinan-

sesama-jenis-di-indonesia , diakses pada Jumat, 9 Oktober 2015.

Rofqi Hasan, Heboh Pernikahan Sejenis di Bali, Majelis Adat: Ini Cuntaka! http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/16/058701212/heboh-pernikahan-sejenis-di-bali-majelis-adat-ini-cuntaka diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015

Komisi Persamaan Kesempatan (EOC), 2010, Memahami Undang-Undang Diskriminasi Ras, Taikoo Shing, Hong Kong, diunduh pada Kamis, 8 Oktober 2015, melalui eoc.org.hk

LGBT Stereotype, algbtical.org, diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015.

18