putusnya perkawinan

22
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya setiap manusia memiliki nafsu dan akal fikiran. Itu yang membedakan dengan makhluk hidup ciptaan Tuhan yang lain. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Untuk mangaktualisasikan berkah dari Tuhan yang berupa nafsu dan fikiran ini manusia bisa merealisasikannya dengan saling cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan saling menjaga satu sama lainnya. Dalam hubungannya antara manusia yang satu dan manusia yang lain tentu harus ada norma-norma atau nilai-nilai yang harus dipatuhi. Manusia tidak lantas bebas berbuat apa saja dengan manusia yang lain. Sebagai contoh, untuk dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya sebagai suami dan isteri, manusia harus mensahkannya dengan perkawinan. Dan kemudian mendaftarkan perkawinannya tersebut sehingga perkawinan tersebut memperoleh kepastian hukum. Baik dari segi agama maupun dari segi hukum. Manusia itu tidak akan berkembang tanpa adanya perkawinan, karena dengan adanya perkawinan menyebabkan adanya keturunan dan keturunan menimbulkan keluarga yang berkembang menjadi kerabat dan akhirnya menjadi masyarakat. 1

Upload: sigit-budhiarto

Post on 24-Jun-2015

11.121 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Putusnya perkawinan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada hakekatnya setiap manusia memiliki nafsu dan akal fikiran. Itu yang

membedakan dengan makhluk hidup ciptaan Tuhan yang lain. Manusia dikatakan

sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain.

Untuk mangaktualisasikan berkah dari Tuhan yang berupa nafsu dan fikiran ini

manusia bisa merealisasikannya dengan saling cinta-mencintai, sayang-

menyayangi dan saling menjaga satu sama lainnya.

Dalam hubungannya antara manusia yang satu dan manusia yang lain

tentu harus ada norma-norma atau nilai-nilai yang harus dipatuhi. Manusia tidak

lantas bebas berbuat apa saja dengan manusia yang lain. Sebagai contoh, untuk

dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya sebagai suami dan isteri, manusia

harus mensahkannya dengan perkawinan. Dan kemudian mendaftarkan

perkawinannya tersebut sehingga perkawinan tersebut memperoleh kepastian

hukum. Baik dari segi agama maupun dari segi hukum.

Manusia itu tidak akan berkembang tanpa adanya perkawinan, karena

dengan adanya perkawinan menyebabkan adanya keturunan dan keturunan

menimbulkan keluarga yang berkembang menjadi kerabat dan akhirnya menjadi

masyarakat.

Namun suatu saat dalam hubungan keluarga pasti ada saja yang berjalan

tidak sesuai dengan rencana. Perkawinan bisa saja putus di tengah jalan. Dan hal

itu disebabkan oleh para pihak sendiri maupun oleh pihak lain atau pihak ke-3.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, bagaimanakah Putusnya Perkawinan

dan Apa akibatnya Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan ?

1

Page 2: Putusnya perkawinan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perkawinan

Dari sudut ilmu bahasa, perkataan perkawinan berasal dari kata “kawin”

yang merupakan terjemahan dari bahasa arab “nikah”. Di samping kata nikah

dalam bahasa arab lazim juga dipergunakan kata “ziwaaj” untuk maksud yang

sama. Perkataan nikah mengandung 2 pengertian yaitu dalam arti yang sebenarnya

(haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Dalam pengertian yang sebenarnya kata

“nikah” itu berarti “berkumpul”, sedangkan dalam arti kiasan berarti “akad” atau

“mengadakan perjanjian perkawinan”.1

Dalam penggunaan sehari-hari kata “nikah” lebih banyak dipakai dalam

pengertian yang terakhir yaitu dalam arti kiasan.2 para ahli ilmu “fiqh” sendiri

yaitu para imam masih berbeda pendapat tentang arti kias tersebut apakah dalam

pengertian “wathaa” atau “aqad” sebagaimana yang disebut di atas. Imam Asy-

Syafi’i misalnya memberi pengertian “nikah” itu dengan “mengadakan perjanjia

perikatan”, sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikan “wathaa” atau “setubuh”.

Seperti diketahui, perbedaan para imam ini dianggap penting oleh karena akan

mengakibatkan berbedanya pendapat dalam masalah-masalah lain yang

berkenaan.

Pengertian “nikah” sebagai suatu perjanjian perikatan sesungguhnya

adalah suatu pengertian dalam ruang lingkup undang-undang. Perikatan

perkawinan sangat penting di dalam pergaulan masyarakat, bahkan hidup

bersama ini yang kemudian melahirkan anak keturunan mereka merupakan sendi

yang utama bagi pembentukan Negara dan bangsa.3

Menurut Undang-undang sendiri pengertian Perkawinan merupakan ikatan

1 Lihat Drs.Kamal Mochtar.Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Penerbitan Bulan Bintang Jakarta. Cetakan pertama 1974. hlm 112 Ibid. Lebih lengkap lihat: Ibnu’I Humam Fat-hu’I Qadir jilid II hlm 357; Fakhru’r. razi. Tafsir Fakhru’r Razi jilid III hlm 189. Juga lihat Abdur Rahman Al Jazairi. Kitaabu’l Fiqh ala mazahibi’l Arbaah jilid IV hlm 1 dan seterusnya.3 Soedaryo Soimin ,S.H dalam bukunya Hukum Orang dan Keluarga mengatakan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama ini menentukan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dan Negara, sebaliknya rusak dan kacaunya hidup bersama yang bernama keluarga ini akan menimbulkan rusak dan kacaunya bangunan masyarakat.

2

Page 3: Putusnya perkawinan

lahir batin antara seorang pri dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.4

BAB III PEMBAHASAN

4 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan3

Page 4: Putusnya perkawinan

Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan

Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk

selama-lamanya. Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan

perkawinan tidak dapat diteruskan.

Putusnya perkawinan serta akibatnya di atur dalam Bab VIII, Pasal 38

sampai dengan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan. Diatur juga dalam Bab V

Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Tata Cara Perceraian, Pasal

14 sampai dengan Pasal 36.

Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan perkawinan dapat putus

dikarenakan tiga hal, yaitu :

1. Kematian.

2. Perceraian, dan

3. Atas Keputusan Pengadilan.5

Sementara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai

putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 199, 200-206b, 207-232a dan 233-249.

Pasal 199 menerangkan putusnya perkawinan disebabkan:

a. Karena meninggal dunia,

b. Karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami isteri selama sepuluh

tahun diikuti dengan perkawinan baru sesudah itu suami atau isterinya

sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ke lima bab delapan

belas,

c. Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur

dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil,

sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini,

d. Karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga

bab ini.6

5 Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

6 Pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 4

Page 5: Putusnya perkawinan

1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian

Kematian merupakan suatu peristiwa alam yang tidak bisa lepas dari

kehidupan manusia. Kematian ini tentu mengakibatkan akibat hukum. Kematian

dalam hal perkawinan merupakan suatu peristiwa meninggalnya salah satu pihak

atau kedua pihak yang menjadi subjek hukum dalam perkawinan.

Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus

sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya

salah satu pihak maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih

kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara diwariskan.

Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak

mewaris dari ahli waris. Masalah kewarisan merupakan aspek yang sangat penting

dalam ajaran agama islam, banyak mempengaruhi kehidupan seseorang dengan

orang lain, seperti yang terjadi dalam budaya jahiliyah, hukum waris yang

dipedomani tidak memenuhi unsur keadilan, hasilnya juga banyak membawa

bencana dan persengketaan dengan para penerima waris.

Kewarisan adalah ilmu yang berhubungan dengan harta milik, jika dalam

pembagiannya tidak transparan dan hanya berdasarkan kekuatan hukum yang

tidak jelas, maka dikhawatirkan kemudian hari akan menimbulkan sengketa di

antara ahli waris.7

Sementara harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang

meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu merupakan sisa atau hasil

bersih, setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai kepentingan,

seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat.8

Penambahan kalimat “setelah harta yang ditinggalkan itu diambil

untuk berbagai kepentingan” menunjukkan adanya penyempitan definisi, yang

dipergunakan untuk membedakan harta warisan dengan harta peninggalan. Harta

peninggalan bersifat lebih umum sedangkan harta warisan lebih khusus karena

7 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005, hal. 398 Ibid, hal. 21

5

Page 6: Putusnya perkawinan

harta warisan juga dapat disebut dengan harta benda jika tidak dipotong dengan

dengan tiga kepentingan seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan

penunaian wasiat.

Dalam hal hidupnya waris, para ahli waris yang benar-benar hiduplah di

saat kematian muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaitan dengan

bayi yang masih berada dalam kandungan akan dibahas secara khusus.

Tidak ada penghalang kewarisan, dalam hal ini ahli waris tidak

mempunyai halangan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan-ketentuan

tentang penghalang kewarisan yang telah ditentukan..

2. Putusnya Perkawinan karena Perceraian

Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga sering kali tidak

dilaksanakan, sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan tenteram

serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain,

yang akibat lebih jauh adalah terjadinya perceraian.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak

memberikan batasan mengenai istilah perceraian. Berdasarkan ketentuan Pasal 39

ayat (1) Undang-undang Perkawinan ditentukan bahwa Perceraian hanya dapat

dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang mana untuk

melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak

akan dapat rukun sebagai suami isteri.

Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan

terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan

perceraian, yaitu:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

6

Page 7: Putusnya perkawinan

penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun beturut-

turut.tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat selama perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang

mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami

atau isteri;

e. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan terhadap pihak lain;

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah

tangga.9

Kepada mereka yang mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta

perceraian sebagai bukti berakhirnya perkawinan mereka. Akta perceraian

ditandatangani oleh panitera kepala.

Pasal 221 KUH Perdata yang menentukan setiap salinan putusan

perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan pada

instansi berwenang guna dicatatkan oleh Pejabat Pencatat pada buku register

perceraian. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa perceraian

dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung sejak

pendaftaran, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya

putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.

Selanjutnya dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan disebutkan

beberapa hal akibat hukum putusnya perkawinan yang dikarenakan oleh

perceraian :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada

9 Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan7

Page 8: Putusnya perkawinan

perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak

dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut

memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. 10

Pasal di atas memberikan pengertian bahwa :

a. Mantan suami atau isteri berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada

perselisihan mengenai penguasaan anak-anak , Pengadilan memberikan

keputusan.

b. Mantan suami bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana dalam kenyataan suami tidak dapat

memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa isteri ikut

memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/ atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri.

Kemudian dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian,

yaitu:

a. zinah,

b. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat

10 Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 8

Page 9: Putusnya perkawinan

c. penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau

dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah

perkawinan.

d. melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri

terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga

membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga

mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.

Perceraian dapat terjadi karena talak dan gugatan perceraian. Mengenai

Talak telah diatur dalam Pasal 117-122 KHI yang menentukan talak adalah ikrar

suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab

putusnya perkawinan.

Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang petitumnya memohon untuk

diizinkan menjatuhkan talak terhadap istrinya. Cerai talak yang diajukan oleh

suami yang telah, riddah (keluar dari agama Islam), produk putusannya bukan

memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talak, akan tetapi talak

dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar

Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat. Gugatan

hadhanah, nafkah anak, nafkah istri, mut'ah, nafkah iddah dan harta bersama

suami istri, dapat diajukan bersama-sama dengan cerai gugat. Selama proses

pemeriksaan cerai gugat sebelum sidang pembuktian, suami dapat mengajukan

rekonvensi mengenai penguasaan anak dan harta bersama.

Dalam perkara cerai gugat, istri dalam gugatannya dapat mengajukan

gugatan provisi, begitu pula suami yang mengajukan rekonvensi dapat pula

mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Pemeriksaan dan penyelesaian cerai gugat yang diajukan istri atas dasar

alasan suami zina, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku pada gugat

9

Page 10: Putusnya perkawinan

cerai biasa, yaitu dilakukan pembuktian dengan saksi atau sumpah pemutus, atau

atas dasar putusan Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap

bahwa suaminya melakukan tindak pidana zina.

Akhirnya Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu

dinyatakan di depan sidang pengadilan.

Dalam hal perkawinan putus karena perceraian, maka harta diatur

menurut hukumnya masing-masing. Penjelasan pasal tersebut menerangkan

bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” adalah hukum

agama, hukum adat dan hukum-hukum positif yang lain.

3. Putusnya Perkawinan karena Putusan Pengadilan

Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dapat terjadi, karena

adanya seseorang yang meninggalkan tempat kediamana bersama, sehingga perlu

diambil langkah-langkah terhadap perkawinan orang tersebut, untuk kepentingan

keluarga yang ditinggalkan. Perceraian membawa akibat yang luas bagi

perkawinan, bagi suami-isteri, harta kekayaan perkawinan maupun bagi anak-

anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.

Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan juga bisa terjadi karena

adanya permohonan dari salah satu pihak suami atas istri atau para anggota

keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua

calon mempelai. Atas permohonan ini pengadilan memperbolehkan perkawinan

yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan dengan syara’ atau

perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam Undang-

Undang perkawinan maupun menurut hukum agama.

Putusnya Perkawinan atas Putusan Pengadilan dapat terjadi apabila

dilakukan di depan Pengadilan Agama, baik itu karena suami yang menjatuhkan

cerai (talak), ataupun karena isteri yang menggugat cerai atau memohon hak talak

sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam agama Islam, perkawinan yang putus

karena perceraian dianggap sah apabila diucapkan seketika oleh suami, namun

harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya adalah untuk melindungi

10

Page 11: Putusnya perkawinan

segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum perceraian itu.

Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan

berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian bagi pemeluk agama Islam

proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan Agama (Undang-

undang N0. & tahun 1989 tentang Peradilan Agama), sedangkan bagi pemeluk

agama non Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan

Negeri.

Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak

bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya

campur-tangan dari Pemerintah, namun demi menghindarkan tindakan sewenang-

wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka

perceraian harus melalui saluran lembaga Pengadilan.

Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan

di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang

beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa

perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan namun karena

ketentuuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka

sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini.

Akibat perceraian baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara

dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Ketika

suatu saat ada perselisihan mengenai hak penguasaan atas anak, maka Pengadilan

akan memberikan keputusannya. Dan harus diterima oleh para pihak. Dalam hal

ini kekuasaan orang tua menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 bersifat

tungga. Artinya, walaupun telah terjadi perceraian, kekuasaan orang tua atas anak

yang masih di bawah umur tetap berjalan, tidak berubah menjadi perwalian seperti

pengaturan dalam KUH Perdata (pasal 298, 299).11

11 Pasal 298 “Tiap-tiap anak, dalam umur berapapun juga, berwajib menaruh kehormatan dan kesegaran terhadap bapak dan ibunya. Si bapak dan si ibu keduanya berwajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau untuk menjadi wali tak membebaskan mereka dari kewajiban, memberi tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan itu. Terhadap anak-anak yang telah dewasa, berlakulah ketentuan-ketentuan tercantum dalam bagian ketiga bab ini”

11

Page 12: Putusnya perkawinan

Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat

atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,

Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu

rumah.

Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat

atau tergugat, Pengadilan dapat:

Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami,

Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan

pendidikan anak,

Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-

barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang

menjadi hak isteri (pasal 24 PP No. 9 tahun 1975)

Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak

dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bawhwa ibu

ikut memikul biaya tersebut.

Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan / atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya

(pasal 41)

Perwalian tidak timbul setelah terjadinya perceraian, pewalian menurut

Undang-undang Perkawinan ialah bagi anak yang belum mencapai usia genap 18

tahun atau belum melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah

kekuasaan orang tua. Mereka yang di bawah kekuasaan orang tua adalah anak sah

yang belum genap berumur 18 tahun.

Pasal 299 “Sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa, tetap bernaung di bawah kekuasaan mereka, sekadar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu”

12

Page 13: Putusnya perkawinan

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

Pada hakekatnya setiap manusia memiliki nafsu dan akal fikiran. Untuk

mangaktualisasikan berkah dari Tuhan yang berupa nafsu dan fikiran ini manusia

bisa merealisasikannya dengan saling cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan

saling menjaga satu sama lainnya. Dalam hubungannya antara manusia yang satu

dan manusia yang lain tentu harus ada norma-norma atau nilai-nilai yang harus

dipatuhi. Manusia tidak lantas bebas berbuat apa saja dengan manusia yang lain.

Sebagai contoh, untuk dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya sebagai

13

Page 14: Putusnya perkawinan

suami dan isteri, manusia harus mensahkannya dengan perkawinan. Dan

kemudian mendaftarkan perkawinannya tersebut sehingga perkawinan tersebut

memperoleh kepastian hukum. Baik dari segi agama maupun dari segi hukum.

Namun suatu saat dalam hubungan keluarga pasti ada saja yang berjalan

tidak sesuai dengan rencana. Perkawinan bisa saja putus di tengah jalan. Dan hal

itu disebabkan oleh para pihak sendiri maupun oleh pihak lain.

Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu :

1. Kematian.

2. Perceraian, dan

3. Atas Keputusan Pengadilan.

Meskipun dalam suatu perkawinan kelak akan terjadi banyak masalah,

tetapi alangkah lebih baiknya kalau permasalahan itu masih bisa diselesaikan

dengan cara baik-baik, jangan pernah berfikiran Pemutusan perkawinan adalah

jalan satu-satunya. Kecuali memang perkawinan itu putus disebabkan oleh

kematian. Kita tidak bisa menolaknya. Karena kematian adalah hak prerogatif

Tuhan.

BAB V DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005

Abdur Rahman Al Jazairi. Kitaabu’l Fiqh ala mazahibi’l Arbaah jilid IV Mochtar, Drs.Kamal.Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Penerbitan Bulan Bintang Jakarta. Cetakan pertama 1974.

14

Page 15: Putusnya perkawinan

Ibnu’I Humam Fat-hu’I Qadir jilid II hlm 357; Fakhru’r. razi. Tafsir Fakhru’r Razi jilid III hlm 189.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek / BW)

Ny. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, Tahun 2004, hal. 103

Soimin, S.H, Soedaryo.1992.Hukum Orang dan Keluarga.Jakarta:Sinar Grafika.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

15