putusnya perkawinan karena perceraian terhadap …

48
PENELITIAN MANDIRI PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN Oleh : ANAK AGUNG SRI INDRAWATI, SH., MH. NIP. 1957 1014 1986 01 2001 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2018

Upload: others

Post on 21-Nov-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

PENELITIAN MANDIRI

PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN

TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN

Oleh :

ANAK AGUNG SRI INDRAWATI, SH., MH.

NIP. 1957 1014 1986 01 2001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018

Page 2: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …
Page 3: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

iii

KATA PENGANTAR

"OM SWASTYASTU"

Fuji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa /

Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya maka penulisan

Laporan Penelitian Mandiri dengan judul " PUTUSNYA PERKAWINAN

KARENA PERCERAIAN TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN "

dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam penysunan laporan ini penulis mendapatkan banyak bantuan baik

moril dan materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan yang

berbahagia ini, dengan tulus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada rekan-rekan Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang

telah membantu dalam penelitian sampai selesainya laporan ini.

Mengingat keterbatasan wawasan pemikiran dan pengetahuan penulis,

tentunya dalam laporan ini akan masih dijumpai berbagai kelemahan. Oleh karena

itu segala petunjuk, saranserta kritik sangat penulis harapkan, dan akan

diperhatikan dengan sebaik-baiknya demi kesempurnaan laporanpenelitian ini.

Akhir kata; penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi para

pembaca.

“OM SANTHI SHANTI SHANTI OM”

Denpasar, Desember 2018

Penulis

Page 4: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iv

ABSTRAK ....................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 4

1.3 Ruang Lingkup Masalah ........................................................... 4

1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................... 5

1. Tujuan Umum ....................................................................... 5

2. Tujuan Khusus ...................................................................... 5

1.5 Manfaat Penelitian .................................................................... 6

1. Manfaat Teoritis ................................................................... 6

2. Manfaat Praktis ..................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 7

2.1 Pengertian dan Fungsi Harta Perkawinan ................................. 7

2.2 Jenis-jenis Harta Perkawinan ................................................... 11

2.2.1 Harta Bawaan .................................................................. 11

2.2.2 Harta Penghasilan ........................................................... 17

2.2.3 Harta Pencaharian ........................................................... 18

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 25

Page 5: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

v

3.1 Jenis Penelitian ......................................................................... 25

3.2 Jenis Pendekatan ....................................................................... 25

3.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................. 26

3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................ 26

3.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................ 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 28

4.1 Sebab-sebab Putusnya Perkawinan .......................................... 28

4.2 Terbentuknya Harta Bersama dalam Perkawinan .................... 30

BAB V PENUTUP ....................................................................................... 40

5.1 Simpulan ................................................................................... 40

5.2 Saran-saran ............................................................................... 40

DAFTAR BACAAN ........................................................................................ 41

Page 6: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

vii

ABSTRAK

Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang tentunya akan

menimbulkan akibat-akibat hukum. Sedangkan akibat hukum dalam hubungan

perkeluargaan diatur oleh hukum keluarga dan akibat hukum dalam bidang harta

kekayaan diatur oleh hukum benda perkawinan. Akibat perkawinan terhadap harta

kekayaan dalam perkawinan merupakan masalah yang menarik untuk diteliti,

terkait terbentuk dan pembagian harta bersama dalam perkawinan.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian

normatif, dengan pendekatan peraturan perundang-undangan/statue approach dan

menggunakan bahan hukum untuk teknik pengolahan dan analisa bahan hukum.

Hasil penelitian ini adalah terbentuknya harta bersama dalam perkawinan

semenjak terjadinya perkawinan dan pembagiannya terhadap harta bersama

adalah dibagi dengan tidak mempersoalkan hasil jerih payah suami atau istri.

Kata Kunci: Perceraian, Harta Bersama.

Page 7: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Keanekaragaman adat istiadat yang ada di Indonesia mempunyai

perbedaan baik mengenai sistem hukumnya maupun jenis-jenis kebudayaannya,

Walaupun demikian dalam Negara Republik Indonesia yang tercipta suasana

kesatuan cita-cita bangsa, perbedaan-perbedaan tersebut disatukan dengan

lambang Bhineka Tunggal Ika, yang artinya walaupun berbeda-beda adat istiadat

dan kebudayaan dari masyarakat Indonesia tatapi tetap bersatu di bawah naungan

Pancasila sebagai dasar Negara.

Dengan berbedanya sistem hukum masing-masing daerah ini sering

menjadi penghambat terjadinya perkawinan karena tidak adanya kesamaan

budaya kedua belah pihak dan ada pada akhirnya menimbulkan ketegangan antara

mereka.

Di samping itu perbedaan tersebut juga menimbulkan persoalan dalam

harta benda dan merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai

perselisihan atau ketegangan dalam hidup perkawinan sehingga mungkin akan

menghilangkan kerukunan hidup rumah tangga.1

Dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, yang

merupakan hukum perkawinan nasional yang berlaku bagi seluruh warga Negara

Republik Indonesia berikut Peraturan Pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah

1Wantjik Saleh K., 1974, Hukum Perkawinan Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia,

Jakarta, h. 35.

Page 8: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

2

Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1980, tentang

Ijin Perkawinan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, yang pada prinsipnya

semuanya menginginkan suatu tujuan perkawinan yang seperti yang ditentukan

dalam ketentuan-ketentuan dalam pasal (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,

sebagai berikut: "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa". Untuk

mencapai tujuan perkawinan ini, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,

menentukan:

1. Harus dipenuhi syarat sahnya perkawinan sebagaimana ditentukan

dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan sebagai berikut:

"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu".

2. Pasal 39 menentukan:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan

setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara

suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam

peraturan perundang-undangan tersendiri.

Page 9: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

3

3. Perkawinan yang telah dinyatakan sah menurut undang-undang

ini mempunyai akibat hukum terhadap kedudukan suami istri, harta

benda dalam perkawinan dan kedudukan anak.

4. Demikian pula jika terjadi perceraian, mempunyai akibat hukum

terhadap kedudukan suami istri, anak dan harta benda perkawinan.

Khusus mengenai harta benda dalam perkawinan maupun perceraian

diatur dalam Pasal 35-37 Undang-undang Perkawinan yang menentukan sebagai

berikut:

Pasal 35 :

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda

yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di

bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain.

Pasal 36 :

(1) Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas

persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai

hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta

bendanya.

Pasal 37 :

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

hnkumnya masing-masing.

Page 10: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

4

Berdasarkan Pasal 35 s/d 37 Undang-undang Perkawinan ini dapat

diketahui, bahwa mengenai harta benda perkawinan ini ditentukan bahwa jika

dalam suatu perkawinan tidak ditentukan lain, maka harta diperoleh selama

perkawinan menjadi harta bersama. Apa yang dimaksud tidak ditentukan lain

dalam pasal 35 ayat 2 tidak ada penjelasannya. Namun apabila perkawinan putus,

maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Lebih

lanjut dan penjelasan pasal 37 dijelaskan yang dimaksud dengan hukum masing-

masing ialah Hukum Agama, Hukum Adat dan hukum-hukum lainnya.

Mengingat bahwa di Indonesia terdapat berbagai variasi hukum agama,

hukum adat, maka melalui tulisan ini diteliti khususnya tentang pelaksanaan

pembagian harta bersama bila terjadi perceraian.

Berdasarkan dari latar belakang di atas menarik untuk diteliti masalah

tersebut, yang diberi judul: ''PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA

PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA”.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang timbul yang berkaitan dengan latar belakang di

atas, sebagai berikut :

1. Bagaimanakah terbentuknya harta bersama dalam perkawinan?

2. Bagaimanakah pembagian harta bersama apabila terjadinya perceraian?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam pembahasan masalah ini perlu dipaparkan mengenai ruang lingkup

isi pokok yang akan dibahas atau diuraikan agar tidak terjadi hal-hal yang

Page 11: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

5

menyimpang dari ketentuan masalah yang seharusnya dibahas. Dalam tulisan ini

akan dibahas sekitar masalah:

1. Dalam permasalahan yang pertama, lingkupan permasalahannya mengenai

terbentuknya harta bersama dalam perkawinan.

2. Dalam permasalahan yang kedua, lingkupan permasalahannya mengenai

pembagian harta bersama bila terjadi perceraian.

1.4 Tujuan Penelitian

Setiap tulisan yang bersifat ilmiah sudah barang tentu di dalamnya

terkandung maksud dan tujuan penulisannya. Tujuan dapat dikelompokkan

menjadi 2 (dua) bagian yaitu :

1. Tujuan umum

a. Untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya di bidang Hukum

Perkawinan.

b. Untuk memahami dan mendalami pembagian harta bersama dalam

terjadinya perceraian.

2. Tujuan khusus

a. Untuk lebih memahami terbentuknya harta bersama dalam perkawinan.

b. Untuk memahami dan mendalami pembagian harta bersama dalam terjadi

perceraian berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Page 12: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

6

1.5 Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum yakni Hukum Perdata terutama

dalam hubungannya dengan Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama dalam

terjadinya Perceraian sesuai dengan Undang-undang No. l Tahun 1974.

Melalui penelitian ini juga diharapkan dapat menemukan argumentasi-

argumentasi hukum baru yang bermanfaat bagi pengembangan Hukum

Perdata khususnya yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada

masyarakat dan pemuka Desa dalam menyelesaikan permasalahan pembagian

harta bersama jika terjadi perceraian.

Page 13: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Fungsi Harta Perkawinan

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 35 dinyatakan

bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,

sedang harta bawaan dari masing-masing pihak suami-istri dan harta benda yang

diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah

penguasaaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Selanjutnya di dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan apabila perkawinan

terputus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing, yaitu

hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain (penjelasan Pasal 35, 37,

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).

Menurut Hukum Adat yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah

semua harta yang dikuasai suami-istri selama mereka terikat dalam ikatan

perkawinan yang sah, baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta

perseorangan yang bersal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan

sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah

semuanya itu dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianutnya setempat dan

bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami istri tersebut2.

2Hilman Hadikusuma, 1977, Hukum Perkawinan Adat, Penerbit Alumni,

Bandung, (selanjutnya disebut Hilman Hadikusuma I), h. 155.

Page 14: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

8

Sesungguhnya harta perkawinan ini merupakan modal kekayaan yang

dapat dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-

hari, suami istri dan anak-anaknya di dalam suatu rumah (serumah).3

Di dalam suatu rumah keluarga kecil (Dezin, Belanda) dan satu rumah

keluarga besar (Familio, Belanda) yang setidak-tidaknya dari satu rumah tangga

kakek atau nenek, kita tidak dapat begitu saja memisahkan antara harta

perkawinan yang disebut harta keluarga dengan harta kerabat oleh karena

masyarakat adat ada yang bersedikan kekeluargaan (kerukunan keluarga) semata-

mata. Begitu pula ada suami istri yang bertanggung jawab atas kehidupan dengan

anak-anaknya saja, tetapi ada juga suami istri yang tidak semata-mata terikat

bertanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya.

Sesungguhnya tidak dapat dielakan karena perkembangan masyarakat

yang kian hari bertambah maju, kehidupan kekerabatan itu akan terdesak oleh

kehidupan serumah saja, terutama kalau dilihat bagaimana kehidupan masyarakat

di kota-kota besar, tetapi oleh karena kehidupan masyarakat itu lebih banyak di

desa dan masih ada hubungannya dengan kehidupan desa, maka kesadaran hukum

masayarakat desa masih harus diperhatikan. Masih merupakan kenyataan bahwa

di lingkungan masyarakat adat kekerabatan kehidupan keluarga masih teratur dan

anak-anak masih terpelihara untuk tidak menjadi kabur keinginannya. Maka dari

itu kedudukan harta perkawinan kita kenal sebagai modal kekayaan untuk

membiayai kehidupan rumah tangga suami istri dan anak-anaknya, maka dari itu

3Soerojo Wignjodipuro, 1985, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Penerbii Gunung

Agung, Jakarta,, h. 149.

Page 15: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

9

harta perkawinan dapat kita golongkan dalam beberapa macam sebagaimana kita

kenal di bawah ini:

1. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri sebelum

perkawinan, yaitu harta bawaan.

2. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri secara

perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu harta

penghasilan.

3. Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan

sebagai hadiah, disebut hadiah perkawinan.4

Perkawinan bertujuan untuk memperoleh keturunan di samping tujuan

pokok itu juga untuk dapat bersama-sama hidup pada suatu masyarakat dalam

perikatan kekeluargaan.

Fungsi perkawinan tersebut hanya mungkin dicapai bila di antara suami

istri saling membantu melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan

keperibadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.5

Guna keperluan hidup bersama-sama tersebut diperlukan suatu kekayaan

duniawi yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai ongkos-

ongkos kehidupan mereka sehari-hari beserta anak-anaknya, kekayaan duniawi

inilah yang disebut harta perkawinan, harta kekayaan yang merupakan duniawi

guna memenuhi segala keperluan hidup. Keluarga kecil ini wajib dibedakan dari

harta perkawinan dengan harta kerabat ini sangat lemah dan tidak mudah dilihat

4Hilman Hadikusuma I, Op. Cit, h, 157.

5 Lili Rastiji, 1982, Alasan-alasan Perceraian Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, Alumni, Bandung, h. 2.

Page 16: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

10

tetapi juga kadang-kadang sangat jelas dan tegas. Dalam suatu keluarga atau

masyarakat di mana hubungan kekeluargaan atau ikatan kerabat masih kuat

kadang-kadang kekuasaan kerabat itu mencampuri pula urusan harta keluarga,

tetapi sebaliknya apabila ketentuan-ketentuan keluarga kecil yang memegang

peranan lebih penting dalam struktur kemasyarakatan yang bersangkutan maka

pengaruh kekerabatan menjadi lebih sekali dan ternyata dalam proses

perkembangan jaman ini gejala dalam hukum adat memperlihatkan apa yang

disebut keluarga kecil atau serumah ini akan terdiri dari suami istri dan anak-

anaknya. Keluarga kecil atau serumah ini dalam masyarakat Indonesia, terutama

di kota-kota besar yang merantau ke luar daerah aslinya ke daerah lain di

Indonesia makin lama makin lebih melepaskan diri dari ikatan keluarga yag lebih

luas.

Jadi harta perkawinan atau harta keluarga yang demikian pada umumnya

diperuntukkan pertama-tama bagi keperluan keluarga kecil, yaitu suami istri dan

anak-anaknya untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pengadaan harta

atau kekayaan yang merupakan harta serumah dalam suatu rumah tangga bagi

suatu keluarga yang baru pada umumnya di samping harta yang dimiliki oleh

kedua suami istri itu sebelum mereka mengadakan perkawinan, biasanya mereka

pun telah mendapatkan harta dari keluarga atau pihak orang tua masing-masing.

Hal ini misalnya walaupun kedua suami istri pada waktu muda adalah orang-

orang mampu atau berada, biasanya orang tua sesuai dengan hukum yang ada di

masyarakat tersebut tidak sampai hati kalau tidak memberikan anak-anaknya harta

sedikit dari masing-masing keluarga baik dari pihak laki-laki maupun wanita.

Page 17: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

11

2.2 Jenis-jenis Harta Perkawinan

2.2.1 Harta Bawaan

Harta bawaan ini, baik harta bawaan istri maupun harta bawaan suami yang

masih dapat dibedakan lagi, antara lain:

a. Harta peninggalan

Yang dimaksud harta peninggalan adalah harta barang-barang yang

dibawa oleh suami istri ke dalam perkawinan yang berasal dari peninggalan

orang tua untuk diteruskan penguasaannya dan pengaturan pemanfaatannya

guna kepentingan para ahli waris.

Harta itu tidak dibagi-bagi kepada setiap ahli waris, para ahli waris

hanya mempunyai hak mewarisi. Seperti di daerah Lampung dalam adat

mereka perkawinan anak tertua laki-laki akan selalu diikutsertakan dengan

harta peninggalan orang tuanya untuk mengurus dan membiayai kehidupan

adik-adiknya, demikian juga di daerah Bali apabila harta peninggalan karena

sesuatu kebutuhan hidup yang mendesak akan dijual maka ia harus minta

persetujuan dan pendapat para ahli waris lain.

b. Harta warisan

Yang dimaksud harta warisan adalah harta atau barang-barang yang

dibawa oleh suami istri ke dalam perkawinan, yang berasal dari harta warisan

orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan, dan yang seperti di

Bali disebut "bebaktaan".

Barang-barang bawaan istri yang berasal dari pemberian barang-

barang warisan orang" tuanya seperti "sesan" di Lampung, dalam bentuk

Page 18: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

12

perkawinan jujur, setelah terjadi perkawinan dikuasai oleh suami untuk

dimanfaatkan guna kepentingan kehidupan rumah tangga keluarga. Kecuali

yang menyangkut hukum agama, seperti mas kawin yang merupakan hak

milik pribadi si istri.

Di Daerah Pasemah, harta asal warisan yang diikutsertakan orang

tuanya pada mempelai wanita ke dalam suatu perkawinan nampaknya tetap

menjadi hak penguasaan dan pemilikan istri untuk diwariskan pada anak-

anaknya. Bila ia meninggal sebelum mempunyai keturunan maka barang-

barang itu dibawanya kembali ke tempat asalnya.6

Di daerah Lampung dan Batak yang melarang terjadinya perceraian

dalam suatu perkawinan jujur maka istri tidak berhak membawa kembali

barang-barang pemberian orang tua dan kerabatnya yang telah masuk ke

dalam perkawinan. Apabila kerabat istri meminta kembali barang-barang

bawaan itu berarti menghendaki pecahnya hubungan kekerabatan itu (antar

besan). Maka uang jujur harus dikembalikan lagi, apabila hal ini sampai

terjadi maka pertentangan akan menjadi berlarut-larut dan kerabat yang

bersangkutan dapat didenda oleh masyarakat adat dikarenakan merusak adat.

c. Harta hibah atau wasiat

Yang dimaksud di sini adalah atau barang-barang yang dibawa oleh

suami atau istri ke dalam perkawinan yang berasal dari hibah atau wasiat dari

saudara-saudara ayah yang keturunannya putus.

6Ter Har B. dan K. Ng. Soebekti Poesponoto, 1980, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,

Pradnya Paramita, Jakarta, h. 222.

Page 19: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

13

Harta bawaan hibah atau wasiat ini dikuasai oleh suami atau istri yang

menerimanya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan keluarga atau rumah tangga

lainnya sesuai dengan amanat yang menyerahi harta itu. Harta hibah atau

wasiat ini dapat diteruskan kepada ahli waris yang ditentukan menurut hukum

adat setempat.7 Di Aceh orang tua bisa menghibahkan rumah dan pekarangan

untuk anak perempuan sebelum pewaris itu wafat dengan berwasiat.8

Biasanya hibah atau wasiat itu jumlah hartanya tidak boleh melebihi

sepertiga dari semua harta yang ada dan merupakan harta warisan. Walaupun

tidak ada larangan hibah atau wasiat itu dapat ditarik kembali namun apabila

hal itu sudah terucapkan jarang sekali akan ditarik kembali.

Hukum adat tidak menentukan bahwa hibah atau wasiat itu bersifat

rahasia, terbuka atau tertulis sendiri tetapi jika mungkin itu dapat saja

dilakukan namun yang bisa berlaku adalah menurut hukum adat setempat

yang mana cukup diucapkan di hadapan istri dan anak-anaknya dan keluarga

dekat lainnya.9 Bagi keluarga yang mengikuti ajaran agama Islam maka hibah

atau wasiat itu harus diucapkan di hadapan saksi-saksi dan harus ada

kesesuaian dari si penerima hibah. Baik hukum Adat maupun hukum Islam

ucapan hibah atau wasiat dapat ditarik kembali oleh yang mengucapkan

selama ia masih hidup baik dalam bentuk ucapan maupun dalam bentuk

perbuatan, misalnya harta hibah atau wasiat itu bukan diserahkan pada si

wajib menerimanya tetapi malahan dijual kepada orang lain.

7Hilman Hadikusuma I, Op. Cit., h. 159.

8Hilman Hadikusuma, 1980, Hukum Adat Waris. Penerbit Alumni,

Bandung, (selanjutnya disebut Hilman Hadikusuma III), h. 68. 9Hilman Hadikusuma I, Op.Cit., h. 222.

Page 20: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

14

d. Harta pemberian atau hadiah

Yang dimaksud adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh

suami atau istri ke dalam perkawinan yang berasal dari pemberian atau hadiah

para anggota kerabat yang mungkin juga orang lain karena hubungan baik,

misalnya ketika akan melangsungkan perkawinan anggota kerabat memberi

mempelai pria, ternak untuk dipelihara guna bekal kehidupan rumah

tangganya atau kerabat wanita memberi mempelai wanita barang-barang

perabot rumah tangga untuk dibawa ke dalam perkawinan sebagai barang

bawaan. Ada yang berpendapat bahwa antara barang-barang yang dikuasai

atau dimiliki istri atau suami yang berasal dari warisan terpisah kedudukannya

dengan yang bersal dari hibah sampai barang-barang tersebut diteruskan pada

anak-anaknya. Oleh karena kedudukan barang-barang warisan itu adalah hak

penguasaan dan pemilikan suami istri bersangkutan dalam hubungannya

dengan pewarisannya.

Jadi jika perkawinan putus karena salah satu dari istri atau suami wafat

atau karena cerai hidup tanpa meninggalkan anak, maka harta bawaan asal

warisan itu harus kembali ke keluarga asal, sedang harta bawaan hasil hibah

atau dikuasai oleh ahli waris yang wafat.10

Akan tetapi kalau dilihat Pasal 35

dan Pasal 36 ayat 2, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan

bahwa Pasal 35 berbunyi: harta bawaan dari masing-masing suami dan istri

dan harta benda yang diperoleh oleh masing-masing sebagai hadiah atau

warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak

10

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h. 90.

Page 21: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

15

tidak menentukan lain. Selanjutnya dalam Pasal 36 ayat (2) berbunyi:

mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa setelah berlakunya Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974, dengan sendirinya kalau kita menganalisis bunyi Pasal 35 dan

36 ayat (2) mengenai harta bawaan yang kami uraikan di atas tadi merupakan

suatu pertentangan dengan Undang-undang perkawinan, sedang Undang-

undang Perkawinan menghendaki bahwa harta bawaan berada di tangan

masing-masing sepanjang tidak ditentukan lain.

Dalam hal cerai hidup biasanya harta bersama dibagi sama rata, akan

tetapi harta asal atau harta bawaan tidak dikembalikan pada asalnya. Perlu

dicatat bahwa di kalangan orang Batak perceraian tidak perlu si istri keluar

dari ikatan kekeluargaan suaminya, sehingga tidak ada kebutuhan untuk

membagi harta bersama oleh karena ia tetap berada dalam lingkungan sosial

yang sama. Masalah yang timbul bila istri keluar dari ikatan suaminya adalah

mengenai harta kekayaan, di dalam hal ini perceraian tersebut maka terhadap

pembagian harta kekayaan tersebut diputus oleh rapat pemuka-pemuka

masyarakat yang memutuskan berapa bagian istri yang didasarkan pada besar

kecilnya kesalahan yang pernah diperbuat bahkan kemungkinan besar ia tidak

memperoleh apa-apa karena kesalahannya yang besar, kemudian kalau ada

utang yang pertama-tama dipakai untuk melunasinya adalah masing-masing

harta bawaan atau harta asal. Apabila harta tadi tidak mencukupi maka barulah

Page 22: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

16

harta bersama dipergunakan untuk maksud tersebut dengan perbandingan

yang serasi dan sesuai.

Menurut Undang-undang Perkawinan, Pasal 35 maka ditentukan

bahwa:

1. Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri maupun harta yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan berada di bawah

penguasaan masing-masing.

Mengenai harta bersama suami istri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing

mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum.11

Apabila

perkawinan putus pembagian harta perkawinan dilakukan menurut hukumnya

masing-masing. Pendapat R. Wirjono Prodjodikoro, tentulah tidak sesuai

dengan kedudukan harta perkawinan dalam suatu masyarakat adat yang

patrilinial yang menganut adat perkawinan jujur seperti berlaku di kalangan

masyarakat adat Lampung, oleh karena di sini pada dasarnya baik istri

maupun harta bawaannya setelah masuk dalam ikatan perkawinan jujur seperti

berlaku di kalangan adat Lampung, oleh karena di sini pada dasarnya baik istri

maupun harta bawaannya setelah masuk dalam ikatan perkawinan menjadi

milik bersama dan dikuasai suami dan diatur serta dimanfaatkan bersama

dengan istrinya.12

11

Soerjono Sukarto, 1980, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, h. 63.

12

Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit, h. 90.

Page 23: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

17

Dalam masyarakat Bali terdapat harta guna kaya (druwe Gabro)

pengurusannya dilakukan oleh pihak suami sesuai dengan sistem kekeluargaan

patrilinial yang terdapat dalam masyarakat hukum adat di Bali.13

Dalam

masyarakat Adat Lampung yang beradat Pepaduan tidak dibolehkan adanya

cerai istri dan cerai harta perkawinan, begitu pula sebaliknya dalam sistem

kekerabatan patrilinial dengan bentuk perkawinan semenda pada dasarnya

semua harta perkawinan itu dikuasai istri dan dimanfaatkan bersama-sama

dengan suami. Ada kemungkinan istri dalam perkawinan jujur dengan suami

mendapat pemberian barang-barang tetap dari orang tua atau kerabatnya,

barang tetap seperti ini walaupun telah menjadi barang bawaan namun oleh

karena letaknya masih di tempat kerabat istri, maka pengawasannya masih

dipengaruhi oleh kekuasaan kerabat istri, dengan demikian penguasaan suami

atas tanah tersebut masih dibatasi oleh kekuasaan kerabat istri.

2.2.2 Harta Penghasilan

Ada kalanya suami atau istri sebelum melangsungkan perkawinan telah

menguasai atau memiliki harta kekayaan tersendiri, baik yang berupa barang

tetap, maupun benda bergerak yang didapat mereka dari usaha dan tenaga hasil

pemikiran sendiri termasuk juga utang piutang perseorangan. Adapun harta atau

barang hasil usaha sendiri ini tidak saja terdapat di kota-kota di kalangan

masyarakat yang telah maju, tetapi juga terdapat di kalangan masyarakat tani di

pedesaan, harta penghasilan ini terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat,

13

Beni I Wayan, 1978, Hukum Adat dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia (UU

No. I Tahun 1974), Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum, Fakultas Hukum dan Pengetahuan

Masyarakat Universitas Udayana Denpasar, h. 31.

Page 24: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

18

pemiliknya dapat juga melakukan transaksi atas harta kekayaan tersebut tanpa

bermusyawarah dengan anggota kerabat yang lain atau keluarga yang lain. Namun

demikian apabila barangnya adalah barang tetap pada umumnya masih hak

ketetanggaan (nastingarecht). Setelah terjadinya perkawinan harta kekayaan

pribadi istri akan dapat bertambah banyak dengan adanya pemberian barang-

barang dari suami sebagai pemberian perkawinan.14

Mas kawin yang pada umumnya berlaku di kalangan masyarakat beragama

Islam dan barang-barang yang sifatnya pribadi lainnya, juga barang magis atau

denda adat yang harus dibayar suami kepada istri seperti yang terdapat di

Kalimantan. Di Daerah Sumatera Selatan harta kekayaan penghasilan suami

sebelum disebut harta penantian. Di Bali tidak dibedakan antara hasil istri atau

hasil suami sebelum perkawinan kesemuanya itu disebut guna kaya.

2.2.3 Harta Pencaharian

Dengan dasar modal yang diperoleh suami istri dari harta bawaan masing-

masing dan harta penghasilan masing-masing sebelum perkawinan, maka setelah

perkawinan dalam usaha suami istri membentuk dan membangun rumah tangga

keluarga yang bahagia dan kekal, mereka berusaha dan mencari rejeki bersama-

sama sehingga dari sisa belanja sehari-hari akan dapat berwujud harta kekayaan

sebagai hasil pencaharian bersama yang disebut harta pencaharian tidak

merupakan persoalan apakah dalam mencari harta kekayaan suami aktif bekerja

sedangkan istri mengurus rumah tangga dan ke semua harta kekayaan yang

14

Hilman Hadikusuma I, Op. Cit., h. 161.

Page 25: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

19

didapat suami istri itu adalah hasil pencaharian yang berbentuk harta bersama

suami istri atau disebut di Bali drue gabro.15

Dalam hubungan sehari-hari istri sebagai ibu rumah tangga dapat menjadi

bendaharawan rumah tangga yang berperan membantu mengurus harta kekayaan.

Ada kalanya dalam melaksanakan usaha bersama ini suami istri mencari hasil

pencaharian mereka bersifat saling bantu membantu, misalnya suami mencangkul,

istri menanam bibit, suami berbelanja mencari barang dagangan istri menunggu di

toko dan lain-lain, atau bukan saja bantu membantu tenaga melainkan

memasukkan modal kerja yang mungkin berasal dari harta bawaan mereka

masing-masing guna mendapatkan keuntungan dari usaha bersama itu, harta

bersama dalam Undang-undang Perkawinan itu pengaturannya termuat dalam Bab

VII pada Pasal 36 ayat (1), dan Pasal 37.

Pasal 35 ayat (1), menyatakan harta benda yang diperoleh selama

perkawinan menjadi harta bersama, dari bunyi Pasal 35 ayat (1) tentang

pengertian harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan.

Undang-undang tidak menyebutkan atas jerih payah siapa harta benda itu

diperoleh, di pihak lain harta benda macam apa saja yang dikualifisir menjadi

harta bersama itu, sehingga di sini dapat dipersoalkan apakah harta kekayaan atau

harta benda yang bersifat seperti hak cipta yang diperoleh seorang suami atas istri

selama perkawinan juga menjadi harta bersama. Seperti halnya dengan barang

asal yang tetap terikat kepada kesatuan kerabat asal maka lazim pulalah bahwa

harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama suami istri,

15

Hilman Hadikusuma I, Op. Cit., h. 162.

Page 26: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

20

sehingga merupakan harta kekayaan (bagian dari harta keluarga) yang bila perlu

khususnya dalam hal putusnya perkawinan suami istri dapat menuntut hak atas

harta tersebut masing-masing untuk sebagian.16

Penjelasan Pasal 35 Undang-undang Perkawinan menerangkan apabila

perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-

masing, sedang menurut Pasal 30 Undang-undang Perkawinan, maka perkawinan

dapat putus karena:

a. Kematian

b. Perceraian

c. Atas putusan pengadilan

Bila penjelasan Pasal 35 Undang-undang Perkawinan di atas dihubungkan

dengan Pasal 38 Undang-undang Perkawinan, kemudian dihubungkan pula

dengan Pasal 37 Undang-undang termaksud, yang menyatakan bila perkawinan

putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.,

maka sebenarnya apa yang diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 38 Undang-undang

Perkawinan ini sudah tertampung pengaturannya dalam Pasal 35 dan Pasal 38

undang-undang termaksud. Terulangnya Pasal 37 terhadap perkawinan pada Pasal

19 Peraturan Pelaksanaan Perkawinan, PP Nomor 10 Tahun 1975, mengenai

alasan perceraian. Walaupun demikian penjelasan Pasal 37 Undang-undang

Perkawinan telah memberikan suatu kelebihan, keterperincian dan keterangan

terhadap maksud dari persatuan hukumnya masing-masing.

16

Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Penerbit Liberty, Yogyakarta, h.50.

Page 27: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

21

Penjelasan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan ini menyatakan, yang

dimaksud hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan

hukum lainnya. Perkataan hukum lainnya pada Pasal 37 Undang-undang

Perkawinan ini maksudnya adalah untuk membuka kemungkinan hukum lain

daripada hukum agama, umpanya hukum Perdata Barat (BW) yang pengaturan

harta bersama terhadap golongan orang-orang Timur Asing Tionghoa, orang-

orang golongan Eropa yang dipersamakan dengan mereka yang berada di

Indonesia.

Terbukanya hukum lain dari hukum agama adat bagi pengaturan harta

bersama ini adalah untuk menghindari adanya atau terjadinya kekacauan hokum

dalam tatanan hukum Negara kita.17

Akan tetapi bagaimanakah pengaturan harta

bersama ini kalau suami istri yang semula ketika melangsungkan perkawinan

sama-sama agama Islam tetapi kemudian si istri memeluk agama Hindu yang

justru kepindahan istri ke agama lain mengakibatkan perkawinan mereka menjadi

putus, sehingga suami istri berbeda agamanya dan berebeda pula hukum

agamanya. Berbeda agama antara suami istri bukan saja menimbulkan persoalan

hukum mana yang harus diterapkan dalam mengatur harta bersama (membagi

harta bersama itu).

Dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Perkawinan yang menyatakan

mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua

belah pihak, kalau kita melihat kedua bunyi pasal tersebut bahwa harta bersama

17

Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan

Indonesia, Penerbit: Alumni Bandung, h. 29.

Page 28: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

22

dapat dipergunakan atau dipakai oleh suami atau istri untuk apa saja dan berapa

pun banyaknya asal ada persetujuan kedua belah pihak.18

Adanya hak suami atau istri untuk mempergunakan atau memakai harta

bersama ini dengan persetujuan kedua belah pihak adalah sudah sewajarnya,

mengingat bahwa kedudukan dan hak suami istri adalah seimbang dalam

lingkungan kehidupan rumah tangga dan pergaulan dalam masyarakat di mana

masing-masing berhak melaksanakan perbuatan hukum sebagaimana hal ini

ditegaskan dengan jelas dalam pasal 31 ayat (1) dalam Undang-undang

Perkawinan, ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) yang mensejajarkan antara

hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan

hidup dan kehidupan masyarakat modern, yang sekarang sangat jauh sekali

berbeda dengan kehidupan masyarakat sebelum adanya Undang-undang

perkawinan dianggap dan dinyatakan tidak cakap untuk melaksanakan perbuatan

hukum.

Pada pasal 108 KUHPer, yang menyatakan:

Seseorang istri biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah

berpisah dalam hal sekaligus, namun ia tidak boleh menghibahkan barang

sesuatu atau memindahtangankan atau memperolehnya baik dengan cuma-

cuma ataupun atas beban melainkan dengan bantuan dalam akta atau ijin

tertulis dari suaminya, seorang istri biar ia telah dikuasakan oleh suaminya

untuk membuat suatu akta atau mengangkat suatu perjanjian sekali pun,

namun tidaklah ia karena itu berhak menerima suatu pembayaran atau

memberi pelunasan atas itu tanpa ijin yang tegas dari suaminya.

18

Ibid, h. 29.

Page 29: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

23

Pasal 110:

Seorang istri biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan atau telah

berpisah dalam hal itu biar ia melakukan harta pencaharian atas usaha

sendiri sekali pun namun ia tidak bolehlah ia menghadap di muka hakim

tanpa bantuan suaminya.19

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa suami istri sama-sama

berhak untuk menggunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan

kedua belah pihak secara timbal balik, syarat kedua belah pihak saling menyetujui

hendaknya dipahami sedemikian rupa secara luas di mana tidaklah dalam segala

hal mengenai penggunaan atau pemakai harta bersama ini, dan diperlukan adanya

persetujuan kedua belah pihak secara formil dan secara tegas. Dalam beberapa hal

terbukti persetujuan kedua belah pihak ini harus dianggap ada sebagai persetujuan

yang diam-diam misalnya dalam hal mempergunakan atau memakai harta

bersama untuk keperluan hidup sehari-hari ini adalah untuk menghindari

kekakuan suami istri dalam pergaulan hidup bersama di tengah-tengah

masyarakat.

Tinjauan di beberapa daerah mengenai harta pencaharian di daerah

Minangkabau yang dimaksud harta suarang adalah harta yang diperoleh suami

istri karena keduanya bekerja bersama-sama, misalnya keduanya berdagang di

pasar dan sebagainya. Di daerah Bali harta guna kaya yang diperoleh

perseorangan suami atau istri baru dianggap harta bersama atau drue gabro

setelah berjalan tiga tahun dalam ikatan perkawinan.20

19

Lili Rasjidi, Op. Cit., h. 182. 20

Beni I Wayan, Op. Cit., h. 30.

Page 30: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

24

Di kalangan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan dari usaha bersama

yang menyebabkan adanya harta pencaharian, apabila terjadi perselisihan harus

dinilai beberapa banyak modal dan kerja suami istri selama pengumpulan harta

pencaharian itu.

Di dalam melaksanakan usaha dan pemanfaatan harta pencaharian

selanjutnya suami istri bermufakat dan mengambil keputusan serta persetujuan

bersama, keputusan yang diambil oleh suami tidak semua harus dianggap telah

disepakati istri, oleh karena keputusan suami dapat ditolak oleh istri dengan nyata

dikarenakan ia tidak setuju, misalnya suami membuat perjanjian hutang tanpa

pengetahuan dan persetujuan istri, maka apabila istri menolak pembayaran yang

harus bertanggung jawab hanya suami dengan harta kekayaan sendiri. Demikian

juga dapat terjadi sebaliknya karena perbuatan istri yang tidak diketahui dan

disetujui suami. Jadi menurut hukum adat kemungkinan istri ikut bertanggung

jawab atas hutang suami bahkan ada kalanya anggota kerabat lain yang ikut pula

menanggung hutang itu, tetapi kebanyakan yang berlaku istri tidak dapat

bertanggung jawab atas hutang suami yang tidak diketahui dan disetujuinya. Di

lingkungan masyarakat adat kekerabatan yang kuat pengaruh hutang istri atau

hutang suami merupakan hutang bersama, sedang pada lingkungan masyarakat

adat yang tidak bersendikan kekerabatan hal itu perlu adanya pemisahan.21

I Gusti Putu Gede Suwira, selaku Bendesa di Desa Adat Padangsambian

Kota Denpasar menyebutkan demikian adanya bahwa hutang istri atau hutang

suami adalah merupakan hutang bersama yang harus dibayar bersama dan

kadang-kadang keluarga pun ikut menanggung hutang tersebut.

21

Hilman Hadikusuma III, Op. Cit., h. 165.

Page 31: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

25

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, ada 2 jenis penelitian hukum, yaitu penelitian

hukum normatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis.22

Penelitian yang

akan diselenggarakan ini termasuk penelitian hukum normatif, yaitu penelitian

hukum yang didasarkan pada data sekunder.23

Penelitian hukum normatif ada juga

yang menyebutnya sebagai penelitian yang memfokuskan analisa pada norma

hukum dan meletakkan norma hukum sebagai obyek penelitian.24

Empiris (Empirical) adalah sesuatu yang berdasarkan eksperimen maupun

observasi terhadap fakta atau perkembangan fakta.25

3.2 Jenis Pendekatan

Berkaitan dengan penelitian ini dipergunakan beberapa jenis pendekatan

sehingga diperoleh suatu pembahasan permasalahan penelitian yang

komprehensif. Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perundang-

undangan (the statue approach) dan pendekatan analisa konsep hukum (analytical

and conceptual approach). Permasalahan penelitian dikaji dengan

mempergunakan interprestasi hukum dengan uraian yang argumentatif

berdasarkan teori, azas, dan konsep hukum yang relevan.

22

Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Rajawali, Jakarta, h.15. 23

Ibid. 24

Hans Kelsen, 2008, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, h. 62-63. 25

Henry Campbell dalam I.E. Wyasa Putra, 2005, Penelitian Hukum Empiris; Perspektif

Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 9.

Page 32: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

26

3.3 Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan

bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas seperti

perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

undangan, dan putusan hakim.26

Sementara bahan hukum sekunder (secondary sources), yaitu bahan

hukum yang memberikan penjelasan dari bahan hukum primer, seperti pendapat

dari para ahli, yang dapat berupa semua publikasi tentang hukum, buku teks,

jurnal hukum, komentar atas putusan hakim.27

3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumen. Bahan

hukum yang berhasil diinventarisir kemudian diidentifikasi dan diklasifikasikan

serta dilakukan pencatatan secara sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan

penelitian. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-

konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, penemuan-penemuan yang berhubungan

dengan permasalahan penelitian.28

3.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang berhasil diinventarisir, baik bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder dianalisis secara kualitatif dan komprehensif.

26

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Pranada Media, Jakarta, h. 142. 27

Ibid. 28

Ronny Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, h. 98.

Page 33: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

27

Kualitatif, artinya menguraikan bahan-bahan hukum yang mempunyai kualitas

dengan bentuk kalimat yang teratur, runut, logis, dan efektif, sehingga

memudahkan menginterprestasikannya. Sementara komprehensif, artinya analisa

dilakukan secara mendalam yang meliputi berbagai aspek sesuai dengan luas

lingkup penelitian. Setelah dianalisa selanjutnya bahan-bahan hukum tersebut

disajikan secara deskriptif analisis.

Page 34: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

28

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sebab-sebab Putusnya Perkawinan

Salah satu prinsip dalam hukum Perkawinan Nasional yang seirama

dengan ajaran Agama ialah mempersulit terjadinya peceraian (cerai hidup), karena

perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang

bahagia kekal dan sejahtera, akibat perbuatan amnesia. Lain halnya terjadi putus

perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa

yang tidak dapat dielakkan manusia. Nampaknya baik dalam KUH Perdata

maupun dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 putusnya perkawinan karena

kematian hampir tidak diatur sama sekali.29

Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami

istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Di dalam penjelasan

disebutkan bahwa alasan-alasan yang menjadi dasar untuk bercerai adalah:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, penjudi.

2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut

tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di

luar kemauannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan terhadap pihak lain.

29

Hilman Hadikusuma II, Op. Cit., h. 160.

Page 35: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

29

5. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit yang

mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.30

Putusnya Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan

Perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera, kekal

abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur di dalam

Undang-undang Perkawinan dapat putus, karena kematian, perceraian, atas

keputusan pengadilan, ketentuan ini diatur dalam Pasal 38 Undang-undang

Perkawinan.

Menurut ketentuan Pasal 39 ditegaskan, bahwa perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Melalui Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai putusnya perkawinan

terdapat di dalam Bab VIII Pasal 38 yang terdiri dari tiga macam, yakni:

a. Karena kematian;

b. Karena perceraian;

c. Atas keputusan Pengadilan.

30

Sudarsono, 2010, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, h. 116.

Page 36: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

30

Selanjutnya mengenai putusnya perkawinan ini dalam Kitab Undang-

undang Hukum Perdata dapat kita lihat di dalam buku I Titel X Pasal 199 di sana

disebutkan secara limitative bahwa perkawinan ini terputus, karena:

a. Kematian

b. Keadaan tidak hadirnya salah seorang suami istri selama sepuluh tahun dan

diikuti perkawinan dengan perkawinan baru sesudah itu oleh istri atau

suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian kelima Bab 18

(delapan belas).

c. Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur

(perceraian gantung) dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register

catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini.

d. Perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini.

Setelah kita ketahui beberapa hal mengenai putusnya perkawinan baik

menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun menurut Kitab Undang-

undang Hukum Perdata, akhirnya penulis hanya membatasi pada pokok

pembahasan sebagai berikut:

1. Perkawinan yang putus karena kematian;

2. Perkawinan yang putus karena putusan hakim setelah terjadi perpisahan meja

atau tempat tidur;

3. Perkawinan yang putus karena perceraian.

4.2 Terbentuknya Harta Bersama dalam Perkawinan

Ada istilah lain tentang persatuan/percampuran harta kekayaan, yaitu

kebersamaan harta kekayaan. Menurut sejarah maka dapatlah dikatakan, bahwa

Page 37: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

31

pengertian tentang persatuan harta kekayaan ini berasal dan diambil dari

Germania Kuno pada abad masa pertengahan. Dalam Hukum Romawi sendiri

tiada dikenal persatuan harta kekayaan itu, artinya suami istri tetap memiliki harta

kekayaan sendiri-sendiri.31

Dalam pengertian hak milik bersama yang terikat tidak dapat ditunjukkan

bagian masing-masing, artinya tidak dapat ditentukan bahwa milik suami atau istri

itu adalah separo-separo, sebagian milik suami dan sebagian lagi milik istri. Akan

tetapi dapat dengan tepat dinyatakan bahwa suami istri itu masing-masing

mempunyai hak bagian-bagian mereka masing-masing. Adanya milik bersama

terhadap barang-barang yang sedemikian ini adalah sudah merupakan gejala

umum dalam hukum adat, gejala dan asas umum pada hakikatnya adalah

merupakan konskwensi dari proses umum dalam perkembangan adat, yaitu bahwa

makin lama makin jelas kuatnya pertumbuhan kedudukan hukum, somah

(keluarga terdiri atas suami istri) di dalam suatu persekutuan hukum.

Menurut Ter Haar, di daerah Minangkabau timbulnya somah ini memang

kurang maju. Oleh karena itu, maka daerah ini, harta seorang ini (harta bersama),

hanyalah dianggap ada apabila suami dan istri bekerja bersama-sama untuk

mendapatkan barang-barang itu, misalnya mereka bekerja bersama-sama atau

bersama-sama menyelenggarakan perusahaan. Hasil kerja sama yang erat dan

mempunyai tujuan tertentu dan sempit inilah yang menjadi milik bersama. Tetapi

31

Soetojo Prawirohamijoyo R. dan Asis Safioedin. 1986. Hukum Orang dan Keluarga,

Penerbit: Alumni, Bandung , h. 58.

Page 38: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

32

juga di Minangkabau ini nampak jelas adanya suatu perubahan dalam

perkembangan masyarakat, yaitu gejala-gejala yang terwujud dalam penggantian

rumah family dengan rumah keluarganya (somah) dan rumah keluarga inilah yang

mempunyai pengaruh yang kuat dalam memperluas dibentuknya harta bersama

suami istri itu. Di lain-lain daerah yang mengenal adanya milik bersama suami

istri, menganggap termasuk milik bersama suami istri segala kekayaan yang

selama berlangsungnya perkawinan, diperoleh suami atau istri, asal saja dua-

duanya bekerja untuk keperluan somah. Dan pengertian bekerja itu sendiri lama-

kelamaan menjadi sangat luas dan kabur, sehingga istri yang pekerjaannya di

rumah saja yang pekerjaannya berupa memelihara anak dan mengurus rumah

tangga sudah dianggap bekerja juga. Sehingga juga dalam hal ini semua kekayaan

yang didapat oleh suami menjadi milik bersama itu sudah wajar, sebab meskipun

tidak bekerja sendiri untuk memperoleh barang-barang tersebut, namun dengan

memelihara anak-anak dan membereskan urusan rumah tangga itu, si suami telah

menerima bantuan yang sangat berharga serta yang sangat mempengaruhi secara

tidak langsung tambah atau kurangnya milik bersama itu. Apabila dalam

mengurus rumah tangga sehari-hari itu, istri dapat melakukan penghematan yang

pantas, maka secara langsung istri ini juga membantu dalam memelihara atau

memperbesar milik bersama suami istri. Oleh karena itu maka anggapan umum

kini mengatakan bahwa barang yang diperoleh dalam masa perkawinan selalu

menjadi milik bersama.32

32

Soerojo Wignjodipuro, Op. Cit., h. 158.

Page 39: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

33

Jadi harta bersama adalah harta yang diperoleh sebagai hasil usaha

bersama antara suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Semua harta yang

diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, dengan tidak

mempersoalkan hasil jerih payah pihak manakah harta itu. Sehubungan dengan

harta bersama, dapat dikemukakan suatu Keputusan Mahkamah Agung, tanggal 7

Nopember 1956 No.51/K/Sip/1956 yang merupakan salah satu Yurisprudensi

Hukum Adat yang mengatur tentang harta bersama.

Yurisprudensi ini menetapkan, bahwa menurut hukum adat semua harta

yang diproleh selama perkawinan termasuk dalam gono gini, meskipun hanya

mungkin hasil kegiatan suami istri.33

Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan, bahwa segala harta yang

diperoleh selama perkawinan berlangsung dalam wujud apapun harta itu adalah

termasuk ke dalam harta bersama. Tidak ditentukan syarat apa yang harus

dipenuhi agar harta itu digolongkan ke dalam harta bersama. Yang terpenting

adalah harta itu diperoleh selama perkawinan, tidak dipersoalkan apakah istri ikut

aktif dalam memperoleh harta itu ataukah harta itu nyata adalah hasil jerih payah

dari suami sendiri.

Adapun yang termasuk ke dalam harta bersama suami istri dalam

perkawinan meliputi:

33

Hilman Hadikusuma II, Op. Cit., h. 70.

Page 40: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

34

1. Segala hasil yang diperoleh selama perkawinan berlangsung dengan

bermodalkan harta benda perkawinan, baik itu harta benda bersama maupun

harta bawaan.

2. Segala penghasilan suami atau istri pribadi baik itu sebagai pedagang maupun

sebagai pegawai negeri.

Selama perkawinan berlangsung segala harta yang termasuk dalam harta

bersama diatur dan diurus suami istri bersama. Maksudnya adalah segala tindakan

yang menyangkut harta kekayaan bersama harus dilakukan atas persetujuan kedua

belah pihak dari suami istri.

4.3 Pembagian Harta Bersama dalam Terjadinya Perceraian

Sejak mulai perkawinan terjadilah percampuran antara harta kekayaan

suami dengan istri, hal tersebut apabila tidak ada perjanjian lain. Keadaan yang

demikian itu berlangsung seterusnya dan tidak dapat dirubah lagi selama

perkawinan. Undang-undang No. 1 Tahun 1974, memberikan pengaturan tentang

harta benda dalam perkawinan yang didasarkan pada pola hukum adat yaitu yang

menjadi harta bersama hanyalah harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau

warisan tetap dimiliki oleh masing-masing.

Jikalau orang ingin menyimpang dari peraturan umum tersebut ia harus

meletakkan keinginannya itu dalam suatu perjanjian kawin. Perjanjian yang

demikian ini harus diadakan sebelum pernikahan ditutup dan harus diletakkan

dalam perjaniian itu tak dapat dirubah selama perkawinan. Undang-undang

menghendaki supaya keadaan kekayaan dalam suatu perkawinan tetap ini demi

melindungi kepentingan pihak ketiga.

Page 41: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

35

Dalam perjanjian perkawinan dapat diperjanjikan bahwa meskipun akan

berlaku percampuran kekayaan antara suami dan istri, beberapa benda tertentu

tidak akan termasuk percampuran itu, juga seorang yang memberikan sesuatu

benda kepada salah satu pihak dapat diperjanjikan bahwa meskipun akan berlaku

percampuran kekayaan antara suami dan istri, benda yang demikian itu akan

menjadi milik pribadi yang memperolehnya.

Hak mengurus harta kekayaan bersama berada ditangan suami yang dalam

hal ini mempunyai kekuasaan yang sangat luas.34

Selain pengurusan itu tak

bertanggung jawab kepada siapa pun juga, pembatasan terhadap kekuasaan hanya

terletak pada larangan untuk memberikan dengan percuma benda-benda yang tak

bergerak atau seluruh atau sebagian dari semua benda-benda yang bergerak pada

orang lain selain kepada anaknya sendiri yang lahir dari perkawinan itu. Terhadap

kekuasaan suami yang sangat luas itu kepada istri hanya diberikan hak atau untuk

apabila si suami melakukan pengurusan yang sangat buruk meminta kepada

hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan, selain tindakan tersebut yang dapat

diambil oleh istri di dalam perkawinan ia juga diberikan hak untuk apabila

perkawinan pecah melepaskan haknya atas kekayaan bersama, tindakan ini

dengan maksud untuk menghindarkan diri dari penagihan hutang-hutang bersama

baik hutang itu telah diperbuat oleh suami maupun istri sendiri. Menghindari diri

dari hutang pribadi misalnya biaya perbaikan rumah pribadi si istri. Selanjutnya

dapat diterapkan bahwa uang dari buku tabungan pos, meskipun sudah jatuh

34

Hilman Hadikusuma III, Op.Cit, h. 68.

Page 42: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

36

dalam kekayaan bersama, si istri dapat memakai menurut kehendaknya sendiri

dan begitu pula halnya dengan gajinya asal saja mengenai hal ini untuk keperluan

keluarga.

Pada umumnya dianggap mungkin bahwa si suami dengan suatu kuasa

khusus mengusahakan istrinya untuk bertindak atas nama kekayaan bersama, dan

sudah tentu si suami dapat memberikan mengenai pekerjaan sendiri dari si istri.

Pencabutan yang demikian itu untuk dapat berlaku perlu diumumkan. Jikalau

suami istri tidak mempunyai benda-benda pribadi, soal tanggung jawab terhadap

hutang-hutang tersebut mudah saja akan tetapi itu menjadi agak sulit salah satu

diantaranya antara lain mempunyai kekayaan bersama juga mempunyai harta

kekayaan pribadi orang dikatakan bertanggung jawab jika ia dapat dituntut di

muka hakim, sedangkan bendanya dapat disita. Untuk menetapkan tanggung

jawab suatu hutang haruslah ditetapkan terlebih dahulu apakah hutang itu bersifat

pribadi ataukah suatu hutang bersama. Untuk suatu hutang pribadi harus dituntut

suami atau istri yang membuat hutang tersebut, sedangkan yang harus disita

pertama-tama adalah benda pribadi.

Apabila tidak terdapat benda pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi maka

dapatlah benda kekayaan bersama disita. Akan tetapi jika suami yang membuat

hutang benda kekayaan istri tidak dapat disita dan sebaliknya.

Terhadap harta kekayaan bersama, maka untuk pertama-tama harus disita

harta kekayaan bersama tersebut dan bila ini tidak mencukupi maka dapatlah

benda pribadi dari suami atau istri yang membuat hutang itu pula disita, dan ini

sudah tidak menjadi soal. Tetapi yang menjadi masalah apakah untuk hutang

Page 43: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

37

bersama yang dibuat oleh si suami, benda pribadi si istri dapat disita atau

sebaliknya. Mengenai masalah ini ada beberapa pendirian tetapi pemecahannya

yang paling memuaskan dan paling sesuai dengan semangat Undang-undang

adalah suami selalu dapat dipertanggungjawabkan untuk hutang-hutang bersama

yang dibuat oleh suaminya.

4.4 Pembagian Harta Bersama dalam Pelaksanaannya Jika Terjadi

Perceraian

Harta bersama pada prinsipnya berasal dari harta pencaharian, yaitu harta

yang diperoleh sebagai hasil kerja sama dari suami istri selama berada dalam

ikatan perkawinan. Harta bersama (drue gabro) dalam suatu keluarga yang kekal,

berada dalam kekuasaan dan pengawasan dari suami dan istri mempunyai hak

yang sama atas harta bersama (drue gabro) itu. Pada prinsipnya segala perbuatan

hukum yang berkenaan dengan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan

dari suami istri, bahkan transaksi-transaksi tertentu sering dilakukan oleh suami

istri secara bersama-sama.

Dalam hal perkawinan bubar karena perceraian harta bersama (drue

gabro) itu harus dibagi dua antara suami dengan istri. Perceraian ini akan terjadi

apabila dalam suatu keluarga mengalami cekcok secara terus menerus dan tidak

mungkin hidup rukun kembali dalam suatu keluarga. Sehubungan dengan

perceraian dapat saya kemukakan suatu pandangan adat yang mengatur sebagai

berikut:

Page 44: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

38

Perceraian pada keluarga Bali adalah hal yang terpaksa, hal yang sudah tak

dapat didamaikan lagi di antara suami dan istri. Terutama bagi pihak

wanita, cerai adalah hal yang hina, sebab kedudukan wanita yang sudah

kawin telah keluar dari lingkungan keluarganya.35

Apabila hal ini kita kaitkan dengan ketentuan Undang-undang No. 1

Tahun 1974, maka di mana dalam Pasal 39 ayat (1) mengatur: "Perceraian hanya

dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah pengadilan bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak". Jadi menurut

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan, bahwa perceraian sah bila

dilakukan di depan sidang pengadilan.

Apabila terjadi perceraian, maka akan menimbulkan akibat hukum bagi

harta bersama (drue gabro) yang ada dalam rumah tangga tersebut. Pengaturan

harta bersama menurut ketentuan hukum adat dalam terjadinya perceraian adalah

sebagai berikut: "antara suami dan istri akan sama-sama berhak atas bagian harta

bersama (drue gabro)". Adapun bagian yang diterima oleh masing-masing pihak

suami istri menurut adat adalah didasarkan atas pertimbangan 2 : 1 (sarambet

sesuhun), yaitu 2 (dua) untuk suami dan 1 (satu) untuk istri. Bahkan ada juga

pembagian didasarkan atas perimbangan 1:1. Sehubungan dengan pembagian

harta bersama (drue gabro) saya akan mengemukakan dua pandangan sarjana

hukum adat yang satu sama lain saling berhubungan. Adapun sarjana tersebut,

adalah Soeripto berpendapat, bahwa:

35

Soeripto, 1979, Hukum Waris Adat Bali, Penerbit: Fakultas Hukum Universitas Negeri

Jember (UNEJ), Penerbit Kedua (II), h. 107.

Page 45: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

39

Bilamana ada perceraian hidup (bukan disebabkan kesalahan istri (janda)

maka pada umumnya harta drue gabro (jawa: gono-gini) akan dibagi

menurut perimbangan serembet sesuhunan (jawa: sepikul segandeng), 2:1,

satu bagian untuk bekas istri/janda dan dua bagian untuk bekas suami atau

drue gabro dibagi dengan perimbangan 1 : 1.36

Apabila diberikan pendapat sarjana di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa pembagian harta bersama (drue gabro) belumlah menunjukkan satu

kesatuan, karena masih menunjukkan adanya dua kemungkinan, yaitu berdasarkan

perimbangan 2:1, atau dapat juga didasarkan perimbangan 1:1, dan lebih jauh

dapat juga disimpulkan bahwa berlaku bagi perceraian yang bukan disebabkan

oleh karena kesalahan istri/janda.

Djaren Saragih mengemukakan, bahwa “Perceraian disebabkan istri

berbuat zinah menimbulkan akibat yang merugikan pihak istri, kadang-kadang ia

mengembalikan jujur yang pernah ia terima dan meninggalkan ikatan perkawinan

dengan tidak membawa apa-apa.37

Setelah melihat pandangan para sarjana tersebut mengenai pendapatnya

terhadap pembagian harta bersama, maka dapat dinyatakan bahwa apabila terjadi

perceraian dan ada keturunan atau anak sebelum mereka bercerai maka

pembagian harta bersama menurut hukum adat akan tetap dengan perimbangan

2:1, karena yang akan mengurus dan bertanggung jawab terhadap anak atau

keturunannya tersebut adalah pihak suami, sehingga dengan demikian

perimbangan 2:1, tersebut sesungguhnya satu untuk bagian suami, satu untuk

bagian si anak dan satu bagian lagi untuk si istri, dan hal ini kalau dilihat dalam

lingkungan masyarakat patrilinial.

36

Soeripto, Op. Cit. h. 142. 37

Djaren Saragih, Op. Cit., h. 86.

Page 46: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

40

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Terbentuknya harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang

diperoleh sebagai hasil usaha bersama suami istri sejak terjadinya

perkawinan, dengan tidak mempersoalkan hasil jerih payah suami atau

istri.

2. Pembagian harta bersama dalam hal terjadinya perceraian adalah:

a. Harta bawaan suami istri terbagi kepada para pihak masing-

masing.

b. Harta yang diperoleh karena penghasilan selama perkawinan dibagi

menurut masing-masing agama dan kepercayaan.

5.2 Saran

1. Agar suami dan istri dalam hal terjadi perceraian mempertimbangkan,

tidak merugikan salah satu pihak terkait harta bersama.

2. Hendaknya suami dan istri membagi harta bersama secara adil tanpa

mempersoalkan hasil jerih payah masing-masing.

Page 47: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

41

DAFTAR BACAAN

A. BUKU-BUKU

Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan

Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung.

Beni I Wayan, 1978, Hukum Adat dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia

(UU No. I Tahun 1974), Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum, Fakultas

Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar.

Djaren Saragih, 1977, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung.

Hans Kelsen, 2008, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung.

Henry Campbell dalam I.E. Wyasa Putra, 2005, Penelitian Hukum Empiris;

Perspektif Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu Hukum, Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

Hilman Hadikusuma, 1977, Hukum Perkawinan Adat, Penerbit

Alumni, Bandung.

______, 1980, Hukum Adat Waris. Penerbit Alumni, Bandung.

______, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia. Mandar Maju, Bandung.

Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Lili Rastiji, 1982, Alasan-alasan Perceraian Menurut Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Alumni, Bandung.

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Pranada Media, Jakarta.

Ronny Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri,

Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soerojo Wignjodipuro, 1985, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Penerbit

Gunung Agung, Jakarta.

Soerjono Sukarto, 1980, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung.

Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Rajawali, Jakarta.

Page 48: PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP …

42

Soetojo Prawirohamijoyo R. dan Asis Safioedin. 1986. Hukum Orang dan

Keluarga, Penerbit Alumni, Bandung.

Soeripto, 1979, Hukum Waris Adat Bali, Penerbit Fakultas Hukum Universitas

Negeri Jember (UNEJ), Penerbit Kedua (II).

Sudarsono, 2010, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Ter Har B. dan K. Ng. Soebekti Poesponoto, 1980, Asas-asas dan Susunan

Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

Wantjik Saleh K., 1974, Hukum Perkawinan Indonesia, Penerbit Ghalia

Indonesia, Jakarta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KUHPer (BW) terjemahan Subekti R. dan Tjitrosudibio R., Kitab Undang-undang

Hukum Perdata (BW) dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria

dan Undang-undang Perkawinan (Nomor 1 Tahun 1974), Pradnya

Paramita, Jakarta.

Undang-undagn Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Penjelasannya, Aneka,

Semarang.