analisis masalah skenario c blok 19
DESCRIPTION
analisis masalah skenario c blok 19 2015TRANSCRIPT
ANALISIS MASALAH
1. Apa etiologi dan mekanisme mata sulit dibuka pada kasus?
Terdapat 4 kelas berdasarkan etiologinya :
1) Acquired autoimmune
2) Transient neonatal disebabkan transfer maternal dari antibodi anti-AChR.
3) Drug Induced : D-penicillamine merupakan prototipe obat yang dapat
mencetuskan MG. Presentasi klinis tampaknya identik dengan acquired
autoimmune MG dan antibodi terhadap AChR dapat dijumpai. Obat lain yang
dapat menyebabkan kelemahan yang menyerupai MG atau dapat mengeksaserbasi
kelemahan MG mencakup curare, aminoglikosida, quinine, procainamide, dan
calcium channel blocker.
4) Congenital myasthenic syndrome.
Mata yang sulit dibuka terjadi karena adanya kelumpuhan pada muskulus levator
palpebral yang dipersarafi oleh nervus occulomotorius.
2. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus?
Tabel 1. Uji diagnostik pada myasthenia gravis
Tabel 2. Tes kuantitatif pada Myasthenia Gravis
1) Tes Tensilon
Tes edrofonium (tensilon) dapat membantu dalam mendiagnosis MG. Edrofonium
adalah antikolinesterase short-acting,dengan onset kerja 30 detik dan efeknya akan
bertahan selama sekitar lima menit. Pemberiannya akan menyebabkan
peningkatan ketersediaan ACh sementara di NMJ yang cukup untuk
meningkatkan kekuatan secara sementara. Untuk melakukan tes edrofonium,
diperlukan akses vena dan dimulai dengan pemberian edrofonium dengan dosis 2
mg (0,2 ml), karena beberapa pasien sangat sensitif dengan dosis rendah. Jika
tidak ada respon setelah 30 detik, sisa 8 mg diberikan secara bertahap yaitu 2 mg
setiap 10-15 detik. Tes ini dilaporkan positif jika ada perbaikan kelemahan yang
nyata.Oleh sebab itu, tes ini paling bermanfaat pada pasien dengan ptosis yang
signifikan atau kelemahan otot ekstraokuler yang dapat dinilai secara objektif. Tes
edrofonium memiliki risiko yang serius berupa bradikardi dan / atau hipotensi.
Oleh karena itu, tes ini harus dilakukan hanya bila diagnosis myasthenia gravis
sangat mendesak dan ada fasilitas untuk resusitasi. Sensitivitas tes edrofonium
dilaporkan 86% pada MG okular dan 95% untuk MG general.
2) Ice pack test
Tes ini dapat digunakan jika dijumpai ptosis. Pemberian kompres es pada kelopak
mata yang terkena dampak memperbaiki ptosis karena MG pada 80% kasus tetapi
tidak memperbaiki ptosis akibat etiologi lain. Respon dapat dijelaskan atas dasar
peningkatan safety factor pada NMJ dengan pendinginan lokal yang mungkin
disebabkan oleh melambatnya kinetik AChR. Respon tidak sepenuhnya
disebabkan oleh istirahat. Tes ini jauh lebih sederhana daripada tes edrofonium
dan tidak memerlukan pemantauan jantung.
3) Uji serologis
Antibodi AChR dijumpai pada sebagian besar pasien MG. Terdapat tiga tipe
antibodi yang terdeteksi, yaitu AChR-binding antibodies, AChR-modulating
antibodies dan AChR-blocking antibodies. Peningkatan kadar satu atau lebih dari
ketiga antibodi tersebut dijumpai pada 80-90% pasien MG. Antibodi
AChRbinding adalah antibodi yang paling sering diuji dan diidentifikasi.
Pengukuran antibodi AChR binding menggunakan AChR skeletal manusia yang
dimurnikan dan diinkubasi dengan imunoglobulin serum pasien. Uji ini sangat
spesifik. Antibodi AChR binding dijumpai pada 80% pasien miastenia general dan
hanya pada 55% pasien dengan miastenia okular. Uji antibodi AChR-modulating
mengukur tingkat degradasi labeled AChR. Antibodi AChR-blocking
berkompetisi untuk tempat pengikatan ACh atau menghambat ikatan antara α-
bungarotoxin, suatu antagonis kolinergik yang irreversible, dengan AChR. Tes
serologis kini dianggap sebagai baku emas dalam diagnostik. Tes ini sangat
spesifik untuk MG. Titer antibodi tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit.
Pada pasien dengan gejala MG yang tidak menunjukkan antibodi anti-AChR, uji
serologis dapat ditujukan untuk mengetahui adanya anibodi anti-MusK. Sekitar
5% pasien MG tidak menunjukkan antibodi terhadap reseptor ACh maupun anti-
MuSK.
4) Elektrofisiologi
Pemeriksaan konduksi sensorik dan motorik biasanya normal. Terdapatnya
variabilitas motor unit action potential (MUAP) yang tidak stabil merupakan
temuan yang sangat membantu dalam diagnosis MG (Gambar 1). Untuk
melakukannya, MUAP tunggal ini diisolasi dan dilihat berulang-ulang
menggunakan delayed trigger line bersama dengan peningkatan filter setting
frekuensi rendah (500 Hz) dan kecepatan sweep yang cepat (1-2 m/s). Variabilitas
MUAP ini analog dengan respon decremental respon pada stimulasi berulang,
blocking pada single fiber electromyography (SFEMG), dan kelemahan fatigable
yang dialami oleh pasien. Uji elektrodiagnostik yang lazim digunakan untuk
mengidentifikasi gangguan transmisi neuromuskular postsynaptic adalah respon
decremental terhadap stimulasi berulang yang lambat, dengan frekuensi ≤ 5 Hz,
dimana 2 atau 3 Hz biasanya digunakan. Dalam keadaan normal, compound
muscle action potentials (CMAPs) dengan amplitudo yang sama akan terjadi tanpa
batas karena safety margin dari EPP.
Tes elektrofisiologi yang lazim digunakan adalah RNS dan SFEMG. Stimulasi
saraf berulang menunjukkan penurunan amplitudo progresif dari CMAP pada
stimulasi keempat ketika saraf diberikan stimulasi listrik supramaksimal berulang
dengan frekuensi 3 Hz. Pada subjek normal, respon keempat dapat juga sedikit
lebih kecil daripada yang pertama, tetapi penurunan tersebut tidak lebih dari 7%.
Jika pengurangan amplitudo > 10%, tes ini disebut positif (respon decremental).
Dengan stimulasi saraf yang rendah (2-5 Hz), RNS mengurangi simpanan ACh
pada NMJ. Hal ini menurunkan safety factor dan transmisi neuromuskular. Pada
kelainan NMJ, safety factor mengalami penurunan dan penurunan lebih lanjut
oleh RNS menyebabkan EPP gagal mencapai ambang depolarisasi. Ini
menyebabkan kegagalan untuk menimbulkan potensial aksi pada otot. Dengan
penurunan potensial aksi setrabut otot, CMAP menjadi berkurang dalam hal
amplitudo dan area dengan respon decremental.
Gambar 1. Instabilitas MUAP pada myasthenia gravis
Single fiber electromyography adalah tes yang paling sensitif pada MG. Pada tes
ini, potensial aksi yang dihasilkan oleh serabut otot yang berdekatan dari motor
unit yang sama, dicatat dengan elektroda. Ketika satu motor unit diaktifkan,
potensial aksi yang mencapai serabut otot tidak semua synchronous. Rerata
perbedaan antara dua serabut disebut 'jitter’ dan normalnya kurang dari 55 μsec.
Pada myasthenia gravis, interval atau jitter ini meningkat dan biasanya > 100
msec. Ini disebabkan oleh EPP yang rendah dan decremental pada MG. Dapat
dipahami bahwa EPP dengan amplitudo yang lebih rendah memakan waktu lebih
lama untuk mencapai ambang batas untuk mengaktifkan potensial aksi pada
serabut otot dibandingkan dengan amplitudo EPP normal.
Gambar 2. Pola respon decremental pada pemeriksaan RNS
5) Pencitraan
Computed tomography (CT) / manetic resonance imaging (MRI) toraks digunakan
untuk skrining adanya tumor timus. Pencitraan dapat digunakan setelah timektomi
untuk mencari sisa jaringan timus pada pasien yang tiba-tiba memburuk. Timus
biasanya dapat terlihat sampai dengan pertengahan dewasa. Menetapnya bayangan
timus setelah usia 40 tahun atau pembesaran timus pada scan serial seharusnya
segera dicurigai tumor timus.
3. Bagaimana komplikasi pada kasus?
Krisis miastenia adalah suatu eksaserbasi MG yang ditandai dengan bertambahnya
kelemahan yang menyebabkan episode gagal nafas akut yang menyebabkan ventilasi
mekanik. Kelemahan dapat melibatkan otot-otot pernafasan atau kelemahan bulbar,
yang mengganggu airway. Krisis miastenia adalah komplikasi MG yang paling
berbahaya dan mengancam hidup yang memerlukan perawatan intensif. Krisis
miastenia biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama setelah onset MG (74% pasien) dan
15-20% pasien dengan MG akan mengalami krisis miastenia.
SINTESIS MASALAH/ LEARNING ISSUE
Myasthenia Gravis
Myasthenia gravis adalah kelainan autoimun yang disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor
asetilkolin pada membran postsinaptik pada neuromuscular junction yang ditandai dengan
kelemahan dan kelelahan otot volunter.
Myasthenia gravis (MG) adalah kelainan autoimun yang ditandai dengan kelemahan dan
kelelahan otot-otot rangka yang disebabkan oleh adanya autoantibodi terhadap reseptor
acetylcholine (ACh) nikotinik pada neuromuscular junction (NMJ).
Myasthenia gravis merupakan kelainan yang cukup jarang dijumpai. Prevalensi MG sekitar
85-125 per satu juta penduduk dengan insidensi tahunan sekitar 2-4 per satu juta penduduk.
Penyakit ini memiliki dua puncak kejadian, yang pertama antara 20 hingga 40 tahun yang
didominasi wanita dan antara 60 hingga 80 tahun dengan perbandingan pria dan wanita yang
seimbang.
Karakteristik klinis dari MG berupa kelemahan otot yang berfluktuasi dan dapat 2,3
melibatkan kelompok otot tertentu. Kelemahan mata dengan ptosis asimteris dan diplopia
binokular adalah presentasi awal yang paling khas, sementara kelemahan orofaringeal atau
ekstremitas dini lebih jarang dijumpai. Perjalanan klinisnya bervariasi, dan sebagian besar
pasien dengan kelemahan okular pada awalnya akan mengalami kelemahan bulbar atau
anggota gerak dalam waktu tiga tahun sejak onset gejala awal. Myasthenia gravis memenuhi
kriteria untuk suatu kelainan autoimun yang diperantarai antibodi, yaitu : (a) antibodi
dijumpai pada area patologis, yaitu NMJ; (b) antibodi dari pasien MG atau antibodi anti
reseptor ACh (AChR) dari hewan percobaan menyebabkan gejala MG jika diinjeksikan ke
hewan; (c) Imunisasi hewan dengan AChR menyebabkan penyakit tersebut; (d) terapi yang
menghilangkan antibodi akan mengurangi keparahan gejala MG.
Gambar 3. Klasifikasi myathenia gravis
Myasthenia gravis disebabkan oleh proses imunologis yang diperantarai antibodi pada
membran postsinaptik. Pada pasien dengan kelemahan otot yang fluktuatif, diagnosis MG
didukung oleh: 1. Tes edrofonium yang menyebabkan perbaikan kekuatan motorik yang
nyata; 2. Tes elektrofisiologis dengan stimulasi saraf berulang (repetitive nerve
stimulation/RNS) dan/atau single-fiber electromyography (SFEMG); dan 3. Tes serologi
yang menunjukkan antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) atau terhadap muscle-
specific tyrosine kinase (MuSK).
Diagnosis banding meliputi congenital myasthenic syndrome, Lambert Eaton syndrome,
botulismus, keracunan organofosfat, acute inflammatory demyelinating polyneuropathy
(AIDP), motor neuron disease (MND),hipertiroid, dan iskemia batang otak.
Penatalaksanaan bersifat individual dan termasuk pengobatan simtomatik dengan inhibitor
cholinesterase dan immunomodulator dengan kortikosteroid, azathioprine,cyclosporine,dan
mycophenolate mofetil. Perbaikan sementara yang cepat dapat dicapai untuk krisis miastenia
dan eksaserbasi dengan plasma exchange (PEX) atau intravenous immunoglobulin (IVIG).
Kemajuan dalan tes diagnostik, imunoterapi, dan perawatan intensif, menyebabkan prognosis
menjadi lebih baik dengan dengan angka mortalitas kurang dari lima persen dan harapan
hidup mendekati normal.
DAFTAR PUSTAKA
Fitri, Fasihah Irfani. 2011. Jurnal : Myasthenia Gravis. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40820/1/MYASTHENIA%20GRAVIS.pdf
pada 8 september 2015 pukul 3.12
Shah, Aashit K. 2014. Myasthenia Gravis. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview pada 8 september 2015 pukul 3.24