skenario b blok 27 laporan
Post on 05-Dec-2015
31 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Skenario B Blok 27
1 jam sebelum masuk RS, Bujang dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan sepotong
kayu. Bujang pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali dan melaporkan kejadian
ini ke kantor polisi terdekat. Polisi mengantar Bujang ke RSUD untuk dibuatkan visum et
repertum, di RSUD Bujang mengeluh luka dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri
kepala hebat dan muntah.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan:
RR: 28 x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi: 50 x/menit, GCS: E4 M6 V5, pupil
isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjungtival bleeding (-)
Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan
dasar fraktur tulang.
Regio nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung
Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri.
Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:
Pasien ngorok, RR 24 x/menit, nadi 50 x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg.
Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, dan mengerang dalam bentuk kata-kata. Pupil
anisokor dextra, reflek cahaya pupil kanan negatif, reflek cahaya pupil kiri reaktif/normal.
Pada saat itu Anda merupakan Dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang
perawat.
Klarifikasi Istilah
1. Visum et repertum : Visum et repertum adalah hasil pemeriksaan seorang dokter,
tentang apa yang dilihatnya, apa yang diketemukannya, dan
apa yang ia dengar, sehubungan dengan seseorang yang luka,
seseorang yang terganggu kesehatannya, dan seseorang yang
mati. Dari pemeriksaan tersebut diharapkan akan terungkap
sebab-sebab terjadinya kesemuanya itu dalam kaitannya
dengan kemungkinan telah terjadinya tindak pidana.
2. Memar : jejas pada suatu bagian karena kerusakan kulit.
3. Pupil anisokor : ketidaksamaan ukuran diameter kedua pupil mata.
4. Pupil isokor : ukuran diameter kedua pupil mata sama.
5. Hematom : pengumpulan darah setempat, umumnya menggumpal, dalam
organ, rongga, atau jaringan, akibat pecahnya dinding
pembuluh darah.
6. Muntah : pengeluaran isi lambung melalui mulut
7. Sub-conjungtival bleeding : perdarahan pada daerah di bawah konjungtiva
Identifikasi Masalah
1. Bujang dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan sepotong kayu, Bujang pingsan
kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali.
2. Polisi mengantar Bujang ke RSUD untuk dibuatkan visum et repertum, di RSUD Bujang
mengeluh luka dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah.
3. Pemeriksaan saat sadar:
RR: 28 x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi: 50 x/menit, GCS: E4 M6 V5, pupil
isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjungtival bleeding (-)
Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan
dasar fraktur tulang.
Regio nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung
4. Pemeriksaan saat penurunan kesadaran:
Pasien ngorok, RR 24 x/menit, nadi 50 x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg.
Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, dan mengerang dalam bentuk kata-kata.
Pupil anisokor dextra, reflek cahaya pupil kanan negatif, reflek cahaya pupil kiri
reaktif/normal.
Analisis Masalah
1. Apa saja mekanisme trauma yang terjadi pada kasus ini?
Trauma akibat pukulan keras dan cepat menggunakan benda tumpul pada os cranium. Os
cranium merupakan suatu cavitas yang rigid, sehingga terjadi shock waves pada organ di
dalam cavitas cranium. Pada kasus ini pukulan mengakibatkan fraktur tulang, herniasi
unkus,, dan perubahan autoregulasi aliran darah ke otak.
2. Apa saja kemungkinan trauma yang terjadi pada kasus ini?
Trauma yang dialami oleh Bujang adalah trauma mekanik tumpul dengan jenis luka yang
dialami adalah luka memar dan luka robek.
3. Jenis-jenis cedera kepala?
Berdasarkan berat ringannya cidera:
a. Ringan
- GCS: 14-15
- CT scan atas indikasi
- Perawatan di rumah sakit atas indikasi
b. Sedang
- GCS: 9-13
- Lakukan ABC
- CT scan pada semua kasus
- Jika keadaan memburuk maka dirawat sebagai cidera kepala berat
c. Berat
- GCS: 3-8
- Lakukan ABC
- Reevaluasi
Berdasarkan morfologi:
a. Skull fractures
- Vault: depressed dan linier
- Basis
o Fossa anterior: rhinorhea, raccoon’s eye
o Fossa media: otorhea, battle sign
b. Brain injuries
- Fokal: epidural hematom, subdural hematom, intraserebral hematom
- Difus
Berdasarkan mekanisme cidera kepala:
a. Tajam
b. Tumpul
4. Makna klinis pingsan 5 menit kemudian sadar lagi dan pingsan lagi?
Gejala tersebut menunjukkan adanya lucid interval yaitu tenggang waktu antara kejadian
trauma kapitis dan mulai timbulnya penurunan kesadaran. Lucid interval merupakan
gejala khas pada epidural hematoma (EDH).
Mekanisme pingsan ± 5 menit lalu sadar :
Benturan kepalagoncangan pada batang otakpons turun, a. basilaris
meregangperfusi ke ascending reticulo activation system (ARAS)
terganggupenurunan kesadaranpingsan selama 5 menitstabil (ARAS kembali
berfungsi) sadar kembali
Mekanisme pingsan kembali :
Trauma kepala frakturpecahnya arteri meningea media di antara duramater dan
tengkorak pembentukan hematoma di epidural TIK ↑kompresi lobus temporalis
ke arah bawah dan dalam herniasi uncus melalui incisura tentorii menekan batang
otak (ARAS) penurunan kesadaran (pingsan) kembali
5. Apa tujuan dibuat visum et repertum?
Untuk mengungkapkan suatu fakta tentang sebuah kasus, penegak hukum wajib
mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang
ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah
sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-
undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI No.8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat 1
yang menyebutkan : Alat bukti yang sah ialah :
a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa
Pada kasus seperti pemerkosaan , penganiayaan, dan pembunuhan keterangan ahli yang
dimaksud salah satunya adalah keterangan dari dokter. Visum et repertum adalah hasil
pemeriksaan tertulis yang dianggap sah sebagai keterangan dari dokter.
6. Bagaimana sistematika dalam membuat visum et repertum?
a. Projustisia
Ditulis ‘pro justicia’ yang berarti demi keadilan dan ditulis di kiri atas sebagai
pengganti materai.
b. Pendahuluan
Berisi tentang : identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul diterimanya
permohonan visum et repertum, dentitas dokter yang melakukan pemeriksaan,
identitas objek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat,
pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan, alasan
dimintakannya visum et repertum, rumah sakit tempat korban dirawat sebelumnya,
pukul korban meninggal dunia, keterangan mengenai orang yang mengantar korban
ke rumah sakit.
c. Pemberitaan (pemeriksaan luar, dalam, dan ringkasan pemeriksaan luar dan dalam)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama
dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan
dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.
Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis
adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka
dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera,
karakteristiknya serta ukurannya. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan
korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali.
Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari :
1) Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan , baik pemeriksaan
fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu
hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang
berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
2) Tindakan dan perawatan berikut indikasinya , atau pada keadaan sebaliknya,
alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian
meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan
tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang
tepat tidaknya penanganan dokter dan tepat -tidaknya kesimpulan yang diambil.
3) Keadaan akhir korban , terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan
hal penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.
Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka
pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan
yang diberikan.
d. Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari
fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et repertum, dikaitkan
dengan maksud dan tujuan dimintakannya visum et repertum tersebut. Pada bagian
ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat
kualifikasi luka.
e. Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan
mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan
mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan .
Dibubuhi tanda tangan dokter pembuat visum et repertum.
7. Bagaimana mekanisme luka dan memar di kepala sebelah kanan, nyeri kepala hebat, dan
muntah?
Luka dan memar di kepala sebelah kanan
Pukulan di kepala dari arah samping→ penekanan kuat dan tiba-tiba pada pada kulit
kepala → kulit kepala pecah atau robek → luka
Pukulan di kepala dari arah samping dan depan → penekanan kuat dan tiba-tiba pada
pada tulang tengkorak → fraktur dan adanya pergeseran sementara pada otak →
CPP = MAP - ICP
robeknya arteri meningea media pada daerah epidural → darah mengisi daerah epidural
→ darah membeku → hematom (memar)
Nyeri kepala hebat disertai muntah
Nyeri kepala dan muntah pada kasus ini disebabkan oleh peningkatan tekanan
intracranial. Mekanisme peningkatan intracranial : Pukulan dari arah sampingfraktur
di os temporalruptur a. meningea mediahematoma epiduralketika kompensasi
tidak bisa terjadi lagiTIK↑ terjadi penekanan pada pusat muntahterjadi reflex
muntah.
8. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan saat sadar?
RR: 28 x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi: 50 x/menit.
RR: 28 x/menit (normal: 16-24 x/menit)
Takipneu, merupakan kompensasi dari ↓ perfusi otak untuk menjaga perfusi otak
adekuat.
Tekanan darah 130/90 mmHg (normal: 120/80 mmHg)
Hipertensi, kompensasi iskemik otak. Dengan rumus :
Jika tekanan intracranial meningkat maka MAP juga harus meningkat agar perfusi
otak tetap adekuat. Peningkatan MAP menyebabkan peningkatan tekanan darah.
TIK (ICP) ↑kompensasi untuk mempertahankan CPPpeningkatan
MAPhipertensi
Nadi: 50 x/menit (normal: 60-100 x/menit)
Bradikardi, akibat penekanan pada medulla oblongata yang selanjutnya merangsang
pusat inhibisi jantung.
GCS: E4 M6 V5, pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
Normal
Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjungtival bleeding (-).
Trauma kepala fraktur basis crania pecahnya arteri oftalmika darah masuk
kedalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita (brill hematom) darah tidak
dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita kelopakterbentuk gambaran
hitam kemerahan pada kelopak seperti seseorang yang memakai kacamata.
Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul
dengan dasar fraktur tulang.
Adanya trauma tumpul menyebabkan terjadi luka dengan tepi tidak rata dan sudut
tumpul, serta terjadi fraktur temporal.
Regio nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.
Dalam pemeriksaan fisik, di region nasal tampak darah segar yang mengalir dari
kedua lubang hidung yang menunjukkan terjadinya epistaksis bagian anterior.
Epistaksis disebabkan karena trauma akibat dari pukulan benda tumpul berupa kayu
yang kemungkinan menyebabkan rupturnya pleksus kieselbach atau arteri ethmoidalis
anterior.
9. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan saat terjadi
penurunan kesadaran?
Pasien ngorok, RR 24 x/menit, nadi 50 x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg
Pasien ngorok
Interpretasi: sumbatan jalan nafas
Mekanisme: Herniasi unkus penekanan pada medual oblongata sistem ARAS
terganggu penurunan kesadaran melemahkan refleks tegang lidah pangkal
lidah jatuh menutupi saluran nafas ngorok
RR 24 x/menit (normal: 16-24x / menit)
Peningkatan tekanan intracranial penurunan perfusi ke otak hipoksia
peningkatan usaha ventilasi oleh paru RR normal tinggi
Nadi 50 x/menit (normal: 60-100 x/menit)
Peningkatan tekanan intrakranial kompresi medulla oblongata ganguuan fungsi
pernapasan bradikardi
Tekanan darah 140/90 mmHg (normal: 120/80 mmHg)
Trauma tumpul temporal a. meningea media robek perdarahan epidural (perlu
pemeriksaan CT scan untuk memastikan) volume intracranial ↑ compliance
pertama oleh otak mengeluarkan CSF ke ruang spinal perdarahan masih
berlangsung compliance pertama tidak adekuat volume intracranial ↑
Tekanan intracranial terus ↑ Cerebral Perfusion Pressure ↓ CBF ↓
kompensasi peningkatan tekanan sistemik peningkatan tekanan darah (140/90
mmHg)
Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, dan mengerang dalam bentuk kata-kata
GCS 10
a. E 2 : Rangsangan nyeri
b. M 4 : Menghindar
c. V 4 : Jawaban kacau
Cedera Kepala Sedang (CKS):
a. Skor GCS 9-12
b. Ada pingsan lebih dari 10 menit
c. Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
d. Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.
Pupil anisokor dextra, reflek cahaya pupil kanan negatif, reflek cahaya pupil kiri
reaktif/normal
Trauma tumpul hematoma epidural perdarahan berlanjut, terjadi peningkatan
tekanan intrakranial hematoma meluas ke daerah temporal lobus temporalis
tertekan ke arah bawah dan dalam bagian medial lobus mengalami herniasi ke
bawah tepi tentorium menekan nukleus saraf nervus III (occulomotorius)
gangguan pada parasimpatis yang berfungsi untuk kontriksi pupil aktivitas saraf
simpatis menjadi lebih dominan pupil kanan (ipsilateral) midriasis.
10. Bagaimana cara penegakkan diagnosis dan pemeriksaan tambahan dalam kasus ini?
Hematoma epidural
a. Anamnesis
1) Adanya riwayat trauma kepala yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang
tengkorak dan laserasi pembuluh darah.
2) Terdapat lucid phase
3) Terdapat keluhan terjadinya peningkatan intracranial pressure seperti sakit kepala
yang berat dan muntah.
b. Gambaran Klinis
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien
dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang
telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga.
Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti.
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera
kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :
o Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
o Bingung
o Penglihatan kabur
o Susah bicara
o Nyeri kepala yang hebat
o Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
o Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
o Mual
o Pusing
o Berkeringat
o Pucat
o Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
o Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau
serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal
batang otak.
o Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval
bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.
c. Gambaran Radiologi
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali.
1) Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural
hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang
mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong
sulcus arteria meningea media.
2) Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara
intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi
dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di
daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas,
midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area
epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU),
ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi
duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.
Epistaksis
Anamnesis
o apakah perdarahan ini baru perlama kali atau sebelumnya sudah pernah
o kapan terakhir terjadinya.
o jumlah perdarahan
o Perlu lebih detail karena pasien biasanya dalam keadaan panik dan cenderung
mengatakan bahwa darah yang keluar adalah banyak. Tanyakan apakah darah yang
keluar kira-kira satu sendok alau satu cangkir Sisi mana yang berdarah jjga perlu
dilanyakan,
o Apakah satu sisi yang sama atau keduanya;
o Apakah ada trauma, infeksi sinus, operas hidung atau sinus
o apakah ada hipertensi
o keadaan mudah berdarah
o Apakah ada penyakit paru kronik, penyakit kardiovaskuler, arteriosklerosis; apakah
sering makan obat-obatan seperti aspirin atau produk antikoagulansia
a. Pemeriksaan keadaan umum
Tanda vital harus dimonitor. Segeralah pasang infus jika ada penurunan tanda vital,
adanya riwayat perdarahan profus, baru mengalami sakit berat misalnya serangan
jantung, stroke atau pada orang tua.
b. Pemeriksaan hidung
1) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat.
2) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
3) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
4) Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi
5) Skrinning terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin parsial,
jumlah platlet dan waktu perdarahan.
6) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang
mendasari epistaksis
Pemeriksaan tambahan yang diperlukan :
o Pemeriksaan darah rutin
o CT Scan untuk mengetahui ada tidaknya fraktur, pendarahan, hematoma, udem
dan kelainan otak lainnya & dapat ditentukan seberapa luas lesi, pendarahan dan
perubahan jaringan di otak.
o X-Ray mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
o Analisa Gas Darah medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Menilai kadar PCO2 dan PO2 yang penting dalam patofisiologi perdarahan
otak
PCO2 yang tinggi menyebabkan vasodilatasi vaskular otak yang memperparah
perdarahan.
o Elektrolit untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
o Rinoskopi atau nasoendoskopi (bila tersedia )Pemeriksaan trauma hidung dan
sumber perdarahan
o Ophthalmoscopymenilai adanya perdarahan intraocular, edema, foreign body,
retinal detachment, edema papil nervus II atau tidak.
o Factor pembekuan, clotting time, bleeding time
o Halo test, untuk menilai adanya cairan serebrospinal pada cedera kepala
11. Apa diagnosis banding pada kasus ini?
- Hematoma subdural, yaitu pengumpulan darah diantara dura mater dan arachnoid
- Hematoma sub-arachnoid, yaitu robeknya pembuluh-pembuluh darah di dalamnya
12. Epidemiologi cedera kepala?
Epidemiologi perdarahan epidural
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan EDH dan sekitar 10%
mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian hematoma epidural
hampir sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat. Orang yang beresiko
mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan sering jatuh.
60 % penderita EDH adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur
kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang
berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.
Epidemiologi cedera kepala
Kematian sebagai akibat dari cedera kepala yang dari tahun ke tahun semakin bertambah,
pertambahan angka kematian ini antara lain karena jumlah penderita cedera kepala yang
bertambah dan penanganan yang kurang tepat atau 1sesuai dengan harapan kita
(Smeltzer, 2002) angka kejadian cedera kepala (58%) laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi dikalangan
usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga kesalamatan di jalan masih rendah
disamping penanganan penderita yang belum benar dan rujukan yang terlambat
(Smeltzer, 2002). Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden
cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak
kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Yang sampai di rumah sakit, 80%
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala
sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
13. Bagaimana tatalaksana di UGD pada kasus ini (1 dokter jaga di UGD dan 3 orang
perawat)?
Airway dengan kontrol servikal
Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi
Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid.
Pasang tampon pada hidung untuk menghentikan epistaksis.
Breathing
Pemasangan airway orofaringeal
Prosedur ini digunakan untuk ventilasi sementara pada penderita yang tidak sadar
sementara intubasi penderita sedang dipersiapkan.
Pilih airway yang cocok ukurannya. Ukuran yang cocok sesuai dengan jarak dari
sudut mulut penderita sampai kanalis auditivus eksterna.
Buka mulut penderita dengan manuver chin lift atau teknik cross-finger (scissors
technique).
Sisipkan spatula lidah diatas lidah penderita, cukup jauh untuk menekan lidah, hati-
hati jangan merangsang penderita sampai muntah.
Masukkan airway ke posterior, dengan lembut diluncurkan diatas lengkungan lidah
sampai sayap penahan berhenti pada bibir penderita.
Airway tidak boleh mendorong lidah sehingga menyumbat airway.
Tarik spatula lidah.
Ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask.
Ventilasi bag-valve-mask- teknik dua orang
Pilih ukuran masker yang cocok dengan wajah penderita.
Hubungkan selang oksigen dengan alat bag-valve-mask, dan atur aliran oksigen
sampai 12 L/ menit.
Pastikan airway penderita terbuka dan dipertahankan dengan teknik-teknik yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Orang pertama memegang masker pada wajah penderita, dan menjaga agar rapat
dengan dua tangan.
Orang kedua memberikan ventilasi dengan memompa kantong dengan dua tangan.
Kecukupan ventilasi dinilai dengan memperhatikan gerakan dada penderita.
Penderita diberi ventilasi dengan cara seperti ini tiap 5 detik.
Intubasi orotrakeal dewasa
Pastikan bahwa ventilasi yang adekuat dan oksigenasi tetap berjalan, dan
peralatan penghisap berada pada tempat yang dekat sebagai kesiagaan bila
penderita muntah.
Kembangkan balon pipa endotrakeal untuk memastikan bahwa balon tidak bocor,
kemudian kempiskan balon.
Sambungkan daun laryngoskop pada pemegangnya, dan periksa terangnya lampu.
Minta seorang asisten mempertahankan kepala dan leher dengan tangan.
Leher penderita tidak boleh di-hiperekstensi atau di-hiperfleksi selama prosedur ini.
Pegang laringoskop dengan tangan kiri.
Masukkan laringoskop pada bagian kanan mulut penderita , dan menggeser lidah
kesebelah kiri.
Secara visual identifikasi epiglotis dan kemudian pita suara.
Dengan hati-hati masukkan pipa endotrakeal kedalam trakea tanpa menekan gigi atau
jaringan-jaringan di mulut.
Kembangkan balon dengan udara secukupnya agar tidak bocor. Jangan
mengembangkan balon secara berlebihan.
Periksa penempatan pipa endotrakeal dengan cara memberi ventilasi dengan bag
valve tube.
Secara visual perhatikan pengembangan dada dengan ventilasi.
Auskultasi dada dan abdomen dengan stetoskop untuk memastikan letak pipa.
Amankan pipa (dengan plester). Apabila penderita dipindahkan, letak pipa harus
dinilai ulang.
Apabila intubasi endotrakeal tidak bisa diselesaikan dalam beberapa detik atau selama
waktu yang diperlukan untuk menahan napas sebelum ekshalasi, hentikan percobaan
intubasinya, ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask, dan coba lagi.
Penempatan pipa harus diperiksa dengan teliti. Foto toraks berguna untuk menilai
letak pipa, tetapi tidak dapat menyingkirkan intubasi esofageal.
Hubungkan alat kolorimetris CO2 ke pipa endotrakeal antara adaptor dengan alat
ventilasi. Penggunaan alat kolorimetrik merupakan suatu cara yang dapat diandalkan
untuk memastikan bahwa letak pipa endotrakeal berada dalam airway.
Pasang alat pulse oxymeter pada salah satu jari penderita (perfusi perifer harus masih
ada) untuk mengukur dan memantau tingkat saturasi oksigen penderita.
Pulse oxymeter berguna untuk memantau tingkat saturasi oksigen secara terus
menerus dan sebagai cara menilai segera tindakan intervensi.
Pemantauan oksimetri pulsa/pulse oxymetri
Pulse oxymeter didesain untuk mengukur saturasi oksigen dan laju nadi pada sirkulasi
perifer. Apabila menilai hasil pulse oxymeter, nilailah pembacaan pembacaan awal:
Apakah laju nadi sesuai dengan monitor EKG?
Apakah saturasi oksigen cocok/sesuai?
Apabila pulse oxymeter memberikan hasil yang rendah atau sangat sulit membaca
penderita, carilah penyebab fisiologisnya, jangan menyalahkan alatnya.
Circulation
Akses vena perifer
Pilih tempat yang baik di salah satu anggota badan, misalnya pembuluh di sebelah
depan dari siku, lengan depan, pembuluh kaki (safena).
Pasang turniket elastis di atas tempat punktur yang dipilih.
Bersihkan tempat itu dengan larutan antiseptis.
Tusuklah pembuluh tersebut dengan kateter kaliber besar dengan plastik di atas jarum,
dan amatilah kembalinya darah.
Masukkan kateter ke dalam pembuluh di atas jarum kemudian keluarkan jarum dan
buka torniketnya.
Pada saat ini boleh ambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium.
Sambunglah kateter dengan pipa infus intravena dan mulailah infusi larutan RL atau
normal saline.
Amatilah infiltrasi yang mungkin terjadi dari cairan ke jaringan.
Tambatkan kateter dan pipa ke kulit anggota badan.
Pasang kateter untuk pengeluaran cairan pada alat urogenital pasien
Obat-obatan
Mannitol, 0,25 sampai 1 g/kg secara bolus intravena, untuk mengurangan peningkatan
ICP.
Jika ABC pasien tidak ada masalah langsung rujuk ke dokter bedah, agar dilakukan
operasi untuk mengurangi tekanan intracranial.
Lakukan secondary survey di RS :
a. Pemakaian collar neck dengan indikasi :
Cedera kepala berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher
Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher
Rasa baal pada lengan
Gangguan keseimbangan atau berjalan
Kelemahan umum
b. Pantau tanda vital (suhu, pernafasan, tekanan darah), pupil , GCS, gerakan
ekstremitas, sampai pasien sadar. Pantauan dilakukan tiap 4 jam. Lama
pantauan sampai pasien mencapai GCS 15.
c. Pemantauan selama 24 jam, jika tidak terdapat :
Penurunan kesadaran (menurut GCS) dari observasi awal
Gangguan daya ingat
Nyeri kepala hebat
Mual dan muntah
Bila kondisi memburuk (10%) Bila penderita tidak mampu melakukan
perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat
Bila kondisi membaik (90%) Pulang bila memungkinkan Kontrol di poliklinik
Definisi : penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk; namun masih mampu menuruti perintah
GCS : 9-13 Pemeriksaan awal :
Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana
Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus Dirawat untuk observasi
Setelah dirawat Pemeriksaan neurologis periodic Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila
penderita akan dipulangkan.
AlgoritmePenatalaksanaan Cedera Kepala Sedang
Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflex patologis)
Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan
Abnormalitas anatomi otak berdasarkan CT scan
Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya
dirumah. Namun apabila tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam
pertama, penderita harus dirawat di rumah sakit dan observasi ketat.
d. Mencegah terjadinya hipotensi, dijaga jangan sampai kondisi berikut terjadi:
tekanan darah sistolik < 90 mm Hg
Suhu > 38 derajat celcius
Frekuensi nafas > 24 x / menit
e. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial, dengan cara
Posisi kepala ditinggikan 30 derajat
Bila perlu dapat diberikan Manitol 20% (hati-hati kontraindikasi).
Dosis awal 1gr/kg BB, berikan dalam waktu ½ - 1 jam, drip cepat,
dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 gr / kg BB cepat, ½ - 1 jam
setelah 12 jam dan 24 jam dari pemberian pertama
Berikan analgetika, dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka
pendek
14. Apa komplikasi pada kasus ini? Jelaskan!
Cedera kepala :
a. koma
b. defisit neurologis
c. kompresi batang otak
d.edema serebri
e.kematian
Epistaksis :
a. Anemia
b. Syok
15. Bagaimana prognosis pada kasus ini?
Prognosis tergantung pada
Lokasinya (infratentorial lebih jelek)
Besarnya
Kesadaran saat masuk kamar operasi
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena
kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15%
dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk padapasien yang mengalami
koma sebelum operasi.
Vitam : Dubia at bonam
Fungsionam : Dubia
16. Apa SKDI kasus ini?
Perdarahan epidural
Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Trauma tumpul; Epistaksis
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan
tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
Visum et repertum; Pemeriksaan korban trauma dan deskripsi luka
Tingkat kemampuan 4 ( Does ): Mampu melakukan secara mandiri
Lulusan dokter dapat memperlihatkan keterampilannya tersebut dengan menguasai
seluruh teori, prinsip, indikasi, langkah-langkah cara melakukan, komplikasi, dan
pengendalian komplikasi. Selain pernah melakukannya di bawah supervisi, pengujian
keterampilan tingkat kemampuan 4 dengan menggunakan Workbased Assessment
misalnya mini-CEX, portfolio, logbook, dsb.
4A. Keterampilan yang dicapai pada saat lulus dokter
Kesimpulan
Bujang mengalami perdarahan epidural dengan fraktur temporal dan basis cranii karena
trauma tumpul kepala.
Kerangka Konsep
Learning Issue
Anatomi kepala
1. Kulit Kepala
a. SCALP
Kulit kepala terdiri atas lima lapis, tiga lapisan yang pertama saling melekat dan
bergerak sebagai sebuah unit. Untuk membantu mengingat nama kelima lapisan kulit
kepala tersebut, gunakan setiap huruf dari SCALP (kulit kepala) untuk menunjukkan
lapisan kulit kepala
Skin : kulit, tebal dan berambut, dan mengandung banyak kelenjar sebacea
Connective tissue : jaringan ikat di bawah kulit, yang merupakan jaringan lemak
fibrosa. Septa fibrosa menghubungkan kulit dengan aponeurosis
m.occipitofrontalis. Pada lapisan ini terdapat banyak pembuluh arteri dan vena.
Arteri merupakan cabang-cabang dari a. carotis externa dan interna, dan terdapat
anastomosis yang luas di antara cabang-cabang ini.
Aponeurosis (epicranial), merupakan lembaran tendo yang tipis, yang
menghubungkan venter occipitale dan venter frontale m.occipitofrontalis. Pinggir
lateral aponeurosis melekat pada fascia temporalis.
Spatium subapomeuroticum adalah ruang potensial di bawah aponeurosis
epicranial. Dibatasi di depan dan belakang oleh origo m.occipitofrontalis dan
melah ke lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis pada fascia temporalis
Loose areolar tissue : jaringan ikat, yang mengisi spatium subaponeuroticum dan
secara longgar menghubungkan cranium (pericranium). Jaringan areolar ini
mengandung beberapa arteri kecil, dan juga beberapa vv.emissaria yang penting.
Vv.emissaria tidak berkatup dan menghubungkan vena-vena superificial kulit
kepala dengan vv.diploicae tulang tengkorak dan dengan sinus venosus
intracranialis.
Pericranium, merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang
tengkorak. Perlu diingat bahwa sutura di antara tulang tulang tengkorak dan
periosteum pada permukaan luar tulang berlanjut dengan periosteum pada
permukaan dalam tulang-tulang tengkorak.
b. Otot-otot Kulit Kepala
M.Occipitofrontalis
Origo : otot ini mempunyai empat venter, dua occipitalis dan dua frontalis, yang
dihubungkan oleh aponeurosis. Setiap venter occipitalis berasal dari linea nuchalis
suprema ossis occipitale dan berjalan ke depan untuk melekat pada aponeurosis.
Setiap venter frontalis berasal dari kulit dan fascia superficialis alis mata,
berjalan ke belakang untuk melekat pada aponeurosis.
Persarafan : venter occipitalis dipersarafi oleh ramus auricularis n.facialis, venter
frontalis dipersarafi oleh ramus temporalis n.facialis
Fungsi : ketiga lapisan pertama kulit kepala dapat bergerak ke depan dan
belakang, jaringan ikat longgar dari lapisan keempat kulit kepala memungkinkan
aponeurosis bergerak di atas pericranium. Venter frontalis dapat menaikkan alis
mata seperti pada ekspresi keheranan dan ketakutan.
c. Persarafan Sensorik Kulit Kepala
Truncus utama saraf sensorik terletak pada fascia superficialis. Dari anterior di
garis tengah menuju ke lateral ditemukan saraf-saraf berikut ini :
N.supratrochlearis, cabang dari divisi ophtalmica n.trigeminus, membelok di
sekitar margo superior orbitalis dan berjalan ke depan di atas dahi. Mempersarafi kulit
kepala ke arah belakang sampai ke vertex. N.zygomaticotemporalis, cabang dari
divisi maxillaris n.trigeminus, mempersarafi kulit kepala di atas
pipi.N.auriculotemporales, cabang dari divisi mandibula n.trigeminus, berjalan ke
atas di samping kepala dari depan aurikula. Cabang terakhirnya mempersarafi kulit
daerah temporal. N.occipitalis minor, cabang dari plexus cervicalis (C2),
mempersarafi kulit kepala di bagian lateral regio occipitale dan kulit di atas
permukaan medial auricula. N.occipitalis major, cabang dari ramus posterior
n.cervicalis kedua, berjalan ke atas di belakang kepala dan mempersarafi kulit sampai
ke depan sejauh vertex cranii.
d. Pendarahan Kulit Kepala
Kulit kepala mempunyai banyak suplai darah untuk memberi makanan ke
folikel rambut, dan oleh karena itu, luka kecil akan menyebabkan perdarahan yang
banyak. Arteri terletak di dalam fascia superficialis. Dari arah anterior ke lateral,
ditemukan arteri-arteri berikut ini :
A. supratrochlearis dari a.supraorbitalis, cabang-cabang a.ophthalmica,
berjalan ke atas melalui dahi bersama dengan n.supratrochlearis dan
n.supraorbitalis.
A.temporalis superficialis, cabang terminal kecil a.carotis externa, berjalan di
depan auricula bersama dengan n.auriculotemporalis. arteri ini bercabang dua,
ramus anterior dan posterior yang mendarahi kulit di daerah frontal dan temporal.
A.auricularis posterior cabang a.caroti externa, naik di belakang telinga dan
mendarahi kulit kepala di atas dan belakang telinga.
A.occipitalis, sebuah cabang a.carotis externa, berjalan ke atas dari puncak
trigonum posterior bersama dengan n.occipitalis major. Pembuluh ini mendarahi
kulit di belakang kepala sampai ke vertex cranii.
e. Aliran Vena Kulit Kepala
V.supratrochlearis dan v.supraorbitalis bersatu di pinggir medial orbita
untuk membentuk v.facialis. V.temporalis superficialis bersatu dengan v.maxillaris
di dalam substansi glandula parotidea untuk membentuk v.retromandibularis.
V.auricularis posterior bersatu denga divisi posterior v.retromandibularis, tepat di
bawah glandula parotidea, untuk membentuk v.jugularis externa. V.occipitalis
bermuara ke plexus venosus suboccipitalis, yang terletak di dasar bagian atas
trigonum posterior, kemudian plexus bermuara ke dalam v.vertebralis atau v.jugularis
interna. Vena-vena di kulit kepala beranastomosis luas satu dengan yang lain,
dihubungkan ke vv.diploicae tulang tengkorak dan sinus venosus intracranial oleh
Vv.emissariae yang tidak berkatup.
2. Cavum Cranii
Cavum cranii berisi otak dan meningen yang membungkusnya, bagian saraf otak,
arteri, vena dan sinus venosus.
a. Calvaria
Permukaan dalam calvaria memperlihatkan sutura coronalis, sagitalis,
lambdoidea. Pada garis tengah terdapat sulcus sagittalis yang dangkal untuk tempat sinus
sagittalis superior. Di kanan dan kiri sulcus terdapat beberapa lubang kecil, disebut
foveae granulares yang menjadi tempat lacunae laterales dan granulationes
arachnoidales. Didapatkan sejumlah alur dangkal untuk divisi anterior dan poesterior a.
et v.meningea media sewaktu keduanya berjalan di sisi tengkorak menuju calvaria.
b. Basis Cranii
Bagian dalam basis cranii dibagi dalam tiga fossa yaitu fossa cranii anterior,
media, dan posterior. Fossa cranii anterior dipisahkan dari fossa cranii media oleh ala
minor ossis sphenoidalis, dan fossa cranii media dipisahkan dari fossa cranii posterior
oleh pars petrosa ossis temporalis.
1) Fossa Cranii Anterior
Fossa cranii anterior menampung lobus frontalis cerebri. Dibatasi di anterior oleh
permukaan dalam os.frontale, dan di garis tengah terdapat crista untuk tempat melekatnya
falx cerebri. Batas posteriornya adalah ala minor ossis sphenoidalis yang tajam dan
bersendi di lateral dengan os frontale dan bertemu dengan angulus anteroinferior os
parietale atau pterion.Ujung medial ala minor ossis sphenoidalis membentuk processus
clinoideus anterior pada masing-masing sisi, yang menjadi tempat melekatnya
tentorium cerebelli. Bagian tengah fossa cranii media dibatasi di posterior oleh alur
chiasma opticum.
Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina
cribriformis ossis ethmoidalis di medial. Crista galli adalah tonjolan tajam ke atas dari
os ethmoidale di garis tengah dan merupakan tempat melekatnya falx cerebri. Di antara
crista galli dan crista ossis frontalis terdapat apertura kecil, yaitu foramen cecum, untuk
tempat lewatnya vena kecil dari mucosa hidung menuju ke sinus sagittalis superior.
Sepanjang crista galli terdapat celah sempit pada lamina cribriformis untuk tempat
lewatnya n.ethmoidalis anterior menuju ke cavum nasi. Permukaan atas lamina
cribriformis menyokong bulbus olfactorius, dan lubang-lubang halus pada lamina
cribrosa dilalui oleh n.olfactorius.
2) Fossa Cranii Media
Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang sempit dan bagian lateral yang
lebar. Bagian medial yang agak tinggi dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis, dan
bagian lateral yang luas membentuk cekungan di kanan dan kiri, yang menampung lobus
temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor ossis sphenoidalis dan di posterior
oleh batas atas pars petrosa ossis temporalis. Di lateral terletak pars squamosa ossis
temporalis, ala major ossis sphenoidalis dan os parietale. Dasar dari masing-masing
bagian lateral fossa cranii media dibentuk leh ala major ossis sphenoidalis dan pars
squamosa dan petrosa ossis temporalis.
Os sphenoidale mirip kelelawar dengan corpus terletak di bagian tengah dan ala
major dan minor terbentang kanan dan kiri. Corpus ossis sphenoidalis berisi sinus
sphenoidalis yang berisi udara, yang dibatasi oleh membrana mucosa dan berhubungan
dengan rongga hidung. Sinus ini berfungsi sebagai resonator suara. Di anterior, canalis
opticus dilalui oleh n.opticus dan a.ophthalmica, sebuah cabang dari a.carotis interna,
menuju orbita. Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah di antara ala major dan
minor ossis sphenoidalis, dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontalis, n.trochlearis,
n.oculomotorius, n.nasociliaris, dan n.abducens, bersama dengan v.ophthalmica superior.
Sinus venosus sphenoparietalis berjalan ke medial sepanjang pinggir posterior ala minor
ossis sphenoidalis dan bermuara ke dalam sinus cavernosus.
Foramen rotundum, terletak di belakang ujung medial fissura orbitalis superior,
menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh n.maxillaris dari ganglion
trigeminus menuju fossa pterygopalatina. Foramen ovale terletak posterolateral terhadap
foramen rotundum dan menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh radix
sensorik besar dan radix motorik kecil dari n.mandibularis menuju ke fossa
infratemporalis n.petrosus minus juga berjalan melalui foramen ini.
Foramen spinosum yang kecil terletak posterolateral terhadap foramen ovale dan
juga menembus ala major ossis sphenoidalis. Foramen ini dilalui oleh a.meningea media
dari fossa infratemporalis menuju ke cavum cranii. Kemudian arteri berjalan ke depan
dan lateral di dalam alur pada permukaan atas pars squamosa ossis temporalis dan ala
major ossis sphenoidalis. Pembuluh ini berjalan dalam jarak yang pendek, kemudian
terbagi dalam ramus anterior dan posterior. Ramus anterior berjalan ke depan dan atas, ke
angulus anteroinferior ossis temporalis. Di sini, arteri membuat saluran yang pendek dan
dalam, kemudian berjalan ke belakang dan atas pada os parietale. Pada tempat ini, arteri
paling mudah cedera akibat pukulan pada kepala. Ramus posterior berjalan ke belakang
dan atas, melintasi pars squamosa ossis temporalis untuk sampai os parietale.
Foramen laserum besar dan iregular terletak antara apeks pars petrosa osis
temporalis dan os sphenoidale. Muara inferior foramen laserum terisi kartilago dan
jaringan fibrosa, dan hanya sedikit pembuluh darah melalui jaringan tersebut dari rongga
tengkorak ke leher. Canalis caroticus bermuara pada sisi foramen lacerum di atas muara
inferior yang tertutup. A.carotis interna masuk ke foramen dari canalis ini dan segera
melengkung ke atas untuk sampai pada sisi corpus ossis sphenoidalis. Di sini, arteri ini
membelok ke depan dalam sinus cavernosus untuk mencapai daerah processus clinoideus
anterior. Pada tempat ini, a.carotis interna membelok vertikal ke atas, medial terhadap
processus clinoideus anterior, dan muncul dari sinus cavernosus.
Lateral terhadap foramen lacerum terdapat lekukan pada apeks pars petrosa ossis
temporalis untuk ganglion temporalis. Pada permukaan anterior os petrosus terdapat dua
alur saraf, alur medial yang lebih besar untuk n.petrosus major, sebuah cabang
n.facialis, dan alur lateral yang lebih kecil untuk n.petrosus minor, sebuah cabang dari
plexus tymphanicus. N. petrosus major ke dalam foramen lacerum dibawah ganglion
trigeminus dan bergabung dengan n.petrosus profundus (serabut symphatis dari sekitar
a.carotis interna), untuk membentuk n.canalis pterygoidei. N. petrosus minor berjalan ke
depan ke foramen ovale.
N.abducens melengkung tajam ke depan, melintasi apeks os petrosus, medial
terhadap ganglion trigeminus. Di sini, saraf ini meninggalkan fossa cranii posterior dan
masuk ke dalam sinus cavernosus. Eminentia arcuata adalah penonjolan bulat yang
terdapat pada permukaan anterior os petrosus dan ditimbulkan oleh canalis
semicircularis superior yang terletak di bawahnya. Tegmen tympani adalah lempeng
tipis tulang, yang merupakan penonjolan ke depan pars petrosa ossis temporalis dan
terletak berdampingan dengan pars squamosa tulang ini. Dari belakang ke depan,
lempeng ini membentuk atap antrum mastoideum, cavum tympani dan tuba auditiva.
Lempeng tipis tulang ini merupakan satu-satunya penyekat utama penyebaran infeksi dari
dalam cavum tympani ke lobus temporalis cerebri.
Bagian medial fossa cranii media dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis. Di
depan terdapat sulcus chiasmatis, yang berhubungan dengan chiasma opticum dan
berhubungan ke lateral dengan canalis opticus. Posterior terhadap sulcus terdapat
peninggian, disebut tuberculum sellae. Di belakang peninggian ini terdapat cekungan
dalam, yaitu sella turcica, yang merupakan tempat glandula hypophisis. Sella turcica
dibatasi di posterior oleh lempeng tulang bersegi empat yang disebut dorsum sellae.
Angulus superior dorsum sellae mempunyai dua tuberculum disebut processus
clinoideus posterior, yang menjadi tempat perlekatan dari pinggir tetap tentorium
cerebelli.
3) Fossa Cranii Posterior
Fossa cranii posterior dalam dan menampung bagian otak belakang, yaitu
cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa dibatasi oleh pinggir superior
pars petrosa ossis temporalis dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars
squamosa ossis occipitalis. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basillaris,
condylaris, dan squamosa ossis occipitalis dan pars mastoideus ossis temporalis. Atap
fossa dibentuk oleh lipatan dura, tentorium cerebelli, yang terletak di antara cerebellum
di sebelah bawah dan lobus occipitalis cerebri di sebelah atas.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh
medulla oblongata dengan meningen yang meliputinya, pars spinalis ascendens
n.accessories, dan kedua a.vertebralis. Canalis hypoglossi terletak di atas pinggir
anterolateral foramen magnum dan dilalui oleh n.hypoglossus. Foramen jugularis
terletak di antara pinggir bawah pars petrosa ossis temporalis dan pars condylaris ossis
occipitalis. Foramen ini dilalui oleh struktur berikut ini dari depan ke belakang : sinus
petrosus inferior, n.IX, n.X dan n.XI, dan sinus sigmoideus yang besar. Sinus petrosus
inferior berjalan turun di dalam alur pada pinggir bawah pars petrosa ossis temporalis
untuk mencapai foramen. Sinus sigmoideus berbelok ke bawah melalui foramen dan
berlanjut sebagai v.jugularis interna.
Meatus acusticus internus menembus permukaan superior pars petrosa ossis
temporalis. Lubang ini dilalui oleh n.verstibulocochlearis dan radix motorik dan senorik
n.facialis. Crista occipitalis interna berjalan ke atas di garis tengah, posterior terhadap
foramen magnum, menuju ke protuberantia occipitalis interna. Pada crista ini melekat
falx cerebelli yang kecil, yang menutupi sinus occipitalis.
Kanan dan kiri dari protuberantia occipitalis interna terdapat alur lebar untuk sinus
transversus. Alur ini terbentang di kedua sisi, pada permukaan dalam os occipitale,
sampai ke angulus inferior atau sudut os parietale. Kemudian alur berlanjut ke pars
mastoideus ossis temporalis, dan di sini sinus transversus berlanjut sebagai sinus
sigmoideus. Sinus petrosus superior berjalan ke belakang sepanjang pinggir atas os
petrosus di dalam sebuah alur sempit dan bermuara ke dalam sinus sigmoideus. Sewaktu
berjalan turun ke foramen jugulare, sinus sigmoideus membuat alur yang dalam pada
bagian belakang os petrosus dan pars mastoideus ossis temporalis. Di sini, sinus
sigmoideus terletak tepat posterior terhadap antrum amstoideum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu : duramater, araknoid dan piamater.
Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang
terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-
sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara
duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus
pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat
permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri
atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater
dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara
manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer
dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi
dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid
brain), pons, dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla
spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan
defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis,
batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju
ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang
subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid.
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial
(terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi
fosa kranii posterior).
Tekanan Intrakranial (TIK)
Tekanan intrakranial normal pada keadaan istirahat sebesar 10 mmHg. Berbagai proses
patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan TIK. Kenaikan TIK dapat
menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia.
Doktrin Monro-Kellie :
- Merupakan konsep dinamika TIK
- Volume TIK harus selalu konstan. Hal ini karena rongga kranium pada dasarnya
merupakan rongga yang rigid, tidak mungkin mekar.
- Segera setelah trauma, massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara
TIK masih dalam batas normal saat pengaliran CSS dan darah intravaskular mencapai
titik dekompensasi, TIK secara cepat akan meningkat
Aliran Darah ke Otak (ADO) :
- Normal pada orang dewasa antara 50-55 ml/100gr jaringan otak per menit
- Cedera otak berat sampai koma dapat menurunkan 50% dalam 6-12 jam pertama sejak
trauma
- ADO biasanya akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang
koma tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah trauma
- Terdapat bukti bahwa ADO yang rendah tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme
otak segera setelah trauma, sehingga akan mengakibatkan iskemi otak fokal ataupun
menyeluruh.
Fisiologi
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu
tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg.
Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari
dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya
dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak (1400 g), cairan serebrospinal( sekitar
75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur
utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intra kranial.
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu
dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus mengkompensasi dengan
mengurangi volumenya (bila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intra kranial ini
terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.
Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis
dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme
kompensasi yangberpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak
dan pergeseran otak ke arah bawah (herniasi) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme
terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan
menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan
kematian neuronal.
Cedera kepala
1. Simple Head Injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:
Ada riwayat trauma kapitis
Tidak pingsan
Gejala sakit kepala dan pusing
Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan cukup
istirahat.
2. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (gegar otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih
dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien
mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat. Vertigo dan
muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya pusat-pusat dalam
batang otak. Pada commotio cerebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu
hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia
ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan
tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi
simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya
komplikasi dan mobilisasi bertahap.
3. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan
otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami
kerusakan atau terputus.
Timbulnya lesi contusio di daerah “coup”, “contrecoup”, dan “intermediate”
menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan
kelumpuhan UMN.
Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan
lemah.
Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan
pernafasan bisa timbul.
Terapi dengan antiserebral edema, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.
4. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan piamater.
Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid traumatika, subdural
akut dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan tidak
langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda
asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan
laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan
mekanis.
5. Fracture Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior.
Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
Epistaksis
Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
Hematom retroaurikuler, ottorhoe
Perdarahan dari telinga
Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi. Tindakan operatif bila
adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.
6. Hematom Epidural
Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
Etiologi : pecahnya a. Meningea media atau cabang-cabangnya
Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala sebentar
kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-
gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun,
nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit,
lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah
tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma
subkutan
Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi
kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis,
misalnya : hemiparesis, refleks tendon meninggi, dan refleks patologik positif.
Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan
pembuluh darah.
7. Hematom subdural
Letak : di bawah duramater
Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi
piamater serta arachnoid dari kortex cerebri
Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak (bagian
dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak)
Isodens → terlihat dari midline yang bergeser
Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak
(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom
akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
8. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus
temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya
berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput
dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan
kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi
bagian otak yang terkena.
9. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga
berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah
dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada.
Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi.
TIK meningkat,
Cephalgia memberat,
Kesadaran menurun
Visum et repertum
Visum et repertum adalah keterangan atau laporan tertulis yang dibuat oleh dokter atas
permintaan penyidik tentang apa yang dilihat dan ditemukan terhadap manusia baik hidup
maupun mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia berdasarkan
keilmuannya untuk kepentingan peradilan. Visum et repertum adalah salah satu alat bukti
yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP
1. Jenis visum Visum Orang Hidup dan Visum Orang Mati
2. Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:
1) Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa
2) Bernomor dan bertanggal
3) Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)
4) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
5) Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan
pemeriksaan
6) Tidak menggunakan istilah asing
7) Ditandatangani dan diberi nama jelas
8) Berstempel instansi pemeriksa tersebut
9) Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
10) Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum . Apabila ada lebih
dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan
keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum
et repertum masing-masing asli
11) Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan
disimpan sebaiknya hingga 20 tahun
3. Bagian-bagian visum:
Projustisia
Pendahuluan
Berisi tentang : identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul
diterimanya permohonan visum et repertum, dentitas dokter yang melakukan
pemeriksaan, identitas objek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa,
alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan,
alasan dimintakannya visum et repertum, rumah sakit tempat korban dirawat
sebelumnya, pukul korban meninggal dunia, keterangan mengenai orang yang
mengantar korban ke rumah sakit
Pemberitaan (pemeriksaan luar, dalam, dan ringkasan pemeriksaan luar dan dalam)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati
terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan
dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.
Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis
adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka
dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera,
karakteristiknya serta ukurannya. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan
korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali.
Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari :
1) Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan , baik pemeriksaan
fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu
hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang
berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
2) Tindakan dan perawatan berikut indikasinya , atau pada keadaan sebaliknya,
alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian
meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan
tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat
tidaknya penanganan dokter dan tepat -tidaknya kesimpulan yang diambil.
3) Keadaan akhir korban , terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan
hal penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.
Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka
pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan
yang diberikan.
Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari
fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et repertum, dikaitkan
dengan maksud dan tujuan dimintakannya visum et repertum tersebut. Pada bagian
ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat
kualifikasi luka.
Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan
mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan
sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan . Dibubuhi tanda
tangan dokter pembuat visum et repertum.
Tata Laksana VeR pada Korban Hidup
A. Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum korban hidup
1. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)
adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI.
Sedangkan untuk kalangan militer maka Polisi Militer (POM) dikategorikan sebagai
penyidik.
2. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)
adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.
3. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa
permintaan oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah
diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2).
4. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang
memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak
lain tidak dapat memintanya.
B. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik
1. Dokter
2. Perawat
3. Petugas Administrasi
C. Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum pada korban hidup
Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik.
Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum sampai
dokter spesialis yang pengaturannya mengacu pada S.O.P. Rumah Sakit tersebut.
Yang diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya dulu, bila
kondisi telah memungkinkan barulah ditangani aspek medikolegalnya. Tidak
tertutup kemungkinan bahwa terhadap korban dalam penanganan medis melibatkan
berbagai disiplin spesialis.
Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/ visum et revertum
Adanya surat permintaan keterangan ahli/ visum et repertum merupakan hal
yang penting untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai
penanggung jawab pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat permintaan
tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek yuridis yang sering
menimbulkan masalah, yaitu pada saat korban akan diperiksa surat permintaan dari
penyidik belum ada atau korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan
keterangan ahli/ visum et repertum.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka perlu dibuat kriteria tentang
pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah Sakit/UGD tidak membawa SpV.
Sebagai berikut :
-Setiap pasien dengan trauma
-Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan
-Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas
-Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan
-Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum
“Kelompok pasien tersebut di atas untuk dilakukan kekhususan dalam hal pencatatan
temuan-temuan medis dalam rekam medis khusus, diberi tanda pada map rekam
medisnya (tanda “VER”), warna sampul rekam medis serta penyimpanan rekam
medis yang tidak digabung dengan rekam medis pasien umum.”
Pemeriksaan korban secara medis
Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang
telah dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan yang
mengakibatkan beberapa data terlewat dari pemeriksaan.
Pengetikan surat keterangan ahli/ visum et repertum
Pengetikan berkas keterangan ahli/ visum et repertum oleh petugas
administrasi memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan untuk
kepentingan peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan garis, untuk
mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Contoh :
“Pada pipi kanan ditemukan luka terbuka, tapi tidak rata sepanjang lima senti meter“
Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum
Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu orang dokter, maka yang
menandatangani visum yang telah selesai adalah dokter yang menangani tersebut
(dokter pemeriksa).
Dalam hal korban ditangani oleh beberapa orang dokter, maka idealnya yang
menandatangani visumnya adalah setiap dokter yang terlibat langsung dalam
penanganan atas korban. Dokter pemeriksa yang dimaksud adalah dokter pemeriksa
yang melakukan pemeriksaan atas korban yang masih berkaitan dengan
luka/cedera/racun/tindak pidana.
Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa
Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada
penyidik saja dengan menggunakan berita acara.
Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum
Surat keterangan ahli/ visum et repertum juga hanya boleh diserahkan pada
pihak penyidik yang memintanya saja.
Initial assesment
I. Primary Survey
a. Airway dengan kontrol servikal
i. Penilaian
Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
ii. Pengelolaan airway
Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang
rigid
Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabel 1 )
iii. Fiksasi leher
iv. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita
multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas
klavikula.
v. Evaluasi
Tabel 1- Indikasi Airway Definitif
Kebutuhan untuk perlindungan airway
Kebutuhan untuk ventilasi
Tidak sadar Apnea• Paralisis neuromuskuler• Tidak sadar
Fraktur maksilofasial Usaha nafas yang tidak adekuat• Takipnea• Hipoksia• Hiperkarbia• Sianosis
Bahaya aspirasi• Perdarahan• Muntah - muntah
Cedera kepala tertutup berat yangmembutuhkan hiperventilasi singkat,bila terjadi penurunan keadaan neurologis
Bahaya sumbatan
• Hematoma leher
• Cedera laring, trakea
• Stridor
Gambar 2
Algoritme Airway
Keperluan Segera Airway DefinitifKecurigaan cedera servikal
Oksigenasi/Ventilasi
Apneic BernafasIntubasi orotrakeal Intubasi Nasotrakealdengan imobilisasi atau orotrakealservikal segaris dengan imobilisasi
servikal segaris*Cedera
maksilofasial berat
Tidak dapat intubasi Tidak dapat intubasi Tidak dapat intubasi
Tambahan farmakologik
Intubasi orotrakeal
Tidak dapat intubasi
Airway Surgical
* Kerjakan sesuai pertimbangan klinis dan tingkat ketrampilan/pengalaman
b. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
i. Penilaian
Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol
servikal in-line immobilisasi
Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan
terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian
otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.
Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
Auskultasi thoraks bilateral
ii. Pengelolaan
Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
Ventilasi dengan Bag Valve Mask
Menghilangkan tension pneumothorax
Menutup open pneumothorax
Memasang pulse oxymeter
iii. Evaluasi
c. Circulation dengan kontrol perdarahan
i. Penilaian
Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
Mengetahui sumber perdarahan internal
Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak
diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda
diperlukannya resusitasi masif segera.
Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
Periksa tekanan darah
ii. Pengelolaan
Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta
konsultasi pada ahli bedah.
Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel
darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita
usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah
(BGA).
Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-
pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
Cegah hipotermia
iii. Evaluasi
d. Disability
i. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
ii. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda
lateralisasi
iii. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
e. Exposure/Environment
i. Buka pakaian penderita
ii. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat.
II. RESUSITASI
a. Re-evaluasi ABCDE
b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20
mL/kg pada anak dengan tetesan cepat ( lihat tabel 2 )
c. Evaluasi resusitasi cairan
i. Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal ( lihat gambar 3,
tabel 3 dan tabel 4 )
ii. Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta
awasi tanda-tanda syok
d. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal.
i. Respon cepat
- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian
darah
- Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin
masih diperlukan
ii. Respon Sementara
- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
- Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
- Konsultasikan pada ahli bedah ( lihat tabel 5 ).
iii. Tanpa respon
- Konsultasikan pada ahli bedah
- Perlu tindakan operatif sangat segera
- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade
jantung atau kontusio miokard
- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya ( lihat tabel 6 )
Tabel 2- Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah, Berdasarkan Presentasi Penderita Semula
KELAS I Kelas II Kelas III Kelas IVKehilangan Darah (mL)
Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000
Kehilangan Darah (% volume darah)
Sampai 15% 15%-30% 30%-40% >40%
Denyut Nadi <100 >100 >120 >140Tekanan Darah Normal Normal Menurun MenurunTekanan nadi(mm Hg)
Normal atau Naik
Menurun Menurun Menurun
Frekuensi Pernafasan
14-20 20-30 30-40 >35
Produksi Urin(mL/jam)
>30 20-30 5-15 Tidak berarti
CNS/ StatusMental
Sedikit cemas Agak cemas Cemas,bingung
Bingung,lesu(lethargic)
Penggantian Cairan(Hukum 3:1)
Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan darah
Kristaloid dan darah
Table 3-Penilaian Awal dan Pengelolaan Syok
KONDISI PENILAIAN (Pemeriksaan
Fisik)
PENGELOLAAN
TensionPneumothorax
• Deviasi Tracheal• Distensi vena leher• Hipersonor• Bising nafas (-)
• Needle decompression• Tube thoracostomy
Massive hemothorax • ± Deviasi Tracheal• Vena leher kolaps• Perkusi : dullness• Bising nafas (-)
• Venous access• Perbaikan Volume• Konsultasi bedah• Tube thoracostomy
Cardiac tamponade • Distensi vena leher• Bunyi jantung jauh• Ultrasound
Pericardiocentesis• Venous access• Perbaikan Volume
• Pericardiotomy• Thoracotomy
Perdarahan Intraabdominal
• Distensi abdomen• Uterine lift, bila hamil• DPL/ultrasonography• Pemeriksaan Vaginal
• Venous access• Perbaikan Volume• Konsultasi bedah• Jauhkan uterus dari vena cava
Perdarahan Luar • Kenali sumber perdarahan
Kontrol Perdarahan• Direct pressure• Bidai / Splints• Luka Kulit kepala yangberdarah : Jahit
Tabel 4-Penilaian Awal dan Pengelolaan Syok
KONDISI
IMAGE FINDINGS
SIGNIFICANCE
INTERVENSI
Fraktur Pelvis
Pelvic x-ray• Fraktur Ramus Pubic
• Kehilangan darah kurangdibanding jenis lain• MekanismeKompresi Lateral
• Perbaikan Volume• Mungkin Transfuse• Hindari manipulasiberlebih
• Open book • Pelvic volume ↑ • Perbaikan Volume• Mungkin Transfusi• Pelvic volume• Rotasi Internal Panggul• PASG
• Vertical shear • Sumber perdarahan banyak
• External fixator• Angiography• Traksi Skeletal• Konsultasi Ortopedi
Cedera Organ Dalam
CT scan• Perdarahan intraabdomimal
• Potensial kehilangan darah• Hanya dilakukan bilahemodinamik stabil
• Perbaikan Volume• Mungkin Transfusi• Konsultasi Bedah
TAMBAHAN PADA PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI
A. Pasang EKG
1. Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole harus dicurigai
adanya hipoksia dan hipoperfusi
2. Hipotermia dapat menampakkan gambaran disritmia
B. Pasang kateter uretra
1. Kecurigaan adanya ruptur uretra merupakan kontra indikasi pemasangan
kateter urine
2. Bila terdapat kesulitan pemasangan kateter karena striktur uretra atau BPH,
jangan dilakukan manipulasi atau instrumentasi, segera konsultasikan pada
bagian bedah
3. Ambil sampel urine untuk pemeriksaan urine rutine
4. Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai perfusi ginjal dan
hemodinamik penderita
5. Output urine normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1
ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi
C. Pasang kateter lambung
1. Bila terdapat kecurigaan fraktur basis kranii atau trauma maksilofacial
yang merupakan kontraindikasi pemasangan nasogastric tube, gunakan
orogastric tube.
2. Selalu tersedia alat suction selama pemasangan kateter lambung, karena
bahaya aspirasi bila pasien muntah.
D. Monitoring hasil resusitasi dan laboratorium
Monitoring didasarkan atas penemuan klinis; nadi, laju nafas, tekanan darah,
Analisis Gas Darah (BGA), suhu tubuh dan output urine dan pemeriksaan
laboratorium darah.
E. Pemeriksaan foto rotgen dan atau FAST
1. Segera lakukan foto thoraks, pelvis dan servikal lateral, menggunakan mesin x-
ray portabel dan atau FAST bila terdapat kecurigaan trauma abdomen.
2. Pemeriksaan foto rotgen harus selektif dan jangan sampai menghambat proses
resusitasi. Bila belum memungkinkan, dapat dilakukan pada saat secondary
survey.
3. Pada wanita hamil, foto rotgen yang mutlak diperlukan, tetap harus dilakukan.
II. SECONDARY SURVEY
A. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat :
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
B. Pemeriksaan Fisik ( lihat tabel 7 )
Tabel 7- Pemeriksaan Fisik pada Secondary Survey
Hal yangDinilai
Identifikasi/tentukan
PenilaianPenemuan
KlinisKonfirmasi
denganTingkatKesadaran
• Beratnya trauma kapitis
• Skor GCS • 8, cedera kepala berat
• 9 -12, cedera kepala sedang
• 13-15, cedera kepala ringan
• CT Scan• Ulangi tanpa
relaksasi Otot
Pupil • Jenis cedera kepala
• Luka pada mata
• Ukuran• Bentuk• Reaksi
• "mass effect"• Diffuse axional
injury• Perlukaan mata
• CT Scan
Kepala • Luka pada kulit kepala
• Fraktur tulang tengkorak
• Inspeksi adanya luka dan fraktur
• Palpasi adanya fraktur
• Luka kulit kepala
• Fraktur impresi• Fraktur basis
• CT Scan
Maksilofasial
• Luka jaringan lunak
• Fraktur• Kerusakan
syaraf• Luka dalam
mulut/gigi
• Inspeksi : deformitas
• Maloklusi• Palpasi :
krepitus
• Fraktur tulang wajah
• Cedera jaringan lunak
• Foto tulang wajah
• CT Scan tulang wajah
Leher • Cedera pada faring
• Fraktur servikal• Kerusakan
vaskular• Cedera
esofagus• Gangguan
neurologis
• Inspeksi• Palpasi• Auskultasi
• Deformitas faring
• Emfisema subkutan
• Hematoma• Murmur• Tembusnya
platisma• Nyeri, nyeri
tekan C spine
• Foto servikal• Angiografi/
Doppler• Esofagoskopi• Laringoskopi
Toraks • Perlukaan dinding toraks
• Emfisema subkutan
• Pneumo/ hematotoraks
• Cedera bronchus
• Inspeksi• Palpasi• Auskultasi
• Jejas, deformitas, gerakan
• Paradoksal• Nyeri tekan
dada, krepitus• Bising nafas
berkurang
• Foto toraks• CT Scan• Angiografi• Bronchoskopi• Tube
torakostomi• Perikardio
sintesis
• Kontusio paru• Kerusakan
aorta torakalis
• Bunyi jantung jauh
• Krepitasi mediastinum
• Nyeri punggung hebat
• USG Trans-Esofagus
Tabel 7- Pemeriksaan Fisik pada Secondary Survey ( lanjutan )
Hal yangDinilai
Identifikasi/ tentukan
Penilaian Penemuan klinis Konfirmasi dengan
Abdomen/ pinggang
• Perlukaan dd. Abdomen
• Cedera intra-peritoneal
• Cedera retroperitoneal
• Inspeksi• Palpasi• Auskultasi• Tentukan arah
penetrasi
• Nyeri, nyeri tekan abd.
• Iritasi peritoneal
• Cedera organ viseral
• Cedera retroperitoneal
• DPL• FAST• CT Scan• Laparotomi• Foto dengan
kontras• Angiografi
Pelvis • Cedera Genito-urinarius
• Fraktur pelvis
• Palpasi simfisis pubis untuk pelebaran
• Nyeri tekan tulang elvis
• Tentukan instabilitas pelvis (hanya satu kali)
• Inspeksi perineum
• Pem. Rektum/vagina
• Cedera Genito- rinarius (hematuria)
• Fraktur pelvis• Perlukaan
perineum, rektum, vagina
• Foto pelvis• Urogram• Uretrogram• Sistogram• IVP• CT Scan
dengan kontras
MedulaSpinalis
• Trauma kapitis• Trauma medulla
spinalis• Trauma syaraf
perifer
• Pemeriksaan motorik
• Pemeriksaan sensorik
• "mass effect" unilateral
• TetraparesisParaparesis
• Cedera radiks syaraf
• Foto polos• MRI
KolumnaVertebralis
• Fraktur• lnstabilitas
kolumna Vertebralis
• Kerusakan syaraf
• Respon verbal terhadap nyeri,
tanda lateralisasi• Nyeri tekan• Deformitas
• Fraktur atau dislokasi
• Foto polos• CT Scan
Ekstremitas • Cedera jaringan lunak
• Fraktur• Kerusakan sendi• Defisit neuro-
vascular
• Inspeksi• Palpasi
• Jejas, pembengkakan, pucat
• Mal-alignment• Nyeri, nyeri
tekan,
• Foto ronsen• Doppler• Pengukuran
tekanan kompartemen
• Angiografi
Krepitasi• Pulsasi hilang/
berkurang• Kompartemen• Defisit
neurologis
III. TAMBAHAN PADA SECONDARY SURVEY
A. Sebelum dilakukan pemeriksaan tambahan, periksa keadaan penderita dengan
teliti dan pastikan hemodinamik stabil
B. Selalu siapkan perlengkapan resusitasi di dekat penderita karena pemeriksaan
tambahan biasanya dilakukan di ruangan lain
C. Pemeriksaan tambahan yang biasanya diperlukan :
1. CT scan kepala, abdomen
2. USG abdomen, transoesofagus
3. Foto ekstremitas
4. Foto vertebra tambahan
5. Urografi dengan kontras
IV. RE-EVALUASI PENDERITA
A. Penilaian ulang terhadap penderita, dengan mencatat dan melaporkan setiap
perubahan pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi.
B. Monitoring tanda-tanda vital dan jumlah urin
C. Pemakaian analgetik yang tepat diperbolehkan
IX. TRANSFER KE PUSAT RUJUKAN YANG LEBIH BAIK
A. Pasien dirujuk apabila rumah sakit tidak mampu menangani pasien karena
keterbatasan SDM maupun fasilitas serta keadaan pasien yang masih
memungkinkan untuk dirujuk.
B. Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan dan kebutuhan penderita selama
perjalanan serta komunikasikan dengan dokter pada pusat rujukan yang dituju.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P.
EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L. Thieme
Medical Publisher, New York,1996, 22
Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
2006, 359-366
Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. EGC, Jakarta,
2004, 818-819
Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2005, 314
Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis Dasar, Dian
Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
Paul, Juhl’s, The Brain And Spinal Cord, Essentials of Roentgen Interpretation, fourth
edition, Harper & Row, Cambridge, 1981, 402-404
Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral, Updates In
Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2002, 80
top related