laporan skenario a blok 10 2014
Post on 26-Dec-2015
70 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
SKENARIO A BLOK 10 TAHUN 2014
Dodi, laki-laki, 18 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan demam. Demam terjadi sejak 9
hari yang lalu. Doni sudah pernah minum obat penurun panas yang dibeli di warung, tetapi
demam hanya turun beberap jam kemudian naik lagi. Demam meningkat terutama saat malam
hari dan turun disiang hari tetapi tidak sampai suhu normal. Doni juga mengeluh demamnya
semakn tinggi, tidak menggigil, serta mengeluh mual dan muntah.
Doni menyangkal berpergian keluar kota dalam beberapa bulan terakhir.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
Keadaan umum: tampak sakit sedang, TD: 110/80 mmHg, RR:24x/menit, Nadi: 92x/menit,
Suhu: 38,5 oC.
Keadaan spesifik: Kepala: rhagaden, coated tongue, Thoraks: paru dalam batas normal, Jantung:
HR: 92x/menit, Abdomen: datar lemas, nyeri tekan epigastrium, bising usus menurun, hepar lien
tidak teraba, Ekstremitas dalam batas normal.
Pemeriksaan Laboratorium: Hb:12,5 gr%, Leukosit: 4.800/mm3, Ht: 37%, LED: 8mm/jam.
Dokter melakukan beberapa pemeriksaan penunjang lain. Setelah melihat hasilnya, Dokter
menyimpulkan bahwa Doni menderita demam tifoid
KLARIFIKASI ISTILAH
1. Demam : penigkatan temperratur tubuh di atas normal
2. Rhagaden : bibir pecah-pecah, retakkan atau jaringan parut berbentuk garis yang halus pada
kulit
3. coated tongue : lapisan berwarna putih, kuning atau kecoklatan di atas permukaan lidah yang
disebabkan oleh adanya akumulasi bakteri, debris makanan, leukosit dari poket periodontal
dan deskuamasih sel epitel.
4. Menggigil : gemetar karena kedinginan, demam, atau ketakutan.
5. konstipasi : evakuasi fases yang jarang atau sulit
6. mual : sensasi tidak menyenangkan, ingin muntah dan sering berkaitan dengan keringat
dingin, pucat, nyeri lambung, kontraksi duodenum, da refluks isi usus kecil ke dalam
lambung
7. Bising usus : bunyi dari gerak peristaltic atau gerak alami usus dalam mencerna makanan.
8. LED : Laju Endap Darah, keceptan sel-sel darah merah mengendap di dalam tabung uji
dengan satuan mm/jam, bertujuan untuk memantau keberadaan radang atau infeksi dalam
tubuh.
9. Demam tifoid : penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typi atau paratipi dan
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan demam lebih dari satu minggu
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Doni, laki-laki, 18 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan demam. Demam terjadi sejak 9 hari
yang lalu.
2. Doni sudah pernah minum obat penurun panas yang dibeli di warung, tetapi demam hanya turun
beberap jam kemudian naik lagi.
3. Demam meningkat terutama saat malam hari dan turun disiang hari tetapi tidak sampai suhu
normal.
4. Doni juga mengeluh mual, tidak muntah, nafsu makan menurun, nyeri perut, konstipasi, buang air
kecil biasa, dan nafas bau.
5. Satu hari yang lalu, Doni juga mengeluh demamnya semakin tinggi, tidak menggigil, serta mengeluh
mual dan muntah. (***)
6. Doni menyangkal berpergian keluar kota dalam beberapa bulan terakhir.
7. Keadaan umum: tampak sakit sedang, TD: 110/80 mmHg, RR:24xmenit, Nadi:92x/menit, suhu:38,5 C
8. Keadaan sepesifik: kepala: rhagaden, coated tongue, thorax:paru dalam batasa normal,
jantung:HR:92x/menit, abdomen:datar, lemas, nyeri tekan epigastrium, bising usus menurun, hepar
lien tdak teraba, ekstremitas dalam batas normal
9. Pemeriksaan laboratorium: Hb:12,5g%, leukosit:4800/mg3, Ht:37%, LED:8mm/jam
10. Dokter melakukan beberapa pemeriksaan penunjang lain. Setelah melihat hasilnya dokter
menimpulkan bahwa Doni menderita demam tifoid.
ANALISIS MASALAH
1. Doni, laki-laki, 18 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan demam. Demam terjadi
sejak 9 hari yang lalu.
a. Apa saja jenis-jenis demam?
Jenis demam Penjelasan
Demam septik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi
sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas
normal pada pagi hari.
Demam hektik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi
sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat yang normal
pada pagi hari
Demam remiten Pada demam ini, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak
pernah mencapai suhu normal
Demam
intermiten
Pada demam ini, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama
beberapa jam dalam satu hari.
Demam Kontinyu Pada demam ini, terdapat variasi suhu sepanjang hari yang tidak
berbeda lebih dari satu derajat.
Demam Siklik Pada demam ini, kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang
diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang
kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.
b. Apa hunungan demam dengan waktu (terjadi sejak 9 hari yang lalu)?
Lamanya demam, berhubungan dengan masa inkubasi. masa inkubasi adalah waktu dari
saat paparan agen menular sampai tanda-tanda dan gejala penyakit muncul. Pada demam
tifoid, selang waktu antara masuknya bakteri ke dalam tubuh hingga munculnya gejala
(masa inkubasi) berlangsung selama 8-14 hari, serta bergantung pada banyaknya bakteri
yang masuk ke dalam tubuh. Pada minggu pertama, gejalanya menyerupai penyakit
infeksi akut pada umumnya seperti demam (suhu tubuh meningkat terutama sore dan
malam hari), sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare pada
anak-anak, atau sembelit pada orang dewasa. Pada minggu kedua, gejala menjadi lebih
jelas yaitu demam yang tinggi terus-menerus, nafas berbau tak sedap, kulit kering,
rambut kering, bibir kering pecah-pecah, lidah ditutupi selaput putih kotor, pembesaran
hati dan limpa serta terasa nyeri bila diraba, perut kembung.
c. Bagaimana patofisiologi terjadinya demam?
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen
adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen
adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah
produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu
pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri
gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen
yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-
6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit,
neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika
terstimulasi.
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan
neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun.
Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen
endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan
merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin. Prostaglandin
yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi
hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu
patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan
panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti
memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan
pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan
yang baru tersebut.
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan. Fase
pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai
dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha
untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase
kedua yaitu fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan
kehilangan panas di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase
kemerahan merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh
darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan
berwarna kemerahan.
2. Doni sudah pernah minum obat penurun panas yang dibeli di warung, tetapi demam hanya
turun beberap jam kemudian naik lagi.
a. Apa saja jenis-jenis obat-obat penurun panas yang dijual dipasaran serta kandungan yang
ada di dalamnya?
Asetil Salisilat (Aspirin)
Aspirin (asetil salisilat) adalah agen antiinflamasi yang tertua. Aspirin merupakan
penghambat prostaglandin yang dapat mengurangi proses inflamasi, dan dulu merupakan
agen antiinflamasi yang paling sering dipakai sebelum dikenal adanya ibuprofen. Aspirin
memiliki berbagai efek yang berbeda bagi suatu tubuh manusia. Aspirin mampu
menghambat inflamasi, menurunkan demam, mencegah pembekuan, menurunkan
produksi prostaglandin dan tromboksan. Aspirin mampu menurunkan
produksi prostaglandin dan tromboksan melalui proses inaktivasi enzim siklooksigenase
secara irreversible. Aspirin mampu menghambat secara non selektif enzim
siklooksigenase 1 (COX1) dan siklooksigenase 2 (COX2). Penghambatan produksi
tromboksan A2 oleh aspirin akan menurunkan
kemampuan proses pembekuan darah. Salisilat, secara umum menunjukan aksi
antipiretika pada pasien demam dengan menaikkan eliminasi panas badan melalui
mobilisasi air dan berakibat pengenceran darah. Aspirin menyebabkan perubahan
permeabilitas sel mukosa, mengakibatkan difusi balik lambung yang dapat merusak
kapiler. Karena aspirin dalam dosis tinggi biasanya diperlukan untuk meredakan
inflamasi, maka rasa tidak enak pada lambung sering merupakan masalah. Aspirin juga
diangap sebagai obat antiplatelet untuk klien yang mengalami gangguan jantung atau
pembuluh darah otak.
Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara.
Ibuprofen juga telah diberikan untuk mengatasi demam pada anak-anak selama hampir
dua dekade terakhir ini dan telah disetujui oleh FDA AS sebagai obat tanpa resep
(nonprescription drugs) untuk bayi usia ≥ 6 bulan. Obat ini bersifat analgesik dengan
daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama dengan aspirin.
Begitu halnya dengan aspirin, ibuprofen memiliki potensi untuk menghambat enzim
siklooksigenase 1 (COX 1) dan siklooksigenase 2 (COX2), namun masih bersifat
reversible. Ibuprofen memang merupakan antipiretika yang penggunaannya
dikontraindikaskan (dilarang) pada kasus DBD karena ibuprofen dapat menyebabkan
perdarahan pada lambung dan mengganggu proses pembekuan darah. Oleh sebab itu, jika
pada awal timbulnya demam pada anak dimana belum dapat dipastikan penyebab
demam, sebaiknya menggunakan Parasetamol
Parasetamol (Asetaminofen)
Merupakan derivat paraaminofenol. Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai
analgesik dan antipiretika, telah menggantikan penggunaan salisilat. Untuk penurun
panas (antipiretika) pada anak yang direkomendasikan oleh WHO sejak tahun 1997
hingga kini adalah Parasetamol, karena Parasetamol relatif lebih aman dibandingkan
dengan obat antipiretika yang lain untuk anak. Parasetamol dapat diberikan secara oral,
rectal, maupun intravena. Parasetamol tidak menghambat fungsi dari platelet dan tidak
menyebabkan perdarahan gastrointestinal sehingga parasetamol dianggap lebih aman
dibandingkan dengan aspirin dan AINS lainnya. Antipiretikaa ini masih dianggap sebagai
drug of choice yang aman bagi anak – anak, namun dosis dan lama pemberian dari obat
ini harus tetap di monitor secara hati-hati yaitu kurang dari 1,3 gram selama 2 minggu.
Mekanisme kerja dari parasetamol masih belum diketahui dengan jelas sampai pada
akhirnya ditemukan isozim baru yaitu Enzim Siklooksigenase 3 (COX3). Parasetamol
diketahui secara selektif mampu menghambat kerja COX3 sehingga sintesis
prostaglandin pun dapat dihambat. Sejumlah besar COX-3 terdapat di dalam korteks
serebral manusia, dan parasetamol sendiri memiliki kemampuan untuk menembus blood-
brain barrier, sehingga hal ini dapat menjelaskan mengapa parasetamol lebih efektif
dalam melawan demam dibandingkan dengan AINS lainnya.Karena spesifik
menghambat COX-3, tidak menghambat COX-2, maka efeknya sebagai anti radang di
jaringan jadi kecil. Di sisi lain, karena juga tidak menghambat COX-1, maka efeknya
terhadap gangguan lambung juga kecil dan tidak memiliki efek mengencerkan darah.
Parasetamol relatif aman terhadap efek samping lambung, perdarahan, asma, dan juga
sindrom Reye sehingga dapat menjadi pilihan tepat untuk menurunkan demam pada
anak-anak.Parasetamol digunakan pada anak dalam dosis 3-4 X 250 mg per hari atau
sampai 3-4 X 500 mg per hari. Jika dosis terapi tidak member manfaat, biasanya dosis
lebih besar tidak menolong COX : Enzim siklooksigenase
b. Bagaimana mekanisme obat penurun panas?
Mekanisme kerja utama sebagian besar antipiretika adalah melalui penghambatan sintesis
prostaglandin. Prostaglandin merupakan substansi yang diproduksi oleh asam arakidonat
melalui kerja enzim siklooksigenase (COX). Pertama, asam arakidonat akan diubah oleh
COX active site menjadi endoperoksida siklik yang selanjutnya akan membentuk
prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan A2. Seluruh antipiretika diketahui bekerja
dengan cara menghambat kerja COX pada COX active site. Dengan adanya hambatan ini,
maka prostaglandin tidak terbentuk sehingga mencegah kenaikan temperatur pada set
point di hipothalamus sehingga demam tidak terjadi.
Pada awal tahun 1990-an telah diketahui bahwa mekanisme kerja antipiretika yang
terdapat dalam obat anti radang non-steroid yaitu melalui penghambatan enzim
siklooksigenase yang terdapat dalam dua bentuk isoform siklooksigenase-1 (COX-1) dan
siklooksigenase-2 (COX-2). Kedua isoform tersebut memliki distribusi yang berbeda
pada jaringan dan fungsi regulasi yang berbeda pula. COX-1 merupakan enzim
konstitutif yang mengkatalisis pembentukan prostanoid regulatoris pada berbagai
jaringan, terutama pada selaput lendir gastrointestinal, ginjal, platelet, dan epitel
pembuluh darah. Bertolak belakang dengan COX-1, COX-2 dianggap sebagai enzim
regulator yang memiliki fungsi fisiologis, maupun patofisiologis. Pada kondisi fisiologis,
ekspresi konstitutif COX-2 ditemukan pada ginjal, pembuluh darah, paru-paru, tulang,
pankreas, sumsum tulang belakang dan mukosa lambung Mayoritas antipiretika pada
obat anti randang non-steroid bekerja secara tidak selektif menghambat COX-1 dan
COX-2. Penghambatan secara tidak selektif pada COX-1 dan COX-2 akan menyebabkan
supresi sintesis prostaglandin di jaringan-jaringan tertentu. Padahal prostaglandin
sebenarnya juga berperan dalam menjaga homeostasis. Prostaglandin bekerja melindungi
mukosa traktus gastrointestinal dan membatasi sekresi asam lambung, serta menunjang
kerja dari platelet. Penghambatan sintesis prostaglandin oleh antipiretika melalui
hambatan COX-1 akan dapat menyebabkan efek samping berupa erosi mukosa dan
perdarahan pada traktus gastrointestinal. Selain itu hambatan kerja pada platelet juga
akan dapat menimbulkan efek samping perdarahanStrategi berikutnya yang digunakan
untuk mengurangi efek samping dari penghambatan COX-1 adalah dengan memproduksi
antipiretika yang secara selektif menghambat COX-2, contohnya celecoxib dan
rofecoxib. Namun, antipiretika inhibitor selektif COX-2 ini juga menimbulkan efek
merugikan yaitu adanya kecenderungan terjadi peningkatan tekanan darah.
Perkembangan berikutnya ternyata selain terdapat COX-1 dan COX-2, juga ditemukan
COX-3. COX-3 lebih banyak terdapat di otak dan sistem saraf pusat sehingga inhibitor
COX-3 akan bekerja menghambat sintesis prostaglandin yang mengacaukan termostat di
hipothalamus. Obat dengan mekanisme penghambatan COX-3 ini contohnya adalah
parasetamol. Parasetamol, aspirin dan ibuprofen adalah obat antipiretika yang paling
sering digunakan pada populasi anak- anak. Aspirin merupakan jenis antipiretika yang
tertua namun penggunaannya pada anak-anak telah ditinggalkan karena telah terbukti
dapat menjadi faktor risiko yang dapat menimbulkan sindrom Reye. Saat ini perannya
telah digantikan oleh ibuprofen dan parasetamol. Meskipun demikian, pada kenyataannya
aspirin saat ini masih banyak digunakan di beberapa Negara.
c. Mengapa demam hanya turun beberapa jam kemudian naik lagi?
Mungkin karena sudah habisnya kerja dari obat penurun panas yang dikonsumsi Doni.
Obat penurun panas memiliki efek terapi sebagai antipiretik maupun analgesik, tetapi
tidak memiliki efek antiinflamasi, hanya bekerja untuk menurunkan panas dengan cara
menghambat sekresi prostaglandin dengan cara memhambat enzim Cyclooksigenase
(COX) dimana prostaglandin berperan dalam meningkatkan suhu tubuh.
3. Demam meningkat terutama saat malam hari dan turun disiang hari tetapi tidak sampai suhu
normal.
a. Mengapa demam meningkat terutama pada malam hari dan turun saat siang haritetapi
tidak sampai suhu normal?
Sifat demam yang remiten terjadi akibat siklus agen infeksius, dalam hal ini bakteri, dan
ritme aktivitas host. Seperti misalnya, demam terjadi di sore hingga malam hari karena
pada waktu tersebut metabolisme tubuh telah menurun, sehingga suhu tubuh ikut
menurun. Akibatnya, tubuh mengkompensasi set point “palsu” yang di set oleh bakteri
dengan mekanisme demam. Sedangkan menggigil adalah salah satu mekanisme
termogenesis dalam usaha meningkatkan suhu. Pada umumnya menggigil terjadi pada
demam yang suhunya jauh dari nilai normal.
b. Apa jenis demam berdasarkan disripsi di atas?
Kesimpulan pasien demam tipe sepsis dan remiten
4. Doni juga mengeluh mual, tidak muntah, nafsu makan menurun, nyeri perut, konstipasi,
buang air kecil biasa, dan nafas bau.
a. Apa hubungan gejala yang dialami doni dengan demam?
1. Mual menurut Sylvia A. Price (2005) adalah perasaan yang sangat tidak enak
dibelakang tenggorokan dan epigastrum yang sering menyebabkan muntah. Tanda
dari mual itu antara lain meningkatnya saliva, hendak muntah, hendak pingsan,
berkeringat, dan takikardi. Mual tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
impuls iriatif yang datang dari traktus gastrointestinal, dari bawah otak yang
berhubungan dengan motion sickness, dan dari korteks serebri untuk mencetuskan
muntah (Guyton and Hall, 2008). Mual memang sangat berkaitan dengan muntah.
Muntah itu sendiri merupakan suatu refleksi yang menyebabkan dorongan ekspulsi isi
lambung atau usus atau keduanya ke mulut (Price, 2005).
Mual terjadi akibat bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hati dan limpa,
akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi
rasa mual.
2. Nafsu makan menurun akibat berkurangnya saliva yang melapisi lidah
mengakibatkan hilangnya rasa haus dan nafsu makan
3. Nyeri abdomen, disebabkan oleh infeksi dari bakteri salmonella typhi yang
menyerang usus halus.
4. Konstipasi terjadi akibat infiltrsi monosit yang mengakibatkan terjadinya inflamasi
pada bintik payeri dan penyemppitan lumen usus.
5. Nafas bau terjadi akibat Salmonella typhi sebagai bakteri gram negatif merupakan
bakteri anaerob yang tidak membutuhkan oksigen bebas untuk bertahan hidup.
Bakteri gram negatif memiliki kemampuan untuk mengonsumsi protein dalam jumlah
besar dan mengekskresikan sulfur yang berbau tidak sedap.
b. Apa saja kemungkinan penyakit yang dialami doni jika dilihat dari gejala yang dialami?
Dari gejala mual dan muntah, kemungkinan penyakit tersebut berhubungan dengan
system pencernaannya. Kemudian dari demam itu bisa diperkirakan adanya infeksi. Agen
infeksi menyebabkan timbulnya reaksi peradangan atau inflamasi. Sedangkan tanda
inflamasi adalah tumor, rubor, kalor, dolor, dan funsiolase. Makna kalor di sini adalah
menimbulkan panas. Inflamasi ini bertujuan agar infeksi tidak menyebar (Guyton and
Hall, 2008). Selain itu bakteri juga mempunyai endotoksin yang merangsang pelepasan
zat pirogen dari sel-sel makrofag dan sel leukosit PMN (Staf Pengajar Fakultas
Kedokteran Universitas Indonmesia, 1994). Untuk melakukan analisa selnajutnya perlu
dilakukan pemeriksaan fisik. Ternyata didapatkan lidah kotor dan ada
hepatosplenomegali. Hal ini bisa disebabkan virus tersebut memang menyerang atau
sampai ke bagian hepar dan lien atau memang terjadi destruksi sel darah. Dari ciri-ciri
tersebut memang sangat spesifik dengan demam typhoid, tetapi tidak bisa didiagnosis
begitu saja.
Ada kemungkinan doni menderita penyakit leptospirosis, tetapi pada penderita
leptospirosis urin penderita berwarna kehitaman, dan gejala tersebut tidak ada pada doni.
Selain itu, gejala yang ada juga mirip dengan penyakit malaria, tetapi doni tidak
mengalami menggigil yang biasa dialami penderita malaria lainnya dan doni dari riwayat
perjalanannya, doni tidak bepergian ke daerah endemic malaria
c. Bagaimana mekanisme terjadinya mual, penurunan nafsu makan, nyeri perut, konstipasi,
dan nafas bau?
Mual : Pasien demam tifoid juga sering mengeluhkan mual. Mual adalah pengenalan
secara sadar terhadap eksitasi bawah sadar pada daerah medulla yang secara erat
berhubungan dengan atau merupakan bagian dari pusat muntah, dan mual dapat
disebabkan impuls iritasi yang datang dari traktus gastrointestinal. Pada tahap awal dari
iritasi atau distensi yang berlebihan, antiperistalsis mulai terjadi, sering beberapa menit
sebelum muntah terjadi. Antiperistalsis dapat dimulai sampai sejauh ileum di traktus
intestinal, dan gelombang antiperistalsis bergerak mundur naik ke usus halus dengan
kecepatan 2-3 cm/ detik; proses ini benar-benar dapat mendorong sebagian besar isi usus
kembali ke duodenum, lambung dalam waktu 3- 5 menit. Kemudian pada saat bagian atas
traktus gastrointestinal, terutama duodenum, menjadi sangat meregang, peregangan ini
menjadi faktor pencetus yang menimbulkan tindakan muntah sebenarnya.
Distensi berlebihan atau iritasi traktus gastrointestinal menyebabkan suatu rangsangan
khusus yang kuat untuk muntah. Impuls ditransmisikan, baik oleh saraf aferen vagal
maupun oleh saraf simpatis ke pusat muntah bilateral di medulla, yang terletak dekat
traktus solitaries lebih kurang pada tingkat nucleus motorik dorsalis vagus. Impuls-
impuls motorik yang menyebabkan muntah ditransmisikan dari pusat muntah melalui
saraf kranialis V, VII, IX, X & XII ke traktus gastrointestinal bagian atas & melalui saraf
spinalis bagian atas.
Konstipasi : Didalam plague peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi karena erosi pembuluh darah sekitar
plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Nafas bau
Penyebab utama nafas berbau adalah terbentuknya lapisan
pucat (bio film) pada lidah yang menjadi tempat
berkumpulnya ribuan bakteri yang memproduksi gas. S.
typhi merupakan organisme yang menghasilkan gas
H2S( seperti bau kentut). Gas H2s yang dihasilkan oleh s.
typhii itulah yang membuat nafas menjadi bau.
5. Satu hari yang lalu, Doni juga mengeluh demamnya semakin tinggi, tidak menggigil, serta
mengeluh mual dan muntah. Doni menyangkal berpergian keluar kota dalam beberapa bulan
terakhir.(***)
a. Mengapa demamnya semakin tinggi setelah 8 hari?
Masa inkubasi bakteri selama 8-14 hari jadi setelah 8 hari bakteri salmonella typi
menyebabkan reaksi inflamasi ini akan menghasilkan pirogen endogen sehingga set point
tubuh meningkat, dan suhu tubuh pun meningkat
b. Mengapa Doni tidak menggigil?
Demam umumnya terjadi akibat adanya rangsangan untuk meningkatkan suhu tubuh atau
adanya gangguan pada pusat pengatur suhu, yaitu hipotalamus. Pada pasien, demam
terjadi akibat adanya rangsangan terhadap metabolisme asam arachidonat oleh pirogen
endogen (IL-1) yang dirangsang oleh pirogen eksogen yang ada pada toksin bakteri atau
agen infeksius lainnya. Sifat demam yang remiten terjadi akibat siklus agen infeksius,
dalam hal ini bakteri, dan ritme aktivitas host. Seperti misalnya, demam terjadi di sore
hingga malam hari karena pada waktu tersebut metabolisme tubuh telah menurun,
sehingga suhu tubuh ikut menurun. Akibatnya, tubuh mengkompensasi set point “palsu”
yang di set oleh bakteri dengan mekanisme demam. Sedangkan menggigil adalah salah
satu mekanisme termogenesis dalam usaha meningkatkan suhu. Pada umumnya
menggigil terjadi pada demam yang suhunya jauh dari nilai normal.
Pada kasus ini, Doni memiliki suhu 38,5 C, dimana pada suhu tersebut Prostaglandin
tidak meningkatkan patokan thermostat di hipotalamus sehingga hipotalamus
menganggap suhu patokan dan suhu sekarangnya sama sehingga tidak terjadi proses
menggigil (mekanisme peningkatan panas).
c. Mengapa Doni mengeluh mual dan muntah pada hari ke-8?
Adanya infeksi dari S. typhi baik pada saluran cerna maupun organ lain, akan
menyebabkan reaksi inflamasi. Rasa tidak nyaman pada bagian perut juga merupakan
hasil reaksi inflamasi pada saluran cerna yang menghasilkan bradikinin. Adanya
bradikinin akan menimbulkan sensasi nyeri. Sedangkan endotoksin yang dihasilkan S.
typhi dapat menyebabkan gangguan kardiovaskular, gangguan neuropsikiatrik, dan
gangguan pernafasan (Sudoyo, 2006).
d. Apa hubungan berpergian keluar kota dengan demam?
Berhubungan dengan Penegakan Diagnosis
6. Keadaan umum: tampak sakit sedang, TD: 110/80 mmHg, RR:24xmenit, Nadi:92x/menit,
suhu:38,5 C
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan (keadaan umum) yang dilakukan?
Dari keadaan umum yag diderita oleh Doni tersebut diketahui :
Keadaan Normal Pada Kasus
Tekanan Darah 120/80 mmHg 110/80 mmHg (normal)
Denyut Nadi 60- 100x/menit 92x/menit (normal)
Respiration Rate 16-24x/menit 24x/menit (normal)
Suhu 36,5-37,5°c 38,5°c (tidak normal)
Dari data diatas disebutkan bahwa keadaan umum yang tidak normal adalah suhu dan
tampak sakit sedang. Dalam kasus ini, suhu tampak tinggi diakibatkan pada penderita
demam tifoid akan terjadi peningkatan suhu. Pada keadaan ini demam biasa berlangsung
selama 3 minggu. Suhu tinggi ini merupakan salah satu tanda bahwa tubuh terkena
infeksi atau mengalami peradangan dan hal ini lebih sering terjadi pada saat malam hari .
Kemudian untuk keadaan umum tampak sakit sedang dapat diketahui bahwa Doni
seharusnya dirawat untuk tindakan selanjutnya, karena pada kasus penderita demam
tifoid ada tingkatan sakit yaitu tampak masih sakit ringan, sakit sedang , dan sakit berat.
7. Keadaan sepesifik: kepala: rhagaden, coated tongue, thorax:paru dalam batasa normal,
jantung:HR:92x/menit, abdomen:datar, lemas, nyeri tekan epigastrium, bising usus menurun,
hepar lien tdak teraba, ekstremitas dalam batas normal
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan (keadaan spesifik) yang dilakukan?
Rhagaden merupakan pertanda dari dehidrasi, kekurangan nutrisi dan sindrom Sjögren.
Sindrom itu adalah penyakit autoimun yang menyerang kelenjar penghasil kelembapan.
Hal lain juga dapat disebabkan radang pada kulit bibir akibat penetrasi substansi asing ke
dalam kulit. Namun pada kasus ini, kemungkinan besar adalah dehidrasi karena
banyaknya cairan tubuh yang keluar ke lumen usus akibat peradangan dinding usus.
Coated Tongue hasil dari peradangan pada jari-seperti proyeksi (papila) pada permukaan
lidah Anda. Munculnya lapisan putih disebabkan oleh bakteri dan sel-sel mati yang
terdapat diantara papilla yang radang.
Nyeri tekan epigastriumkemungkinan adanya kelainan organ pada area epigastrium
seperti perbesaran hati.
Bising Usus Menurun kemungkinan diakibatkan oleh efek proses peradangan dan
aktivitas enzim pada motilitas usus. Hal ini memperberat ketidakseimbangan cairan pada
penyakit ini.
Hepar dan Lien tidak teraba memberi arti bahwa kedua organ tidak mengalami
perbesaran. Sehingga pada kasus demam tifoid ini, Doni belum mengalami perbesarah
hepar ataupun lien.
b. Bagaimana cara pemeriksaan fisik?
i. Pemeriksaan Kepala
Umumnya pemeriksaan kepala adalah dengan inspeksi dan palpasi.
Mulut
Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi, mencium bau nafas, dan dengan bantuan alat
(spatula lidah)
Bibir : bibir pecah-pecah, retakkan (Rhagaden)
Lidah : diperiksa apakah berselaput ( demam tifoid), bergetar
(tremor), basah atau kering (dehidrasi)
ii. Pemeriksaan Thorax (Paru dan Jantung)
Pemeriksaan Thorax saat pasien duduk
Inspeksi
o Melihat bentuk dada anterior dan posterior
o Melihat ada tidaknya deviasi
o Melihat ada tidaknya bendungan vena pada dinding dada
Palpasi
NOTE : Mulai dari palpasi hingga auskultasi, Posisi kedua skapula harus dalam
keadaan terbuka untuk memperluas lapang pemeriksaan. *minta pasien untuk
meletakkan kedua tangannya pada bahu
o Membandingkan gerakan dada posterior kanan - kiri
o Merasakan fremitus taktil suara dengan cara meminta pasien
mengucapkan "tujuh - tujuh"
Posisi kedua tangan pada pemeriksaan dada posterior
Perkusi
Tujuan dari perkusi adalah berusaha menangkap getaran suara yang dihasilkan dari
phalange (tulang jari). ada beberapa jenis suara yang mungkin dihasilkan dari perkusi
Prosedur perkusi
o Tempatkan jari pleksimeter pada dinding dada yang akan diperiksa untuk
menghasilkan bunyi perkusi yang lebih keras, tekan jari dengan kuat. Cara ini
lebih baik daripada melakukan pengetukan lebih keras
o Pada tangan lainnya, lakukan pengetukan tanpa pergerakan siku(lakukan
pengetukan dengan cepat dan seperti refleks)
o Pengetukan dilakukan di bagian paling ujung (pada gambar), kemudian pindahkan
jari dengan cepat agar getaran tidak teredam.
Pemeriksaan :
Menentukan batas bawah paru
Membandingkan bunyi perkusi paru kanan dan
kiri secara berurutan
NOTE (secara normal : orang Indonesia batas bawah pulmo dextra posterior terletak
sejajar dengan processus spinosus thoracal IX atau thoracal X, batas bawah pulmo
sinistra posterior terletak sejajar dengan processus spinosus thoracal VIII atau IX)
Auskultasi
Auskultasi dinding dada posterior kurang kuat terdengar dibandingkan auskultasi
anterior. (kecuali di triangle of auscultation) walau begitu biasanya, pemeriksaan ini
tetap dilakukan oleh para dokter muda.
Posisi steshoscope sewaktu auscultasi adalah sama seperti pada palpasi fremitus
suara.
Pemeriksaan yang dilakukan sewaktu pasien berbaring
Ada dua jenis pemeriksaan yang dilakukan sewaktu pasien berbaring, yaitu :
o Pemeriksaan Paru anterior
o Pemeriksaan Jantung
1. Pemeriksaan Paru Anterior
Inspeksi
Melihat keadaan sela iga sewaktu bernafas (secara normal : sela iga akan ekspansi
atau meregang saat inspirasi dan kembali ke posisi semula sewaktu ekspirasi)
Palpasi
o Membandngkan gerakan dinding dada sewaktu bernafas
o Merasakan getaran fremitus suara
Posisi kedua tangan sewaktu palpasi thorax anterior
Perkusi
o Membandingkan bunyi perkusi paru kanan - kiri anterior secara berurutan
o Menentukan batas paru – hepar
Perkusi dilakukan di sepanjang garis midklavikula dextra. Batas paru hepar
ditentukan setelah terjadi perubahan suara dari sonor ke pekak.
o Menentukan batas paru – lambung
Perkusi dilakukan di sepanjang garis axilla anterior sinistra. Batas paru - lambung
ditentukan setelah terjadi perubahan suara dari sonor ke timpani. (secara normal :
batas paru - lambung orang Indonesia berada di Intercostae VII atau intercostae
VIII).
o Menentukan batas peranjakan paru
Perkusi dilakukan di batas paru - hepar. setelah pasien diminta untuk menahan
nafas, batas paru- hepar yang semula berbunyi perkusi "pekak" akan berganti
menjadi "sonor". Perkusi dilanjutkan sampai ditemukan batas paru - hepar yang
baru, kemudian tentukan seberapa besar batas peranjakan paru. (secara normal :
batas peranjakan paru adalah 2 cm atau sebesar 2 jari orang dewasa).
Auskultasi
Membandingkan bunyi nafas dasar paru anterior dan bronkial pada pasien
2. Pemeriksaan Jantung
Inspeksi
o Melihat ada tidaknya bendungan vena pada dinding dada
o Melihat pulsasi iktus cordis
Palpasi
o Mencari pulsasi iktus cordis (secara normal : iktus cordis terletak di garis
midklavikula sinistra Intercostae V)
o Denyut jantung dapat dihitung pada iktus cordis (walaupun cara ini tidak lazim
dilakukan)
Perkusi
o Menentukan batas kanan jantung
Batas kanan jantung ditentukan setelah batas paru hepar ditemukan
o Menentukan batas kiri jantung
Batas kiri jantung ditentukan setelah batas paru - lambung ditemukan
Auskultasi
Mendengarkan bunyi jantung I (saat katup mitral dan trikuspidal menutup) dan bunyi
jantung 2 (saat katup aorta dan pulmonal menutup) pada masing - masing katup jantung.
8. Pemeriksaan laboratorium: Hb:12,5g%, leukosit:4800/mg3, Ht:37%, LED:8mm/jam
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium?
Hemoglobin
Wanita 12-16 gr/dL
Pria 14-18 gr/dL
Anak 10-16 gr/dL
Bayi baru lahir 12-24gr/dL
Penurunan Hb terjadi pada penderita: anemia penyakit ginjal, dan pemberian cairan intra-
vena (misalnya infus) yang berlebihan. Selain itu dapat pula disebabkan oleh obat-obatan
tertentu seperti antibiotika, aspirin, antineoplastik (obat kanker), indometasin (obat
antiradang).
Peningkatan Hb terjadi pada pasien dehidrasi, penyakit paru obstruktif menahun (COPD),
gagal jantung kongestif, dan luka bakar. Obat yang dapat meningkatkan Hb yaitu
metildopa (salah satu jenis obat darah tinggi) dan gentamicin (Obat untuk infeksi pada
kulit
Jadi, Hb doni rendah.
Leukosit
Bayi baru lahir 9000 -30.000 /mm3
Bayi/anak 9000 – 12.000/mm3
Dewasa 4000-10.000/mm3
Peningkatan jumlah leukosit (disebut Leukositosis) menunjukkan adanya proses infeksi
atau radang akut,misalnya pneumonia (radang paru-paru), meningitis (radang selaput
otak), apendiksitis (radang usus buntu), tuberculosis, tonsilitis, dan Iain-Iain. Selain itu
juga dapat disebabkan oleh obat-obatan misalnya aspirin, prokainamid, alopurinol,
antibiotika terutama ampicilin, eritromycin, kanamycin, streptomycin, dan Iain-Iain.
Penurunan jumlah Leukosit (disebut Leukopeni) dapat terjadi pada infeksi tertentu
terutama virus, malaria, alkoholik, dan Iain-Iain. Selain itu juga dapat disebabkan obat-
obatan, terutama asetaminofen (parasetamol),kemoterapi kanker, antidiabetika oral,
antibiotika (penicillin, cephalosporin, kloramfenikol), sulfonamide (obat anti infeksi
terutama yang disebabkan oleh bakteri).
Jadi, Leukosit doni normal.
b. Hematokrit
Anak 33 -38%
Pria dewasa 40 – 48 %
Wanita dewasa 37 – 43 %
Penurunan HMT terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan darah akut (kehilangan
darah secara mendadak, misal pada kecelakaan), anemia, leukemia, gagalginjal kronik,
mainutrisi, kekurangan vitamin B dan C, kehamilan, ulkuspeptikum (penyakit tukak
lambung).
Peningkatan HMT terjadi pada dehidrasi, diare berat,eklampsia (komplikasi pada
kehamilan), efek pembedahan, dan luka bakar, dan Iain-Iain.
Jadi, hematocrit doni rendah.
c. LED
Laki-Laki 0-8 mm/jam
Perempuan 0-15 mm/jam
Peningkatan LED terjadi pada infeksi akut lokal atau sistemik (menyeluruh), trauma,
kehamilan trimester II dan III, infeksi kronis, kanker, operasi, luka bakar.
Penurunan LED terjadi pada gagal jantung kongestif, anemia sel sabit, kekurangan faktor
pembekuan, dan angina pektoris (serangan jantung).Selain itu penurunan LED juga dapat
disebabkan oleh penggunaan obat seperti aspirin, kortison, quinine, etambutol.
Jadi, Led doni normal.
9. Dokter melakukan beberapa pemeriksaan penunjang lain. Setelah melihat hasilnya dokter
menimpulkan bahwa Doni menderita demam tifoid.
a. Apa hubungan demam tifoid dengan umur?
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara
insiden pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, faktor risiko darInsiden pasien
demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun 10 – 20 %, usia >
40 tahun 5 – 10 %.
Di daerah endemik, anak-anak antara usia 1 dan 5 tahun berada pada risiko tertinggi
perkembangan infeksi S. Typhi karena memudarnya antibodi pasif yang diperoleh dari
ibu dan berkurangnya imunitas yang diperoleh.
b. Apa faktor internal dan eksternal yang dapat menyebabkan demam tifoid?(yola)
1. 96% kasus demam tifoid disebabkan oleh S. Typhi sisanya disebabkan oleh S.
Paratyphi.
2. Sanitasi lingkungan yang buruk
Sanitasi lingkungan yang buruk meliputi sumber air bersih yang tercemar, kondisi
lingkungan sekitar rumah maupun di dalam rumah yang kotor (sampah bertebaran di
mana-mana), kotoran hewan di jalan umum yang tidak dibersihkan (dibiarkan begitu
saja), dan sebagainya.
3. Personal Hygiene yang buruk
Personal hygiene yang buruk ini dapat berupa perilaku tidak bersih dan sehat oleh
anggota masyarakat, seperti tidak mencuci tangan sebelum maupun sesudah makan,
menggunakan peralatan makan yang sudah dipakai sebelumnya (belum dicuci
langsung dipakai kembali, atau kalaupun dicuci tetapi tidak bersih), tidak
menggunakan jamban atau toilet untuk buang air besar maupun buang air kecil.
4. Menjadikan sungai sebagai sapiteng rumah tangga
Hal ini dapat mencemari sungai sehingga bakteri S. typhi dapat menyebar di dalam
sungai. Jika, sungai tersebut dimanfaatkan sebagai tempat untuk mandi, cuci, kakus
maka bakteri S. typhi akan sangat mudah menginfeksi manusia.
5. Pasteurisasi susu yang tidak baik
Pasteurisasi susu yang menggunakan suhu yang tidak sesuai maka dapat memicu
berkembangnya bakteri-bakteri termasuk bakteri S. typhi, apabila terminum oleh
manusia maka akan masuk ke dalam tubuh dan menginfeksi manusia tersebut.
6. Cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang tidak baik
Cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang tidak sesuai standar
kebersihan, seperti tidak mencuci tangan sebelum mengolah makanan dan minuman,
menggunakan wadah yang tidak bersih, makanan atau minuman dibiarkan terbuka
begitu saja, dan sebagainya. Hal tersebut dapat menyebabkan bakteri mudah
berpindah ke dalam makanan dan minuman kemudian termakan dan menginfeksi
manusia
c. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan oleh dokter?
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan
mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3
metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu
Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada
demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit
lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan
demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90%
penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini
menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%.
Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu
90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur
urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4.
Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan
kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk
jangka waktu yang lama.
Diagnosis serologik
Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin
yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid,
pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah
mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling
sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini
mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung.
Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine)
secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam
spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA.
d. Apa ciri-ciri penderita demam tifoid?
Pada minggu pertama ditemukan gejala dan keluhan serupa penyakit infeksi akut pada
umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan
fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-
lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala tampak
lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti dengan
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi
dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan
mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang
ditemukan pada orang Indonesia.
e. Bagaimana patofisiologi terjadi demam tifoid?
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung
dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas
humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
f. Apa saja bakteri yang dapat menyebabkan demam tifoid? Dan bentuk-bentuk bakterinya?
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi tapi penyakit ini juga dapat
disebabkan oleh S.enteritidis biserotip paratyphi A dan S.enteritidis biserotip paratyphi B
yang disebut oleh demam paraitorid. Kuman berbentuk batang, tidak berspora, pada
pewarnaan gram bersifat negatif Gram, ukuran 1-3.5 µm x 0.5-0.8 µm, besar koloni rata-
rata 2-4 mm, mempunyai flagel peritrikh.
g. Bagaimana masa inkubasi bakteri yang dapat menyebabkan demam tifoid?
Masa inkubasi (masa dari masuknya bakteri ke dalam tubuh sampai menimbulkan
gejala) demam tifoid/paratifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari)
bergantung jumlah dan tipe bakteri yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap
dalam keadaan tidak bergejala. Penularan penyakit dapat melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah),
Fly(lalat), dan melalui Feses(tinja).
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika.
Melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar
keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Kuman akan
meninggalkan sel-sel fagosit dan akan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
selanjutnya masuk ke sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya yang disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu di eksresikan secara intermitten kedalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan
mental, dan koagulasi.
Didalam plague peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi karena erosi pembuluh darah sekitar
plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.
Pada minggu pertama, gejalanya menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti
demam (suhu tubuh meningkat terutama sore dan malam hari), sakit kepala, mual,
muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare pada anak-anak, atau sembelit pada
orang dewasa.
Pada minggu kedua, gejala menjadi lebih jelas yaitu demam yang tinggi terus-menerus,
nafas berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir kering pecah-pecah, lidah
ditutupi selaput putih kotor, pembesaran hati dan limpa serta terasa nyeri bila diraba,
perut kembung.
h. Bagaimana patogenesis bakteri penyebab demam tifoid?
1. Penempelan dan invasi sel – sel M Peyer’s patch
2. Bakteri bertahan hidup dan bermultifikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus
limfatikus mesenterikus, dan organ – organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial
3. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah
4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal
i. Bagaimana penatalaksanaan demam tifoid?
Sudoyo (2006) menyarankan untuk menggunakan trilogi penatalaksanaan demam tifoid,
yakni istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, serta pemberian antimikroba.
1. Istirahat dan perawatan
Istirahat dengan tirah baring sangat diperlukan untuk mencegah komplikasi.
Perawatan kebersihan dari tempat pasien juga menjadi sangat penting. Posisi pasien
harus diperhatikan guna mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik.
2. Diet dan terapi penunjang
Diet yang buruk dapat menurunkan keadaan umum pasien sehingga memperlambat
proses penyembuhan. Pemberian makanan halus dulu dipercaya berguna untuk
mengurangi beban kerja saluran cerna. Namun, penelitian menunjukkan bahwa
pemberian makanan padat dini rendah selulosa tidak member efek buruk pada pasien.
3. Pemberian antimikroba
Pilihan antibiotik yang biasa digunakan adalah Kloramfenikol, Tiamfenikol,
Kotrimoksazol, Ampisillin dan Amoksisillin, Sefalosporin generasi ketiga, serta
golongan Fluorokuinolon. Kombinasi dua antimikroba atau lebih hanya bisa
diindikasikan pada keadaan seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok
septik, yang pernah terbukti ditemukan dua jenis mikroorganisme dalam kultur darah
selain Salmonella.
KERANGKA KONSEP
KESIMPULAN
Doni laki-laki 18 tahun menderita demam tifoid karena terinfeksi bakteri Salmonella sp.
LEARNING ISSUE
A. Bakteri Salmonella sp
Salmonella
Salmonella merupakan bakteri batang gram-negatif. Karena habitat aslinya yang berada di dalam
usus manusia maupun binatang, bakteri ini dikelompokkan ke dalam enterobacteriaceae (Brooks,
2005).
Isolasi dari mikroorganisme Salmonella pertama sekali dilaporkan pada tahun 1884 oleh Gaffky
dengan nama spesies Bacterium thyposum. Kemudian, pada tahun 1886 perkembangan
nomenklatur semakin kompleks karena peranan Salmon dan Smith serta sempat menjadi bahan
pembicaraan yang rumit. Bahkan dalam perkembangannya, Salmonella menjadi bakteri yang
paling kompleks dibandingkan enterobacteriacea lain, oleh karena bakteri ini memiliki lebih dari
2400 serotipe dari antigen bakteri ini (Winn, 2006).
Walaupun begitu banyak serotip dari Salmonella, namun telah disepakati bahwa hanya terdapat
dua spesies, yakni S. bongori dan S. enterica dengan enam subspesies .
Klasifikasi spesies dan subspesies Salmonella
Spesies : Salmonella enterica
Subspesies :
S. enteric subsp. enteric (I)
S. enteric subsp. salamae (II)
S. enteric subsp. arizonae (IIIa)
S. enteric subsp. diarizonae (IIIb)
S. enteric subsp. houtenae (IV)
S. enteric subsp. indica (VI)
Salmonella bongori (V)
Klasifikasi Salmonella terbentuk berdasarkan dasar epidemiologi, jenis inang, reaksi biokimia,
dan struktur antigen O, H, V ataupun K. Antigen yang paling umum digunakan untuk Salmonella
adalah antigen O dan H.
Antigen O, berasal dari bahasa Jerman (Ohne), merupakan susunan senyawa lipopolisakarida
(LPS). LPS mempunyai tiga region. Region I merupakan antigen O-spesifik atau antigen dinding
sel. Antigen ini terdiri dari unit-unit oligosakarida yang terdiri dari tiga sampai empat
monosakarida. Polimer ini biasanya berbeda antara satu isolat dengan isolat lainnya, itulah
sebabnya antigen ini dapat digunakan untuk menentukan subgrup secara serologis. Region II
merupakan bagian yang melekat pada antigen O, merupakan core polysaccharide yang konstan
pada genus tertentu. Region III adalah lipid A yang melekat pada region II dengan ikatan dari 2-
keto-3-deoksioktonat (KDO). Lipid A ini memiliki unit dasar yang merupakan disakarida yang
menempel pada lima atau enam asam lemak. Bisa dikatakan lipid A melekatkan LPS ke lapisan
murein-lipoprotein dinding sel (Dzen, 2003).
Antigen H merupakan antigen yang terdapat pada flagela dari bakteri ini, yang disebut juga
flagelin. Antigen H adalah protein yang dapat dihilangkan dengan pemanasan atau dengan
menggunakan alkohol. Antibodi untuk antigen ini terutamanya adalah IgG yang dapat
memunculkan reaksi aglutinasi. Antigen ini memiliki phase variation, yaitu perubahan fase
salam satu serotip tunggal. Saat serotip mengekspresikan antigen H fase-1, antigen H fase-2
sedang disintesis (Chart, 2002).
Antigen K berasal dari bahasa Jerman, kapsel. Antigen K merupakan antigen kapsul polisakarida
dari bakteri enteric (Dzen, 2003). Antigen ini mempunyai berbagai bentuk sesuai genus dari
bakterinya. Pada salmonella, antigen K dikenal juga sebagai virulence antigen (antigen Vi).
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, antigen menentukan klasifikasi dari Salmonella, yakni
ke dalam serogrup dan serotipnya.
Demikian banyaknya serotip dari Salmonella, namun hanya Salmonella typhi, Salmonella
cholera, dan mungkin Salmonella paratyphi A dan Salmonella parathypi B yang menjadi
penyebab infeksi utama pada manusia. Infeksi bakteri ini bersumber dari manusia, namun
kebanyakan Salmonella menggunakan binatang sebagai reservoir infeksi pada manusia, seperti
babi, hewan pengerat, ternak, kura-kura, burung beo, dan lain-lain. Dari beberapa jenis
salmonella tersebut di atas, infeksi Salmonella typhi merupakan yang tersering.
SALMONELLA TYPHII
Penamaan yang umum digunakan, seperti Salmonella typhi sebenarnya tidak benar. Taksonomi
S. typhi adalah sebagai berikut.
Phylum : Eubacteria
Class : Prateobacteria
Ordo : Eubacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Species : Salmonella enterica
Subspesies : enteric (I)
Serotipe : typhi
Karena itu, penamaan yang benar adalah S. enterica subgrup enteric serotip typhi, ataupun sering
dipersingkat dengan S. enteric I ser. typhi. Namun penamaan Salmonella typhi telah umum
digunakan karena lebih sederhana sehingga penamaan ini lebih sering digunakan dalam tulisan
ini.
Morfologi
S. typhi merupakan bakteri batang gram negatif dan tidak membentuk spora, serta memiliki
kapsul. Bakteri ini juga bersifat fakultatif, dan sering disebut sebagai facultative intra-cellular
parasites. Dinding selnya terdiri atas murein, lipoprotein, fosfolipid, protein, dan lipopolisakarida
(LPS) dan tersusun sebagai lapisan-lapisan (Dzen, 2003).
Ukuran panjangnya bervariasi, dan sebagian besar memiliki peritrichous flagella sehingga
bersifat motil. S. typhi membentuk asam dan gas dari glukosa dan mannosa. Organisme ini juga
menghasilkan gas H2S, namun hanya sedikit (Winn, 2006). Bakteri ini tahan hidup dalam air
yang membeku untuk waktu yang lama (Brooks, 2005).
S. typhi di bawah mikroskop
Sumber: Kunkel (2001) dalam Pollack, 2003
S. typhi pada McConkey
Sumber: Kelleher, 2004
Penentu Patogenitas, Patogenesis dan Patologi
S. typhi yang menginfeksi manusia dan menyebabkan demam enterik, yakni demam tifoid.
Jumlah organisme dalam makanan dan minuman yang terkontaminasi menentukan infection rate.
a. Penentu patogenitas
Antigen Vi dari serotip S. typhi merupakan bentuk antigen K. Sejumlah penelitian menunjukkan
bahwa Vi mempunyai sifat antiopsonik dan antifagositik, mengurangi sekresi TNFα terhadap S
enterica ser. Thypi oleh makrofag inang, meningkatkan resistensi bakteri terhadap oxidative
killing (Wain, 2005). Antigen Vi meningkat infektivitas dari S. thypi dan keparahan penyakitnya.
Antigen O menurunkan kepekaan bakteri terhadap protein komplemen, host cationic proteins,
dan interaksi dengan makrofag. Antigen O memberikan perlindungan dari serum normal karena
adanya complement-activating A dan LPS core polysaccharides. Selain itu, antigen O juga
mencegah aktivasi dan deposisi faktor komplemen (Dzen, 2003).
Plasmid virulensi untuk Salmonella hanya ditemukan pada beberapa serotip dari subgrup I saja,
salah satunya S. typhi. Plasmid virulensi ini penting untuk multiplikasi bakteri di sistem
retikuloendotelial. Namun, beberapa mengatakan bahwa plasmid tidak menentukan keparahan
dari invasi bakteri karena perannya yang hanya bekerja di luar sel-sel intestinal. Berdasarkan
penelitian, plasmid ini hanya membantu replikasi bakteri di makrofag (Rotger, 1999).
S. typhi juga diduga memiliki adhesion yang berasal dari Outer Membrane Protein (OMP)
dengan berat molekul sekitar 36kDa, yang kemudian dikenal sebagai Adh036. Adh036 ini
bersifat imunogenik dan mampu menginduksi respon imun mucosal dengan terbentuknya SIsA
protektif pada mencit (Dzen, 2003).
Seperti halnya semua bakteri basil enterik, S. typhi juga menghasilkan endotoksin. Endotoksin
merupakan senyawa lipopolisakarida (LPS) yang dihasilkan dari lisisnya sel bakteri. Di
peradaran darah, endotoksin ini akan berikatan dengan protein tertentu kemudian berinteraksi
dengan reseptor yang ada pada makrofag dan monosit serta sel-sel RES, maka akan dihasilkan
IL-1, TNF, dan sitokin lainnya. Selain itu, S. typhi juga menghasilkan sitotoksin, namun hanya
sedikit sekali (Dzen, 2003)
S. enterica memiliki region DNA yang berhubungan dengan patogenitasnya dan dimiliki oleh
semua serotipnya. Region ini disebut sebagai Salmonella Patogenicity Island sering disingkat
dengan SPI (Retamal, 2010). SPI berfungsi dalam menambah fungsi virulensi yang kompleks
oleh bakteri terhadap inang yang diinfeksinya (Saroj, 2008). Hensel (2004), Chiu (2005),
Vernikos & Parkhill (2006) dalam Saroj (2008) mengatakan bahwa adalah sekitar 17 jenis SPI
yang sudah dideteksi.
SPI-1 dan SPI-2 mengatur type III secretion system (T3SS) yang membentuk organela berbentuk
syringe. Organela ini akan mempermudah bakteri untuk menginjeksi langsung sitosol dari sel
inang. SPI-1 dan SPI-2 mempunyai peran yang berbeda sesuai dengan organ yang dipengaruhi.
SPI-1 bekerja pada sel enterosit dan menginisiasi inflamasi. SPI-2 bekerja dalam pertahanan dan
multiplikasi bakteri pada sel fagositik. SPI-7 merupakan genom terbesar yang mencapai ukuran
134 kb dan pertama kali ditemukan pada S. typhi (Seth, 2008). S. typhi juga memiliki SPI-8 dan
SPI-10 (Saroj, 2008).
Kemampuan patogen pada manusia untuk mempengaruhi siklus Na+ memungkinkan adanya
faktor virulensi, salah satunya pada S. typhi (Hase, 2011).
b. Patogenesis
Salmonella yang terbawa melalui makanan ataupun benda lainnya akan memasuki saluran cerna.
Di lambung, bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam lambung, namun yang lolos akan masuk ke
usus halus. Bakteri ini akan melakukan penetrasi pada mukosa baik usus halus maupun usus
besar dan tinggal secara intraseluler dimana mereka akan berproliferasi. Ketika bakteri ini
mencapai epitel dan IgA tidak bisa menanganinya, maka akan terjadi degenerasi brush border.
Kemudian, di dalam sel bakteri akan dikelilingi oleh inverted cytoplasmic membrane mirip
dengan vakuola fagositik (Dzen, 2003). Setelah melewati epitel, bakteri akan memasuki lamina
propria. Bakteri dapat juga melakukan penetrasi melalui intercellular junction. Dapat
dimungkinkan munculnya ulserasi pada folikel limfoid (Singh, 2001). S. typhi dapat menginvasi
sel M dan sel enterosit tanpa ada predileksi terhadap tipe sel tertentu (Santos, 2003).
Evolusi dari S. typhi sangat mengagumkan. Pada awalnya S. typhi berpfoliferasi di Payer’s patch
dari usus halus, kemudian sel mengalami destruksi sehingga bakteri akan dapat menyebar ke
hati, limpa, dan sistem retikuloendotelial. Dalam satu sampai tiga minggu bakteri akan menyebar
ke organ tersebut. Bakteri ini akan menginfeksi empedu, kemudian jaringan limfoid dari usus
halus, terutamanya ileum. Invasi bakteri ke mukosa akan memicu sel epitel untuk menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-1, IL-6, IL-8, TNF-β, INF, GM-CSF (Singh, 2001).
c. Patologi
Huckstep (1962) dalam Singh (2001) membagi keadaan patologi di Payer patch akibat S. typhi
menjadi 4 fase sebagai berikut.
1. Fase 1 : hiperplasia dari folikel limfoid.
2. Fase 2 : nekrosis dari folikel limfoid pada minggu kedua yang mempengaruhi mukosa dan
submukosa.
3. Fase 3 : ulserasi sepanjang usus yang memungkinkan terjadinya perforasi dan perdarahan.
4. Fase 4 : penyembuhan mungkin terjadi pada minggu keempat dan tidak terbentuk striktur.
Ileum memiliki jumlah dan ukuran Payer’s patch yang lebih banyak dan besar. Meskipun
kebanyak infeksi berada di ileum, namun jejunum dan usus besar juga mungkin mengalami
kelainan dari folikel limfoid.
Egglestone (1979) dalam Singh (2001) mengatakan bahwa perforasi pada demam tifoid biasanya
sederhana dan mempengaruhi pinggiran antimesentrik dari usus dimana lubang muncul.
Ditemukan pembesaran dan kongesti dari limpa dan kelenjar mesentrik pada sistem
retikuloendotelial. Pada biopsi, kemungkinan ditemukan nekrosis fokal hati yang berhubungan
dengan infiltrasi mononuklear (nodul tifoid) dilatasi dan kongesti sinusoidal dan infiltrasi sel
mononuklear pada area portal.
Gambaran yang penting untuk infeksi S. typhi adalah adanya infiltrat neutrofil dan pada hewan
coba ditemukan dominasi dari leukosit mononuklear (Santos, 2003).
Metode isolasi Salmonella
Kultur merupakan metode pembiakan bakteri dalam suatu media. Salmonella pada umumnya
tumbuh dalam media peptone ataupun kaldu ayam tanpa tambahan natrium klorida atau
suplemen yang lain. Media kultur yang sering digunakan dan sangat baik adalah agar
MacConkey (Brooks, 2005)
Media seperti EMB, MacConkey’s atau medium deoksikholat dapat mendeteksi adanya lactose
non-fermenter dengan cepat. Namun lactose non- fermenter tidak hanya dihasilkan oleh
Salmonella, tetapi juga Shigella, Proteus, Serratia, Pseudomonas, dan beberapa bakteri gram
negatif lainnya.
Untuk lebih spesifik, isolasi dapat dilakukan pada medium selektif, seperti agar Salmonella-
shigella (agar SS) ataupun agar enteric Hectoen yang baik untuk pertumbuhan Salmonella dan
Shigella. Untuk mendeteksi S. typhi dengan cepat dapat digunakan medium bismuth sulfit
(Wilson & Blair). S. typhi akan membentuk koloni hitam (black jet) karena bakteri ini
menghasilkan H2S (Dzen, 2003).
Kultur pada Enrichment Medium memerlukan tinja sebagai bahan pemeriksaan yang kemudian
akan ditanamkan pada medium cair selenit F atau tetrathionat. Kedua medium ini meningkatkan
pertumbuhan Salmonella dan cenderung menghambat pertumbuhan flora normal yang berasal
dari usus. Pada medium ini, biakan diinkubasi selama satu sampai dua hari, kemudian ditanam
pada media diferensial dan media selektif (Dzen, 2003).
Metode serologi
Metode ini digunakan untuk mendeteksi adanya Salmonella dengan tes aglutinasi, yakni reaksi
dengan antibodi atau mendeteksi titer antibodi penderita yang terinfeksi Salmonella. Tes
aglutinasi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni tes aglutinasi pada gelas objek dan tes
aglutinasi dilusi tabung yang disebut juga tes Widal (Dzen, 2003).
Blood culture PCR method
Dalam perkembangan PCR dalam mendeteksi S. typhi, Song telah berhasil menggunakan gen
flagellin (fliC-d) sebagai tanda infeksi S. typhi (Zhou, 2010). Pemeriksaan ini mengungguli
kultur darah yang memakan banyak waktu, ataupun tes Widal yang kurang sensitif dan spesifik.
Reaksi biokimia
S. typhi sedikit mengurai glukosa, maltosa dan mannite, tidak mengurai sukrosa dan laktosa.
Tidak menghasilkan urease, oksidase, maupun indol. Bakteri ini bersifar motil dan hanya
menghasilkan sedikit sitrat (Dzen, 2003).
TSI digunakan untuk melihat apakah bakteri gram negatif mengurai glukosa dan laktosa atau
memfermentasi sukrosa dan membentuk hydrogen sulfit (H2S). Pada media ini S. typhi akan
menunjukkan hasil alkalin-asam (K/A) yang berarti hanya memfermentasi glukosa. Bakteri ini
juga menghasilkan bagian hitam di dasar yang menunjukkan adanya penghasilan H2S (Forbes,
2007).
Gambar Bakteri Salmonella
B. Demam tifoid
Etiologi
Demam Typhoid disebabkan oleh Salmonella Typhosa, basil gram negative yang bergerak
dengan bulu getar dan tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu
antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen Vi
(kapsul) merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap
fagositosis. Dalam serum penderita terdapat zat anti (glutanin) terhadap ketiga macam antigen
tersebut.
Menurut Rampengan dan Laurent (1993) penyakit ini di sebabkan oleh tiga spesies utama yaitu
Salmonella typosa (satu serotip), Salmonella Choleraesius (satu serotip), dan Salmonella
Enteretidis (lebih dari 1500 serotip). Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia
maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 700C maupun oleh antiseptik.
Sampai saat ini diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia. Sumber penularan
berasal dari tinja dan urin karier, dari penderita pada fase akut dan penderita pada fase
penyembuhan. Infeksi ini didapat dengan cara menelan makanan atau minuman yang
terkontaminasi, dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja,
urin, secret saluran pernafasan atau dengan pus penderita yang terinfeksi (Soegijanto, 2002).
Infectious Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus
Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil,
berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup
sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini
dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Patofisiologi
Perjalanan penyakit pada penyakit Demam Typhoid berawal dari masuknya kuman Salmonella
Typhosa ke dalam saluran cerna, bersama makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Menurut Soegijanto (2002), pada fase awal Demam Typhoid biasa di temukan adanya gejala
saluran nafas atas. Ada kemungkinan sebagian kuman ini masuk ke dalam peredaran darah
melalui jaringan limfoid di faring. Pada tahap awal ini penderita juga sering mengeluh nyeri
telan yang di sebabkan karena kekeringan mukosa mulut. Lidah tampak kotor tertutup selaput
putih sampai kecoklatan yang merupakan sisa makanan, sel epitel mati dan bakteri, kadang-
kadang tepi lidah tampak hiperemis. Bila terjadi infeksi pada nasofaring melalui saluran eustachi
ke telinga tengah dan hal ini dapat terjadi otitis media.
Di lambung sebagian besar organisme akan mati oleh asam lambung HCL dan sebagian ada yang
lolos (hidup). Pengosongan lambung yang bersifat lambat merupakan faktor pelindung terhadap
terjadinya infeksi. Setelah melalui barier asam lambung mikroorganisme sampai di usus halus
dan menemui dua mekanisme pertahanan tubuh yaitu motilitas dan flora normal usus.
Penurunan motilitas usus karena faktor obat- obatan atau faktor anatomis meningkatkan derajat
beratnya penyakit dan timbulnya komplikasi.
Flora normal usus berada di lapisan mukus atau menempel di epitel saluran cerna dan akan
berkompetisi untuk mendapatkan kebutuhan metabolik untuk keperluan pertumbuhan,
memproduksi asam amino rantai pendek serta menurunkan suasana asam serta memproduksi zat
antibakteria seperti colicin.
Di usus halus mikroorganisme ini bersinggungan dengan ujung villi usus halus dan berkembang
biak terlebih dahulu selama beberapa hari. Kemudian melakukan penetrasi endotoksin berupa
molekul polisakarida sebagai patogen usus ke dalam mukosa pada manusia berlangsung di
jejunum. Pada saat ini biakan tinja positif beberapa hari setelah menelan mikroorganisme dan
menjadi negative ketika timbul gejala klinis bakteriemia. Di lamina propia organisme mengalami
fagositosis dan berada di dalam sel mononuclear. Mikroorganisme yang sudah berada di dalam
sel mononuclear ini masuk ke folikel limfoid intestine atau nodus peyer dan mengadakan
multiplikasi. Selanjutnya sel yang sudah terinfeksi berjalan melalui nodus limfe intestinal
regional dan duktus thorasikus menuju system sirkulasi sistemik dan menyebar serta menginfeksi
system retikuloendotelial di hati dan limpa.
Di organ RES ini sebagian kuman akan difagosif dan sebagian yang tidak difagosif akan
berkembang biak dan akan masuk pembuluh darah sehingga menyebar ke organ lain, terutama
usus halus sehingga menyebabkan peradangan yang mengakibatkan malabsorbsi nutrien dan
hiperperistaltik usus sehingga terjadi diare. Pada hipotalamus akan menekan termoregulasi yang
mengakibatkan demam remiten dan terjadi hipermetabolisme tubuh akibatnya tubuh menjadi
mudah lelah.
Perubahan pada jaringan limfoid di daerah ileocecal yang timbul selama Demam Thypoid dapat
di bagi menjadi empat tahap, yaitu hiperplasi, nekrosis jaringan, ulserasi, dan penyembuhan.
Adanya perubahan pada nodus peyer tersebut menyebabkan penderita mengalami gejala
intestinal yaitu nyeri perut, diare, perdarahan dan perforasi. Perdarahan dapat terjadi apabila
proses nekrosis sudah mengenai lapisan mukosa dan submukosa sehingga terjadi erosi pada
pembuluh darah. Ulkus biasanya menyembuh sendiri tanpa meninggalkan jaringan parut tetapi
ulkus dapat menembus lapisan serosa sehingga terjadi perforasi.
Selain itu dapat terjadi degenerasi sel beberapa organ yaitu ginjal, jantung, dan paru. Ginjal
tampak membengkak, tampak pula pyelonefritis, dan pyelitis. Dapat pula terlibat gambaran
glomerulonefritis dan sindroma nefrotik.
Pathogenesis kelainan neuropsikiatri karena endotoksin beredar dan berikatan dengan struktur
basis kranii menimbulkan enselopati dengan cincin perdarahan, thrombus kapiler, mielitis dan
sindroma guillian barre. Gangguan mental dapat terjadi di sebabkan karena sumbatan fibrin pada
pembuluh darah otak (DIC).
Anemia dapat terjadi pada penderita disebabkan antara lain karena pengaruh berbagai sitokin dan
mediator sehingga terjadi depresi sum-sum tulang dan penghentian tahap pematangan eritrosit
maupun kerusakan langsung pada eritrosit yang tampak sebagai hemolisis ringan. Selain itu
anemia bisa di sebabkan karena perdarahan usus. Pengaruh depresi sum-sum tulang yang lain
adalah leukopeni dan trombositopeni.
Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.23
Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat
atau mencegah orang yang sehaent mjadi sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain
Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum
selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita
hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine
(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenolpreserved).
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara
intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui,
sedang demam dan anak umur 2 tahun.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan
mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam
tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis
klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari
tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90%
penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini menurun
drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun
demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada
minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%
dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat
ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan
kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
c. Diagnosis serologik
Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin
yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada
orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin
demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis
sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin
empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi ( >160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi.
Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola
hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam
tifoid.
Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca
penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
C. Demam
DEMAM
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan
dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-
37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C atau oral
temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C. Istilah lain yang berhubungan dengan
demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C
yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada pasien
dengan perdarahan sistem saraf pusat.
Etiologi Demam
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat infeksi
bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada
umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis,
appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis,
selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Infeksi virus yang pada umumnya
menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam
chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1. Infeksi jamur yang pada umumnya
menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit
yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis.
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor
lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll),
penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit
Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik,
difenilhidantoin, dan antihistamin). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami demam sebagai
akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama ±1-10 hari. Hal lain yang juga berperan
sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti
perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya.
Tipe Demam
Adapun tipe-tipe demam yang sering dijumpai antara lain:
Tipe-tipe demam Jenis demam Penjelasan
Demam Septik Pada demam ini, suhu badan
berangsur naik ke tingkat yang
tinggi sekali pada malam hari dan
turun kembali ke tingkat di atas
normal pada pagi hari.
Demam hektik Pada demam ini, suhu badan
berangsur naik ke tingkat yang
tinggi sekali pada malam hari dan
turun kembali ke tingkat yang
normal pada pagi hari
Demam Remiten Pada demam ini, suhu badan dapat
turun setiap hari tetapi tidak
pernah mencapai suhu normal
Demam Intermiten Pada demam ini, suhu badan turun
ke tingkat yang normal selama
beberapa jam dalam satu hari.
Demam Kontinyu Pada demam ini, terdapat variasi
suhu sepanjang hari yang tidak
berbeda lebih dari satu derajat.
Demam Siklik Pada demam ini, kenaikan suhu
badan selama beberapa hari yang
diikuti oleh periode bebas demam
untuk beberapa hari yang
kemudian diikuti oleh kenaikan
suhu seperti semula
.
Patofisiologi Demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen adalah zat
yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen
yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme
seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah
endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen
adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh
dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini
pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat
mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi.
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan
neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel
darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1,
IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium
hipotalamus untuk membentuk prostaglandin. Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan
meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan
menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu
mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit
dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi
panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh
naik ke patokan yang baru tersebut. Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase
demam, dan fase kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan
suhu tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot
yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan
menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas
dan kehilangan panas di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase
kemerahan merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah
dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna
kemerahan.
D. Pemeriksaan umum dan spesifik
Pemeriksaan Keadaan Umum Pasien
Keadaan umum menunjukkan kondisi pasien secara umum akibat penyakit atau keadaan yang
dirasakan pasien.
Dilihat secara langsung oleh pemeriksa dan dilakukan penilaian. Yang dapat dilakukan saat
kontak pertama, saat wawancara atau selama melakukan pemeriksaan yang lain.
Hal – hal yang perlu dikaji dan dicatat :
1. Penampilan umum :
lemah, sakit akut/kronis.
Tanda distress : merintih, berkeringat, gemetar
warna kulit : pucat, sianosis, icterus
Ekspresi wajah : Tegang, rileks, takut, cemas
2. TB dan BB
3. TTV
4. Tingkat Kesadaran
Secara Kwantitas:
Komposmetis, Apatis, Somnolen, Delirium, Stupor, Supor-koma, Koma
Secara kwantitas Memakai nilai GCS ( Glasgow Coma Scale ) dinilai berdasarkan 3 respon
pasien :
1. Respon membuka mata
2. Respon verbal
3. Respon motorik
Cara Penulisan : GCS = MVK = 456
1. Respon membuka mata ( nilai 1-4 )
Cara :
Dekati pasien dan perhatikan respon membuka mata pasien dan beri stimula si perintah
dan nyeri pada pemeriksaan berikutnya:
4 = membuka spontan
3 = dengan perintah
2 = dengan rangsangan nyeri
1 = dengan nangsangan nyeri tidak membuka mata
2. Respon verbal ( nilai 1-5 )
Cara:
Tanyakan kepada pasien dengan pertanyaan mudah dan sederhana :
5 orientasi baik ( sesuai pertanyaan dan kalimat baik )
4 tidak sesuai dengan pertanyaan, struktur kalimat baik
3 struktur kalimat kacau
2 hanya bersuara
1 tidak bersuara
3. Respon motorik ( nilai 1 – 6 )
Cara :
Perintahkan pasien untuk menggerakkan tangan dan beri stimulasi nyeri pada
pemeriksaan berikutnya :
6 dapat menggerakkan tangan sesuai perintah
5 Melokalisir dengan stimulasi
4 Menghindar/ menolak / meronta dengan stimulasi
3 Fleksi dengan stimulasi
2 Ekstensi dengan stimulasi
1 Tidak ada respon
VITAL SIGN
• Tekanan Darah
Dengan mengunakan spignomanometer
Korokrof 1 à systolik
Korokrof 4 à dyastolik
Normal 100-140/70-90 mmHg
• Nadi / HR
Dilakukan dengan meraba nadi : Radialis, brachialis, karotis, maleolus lateraris, dorsalis
pedis.
Hal yang diperhatikan : Frekwensi, kuat lemah, Irama.
Normal 60 – 100 X/mnt
• RR
– Dengan cara menghitung gerak napas selama 1 menit
– Hal yang perlu diperhatikan : Frekwensi, irama dan kedalaman.
– Normal 16 – 24 X/mnt
• SUHU
– Dengan menggunakan termometer
– Tempat pengukuran : axila, rectar, oral
– Normal 36,5 – 37,5 derajat C
Pemeriksaan Keadaan Spesifik Pasien
Pemeriksaan Kepala
Umumnya pemeriksaan kepala adalah dengan inspeksi dan palpasi.
Mulut
Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi, mencium bau nafas, dan dengan bantuan alat
(spatula lidah)
Bibir : bibir pecah-pecah, retakkan (Rhagaden)
Lidah : diperiksa apakah berselaput ( demam tifoid), bergetar
(tremor), basah atau kering (dehidrasi)
Pemeriksaan Thorax (Paru dan Jantung)
Pemeriksaan Thorax saat pasien duduk
Inspeksi
o melihat bentuk dada anterior dan posterior
o melihat ada tidaknya deviasi
o melihat ada tidaknya bendungan vena pada dinding dada
Palpasi
NOTE : Mulai dari palpasi hingga auskultasi, Posisi kedua skapula harus dalam
keadaan terbuka untuk memperluas lapang pemeriksaan. *minta pasien untuk
meletakkan kedua tangannya pada bahu
o membandingkan gerakan dada posterior kanan - kiri
o merasakan fremitus taktil suara dengan cara meminta pasien
mengucapkan "tujuh - tujuh"
Posisi kedua tangan pada pemeriksaan dada posterior
Perkusi
Tujuan dari perkusi adalah berusaha menangkap getaran suara yang dihasilkan dari
phalange (tulang jari). ada beberapa jenis suara yang mungkin dihasilkan dari perkusi
NOTE : Jurnal Kedokteran di Indonesia menggunakan istilah dull sebagai "pekak",
karena itu pekak hati bukan di terjemahkan menjadi liver flatness melainkan liver
dullness.
Prosedur perkusi
o Tempatkan jari pleksimeter pada dinding dada yang akan diperiksa untuk
menghasilkan bunyi perkusi yang lebih keras, tekan jari dengan kuat. Cara ini
lebih baik daripada melakukan pengetukan lebih keras
o pada tangan lainnya, lakukan pengetukan tanpa pergerakan siku(lakukan
pengetukan dengan cepat dan seperti refleks)
o pengetukan dilakukan di bagian paling ujung (pada gambar), kemudian pindahkan
jari dengan cepat agar getaran tidak teredam.
Pemeriksaan :
NOTE (secara normal : orang Indonesia batas bawah pulmo dextra posterior terletak
sejajar dengan processus spinosus thoracal IX atau thoracal X, batas bawah pulmo
sinistra posterior terletak sejajar dengan processus spinosus thoracal VIII atau IX)
Auskultasi
Auskultasi dinding dada posterior kurang kuat terdengar dibandingkan auskultasi
anterior. (kecuali di triangle of auscultation) walau begitu biasanya, pemeriksaan ini
tetap dilakukan oleh para dokter muda.
Posisi steshoscope sewaktu auscultasi adalah sama seperti pada palpasi fremitus suara
Pemeriksaan yang dilakukan sewaktu pasien berbaring
Ada dua jenis pemeriksaan yang dilakukan sewaktu pasien berbaring, yaitu :
o Pemeriksaan Paru anterior
o Pemeriksaan Jantung
1. Pemeriksaan Paru Anterior
Inspeksi
Membandingkan bunyi perkusi paru kanan dan
kiri secara berurutan
Menentukan batas bawah paru
Melihat keadaan sela iga sewaktu bernafas (secara normal : sela iga akan ekspansi
atau meregang saat inspirasi dan kembali ke posisi semula sewaktu ekspirasi)
Palpasi
o membandngkan gerakan dinding dada sewaktu bernafas
o merasakan getaran fremitus suara
Posisi kedua tangan sewaktu palpasi thorax anterior
Perkusi
o membandingkan bunyi perkusi paru kanan - kiri anterior secara berurutan
o menentukan batas paru – hepar
Perkusi dilakukan di sepanjang garis midklavikula dextra. Batas paru hepar
ditentukan setelah terjadi perubahan suara dari sonor ke pekak.
o menentukan batas paru – lambung
Perkusi dilakukan di sepanjang garis axilla anterior sinistra. Batas paru - lambung
ditentukan setelah terjadi perubahan suara dari sonor ke timpani. (secara normal :
batas paru - lambung orang Indonesia berada di Intercostae VII atau intercostae
VIII).
o menentukan batas peranjakan paru
Perkusi dilakukan di batas paru - hepar. setelah pasien diminta untuk menahan
nafas, batas paru- hepar yang semula berbunyi perkusi "pekak" akan berganti
menjadi "sonor". Perkusi dilanjutkan sampai ditemukan batas paru - hepar yang
baru, kemudian tentukan seberapa besar batas peranjakan paru. (secara normal :
batas peranjakan paru adalah 2 cm atau sebesar 2 jari orang dewasa).
Auskultasi
Membandingkan bunyi nafas dasar paru anterior dan bronkial pada pasien
2. Pemeriksaan Jantung
Inspeksi
o Melihat ada tidaknya bendungan vena pada dinding dada
o Melihat pulsasi iktus cordis
Palpasi
o Mencari pulsasi iktus cordis (secara normal : iktus cordis terletak di garis
midklavikula sinistra Intercostae V)
o Denyut jantung dapat dihitung pada iktus cordis (walaupun cara ini tidak lazim
dilakukan)
Perkusi
o Menentukan batas kanan jantung
Batas kanan jantung ditentukan setelah batas paru hepar ditemukan
o Menentukan batas kiri jantung
Batas kiri jantung ditentukan setelah batas paru - lambung ditemukan
Auskultasi
Mendengarkan bunyi jantung I (saat katup mitral dan trikuspidal menutup) dan bunyi
jantung 2 (saat katup aorta dan pulmonal menutup) pada masing - masing katup jantung.
Pemeriksaan Fisik Pada Ekstremitas
1. Ekstermitas
a) Ekstermitas atas
Inspeksi, bagaimana pergerakan tangan,dan kekuatan otot
Palpasi, apakah ada nyeri tekan,massa/benjolan
Motorik, untuk mengamati besar dan bentuk otot,melakukan pemeriksaan tonus
kekuatan otot,dan tes keseimbangan.
Reflex, memulai reflex fisiologi seperti biceps dan triceps
Sensorik, apakah klien dapat membedakan nyeri, sentuhan,temperature, rasa,gerak
dan tekanan.
b) Ekstremitas bawah
Inspeksi : bagaimana pergerakan kaki,dan kekuatan otot
Palpasi : apakah ada nyeri tekan,massa/benjolan
Motorik : untuk mengamati besar dan bentuk otot,melakukan pemeriksaantonus
kekuatan otot,dan tes keseimbangan.
Reflex : memulai reflex fisiologi seperti biceps dan triceps
Sensorik : apakah klien dapat membedakan nyeri, sentuhan,temperature,rasa ,gerak
dan tekanan.
Pemeriksaan Refleks
Repleks biasanya tidak terlalu singkat terjadinya pada klien yang lebih dewasa. Respon
repleks pada ekstremitas bawah berkurang sebelum ekstremitas-ekstremitas atas
terpengaruh (Seidel et al., 1991).
Menimbulkan reaksi repleks memungkinkan perawat untuk mengkaji integritas jalur-jalur
sensori dan gerak dari lengkung repleks dan segmen batang spinal spesifik. Pengujian
refleks tidak berarti menentukan pungsi saraf pusat.
Saat otot dan tendon di regangkan selama pengujian refleks, implus-implus saraf
merambat sepanjang jalur saraf aferen ke bagian dorsal segmen batang spinal. Implus-
implus bergerak ke saraf motor eferen dalam batang spinal. Kemudian sebuah saraf
motor mengirim implus kembali ke otot dan menyebabkan respon refleks terjadi.
2.1. Pemeriksaan Refleks Otot Biseps
1. Posisi pasien tidur terlentang dan siku kanan yang akan diperiksa, diletakan diatas
perut dalam posisi fleksi 60 derajat dan rileks.
2. Pemeriksa berdiri dan menghadap pada sisi kanan pasien.
3. Carilah tendon biseps dengan meraba fossa kubiti, maka akan teraba keras bila siku
difleksikan.
4. Letakan jari telunjuk kiri pemeriksa diatas tendon otot biseps.
5. Ayunkan hammer reflek sebatas kekuatan ayunan pergelangan tangan, diatas jari
telunjuk kiri pemeriksa.
6. Terlihat gerakan fleksi pada siku akibat kontraksi otot biseps dan terasa tarikan
tendon otot biseps dibawah telunjuk pemeriksa.
2.2. Pemeriksaan Refleks Otot Triseps
1. Posisi pasien tidur terlentang.
2. Bila siku tangan kanan yang akan diperiksa, maka diletakan diatas perut dalam posisi
fleksi 90 derajat dan rileks.
3. Pemeriksa berdiri pada sisi kanan pasien.
4. Carilah tendon triseps 5 cm diatas siku ( proksimal ujung olecranon ).
5. Letakan jari telunjuk kiri pemeriksa diatas tendon otot triseps.
6. Ayunkan hammer reflek sebatas kekuatan ayunan pergelangan tangan diatas jari
telunjuk kiri pemeriksa.
7. Terlihat gerakan ektensi pada siku akibat kontraksi otot triseps dan terasa tarikan
tendon otot triseps dibawah telunjuk pemeriksa.
2.3. Pemeriksaan Refleks Tendon Patela
1. Posisi pasien tidur terlentang atau duduk.
2. Pemeriksa berdiri pada sisi kanan pasien.
3. Bila posisi pasien tidur terlentang, lutut pasien fleksi 60 derajat dan bila duduk lutut
fleksi 90 derajat.
4. Tangan kiri pemeriksa menahan pada fossa poplitea.
5. Carilah 2 cekungan pada lutut dibawah patela inferolateral/ inferomedial, diantara 2
cekungan tersebut terdapat tendon patela yang terasa keras dan tegang.
6. Ayunkan hammer reflek sebatas kekuatan ayunan pergelangan tangan diatas tendon
patella.
7. Terlihat gerakan ektensi pada lutut akibat kontraksi otot quadriseps femoris.
2.4. Pemeriksaan Refleks Tendon Achiles
1. Pasien tidur terlentang atau duduk.
2. Bila pasien tidur terlentang pemeriksa berdiri dan bila pasien duduk pemeriksa
jongkok disisi kiri pasien.
3. Bila pasien tidur terlentang lutut fleksi 90 derajat dan disilangkan diatas kaki
berlawanan, bila pasien duduk kaki menggelantung bebas.
4. Pergelangan kaki dorsofleksikan dan tangan kiri pemeriksa memegang/ menahan kaki
pasien.
5. Carilah tendon achiles diantara 2 cekungan pada tumit yang terasa keras dan makin
tegang bila posisi kaki dorsofleksi.
6. Ayunkan reflek hammer diatas tendon achiles.
7. Terasa gerakan plantar fleksi kaki yang mendorong tangan kiri pemeriksa dan tampak
kontraksi otot gastrocnemius.
E. Pemeriksaan Laboratorium
Data Doni Normal Interpretasi
Hemoglobin 12,5 gr% L: 13,5-18,0
P: 12-16
Defisiensi
Menunjukkan adanya suatu masalah pada pembentukan eritrosit atau hemoglobin, dalam kasus ini kemungkinan telah terjadi infeksi di limpa sehingga pembentukan eritrosit terganggu.
Kerusakan langsung pada eritrosit
(hemolisis ringan).
Pendarahan pada usus halus.
Leukosit 4800/mm3 4500-10.000/mm3 Normal
Hematokrit 37% laki-laki : 40-52%Perempuan : 38-48%
Kurang dari normal
Menunjukkan adanya penurunan hemoglobin sehinggan hematokrit juga menurun
Laju Endap Darah 8mm/jam 1-10mm/jam Normal
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan leukosit
Pada demam Thypoid terdapat leukopenia dan limfositosis relatif. Lekositosis dapat terjadi
pada kasus berat atau komplikasi.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat dan dapat kembali normal setelah sembuhnya demam
thypoid.
3. Biakan darah
Biakan darah positif memastikan demam thypoid, tetapi biakan darah yang negatif tidak
menutup kemungkinan demam thypoid, hal ini karena biakan darah tergantung beberapa
faktor :
a. Teknik pemeriksaan laboratorium
Jumlah kuman yang berada dalam biakan darah sedikit yaitu kurang dari 10 kuman/ml
darah. Pada pasien dewasa biasanya diambil 5-10 ml darah dana anak-anak 2-5 ml. Bila
darah biakan terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif terutama pada orang yang sudah
mendapat pengobatan spesifik. Dana pada saat pengambilan maka harus segera ditanam
pada media biakan dan harus segera dikirim. Waktu pengambilan darah paling baik adalah
saat demam tinggi pada waktu bakterimia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit Biakan darah terhadap salmonella typhi
positif pada minggu pertama dn berkurang pada minggu berikutnya. Pada saat kambuh
bisa positif lagi.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi trend demam thypoid di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah
pasien dan antibodi ini dapat menekan bakterimia sehingga biakan darah bisa negative.
d. Pengobatan dengan obat antimikroba
Bila pasien sebelum pembiakan darah sudah dapat obat antimikroba maka pertumbuhan
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin bisa negatif.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan
mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode
untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu
a.Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam
tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis
klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari
tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90%
penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini menurun
drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun
demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada
minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%
dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat
ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan
kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
c.Diagnosis serologik
Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang
yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam
tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis
sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin
empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai
dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi
yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara
teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double
antibody sandwich ELISA.
DAFTAR PUSTAKA
Dwijaya, A 2012, Demam,Universitas Sumatera Utara, dilihat 26 Agustus 2014,
<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31365/4/Chapter%20II.pdf>
Anonim 2013, Typhoid fever is a condition in which there is typically fever and marked
abdominal symptoms consisting of ulceration of the bowels, Diagnose Me, dilihat pada 27
Agustus 2014, <http://www.diagnose-me.com/symptoms-of/typhoid-fever.html>
Anonim 2013, Gejala Awal Penyakit Tifus, Sakit Tifus, dilihat pada 27 Agustus 2014
<sakittifus.com>
Brusch, John L 2014, Typhoid Fever, Medscape, dilihat pada 27 Agustus 2014
<http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview>
Beller, Cheryl A 2013, Reasons for a Coated Tongue, eHow, dilihat pada 27 Agustus 2014 <
http://www.ehow.com/list_7301099_reasons-coated-tongue.html>
Price, S. A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit ed.6 vol.1. EGC: Jakarta
Markum, H.M.S. 2011. Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis. Jakarta: Interna publishing
Karsinah, H.M, Lucky. Suharto. H.W, Mardiastuti. 1994. Batang negative gram dalam staf
pengajar FKUI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi, Jakarta: Binarupa Aksara
D.S, Kenneth. A.M, Stephen. 2011. Rangkuman kasus klinik Mikrobiologi dan Penyakit Infeksi.
Jakarta: karisma publishing group
Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2003. Pathophysiology : clinical concepts of disease
processes. 6th ed. Jakarta: EGC
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V Jilid III.
Jakarta: Interna Publishing
Anto, L. 2010. Demam Tifoid. http://milissehat.web.id/?p=42. Diunduh pada tanggal 26 Agustus
2014.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Ed 3. Jakarta: InternaPublishing.
Woodward TE. The fever patterns as a diagnosis aid. Dalam: Mackowick PA, penyunting. Fever:
Basic mechanisms and management. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott-Raven;1997.h.215-36
Zainal, Amalia Purnamasari. 2012. ETNOFARMAKOLOGi. Fakultas Farmasi Univeritas
Indonesia.
dr. Eddy Karta, SpKK, Joan Liebmann-Smith, Ph.D. dan Jacqueline Nardi Egan.
Faiz, Omar, dkk. 2004. At a Glance Anatomi. Erlangga: Jakarta
Gibson, John. 1981. Modern Physiology and Anatomy for Nurses. Blackwell Science Limited:
Oxford
Jawetz, dkk; Alih bahasa, Aryandhito Widhi [et. al]; editor edisi bahasa Indonesia, Adisti
Adityaputri [et al].2012. Mikrobiologi Kedokteran-Ed. 25. Jakarta: EGC.
Dwijaya, A. 2012. Demam. [online] Tersedia:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31365/4/Chapter%20II.pdf
2012. Demam Tifoid. [online] Tersedia: http://indonesianbacktrack.or.id/forum/printthread.php?
tid=2307
Dinar, Agatha. 2009. Demam Tifoid, Diagnosis Mual dan Muntah serta Demam terkait Penyakit
Tropis dan Infeksi. [online]
Raflizar. Herawati, Maria Holly. 2010. Association of Determinant Factors with Prevalence of
Typhoid in Java Ocean. [online]
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/jek/article/download/1600/pdf
top related