laporan kasus ket
Post on 12-Aug-2015
244 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik
dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba dan peristiwa ini disebut
sebagai kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah
kegawatdaruratan obstetrik yang mengancam nyawa ibu dan kelangsungan hidup
janin, serta merupakan salah satu penyebab utama mortalitas ibu, khususnya pada
trimester pertama (Astaqauliyah, 2006).
Insiden kehamilan ektopik terganggu semakin meningkat pada semua wanita
terutama pada mereka yang berumur lebih dari 30 tahun. Selain itu, adanya
kecenderungan pada kalangan wanita untuk menunda kehamilan sampai usia yang
cukup lanjut menyebabkan angka kejadiannya semakin berlipat ganda. Di masa
lampau KET hampir selalu fatal, namun berkat perkembangan alat diagnostik yang
canggih morbiditas maupun mortalitas akibat KET jauh berkurang. Meskipun
demikian, kehamilan ektopik masih merupakan salah satu masalah utama dalam
bidang obstetri. Dalam dua dasawarsa ini terjadi peningkatan angka kejadian
kehamilan ektopik terganggu. Walaupun demikian, angka kejadian kehamilan
ektopik terganggu masih sulit untuk diperkirakan secara tepat (Suparman, 2007).
Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu berlokasi di tuba terutama di
ampula dan isthmus. Sangat jarang terjadi di ovarium, rongga abdomen, maupun
uterus. Keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya kehamilan ektopik adalah
penyakit radang panggul, pemakaian antibiotika pada penyakit radang panggul,
pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim IUD (Intra Uterine Device), riwayat
kehamilan ektopik sebelumnya, infertilitas, kontrasepsi yang memakai progestin
dan tindakan aborsi (Wibowo, 2002).
Gejala yang muncul pada kehamilan ektopik terganggu tergantung lokasi
implantasi. Dengan adanya implantasi dapat meningkatkan vaskularisasi di tempat
tersebut dan berpotensial menimbulkan ruptur organ, terjadi perdarahan masif,
infertilitas, dan kematian. Hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya angka
mortalitas dan morbiditas ibu jika tidak mendapatkan penanganan secara tepat dan
cepat (Wibowo, 2002).
Di masa lampau kehamilan ektopik terganggu hampir selalu fatal, namun
berkat perkembangan alat diagnostik yang canggih morbiditas maupun mortalitas
akibat kehamilan ektopik terganggu jauh berkurang. Meskipun demikian,
kehamilan ektopik masih merupakan salah satu masalah utama dalam bidang
obstetri termasuk di RSU Provinsi NTB, berikut ini dilaporkan sebuah kasus
dengan Kehamilan Ektopik Terganggu di RSU Mataram.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dimana hasil konsepsi mengalami
implantasi dan pertumbuhan diluar endometrium kavum uteri (Mansjoer, 1999).
Kehamilan ektopik merupakan istilah yang lebih luas daripada kehamilan
ekstrauterin karena istilah ini mencakup gestasi pada pars intersisialis tuba,
kehamilan kornu (gestasi pada kornu uteri yang rudimenter), kehamilan servikalis
(gestasi dalam kanalis servikalis), kehamilan abdominal, kehamilan ovarial dan
kehamilan tuba (Taber, 1994).
Kehamilan ektopik terganggu ialah kehamilan ektopik yang mengalami
abortus atau rupture apabila masa kehamilan berkembang melebihi kapasitas
ruang implantasi (Saifuddin, 2000).
Lokasi kehamilan ektopik terganggu paling banyak terjadi di tuba sebesar
90-95% khususnya di ampula tuba 78% dan isthmus 2%. Pada daerah fimbrae
5%, intersisial 2-3%, abdominal 1-2%, ovarium 1%, servikal 0,5% (Cunningham,
2005).
2.2 Epidemiologi
Di negara-negara berkembang khususnya di Indonesia, prevalensi
kehamilan ektopik terganggu terjadi peningkata. Di RSUPN Cipto Magunkusumo
Jakarta pada tahun 2000-2001 frekuensinya sekitar 1:24 kelahiran normal
(Prawirohardjo, 2005), sedangkan di RSUP Manado pada tahun 2000-2001
dilaporkan frekuensinya sekitar 1:67 kelahiran kelahiran normal (Suparman,
2007).
Dari penelitian yang dilakukan Budiono Wibowo di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSUPCM) Jakarta pada tahun 1987 dilaporkan 153 kehamilan
ektopik terganggu dalam 4007 persalinan atau 1 dalam 26 persalinan. Ibu yang
mengalami kehamilan ektopik terganggu tertinggi pada kelompok umur 20-40
tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan ektopik yang berulang
dilaporkan berkisar antara 1% sampai 14.6% (Prawirohardjo, 2005).
2.3 Patogenesis
Proses implantasi ovum di tuba pada dasarnya sama dengan yang terjadi di
kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumnar atau interkolumnar. Pada
nidasi secara kolumnar telur bernidasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping.
Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan
biasanya telur mati secara dini dan direabsorbsi. Pada nidasi interkolumnar, telur
bernidasi antara dua jonjot endosalping. Tempat nidasi tertutup maka ovum
dipisahkan dari lumen oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan
dinamakan pseudokapsularis. Pembentukan desidua di tuba kadang-kadang sulit
dilihat vili khorealis menembus endosalping dan masuk kedalam otot-otot tuba
dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya
tergantung dari beberapa faktor yaitu tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan
banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas (Wibowo, 2002).
Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum
graviditi dan tropoblas, uterus menjadi besar dan lembek, endometrium dapat
berubah menjadi desidua (Wibowo, 2002). Beberapa perubahan pada
endometrium yaitu sel epitel membesar, nukleus hipertrofi, hiperkromasi, lobuler,
dan bentuknya ireguler. Polaritas menghilang dan nukleus yang abnormal
mempunyai tendensi menempati sel luminal. Sitoplasma mengalami vakuolisasi
seperti buih dan dapat juga terkadang ditemui mitosis. Perubahan endometrium
secara keseluruhan disebut sebagai reaksi Arias-Stella ( Rachimhadhi, 2005).
Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi kemudian
dikeluarkan secara utuh atau berkeping-keping. Perdarahan yang dijumpai pada
kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus disebabkan pelepasan desidua
yang degeneratif (Prawirohardjo, 2005).
Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6
sampai 10 minggu. Karena tuba bukan tempat pertumbuhan hasil konsepsi, tidak
mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Beberapa kemungkinan
yang mungkin terjadi adalah:
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumna, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi yang kurang dan dengan mudah diresobsi total.
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena terbukanya dinding pembuluh darah oleh
vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah
dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis.
Segera setelah perdarahan, hubungan antara plasenta serta membran terhadap
dinding tuba terpisah bila pemisahan sempurna, seluruh hasil konsepsi
dikeluarkan melalui ujung fimbrae tuba ke dalam kavum peritonium. Dalam
keadaan tersebut perdarahan berhenti dan gejala-gejala menghilang.
3. Ruptur dinding tuba
Penyebab utama dari ruptur tuba adalah penembusan dinding vili korialis
ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur tuba sering
terjadi bila ovum yang dibuahi berimplantasi pada isthmus dan biasanya
terjadi pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur yang terjadi pada pars-
intersisialis pada kehamilan lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan
atau yang disebabkan trauma ringan seperti pada koitus dan pemeriksaan
vagina (Mansjoer, 2001; Prawirohardjo, 2005; Wibowo, 2002).
2.4 Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki tetapi
sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Rachimhadhi dalam bukunya
menjelaskan beberapa faktor yang berhubungan dengan penyebab kehamilan
ektopik terganggu :
1. Faktor mekanis
Hal-hal yang mengakibatkan terhambatnya perjalanan ovum yang dibuahi ke
dalam kavum uteri, antara lain:
a) Salpingitis, terutama endosalpingitis yang menyebabkan aglutinasi silia
lipatan mukosa tuba dengan penyempitan saluran atau pembentukan
kantong-kantong buntu
b) Berkurangnya silia mukosa tuba sebagai akibat infeksi juga menyebabkan
implantasi hasil zigot pada tuba falopii
c) Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus/ infeksi pasca nifas,
apendisitis, atau endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya tuba atau
penyempitan lumen
d) Kelainan pertumbuhan tuba terutama divertikulum, ostium asesorius dan
hipoplasi tetapi ini jarang terjadi
e) Bekas operasi tuba memperbaiki fungsi tuba atau terkadang kegagalan usaha
untuk memperbaiki patensi tuba pada sterilisasi
f) Tumor yang merubah bentuk tuba seperti mioma uteri dan adanya benjolan
pada adneksia
g) Penggunaan IUD
2. Faktor Fungsional
a) Migrasi eksternal ovum terutama pada kasus perkembangan duktus mulleri
yang abnormal
b) Refluks menstruasi
c) Berubahnya motilitas tuba karena perubahan kadar hormon estrogen dan
progesteron
3. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang dibuahi
4. Hal lain seperti riwayat KET dan riwayat abortus induksi sebelumnya
(Rachimhadhi, 2005).
2.5 Klasifikasi
Klasifikasikan kehamilan ektopik berdasarkan lokasinya antara lain :
1. Tuba Fallopii
a) Pars-intersisialis
b) Isthmus
c) Ampula
d) Infundibulum
e) Fimbrae
2. Uterus
a) Kanalis servikalis
b) Divertikulum
c) Kornu
d) Tanduk rudimenter
3. Ovarium
4. Intraligamenter
5. Abdominal
a) Primer
b) Sekunder
6.Kombinasi kehamilan dalam dan luar uterus
(Prawirohardjo, 2005; Cunnningham, 2005).
Gambar 2. 2 Lokasi Kehamilan Ektopik (Farlex, 2007).
2.6 Gambaran Klinik
Gambaran klinik dari kehamilan ektopik terganggu tergantung pada
lokasinya . Tanda dan gejalanya sangat bervariasi tergantung pada ruptur atau
tidaknya kehamilan tersebut (Wibowo, 2002).
Adapun gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium antara lain :
1. Keluhan gastrointestinal
Keluhan yang paling sering dikemukakan oleh pasien kehamilan ektopik
terganggu adalah nyeri pelvis. Dorfman menekankan pentingnya keluhan
gastrointestinal dan vertigo atau rasa pening. Semua keluhan tersebut
mempunyai keragaman dalam hal insiden terjadinya akibat kecepatan dan taraf
perdarahannya di samping keterlambatan diagnosis.
2. Nyeri tekan abdomen dan pelvis
Nyeri tekan yang timbul pada palpasi abdomen dan pemeriksaan
khususnya dengan menggerakkan servik, dijumpai pada lebih dari tiga per
empat kasus kehamilan ektopik sudah atau sedang mengalami ruptur tetapi
kadang-kadang tidak terlihat sebelum ruptur terjadinya.
3. Amenore
Riwayat amenore tidak ditemukan pada seperempat kasus atau lebih. Salah
satu sebabnya adalah karena pasien menganggap perdarahan pervaginam yang
lazim pada kehamilan ektopik sebagai periode haid yang normal dengan
demikian memberikan tanggal haid terakhir yang keliru.
4. Spotting atau perdarahan vaginal
Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus
biasanya tidak ditemukan namun bila dukungan endokrin dari endometrium
sudah tidak memadai lagi, mukosa uterus akan mengalami perdarahan.
Perdarahan tersebut biasanya sedikit-sedikit, berwarna cokelat gelap dan dapat
terputus-putus atau terus-menerus.
5. Perubahan Uterus
Uterus pada kehamilan etopik dapat terdorong ke salah satu sisi oleh masa
ektopik tersebut. Pada kehamilan ligamentum latum atau ligamentum latum
terisi darah, uterus dapat mengalami pergeseran hebat. Uterine cast akan
dieksresikan oleh sebagian kecil pasien mungkin 5% atau 10% pasien. Eksresi
uterine cast ini dapat disertai oleh gejala kram yang serupa dengan peristiwa
ekspulsi spontan jaringan abortus dari kavum uteri.
6. Hipovolemi
Penurunan nyata tekanan darah dan kenaikan denyut nadi dalam posisi
duduk merupakan tanda yang paling sering menunjukkan adanya penurunan
volume darah yang cukup banyak. Semua perubahan tersebut mungkin baru
terjadi setelah timbul hipovolemi yang serius.
7. Suhu tubuh
Setelah terjadi perdarahan akut, suhu tubuh dapat tetap normal atau bahkan
menurun. Suhu yang lebih tinggi jarang dijumpai dalam keadaan tanpa adanya
infeksi. Karena itu panas merupakan gambaran yang penting untuk
membedakan antara kehamilan tuba yang mengalami ruptura dengan salpingitis
akut, dimana pada keadaan ini suhu tubuh umumnya diatas 38oC.
8. Masa pelvis
Masa pelvis dapat teraba pada 20% pasien. Masa tersebut mempunyai
ukuran, konsistensi serta posisi yang bervariasi. Biasanya masa ini berukuran 5-
15 cm, sering teraba lunak dan elastis. Dengan terjadinya infiltrasi dinding tuba
yang luas oleh darah masa tersebut dapat teraba keras. Hampir selalu masa
pelvis ditemukan di sebelah posterior atau lateral uterus. Keluhan nyeri dan
nyeri tekan kerap kali mendahului terabanya masa pelvis dalam tindakan
palpasi.
9. Hematokel pelvik
Pada kehamilan tuba, kerusakan dinding tuba yang terjadi bertahap akan
diukuti oleh perembesan darah secara perlahan-lahan ke dalam lumen tuba,
kavum peritonium atau keduanya. Gejala perdarahan aktif tidak terdapat dan
bahkan keluhan yang ringan dapat mereda, namun darah yang terus merembes
akan berkumpul dalam panggul, kurang lebih terbungkus dengan adanya
perlekatan dan akhirnya membentuk hematokel pelvis (Cunningham, 2005).
2.7 Diagnosis
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu dapat ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kehamilan ektopik
terganggu harus dipikirkan bila seorang pasien dalam usia reproduktif
mengeluhkan nyeri perut bawah yang hebat dan tiba-tiba, ataupun nyeri perut
bawah yang gradual disertai keluhan perdarahan per vaginam setelah
keterlambatan haid dan pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda akut
abdomen, kavum Douglas menonjol, nyeri goyang porsio, atau teraba massa di
samping uterus. Adanya riwayat penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim IUD
(Intra Uterine Device), infeksi alat kandungan, penggunaan pil kontrasepsi
progesteron dan riwayat operasi tuba serta riwayat faktor-faktor risiko lainnya
memperkuat dugaan kehamilan ektopik terganggu. Namun sebagian besar pasien
menyangkal adanya faktor-faktor risiko tersebut di atas (Lozeau, 2005).
Berikut ini merupakan jenis pemeriksaan penunjang untuk membantu
diagnosis kehamilan ektopik:
1. HCG-β
Kadar hCG membantu penegakan diagnosis meskipun tidak ada konsensus
mengenai kadar hCG yang sugestif untuk kehamilan ektopik. Kehamilan
ektopik dapat dibedakan dari kehamilan normal dengan pemeriksaan kadar
hCG secara serial. Pada usia gestasi 6-7 minggu, kadar hCG serum meningkat
dua kali lipat setiap 48 jam pada kehamilan intrauterin normal. Peningkatan
yang subnormal (< 66%) dijumpai pada 85% kehamilan yang nonviable dan
peningkatan sebanyak 20% sangat prediktif untuk kehamilan nonviable.
Fenomena ini bila disertai dengan terdeteksinya kavum uteri yang kosong,
mengindikasikan adanya kehamilan ektopik. Secara klinis, penegakan diagnosis
KET dengan pemantauan kadar hCG serial tidak praktis karena dapat
mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Selain itu peningkatan kadar hCG
serum dua kali lipat setiap 48 jam tidak lagi terjadi setelah minggu ke-7
kehamilan. Oleh sebab itu umumnya yang diperiksakan adalah hCG kualitatif
untuk diagnosis cepat kehamilan.
2. Kuldosintesis
Tindakan kuldosintesis atau punksi Douglas. Adanya darah yang diisap
berwarna hitam (darah tua) biar pun sedikit membuktikan adanya darah di
kavum Douglasi.
3. Ultrasonografi
Bila pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan kantong gestasi dengan
denyut jantung janin dengan kavum uteri yang kosong maka diagnosis pasti
dapat ditegakkan. USG transvaginal dapat mendeteksi tubal ring (massa
berdiameter 1-3 cm dengan pinggir ekhogenik yang mengelilingi pusat yang
hipoekhoik) gambaran tersebut cukup spesifik untuk kehamilan ektopik.
Keunggulan cara pemerikssan ini terhadap laparoskopi ialah tidak invasif
artinya tidak perlu memasukkan rongga dalam rongga perut. Dapat dinilai
kavum uteri, kosong atau berisi, tebal endometrium, adanya massa di kanan kiri
uterus dan apakah kavum Douglas berisi cairan.
Gambar 2.3 Ultrasonografi pada KET
4. Tes Oksitosin
Pemberian oksitosin dalam dosis kecil intravena dapat membuktikan
adanya kehamilan ektopik lanjut. Dengan pemeriksaan bimanual, di luar
kantong janin dapat diraba suatu tumor.
5. Foto Rontgen
Tampak kerangka janin lebih tinggi letaknya dan berada dalam letak
paksa. Pada foto lateral tampak bagian-bagian janin menutupi vertebra Ibu.
6. Histerosalpingografi
Memberikan gambaran kavum uteri kosong dan lebih besar dari biasa
dengan janin diluar uterus. Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis kehamilan
ektopik terganngu sudah dipastikan dengan USG (Ultra Sono Graphy) dan MRI
(Magnetic Resonance Imagine) (Moehtar, 1998; Prawirohardjo, 2005; Wibowo,
2002; Lozeau, 2005).
7. Laparaskopi
Laparaskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnosis terakhir
apabila hasil-hasil penilaian prosedur diagnostik lain untuk kehamilan ektopik
terganggu meragukan. Pada beberapa dekade terakhir alat ini juga dipakai
untuk terapi.
2.8 Diagnosis Diferensial
1. Infeksi pelvis
Gejala yang menyertai infeksi pelvik biasanya timbul waktu haid dan
jarang setelah mengenai amenore. Nyeri perut bagian bawah dan tahanan yang
dapat diraba pada pemeriksaaan vaginal pada umumnya bilateral. Pada infeksi
pelvik perbedaan suhu rektal dan ketiak melebihi 0,5 0C, selain itu leukositosis
lebih tinggi daripada kehamilan ektopik terganggu dan tes kehamilan
menunjukkan hasil negatif.
2. Abortus iminens/ Abortus inkomplit
Dibandingkan dengan kehamilan ektopik terganggu perdarahan lebih
merah sesudah amenore, rasa nyeri yang sering berlokasi di daerah median dan
adanya perasaan subjektif penderita yang merasakan rasa tidak enak di perut
lebih menunjukkan ke arah abortus imminens atau permulaan abortus incipiens.
Pada abortus tidak dapat diraba tahanan di samping atau di belakang uterus, dan
gerakan servik uteri tidak menimbulkan rasa nyeri.
3. Tumor/Kista ovarium
Gejala dan tanda kehamilan muda, amenore, dan perdarahan pervaginam
biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih besar dan lebih bulat
dibanding kehamilan ektopik terganggu.
4. Appendisitis
Pada apendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan servik uteri
seperti yang ditemukan pada kehamilan ektopik terganggu. Nyeri perut bagian
bawah pada apendisitis terletak pada titik McBurney (Wibowo, 2002).
2.9 Terapi
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Pada
laparotomi perdarahan selekas mungkin dihentikan dengan menjepit bagian dari
adneksa yang menjadi sumber perdarahan. Keadaan umum penderita terus
diperbaiki dan darah dalam rongga perut sebanyak mungkin dikeluarkan. Dalam
tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu kondisi
penderita pada saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi
kehamilan ektopik. Dilakukan pemantauan terhadap kadar HCG kuantitatif.
Peninggian kadar HCG yang berlangsung terus menandakan masih adanya
jaringan ektopik yang belum terangkat (Astaqauliyah, 2006).
Apabila kondisi pasien buruk atau syok dapat dilakukan salpingektomi.
Jika fungsi reroduksi ingin dipertahankan biasanya hanya dilakukan salpingostomi
atau reanastomosis tuba. Kehamilan ektopik terganggu dapat juga ditatalaksana
dengan melakukan laparoskopi, fimbrial evacuaton, dan partial salpingectomy.
Optimalisasi keadaan umum ibu dengan transfusi, infus, oksigen atau kalau
dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika (Soenarto, 2008).
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam
kondisi baik dan tenang memiliki 3 pilihan yaitu penatalaksanaan ekspektasi
(expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
1. Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75%
pasien dengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar -hCG.
Pada penatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar -hCG
stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua
pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini.
Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada keadaan kehamilan ektopik dengan
kadar -hCG yang menurun, kehamilan tuba, tidak ada perdarahan
intraabdominal atau ruptur, dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5 cm.
Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82%
kehamilan tuba (Lipscomb et al, 2000).
2. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak
integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Tatalaksana medis harus memiliki
syarat-syarat berikut ini; keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut
bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga
abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus
menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak
memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada
kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil
darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian
methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan
ektopik secara medis (Lipscomb et al, 2000).
3. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan
kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu
saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat
mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi
kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif di mana integritas tuba
dipertahankan dan pembedahan radikal di mana salpingektomi dilakukan.
Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai
salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan
tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi.
Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil maka tidak ada tempat
bagi pembedahan per laparoskopi.
a. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi
yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba
fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba
tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil
konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati.
Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan
elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali)
untuk sembuh sekunder. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi
maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard
untuk kehamilan tuba yang belum terganggu.
Penelitian Zilber dan kawan-kawan membandingkan salpingostomi per
laparoskopi dengan injeksi methotrexate perlaparoskopi. Durasi pembedahan
pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan pada grup
methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang
lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih
rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba
dan angka kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup
tidak berbeda secara bermakna.
b. Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi kecuali bahwa
pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan
bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan
perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.
c. Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum
maupun yang sudah terganggu dan dapat dilakukan melalui laparotomi
maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan kehamilan
ektopik yang mengalami ruptur (terganggu), pasien tidak menginginkan
fertilitas pascaoperatif, terjadi kegagalan sterilisasi, telah dilakukan
rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, pasien meminta dilakukan
sterilisasi, perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, kehamilan tuba berulang,
kehamilan heterotopik, dan massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan
pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih
daripada salpingostomi sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan
parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit.
Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi
untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi,
bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan
kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika
diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi
dipisahkan dari mesosalping.
d. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi
dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan
di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi
dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila
massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi
dengan cairan bertekanan (Fujishita et al, 2004; Tulandi, 1999; Zilber, 1996).
.2.10 Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan
diagnosis dini dengan persediaan darah yang cukup. Hellman dkk pada tahun
1971 melaporkan 1 kematian dari 826 kasus dan Willson dkk pada tahun 1971
melaporkan 1 kematian diantara 591 kasus. Tetapi bila pertolongan terlambat,
angka kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo pada tahun 1970
mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus. Penderita mempunyai
kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik kembali.
Selain itu, kemungkinan untuk hamil akan menurun. Kemungkinan melahirkan
bayi cukup bulan adalah sekitar 50% (Astaqauliah, 2006).
Kehamilan ektopik merupakan sebab kematian yang penting maka
diagnosa harus dapat ditentukan dengan cepat hanya 60 % dari wanita yang
pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu menjadi hamil lagi walaupun
angka kemandulannya akan lagi lebih tinggi (Setiawan,2007).Umumnya
penyebab kehamilan ektopik (misalnya penyempitan tuba atau pasca penyakit
radang panggul) bersifat bilateral. Setelah pernah mengalami kehamilan ektopik
pada tuba satu sisi, kemungkinan pasien akan mengalami kehamilan ektopik lagi
pada tuba sisi yang lain (Shafariah,2008).
Ibu yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu mempunyai
resiko 10% untuk terjadinya kehamilan ektopik terganggu berulang. Ibu yang
sudah mengalami kehamilan ektopik terganggu sebanyak dua kali terdapat
kemungkinan 50% mengalami kehamilan ektopik terganggu berulang
(Schwart,2000).
Ruptur dengan perdarahan intraabdominal dapat mempengaruhi fertilitas
wanita. Dalam kasus-kasus kehamilan ektopik terganggu terdapat 50-60%
kemungkinan wanita steril. Dari sebanyak itu yang menjadi hamil kurang lebih
10% mengalami kehamilan ektopik berulang (Pawirohardjo,2005).
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien: Ny. N H Nama Suami : Tn. R
Umur : 29 th Umur : 32 th
Agama : Islam Agama: Islam
Suku : Sasak Suku : Sasak
Pendidikan: SMA Pendidikan: PT
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pekerjaan: Wiraswasta
Alamat : Jln. Cendana no.12 Mataram
Tanggal/Jam Masuk RSU Mataram : 19 November 2009 / 12.30 wita.
3.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien kiriman Klinik Swasta (dr. Rusdhy SpOG) dengan KET
Pasien datang ke Klinik Swasta jam 11.30, mengeluh nyeri perut sejak 4 hari yang
lalu terutama jika perut ditekan.
HPHT : Lupa
Siklus haid : 28 hari
Lama haid : 5-6 hari
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku tidak pernah menderita penyakit berat seperti Kencing Manis,
Hypertensi, Asma dan penyakit Jantung
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku bahwa dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit berat.
Riwayat KB
Pasien mengaku tidak pernah menggunakan KB apapun, dan berencanakan akan
mengunakan KB suntik 3 bulan
Riwayat Persalinan
1. Ini
Riwayat Perkawinan
Pasiuen mengaku menikah 1x, dengan suami sekarang dan berlangsung selama 8
bulan
3.3. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : 164 cm
Berat Badan : 52 kg
Tek. Darah : 110/70 mmHg
FN : 80 x/mnt
FP : 20 x/mnt
Suhu : 36,5 °C
Mata : An (-), Ikterus (-)
Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Ekstremitas : edema (-),
Abdomen : nyeri tekan (+), kembung (+)
3.4. STATUS GINEKOLOGI
a. Inspeksi : vulva normal
b. Inspekulo : porsio licin, massa (-), perdarahan (+), keputihan (-)
c. VT : CD (-), fluksus (-), nyeri goyang (+), cavum douglas menonjol (+)
3.5. DIAGNOSIS
Kehamilan Ektopik Terganggu.
3.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
PPT : (+)
DL: Hb 9,6 g%
Leu 12.000 /mm3
Tromb 326.000 /mm3
HCT 30.9
HBsAg (-)
3.7. PENATALAKSANAAN
Laparatomi
3.8. PENEMUAN OPERASI
- Uterus, ovarium kiri dan tuba falopii kiri normal
- Ovarium kanan normal
- Tuba falopii kanan terdapat gestasi dengan berat sekitar 200 gram
- Perdarahan pada tuba falopii
3.9. FOLLOW UP
19 November 2009
Pk. 12.30 wita S : Nyeri perut
O: - TD : 110/70 mmHg
- FN : 88 x/menit
- FP : 20 x/menit
- Suhu: 36,5 ‘C
A: KET
P : Persiapan Operasi (Infus, DC)
Laparatomi dimulai
Pk. 13.00 S : Kaki terasa berat
O : KU : baik
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
P : 20x/menit
Suhu : 36,8 ‘C
A : Post SOD
P : Observasi kesra ibu
Observasi Vital sign
Observasi Perdarahan
Cek Laboratorium
Pk. 14.00 S : -
O : KU : baik
TD : 110/80 mmHg
Nadi : 78x/menit
P : 20x/menit
Suhu : 36,5’C
Hasil Laboratorium: Hb : 8,6 g%
Leukosit: 10.100/mm3
Trombosit: 270.000/mm3
Hematocrit: 30,2
A : Post SOD
P : Observasi kesra ibu
Observasi Vital sign
Observasi Perdarahan
Pk. 15.00 S : -
O : KU : baik
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
P : 20x/menit
Suhu : 36,8 ‘C
A : Post SOD
P : Observasi kesra ibu
Observasi Vital sign
Observasi Perdarahan
Pk. 16.00 S : -
O : KU : baik
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
P : 20x/menit
Suhu : 36,8 ‘C
A : Post SOD
P : Observasi kesra ibu
Observasi Vital sign
Observasi Perdarahan
3.10. RESUME
Pasien 29 tahun hamil 2 bulan, Islam, Suku Sasak, kiriman dari Klinik
Swasta (dr. Rusdhy SpOG) dengan KET. Pasien mengeluh nyeri perut sebelah
kanan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan ginekologi didapatkan:
a. Inspeksi : vulva normal
b. Inspekulo : porsio licin, massa (-), perdarahan (+), keputihan (-)
c. VT : CD (-), fluksus (-), nyeri goyang (+), cavum douglas menonjol (+)
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Ny. N H usia 29 tahun datang ke RSU Mataram tanggal 19 Desember
2009 pada pukul 12.30 wita, didiagnosis KET berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan ginekologi dimana didapatkan nyeri tekan abdomen, nyeri goyang portio,
dan cavum douglas menonjol. Pasien mengeluh nyeri perut sejak 4 hari yang lalu.
Pemeriksaan fisik sangat penting terutama pemeriksaan abdomen karena nyeri tekan
abdomen, nyeri goyang portio dan penonjolan cavum douglas merupakan tanda khas
dari KET, selain itu perdarahan pervagina juga merupakan tanda khas dari KET. Hal
tersebut diatas akan mempengaruhi prognosis, komplikasi infeksi dan penanganan. Pada
kasus ini pasien didiagnosis KET sesuai dengan hasil pemeriksaan yaitu nyeri tekan
abdomen, nyeri goyang portio dan penonjolan cavum douglas, tetapi tidak disertai
perdarahan. Idealnya diagnosis KET ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik,
ginekologi, dan USG serta PPT, namun pada kasus ini pasien tidak dilakukan
pemeriksaan USG di RSUP Mataram, tetapi sudah dilakukan di Klinik Swasta.
Berdasarkan pengakuan pasien, mengaku hamil 2 bulan berdasarkan hasil
pemeriksaan PPT dan riwayat haid. Dengan adanya gangguan merupakan indikasi untuk
dilakukan terminasi kehamilan dengan laparatomi guna mencegah terjadinya
komplikasi terhadap ibu. Dari pemeriksaan status generalis pasien tampak normal dan
pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan kadar Hb 9,6 g% (agak turun), hal ini
menunjukkan bahwa tidak terjadi komplikasi lebih jauh terhadap ibu. Pemeriksaan
inspekulo diperoleh perdarahan dan portio licin. Pemeriksaan dalam (VT) pada pasien
ini dilakukan ketika baru datang dan didapatkan nyeri goyang portio, cavum douglas
menonjol. Pemeriksaan dalam dilakukan hanya sekali karena dapat menyakitkan pasien.
Pada pasien ini segera dilakukan laparatomi untuk mencegah komplikasi terhadap ibu.
Kehamilan ektopik pada dasarnya disebabkan segala hal yang menghambat
perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan
kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat
operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol,
salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen tuba yang
menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebut
secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada tuba,
sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Selain itu ada pula faktor-
faktor fungsional, yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor
hormonal dan defek fase luteal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba menjadi lamban,
sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri (Wibowo, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Astaqauliyah. 2006. Kehamilan Ektopik Terganggu.available from:
http://www.astaqauliyah.com (Accessed: 2009, Desember 10).
Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF. 2005. Kehamilan Ektopik. Dalam Obstetri
William (William’s Obstetri). Edisi XVIII. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Farlex. 2007. The Free Dictionary. Available from:
http://www.medicaldictionary.thefreedictionary.com (Accessed: 2009,
Desember 2).
Fujishita A, Masuzaki H, Khan KN, Kitajima M, Hiraki K, Ishimaru T. 2004.
Laparoscopic salpingotomy for tubal pregnancy: comparison of linear
salpingotomy with and without suturing. Hum Repro; 19(5):1195-1200 abstract
Guvendag Guven ES, Dilbaz S, Dilbaz B, Ozdemir DS, Akdag D, Haberal A. 2007.
Comparison of the effect of single-dose and multiple-dose methotrexate therapy
on tubal patency. Fertil Steril; 15(5):405-411
Harold E. 2006. Clinical Anatomy, Applied anatomy for students and junior doctors.
11th ed. USA: Blackwell Publishing.
Jones HW. 1997. Ectopic Pregnancy. In: Novak’s Text Book of Gynecology. 3rd
Edition. Balltimore, Hongkong, London, Sydney: William & Wilkins.
Lipscomb GH, McCord ML, Stovall TG, Huff G, Portera SG, Ling FW. 1999.
Predictors of Success of Methotrexate Treatment in Women with Tubal Ectopic
Pregnancies. NEJM;341(26):1974-1978
Lipscomb GH, Stovall TG, Ling FW. 2000. Nonsurgical Treatment of Ectopic
Pregnancy. NEJM ;343(18):1325-1329
Lozeau AM, Potter B. 2005. Diagnosis and Management of Ectopic Pregnancy.
American Academy of Family Physician; 72(9):1707-1714
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R. 2001. Kehamilan Ektopik. Dalam Kapita Selekta
Kedokteran Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius.
Manuaba, I.B.G. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana
Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
Medicine health. 2005. Ectopic Pregnancy. Available from:
http://www.emedicinehealth.com (Accessed: 2009, Desember 2).
Moechtar R. 1998. Kelainan Letak Kehamilan (Kehamialan Ektopik). Dalam: Sinopsis
Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri Patologis. Edisi II. Jakarta: Penerbit
Buku kedokteran EGC.
Moore K L, Dalley F. 2006. Cinically Oriented Anatomy. 5th ed. USA: Lippincott
Williams & Wilkins Publisher.
Motazedian S.2000.Surgical Treatment of Ectopic Pregnancy.Irn J Med Sci;25(1):76-80
Prawirohardjo S, Hanifa W. 2005. Gangguan Bersangkutan dengan Konsepsi. Dalam
Ilmu Kandungan. Edisi II. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo.
Rachimhadhi T. 2005. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi I.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Robin F, Lecuru F, Bernard JP, MacCordick C, Boucaya V, Taurelle R.1998.
Methotrexate Provides Significant Cost Savings for the Treatment of Unruptured
Ectopic Pregnancy. Clin Drug Invest; 15(5):405-411
Sadan O, Ginath S, Debby A, Rotmensch S, Golan A, Zakut H, Glezerman M.
2001.Methotrexate versus hyperosomolar glucose in the treatment of
extrauterine pregnancy. Arch Gynecol Obstet; 265(2):82-4 abstract
Saifuddin, A.B.dkk. 2000. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kessehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Shafariyah. 2008. Kehamilan Ektopik Terganggu. Available From:
h ttp:// www. Shafamedica. w ordpress. c om (Accessed: 2009, Desember 10).
Soenarto. 2008. Kehamilan Ektopik Terganggu. Available from:
http://www.healthisforall.blogspot.com (Accessed: 2009, Desember 7).
Suparman E, Suryawan A. 2007. Kehamilan Ektopik di RSUP Manado Selama 2 Tahun
(1 januari 2000-31 Desember 2001). Manado: Fakultas Kedokteran Universitas
Sam Ratulangi.
Taber, B. 1994. Kapita Selekta Kedokteran Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : EGC.
Schwart SI, Shires TS. 2000. Kehamilan Ektopik. Dalam Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu
Bedah. Edisi VI. Editor: Spencer FC. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tulandi T, Saleh A. 1999. Surgical management of ectopic pregnancy. Clinical Obstet
Gynecol;42:31 abstract
Wibowo B, Rachimhadhi T. 2002. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu Kebidanan. Edisi
III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Zilber U, Pansky M, Bukovsky I, Golan A. 1996. Laparoscopic Salpingostomy versus
Laparoscopic Local Methotrexate Injection in the Management of Unruptured
Ectopic Gestation. Am J Obstet Gynecol;175(3):600-602.
top related