kmb fix gnagnk
Post on 18-Feb-2015
52 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus.
Glomerulonefritis ditandai dengan reaksi radang pada glomerulus dengan
adanya leukosit dan proliferasi sel, serta eksudasi eritrosit, loukosit dan
protein plasma dalam ruang Bowman. Selain itu tampak pula kelainan
sekunder pada tubulus, interstitium dan pembuluh darah.
Glomerulonefritis bukan merupakan infeksi ginjal oleh jasad renik, bukan pula
suatu penyakit tersendiri oleh etiologi tertentu, melainkan sebiknya dianggap
sebagai suatu pola reaksi ginjal terhadap berbagai factor yang belum
seluruhnya jelas. Glomerulonefritis (juga disebut sindrom nefrotik), mungkin
akut, dimana pada kasus seseorang dapat meliputi seluruh fungsi ginjal atau
kronis ditandai oleh penurunan fungsi ginjal lambat, tersembunyi, dan
progresif yang akhirnya menimbulkan penyakit ginjal tahap akhir. Ini
memerlukan waktu 30 tahun untuk merusak ginjal sampai pada tahap akhir.
Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari
glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus
(seperti sirkulasi tiroglobulin) atau eksogenus (agen infeksius atau proses
penyakit sistemik yang menyertai). Hospes (ginjal) mengenal antigen sebagai
suatu benda asing dan mulai membentuk antibody untuk menyerangnya.
Respon peradangan ini menimbulkan penyebaran perubahan patofisiologi,
termasuk menurunnya perubahan laju filtrasi glomerulus (LFG), peningkatan
permiabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma
1
(terutama albumin) dan SDM, dan retensi abnormal Na dan H2O yang
menekan produksi rennin dan aldosteron.
Berbagai macam glomerulofati dapat terjadi, masing-masing dengan
penampilan klinis yang berbeda. Jadi penyakit diklasifikasikan menurut
morfologi, etiologi, patogenesis, sindrom klinis, atau kombinasi dari
semuanya. Masing-masing tipe dari glomerulopati akan menunjukan
manifestasi dari gagal ginjal dalam tiga bulan awitan. Ini kemudian disebut
glomerulonefritis yang berkembang dengan cepat, memerlukan intervensi
medis awal yang berbeda.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan mahasiswa dapat
memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan glomerulus nefritis
akut dan glomerulus nefritis kronis.
2. Tujuan Khusus
Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan mahasiswa dapat
memahami tentang :
a. Pengertian Glomerulus Nefritis Akut dan Glomerulus Nefritis Kronis.
b. Etiologi Glomerulus Nefritis Akut dan Glomerulus Nefritis Kronis.
c. Patofisiologi Glomerulus Nefritis Akut dan Glomerulus Nefritis
Kronis.
d. Gambaran Klinis Glomerulus Nefritis Akut dan Glomerulus Nefritis
Kronis.
e. Pemeriksaan Diagnostik Glomerulus Nefritis Akut dan Glomerulus
Nefritis Kronis.
f. Penatalaksanaan Glomerulus Nefritis Akut dan Glomerulus Nefritis
Kronis.
g. Asuhan Keperawatan Glomerulus Nefritis Akut dan Glomerulus
Nefritis Kronis.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Glomerulus Nefritis Akut
1. Definisi
GNA adalah inflamasi glomeruli yang terjadi ketika kompleks antigen-
antibodi terjebak dalam membran kapiler glomerular.
Glomerulo nefritis akut adalah istilah yang secara luas digunakan yang
mengacu pada sekelompok penyakit ginjal di mana inflamasi terjadi di
glamerulus. (Brunner dan Suddarth, 2001).
Glamerulo nefritis adalah peradanga dan kerusakan pada alat penyaring
darah sekaligus kapiler ginjal (Glamerulus), (Japaries, willie, 1993).
Glamerulus nefritis adalah sindrom yang ditadai oleh peradangan dari
glemerulus diikuti pembentukan beberapa antigen (Engran, Barbara,
1999).
2. Etiologi
a. Kuman streptococus.
b. Perhubungan dengan penyakit auto imun lain.
c. Reaksi obat.
d. Bakteri.
e. Virus.
Penyakit ini ditemukan pada semua usia, tetapi sering terjadi pada usia
awal sekolah dan jarang pada anak yang lebih muda dari 2 tahun, lebih
banyak pria dari pada wanita (2:1).
3
Timbulnya GNA didahului oleh infeksi ekstra renal, terutama di traktus
respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptokokkus beta
hemolitikus gol A. Faktor lain yang dapat menyebabkan adalah factor
iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi.
3. Patofisiologi
Price,Sylvia Anderson, Patofisiologi) Kasus glomerulo nephritis akut
terjadi setelah infeksi streptokokus pada tenggorokan atau kadang
kadang pada kulit sesudah masa laten 1 sampai 2 minggu. Organisme
penyebab lazim adalah streptokokus beta hemolitikus grup Atipe 12 atau 4
dan 1, jarang oleh penyebab lainnya. Namun sebenarnya bukan
streptokukus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Di duga terdapat
suatu antibody yang ditujukan terhadap antigen khusus yang merupakan
membrane plasma streptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-
antibodi dalam darah bersikulasi ke dalam glomerulus tempat kompleks
tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran basalis. Selanjutnya
komplemen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang
menarik leukosit polimerfo nuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat
lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel dan
membrane basalis glomerulus(GBM). Sebagai respon terhadap lesi yang
terjadi, timbul poliferasi sel-sel endotel yang di ikuti sel-sel
mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya
kebocoran kapiler glomerulus menyebabkan protein dan sel darah merah
dapat keluar ke dalam urin yang sedang di bentuk oleh
ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya, kompleks
komplemen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul - nodul
subepitel (atau sebagai bungkusan epimembanosa) pada mikroskop
electron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada
mikroskopimunofluoresensi, pada pemeriksaan mikroskop cahaya
glomerulus tampak membengkak dan hiperselular di sertai invasi PMN.
Prokferusi seluler (peningkata produksi sel endotel;ialah yag melapisi
glomerulus), infilaltrasi lekosit ke glameruus, dan penebalan membran
4
filbtrasi glamerulus atau membran basal menghasilkan jaringan perut dan
kehilagan permukaan penyaring. Pada glamerulo nefritis akut ginjal
membesar, bengkak dan kongesti.
Pada kenyataan kasus, stimulasi dari reaksi adalah infeksi oleh kuman
steeptococus A pada tengorok, yang biasayang mendahului glomerulo
nefritis sampai interval 2 – 3 minggu. Produk streptacocus bertindak
sebagai antinge, menstimulasi antibodi yang bersirkulasi menyebabkan
cidera ginjal.
4. Gambaran Klinik
Hasil penyelidikan klinis immunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses immunologis sebagai
penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :
a. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membran
basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
b. Proses autoimmune kuman streptokokkus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan autoimmune yang merusak glomerulus.
c. Streptokokkus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang
langsung merusak membran basalis ginjal.
5. Manifestasi Klinik
Gejala yang sering ditemukan :
a. Hematuri
b. Edema
c. Hipertensi
d. Peningkatan suhu badan
e. Mual, tidak ada nafsu makan
f. Ureum dan kreatinin meningkat
g. oliguri dan anuria
5
h. Faringitis atau tansiktis.
i. Demam
j. Sakit kepala
k. Malaise.
l. Nyeri panggul
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisis :
1) Hematuria (mikroskopis atau makroskopis)
2) Proteinuria (3 + sampai 4+)
3) Sedimen : silinder sel merah, SDP, sel epitel ginjal
4) BJ : peningkatan sedang
b. Pemeriksaan darah :
1) Komplemen serum dan C3 menurun
2) BUN dan kreatinin meningkat
3) Titer DNA – ase antigen B meningkat
4) LED meningkat
5) Albumin menurun
6) Titer anti streptolisin – O (ASO) meningkat
c. Biopsi ginjal untuk menunjukkan obstruksi kapiler glomerular dan
memastikan diagnosis.
7. Manajemen Kolaboratif
a. Intervensi Terapeutik
1) Batasi masukan cairan, kalium dan natrium
2) Pembatasan protein sedang dengan oliguri dan peningkatan BUN;
pembatasan lebih drastis bila terjadi gagal ginjal akut.
3) Peningkatan karbohidrat untuk memberikan energi dan
menurunkan katabolisme protein.
6
b. Intervensi Farmakologis
1) Anti HT dan diuretic untuk mengontrol HT dan edema.
2) Penyekat H2 untuk mencegah ulkus stress pada penyakit akut.
3) Agens ikatan fosfat untuk mengurangi kadar fosfat dan
meningkatkan kalsium.
4) AB bila infeksi masih ada.
8. Komplikasi
a. Oliguri sampai anuria sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus.
b. Esefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena
hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan pada penglihatan, pusing,
muntah, dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan spasme pembuluh
darah local dengan anoksia dan edema otak.
c. Gangguan sirkulasi berupa dispneu, orthopneu, terdapat ronchi
basah, pembesaran jantung dan meningkatnya TD yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi
Gagal Jantung akibat HT yang menetap dan kelainan di miocardium.
d. Anemia karena adanya hipervolemia disamping adanya sintesis
eritropoetik yang menurun.
B. Glomerulonefritis Kronik
1. Defenisi
Adalah glomerulonefritis tingkat akhir (“and stage”) dengan kerusakan
jaringan ginjal akibat proses nefrotik dan hipertensi sehingga
menimbulkan gangguan fungsi ginjal yang irreversible.
2. Etiologi
a. Lanjutan GNA, seringkali tanpa riwayat infeksi.
b. Dibatas mellitus
c. Hipertensi kronik
d. Penyebab lain yang tidak diketahui yang ditemui pada stadium lanjut.
7
3. Patofisiologi
Glomerulonefritis kronis, awalnya seperti glomerulonefritis akut atau
tampak sebagai tipe reaksi antigen/antibodi yang lebih ringan, kadang-
kadang sangat ringan, sehingga terabaikan. Setelah kejadian berulang
infeksi ini, ukuran ginjal sedikit berkurang sekitar seperlima
dari ukuran normal, dan terdiri dari jaringan fibrosa yang luas, korteks
mengecil menjadi lapisan yang tebalnya 1-2 mm atau kurang. Berkas
jaringan parut merusak sistem korteks, menyebabkan permukaan ginjal
kasar dan ireguler. Sejumlah glomeruli dan tubulusnya berubah menjadi
jaringan parut, dan cabang-cabang arteri renal menebal.
Akhirnya terjadi perusakan glomerulo yang para, menghasilkan penyakit
ginjal tahap akhir(ESRD).
4. Gambaran Klinik
a. Kadang-kadang tidak memberikan keluhan sama sekali sampai terjadi
gagal ginjal.
b. Lemah, nyeri kepala, gelisah, mula, coma dan kejang pada stadium
akhir.
c. Edema sedikit bertambah jelas jika memasuki fase nefrotik.
d. Suhu subfebril.
e. Kolestrol darah naik.
f. Penurunan kadar albumin.
g. Fungsi ginjal menurun.
h. Ureum meningkat + kreatinin serum.
i. Anemia.
j. Tekanan darah meningkat mendadak meninggi.
k. Kadang-kadang ada serangan ensefalopatihipertensi.
l. Gagal jantung kematian.
m. Berat badan menurun.
n. Selalu merasa haus dan miksi pada malam hari (nokturia)
o. Hematuria.
8
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pada urine ditemukan :
1) Albumin (+)
2) Silinder
3) Eritrosit
4) Lekosit hilang timbul
5) BJ urine 1,008 – 1,012 (menetap)
b. Pada darah ditemukan :
1) LED tetap meninggi
2) Ureum meningkat
3) Fosfor serum meningkat
4) Kalsium serum menurun
c. Pada stadium akhir :
1) Serum natrium dan klorida menurun
2) Kalium meningkat
3) Anemia tetap
d. Pada uji fugsional ginjal menunjukan kelainan ginjal yang progresif.
6. Penatalaksanaan
a. Medik :
1) Pengobatan ditujukan pada gejala klinik dan gangguan elektrolit.
2) Pengobatan aktivitas sehari-hari sesuai batas kemampuan pasien.
3) Pengawasan hipertensi dengan anti hipertensi.
4) Pemberian antibiotik untuk infeksi.
5) Dialisis berulang untuk memperpanjang harapan hidup pasien.
b. Keperawatan :
1) Disesuaikan dengan keadaan pasien.
2) Pasien dianjurkan secara teratur untuk senantiasa kontrol pada ahlinya.
9
3) Program diet ketat tetapi cukup asupan gizinya.
4) Penjelasan kepada pasien tentang pambatasan aktivitas sesuai
kemampuannya.
5) Anjuran kontrol ke dokter harus ditaati untuk mencegah berlanjut ke
sindrom nefrotik atau GGK.
C. Pathway
Infeksi / penyakit
Migrasi sel-sel radang kedalam glomerulus
Pembentukan kompleks antigen – antibody dalam dinding kapiler
Defosit Complement dan attraes nefrofil dan monosit
Enzim Lysosomal merusak membran Fibrinogen dan Plasma protein
dasar glomerular, meningkatnya lain bermigrasi melalui dinding sel
permeabilitas dinding kapiler manifestasi : Proteinuria
Eritrosit bermigrasi melalui dinding sel
yang rusak, manifestasi : Hematuria
Proliferasi sel dan fibrin yang terakumulasi
di dalam kapsula bowman
Menurunnya perfusi kapiler glomerulus
Manifestasi : Retensi cairan dan meningkatnya BUN dan Creatinine
10
Skema 2 :
Reaksi antigen – antibody
Aktivitas vasopresor meningkat Proliferasi dan kerusakan Glomerulus
Vasospasme GFR menurun Kerusakan umum kapiler
Aldosteron meningkat
Retensi Na+
Retensi H2O
Volume Cairan Ekstrasel meningkat
Hipertensi Edema Albuminuria
Hematuria
11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GLOMERULONEFRITIS
A. Pengkajian
1. Genitourinaria
a. Urine keruh
b. Proteinuria
c. Penurunan urine output
d. Hematuri
2. Kardiovaskuler
a. Hipertensi
3. Neurologis
a. Letargi
b. Iritabilitas
c. Kejang
4. Gastrointestinal
a. Anorexia
b. Vomitus
c. Diare
5. Hematologi
a. Anemia
b. Azotemia
c. Hiperkalemia
6. Integumen
a. Pucat
b. Edema
12
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA, diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan, sebagai
berikut :
1. Kelebihan volume cairan b/d perubahan mekanisme regulasi, peningkatan
permeabilitas glomerulus.
2. Intoleransi aktivitas b/d fatique
3. Kerusakan integritas kulit b/d edema dan menurunnya tingkat aktivitas
4. Ketiakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d pembatasan
cairan, diet, dan hilangnya protein
5. Kecemasan b/d kurang pengetahuan dan hospitalisasi
Menurut Dongoes, diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan, sebagai
berikut :
1. Gangguan perfusi jaringan b/d retensi air dan hipernatremia
2. Peningkatan volume cairan b/d oliguri
3. Perubahan status nutrisi (kurang dari kebutuhan) b/d anorexia.
4. Intolerance aktiviti b/d fatigue
5. Gangguan istirahat tidur b/d immobilisasi dan edema.
C. Intervensi
Menurut NANDA, intervensi yang diberikan :
1. Kelebihan volume cairan b/d perubahan mekanisme regulasi, peningkatan
permeabilitas glomerulus.
Kriteria Hasil :
a. Terbebas dari edema, efusi, anasarka
b. Bunyi napas bersih, tidak ada dispneu dan ortopneu
c. Terbebas dari distensi vena jugularis, reflek hepatojugular (+)
d. Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, out put jantung
dan vitalsign dalam batas normal
e. Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau kedinginan
f. Menjelaskan indicator kelebihan cairan
13
Intervensi :
a. Timbang popok/ pembalut jika diperlukan
b. Pertahankan catatan intake dan out put yang akurat
c. Pasang urin cateter bila diperlukan
d. Monitor hasil Hb yang sesuai dengan retensi cairan (BUN, Hmt,
osmolalitas urine)
e. Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP, dan PCWP.
f. Monitor Vital sign.
g. Monitor indikasi retensi/ kelebihan cairan (Rales, CVP, edema,
distensi vena leher, acites)
h. Kaji lokasi dan luas edema
i. Monitor masukan makanan/ cairan dan hitung intake kalori
j. Monitor status nutrisi
k. Kolaborasi pemberian diuretic sesuai instruksi
l. Batasi masukan cairan pada keadaan hipontremia dilusi dengan serum
Na < 130 mEq/l
m. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk.
2. Intoleransi aktivitas b/d fatique
Kriteria Hasil :
a. Berpartisifasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan
darah, nadi dan respirasi
b. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLS) secara mandiri.
Intervensi :
a. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
b. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan untuk mengungkapakan
perasaan terhadap keterbatasan.
c. Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan.
d. Monitor nutrisi dan sumber energy yang adekuat
e. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara
berlebihan.
14
f. Monitor respon kardiovasculer terhadap aktivitas
g. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/ istirahat klien.
3. Kerusakan integritas kulit b/d edema dan menurunnya tingkat aktivitas
Kriteria Hasil :
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas,
temperature, hidrasi, pigmentasi)
b. Tidak ada luka/ lesi pada kulit
c. Perfusi jaringan baik
d. Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya cedera berulang.
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan
perawatan alami.
Intervensi :
a. Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang longgar
b. Hindari kerutan pada tempat tidur
c. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
d. Mobilisasi klien (ubah posisi klien) setiap 2 jam.
e. Monitor kulit akan adanya kemerahan.
f. Oleskan lotion atau minyak/ baby oil pada daerah yang tertekan
g. Monitor mobilitas dan aktivitas klien
h. Monitor status nutrisi klien
4. Ketiakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d pembatasan
cairan, diet, dan hilangnya protein
Kriteria Hasil :
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
e. Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
15
f. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Intervensi :
a. Kaji adanya alergi makanan
b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan pasien
c. Anjurkan klien untuk meningkatkan intake Fe.
d. Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
e. Berikan substansi gula
f. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi.
g. Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli
gizi).
h. Ajarkan klien bagaimana membuat catatan harian
i. Monitor jumlah nutrisi dan jumlah kalori
j. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
k. Kaji kemampuan klien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
5. Kecemasan b/d kurang pengetahuan dan hospitalisasi
Kriteria Hasil :
a. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
b. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukan tehnik untuk
mengontrol cemas
c. Vital sign dalam batas normal
d. Postur tubuh ekpresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukan berkurangnya kecemasan
Intervensi :
a. Gunakan pendekatan yang menyenangkan.
b. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku klien.
c. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur.
d. Temani klien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
16
e. Berikan informasi factual mngenai diagnosis, tindakan prognosis.
f. Dorong keluarga untuk menemani klien
g. Lakukan back/ neck rub.
h. Dengarkan dengan penuh perhatian
i. Identifikasi tingkat kecemasan
j. Bantu klien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
k. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
l. Instruksikan klien menggunakan tehnik relaksasi
m. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan.
Menurut Dongoes, intervensi yang diberikan :
1. Gangguan perfusi jaringan b/d retensi air dan hipernatremia
Kriteria Hasil :
Klien akan menunjukkan perfusi jaringan serebral normal ditandai
dengan tekanan darah dalam batas normal, penurunan retensi air, tidak ada
tanda-tanda hipernatremia.
Intervensi :
a. Monitor dan catat TD setiap 1 – 2 jam perhari selama fase akut.
R/ untuk mendeteksi gejala dini perubahan TD dan menentukan
intervensi selanjutnya.
b. Jaga kebersihan jalan nafas, siapkan suction
R/ serangan dapat terjadi karena kurangnya perfusi oksigen ke otak
c. Atur pemberian anti HT, monitor reaksi klien.
R/ Anti HT dapat diberikan karena tidak terkontrolnya HT yang dapat
menyebabkan kerusakan ginjal
d. Monitor status volume cairan setiap 1 – 2 jam, monitor urine output (N
: 1 – 2 ml/kgBB/jam).
R/ monitor sangat perlu karena perluasan volume cairan dapat
menyebabkan tekanan darah.
e. Kaji status neurologis (tingkat kesadaran, refleks, respon pupil) setiap
8 jam.
17
R/ Untuk mendeteksi secara dini perubahan yang terjadi pada status
neurologis, memudahkan intervensi selanjutnya.
f. Atur pemberian diuretic : Esidriks, lasix sesuai order.
R/ diuretic dapat meningkatkan eksresi cairan.
2. Peningkatan volume cairan b/d oliguri
Kriteria Evaluasi :
Klien dapat mempertahankan volume cairan dalam batas normal ditandai
dengan urine output 1 - 2 ml/kg BB/jam.
Intervensi :
a. Timbang BB tiap hari, monitor output urine tiap 4 jam.
R/ : Peningkatan BB merupakan indikasi adanya retensi cairan ,
penurunan output urine merupakan indikasi munculnya gagal ginjal.
b. Kaji adanya edema, ukur lingkar perut setiap 8 jam, dan untuk anak
laki-laki cek adanya pembengkakan pada skrotum
R/ : Peningkatan lingkar perut danPembengkakan pada skrotum
merupakan indikasi adanya ascites.
c. Monitor reaksi klien terhadap terapi diuretic, terutama bila
menggunakan tiazid/furosemide.
R/ : Diuretik dapat menyebabkan hipokalemia, yang membutuhkan
penanganan pemberia potassium.
d. Monitor dan catat intake cairan.
R/ : Klien mungkin membutuhkan pembatasan pemasukan cairan dan
penurunan laju filtrasi glomerulus, dan juga membutuhkan pembatasan
intake sodium.
e. Kaji warna warna, konsentrasi dan berat jenis urine.
R/ : Urine yang keruh merupakan indikasi adanya peningkatan protein
sebagai indikasi adanya penurunan perfusi ginjal.
f. Monitor hasil tes laboratorium
R/ : Peningkatan nitrogen, ureum dalam darah dan kadar kreatinin
indikasi adanya gangguan fungsi ginjal.
18
3. Perubahan status nutrisi (kurang dari kebutuhan) b/d anorexia.
Kriteria Evaluasi :
Klien akan menunjukan peningkatan intake ditandai dengan porsi akan
dihabiskan minimal 80%.
Intervensi :
a. Sediakan makan dan karbohidrat yang tinggi.
R/ : Diet tinggi karbohodrat biasanya lebih cocok dan menyediakan
kalori essensial.
b. Sajikan makan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan
klien.
R/ : Menyajikan makan sedikit-sedikt tapi sering, memberikan
kesempatan bagi klien untuk menikmati makanannya, dengan
menyajikan makanan kesukaannya dapat menigkatkan nafsu makan.
c. Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
R/ : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus
ginjal tidak dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk
membatasi pemasukan cairan.
4. Intolerance aktiviti b/d fatigue.
Kriteria Evaluasi :
Klien akan menunjukan adanya peningkatan aktivitas ditandai dengan
adanya kemampuan untuk aktivitas atau meningkatnya waktu beraktivitas.
Intervensi :
a. Buat jadwal/periode istirahat setelah aktivitas.
R/ : Dengan periode istirahat yang terjadual menyediakan energi untuk
menurunkan produksi dari sisa metabolisme yang dapat meningkatkan
stress pada ginjal.
19
b. Sediakan/ciptakan lingkungan yang tenang, aktivitas yang menantang
sesuai dengan perkembangan klien.
R/ : Jenis aktivitas tersebut akan menghemat penggunaan energi dan
mencegah kebosanan.
c. Buat rencana/tingkatan dalam keperawatan klien agar tidak dilakukan
pada saat klien sementara dalam keadaan istirahat pada malam hari.
R/ : Tingkatan dalam perawatan/pengelompokan dapat membantu
klien dalam memenuhi kebutuhan tidurnya.
6. Gangguan istirahat tidur b/d immobilisasi dan edema.
Kriteria Evaluasi :
Klien dapat mempertahankan integritas kulit ditandai dengan kulit tidak
pucat, tidak ada kemerahan, tidak ada edema dan keretakan pada
kulit/bersisik.
Intervensi :
a. Sediakan kasur busa pada tempat tidur klien
R/ : Menurunkan resiko terjadinya kerusakan kulit.
b. Bantu merubah posisi tiap 2 jam.
R/ : Dapat mengurangi tekanan dan memperbaiki sirkulasi, penurunan
resiko terjadi kerusakan kulit.
c. Mandikan klien tiap hari dengan sabun yang mengandung pelembab.
R/ : Deodoran/sabun berparfum dapat menyebabkan kulit kering,
menyebabkan kerusakan kulit.
d. Dukung/beri sokongan dan elevasikan ekstremitas yang mengalami
edema.
R/ : Meningkatkan sirkulasi balik dari pembuluh darah vena untuk
mengurangi pembengkakan.
20
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Glamerulus nefritis adalah sindrom yang ditadai oleh peradangan dari
glemerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang terdiri dari peradangan
akut dan kronis pada glomerulus.
Melalui pengkajian perawat mampu mengidentifasi data yang dapat
meimbulkan masalah keperawata. Terkait glomerulus nefritis akut dan kronis,
diagnosa keperawatan yang dibuat berdasarkan hasil analisa ditemukan
masalah keperawatan untuk glomerulus nefritis akut dan kronis yang perlu
dibuat rencana tindakan keperawatan yang tepat sehingga dapat mengurangi
dan menghilangkan masalah yang dihadapi klien.
B. Saran
1. Dalam melakukan pengkajian hendaknya dilakukan secara komprehensif
dan menyeluruh dengan memperhatikan seluruh aspek biopsikososio dan
spritual.
2. Dalam membuat diagnosa keperawatan hendaknya disesuaikan dengan
pengkajian dan masalah klien saat ini.
3. Dalam membuat rencana tindakan hendaknya disesuaikan dengan masalah
yang ditemukan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Barbara,E. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Volume I.
Jakarta: EGC.
Brunner and Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, edisi 8
volume 2, Jakarta: EGC
Cecily L.Betz dan Linda A. Sowden. (2002). Buku saku Keperawatan
Pediatri, , Edisi 3. Jakarta: EGC.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
North American Nursing Diagnosis Association (NANDA). (2012). Nanda
Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional. Edisi Revisi.
Yogyakarta: Media Hardi.
Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit buku 2 edisi 4, Penerbit
EGC, Jakarta 1995.
Sandra M.Nettina. Pedoman Praktek Keperawatan. Jakarta: EGC.
22
top related