fermentasi nata de coco_cynthia christinne_11.70.0047_universitas soegijapranata
Post on 19-Jan-2016
193 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1. HASIL PENGAMATAN
1.1. Pengukuran Lapisan Nata de coco
Hasil pengamatan terhadap pengukuran lapisan nata de coco pada hari ke-0, hari ke-7,
dan hari ke-14 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengukuran Lapisan Nata de coco pada hari ke-0, ke-7, dan ke-14
KelTinggi Media
Awal (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm) % Lapisan Nata
H0 H7 H14 H0 H7 H14
C1 3 0 1,5 1,8 0 50 60C2 1,8 0 0,7 1,1 0 38,89 61,11C3 1 0 0,7 0,5 0 70 50C4 2 0 0,5 1,8 0 25 90C5 1,6 0 0,75 2 0 46,88 125
Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa tinggi media awal pada setiap kelompok berbeda-
beda tergantung dari volume wadah yang digunakan. Pada hari ke-0, belum ada
pertumbuhan lapisan nata de coco. Pada hari ke-7 dan hari ke-14, sudah terlihat
tumbuhnya lapisan nata de coco pada permukaan media air kelapa. Dari semua
kelompok terlihat bahwa dari hari ke-7 menuju hari ke-14, prosentase ketebalan lapisan
nata de coco mengalami peningkatan. Pada kelompok C1, ketebalan nata de coco dari
50% meningkat menjadi 60%. Pada kelompok C2, ketebalan nata de coco dari 38,89%
meningkat menjadi 61,11%. Pada kelompok C4, ketebalan nata de coco dari 25%
meningkat menjadi 90%. Pada kelompok C5, ketebalan nata de coco dari 46,88%
meningkat menjadi 125%. Namun hal yang berlawanan terjadi pada kelompok C3, yang
justru mengalami penurunan prosentase ketebalan lapisan nata de coco sebesar 70%
pada hari ke-7 dan menjadi 50% pada hari ke-14.
1.2. Uji Sensoris Nata de coco
Hasil pengamatan terhadap uji sensoris karakteristik nata de coco yang meliputi aroma,
warna, tekstur, dan rasa dapat dilihat pada Tabel 2.
1
2
Tabel 2. Uji Sensoris Nata de coco
Kelompok Aroma Warna Tekstur RasaC1 +++ ++ ++ +++C2 ++++ ++ ++ +++C3 ++++ ++ +++ +++C4 ++++ ++ +++ ++++C5 ++++ ++ +++ ++++
Keterangan:Aroma Warna Tekstur Rasa++++ : tidak asam ++++ : putih ++++ : sangat kenyal ++++ : sangat manis+++ : agak asam +++ : putih bening +++ : kenyal +++ : manis++ : asam ++ : putih agak bening ++ : agak kenyal ++ : agak manis+ : sangat asam + : bening + : tidak kenyal ++ : tidak manis
Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa dari nata de coco yang dihasilkan, nata de coco
memiliki aroma yang tidak asam kecuali pada kelompok C1 nata de coco yang
dihasilkan memiliki aroma agak asam. Dari segi warna, nata de coco yang dihasilkan
semua kelompok memiliki warna putih agak bening. Ditinjau dari segi tekstur, nata de
coco yang dihasilkan oleh kelompok C1 dan C2 memiliki tekstur agak kenyal,
sedangkan yang dihasilkan oleh kelompok C3, C4, dan C5 memiliki tekstur yang
kenyal. Apabila dilihat dari segi rasa, nata de coco yang dihasilkan oleh kelompok C1,
C2, dan C3 memiliki rasa manis, sedangkan pada kelompok C4 dan C5 nata de coco
yang dihasilkan memiliki rasa sangat manis.
2. PEMBAHASAN
Air kelapa merupakan bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan nata de
coco. Air kelapa seringkali dijadikan sebagai limbah yang tidak digunakan lagi dari sisa
penggunaan buah atau daging kelapa. Sebenarnya, air kelapa masih mengandung
banyak nutrisi yang dapat digunakan sebagai sumber nutrisi bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Apabila air kelapa dapat dimanfaatkan dengan benar dengan
penggunaan mikroorganisme yang sesuai, salah satu produk yang dihasilkan dapat
berupa nata de coco (Astawan & Astawan, 1991).
Menurut Widayati et al., (2002), air kelapa dapat dibuat menjadi substrat dan sumber
isolat bakteri dalam proses fermentasi. Air kelapa sebagai sumber nutrisi banyak
mengandung gula, protein, asam-asam amino, dan bermacam-macam vitamin serta
mineral. Kandungan gula pada air kelapa berkisar antara 7 – 10% yang tersusun atas
polisakarida (dekstrosa) yang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan
dasar fermentasi asam-asam organik. Onifade (2003) menambahkan, air kelapa
mengandung beberapa nutrisi seperti 0,14% protein, 1,5% lemak, 4,6% karbohidrat,
1,06% abu, dan sisanya air. Gula merupakan turunan dari karbohidrat, dimana di dalam
air kelapa gula yang tersedia adalah sukrosa, dekstrosa, dan fruktosa. Selain itu, di
dalam air kelapa juga terdapat vitamin B kompleks yang terdiri dari asam nikotinat,
asam folat, asam pantotenat, riboflavin, dan biotin.
Nata de coco merupakan salah satu produk fermentasi yang dihasilkan dari air kelapa
dengan melibatkan jasad renik (mikroba) untuk menghasilkan nata yang tersusun atas
senyawa selulosa (dietary fiber) (Pambayun, 2002). Pendapat yang sama diungkapkan
pula oleh Santosa et al., (2012) yang mengatakan bahwa nata de coco adalah produk
fermentasi yang terdiri dari komponen selulosa yang dihasilkan dari air kelapa dengan
melibatkan mikroba Acetobacter xylinum. Menurut Anastasia et al., (2008), dari asal
katanya; “Nata” dapat diartikan sebagai selulosa yang berbentuk padat, berwarna putih
transparan, dan bertekstur kenyal serta kuat, dengan kandungan air sekitar 98%;
sedangkan “Coco” dapat diartikan sebagai buah kelapa. Maka, selulosa yang dihasilkan
dari air buah kelapa dinamakan sebagai nata de coco.
3
4
Mekanisme Pembentukan Nata
Dalam pembuatan nata de coco, mikroorganisme yang dilibatkan selama proses
fermentasinya adalah bakteri Acetobacter xylinum. Komponen selulosa yang dinamakan
“nata” bisa terbentuk apabila bakteri tersebut dapat tumbuh selama proses fermentasi,
dimana air kelapa terpenuhi sebagai substratnya yang banyak mengandung gula. Seperti
proses fermentasi pada umumnya, ketersediaan gula sangat penting untuk mendukung
pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat dalam proses fermentasi karena gula
dijadikan sebagai substrat utama pertumbuhannya dan akan mengalami konversi
menjadi senyawa-senyawa asam organik akibat aktivitas mikroorganisme yang terlibat.
Dalam air kelapa, proses konversi gula menjadi asam-asam organik diawali dengan
pemecahan gula menjadi polisakarida (selulosa) oleh Acetobacter xylinum. Kemudian,
dari hasil pemecahan ini akan terbentuk serat-serat tipis seperti benang-benang halus
yang dibentuk oleh selulosa. Seiring dengan waktu berjalannya proses fermentasi, serat-
serat tipis tersebut akan membentuk jaringan kuat dengan lapisan selulosa yang semakin
tebal. Meskipun nutrisi dalam nata de coco kecil karena hanya terdiri dari air, tetapi
serat-serat kasar yang dihasilkan dari selulosa ini (dietary fiber) sangat diperlukan oleh
tubuh dalam proses fisiologi, terutama daalam sistem pencernaan (Astawan & Astawan,
1991). Bentuk bakteri Acetobacter xylinum dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Acetobacter xylinum
Dalam praktikum pembuatan nata de coco ini, proses pembuatan dibagi menjadi 2 tahap
utama, yaitu pembuatan media dan proses fermentasi. Media yang digunakan dalam
praktikum ini adalah air kelapa, dimana hal ini sesuai dengan teori Widayati et al.,
(2002) yang mengatakan bahwa kandungan gula pada air kelapa tersusun atas
polisakarida (dekstrosa) yang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan
dasar fermentasi asam-asam organik. Sedangkan pada proses fermentasi, bakteri yang
terlibat dalam pembuatan nata de coco ini adalah Acetobacter xylinum. Sesuai dengan
teori Ofinade (2003), nutrisi yang ada pada air kelapa seperti sukrosa, dekstrosa,
5
fruktosa, dan vitamin B kompleks sangat mendukung sebagai substrat pertumbuhan
bagi bakteri Acetobacter xylinum di saat fermentasi berlangsung.
2.1. Pembuatan Media
Pembuatan media fermentasi bertujuan untuk memberikan makanan, menunjang kondisi
lingkungan untuk pembiakan mikroorganisme dalam jumlah besar, membuat biakan
penyuburan, dan agar diperoleh biakan murni (Volk & Wheeler, 1993). Untuk proses
pembuatan media, pertama-tama, dilakukan penyaringan air kelapa yang akan
digunakan sebagai media sebanyak 1500 ml (untuk 5 kelompok). Sesuai dengan teori
Volk & Wheeler (1993), proses penyaringan bertujuan untuk memisahkan kotoran yang
tidak terlarut pada air kelapa. Setelah disaring, air kelapa dimasak melalui proses
perebusan hingga mendidih, dimana hal ini bertujuan untuk membunuh semua
mikroorganisme yang terkandung pada air kelapa. Dengan membunuh semua
mikroorganisme, Acetobacter xylinum yang nantinya akan ditanamkan pada media tidak
mengalami gangguan pertumbuhan karena hadirnya mikroorganisme kontaminan
(Tortora et al., 1995). Proses penyaringan air kelapa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Proses penyaringan air kelapa (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Proses selanjutnya adalah pemberian gula pasir ke sebanyak 10% (150 gram untuk 5
kelompok) ke dalam air kelapa yang telah direbus, lalu diaduk hingga larut. Sesuai
dengan teori Hayati (2003), proses penambahan gula dilakukan untuk memperoleh
karakteristik nata de coco yang diinginkan dari segi penampakan, tekstur, dan flavor.
Selain itu, gula yang ditambahkan juga bertujuan untuk meningkatkan nilai nutrisi Nata
de coco dan juga sebagai pengawet.
6
Jika yang dijelaskan oleh Hayati (2003) tersebut lebih kepada fungsi gula dalam produk
akhir nata de coco yang dihasilkan, berbeda dengan Awang (1991) yang menjelaskan
fungsi utama gula dalam proses fermentasi. Fungsi utama gula selama proses fermentasi
adalah sebagai sumber karbon yang digunakan untuk menunjang pertumbuhan bakteri.
Dalam praktikum ini, gula yang digunakan adalah gula pasir, dimana hal ini sesuai
dengan teori Pambayun (2002) bahwa monosakarida, disakarida, dan sukrosa (gula
pasir) merupakan sumber karbon yang sering digunakan dalam proses fermentasi.
Jumlah gula yang ditambahkan dalam praktikum ini adalah sebanyak 10%. Sesuai
dengan teori Sunarso (1982), dalam proses pembuatan nata de coco, konsentrasi
optimum gula sebesar 10% akan dapat diperoleh serat-serat selulosa yang tebal, liat,
dan kokoh. Apabila konsentrasi gula yang digunakan terlalu banyak, bakteri
Acetobacter xylinum tidak mampu memanfaatkan gula tersebut secara optimal.
Akibatnya, akan ada banyak gula yang tidak dimanfaatkan oleh bakteri dan hasil akhir
nata de coco yang dihasilkan menjadi terlalu manis.
Setelah proses penambahan gula, tahap selanjutnya adalah penambahan ammonium
sulfat sebanyak 0,5% (7,5 gram untuk 5 kelompok). Menurut Awang (1991), syarat
medium yang akan digunakan dalam proses fermentasi minimal harus mengandung
unsur karbon dan nitrogen. Jika unsur karbon sudah didapatkan melalui penambahan
gula, maka sesuai dengan teori Awang (1991), sumber nitrogen diperoleh dari
penambahan ammonium sulfat. Pambayun (2002) menambahkan, selain karbon,
nitrogen juga digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri Acetobacter
xylinum. Selain dari ammonium sulfat, sumber nitrogen yang lain dapat diperoleh dari
ammonium fosfat (ZA) dan urea. Pada praktikum ini, penggunaan ammonium sulfat
tergolong ke dalam sumber nitrogen yang bersifat anorganik.
Proses selanjutnya setelah penambahan dengan ammonium sulfat adalah proses
pemanasan selama ± 10 menit untuk menghomogenkan media, kemudian dilakukan
penambahan asam asetat glasial (asam cuka glasial) di dalam lemari asam sampai
tercapai kondisi media dengan pH 4 – 5. Anastasia et al., (2008) mengatakan bahwa
acidulan perlu ditambahkan ke dalam media pertumbuhan Acetobacter xylinum agar
tercipta kondisi pH medium yang sesuai dengan pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan
7
teori Pambayun (2002), bakteri Acetobacter xylinum tumuh dalam suasana asam sekitar
pH 4.3 dan tidak dapat tumbuh pada suasana basa/alkali. Atlas (1984) juga
menambahkan, pada kondisi pH 4.5, selulosa akan terbentuk melalui senyawa 2,5,-asam
ketoglukonat. Dalam pengukuran pH menggunakan pH-meter sesuai dengan yang
dilakukan pada praktikum ini harus diperhatikan agar pengukuran pH tidak terlalu
tinggi dan tidak terlalu rendah. Atlas (1984) mengatakan, pengukuran pH yang terlalu
rendah akan mengakibatkan Acetobacter xylinum menggunakan energi secara
berlebihan untuk mengatasi stress akibat perbedaan pH yang terlalu besar dengan
kondisi sebenarnya ia tumbuh. Lama-kelamaan, aktivitas Acetobacter xylinum akan
terhenti karena energi yang tersedia telah habis.
Setelah pengkondisian pH pada media, selanjutnya dilakukan pemanasan kembali media
hingga semua campuran larut. Setelah itu, media kembali disaring dengan menggunakan
kain saring. Sesuai dengan teori Pato & Dwiloted (1994), proses pemasakan kembali
dilakukan untuk mensterilkan media pertumbuhan Acetobacter xylinum. Hal ini karena
selama proses penambahan gula, ammonium sulfat, dan asam asetat glasial tidak dapat
dilakukan secara aseptis, sehingga diperlukan pemanasan lagi untuk membunuh
mikroorganisme yang nantinya tidak diinginkan tumbuh dan mengganggu aktivitas
Acetobacter xylinum dalam membentuk nata (selulosa). Proses penyaringan kembali
juga dilakukan untuk tujuan yang sama yaitu memurnikan media agar tidak
mengandung kontaminan bersifat fisik seperti kotoran, pasir, dan padatan-padatan lain.
2.2. Proses Fermentasi
Proses fermentasi diawali dengan mempersiapkan 5 wadah plastik bersih (untuk 5
kelompok) sebagai tempat fermentasi. Masing-masing wadah diisi dengan 250 media
yang telah disiapkan sebelumnya pada proses pembuatan media. Kemudian, biang nata
(starter) Acetobacter xylinum ditambahkan ke dalam media sebanyak 10% dari jumlah
media (25 ml). Penuangan biang nata (starter) ke dalam media ini harus dilakukan
secara aseptis, setelah itu, media yang telah dituang biang nata digojog secara perlahan
agar seluruh starter tercampur secara homogen di dalam media. Selanjutnya, wadah
ditutup dengan kertas coklat untuk proses inkubasi. Proses penuangan starter ini sudah
sesuai dengan teori Rahayu et al., (1993) yang mengatakan bahwa jumlah inokulum
8
yang ditambahkan pada pembuatan nata berkisar antara 5-10%. Proses penuangan biang
nata (starter Acetobacter xylinum) ke dalam media dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Proses penuangan biang nata (starter Acetobacter xylinum) ke dalam media(Sumber: Dokumentasi pribadi)
Inkubasi dilakukan selama 14 hari pada suhu ruang. Selama proses inkubasi, media
yang akan ditumbuhi lapisan nata harus dijaga agar tidak terkena goncangan dan
terhindar dari paparan cahaya matahari. Pengamatan dilakukan pada hari ke-0, hari ke-
7, dan hari ke-14 mengenai terbentuknya lapisan pada permukaan media cair. Ketebalan
lapisan yang terbentuk diukur dengan menggunakan penggaris dan kemudian dihitung
proseantasenya. Dari prosentase tersebut dapat diketahui besarnya kenaikan lapisan nata
dari hari ke hari.
Proses inkubasi dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan pada bakteri
Acetobacter xylinum untuk beradaptasi, beraktivitas, dan memproduksi selulosa (nata)
pada media air kelapa yang mengandung gula (Rahayu et al., 1993). Kondisi waktu dan
suhu inkubasi (fermentasi) yang dibutuhkan untuk sampai terbentuk lapisan nata de
coco ini sesuai dengan teori Rahayu et al., (1993), bahwa untuk memperoleh lapisan
nata dengan ketebalan yang optimum, lama fermentasi yang dibutuhkan sekitar 10-14
hari pada suhu 28-32°C. Maka sesuai apabila pada praktikum ini, suhu ruang yang
digunakan untuk inkubasi nata adalah 30°C. Pada penelitiannya, Czaja et al., (2004)
menambahkan, pada hari ke-16 sudah tidak tampak adanya peningkatan ketebalan
lapisan nata. Hal ini menandakan bahwa sudah tidak ada lagi pertumbuhan nata oleh
bakteri Acetobacter xylinum, yang dapat membuktikan bahwa waktu inkubasi mencapai
optimal pada 14 hari.
9
Selama proses inkubasi, wadah ditutup dengan kertas coklat. Kertas coklat ini
merupakan kertas yang sangat tipis dan memiliki pori-pori yang besar. Menurut
Pambayun (2002), penutupan dengan kertas coklat ini bertujuan untuk melindungi nata
dari kontaminasi luar atau lingkungan sekitar. Namun, penutupan dengan kertas coklat
ini masih memungkinkan adanya udara (oksigen) untuk masuk ke dalam wadah
fermentasi. Hal ini juga sesuai dengan teori Budiyanto (2002) yang mengatakan bahwa
bakteri Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang bersifat obligat anaerob. Kouda et
al (1997) manambahkan, ketersediaan oksigen berpengaruh terhadap produksi selulosa
sebagai hasil metabolit sekunder dari Acetobacter xylinum.
Selama proses inkubasi, penempatan media juga dijaga agar jangan sampai terkena
goncangan. Seperti yang dikatakan oleh Budiyanto (2002), gerakan atau goncangan
selama proses fermentasi nata de coco akan menenggelamkan lapisan nata yang telah
terbentuk dan menyebabkan terbentuknya lapian nata yang baru yang strukturnya
terpisah dari nata yang sudah terbentuk sebelumnya (pecah). Akibatnya, ketebalan nata
de coco yang diproduksi tidak seragam antara sisi satu dengan sisi yang lain. Budiyanto
(2002) juga mengatakan bahwa penempatan inkubasi juga harus diperhatikan dimana
tempat fermentasi harus terhindar dari paparan cahaya matahari secara langsung dan
jauh dari sumber panas. Paparan panas akan menyebabkan pertumbuhan Acetobacter
xylinum terhambat oleh karena suhu yang tidak sesuai dengan kondisi pertumbuhannya.
Wadah fermentasi yang ditutup dengan kertas coklat dan kondisi inkubasi yang
terhindar dari paparan cahaya matahari dapat dilihat pada Gambar 4.
(a) (b)
Gambar 4. (a) Wadah fermentasi yang ditutup dengan kertas coklat; dan (b)Kondisi inkubasi yang terhindar dari paparan cahaya matahari
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
10
Pada praktikum ini, pembentukan nata berada pada permukaan atas media cair. Sesuai
dengan teori Palungkun (1996), bakteri Acetobacter xylinum menghasilkan CO2 selama
proses fermentasi. Pada media, timbulnya CO2 dapat terlihat melalui adanya gelembung-
gelembung. Gelembung-gelembung CO2 tersebut memiliki kecenderungan untuk
melekat pada jaringan selulosa yang juga dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum.
Peristiwa ini menyebabkan jaringan selulosa terangkat ke permukaan media cair karena
terisi oleh CO2. Pembentukan nata di atas permukaan media cair dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5. Pembentukan nata di atas permukaan media cair(Sumber: Dokumentasi pribadi)
Nata yang sudah terbentuk selama 14 hari kemudian diambil dari wadahnya dan dicuci
pada air mengalir. Setelah itu, nata de coco dipotong-potong dan dan dimasak dengan
menggunakan air gula sampai mendidih. Proses pencucian, pemotongan, dan
pemasakan nata de coco dapat dilihat pada Gambar 5.
(a) (b)
(c)
Gambar 5. (a) Pencucian nata de coco pada air mengalir; (b) Pemotongan nata de coco; dan (c) Pemasakan nata de coco dalam larutan gula
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
11
Perlakuan proses pemasakan dengan menggunakan air gula pada setiap kelompok
berbeda-beda. Pada kelompok C1, penambahan gula dilakukan sebanyak 100 gram.
Pada kelompok C2 penambahan gula dilakukan sebanyak 125 gram. Kelompok C3
ditambahkan gula sebanyak 150 gram. Kelompok C4 ditambahkan gula sebanyak 175
gram. Sedangkan kelompok C5 ditambahkan gula sebanyak 200 gram. Dari hasil
pemasakan yang diperoleh, kemudian nata de coco dipisahkan dengan larutan air gula
dan dilakukan pengamatan sensori meliputi meliputi aroma, warna, tekstur, dan rasa.
Dari hasil pengamatan yang diperoleh (dapat dilihat pada Tabel 1), pada hari ke-0
belum terbentuk lapisan nata karena memang proses inkubasi baru dimulai. Pada hari
ke-7 mulai terbentuk lapisan nata pada semua kelompok. Prosentase lapisan nata
tertinggi terdapat pada kelompok C3 sebesar 70%, kemdian diikuti oleh kelompok C1
sebesar 50%, lalu kelompok C5 sebesar 46,88%, kemudian kelompok C2 sebesar
38,89%, dan prosentase terkecil terdapat pada kelompok C4 sebesar 25%. Perbedaan
prosentase tiap kelompok ini dikarenakan wadah fermentasi yang digunakan tidak
memiliki volume yang sama sehingga tinggi nata yang terbentuk mengikuti panjang dan
lebar wadah. Pada hari ke-7, semua nata mulai terbentuk, dimana hal ini sesuai dengan
teori Rahman (1992) yang mengatakan bahwa pembentukan lapisan nata menunjukkan
adanya aktivitas dari Acetobacter xylinum pada media air kelapa.
Pada hari ke-14, lapisan nata yang terbantuk semakin tebal. Prosentase ketebalan nata
yang paling besar ditunjukkan oleh kelompok C5 sebesar 125%, lalu diikuti oleh
kelompok C4 sebesar 90%, lalu kelompok C2 sebesar 61,11%, kelompok C1 sebesar
60%, dan prosentase terkecil terdapat pada kelompok C3 sebesar 50%. Jika
dibandingkan dari hari ke-7 sampai hari ke-14, kenaikan ketebalan nata pada kelompok
C1 sebesar 10%, kelompok C2 sebesar 22,22%, kelompok C4 sebesar 65%, dan
kelompok C5 sebesar 78,12%. Prosentase kenaikan nata terbesar terjadi pada nata yang
dihasilkan oleh kelompok C5 dan terkecil pada kelompok C1. Sesuai dengan teori
Rahman (1992), aktivitas Acetobacter xylinum ditunjukkan dengan terbentuknya lapisan
yang berwarna putih yang lama kelamaan akan semakin menebal dan memadat.
Ketebalan nata yang mengalami peningkatan dari hari ke-0 hingga hari ke-14 pada
praktikum ini sudah membuktikan bahwa Acetobacter xylinum selama proses fermentasi
12
terus bekerja memecah gula yang ada dalam media cair. Polisakarida yaitu selulosa
akan membentuk benang-benang serat yang terus menebal dengan jaringan yang kokoh
atau kuat sehingga disebut sebagai pelikel nata (Anastasia et al., 2008). Sedangkan
perbedaan ketebalan nata antar kelompok, seperti pada kelompok C5 yang
menghasilkan nata paling tebal adalah karena aktivitas Acetobacter xylinum yang lebih
tinggi daripada starter yang diberikan di kelompok lain.
Ketidaksesuaian dengan teori Rahman (1992) dan Anastasia et al., (2008) di atas terjadi
pada kelompok C3 yang justru mengalami penurunan ketebalan dari hari ke-7 sampai
hari ke-14 sebesar 20%. Pada praktikum ini, beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
ketidakberhasilan nata yang dihasilkan, adalah sebagai berikut:
a. Kebersihan alat
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan nata de coco harus dalam keadaan steril
agar tidak menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum (Budiyanto,
2002). Dalam praktikum ini, alat-alat yang tidak steril seperti wadah fermentasi
yang kurang bersih dan kertas coklat sebagai penutup yang kurang bersih
memungkinkan ketidakberhasilan nata yang dibuat oleh kelompok C3.
b. pH Fermentasi
Kondisi keasaman media yang kurang sesuai juga dapat berpengaruh terhadap nata
yang dihasilkan (Anastasia et al., 2008). Mungkin pada saat penentuan pH dengan
asam asetat glasial tidak ditentukan secara tepat sehingga mempengaruhi nata akhir
yang dihasilkan karena pH optimum untuk pertumbuhan nata adalah 4.3 – 4.5
(Pambayun, 2002 dan Atlas, 1984).
c. Kondisi Aseptis
Kondisi aseptis perlu diterapkan dalam pembuatan nata de coco karena
penggunakan sukrosa (gula pasir) dalam jumlah besar akan sangat memungkinkan
terjadinya kontaminasi oleh yeast (Jagannath et al., 2008). Pada praktikum ini,
ketidakaseptisan saat proses inokulasi starter / biang nata menyebabkan nata de
coco yang dihasilkan tidak mengalami peningkatan ketebalan dan malah mengalami
kontaminasi oleh mikroorganisme lain.
13
Dari segi karakteristik aroma, nata de coco yang dihasilkan oleh semua kelompok
adalah tidak asam, kecuali pada kelompok C1 menghasilkan aroma nata de coco yang
agak asam. Menurut Halib et al., (2012), aroma asam yang ditimbulkan adalah berasal
dari produksi asam dari gula oleh bakteri Acetobacter xylinum. Selain itu, asam asetat
glasial yang ditambahkan pada saat pembuatan media juga mempengaruhi rasa asam
pada nata de coco.
Dari segi karakteristik warna, nata de coco yang dihasilkan oleh kelompok C1 hingga
C5 adalah putih agak bening. Sesuai dengan teori Rahman (1992), nata yang baik
memiliki warna yang putih namun agak keruh. Warna putih disebabkan karena
terjadinya degradasi atau perombakan substrat oleh Acetobacter xylinum, sedangkan
kekeruhan disebabkan oleh reaksi antara gula dan nitrogen yang terlarut di dalam
cairan.
Dari segi karakteristik tekstur, nata de coco yang dihasilkan oleh kelompok C1 dan C2
adalah agak kenyal, sedangkan pada kelompok C3, C4, dan C5 memiliki tekstur yang
kenyal. Menurut Anastasia et al. (2008), kekenyalan nata ditentukan oleh ketebalan
nata yang dihasilkan. Semakin tinggi ketebalan serat (selulosa) yang dihasilkan maka
semakin banyak air yang mengisi rongga-rongga antar selulosa, sehingga kekenyalan
nata semakin tidak kenyal. Apabila dibandingkan dengan ketebalan nata yang
terbentuk, seharusnya nata yang memiliki kekenyalan paling tinggi (paling kenyal)
adalah nata kelompok C1 karena memiliki ketebalan nata yang paling rendah.
Sedangkan nata yang memiliki kekenyalan paling rendah seharusnya adalah kelompok
C5 karena memiliki ketebalan yang paling tinggi. Ketidaksesuaian dengan teori
Anastasia et al. (2008) mungkin disebabkan karena persepsi sensori seseorang yang
tidak spesifik, sehingga hasil tekstur yang dianalisa tidak seakurat jika menggunakan
alat pengukur tekstur, misalnya Texture Analyzer.
Dari segi karakteristik rasa, nata de coco yang dihasilkan oleh kelompok C1, C2, dan
C3 memiliki rasa manis, sedangkan yang dihasilkan oleh kelompok C4 dan C5 berasa
sangat manis. Hal ini dikarenakan jumlah penambahan gula yang berbeda-beda tiap
kelompok. Penambahan gula dalam jumlah paling besar terdapat pada kelompok C4 dan
14
C5 sehingga rasa nata de coco yang dihasilkan terlalu manis. Penyataan ini didukung
oleh Palungkun (1996) yang mengatakan bahwa semakin tinggi kandungan gula yang
ditambahkan saat pemasakan nata de coco, maka rasa manis akan semakin menonjol.
Maka, dalam praktikum ini penambahan gula yang tepat adalah 100 -150 gram karena
rasa nata de coco yang dihasilkan tidak terlalu manis dan tidak kurang manis.
Pada Jurnal: “Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making
of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco” (Santosa et al., 2012), dijelaskan
mengenai pembuatan minuman instan dari nata de coco. Penelitian dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui konsentrasi dekstrin dan CMC yang tepat agar produk
minuman yang dihasilkan dapat memiliki penampakan, warna, flavor, kelarutan, kadar
air, dan kandungan serat kasar yang baik. Konsentrasi dekstrin dianalisa pada 3 level
konsentrasi yaitu 10%, 12,5% , dan 15%. Sedangkan konsnetrasi CMC yang dianalisa
terdiri dari 5 level konsentrasi yaitu 0,5%; 1%; 1,5%; 2%; dan 2,5%. Dari hasil yang
diperoleh, ternyata pada konsentrasi dekstin 15% dan konsentrasi CMC 2,5% dapat
menghasilkan minuman instan nata de coco yang memiliki tingkat kelarutan tertinggi,
kandungan serat kasar (crude dietary fiber) yang tertinggi, warna yang paling menarik,
aroma yang menyenangkan, dan penampilan serbuk instan yang homogen.
Pada Jurnal: “The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the
production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum”
(Jagannath et al., 2008), diteliti mengenai pengaruh konsentrasi pH,
sukrosa, dan ammonium sulfat terhadap produksi nata de coco oleh
bakteri Acetobacter xylinum. Sesuai dengan yang dilakukan pada
praktikum, untuk mendapatkan ketebalan lapisan nata yang
optimum, media fermentasi dikondisikan pada pH 4.0 dengan
penambahan sukrosa 10%, serta penambahan ammonium sulfat
sebesar 0,5%. Pada kondisi tersebut, kualitas nata de coco yang
dihasilkan adalah memiliki permukaan yang lembut dan tekstur yang
kenyal serta lembut.
15
Pada Jurnal: “Different Media Formulation on Biocellulose Production by Acetobacter
xylinum (0416)” (Kamarudin et al., 2013), dijelaskan mengenai pembuatan media
dengan formulasi yang berbeda dalam rangka menghasilkan selulosa yang diproduksi
oleh Acetobacter xylinum. Media yang diuji terdiri dari 3 jenis, dimana ketiganya
menggunakan bahan baku yang sama yaitu dari air kelapa sebagai sumber karbon
namun formulasi yang dibuat berbeda-beda. Media tersebut adalah CWHSM (Coconut
water in Hestrin-Schramm medium), CM (Complex medium), dan HSM (Hestrin-
Schramm medium), dengan masing-masing komposisinya sebagai berikut.
Fermentasi dilakukan selama 12 hari dengan kondisi yang sama seperti yang dilakukan
pada praktikum ini. Pengamatan dilakukan dengan membandingkan berat kering,
kemampuan penangkapan sel (cell entrapped), pH media, dan tingkat produktivitas nata
yang dihasilkan. Dari hasil fermentasi, diperoleh bahwa media CWHSM paling cocok
untuk memproduksi nata de coco karena menghasilkan produktivitas tinggi yaitu
sampai dengan 0.044 gram per liter per hari.
Pada Jurnal: “Kajian Bahan Pembawa untuk Meningkatkan Kualitas Inokulum Pasta
Nata de Coco” (Melliawati, 2008), dijelaskan mengenai pengaruh jenis bahan pembawa
terhadap kualitas Acetobacter xylinum yang dihasilkan. Dimana Acetobacter xylinum
ini nantinya dibuat untuk inokulasi dalam bentuk pasta (bubur) ke dalam nata de coco.
Bahan pembawa yang digunakan adalah CMC, agar, pati sagu, dan selulosa yang
diinokulasikan dengan Acetobacter sp.RMG-2. Hasil menunjukkan bahwa semua bahan
tersebut dapat digunakan sebagai agen pembawa dalam inokulum Acetobacter xylium
16
berbentuk pasta. Tetapi, bahan pembawa yang memiliki kualitas tekstur paling baik
adalah pada bahan pembawa kombinasi antara CMC dan selulosa yang diinokulasikan
dengan Acetobacter sp.RMG-2. Hal ini karena kedua materi pembawa tersebut dapat
mempertahankan konsistensi jumlah inokulum Acetobacter xylium selama penyimpanan
12 minggu pada suhu 4°C tanpa kehilangan kemampuannya untuk memproduksi
selulosa.
Pada Jurnal: “Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from
Local Food Industries as a Source of Cellulose” (Halib et al., 2012), diteliti mengenai
sifat fisikokimia dan karakteristik selulosa yang diekstrak dari nata de coco. Pengujian
dilakukan dengan metode FTIR untuk melihat pengaruh selulosa terhadap panas dan
sifat kelarutan. Diperoleh hasil bahwa, kelarutan selulosa dari nata de coco yang
tertinggi diperoleh pada selulosa yang dilarutkan ke dalam pelarut
cupriethylenediamine. Dengan melarutkan selulosa pada pelarut tersebut, secara tidak
langsung menunjukkan kemurnian selulosa yang dihasilkan.
Pada Jurnal: “Dinamika Populasi Acetobacter selama Proses Fermentasi Nata de Coco”
(Seumahu et al., 2005), diamati mengenai dinamika populasi bakteri yang terlibat dalam
pembuatan nata de coco. Pengukuran dinamika populasi bakteri dilakukan dengan
isolasi DNA, amplifikasi, dan kloning Gen 16S rRNA. Metode yang digunakan adalah
metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Pengujian dilakukan terhadap 2 jenis nata
yaitu nata yang berkualitas baik dan nata yang berkualitas buruk. Pada intinya, dengan
pengujian untuk mengetahui dinamika populasi Acetobacter dalam nata, baik pada
media yang baik maupun pada media yang buruk sama-sama mengandung bakteri yang
merugikan, dimana bakteri yang merugikan tersebut akan mengganggu aktivitas
Acetobacter. Sama dengan yang dilakukan pada praktikum, fermentasi yang pada
awalnya menggunakan kultur murni Acetobacter xylinum, tetapi pada prosesnya, media
tetap bercampur dengan mikroorganisme lain. Akhirnya media tersebut malah menjadi
media dengan kultur campuran. Mixed culture dalam jumlah kecil tidak akan
berpengaruh nyata pada kegagalan pembentukan nata, tetapi jika jumlah mixed culture
terlalu besar akan menyebabkan kontaminasi dan nata tidak terbentuk.
17
Selain dapat dihasilkan dari air kelapa, nata juga dapat dihasilkan dari air jagung yang
produknya disebut dengan nata de corn. Pada Jurnal: “Pengaruh Penambahan Gula,
Asam Asetat, dan Waktu Fermentasi terhadap Kualitas Nata de Corn” (Rizal et al.,
2013), ternyata dibuktikan bahwa jumlah penambahan gula, asam asetat, dan waktu
fermentasi yang dilakukan tidak sama dengan pembuatan nata de coco. Pada media air
jagung yang digunakan untuk menghasilkan nata de corn, kondisi optimum
pertumbuhan Acetobacter xylinum adalah pada pH 5 – 5.5, dengan penambahan gula
sebanyak 4,5%, dan waktu fermentasi selama 14 hari. Dibandingkan dengan kondisi
pertumbuhan Acetobacter xylinum pada air kelapa, pH optimum untuk pertumbuhannya
hampir sama yaitu pada rentang pH 5, namun pad aair jagung kondisinya sedikit lebih
basa. Sedangkan penambahan gula lebih banyak pada pembuatan nata de coco karena
membutuhkan 10% sedangkan nata de corn hanya membutuhkan 4,5%. Tetapi, waktu
yang diperlukan adalah sama yaitu 14 hari.
3. KESIMPULAN
Nata de coco adalah produk fermentasi yang terdiri dari komponen selulosa yang
dihasilkan dari air kelapa dengan melibatkan mikroba Acetobacter xylinum.
Air kelapa mengandung 0,14% protein, 1,5% lemak, 4,6% karbohidrat, 1,06% abu,
dan 98% air.
Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang bersifat obligat anaerob.
Selulosa berbentuk serat-serat tipis seperti benang-benang halus yang disebut nata.
Tahap pembuatan nata de coco terdiri dari pembuatan media dan proses fermentasi.
Kemampuan Acetobacter xylinum dalam menghasilkan selulosa tergantung dari
metode fermentasi, sumber karbon, sumber nitrogen, pH, dan temperatur.
Kondisi optimum media air kelapa adalah pada konsentrasi gula 10%, ammonium
sulfat 0,5%, dan pH 4.5.
Jumlah inokulum yang ditambahkan pada pembuatan nata berkisar antara 5-10%.
Inkubasi dilakukan selama 14 hari pada suhu 28-32°C, tanpa goncangan, dan
terhindar dari paparan cahaya matahari.
Pada hari ke-7, nata mulai terbentuk di permukaan media cair.
Aktivitas Acetobacter xylinum ditunjukkan dengan terbentuknya lapisan yang
berwarna putih yang lama kelamaan akan semakin menebal dan memadat.
Proses pembuatan nata de coco memerlukan perlakuan aseptis.
Aroma asam berasal dari produksi asam oleh bakteri Acetobacter xylinum.
Nata de coco memiliki warna yang putih agak keruh.
Semakin tinggi ketebalan serat (selulosa), maka nata semakin tidak kenyal.
Untuk menghasilkan rasa yang manis, penambahan gula yang tepat pada praktikum
ini adalah 100 -150 gram.
Semarang, 20 Juni 2014 Asisten Dosen:Praktikan: - Chrysentia Archinitta L.M
- Stella Mariss H.- Meilisa Lelyana D.- Katharina Nerissa A.A.
Cynthia Christinne S - Andriani Cintya S(11.70.0047)
18
4. DAFTAR PUSTAKA
Anastasia; Nadia; dan Afrianto Eddy. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.
Astawan, M. dan M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Awang, S. A. (1991). Kelapa: Kajian Sosial–Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta.
Budiyanto, M.A.K., (2002), Dasar-dasar Ilmu Gizi, Malang: UMM Press.
Czaja W.; Dwight R; and R. Malcolm Brown, Jr. (2004). Structural Investigations of Microbial Cellulose Produced in Stationary and Agitated Culture. Cellulose 11: 403 411.
Halib, N; M.C.I.M. Amin; dan I. Achmad. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Journal of Sains Malaysia 41 (2) (2012): 205 – 211.
Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.
Jagannath, A.; A. Kalaiselvan; dan S.S. Manjunatha. (2008). The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World Journal Microbiology Biotechnology (2008) 24: 2593 – 2599.
Kamarudin, S; M. Sahaid. K.; M. Sobri, T.;W. Mochtar, W.Y.; D. Radiah, A.B.; dan H. Norhasliza. (2013). Different Media Formulation on Biocellulose Production by Acetobacter xylinum (0416). Journal of Science and Technology. 21 (1): 29 – 36.
Kouda T, Naritomi T, Yano H, dan Yoshinaga F. (1997). Effects of oxygen and carbon dioxide pressures on bacterial cellulose production by Acetobacter in aerated and agitated culture. Journal of Fermentation and Bioengineering. 84: 124-127.
Melliawati, R. (2008). Kajian Bahan Pembawa untuk Meningkatkan Kualitas Inokulum Pasta Nata de Coco. Jurnal Biodiversitas Volume 9, Nomor 4, halaman 255 – 258.
19
20
Onifade. A.K. Jeff-Agboola, Y.A. 2003. Effect of Fungal Infectionon Proximate nutrient Composition of Coconut (Cocos Nucifera Linn) fruit. Food, Agriculture & Environment. Volume 1(2).
Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.
Pato, U. dan Dwiloted, B. (1994). Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 – 77.
Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti dan M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.
Rizal, H.M.; D.M. Pandiangan; dan A. Saleh. (2013). Pengaruh Penambahan Gula, Asam Asetat, dan Waktu Fermentasi terhadap Kualitas Nata de Corn. Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 19. Halaman 34 – 39.
Santosa, B; Kgs. Ahmadi; dan D. Taeque. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1, No. 1, pp. 6 – 11.
Seumahu, C.A.; A. Suwanto; dan M.T. Suhartono. (2005). Dinamika Populasi Acetobacter selama Proses Fermentasi Nata de Coco. Jurnal Mikrobiologi Indonesia, Vol. 10, No. 2, pp. 75 – 78.
Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.
Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.
Volk, W.A. & M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.
Widayati, Eny; Sutarno; dan Setyaningsih, Ratna. (2002). Seleksi Isolat Bakteri untuk Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa Varietas Rubescent (Cocos nucifera L. var. rubescent). Biosmart Volume 4 Nomor 2 Halaman 32-35.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus :
Persentase Lapisan Nata =
Tinggi Ketebalan NataTinggi Media Awal
x 100%
Kelompok C1
H0 Persentase Lapisan Nata =
03
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = 3x 100%
= %
H14 Persentase Lapisan Nata = 3x 100%
= %
Kelompok C2
H0 Persentase Lapisan Nata =
01
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
0,71,8
x 100% = 38,89 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
1,11,8
x 100%
= 61,11 %
Kelompok C3
H0 Persentase Lapisan Nata =
01
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
0,71
x 100% = 70 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
0,51
x 100%
= 50 %
Kelompok C4
H0 Persentase Lapisan Nata =
02
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
0,52
x 100% = 25 %
21
22
H14 Persentase Lapisan Nata =
1,82
x 100%
= 90 %
Kelompok C5
H0 Persentase Lapisan Nata =
01,6
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
0,751,6
x 100% = 44,88%
H14 Persentase Lapisan Nata =
21,6
x 100%
= 125%
5.2. Jurnal (Abstrak)
5.3. Laporan Sementara
top related