bab ii revisi -...
Post on 17-Mar-2019
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
15
BAB II
BENTUK-BENTUK PENGUNGKAPAN EPISTEMOLOGI
MENURUT AL-QUR’AN
A. Makna Epistemologi dan Pengungkapannya Dalam Al-Qur’an
a) Makna Epistemologi
Pengertian epistemologi secara etimologi berasal dari kata
episteme dan logos. Kata episteme memiliki makna pengetahuan sedang
logos berarti ilmu atau teori. Jadi epistemologi adalah teori ilmu
pengetahuan. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang berbicara
secara khusus mengenai sifat keaslian, struktur, metode dan validitas ilmu
pengetahuan. Makna lain epistemologi ialah suatu ilmu yang secara
khusus membahas dan mempersoalkan apa itu pengetahuan, dari mana
pengetahuan itu diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya.1
Sementara itu The Liang Gie mendefinisikan, epistemologi adalah
cabang filsafat yang terkait dengan masalah dasar ilmu pengetahuan, yakni
dari mana pengetahuan itu diperoleh, dan bagaimana cara memperolehnya
serta bagaimana tingkat validitasnya.2
Diterangkan pula bahwa epistemologi bersangkutan dengan
masalah yang meliputi, filsafat yang berusaha mencari hakekat dan
kebenaran pengetahuan, metode yang berusaha mengantarkan manusia
untuk memperoleh pengetahuan, sistem yang bertujuan memperoleh
realitas kebenaran pengetahuan.
Pendapat lain menyebutkan bahwa epistemologi sama dengan
filsafat pengetahuan, yaitu suatu kajian yang membahas tentang
bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dan metode-metode apa saja
yang digunakan.
Selain epistemologi ada dua bentuk asas lain yang ada dalam suatu
ilmu, yaitu: ontologi dan aksiologi. Ontologi ialah suatu obyek yang
1Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 25.
2 Ibid.
16
menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu
ilmu pengetahuan yang secara khusus membahas tentang nilai, manfaat,
kegunaan serta fungsi ilmu itu sendiri. Dalam hal ini secara sederhana
dapat dipahami bahwa sesuatu yang perlu dipikirkan disebut (ontologi),
yakni ada objek yang jelas, kemudian bagaimana proses kerjanya yang
disebut epistemologi, dan baru kemudian bagaimana manfaat atau
kegunaannya yang disebut aksiologi. Dengan demikian pengetahuan yang
benar yaitu harus memiliki unsur ontologis, epistemologis dan aksiologis.3
P. Hardono Hadi mendefinisikan epistemologi sebagaimana yang
dikutip oleh Mujamil Qomar, epistemologi adalah bagian filsafat yang
mempelajari dan menentukan kodrat dan arah pengetahuan. Jadi
epistemologi adalah cabang filsafat yang berurusan mengenai hakikat dan
ruang lingkup pengetahuan.4
Pengertian-pengertian di atas pada dasarnya hampir sama adapun
yang membedakannya adalah pada kodrat dan hakikat pengetahuan.
Kodrat pengetahuan itu berkaitan dengan keaslian sifat pengetahuan,
sedangkan hakikat pengetahuan itu berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan
sehingga menghasilkan suatu pengertian yang benar.
Masalah epistemologi para ahli filsafat mempunyai pandangan
berbeda walaupun pada dasarnya memiliki kesamaan tujuan. Adapun
pandangan para ahli tersebut bisa dicermati sebagaimana berikut:
1. Dagobert D. Runes; menyatakan epistemologi adalah cabang filsafat
yang membahas sumber, struktur, metode-metode, dan validitas
pengetahuan.
2. Azyumardi Azra; mendefinisikan bahwa epistemologi adalah sebagai
ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode
dan validitas ilmu pengetahuan.
3 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1990), hlm. 105. 4 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, t. th),
hlm. 3
17
3. Mudlor Achmad; epistemologi ialah bagian filsafat yang
mempertanyakan, hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran
pengetahuan.
4. M. Arifin; epistemologi yaitu cabang filsafat yang mempertanyakan
asal pengetahuan yang meliput hakikat, sumber, dan validitas
pengetahuan.
5. A.M. Saefuddin menyebutkan epistemologi mencakup pertanyaan
yang harus dijawab; apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa
sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat
dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang
benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai di manakah
batasannya, yang dapat diringkan menjadi dua masalah pokok, yaitu
masalah sumber ilmu dan masalah kebenaran ilmu.5
Dari berbagai pengertian di atas dapatlah digarisbawahi bahwa
epistemologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan bagaimana
memperoleh pengetahuan, dengan apa pengetahuan itu di peroleh dan
bagaimana hakekatnya yang dikajinya dengan menggunakan metode
ilmiah, yaitu cara untuk menyusun pengetahuan yang benar. Metode
ilmiah merupakan prosedur untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang
benar, sehingga secara akademik hasilnya dapat dipertanggung jawabkan.
Jadi pengetahuan yang benar itu harus diperoleh melalui metode yang
benar.
Diketahui pula bahwa tidak semua ilmu itu disebut ilmiah, karena
ada ilmu yang diyakini kebenarannya namun secara akademik tidak
dianggap benar dan ilmiah karena secara akademik tidak mampu
menunjukkan secara ilmiah, contoh ilmu magic. Sedangkan ilmu yang
dianggap ilmiah ialah Ilmu yang mampu menjelaskan keberadaannya
secara ilmiah, yakni memiliki metodologi yang jelas, sehingga secara
akademik dia mampu membuktikan kebenaran secara benar dan ilmiah.
5Ibid.,I hlm. 4.
18
Dengan demikian metode ilmiah dalam ilmu pengetahuan merupakan
syarat mutlak yang harus dipenuhinya.6
Dari kerangka pemikiran di atas dapat dipahami, epistemologi
adalah salah satu sub sistem dari sistem filsafat (ontologi, epistemologi,
dan aksiologi), sehingga epistemologi itu sendiri tidak bisa memisahkan
diri dari filsafat. Dalam konteks ini epistemologi ialah segala bentuk
pekerjaan dan pemikiran manusia yang selalu mempertanyakan dari mana
ilmu pengetahuan itu diperoleh.7
Aktivitas-aktivitas dalam filsafat pengetahuan dapat ditempuh
melalui kontemplasi atau perenungan-perenungan secara filosofis dan
analitik. Kontemplasi atau perenungan ini dalam bahasa Arab disebut
dengan istilah tafakkar, tadabbar, tadakkar, dan sebagainya. Masalah ini
dalam Al-Qur’an disebutkan kurang lebih 130 ayat yang menyuruh
manusia menggunakan akalnya untuk merenung dan berfikir. Sebagai
contoh, Allah berfirman: Yang artinya: “Dan apakah mereka tidak
memperhatikan kejadian langit dan bumi dan segala sesuatu yang
diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka?
Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al-
Qur’an”. (QS. al-A’raf: 185).8 Merenung dan berfikir yang telah diyakini
sebagai cirikhas cara kerja berfikir filosofis, karena tidak akan ada filsafat
tanpa melalui perenungan-peenungan (kontemplasi) itu. Filsafat selalu
mengandalkan kontemplasi (berfikir mendalam), baik ketika menelaah
wilayah kerja (kajian) ontology, axiology, maupun epistemology,
walaupun tidak menutup kemungkinan menggunakan pendekatan lain,
seperti analisis konsep, atau analisis bahasa.
Epistemologi (teori ilmu pengetahuan) ialah inti sentral setiap
keilmuan. Dalam konteks Islam epistemologi merupakan parameter yang
6 Jujun S. Suriasumantri, op. cit., hlm. 105. 7 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam dan Modern, (Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm. 53. 8 Zakiyah Daradjat, dkk, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang,
1998), hlm. 22.
19
bisa memetakkan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut
bidang-bidangnya, yakni apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui
serta apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Dengan demikian
epistemologi dapat dijadikan sebagai filter terhadap objek-objek
pengetahuan karena tidak semua objek mesti dapat dijelajahi oleh
pengetahuan manusia. Epistemologi merupakan cara dan arah berfikir
manusia untuk memperoleh dan menemukan ilmu pengetahuan dibangun
melalui kemampuan rasio (akal), indera dan intuisi.9
b) Diskursus Epistemologi Dikalangan Ulama
a. ULAMA’ FIQIH
FIQIH, SECARA BAHASA BERARTI FAHAM TERHADAP TUJUAN
SESEORANG PEMBICARA DARI PEMBICARAANNYA. MENURUT ISTILAH
FIQIH IALAH MENGETAHUI HUKUM-HUKUM SYARA’ MENGENAI
PERBUATAN MANUSIA MELALUI DALIL-DALILNYA YANG TERPERINCI.
PENGERTIAN LAIN FIQIH ADALAH ILMU YANG DIHASILKAN OLEH PIKIRAN
SERTA IJTIHAD (PENELITIAN). OLEH KARENA ITU TUHAN TIDAK BISA
DISEBUT SEBAGAI “FAQIH” (AHLI ILMU FIQIH), KARENA BAGINYA TIDAK
ADA SESUATU YANG TIDAK JELAS. DENGAN DEMIKIAN FIQIH ADALAH
SUATU BIDANG KEILMUAN AGAMA, SECARA KHUSUS BERBICARA
MENGENAI HUKUM (SYARI’AT10) AGAMA BERFUNGSI UNTUK MENGATUR
TATA KEHIDUPAN MANUSIA DIMANA BELUM DIKETAHUI ATAU BELUM
JELAS KEDUDUKAN HUKUMNYA YANG BISA DIJALANKAN ATAU
DIAMALKAN.11. SEDANGKAN PARA ULAMA HUKUM ISLAM SECARA GARIS
BESAR MEMAKNAI FIQIH ADALAH SEBAGAI HUKUM-HUKUM SYARI’AH
9 Jujun S. Suria Sumantri, op. cit., hlm. 17. 10 Syariat adalah apa (hukum-hukum) yang diadakan oleh Tuhan untuk hamba-hambanya,
yang dibawa oleh salah seorang nabi-nya saw., baik hukum-hukum tersebut berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yaitu yang diebbut sebagai “hukum-hukum cabang dan amalan”, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu fiqih; atau berhubungan dengan cara mengadakan kepercayaan (‘itikad), yaitu yang disebut sebagai “hukum-hukum pokok” dan kepercayaan, dan untuknya maka dihimpun ilmu kalam. Syari’at (syara’) disebut “agama”.
11 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 10.
20
YANG BERSIFAT AMALIAH, YANG TELAH DIISTINBATKAN OLEH PARA
MUJTAHID DARI DALIL-DALIL SYAR’I YANG TERPERINCI.12
KAJIAN DALAM ILMU FIQH ITU MELIPUTI SELURUH HUKUM
AGAMA, BAIK YANG BERHUBUNGAN DENGAN HUKUM-HUKUM
KEPERCAYAAN ATAU HUKUM-HUKUM PERBUATAN DAN ATAU HUKUM-
HUKUM AKHLAK.
PARA ULAMA YANG BERKECIMPUNG DALAM HUKUM ISLAM
(FIQH) MEREKA SEPAKAT BAHWA SUMBER HUKUM ISLAM, YAKNI
SUMBER HUKUM YANG DIJADIKAN PIJAKAN DALAM MENGURAI
PERSOALAN-PERSOALAN HUKUM YANG BELUM JELAS KETENTUAN
HUKUMNYA. MAKA YANG MENJADI LANDASAN HUKUM ISLAM ADALAH
TEKS (AL-QUR’AN/ WAHYU, HADITS, DAN IJTIHAD13 ULAMA, SERTA
IJMA’14 DAN QIYAS15). SECARA EPISTEMOLOGI SUMBER PENGETAHUAN
HUKUM ISLAM, PERTAMA BERASAL DARI TEKS (WAHYU). DALAM
FILSAFAT ISLAM HAL INI MENGACU PADA EPISTEMOLOGI BAYANI.
BAYANI ADALAH METODE PEMIKIRAN KHAS ARAB YANG
MENEKANKAN OTORITAS TEKS (NASH), SECARA LANGSUNG ATAU TIDAK
12 Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm.14-15. 13 Ijtihat artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum
syara’ dari dalil-dalilnya. Hasby Ash Shiddiqi mengemukakan ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan praduga (zhan).
14Ijma’ adalah setiap pendapat yang didukung oleh hujah, sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang. Al-Ghozali mendefinisikan bahwa ijma’ adalah kesepakan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama. Sedangkan As-Syafi’i berpendapat bahwa ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat islam, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepakati oleh seluruh umat. Sementara Jumhur ulama berpendapat ijma’ adalah ke sepakan seluruh mujtahid islam dalam suatu massa, sesudah wafat rasulullah, akan suatu hukum syari’at yang amali. Dalam hal ini ijma’ dibedakan dalam dua bentuk, yaitu ijma’ qath’i, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu malah tanpa ada bantahan di antara mereka. Ijma’ ini dapat dijadikan dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah. Kedua, ijma’ sukuti, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah, kesepakatan yang mendapat tantangan (hambatan) doa antara mereka atau salah seorang diantara mereka tenang (diam) saja dalam mengambil suatu keputusan.
15 Menurut bahasa qiyas artinya ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Dengan demikian qiyas dapat diartikan menggunakan sesuatu atas yang lain, agar diketahui persamaan antara keduanya. Pengikut as-Syafi’i berpendapat bahwa qiyas adalah membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui untuk menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, karena adanya sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat. Dan jumhur ulama pun sepakat dengan definisi yang dikemukakan oleh kaum safiiyah, yakni bahwa qiyas adalah menemukan hukum yang belum diketahui untuk dicarikan kesamaan dengan hukum yang sudah diketahui.
21
LANGSUNG, DAN DI JUSTIFIKASI OLEH AKAL KEBAHASAAN YANG DIGALI
LEWAT INFERENSI (ISTIDLAL). SECARA LANGSUNG BERARTI MEMAHAMI
TEKS SEBAGAI PENGETAHUAN HUKUM, DAN TIDAK LANGSUNG BERARTI
MENGETAHUI TEKS SEBAGAI PENGETAHUAN MENTAH SEHINGGA PERLU
TAFSIR DAN PENALARAN. JADI DALAM PERSPEKTIF KEAGAMAAN,
SASARAN BIDIK METODE BAYANI ADALAH ASPEK EKSOTERIK (SYARIAT).
DALAM BAHASA ARAB BAYANI BERARTI PENJELASAN
(EKSPLANASI), SEDANGKAN DALAM KAMUS LISAN AL-ARAB BAYANI
MENGANDUNG BEBERAPA ARTI, DIANTARANYA: AL-FASHL WA INFISHAL
(MEMISAHKAN DAN TERPISAH), DAN AL-DHUHUR WA AL-IDHAR (JELAS
DAN PENJELAS). 16
PADA MASA SYAFII (767-820 M), YANG DIANGGAP SEBAGAI
PELETAK DASAR JURISPRUDENCE ISLAM, BAYANI BERARTI NAMA YANG
MENCAKUP MAKNA-MAKNA YANG MENGANDUNG PERSOALAN USHUL
(POKOK) DAN YANG BERKEMBANG HINGGA KE CABANG (FURU’).
SECARA METODOLOGI SYAFII MEMBAGI BAYAN INI DALAM LIMA BAGIAN
DAN TINGKATAN. (1) BAYAN YANG TIDAK BUTUH PENJELASAN LANJUT,
BERKENAN DENGAN SESUATU YANG TELAH JELAS HUKUMNYA (SUDAH
ADA PENJELASAN DARI TUHAN), YAKNI YANG TERTERA DALAM AL-
QUR’AN SEBAGAI KETENTUAN BAGI MAKHLUKNYA. (2) BAYAN YANG
BEBERAPA BAGIAN MASIH GLOBAL SEHINGGA BUTUH PENJELASAN
SUNNAH, (3) BAYAN YANG KESELURUHANNYA MASIH GLOBAL
SEHINGGA BUTUH PENJELASAN SUNNAH, (4) BAYAN SUNNAH, SEBAGAI
URAIAN ATAS SESUATU YANG TIDAK TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN, (5)
BAYAN IJTIHAD YANG DILAKUKAN DENGAN QIYAS ATAS SESUATU YANG
TIDAK TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN MAUPUN SUNNAH. DARI KELIMA
HAL TERSEBUT AS-SYAFII MENYATAKAN BAHWA, YANG POKOK (USHUL)
SEBAGAI BENTUK SUMBER PENGETAHUAN DALAM HUKUM ISLAM
16 Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, terj, Ahsin M, (Bandung: Mizan, 1994), hlm, 47-48
dan 24.
22
ADALAH AL-QUR’AN, SUNNAH DAN QIYAS, KEMUDIAN DITAMBAH
IJMA’.17
SEBAGAI SUMBER PENGETAHUAN HUKUM ISLAM EPISTEMOLOGI
BAYANI SEBAGAI BENTUK EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM (FIQH/
SYARIAT), SELALU BERPIJAK PADA TEKS (NASH). DALAM USHUL FIQIH
YANG DIMAKSUD NASH SEBAGAI SEMBER PENGETAHUAN HUKUM ISLAM
ADALAH AL-QUR’AN DAN HADITS.18 MAKA, DALAM HAL INI
EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM MENARUH PERHATIAN BESAR DAN TELITI
PADA PROSES TRANSMISI TEKS DARI GENERASI KE GENERASI. HAL INI
MUTLAK DIPERLUKAN KARENA TEKS SEBAGAI SUMBER PENGETAHUAN
BENAR TIDAKNYA TRANSMISI TEKS MENENTUKAN BENAR SALAHNYA
KETENTUAN HUKUM YANG DIAMBIL. JIKA TRANSMISI TEKS BISA
DIPERTANGGUNG JAWABKAN BERARTI TEKS TERSEBUT BENAR DAN BISA
DIJADIKAN DASAR HUKUM. SEBALIKNYA, JIKA TRANSMISINYA
DIRAGUKAN, MAKA KEBENARAN TEKS TIDAK BISA
DIPERTANGGUNGJAWABKAN DAN ITU BERARTI IA TIDAK BISA DIJADIKAN
LANDASAN HUKUM.19
ADAPUN CARA MEMPEROLEH PENGETAHUAN DALAM HUKUM
ISLAM DENGAN MENEMPUH DUA JALAN MENEMPUH DUA JALAN.
PERTAMA, BERPEGANG PADA REDAKSI (LAFAT) TEKS DENGAN KAIDAH
BAHSA ARAB SEPERTI NAHWU, DAN SHARAF SEBAGAI ALAT ANALISA.
KEDUA, MENGGUNAKAN METODE QIYAS (ANALOGI) DAN INILAH PRINSIP
UTAMA EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM (FIQH/ SYARIAT). ADA BEBERAPA
SYARAT YANG HARUS DIPENUHI DALAM MELAKUKAN QIYAS; (1) ADANYA
AL-ASHL20, YAKNI NAS SUCI YANG MEMBERIKAN HUKUM DAN DIAPAKAI
SEBAGAI UKURAN, (2) AL-FAR; SESUATU YANG TIDAK ADA HUKUMNYA
17 Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.
178-179. 18 Abd Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmi, (Bandung: Gema Risalah
Pres, 1996), hlm. 22. 19 Khudori Soleh, Ibid., hlm. 182. 20 Al-Ashl, adalah objeks yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat-ayat al-Qur’an, hadist
Rasulullah, atau ijma’.
23
DALAM NAS, (3) HUKUM AL-ASHL, KETEPATAN HUKUM YANG DIBERIKAN
OLEH ASH, (4) ILLAT, KEADAAN TERTENTU YANG DIPAKAI SEBAGAI
DASAR PENETAPAN HUKUM ASHL.21
MENURUT JABIRI, METODE QIYAS SEBAGAI CARA MENDAPATKAN
PENGETAHUAN DALAM HUKUM ISLAM TERSEBUT DIGUNAKAN DALAM
TIGA ASPEK.
PERTAMA QIYAS DALAM KAITANNYA DENGAN STATUS DAN
DERAJAT HUKUM YANG ADA PADA ASHL MAUPUN FURU’22 BAGIAN INI
MENCAKUP TIGA HAL (1) QIYAS JALI, DI MANA FAR MEMPUNYAI
PERSOALAN HUKUM YANG KUAT DIBANDING ASHL, (2) QIYAS FI MA’NA AL-
NASH, DI MANA ASHL DAN FAR MEMPUNYAI DERAJAT HUKUM SAMA, (3)
QIYAS AL-KHAFI, DI MANA ILLAT ASHL TIDAK DIKETAHUI SECARA JELAS
DAN HANYA MENURUT PERKIRAAN MUJTAHID, CONTOH MEMUKUL
ORANG TUA, PERSAMAAN HUKUMNYA DALAM AL-QURAN HANYA ADA
LARANGAN BERKATA “AH”. KEDUA, YANG BERKAITAN DENGAN ILLAT23
YANG ADA PADA ASHL DAN FAR, ATAU MENUNJUKKAN KE ARAH SITU
(QIYAS BI I’TIBAR BINA AL HUKUM ALA DZIKR AL-ILLAH AU BI ‘ITIBAR DZIKR
MA YADULL ‘ALAIHA). BAGIAN INI MELIPUTI DUA HAL: (1) QIYAS AL-ILLAT,
YAITU MENETAPKAN ILLAT YANG ADA ASHL KEPADA FAR, (2) QIYAS AL-
DILALAH, YAITU MENETAPKAN PETUNJUK (DILALAH) YANG ADA PADA
ASHL KEPADA FAR, BUKAN ILLAHNYA.24. KETIGA, QIYAS BERLKAITAN
DENGAN POTENSI ATAU KECENDERUNGAN UNTUK MENYATUKAN
ANTARA ASHL DAN FAR. YANG OLEH AL-GHOZALI DIBAGI DALAM EMPAT
TINGKATAN: (1) ADANAYA PERUBAHAN HUKUM BARU (2) KESERASIAN,
(3) KESERUPAAN, (4) MENJAUHKAN (THARD).25
MENURUT ABB AL-JABABAR, SEORANG PEMIKIR TEOLOGI
MUKTAZILAH, SEBAGAIMANA YANG DIPAHAMI ABD WAHAB KALAF,
21 Chaerul Umam, dkk, op. cit., hlm. 97-99. 22 Furu’ adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nas atau ijma’
yang tegas dalam menentukan hukumnya. 23 Illat, adalah sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum. 24 Abd Wahab Khalaf, op. cit.,hlm. 106. 25 Fathur Rahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 134-141.
24
METODE QIYAS TERSEBUT TIDAK HANYA UNTUK MENGGALI
PENGETAHUAN DARI TEKS TETAPI JUGA BISA DIKEMBANGKAN DAN
DIGUNAKAN UNTUK MENGUNGKAPKAN PERSOALAN-PERSOALAN NON-
FISIK (GHAIB).26
ADA SEMACAM PERBEDAAN POLA PIKIR MENGENAI EPISTEMOLOGI
HUKUM ISLAM (FIQH), YAITU POLA PIKIR ZHAHIRIYYAT, (TEKSTUALIS),
BATHINIYYAT, MAKNAWIYYAT (KONTEKSTUALIS), DAN GABUNGAN ANTARA
TEKTUALIS DAN KONTEKSTUALIS. SEMENTARA MAZHAB BESAR DALAM
HUKUM ISLAM (FIQH), YAITU MALIKI, HAMBALI, DAN SYAFII, MEREKA
SEPAKAT BAHWA SUMBER UTAMA HUKUM ISLAM YAITU NASH (TEKS/
WAHYU, AL-QUR’AN, DAN AS-SUNNAH/ HADITS).
JADI ULAMA FIQIH BERSEPAKAT BAHWA SUMBER PENGETAHUAN
HUKUM ISLAM (FIQIH), SEMUA BERASAL DARI ALLAH, SUNNAH NABI
(AL-HADITS) DAN KESEPAKATAN PARA (IJMA’ ULAMA) MELALUI
BEBERAN METODE ANALOGI (QIYAS).
b. Ulama’ Kalam
Islam sebagai agama mempunyai dua dimensi, yaitu keyakinan
atau akidah dan sesuatu yang diamalkan atau amaliah. Amal perbuatan
tersebut merupakan perpanjangan dan impemenasi dari akidah itu.
Keimanan dalam Islam merupakan dasar atau fondasi dalam
keberagaman. Keimanan atau akidah dalam dunia keilmuan (Islam)
dijabarkan melalui suatu disiplin ilmu yang sering diistilahkan dengan
ilmu tauhid, ilmu aqaid, ilmu kalam, dan sebagainya. Dengan
demikian, maka aspek pokok dalam ilmu tauhid atau kalam adalah
keyakinan akan adanya eksistensi Allah yang Maha sempurna.
Ilmu kalam merupakan cabang ilmu keIslaman yang berdiri
sendiri, yang secara khusus membicarakan mengenai keberadaan
Tuhan dan segala kekuasaannya. Ilmu ini berkembang sejak pada masa
khalifah al-Ma’mun (813-833) dari Bani Abbasiyah. Sebelum itu
26 Abd Wahab Khalaf, op. cit.,hlm. 142.
25
pembahasan terhadap kepercayaan Islam disebut al Fiqhu Fiddin
sebagai lawan dari Fiqhu Fil ‘Ilmi. Ilmu ini lahir karena adanya
khilafiyah dikalangan ulama mengenai persoalan, diantaranya apakah
kalam Allah (al-Qur’an) itu qadim atau hadits, bagaimana wujud
Allah, Sifat-sifat Allah, kekuasaan Allah dan lain sebagainya.
Ibnu Khaldun (1333-1378) dalam bukunya Muqaddimah, yang
dikutip Sahilun A Nasir menjelaskan, ilmu kalam adalah ilmu yang
berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman,
dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan-bantahan
terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan
ahli sunnah. 27 Disebut ilmu kalam karena pembahasannya mengenai
eksistensi Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya
digunakan argumentasi-argumentasi filosofis dengan menggunakan
logika atau mantik. 28
Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy sebagaimana yang dilangsir
Muhammad Ahmad, ia menyebutkan bahwa disebut ilmu kalam
karena:
1. Problem yang diperselisihkan para ulama dalam ilmu ini yang menyebabkan umat Islam terpecah ke dalam beberapa golongan adalah masalah kalam Allah atau al-Qur’an apakah ia diciptakan (makhluk) atau tidak (qadim)
2. Materi-materi ilmu kalam adalah teori-teori (kalam); tidak ada yang diwujudkan ke dalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota.
3. Ilmu ini, di dalam menerangkan cara atau dalam menetapkan dalil pokok-pokok akidah serupa dengan mantik.
4. Ulama-ulama mutakalimin membicarakan di dalam ilmu ini hal-hal yang tidak dibicarakan oleh ulama salaf, seperti penakwilan ayat-ayat mutasyabihat, pembahasan tentang qada, kalam dam lain-lain.29
Penamaan ilmu kalam ini sebenarnya hanya dimaksudkan
untuk membedakan antara mutakallimin dengan filosof Islam. Bedaya
27 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 3 28 Muhamamd Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 9. 29 Ibid., hlm. 10
26
hanya pada landasan awal berpijak, mutakallimin lebih dahulu bertolak
dari al-Qur’an dan hadits, sementara filosof berpijak pada logika.30
Para Mutakallimin31 memiliki ciri khas khusus dalam
memecahkan persoalan kalam (aqidah/ tauhid), mereka lebih banyak
menggunakan otoritas akal atau logika (mantiq) dalam memecahkan
persoalan aqidah. Meskipun para mutakallimin dapat menggunakan
otoritas akal dalam mencari kebenaran, akan tetapi mereka tidak
pernah puas, karena ada hal-hal yang diluar jangkauan akalnya.
Objek kajian dalam ilmu ini adalah hal-hal yang tidak dapat di
indera dan juga hal-hal yang tidak mungkin bisa dijangkau dengan
akal, nalar atau rasio. Tetapi bisa dipikirkan dan ditemukan dengan
bantuan akal, nalar dan rasio. Sebab akal manusia dalam mengenal
Allah hanya mampu sampai pada bata mengetahui bahwa Zat Tuhan
Yang Maha Kuasa itu ada. Dan ketika merenung dan memikirkan
ketika tidak mampu menjangkaunya mereka (para mutakallimin
kembali pada wahyu). Menurut akal, kebenaran sesuatu dapat diamati,
diteliti (dianalisis) dan dicapai melalui bantuan akal. Landasan ini
muncul karena ada sebagian ayat al-Qur’an yang perlu penjelasan,
yang disebut ayat mutasyabihat. Jadi ilmu kalam itu selalu
berlandaskan pada al-Qur’an (nas-nas agama), dipertemukan dengan
dalil-dalil pikiran dalam membahas aqidah dan ibadah.
Para ulama mutakallimin berpendapat bahwa sumber
pengetahuan itu semua berasal wahyu (al-Qur’an) kemudian diperjelas
melalui analogi-analogi yang berasal pemikiran akal dan pemahaman
indera. Dalam hal ini (ilmu kalam) juga terjadi khilafiyah, sebagai
contoh kaum Khawarij memandang, sumber segala ilmu itu hanya
berasal dari kalam Tuhan, dan kaum ini mendapat julukan sebagai
kaum tekstualis, kemudian kaum Murjiah dikenal sebagai kaum
mengikuti faham rasionalisme, kaum Qadariah, dikenal sebagai kaum
30 Ibid. 31 Mutakallimin adalah seorang ulama yang ahli dalam bidang ilmu kalam.
27
yang mengikuti faham realisme, dan kaum Jabariah dikenal sebagai
kaum yang mengikuti faham idealisme.32
Sebagai mana pengertiannya tauhid adalah sebagai ilmu yang
secara khusus membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya dan
as’al-Nya (Allah), adalah bersumber pada al-Qur’an dan hadist sebagai
sumber kedua. Untuk menerima al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber
Tauhid, harus menggunakan akal. Jadi dalil yang dipakai dalam ilmu
kalam itu berdasarkan dalil naqli, yaitu yang bersumber dari teks atau
nas al-Qur’an dan Hadits, dan berdasarkan dalil aqli, yaitu berdasrkan
pemahaman akal (nalar). Jadi landasan epistemologi kalam, para
mutakallimin sepakat bahwa pengetahuan kalam itu berdasarkan
wahyu (al-Qur’an ) sebagai sumber pertama dan al-Hadits sebagai
sumber kedua, kemudian akal sebagai sumber ketiga, ketika sumber
pertama dan kedua belum menunjukkan kejelasan (mutasyabihat).33
c. SUFISTIK/ TASAWUF
Sebagaimana ilmu fiqih, ilmu kalam, tasawuf adalah
merupakan bagian dari ilmu filsafat yang berbicara tentang kesatuan
wujud, yang disebut juga dengan istilah mistik. Istilah tasawuf
dipopulerkan oleh Islam, di mana ajaran-ajarannya bersandarkan
pada ajaran Islam. Tasawuf adalah nama lain dari mistisisme dalam
Islam. Di kalangan orientalis Barat menyebutnya dengan sebutan
Sufisme. Kata sufisme itu merupakan istilah khusus mistisisme dalam
Islam. Sehingga kata sufisme itu tidak ada pada mistisisme
sebagaimana dalam agama-agama lain.
Tasawuf adalah aspek ajaran Islam yang paling penting,
karena peranan tasawuf merupakan jantung atau urat nadi
pelaksanaan ajaran-ajaran Islam. Tasawuf inilah yang merupakan
kunci kesempurnaan amaliah ajaran Islam. Memang di samping
32 Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1993),
hlm. 29-42. 33 Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 4-5.
28
aspek tasawuf, dalam Islam ada aspek lain yaitu apa yang disebut
dengan akidah dan syari’ah, atau dengan kata lain bahwa yang
dimaksud “ad-din” (agama) adalah terdiri dari Islam, iman dan ihsan,
di mana ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan. Oleh
orientalis Barat tasawuf disebutnya dengan istilah Sufisme34 ini juga
memiliki pengertian secara khusus yang telah menimbulkan
perbedaan pendapat dikalangan para ahli.
Secara etimologi Kata tasawuf diambil dari kata shafa yang
memiliki berarti bersih. Disebut sufi karena hatinya tulus dan bersih
di hadapan Tuhannya. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tersebut
diambil dari kata shuffah yang berarti serambi mesjid Nabawi di
Madinah yang ditempati oleh sahabat-sahabat Nabi yang miskin dari
golongan Muhajirin. Mereka ini disebut ahl al-Suffah walaupun
miskin namun memiliki hati mulia dan memang sifat tidak memen-
tingkan dunia dan berhati mulia adalah sifat-sifat kaum sufi. Teori
lainnya menegaskan bahwa kata sufi diambil dari kata suf yaitu kain
yang dibuat dari bulu atau wool dan kaum sufi memilih memakai
wool yang kasar adalah sebagai bentuk simbol kesederhanaan.35
Dari berbagai teori di atas, dapat dipahami bahwa istilah sufi
dapat dihubungkan dengan dua aspek, yaitu aspek lahiriyah dan
aspek batiniyah. Teori yang menghubungkan orang yang menjalani
kehidupan tasawuf dengan orang-orang yang berada di serambi
mesjid dan berpakaian bulu domba merupakan tinjauan aspek
lahiriyah dari sufi. Ia dianggap sebagai orang yang telah
meninggalkan dunia dan hasrat jasmani, dan menggunakan benda-
benda dunia ini hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti
berpakaian dan makan untuk sekedar menghindarkan diri dari
kepanasan, kedinginan, serta kelaparan. Sementara teori yang melihat
34 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,( Jakarta: Bulan Bintang, 1973,
hlm. 56. 35 K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 25-27.
29
sufi sebagai orang yang mendapat keistimewaan di hadapan Tuhan
tampak lebih menitik beratkan pada aspek batiniah.
Tetapi sebagian ahli bahasa menyebutkan bahwa perkataan
Sufi bukan berasal dari bahasa Arab, tetapi bahasa Yunani yang telah
di-Arabkan. Asal katanya adalah theosofie yang bererti ilmu
ketuhanan. Kemudian di-Arabkan dan diucapkan dengan lidah Arab
sehingga berubah menjadi tasauf (tasawuf), yang biasa disebut
Sophos (kebijaksanaan). Kata Sophos, berasal dari bahasa Yunani
yang berarti hikmah atau bijaksana. Kata ini sering dinilai dari asal
kata tasawuf. Karena salah satu sifat para sufi adalah bijaksana atau
kebijaksanaan.36
Dengan demikian tasawuf dari segi Linguistik (kebahasaan)
ini dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sebagai sikap mental yang
selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela
berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana untuk
memcapai hakekat akhlak yang mulia.37
Adapun Secara terminologi, pengertian tasawuf sangat
variatif, akan tetapi secara garuis besarnya (inti tasawuf)
sebagaimana penjelasan Prof. Dr. Harun Nasution tasawuf adalah
kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara mansuia
dengan Tuhannya. Tasawuf juga menekankan pada kesadaran fitrah
yang dapat menggerakkan jiwa kepada kegiatan-kegiatan tertentu
untuk memperoleh sesuatu perasaan bersatu atau hubungan dengan
wujud Tuhan yang Mutlak (al-Haq). Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Badar bin Al-Husain, “ sufi adalah orang-orang yang telah
memilih Al-Haq (Allah) semata-mata untuk dirinya”.38
36 Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatra:
IAIN Sumatra Utara, 1982), hlm. 2. 37 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1999) hlm. 1 38 Ibid., hlm. 81.
30
Makna lain dari tasawuf yaitu sebagaimana yang dikemukan
oleh M. Amin Al-Kurdy yang dilangsir oleh A. Mustofa, “tasawuf
adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal
kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat)
yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara melakukan
suluk, melangkah menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan
larangan-Nya menuju pada perintah-Nya39 dan Abu Muhammad Al-
Jariri yang dilangsir Amin Syukur, mengartikan tasawuf dengan
“masuk ke dalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak
yang hina.40
Tasawuf sebagaimana disebutkan dalam artinya di atas bahwa
ajaran tasawuf itu bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung
dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang
berada di hadirat Tuhan, dan intisari dari sufisme itu adalah
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia
dengan Tuhal.l dengarl cara mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk
ittihat, hulul, wahdatul wujud, atau menyatu dengan Tuhan.
Tasawuf sebagai aspek esoterik Islam, secara epistemologik
dalam memperoleh kebenaran dan ilmu memakai intuisi, atau dalam
istilah teknisnya memakai dzauq dan wujdan. Apabila intuisi
tersebut diartikan sebagai sumber kebenaran/ilmu, terdiri dari
pertimbangan tanpa mengambil jalan berfikir logis berdasarkan fakta
yang timbul dari sumber yang tidak dikenal atau belum diselidiki,
maka dalam tasawuf perolehan intuisi itu tidak terjadi serta merta,
tetapi melalui proses panjang dengan apa yang disebut mujahadah
dan riyadlah serta tafakur dan tadabbur. Yakni suatu upaya yang
pencerahan hati nurani agar bisa menangkap cahaya kebenaran. Dan
setelah memperolehnya dirumuskan dalam kerangka berfikir
39 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 202-203. 40 Amin Syukur, dan Masyaruddin , MA, Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002) hlm. 15.
31
sistematis, sebagaimana tersebut dalam Tasawuf Falsafi dan Mistik
Falsafi.
Tasawuf Falsafi ialah suatu model tasawuf yang proses dan
produknya memadukan antara visi tasawuf dan filsafat. Di satu pihak
memakai term-term filsafat, namun di pihak lain memakai metode
pendekatan dzauq/wujdan atau intuisi. Sedang mistik filsafat (istilah
ini sekedar membedakan dengan yang pertama) ialah suatu model
pendekatan dengan Yang Hak dengan sarana rasio. Tasawuf ini tidak
bersifat spiritual semata yang hanya berlandaskan pada sikap
memerangi jasmani dan mensucikan jiwa, tetapi bersifat teoritis yang
berdasarkan pada studi dan analisis. Kesucian jiwa tidak akan
sempurna hanya melalui amalan jasmaniah, tetapi secara primer dan
esensial harus melalui akal dan pemikiran tertentu seseorang bisa
mencapai Yang Hak.
Secara konvensional, tasawuf telah dibakukan dalam jenjang-
jenjang spiritual berupa maqamat dan ahwal, sebagai fase-fase
menuju kesempurnaan spritual yang harus dilalui dengan tahapan
takhalli, tahalli, dan tajalli.41
Sebagai ilmu keIslaman yang berdiri sendiri, dalam aspek
epistemologis tasawuf menggunakan intuisi/wujdan/ dzauq itu
dengan qalb sebagai sarananya, bukan indera dan akal. Dalam
tasawuf, qalb diumpamakan sebagai cermin, ia bisa menangkap
gambar di depannya apabila ia terbebas dari hijab. Ini perlu
diupayakan melalui rnujahadah dan riyadlah. mujahadah dan
riyadlah ini tidak keluar dari bingkai yang telah ditentukan tadi
sebagai proses (takhalli dan tahalli) untuk mencapai tujuan tasawuf,
yakni ma'rifatullah (Tajalli).
Meskipun pengetahuan intuitif tasawuf dikatakan tidak
menggunakan rasio, tetapi pada hakikatnya antara keduanya
mempunyai hubungan interaktif. Pengetahuan intuitif sama dengan
41 Abuddin Nata, op. cit., hlm.153.
32
pengetahuan imajinatif. Perbedaan antara keduanya hanya dalam
metodologi dan sistematikanya, sebab keduanya ikut membentuk
bangunan pengetahuan dan filsafat. Pengetahuan intuitif dapat
membuka pemahaman tanpa ada suatu metodik yang terarah, dan
sistematika yang runtut sebagaimana lazimnya dalam pengetahuan
rasional. Sedang akal dalam menangkap pengetahuan melalui
pemahaman yang sistematis dan metodis.
Menurut Iqbal misalnya, akal dan intuisi berasal dari akar
yang sama dan saling mengisi, yang pertama menangkap kebenaran
secara sepotong-potong, sedang yang kedua menangkapnya secara
utuh.42 Menurut Bergson, obyek akal pada yang rasional, sedang
intuisi terhadap yang meta/ supra-rasional. Dengan kata lain intuisi
adalah jenis akal yang lebih tinggi daripada akal biasa, atau yang oleh
Javad Nurbakh disebut dengan Akal Kulli (Universal).43 Oleh karena
itu Iqbal menyatakan bahwa pengetahuan intuitif lebih tinggi
daripada pengetahuan rasional dan empirikal, karena akal dan indera
adalah instrumen yang lebih kompeten untuk menghadapi obyek
materi serta hubungan kuantitatif, atau materi. Intuisi dapat menuntun
pada kehidupan (immateri). Lebih tegas lagi dikatakan oleh Bergson
bahwa sebenarnya intuisi bersifat intelektual dan sekaligus supra-
intelektual.
Bukti adanya hubungan interaktif antara keduanya ialah
bahwa ilham dan illuminasi secara psikologis timbul dari akal ketika
melakukan aktifitas secara intens. Ketika seseorang berfikir dan
belum menemukan pemecahannya, maka dia mengendapkannya
dalam beberapa waktu (inkubasi). Pada saat inilah pikiran dapat
dijernihkan dan selanjutnya akan terjadi ide-ide yang seakan-akan
42 Danusiri, Epistemologi Tasawuf Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 68 43 Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001) hlm. 5.
33
datang secara tiba-tiba, tanpa disadari. Namun sesungguhnya melalui
proses berfikir silogistik, dengan suatu proses yang samar-samar.44
Dengan kata lain, pengetahuan intuitif itu adalah hasil
penumpukan pengalaman dan pemikiran seseorang. Intuisi yang
benar adalah proses pemendekan terhadap pengetahuan yang
seharusnya diungkap oleh indra dan pemikiran relektif. Pengetahuan
intuitif adalah hasil kerja silogistik di bawah sadar. Karena dalam
suatu bidang, akan lebih mudah memperoleh intuisi yang baik dalam
bidangnya masing-masing.
Apabila analisis psikologis tersebut dikaitkan dengan tasawuf,
maka masa inkubasi itu sama dengan kondisi terbebaskan pikiran dan
perasaan seseorang dari materi, sehingga dia bisa berkonsentrasikan
terhadap suatu persoalan, ketika itu dia akan mendapat pengetahuan
intuitif atau ma'rifatullah. Materi dan dosa itulah yang disebut
penghalang (hijab) qalb dari persoalan metafisis. Dalam tasawuf
seseorang akan memperoleh pengetahuan sejenis tersebut apabila
telah mencapai maqam tertentu, dan disiplin yang tepat, serta
terkonsentrasikan dalam bidang tertentu. Di sisi lain dalam teori
emanasi sufistik, seseorang bisa mencapai ilmu tertentu atau al-
ma'rifah setelah dia menghilangkan kegandaan sehingga terjadi
ittihad
Dalam filsafat Islam pengetahuan dalam tasawuf masuk pada
epistemologi Irfani, kata irfani berasal dari kata dasar bahasa Arab
'arafa semacam dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia
berbeda dengan ilmu (‘ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan
pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman
(experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diper-
oleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu,
secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan
44 Amin Syukur, op. cit., hlm. 204.
34
kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah ruhani (riyadlah)
yang dilakukan atas dasar cinta (love). Kebalikan dari epistemologi
bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syariat, apa yang
ada dibalik teks.45
Pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks
atau keruntutan logika, tetapi dengan olah ruhani, di mana dengan
kesucian hati, Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya. Dari situ kemudian dikonsep atau masuk dalam pikiran
sebelum dikemulcakan kepada orang lain. Dengan demikian,
sebagaimana disampaikan Suhrawardi, secara metodologis,
pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1)
persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, baik dengan lisan atau
tulisan.46
Tahap pertavna, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan
pengetahuan (khasyf, seseorang yang biasanya disebut salik
(penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang
kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah
jenjang yang harus dilalui. Namun, setidaknya, ada tujuh tahapan
yang harus dijalani, yang semua ini berangkat dari tingkatan yang
paling dasar menuju pada tingkatan puncak di mana saat itu qalbu
(hati) telah menjadi netral dan jernih sehingga siap menerima
limpahan pengetahuan. (1) Taubat, meninggalkan segala perbuatan
yang kurang baik disertai penyesalan yang mendalam untuk
kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang
terpuji. Perilaku taubat ini sendiri terdiri atas beberapa tingkatan.
Pertama-tama, taubat dari perbuatan-perbuatan dosa dan makanan
haram, kemudian taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan).
Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu
dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan
45 Khudori Soleh, op. cit., hlm. 194 46 Ibid., hlm. 204
35
langsung dari Tuhan secara illuminatif atau noetic. Dalam kajian
filsafat Mehdi Yazdi, pada tahap ini, seseorang akan mendapatkan
realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf)47, sehingga
dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri
(musyahadah)48 sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas
kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, karena bukan objek
eksternal, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan
eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah
kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya
(ittihad. Sedemikian rupa, sehingga dalam perspektif epistemologis,
pengetahuan irfani (tasawuf) tidak diperoleh melalui representasi atau
data-data indera apa pun, bahkan objek eksternal sama sekali tidak
berfungsi dalam pembentukan gagasan umum pengetahuan ini.
Pengetahuan ini justru terbentuk melalui univikasi eksistensial yang oleh
Mehdi Yazdi disebut `ilmu huduri atau pengetahuan swaobjek (self-
object knowledge), atau jika dalam teori permainan bahasa (language
game) Wittgenstein, pengetahuan irfani ini tidak lain adalah bahasa
wujud itu sendiri.49
Ketiga pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari
proses pencapaian pengetahuan irfani, di mana pengalaman mistik
diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan
atau tulisan. Namun demikian, karena pengetahuan irfani bukan
masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan
kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri
dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak
semua pengalaman ini bisa diungkapkan.50
Sesuai dengan sasaran bidik irfan yang esoterik, isu sentral
irfan adalah zahir & batin, bukan sebagai konsep yang berlawanan
47 Dalam bahasa sufisme kasyf adalah kesadaran hati akan sifat-sifat kebenaran. 48 Dalam bahasa sufisme Musyahadah penyaksian hati atas realitas kebenaran. 49 Mehdi Hairi Yazdi, op. cit.,hlm. 73-74 50 Ibid., hlm. 245-248
36
tetapi sebagai pasangan. Menurut Muhasibi (w. 857 M), al-Ghazali
(w. 1111 M), Ibn Arabi (w 1240 M), juga para sufis yang lain, teks
keagamaan (al-Qur’an dan hadits) tidak hanya mengandung apa yang
tersurat (zahir ) tetapi juga apa yang tersirat (batin). Aspek zahir teks
adalah bacaannya (tilawah) sedang aspek batinnya adalah takwilnya.
Jika dianalogikan dengan bayani, konsep zahir-batin ini tidak berbeda
dengan lafat-makna. Bedanya, dalam epistemologi bayani, atau
epistemologi barat, dalam epistemologi barat atau dalam
epistemologi bayani seseorang berangkat dari lafat menuju makna;
sedang dalam tasawuf atau irfani, seseorang justru berangkat dari
makna menuju lafat, dari batin menuju zahir, atau dalam bahasa al-
Ghazali, makna sebagai ashl, sedang lafat mengikuti makna (sebagai
furu’).
Pendapat zahir-batin di atas didasarkan, pertama, pada al-
Qur'an, QS. Luqman, 20; al-An'am, 120 dan khususnya QS. al-
Hadid, 3, yang sekaligus digunakan sebagai dasar pijakan
metafisisnya. Kedua, hadits Rasul, “Tidak ada satu ayat pun dalam
al-Qur'an kecuali di sana mengandung aspek zahir dan batin, dan
setiap huruf mempunyai had (batas) dan. Matla’ (tempat terbit).
Ketiga, pernyataan Imam Ali ibn Abi Thalib (w. 660 M). Menurut
Ali ra, al-Qur’an mengandung empat dimensi, zahir, batin, had dan
matla'. Aspek zahir al-Qur'an adalah tilawah, aspek batinnya adalah
pemahaman, aspek had-nya ketentuan halal dan haram, dan
matla’nya adalah apa yang dikehendaki Tuhan atas hamba-Nya.
Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi batin yang
diperoleh dari kasyf tersebut diungkapkan Menurut Jabiri, makna
batin ini, pertama, diungkapkan dengan cara apa yang disebut
sebagai I'tibar atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang
ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks.
Dengan demikian, qiyas irfani ini tidak sama dengan qiyas bayani
atau silogisme. Qiyas irfani berusaha menyesuaikan konsep yang
37
telah ada atau pengetahuan yang diperoleh lewat kasyf dengan teks,
qiyas al-ghaib 'ala al-syahid. Dengan kata lain, seperti dikatakan
al-Ghazali di atas, zahir teks dijadikan furu' (cabang) sedang konsep
atau pengetahuan kasyf sebagai ashl (pokok). Karena itu, qiyas irfani
atau I'tibar tidak memerlukan persyaratan illat atau pertalian antara
lafat dan makna (qarinah lafdziyah 'an ma'nawiyah) sebagaimana
yang ada dalam qiyas bayani, tetapi hanya berpedoman pada isyarat
(petunjuk batin).
Pengetahuan dalam tasawuf biasanya diperoleh melalui apa
yang disebut dengan pengetahuan kasyf, yaitu pengetahuan yang
diungkapkan lewat apa yang disebut dengan syathahiat. Namun,
berbeda dengan qiyas irfani yang dijelaskan secara sadar dan
dikaitkan dengan teks, syathahat ini sama sekali tidak mengikuti
aturan-aturan tersebut. Syathahat lebih merupakan ungkapan lisan
tentang perasaan (al-wijdan) karena limpahan pengetahuan langsung
dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan
“Maha Besar Aku” dari Abu Yazid Bustami (w 877 M), atau “Ana al-
Haqq” (Aku adalah Tuhan) dari al-Hallaj (w. 913 M). Ungkapan-
ungkapan seperti itu keluar saat seseorang mengalami suatu
pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak
sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu;
sehingga, ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran Islam
yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahat sebenarnya
diterima di kalangan sufisme, meskipun kalangan sufisme sunni ada
yang membatasi diri pada aturan syari’at, yakni syarat bahwa
syathahat tersebut harus ditakwilkan, ungkapannya harus terlebih
dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak
boleh diungkapkan secara “liar” dan berseberangan dengan ketentuan
syari’at yang ada. Jadi ajaran atau pengetahuan yang
dikumandangkan para sufi adalah merupakan hasil pemaknaan dan
38
pemahaman mereka atas realitas yang ditangkap saat kasyf atau saat
mereka mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam.
Pengetahuan tasawuf (irfani) itu berbeda dengan pengetahuan
pada umumnya yang digali dari objek eksternal (korespondesi).
Pengetahuan tasawuf digali dari diri sendiri, tepatnya dari realitas
kesadaran diri yang dalam bahasa tasawuf disebut kasyf. Objeknya
tidak lain bersifat immaterial dan essensial, bersifat swaobjektif (self
object-knowledge), sehingga apa yang disebut sebagai objectivitas
objek tidak lain bersifat analitis dan terwujudkan dalam tindakan
mengetahui itu sendiri. Namun, di sisi lain, dari sifatnya yang neotic
dan objektif dalam hakekatnya, sebagaimana dikatakan Mehdi Yazdi,
pengetahuan tasawuf juga bisa dikategorikan dalam kelompok
korespondesi, meski tidak memiliki objelc transitif yang aksiden,
sehingga tidak ada alasan untuk melakukan semacam
transubjektivitas, apalagi mengingkari pengertian objektivitas
pengetahuan tasawuf semata karena tidak memiliki objek luar.51
Metode yang dilakukan untuk menggapai pengetahuan
tersebut adalah lewat tahapan-tahapan laku spiritual (riydlah), yang
di mulai dari taubat sebagai pensucian diri sampai tawakkal, ridla dan
seterusnya. Pada puncaknya, yang bersangkutan akan memperoleh
kesadaran diri dan kesadaran akan hal ghaib lewat noetic atau
pencerahan atau emanasi. Proses pencerahan dan emanasi inilah yang
menuntun seseorang untuk menemui dan mampu menjelaskan
rahasia-rahasia realitas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengetahuan intuitif/
kasyf dalam tasawuf itu termasuk pengetahuan rasional. Keragu-
raguan epistemologi Barat terhadap pengetahuan intuitif hanya
karena metode ini tidak bisa diuji coba sebagaimana yang lain.
Namun keragu-raguannya itu bisa dieliminir dengan tiga hal sebagai
kriteria untuk mengujinya, yakni moralitas subyek, akal sehat sebagai
51 Khudori Soleh, op. cit., hlm. 213.
39
alat melihat, dan keahlian subyek secara tepat. Memang pengetahuan
ini tidak memiliki rumus yang pasti, tetapi secara realitas ada.
Adanya hanya bisa dirasakan oleh yang bersangkutan dan sulit untuk
diungkapkan dalam bentuk kata dan ucapan. Sehingga tidak tepat jika
dikatakan bahwa pengetahuan tasawuf adalah hasil abstraksi atau
kontemplasi belaka. Dan pengetahuan yang dihasilkan dianggap tidak
masuk akal.
B. TERM-TERM YANG LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG MERUJUK PADA
EPISTEMOLOGI
a) Term-Term yang Langsung Merujuk Pada Epistemologi
Akal (ratio) adalah merupakan salah satu dari perangkat anugerah
(hidayah) yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. petunjuk akal yang
dikhususkan kepada manusia itu mempunyai makna bahwa manusia yang
diberikan tugas untuk memikul amanat sebagai pengatur kehidupan di
muka bumi ini. Dengan kemampuan akalnya manusia mampu
menemukan dan mencipta hal-hal baru yang dapat dimanfaatkan bagi
kemakmuran dan kemaslahatan manusia itu sendiri. Dengan kemampuan
akalnya pula manusia mampu mengubah dan membentuk alam (nature)
menjadi kebudayaan (kultur), membuka dan menciptakan sarana
penghidupan yang bermanfaat untuk eksistensinya. Yakni manusia
dengan kecerdasan akalnya manusia mampu merubah keberadaannya
yang asal mulanya terbelakang menjadi maju dan modern.52
Hal ini menunjukkan bahwa akal (rasio), nalar yang dimiliki
manusia merupakan anugerah dari Tuhan yang tidak dimiliki oleh
makhluk lain. Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat dalam bentuk
yang bervariasi baik langsung maupun tidak langsung, menyuruh manusia
untuk menggunakan akalnya dengan baik dan benar, yakni untuk
memikirkan ciptaan dan mengingat (berdzikir) Tuhan.
52 Mahmud Ayub, Al-Qur’an dan Para Penafsirnya, terj, Syu’bah Asa, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1992), hlm. 98.
40
Akal yang dimiliki manusia merupakan sarana untuk mengetahui
dan memperoleh suatu pengetahuan (al-ilm). Hal ini bisa dilakukan
melalui daya pikir (nalarnya) terhadap apa yang diketahui, untuk
dikembangkan menjadi suatu pengetahuan baru, maupun yang belum
diketahuinya.
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang secara langsung bisa
merujuk pada epistemologi, yang dapat dijadikan dalil argumentative
dalam pengetahuan Islam. Adapun ayat-ayat (term-term) yang merujuk
pada hal tersebut yaitu;
1. Tafakkarun: Yang berarti berfikir. Dalam kitab lisan al-Arab kata ini
diambil dari kata al-fikr yang bermakna اعمل اخلاطر فاشيئ (melakukan
sesuatu dengan keinginan hati), al-fikr juga bisa bermakna sibawaih
(pandangan atau angan-angan), makna lain al-Jauhari (berfikir dan
berangan-angan), dan al-Khajjah (kepentingan). Jadi maksud al-fikr
disini adalah orang yang menggunakan pikirannya untuk memprediksi
terhadap apa yang belum diketahui. 53
Sementara itu berfikir adalah tingkah laku yang menggunakan
ide, yakni suatu proses simbolis dalam memikirkan suatu hal.54 Dalam
pengertian yang lain berfikir adalah merupakan aktivitas psikis yang
itensional, dan terjadi apabila seseorang menjumpai suatu persoalan
(problem) yang harus dipecahkan, seperti berfikir tentang kejadian
alam, berpikir untuk membuat pesawat terbang, dan lain sebagainya.
Dengan demikian bahwa prose dalam berfikir itu seseorang akan
menghubungkan pengertian satu dengan pengertian lainya dalam
rangka memperoleh pemecahan (jalan keluar) atas apa (problem)
yang dihadapi. Dalam proses berfikir seseorang akan memunculkan
suatu pertanyaan dalam dirinya yaitu; mengapa, untuk apa,
bagaimana, di mana, kenapa dan lain sebagainya. Para ahli,
53 Imam al’Alamah Abil Fadhal Jamaludin Muhammad bin Mukarom Ibnu Mandhur Ila
Fariqil Misri, Lisanul ‘arabi, (Beirud: Dar Shodr, t.th), hlm. 64-65. 54 Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 47.
41
mengemukakan ada tiga fungsi dari berfikir, yakni membentuk
pengertian, membentuk pendapat (opini) dan membentuk
kesimpulan.55
Membentuk pengertian dapat dipahami yaitu sebagai suatu
perbuatan dalam proses berfikir (dengan memanfaatkan isi dan
ingatan) bersifat riil, abstrak dan umum serta mengandung sifat
hakikat sesuatu. Sementara itu membentuk pendapat adalah sebagai
bentuk hasil pekerjaan pikir dalam meletakkan hubungan antara
tanggapan yang satu dengan lainnya, yakni antara pengertian yang
satu dengan pengertian lainnya dan dinyatakan dalam bentuk bahasa
(kalimat). Dan membentuk kesimpulan adalah sebagai bentuk hasil
dari proses berpikir dan pendapat-pendapat lain yang hasilnya dapat
dipahami dan dimengerti atau sebagai bentuk jawaban atas apa yang
sedang dipikirkan, yakni jawaban atas problem yang belum
terpecahkan.56
Dengan demikian berpikir adalah suatu proses untuk
memperoleh pengetahuan yang belum diketahui jawabannya atau
sebagai bentuk proses pemecahan masalah yang sedang dihadapi.
Berpikir merupakan kunci pokok dalam menjawab segala
pengetahuan yang belum jelas atau sebagai prose untuk memperoleh
pengetahuan baru. Dengan berpikir seorang akan menemukan
jawaban atas apa yang belum diketahuinya.
Dalam al- Qur'an kata yang mengandung pengertian perintah
untuk menggunakan pikiran (berpikir), yakni yang senada dengan
kata tafakkarun tersebut sebanyak l5 kali, yaitu terdapat dalam Q.S.:
13:3. 16:11, 69. 30:21. 39: 42. 45:13. 59:21. 34:46. 2:219, 266.
7:184. 30:8. 7:176. 10:24. 16:44. 57
55 Patty. F, dkk, Pengantar Psikologi Umum, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1982),
hlm. 81. 56 Ibid. 82-83. 57 Departemen Agama, al-Qur'an, Juz 1 s/d 30.
42
Ayat-ayat di atas, 7 ayat menerangkan tentang adanya
kekuasaan Allah yaitu adanya bumi, makhluk yang berada di antara
langit dan bumi, hujan yang menumbuhkan tanaman, lebah yang
menghasilkan madu dan lain sebagainya. Sedangkan ayat yang lain
berisi perintah untuk berfikir tentang larangan dan perintah Allah,
kebenaran nabi Muhammad, judi dan khamer yang lebih banyak dosa
dart pada manfaatnya dan lain sebagainya.
Misal, ayat-ayat yang mengandung makna al-fikr sebagaimana
keterangan diatas dapat dicermati dalam Q.S: al-Hasyr: 21
ن على جبل لرأيته خاشعا متصدعا من خشية الله لو أنزلنا هذا القرآ
وتلك الأمثال نضربها للناس لعلهم يتفكرون
"Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS. Al-Hasyr: 21).58
Pada ayat lain yang senada dengan ayat di atas, menyuruh
manusia untuk menggunakan daya fikirnya yaitu sebagaimana firman
Allah:
ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم
. في ذلك لآيات لقوم يتفكرونمودة ورحمة إن
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21).59
58 Departemen Agama RI, Al-Qur’an, (Semarang: CV ALWAAH, t. th, hlm. 919. 59Ibid., hlm. 644.
43
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata tafakkarun
mengandung pengertian untuk mengfungsikal akalnya untuk
memikirkan dan menemukan jawaban atas apa yang belum diketahui,
serta merenungkan segala kekuasaan Allah agar manusia mau
beriman. 60
Sementara itu pengertian lain mengenai fungsi akal dalam al-
Qur'an yang menggunakan kata tafakkarun sebagaimana tercermin
pada sebagian ayat-ayat di atas, yaitu (a) Untuk berfikir tentang
kekuasaan Allah, (b) Untuk berfikir tentang: perintah dan larangan
Allah, kebenaran nabi Muhammad, dan lain sebagainya. Jadi kata
tafakkarun dalam konteks epistemologis merupakan satu bentuk
sumber epistemologi, secara langsung merujuk pada fungsi akal.
2. Tadabbarun: yaitu yang mengandung arti “merenungkan”. Seperti
dalam surat dalam surat Shad: 29, QS. Muhammad: 24. Disamping itu
ayat tersebut mengandung perintah untuk berfikir tentang kebenaran
al-Qur’an, dengan memperhatikannya maka akan mendapat
pelajaran dari al- Qur’an tersebut. 61
Dalam kamus Bahasa Arab (al-Munawwir) kata tadabbarun itu
berasal dari kata dabara yang mempunyai makna تدبر االمر
memikirkan, mempertimbangkan, dan menelaah atas segala sesuatu.62
Merenung dalam filsafat merupakan salah metode untuk
menemukan pengetahuan. Jadi secara epistemologis, kata tadabbarun
yang terdapat dalam ayat al-Qur’an merupakan bagian dari
epistemologi. Dan kata inilah menurut al-Qur’an sebagai bentukan
dari fungsi akal yang merupakan sarana untuk memperoleh ilmu.
Sebagai contoh penyebutan kata tadabbarun dalam al-Qur'an
seperti firman Allah sebagai berikut:
60M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), volume.11, hlm. 349-350 dan 358. 61Achmad Mubarok, Jiwa dalam al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 120. 62A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir; Arab-Indonesia, edisi II.
44
ا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالهاأفل
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24)63
ربدلي كاربم كإلي اهلنأنز اباتهكتوا آي
“Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat”. (QS. Shad: 29) 64
Dalam tafsir al-Qur'anul Majid, kata tadabbarun di jelaskan
bahwa manusia diserukan untuk menyadari dan serta berfikir, kalau
segala apa yang ada di bumi atau segala ilmu pengetahuan itu berasal
dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Hal ini sebagaimana
keterangan Hasbi AshShiddiqi:
“Allah sendiri yang mentadbirkan segala urusan dunia, menyusun segala urusannya dan segala keadaan yang terjadi di dunia itu. Segala yang tersebut sesuai dengan ketetapan-Nya, berlaku menuurt kehendak-Nya. Pentadbiran segala urusan itu dimulai dari langit hingga sampai ke bumi. Kemudian segala urusan dunia itu naik kembali kepada Allah”. 65
Mengenai kata tadabbarun juga bisa di telah dalam surat as-
Sajadah ayat 5. Allah berfirman:
ألف هارم كان مقدوه في يإلي جرعي ض ثماء إلى الأرمالس من رالأم ربدي
سنة مما تعدون
“Dia menetapkan segala urusan dari langit ke bumi, kemudian naik urusan itu kepada-Nya pada suatu hari yang ukurannya 1000 tahun dari tahun-tahun yang kamu hitungkan ini.” (QS. As-Sajadah: 5). 66
63 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 833. 64 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 736 65 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Tafsir al-Qur'anul Majid, Jilid 4,
(Semarang: Pustaka RizkiPutra, t.th), hlm. 3131. 66 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 660.
45
Adapun fungsi akal dalam al-Qur'an yang menggunakan kata
tadabbarun yaitu: (a). Untuk berfikir dan merenungkan tentang
kebenaran al- Qur’an. (b). Untuk mengambil pelajaran dart apa
Yang ada dalam al- Qur'an. Dengan manusia dituntut menggunakan
akalnya untuk merenung atas apa yang diketahui dan atas apa yang
belum diketahui (makna yang terkandung dalam suatu obyek) yang
belum bisa dipahami. 67
3. Tadakkarun: yang berarti “mengingat” (berfikir) di dalam al-Qur’an
kata ini disebut sebanyak 16 kali yaitu QS: 19:67. 6:80. 32A. 7:57.
10:3. 16:90. 24:1,27. 2:221. 14:25. 39:27. 44:58. 6:126. T:26,130.
16:13. Ayat-ayat tersebut diterangkan bahwa orang yang ingat
(berfikir). Mengingat merupakan salah satu metode untuk
menemukan pengetahuan, karena dengan mengingat apa yang telah
diketahui dengan didukung data-data yang ada, maka kebenaran yang
diperoleh tidak akan menimbulkan suatu keraguan. Dan mengingat
adalah merupakan salah satu fungsi akal. Dan karena ingatan yang
lemah akan menyebabkan pengetahuan yang diperoleh akan
diragukan kebenarannya.
Ayat yang menjelas tentang kata ini bisa dicermati, seperti
dalam firman Allah QS Maryam ayat 67
أولا يذكر الإنسان أنا خلقناه من قبل ولم يك شيئا
"Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya kami telah menciptakannya dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali.(QS. Maryam: 67). 68
Uraian di atas menerangkan, bahwa fungsi akal dalam al-
Qur’an yang menggunakan kata Tadzakkara yaitu: (a). Untuk
memahami tentang asal usul manusia. (b). Untuk memahami
67 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, op.cit.,hlm.3131-3132. 68 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 470.
46
kekuasaan Allah. Disamping itu dalam konteks ini akal diberi
kebebasan untuk memahami atas apa yang diragukan, yakni untuk
menemukan pemahaman yang pada akhirnya timbullah satu keyakinan.
Dengan demikian kata tadzakkara yang merupakan fungsi akal, secara
epistemologis, menurut al-Qur’an merupakan sarana untuk memahami
pengalaman-pengalaman yang belum dapat dipecahkan maknanya.
Dengan mengingat seseorang akan dapat mengambil pelajaran dari apa
yang telah diketahuinya.
Dalam tafsir al-Maraghiy kata “tadakkarun” mengandung
pengertian berfikir, memikirkan, merenungkan, dan mengandaikan. Hal
ini sebagai penjelasan dalam surat ar-rum: 4. Dalam ayat terakhir
dijelaskan mengenai teguran pada orang yang tidak menggunakan akal
dan fikirannya, adapun penggalan ayat tersebut yaitu: 69.افال تتذكرو
Dalam Tafsir al- Mizan kata tadakkarun mengandung
pengertian “hikmah”, dan hikmah itu hanya terdapat pada orang yang
ingat, sedangkan orang yang ingat adalah orang yang berakal, maka
tidak akan ditemukan hikmah bagi orang yang tidak berakal. Orang
yang ingat adalah orang yang menghendaki perubahan menuju kearah
kebenaran.70
4. Ta’qilun : Yang berarti berakal. Kata ini berasal daru ‘aqala atau akal.
Kata akal dalam bahasa indonesia berasal dari bahsa Arab العقل (aL-
‘Aql) yang mengandung arti mengikat atau menahan, tapi secara umum
akal dipahami sebagai potensi yang disiapkan untuk menerima ilmu
pengetahuan القوةاملهية لقبول العلم . Dalam al-Qur'an kalimat al-‘aql
tidak pernah disebut dalam kata benda, tetapi selalu dalam bentuk kata
kerja, baik kata kerja f’iil madhi maupun fi’il muddhari’. Dalam al-
69 Ahmad Musthafa al-Marghiy, Tafsir al-Maraghiy, terj. Anwar Rsyid, (Semarang: Toha
Putra, 1898), hlm. 198. 70 Muhamamd Husein Thabata’i, Tafsir al-Mizan Darul al-Kuttub al-Islamiyah, (Beirut;
Dar Fikr, 1991), Juz 2, hlm. 400.
47
Qur'an kata ini disebut sebanyak 49 kali yaitu satu kali dalam bentuk
kalimat 24.عقلوه kali dalam bentuk kalimat تعقلون, satu kali نعقل, satu
kali يعقلها dan 22 kali dalam bentuk kalimat 71يعقلون
Ayat-ayat yang tersebut di atas, 7-ayat diantaranya
menerangkan tentang orang yang tidak berakal yaitu orang yang: Bisu,
tuli dan buta akan seruan Allah, bila disuruh sembahyang mereka
mengejek c. Membuat kedustaan atas nama Allah, Tidak mau
mendengar dan memahami kebenaran e. Kalau berbicara dengan suara
yang keras ,Meminta syafa’at kepada selain Allah, dan dua ayat
menerangkan tentang orang yang berakal yaitu orang yang: Jika
bertamu mereka mengucapkan salam ,dan tidak berbuat keji.
Kemudian 22 ayat lainnya menerangkan tentang fungsi akal yaitu
untuk: Untuk memahami adanya kekuasaan Allah, untuk memahami
tentang hukum Allah, untuk memahami bahwa kehidupan dunia ini
tidaklah main-main, untuk memahami bahwa alam akhirat lebih utama
daripada alam dunia, untuk mengetahui bahwa syaitan itu
menyesatkan, untuk memahami proses kejadian manusia, untuk
mengambil pelajaran dari kisah yang ada dalam al-Qur’an. Menurut Lisan al ‘Arab kata al-‘aql juga berarti احلجر yang
artinya menahan, sehingga yang dimaksud dengan orang berakal العا
adalahقل , ذى حجر orang yang menahan dan mengekang hawa nafsu kata
tersebut. Jadi orang berakal adalah orang yang bisa mencegah atau
menahan. Kata ‘aqala juga mengandung pengertian konsen terhadap
suatu pikiran. Jadi ‘aqala adalah suatu potensi kejiwaan yang dimiliki
71 Lih. Al-Qur'an. Juz 1 s/d 30
48
oleh manusia yang memiliki fungsi untuk berfikir, menalar dan
merenung. 72
Sebagai contoh penyebutan al-‘aql dalam al-Qur'an adalah
seperti dalam Surat an-Nahl ayat 12.
رخسم ومجالنو رالقمو سمالشو ارهالنل واللي لكم رخسره إن وبأم ات
في ذلك لآيات لقوم يعقلون
"Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan binatang-binatang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahaminya. (QS. An-Nahl: 12). 73
Dalam surat al-Baqarah 164.
إن في خلق السماوات واألرض واختالف الليل والنهار والفلك التي
في البحر بما ينفع الناس وما أنزل الله من السماء من ماء فأحيا تجري
به األرض بعد موتها وبث فيها من كل دآبة وتصريف الرياح والسحاب
عم يات لقوض آلياألراء ومالس نير بخسقلونالم
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera-bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan (suburkan) bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi: (pada semua itu) sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berakal”. (QS; Al-Baqarah: 164) 74
72 Imam al’Alamah Abil Fadhal Jamaludin Muhammad bin Mukarom Ibnu Mandhur Ila
Fariqil Misri, op.cit., hlm. 458-459. 73 Departemen Agama, op. cit., hlm. 403. 74 Ibid., hlm. 40.
49
Dalam tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, dijelaskan
bahwa ayat tersebut mengajak manusia untuk berfikir dan
merenungkan tentang banyak hal (ciptaan Allah). Hanya dengan
akal manusia dapat menemukan jawabannya. Dalam surat Al-
Baqarah: 171, menerangkan bahwa manusia dituntut untuk
menggunakan akalnya dalam memikirkan, menalar, mencermati,
dan melihat suatu hal. Sebagaimana firman Allah SWT ”Dan
perumpamaan orang-orang kafir adalah kafir seperti penggembala
yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan
dan seruan saja. Mereka itu bisu, tuli, dan buta, maka (oleh sebab
itu) mereka tidak berakal”. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa
orang yang tidak menggunakan, telinganya untuk mendengar, indera
nya untuk melihat, akalnya untuk berfikir, sehingga mereka tidak
dapat mengerti tentang kekuasaan dan ciptaan Allah. Orang yang
tidak berakal di sini juga bermakna mereka tidak ada kendali yang
menghalanginya melakukan keburukan, kesalahan dan mengikuti
orang-orang yang dianggap benar namun sebenarnya dia salah, hal
ini karena mereka tidak mau menggunakan akalnya. 75 Berfungsi
tidaknya akal pada manusia diungkapkan al-Qur'an dengan kalimat tanya افال تعقلون atau yang sejenisnya.
Dari 49 ayat yang menyebut al-Aql kata ‘aql mengandung
pengertian mengerti, memahami dan berpikir. Akan tetapi al-Qur'an
tidak menjelaskan bagaimana proses berpikir, namun hanya tersirat
tentang begitu besarnya fungsi akal dalam memahami, berfikir,
menelaah, merenungkan dan lain sebagainya, terhadap segala
75 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. 349-350 dan 358.
50
pengetahuan yang ada di alam semesta ini, baik yang sudah
diketahui maupun yang belum diketahuinya.
B. Term-Term yang Tidak Langsung Merujuk Epistemologi
Dalam al-Qur’an secara implisit (tidak langsung) juga terdapat ayat-
ayat yang menerangkan tentang fungsi akal dengan menggunakan beberapa
istilah yaitu:
1. Ulul Albab
Ulul Albab berarti, “orang yang berfikir”. Dalam al- Qur'an
disebut sebanyak 11 kali yaitu Q. S.: 2:179. 28:29. 2:269. 3:7. 12:111.
13:19. 14:52. 38:43. 39:9, 8, 21.76 Dalam ayat-ayat tersebut dua di
antaranya menerangkan tentang orang yang berakal yaitu mereka
yang: Di beri hikmah oleh Allah dan Beribadah di waktu malam
dengan sujud dan berdiri, takut pada azab akhirat dan dapat
membedakan mana orang yang tahu dan orang yang tidak tahu.
Kemudian ayat yang lainnya berbicara tentang fungsi akal yaitu:
Untuk mengambil pelajaran dari adanya qishash, untuk mengambil
pelajaran dari adanya ayat muhkamat dan mutsyabihat, untuk
mengambil pelajaran dari kisah-kisah terdahulu, untuk memahami
kebenaran nabi Muhammad, untuk mengetahui adanya Tuhan, untuk
berfikir kritis dari apa yang dilihat dan didengar, untuk memahami
adanya kekuasaan Allah.
Ulul Albab juga mengandung makna orang yang mengetahui
hal ini sesuai dengan firman Allah “adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui” (QS. Az-Zumar/
39: 9). M. Shihab memberikan pengertian, ulul albab itu menekankan
pada seseorang bahwa begitu besar nilai ilmu pengetahuan dan
kedudukan orang yang berilmu. Demikian juga ayat “inilah kamu
(wahai ahl al-kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamau
76 Departemen Agama, al-Qur’an, Juz 1 s/d 30..
51
ketahui, maka mengapalah membantah pula dalam hal-hal yang kalian
tidak ketahui” (QS. 3:66). Ini merupakan kritik pedas terhadap mereka
yang berbicara atau membantah suatu perkara tanpa adanya data
objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan perkara tersebut. Inilah
yang menjadikan inspirasi pra ilmuwan, karena dan penemuan dan
pemikiran ilmu pasti tidak akan pernah berkembang. 77
Berbagai macam ayat al-Qur’an yang menerangkan fungsi
akal, secara global dapat disimpulkan, fungsi akal dalam al- Qur’an
adalah:
a) Untuk memperhatikan adanya kekuasaan Allah, sehingga
menambah tebalnya iman seseorang
b) Untuk mengetahui adanya Tuhan
c) Untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah
d) Untuk mengambil pelajaran dari kisah-kisah terdahulu
e) Untuk berfikir kritis
f) Untuk menangkap kebenaran sejati yang dibawa nabi Muhammad
g) Untuk memahami ayat muhkamat dan mutasyabihat
h) Untuk berfikir segala sesuatu yang berguna untuk kebahagiaan
manusia
i) Untuk memahami dan memikirkan proses terciptanya manusia.
Dari beberapa gambaran fungsi akal di atas, al-Qur’an juga
memberikan gambaran, akal manusia itu mempunyai banyak
kelebihan. Sebab akal tersebut manusia mampu memecahkan segala
macam persoalan, dengan akal manusia menciptakan dan menemukan
berbagai macam ilmu pengetahuan. Dan kata ulul-albab ini
menunjukkan bahwa hanya orang yang berakal yang mampu
memikirkan segala macam ciptaan Tuhan, dan menciptakan kebaikan-
kebaikan di muka bumi.
Sebagai contoh ayat yang menerangkan ulul-Albab. Allah
berfirman:
77 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. 44.
52
لئكأوو الله ماهده الذين لئكأو هنسون أحبعتل فيون القومعتسي الذين
بابهم أولوا الأل
"Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar: 18)78
Asbabun nuzul ayat ini sebagaimana riwayat dari Jawahir
berikut sanadnya melalui Jabir Ibn `Abdullah, la telah menceritakan
bahwa ketika turun firman Allah surat al-Hijr ayat 44 tentang pintu
Neraka Jahannam yang berjumlah tujuh pintu, maka seorang sahabat
Anshor datang kepada Nabi dan berkata: Wahai Rasul, sesungguhya
aku mempunyai tujuh orang hamba sahaya dan sesungguhnya aku
telah memerdekakan untuk masing-masing pintu dari neraka
Jahannam itu, seorang hamba sahaya sebagai tebusan atas diriku.
Kemudian turunlah ayat sehubungan dengannya: yaitu Surat al- Zumar
ayat 17 dan 18. Pada ayat 17 dijelaskan hanya yang tidak menyembah
berhala (Thaghut) yang akan mendapat kabar gembira, dilanjutkan
dengan ayat 18 yaitu orang yang bisa memilah mana perkataan yang
baik dan mana yang buruk, semua itu dapat dilakukan hanya oleh
orang yang berakal saja.79
Dalam hal ini jelas al-Qur'an mendorong manusia untuk
menggunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuan
sebisa mungkin. Dengan potensi akal yang dimiliki manusia, manusia
tertantang untuk menumbuh kembangkan segala ilmu yang
diketahuinya. Jadi kata ulul al-bab adalah seruan kepada manusia
untuk menggunakan akalnya dalam mengungkap segala ilmu. 80
78 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 915. 748. 79 Qomaruddin Saleh dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988),
hlm. 18 dan hlm. 748. 80 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, op.cit., hlm. 44.
53
2. Ulil Abshar
Ulil Abshar; mengandung arti “orang yang mempunyai
pandangan”. Kata ini di dalam al-Qur'an disebut sebanyak 3 kali yaitu
Q.S.: 3:13. 24:44. 59:2. Ketiga ayat tersebut menerangkan bahwa
fungsi akal adalah: (a) Untuk memahami adanya kekuasaan Allah (b)
Untuk memahami kisah-kisah orang terdahulu.
Dalam tafsir Al-Misbah kata ulil abshar mengandung
pengertian orang yang memiliki penglihatan. Begitu juga dalam tafsir
al-Maraghi juga ditafsirkan sebagai orang yang memiliki penglihatan
atau pandangan. ارصا أولي الأبوا يبرتفاع; jadikanlah pelajaran wahai
orang-orang yang mempunyai akal penglihatan yang terbuka dan akal
yang kuat, atas segala fenomena alam yang mungkin tidak masuk akal
(tidak dapat di nalar). Dengan bekal akal seseorang akan mampu
melihat dan memahami secara bijak dan penuh rasa syukur. Akal dalam
konteks abshar ini mengandung pengertian bahwa akal manusia itu
tidak hanya berfungsi berfikir, akan tetapi juga berfungsi untuk menalar
dan melogika terhadap segala fenomena atau kejadian-kejadian yang
dijumpai, serta memahaminya dan memandangnya secara wajar dan
penuh permikiran, pertimbangan, pemahaman dan pandangan yang baik
dan benar. 81
Ayat yang mengandung unsur al-Abshar yaitu seperti dalam
surat:
هو الذي أخرج الذين كفروا من أهل الكتاب من ديارهم لأول الحشر ما
من الله ماهالله فأت نم مهونصح مهتانعم مهوا أنظنوا وجرخأن ي منتظن
81 Ahmad Musthafa al-Marghiy, Tafsir al-Maraghiy, 28, terj. Anwar Rsyid, (Semarang:
Toha Putra, 1898), hlm. 54.
54
ي ث لميح ديهمم بأيهوتيون بربخي بعالر في قلوبهم قذفوا وسبتح
وأيدي المؤمنني فاعتبروا يا أولي الأبصار
Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab82 dan kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah: maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah kejadian, untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang memiliki pandangan. (QS. Al-Hasyr: 2) 83
Surat al-Nur ayat 44;
.ليل والنهار إن في ذلك لعبرة لأولي الأبصاريقلب الله ال
"Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan." (QS. Al-Nur: 44).84
Dari beberapa ayat di atas menunjukkan bahwa hanya orang-
orang yang memiliki akal yang mampu mengambil suatu sikap yang
dapat menyelamatkan dirinya. Jadi akal memiliki peran penting dalam
diri seseorang, sebab dengan akal tersebut seseorang mampu berfikir
hal yang terbaik untuk dirinya dan untuk orang lain. Dengan demikian
bagi orang yang mau menggunakan akalnya, dia akan mampu
mengarahkan dirinya, sehingga dia akan selamat dan keluar dari
berbagai macam kesulitan yang dihadapi. Secara epistemologis kata
ini merupakan bagian dari fungsi akal, yaitu untuk memahami sesuatu
yang belum diketahuinya.
82 Yang dimaksud dengan ahli kitab ialah orang-orang Yahudi bani nadhir, merekalah
yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir keluar dari kota madinah. 83 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 915. 84 Departemen Agama Ri, op. cit., hlm. 552
55
Dalam hal ini dapat kita fahami bahwa akal manusia dapat
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, dan mampu
memilah-milah hal-hal yang seharusnya diambil untuk dilaksanakan
dan mana hal-hal yang seharusnya ditinggalkan, dengannya pula
manusia dapat menemukan kebenaran, walaupun kebenaran disini
masih bersifat relatif karena kebenaran yang mutlak hanyalah
kebenaran dari Allah semata, dengan akal juga, manusia mampu
membedakan mana ukuran baik yang relatif dan ukuran baik yang
pasti (qath’i).
Dewasa ini diakui oleh para ilmuwan, sejarah, filsafat, sains,
bahwa segala gejala yang dipelajari sebenarnya ditentukan oleh
pandangan terhadap realitas atau kebenaran. Hal ini mustahil dapat
tercapai apabila manusia tidak mau menggunakan akalnya untuk
memahami dan menggunakan inderanya untuk melihat segala bukti
(data empirik) yang telah diketahuinya. Dengan demikian “hanya
orang-orang yang mau menggunakan penglihatan dan akalnyalah yang
dapat menemukan ilmu dan mengembangkannya. 85
85 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, op. cit., hlm. 62.
top related