amdal case control

Upload: andi-merliani-syahrir

Post on 21-Jul-2015

116 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS MALAYI Di WILAYAH KERJA PUSKESMAS CEMPAKA MULIA KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR PROPINSI KALIMANTAN TENGAH Budi SetiawanJurusan Epidemiologi dan Penyakit Tropik FKM Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta Jl. Prof. Dr. Soepomo, S.H., Janturan, Yogyakarta 55164, Indonesia E-mail: [email protected]

ABSATRAK Filariasis merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria. Ketiga spesies tersebut tersebar luas di wilayah Indonesia, tetapi setiap spesies mempunyai daerah sebaran sendiri sesuai dengan karakteristik vektornya, sehingga setiap wilayah berbeda spesiesnya. Brugia malayi merupakan salah satu agen filariasis yang banyak ditemukan di daerah Kalimantan, khususnya Kabupaten Kotawaringin Timur, Propinsi Kalimantan Tengah. Penyakit tersebut telah menjadi penyakit endemik di Kabupaten tersebut. Filariasis tidak mengakibatkan kematian, tetapi dapat mengakibatkan kecacatan seumur hidup, stigma sosial negatif, serta hambatan psikososial sehingga, menurunkan produktivitas kerja penderita, keluarga, dan masyarakat yang menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Biaya perawatan yang diperlukan penderita filariasis pertahun adalah 17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3% dari biaya makan keluarga. Dalam mengatasi filariasis, khususnya mencegah terinfeksinya hospes, diadakan penelitian yang dapat mengidentifikasi berbagai macam faktor risiko penyebab filariasis. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko (keluar malam, pemakaian kelambu, penggunaan kawat kasa, dan memelihara kucing) yang berhubungan dengan filariasis. Penelitian ini menggunakan case-control study, hasilnya dianalisis menggunakan chi-square dengan taraf signifikansi 95% dan penghitungan Odds Ratio (OR), sehingga diketahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan seberapa besar risiko terjadinya variabel bebas. Pembahasan dalam tulisan ini difokuskan pada ketidaksesuaian antara teori dengan hasil penelitian yang diperoleh di lapangan. Kesimpulan yang diperoleh adalah tidak adanya hubungan antara keluar malam (P=0,15; OR=1,93), penggunaan kelambu (P=0,29; OR=1,71), penggunaan kawat kasa (P=0,71; OR=0,82), dan memelihara kucing (P=0,76; OR=1,15) dengan kejadian filariasis. Hal ini penting bagi pengembangan program eliminasi filariasis di daerah endemik, khususnya yang terkait dengan perilaku hospes. Kata kunci: brugia malayi, filariasis, faktor risiko.

1. PENDAHULUAN Filariasis merupakan penyakit menular menahun yang sampai saat ini masih banyak terdapat di dunia. Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara seluruh dunia dan 1/5 penduduk dunia atau 1,1 milyar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan subtropis (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-71

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

2006a). Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis, yang menyebabkan rawan terjadinya filariasis. Penduduk yang mempunyai kebiasaan tidur diruang terbuka sehingga sulit menggunakan kelambu serta rumah dengan ventilasi yang tidak memakai kawat kasa merupakan salah satu aspek untuk terpapar filaria karena gigitan nyamuk dan juga kebiasaan penduduk yang berada diluar rumah pada malam hari akan semakin meningkatkan risiko terpapar filaria (Putra, 2007). Penyakit ini tidak mengakibatkan kematian, tetapi dapat mengakibatkan kecacatan seumur hidup, stigma sosial, serta hambatan psikososial sehingga menurunkan produktivitas kerja penderita, keluarga, dan masyarakat yang menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Hasil penelitian Departemen Kesehatan dan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia tahun 1998 dalam Depkes RI (2006a), menunjukan bahwa biaya perawatan yang diperlukan seorang penderita filariasis pertahun 17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3% dari biaya makan keluarga. Berdasarkan survei yang dilaksanakan pada tahun 2000-2004, di Indonesia terdapat lebih dari 8000 orang menderita klinis kronis filariasis yang tersebar di seluruh propinsi. Secara epidemiologi, data ini mengindikasikan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang berisiko tinggi tertular filariasis, dengan enam juta penduduk diantaranya telah terinfeksi (Depkes RI, 2006a). Survei lain mengatakan sebanyak 8.243 orang di Indonesia telah menderita klinis kronis filariasis terutama di pedesaan (Depkes RI, 2006a), sedangkan berdasarkan survei cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.233 orang tersebar di 1.553 desa, di 231 kabupaten, 26 propinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya dilaporkan oleh 42% puskesmas dari 7.221 puskesmas. Kabupaten Kotawaringin Timur dengan ibu kota Sampit, yang terletak di Propinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah endemis filariasis. Dalam laporan Hasil Eliminasi dan Pengobatan Filariasis Tahun 2006, menyatakan bahwa, microfilaria rate di seluruh daerah (kecamatan) di Sampit diatas satu persen. Kecamatan Cempaga, yang dibagi menjadi delapan desa, hanya satu desa Mf rate nya 0 (nol) persen, yaitu desa Lubuk Ranggan (pengambilan sampel, tahun 1994). Berdasarkan penelitian Soeyoko (1994), dari hasil pemeriksaan serologis dengan antibodi monoclonal pada penduduk di Desa Lubuk Ranggan, Patai, dan Luwek Bunter, 38,8% penduduk pernah terpapar filaria. Kebiasaan penduduk berpengaruh terhadap tingginya Mf rate di Kecamatan Cempaga. Menurut Soeyoko (1994) dalam jurnal Berita Kedokteran Masyarakat (1998), laki-laki mempunyai risiko yang lebih besar dari perempuan untuk terinfeksi filariasis, tapi secara statistik tidak bermakna. Menurut Depkes RI (2006e), hal ini berkaitan dengan intensitas kontak dengan vektor filariasis, sebagai contoh, kebiasaan keluar malam, tidak memakai kelambu saat tidur, ventilasi yang tidak tertutup, akan meningkatkan risiko terinfeksi.

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-72

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

Penelitian yang dilakukan Mahdiansyah (2002), di Sampit, mendapatkan gambaran tentang kebiasaan penduduk yang memakai kelambu dan keluar malam. Penduduk yang mempunyai kebiasaan tidur tidak memakai kelambu sebesar 1,74% dan yang memakai kelambu 98,25%, sedangkan penduduk yang tidak mempunyai kebiasaan keluar malam sebesar 6,39% dan yang mempunyai kebiasaan keluar malam sebesar 93,60%. Hasil penelitian tersebut hanya dilakukan di satu desa, dengan jumlah sampel sebanyak 172 responden. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penelitian ini dilakukan.

2. METODE PENELITIAN 2.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan menggunakan rancangan studi case control (kasus kontrol). Desain kasus kontrol memilih kelompok penelitian berdasarkan status penyakit, satu kelompok dengan penyakit, yaitu kasus dan kelompok lainnya tanpa penyakit, yaitu kontrol (Murti, 2003). Desain tersebut bertujuan untuk mengetahui besarnya risiko masing-masing variabel yang diteliti, yaitu dengan menghitung Odds Ratio (OR).

2.2 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di wilayah penelitian. Sampel sebanyak 90 orang yang diambil berdasarkan kriteria inklusi dan eklusi.

2.3 Teknik Pengumpulan Data Penetapan kasus melalui data sekunder yang terdapat dalam laporan hasil puskesmas, sehingga sudah dinyatakan positif oleh pihak Puskesmas Cempaka Mulia. Cara pengambilan sampel menggunakan totality sampling. Seluruh warga yang namanya tercantum dalam hasil laporan puskesmas dijadikan sampel kasus filariasis, yang berada di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, dan kemudian ditelusuri ke alamat dari kasus yang terambil, yaitu sebanyak 30 orang warga. Pembanding diambil dari tetangga yang tidak menderita filariasis (berdasarkan data sekunder dan primer) dan dilakukan penyetaraan terhadap umur dan jenis kelamin. Perbandingan jumlah kasus dan kontrol perbandingannya 1:2.

2.4 Analisis Data Analisis data hasil penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu: 1. Analisis bivariat (tabulasi silang)

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-73

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

Analisis bivariat adalah uji hipotesis antara dua variabel, yakni satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Out put atau hasil keluaran berupa odds ratio (OR) dan P value. Nilai P merupakan peluang untuk mendapatkan hasil yang diperoleh bila hipotesis diterima (Sastroasmoro, 2002). Analisis bivariat dilakukan pada masing-masing variabel untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang diteliti dengan kejadian filariasis. Ada tidaknya perbedaan atau kemaknaan secara statistik ditunjukkan dari hasil perhitungan tabel silang 2x2. Tingkat kepercayaan yang digunakan 95% dan P < 0,05, artinya Ha (hipotesis alternatif) akan bermakna jika P < 0,05 dan atau Confidence Interval (CI) tidak mencakup angka satu. Variabel yang bermakna kemudian dianalisis secara bersamaan melalui analisis multivariat. Namun, apabila secara statistik tidak bermakna tapi secara biologis bermakna, maka apabila P < 0,25 variabel tersebut tetap dilanjutkan pada analisis multivariat. Analisis data menggunakan komputerisasi dengan bantuan program SPSS 15. for windows. 2. Analisis multivariat Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan variabel manakah yang menjadi faktor paling dominan terhadap kejadian filariasis. Variabel bebas yang telah dilakukan analisis multivariat dengan menggunakan analisis regresi logistik, dikatakan bermakna secara statistik dan dikatakan sebagai faktor risiko penyebab kejadian filariasis jika P < 0,05 dan CI tidak mencakup angka satu. Analisa data dengan menggunakan komputerisasi dengan bantuan program SPSS 15. for windows. 3. Pengendalian confounder saat penelitian, menggunakan teknik matching yaitu proses pemilihan kelompok kontrol sehingga kelompok kontrol tersebut sama dengan kelompok kasus dalam hal karekteristik umur dan jenis kelamin (Sastroasmoro, 2002).

2.5 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan kebiasaan keluar malam dengan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah. 2. Ada hubungan pemakaian kelambu dengan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah. 3. Ada hubungan rumah yang ventilasinya memakai kawat kasa dengan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah. 4. Ada hubungan memelihara kucing dengan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah.

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-74

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Penelitian Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang yang bertujuan untuk melihat hubungan variabel bebas (independent) dengan variabel terikat (dependent) berdasarkan distribusi sel-sel yang ada. Uji statistik yang digunakan adalah chi square (X2) dengan tingkat kemaknaan p