case control

Upload: iank-park-ii

Post on 17-Jul-2015

364 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Status kesehatan merupakan salah satu tolak ukur untuk mengetahui tumbuh kembang suatu negara. Dimana apabila masyarakat suatu negara mengalami status kesehatan yang buruk maka tingkat produktivitas juga akan terganggu dan menghambat pemasukan hasil negara. Adapun salah satu penyakit yang dapat mempengaruhi tingkat produktivitas tersebut adalah penyakit Morbus Hansen. Penyakit Morbus Hansen atau yang sering juga disebut penyakit kusta, penyakit lepra atau masyarakat desa menyebutnya penyakit kutukan adalah salah satu penyakit yang menyerang susunan saraf tepi seseorang. Hal ini ditegaskan oleh Kosasih, dkk (Djuanda,2007) bahwa kusta termasuk penyakit tertua dan penyakit infeksi yang kronik yang dimana disebabkan oleh Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Menurut Word Health Organizations (WHO), penyakit kusta terdiri atas 2 tipe yaitu : Tipe PB ( Pausi Basiler ) dan Tipe MB ( Multi Basiler ). Sedangkan menurut Harahap (1998) bahwa klasifikasi yang banyak di pakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan

penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinik, bakteriologik, histopatologik dan imunologik. Klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan. Kelima kelompok tersebut yaitu : tipe TT (Tuberkuloidtuberkuloid), tipe BT (Borderline Tuberkuloid), tipe BB (Borderline-borderline), tipe BL (Borderline Lepromatous) dan tipe LL (Lepromatous-lepromatous). Amiruddin (2003) berpendapat bahwa pada kemajuan teknologi di bidang promotif, pencegahan,pengobatan, dan pemulihan di bidang kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi dan seharusnya sudah tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Tetapi karena masih banyaknya masyarakat yang belum mengetahui mengenai penyakit kusta ini, terutama mengenai tanda dini dan akibat yang ditimbukannya serta cara perawatannya maka penyebaran penaykit kusta tetap saja terjadi. Diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda dengan diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985. Diantara 11 negara penyumbang penderita kusta di dunia, Indonesia menempati urutan ke 4 setelah India, Brazil, dan Myanmar. Tahun 2008 Indonesia telah mencapai indikator eliminasi kusta yang ditetapkan World Health Organization (WHO) yaitu kurang dari 1 per 10.000

penduduk (Kosasih et al., 2007). Case Detection Rate (CDR) penyakit kusta di Indonesia tahun 2008 menurun menjadi 0,76 per 10.000 penduduk, terdiri dari Pausi basiler sebesar 3.113 kasus (17,85%) dan tipe kasus (82,15%) (Depkes RI, 2009). tipe

Multi basiler sebesar 14.328

Untuk wilayah Sulsel, situasi penderita Kusta hampir sama dengan pola Nasional, dimana jumlah penderita dan prevalensi rate per 10.000 penduduk mengalami penurunan yang tidak signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002, jumlah penderita Kusta yang terdaftar sebanyak 1.782 orang yang terdiri dari 296 penderita type PB dan 1.486 type MB, sedangkan penderita RFT sebanyak 381 orang dengan 98 orang type PB dan 283 orang type MB serta

prevalensi penderita kusta tetap sebesar 2,2 per 10.000 penduduk.

Sementara untuk tahun 2003, jumlah penderita Kusta yang terdaftar sebanyak 1.515 orang yang terdiri dari 212 penderita type PB dan 1.303 type MB, sedangkan penderita RFT sebanyak 1.685 orang dengan 461 orang type PB dan 1.224 orang type MB serta prevalensi penderita kusta juga tetap sebesar 2,0 per 10.000 penduduk. Untuk tahun 2004, jumlah penderita Kusta yang terdaftar penderita type PB dan 1.378 type MB, dan prevalensi penderita kusta

sebanyak 1.568 orang yang terdiri dari 190

sedangkan penderita RFT sebanyak 1.128 orang

sebesar 2,0 per 10.000 penduduk. Tahun 2005, jumlah penderita Kusta yang terdaftar sebanyak 1.886 orang yang terdiri dari 285 penderita type PB dan 1.601 penderita

type MB, sedangkan penderita RFT sebanyak 303 orang dan prevalensi

kusta sebesar 2,3 per 10.000 penduduk. Sementara untuk tahun 2006, jumlah penderita Kusta yang terdaftar sebanyak 1.561 orang yang terdiri dari 206 penderita type PB dan 1.355 type MB, RFT sebanyak 1.099 dan prevalensi rate sebesar 2,1 per 10.000 penduduk dan untuk tahun 2007 jumlah penderita kusta yang terdaftar sebanyak 1.634 orang dengan RFT sebanyak 862 dengan

prevalensi rate sebesar 2,1 per 10.000 penduduk Sedangkan di tahun 2008 ini jumlah penderita kusta yang terdaftar sebanyak 2.770 orang yaitu penderita PB ( Pausi Basiler ) sebanyak 839, penderita Multi Basiler (MB) sebanyak 987 orang dan penderita RFT PB sebanyak 486 orang dan RFT MB sebanyak 458 orang (Dinkes Sul Sel, 2008).

Di Kabupaten Jeneponto, khususnya di Bontoramba penderita kusta di daerah mencakup 76 orang dari total 278 dari seluruh daerah kerja puskesmas di Kabupaten Jeneponto. Dengan mengamati kejadian penyakit kusta dalam keluarga, maka tampak bahwa kejadian penyakit ini lebih sering ditemukan pada gugus tertentu, terutama pada gugus keluarga. Namun, dalam hal ini timbul pertanyaan, apakah hal ini lebih mempengaruhi oleh faktor genetik, mengingat bahwa kedua faktor ini sangat erat hubungannya dengan kehidupan keluarga. Selain berbagai faktor lain dilaporkan oleh beberapa penelitian, yang juga mempunyai hubungan dengan kejadian dan penyebaran penyakit kusta seperti faktor iklim, diet dan status gizi, status sosial ekonomi, keadaan cuaca yang panas dan lembab, serta keadaan tanah. Cara dan

mekanisme penularan penyakit kusta belum begitu jelas sampai saat ini. Yang paling banyak dianut sampai saat ini adalah penularan melalui kontak langsung antara penderita aktif dengan orang sehat. Disamping itu, sebagian ahli

mengemukakan adanya kemungkinan penularan melalui saluran pernapasan seperti pada penyakit Tuberkulosis. Pada akhir-akhir ini juga dikemukakan kemungkinan penularan melalui saluran pencernaan serta melalui vektor/serangga. Berbagai penelitian menunjukan bahwa penderita kusta bentuk lepromatosa tampak bahwa secara umum prevalensi pada laki-laki lebih tinggi daripada prevalensi wanita. Namun, harus diperhatikan bahwa perbedaan insidensi dan prevalensi kusta menurut jenis kelamin mungkin saja disebabkan oleh berbagai faktor seperti bias/kesalahan pada pemeriksaan karena pada umumnya petugas

kusta adalah pria sehingga sangat mungkin banyak wanita yang tidak diperiksa dengan teliti hingga lolos sebagai kasus, terutama pada tahap awal penyakit. Disamping itu, mungkin pula terjadinya perbedaan itu karena pengaruh biologis ataupun perbedaan kegiatan sosial. Laki-laki, berdasarkan kebiasaan hidupnya sehari-hari, mungkin akan lebih besar tingkat keterpaparannya ketimbang wanita. Sangat sulit untuk menentukan apakah faktor biologis ataukah faktor lingkungannya yang menimbulkan perbedaan insidensi antara dua jenis kelamin tersebut. Akan tetapi, faktor lingkungan yang lebih memegang peranan. Melihat bahwa faktor lingkungan lebih memegang peranan dalam penularan penyakit, maka penulis mencoba melakukan penelitian tentang beberapa faktor yang berhubungan kondisi fisik rumah dengan kejadian penyakit Morbus Hansen di Bontoramba Kabupaten Jeneponto.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana hubungan kondisi fisik rumah dengan kejadian penyakit Morbus Hansen berdasarkan suhu dan kelembaban, ventilasi, kepadatan hunian, serta pencahayaan di wilayah X. C. Tujuan 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kondisi fisik rumah dengan kejadian penyakit Morbus Hansen di wilayah .X.2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui hubungan antara suhu dan kelembaban dengan kejadian

penyakit Kusta di wilayah .X..b. Untuk mengetahui hubungan antara ventilasi dengan kejadian penyakit

Kusta di wilayah X..c. Untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian

penyakit Kusta di wilayah .X.d. Untuk mengetahui hubungan antara pencahayaan dengan kejadian penyakit

Kusta di wilayah X. D. Manfaat 1. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan ilmiah penulis, serta mengaplikasikan ilmu dan menjadi pengalaman yang sangat berharga selama menempuh pendidikan di Fakulas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar. 2. Hasil penelitian diharapakan sebagai sumber bacaan atau masukan bagi instansi yang berwenang untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil suatu kebijakan dalam upaya program pengendalian penyakit.3. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan

menjadi bahan bacaan bagi peneliti berikutnya.

E. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada pembahasan mengenai kondisi fisik rumah yang berhubungan dengan penyakit Morbus Hansen di wilayah .X. dengan kejadian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Penyakit Morbus Hansen

1. Definisi

Kusta (Morbus Hansen) adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. (Amiruddin, 2003) Selain itu, nama lain dari penyakit kusta adalah the great imitator (pemalsu yang ulung) karena manifestasi penyakitnya menyerupai penyakit kulit atau penyakit saraf lain, misalnya penyakit jamur. (Widoyono, 2008)

Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan insiden ini hampir sama bahkan ada daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak. Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Namun demikian, jarang dijumpai pada umur yang sangat muda. Frekuensi terbanyak adalah pada umur 15-29 tahun, walaupun pernah didapatkan di Pulau Nauru, pada keadaan epidemi, penyebaran hampir sama pada semua umur. Terdapat perbedaan baik perbedaan ras maupun perbedaan geografik. Ras Cina, Eropa, dan Myanmar lebih rentan terhadap lepromatous dibandingkan dengan ras Afrika, India, dan Melanesia. Beberapa faktor lain yang dapat berperan dalam kejadian dan penyebaran kusta antara lain adalah iklim (cuaca panas dan lembab), diet, status gizi, status sosial ekonomi dan genetik. (Amiruddin, 2003)

2. Etiologi Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae , yang ditemukan oleh warganegara Norwegia, G.A Armauer Hansen pada tahun 1873 dan sekarang belum dapat dibiakkan dalam media buatan. sampai Kuman

Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um X 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta bersifat Gram positif. Mycobacterium leprae

hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell ) dan sistem retikulo endothelial. (Djuanda,2005) 3. Masa Inkubasi Masa inkubasi kusta bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, dengan rata-rata 3-5 tahun. Masa inkubasi berkaitan dengan pembelahan yang lama, yaitu antara 2 3 minggu dan di luar tubuh manusia tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 27 300

sel

(kondisi optimal in

C. (Djuanda, 2005)

4. Proses Penularan Berdasarkan American Public Health Association (2000), bahwa cara penularan yang pasti belum diketahui secara jelas di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat berpengarauh dalam penularan. Brtjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita tipe lepromatosa yang tidak terobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang

kering. Organisme kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan atas dan melalui kulit yang terluka. Pada anak-anak dibawah umur satu tahun, diduga penularannya melalui plasenta. ( Chin J. 2000) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yudied et. al. (2007). Faktor risiko penularan penyakit kusta adalah: a) Usia Usia muda mempunyai faktor resiko tertular penyakit kusta semakin tinggi, keadaan demikian dapat terlihat dimana pekerjaan temyata yang tertinggi menjadi siswa 8 (25%) orang yang terkena kusta. b) Pengetahuan Berdasarkan penelitian terdapat (90,6%) masyarakat yang tidak tahu kapan mulai terkena kusta. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap penyakit kusta masih rendah dan karena ketidaktahuan makanya mereka tidak segera berobat atau memeriksakan diri. Masa sebelum pengobatan tersebut saat yang rawan untuk menularkan penyakit kusta kepada orang lain. Sebagian besar masyarakat juga tidak pernah mendapatkan

penyuluhan terbukti tentang kusta. Hal ini dapat terlihat pada 32 responden dimana hanya 10 orang (31,3%) yang mendapatkan penyuluhan sedangkan yang 22 orang (68,8%) tidak pernah. Hal ini merupakan faktor risiko penularan yang tinggi karena ketidaktahuan masyarakat tentang penyakit

kusta akan memudahkan terjadinya penularan lebih-lebih di daerah yang endemis. c) Kontak dengan penderita Dari penelitian didapatkan bahwa sekitar 71% terdapat orang yang sakit lama tinggal serumah, untuk tetangga terdapat 57,1% responden mempunyai tetangga yang sakit kusta. Dari adanya kontak dengan penderita menunjukan 100% ada kontak. Teman bergaul dari 28,6% responden yang menderita sakit kusta. Melihat data tersebut menunjukkan bahwa kontak terjadi di lingkungan sekitar rumah. d) Kondisi lingkungan Penularan melalui lingkungan bisa saja terjadi dimungkinkan karena kondisi sanitasi yang kurang baik meliputi kebersihan rumah, kelembapan ruangan, fasilitas sanitasi yang jelek, kebiasaan masyarakat tidur bersamasama, pakai pakaian bergantian, handuk mandi secara bergantian dan BAB di kebun juga dapat memicu terjadinya penularan berbagai macam penyakit dan juga tidak menutup kemungkinan juga penyakit kusta.B. Tinjauan tentang Lingkungan Rumah

Rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan sarana pembinaan keluarga yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Rumah harus menjamin kesehatan penghuninya dalam arti luas. Oleh sebab itu diperlukan syarat perumahan yang dapat memenuhhi

kebutuhan Fisiologi (suhu, pencahayaan, kebisingan, ventilasi), dapat memnuhi kebutuhan Psikologis, dapat melindungi terhadap penularan penyakit, dan dapat mencegah terhadap bahaya kecelakaan dalam rumah. (Mukono,2006) Rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi syarat kesehatan dan kenyamanan dipengaruhi oleh 3 (tiga) aspek, yaitu pencahayaan, penghawaan,

serta suhu udara dan kelembaban dalam ruangan. (Kepmen-Kimpraswil,2002) Menurut Notoatmodjo (2007) bahwa m asalah kesehatan lingkungan di negara-negara yang sedang berkembang adalah berkisar pada sanitasi (jamban), penyediaan air minum, perumahan ( Housing) dan sebagainya. Syarat-syarat untuk kategori rumah sehat, yaitu : 1. Bahan Bangunan a) Lantai Ubin atau semen adalah baik, namun tidak cocok untuk kondisi ekonomi pedesaan. Lantai kayu sering terdapat di rumah-rumah orang yang mampu di pedesaan dan itupun mahal. Oleh karena itu, lanatai rumah pedesaan cukuplah tanah biasa yang dipadatkan. Syarat penting di sini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Karena lantai yang berdebu dan basah akan menimbulkan sarang penyakit. b) Dinding

Tembok dalah dinding yang baik, namun disamping mahal, tembok sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis, lebih-lebih bila ventilasi tidak cukup. Dinding untuk daerah tropis di pedesaan sebaiknya papan. Sebab meskipun jendela tidak cukup, maka lubang-lubangpada dinding atau papan tersebut dapat menjadi ventilasi dan menambah penerangan alamiah. c) Atap Untuk di daerah tropis, atap yang cocok adalah genteng. Dimana genteng ini juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan bahkan masyarakat juga dapat membuatnya sendiri. Namun demikian, kebanyakan masyarakat pedesaan lebih memilih daun rumbai atau daun kelapa yang dikarenakan keterbatasan biaya. Seng atau asbes tidak cocok untuk pedesaan karena dapat menimbulkan suhu panas dalam rumah dan harganya juga mahal. 2. Ventilasi Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara dalam rumah tersebut tetap segar. Fungsi yang kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri pathogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Dan fungsi yang lainnya adalah, untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum. Laju ventilasi untuk ruangan rumah yang memenuhi syarat kesehtan adalah 0,15 0,25 m/detik ( Permenkes, 2011).

Ada dua macam ventilasi, yaitu : (1) Ventialsi alamiah yaitu aliran udara dalam ruangan yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang dinding, dan sebagainya. Tapi dipihak lain, ventilasi alamiah dapat menjadi jalan masuknya vektor seperti nyamuk, lalat, dan sebagainya. (2) Ventilasi buatan yaitu, dengan menggunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara tersebut. Misalnya kipas angin, dan mesin pengisap udara. 3. Pencahayaan Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak telalu banyak. Kurangnya cahaya masuk ke dalam rumah, terutama cahaya matahari, di samping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk berkembangnya bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya dalam rumah akan mengakibatkan silau yang akhirnya dapat merusa mata. Adapun cahaya dibedakan menjadi 2, yaitu : (1) Cahaya alamiah, yaitu matahari. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri pathogen dalam rumah, misalnya yang berupa sejenis basil penyakit. (2) Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti listrik, lampu minyak tanah, dan sebagainya. Sedangkan menurut WHO (1974) bahwa kriteria rumah sehat yang tercantum dalam Residential Environment, antara lain (Chandra, 2006) :

1) Harus dapat melindungi dari hujan, panas, dingin dan berfungsi sebagai tempat istirahat. 2) Mempunyai tempat-tempat untuk tidur, masak, mandi, mencuci, kakus, dan kamar mandi. 3) Dapat melindungi dari bahaya kebisingan dan bebas dari pencemaran. 4) Bebas dari bahan bangunan yang berbahaya. 5) Terbuat dari bahan bangunan yang kokoh dan dapat melindungi penghuninya dari gempa, keruntuhan, dan penyakit menular. 6) Memberi rasa aman dan lingkungan tetanggga yang serasi. Adapu kriteria rumah sehat yang lihat berdasarkan keadaan suhu, kelembaban dan kepadatan huniannya, yaitu sebagai berikut :

1. Suhu Suhu merupakan derajat dalam ruang rumah yang terlalu rendah dapat menyebabkan gangguan kesehatan hingga hypotermia, sedangkan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan dehidrasi sampai dengan heat strok. 2. Kelembaban Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikroorganisme. Tingkat kelembaban yang disarankan khusus untuk ruangan rumah oleh Permenkes, 2011adalah berkisar antara 40 60 % Rh

3. Kepadatan Hunian Untuk membebaskan udara dari kuman, bukanlah pekerjaan yang mudah, karena sebenarnya pada ruangan yang dihuni oleh seseorang pasti mengandung kuman yang berasal dari hidung, tenggorokan. Dalam upaya membebaskan udara dari kuman tidak dilakukan pada keadaan atau tempat tertentu saja. Sanropie, et al. (1989) mengatakan kepadatan hunian di suatu ruangan ditentukan oleh luas ruangan tersebut dan jumlah orang yang menempati ruangan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin banyak orang yang berada dalam suatu ruangan maka dikatakan bahwa ruangan tersebut semakin padat huniannya. Kepadatan hunian merupakan rasio (perbandingan) antara jumlah penghuni dengan luas lantai ruangan, dimana tiap ruangan tidak memenuhi syarat bagi penghuninya bila luas lantai ruangan 4,5 m2 / tempat tidur. Itulah sebabnya suatu tempat atau ruangan yang over crowded dan ventilasi yang jelek, orang merasa tidak nyaman. Apalagi pada ruangan yang ber-AC terdapat banyak orang, sedangkan kerja AC terbats sesuai dengan daya kerja yang memilkinya, maka kemampuan mengerakkan udara akan menurun. ( Sumarni, 2008)C. Tinjauan tentang Hubungan Lingkungan Rumah dan Penularan Penyakit

Kusta Sumber penularan di luar manusia, yaitu dari lingkungan mengingat banyaknya kasus yang ditemukan tanpa adanya riwayat kontak langsung dengan penderita kusta. Secara tidak langsung, sumber penularan kusta dapat juga melalui

lingkungan. Mycobacterium leprae mampu hidup di luar tubuh manusia dan dapat ditemukan pada tanah atau debu di sekitar lingkungan rumah penderita, bahkan juga ditemukan pada air untuk mandi dan mencuci. (Awaluddin,2004) Beberapa faktor lingkungan rumah yang secara umum mempengaruhi penularan kusta terdiri yaitu: 1. Suhu Abulafia (1999) menyatakan bahwa Mycobacterium leprae, tumbuh dengan baik pada suhu 27C-30C. Suhu dan kelembapan mempengaruhi pertumbuhan leprosy bacilli di luar tubuh. Basil lepra dapat bertahan hidup lebih panjang pada suhu 26,9-29,4C dan kelembapan 70-90 % (Ginting, 2006). 2. Kelembaban Basil lepra dapat bertahan hidup lebih pada kelembapan 70-90 %. 3. Pencahayaan Pencahayaan yang baik dinilai dari ada tidaknya jendela/ ventilasi atau dibuka tidaknya jendela/ ventilasi. Berdasarkan penelitian Yudied et. al. (2007) didapatkan bahwa sebesar 59% responden (orang yang berpenyakit kusta) tidak memiliki ventilasi ataupun jarang membuka ventilasi di rumahnya. 4. Kondisi lantai Kasus kusta banyak terdapat di wilayah yang jumlah rumah lantai dari tanah besar dari 2000 rumah tangga. Kondisi ini rnemperlihatkan bahwa banyaknya rumah tangga yang lantai rumahnya dari tanah pada suatu wilayah

mempercepat penyebaran suatu penyakit. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh WHO bahwa Mycobacterium leprae pada tanah yang basah pada suhu kamar dapat bertahan selama 46 hari (Ginting, 2006).

BAB III KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti Penyakit kusta merupakan salah satu masalah dan tantangan dalam upaya peningkatan status kesehatan suatu negara, dimana penyakit kusta ini adalah salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian pada seseorang. Beberapa faktor yang berhubungan dengan tingkat kejadian penyakit kusta antara lain status ekonomi yang rendah, keadaan lingkungan yang tidak sehat, status gizi, serta lama kontak.

Pada penelitian ini akan menganalisis mengenai hubungan antara keadaan suhu, kelembaban, ventilasi, kepadatan hunian, pencahayaan dengan kejadian penyakit kusta, yang masing-masing diuraikan sebagai berikut : 1. Suhu dan Kelembaban Pengaturan suhu dan kelembaban udara dalam ruangan bertujuan agar suhu dan kelembaban udara dalam keadaan stabil. Suhu ruangan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan membuat sistem pengaturan suhu tubuh bekerja tidak efektif, sehingga akan membuat kondisi fisik menurun, akibatnya seseorang akan mudah tertular penyakit. Suhu ruangan berkisar antara 18-30C dengan suhu optimum 26C sedangkan kelembaban berkisar antara 40-70% dengan kelembaban optimum adalah 60%. 2. Ventilasi Keberadaan ventilasi merupakan usaha untuk menjaga kondisi atmosfir dalam ruangan agar tetap segar, bebas dari bakteri patogen, menjaga kelembaban, serta menyehatkan bagi manusia. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan dan penyerapan cairan sehingga akan menjadikan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri-bakteri patogen penyakit. Adapun luas ventilasi yang dianjurkan sebaiknya 10-20% dari luas lantai termasuk jendela dan pintu. (SK Menkes, 1999) 3. Kepadatan Hunian

Suatu rumah tinggal dapat dikatakan padat apabila anggota keluarga yang tinggal didalam ruangan dengan ukuran luas < 10 m/orang. Oleh sebab itu, jumlah hunian di dalam rumah harus disesuaikan dengan luas rumah agar tidak terjadi kepadatan yang berlebihan atau over crowding. Menurut Notoatmodjo menyatakan bahwa luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan kurangnya konsumsi O2 , juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi akan mudah menularkan kepada anggota keluarga yang lainnya.

4. Pencahayaan Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak terlalu banyak ataupun tidak kurang. Apabila cahaya yang masuk ke dalam rumah sangat kurang, hal ini akan mengakibatkan bibit penyakit hidup dan berkembang dengan cepat. Cahaya matahari yang masuk dalam rumah sangat berguna untuk menerangi ruangan, mengurangi kelembaban, mengusir vektor, dan berguna juga sebagai Germicid (pembunuh kuman dan bakteri). Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15-20% dari luas lantai yang terdapat didalam ruangan rumah. Cahaya matahari diusahakan masuk kedalam ruangan secara langsung, tidak terhalang oleh bangunan lain. Pencahayaan yang

alami ataupun yang buatan sedapat mungkin menerangi seluruh ruangan dengan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan. (SK Menkes, 1999)

B. Kerangka Konsep Berdasarkan uraian di atas, maka sebagai proses alur pikir pada penulisan ini dibuat kerangka konsep sebagai berikut :

KONDISI FISIK RUMAH 1. Suhu dan Kelembaban 2. Ventilasi 3. Kepadatan Hunian 4. Pencahayaan

Kejadian Penyakit Morbus Hansen / Lepra / Kusta

Status Gizi Pekerjaan Pendidikan

Keterangan : 1. Variabel yang di teliti =

2. Variabel yang tidak di teliti =

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Suhu dan Kelembaban Suhu udara merupakan derajat panas didalam ruangan rumah tempat penelitian yang diukur dengan menggunakan thermometer dan dinyatakan dalam derajat celcius (C). Sedangkan kelembaban udara yang dimaksud adalah keadaan basah keringnya udara di lokasi penelitian yang diukur dengan menggunakan Hygothermometer dan dinyatakan dalam satuan %. Kriteria Objektif : a. Memenuhi syarat : Apabila suhunya berkisar antara 18 30 C dan kelembaban antara 40 60 % ( Permenkes, 2011). b. Tidak Memenuhi syarat : Apabila tidak memenuhi kriteria diatas. 2. Ventilasi Ventilasi adalah tempat keluar atau masuknya udara dalam ruangan Kriteria Objektif : a. Memenuhi syarat : Apabila laju ventilasi 15 0,25 m/detik atau

10-20% dari luas ruangan ( Permenkes, 2011). b. Tidak Memenuhi syarat : Apabila tidak memenuhi kriteria diatas. 3. Kepadatan Hunian Kepadatan hunian adalah apabila dalam luas suatu ruangan (tidak termasuk kamar mandi dan WC) tidak sebanding dengan jumlah orang yang tinggal didalamnya. Kriteria Objektif :

a.

Memenuhi syarat : Apabila luas ruangan 2,5-3m/orang ( Permenkes, 2011).

b.

Tidak Memenuhi syarat : Apabila tidak memenuhi kriteria diatas.

4. Pencahayaan Pencahayaan dalam penelitian ini adalah pencahayaan dari alam ataupun buatan yang dapat menerangi seluruh ruangan. Kriteria Objektif :a.

Memenuhi syarat : Apabila intensitas pencahyaan 60 lux dan sinar matahari dalam ruangan ( Permenkes, 2011).

b.

Tidak Memenuhi syarat : Apabila tidak memenuhi kriteria diatas.

D. Hipotesis Penelitian 1. Hipotesis Nol (Ho) a. Suhu dan kelembaban bukan faktor risiko kejadian penyakit kusta. b. Ventilasi bukan faktor risiko kejadian penyakit kusta. c. Kepadatan Hunian bukan faktor risiko kejadian penyakit kusta. d. Pencahayaan bukan faktor risiko kejadian penyakit kusta. 2. Hipotesis Alternatif (Ha) a. Suhu dan kelembaban merupakan faktor risiko kejadian penyakit kusta. b. Ventilasi merupakan faktor risiko kejadian penyakit kusta. c. Kepadatan Hunian merupakan faktor risiko kejadian penyakit kusta. d. Pencahayaan merupakan faktor risiko kejadian penyakit kusta.

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan rancangan Case Control (kasus control) yaitu untuk mengetahui hubungan kondisi fisik rumah dengan kejadian penyakit lepra/kusta dengan cara membandingkan antara kelompok kasus (penderita yang sudah didiagnosis mengalami reaksi kusta) dengan kelompok kontrol (penderita yang sudah didiagnosis tidak mengalami reaksi kusta). Adapun variabel bebasnya adalah suhu dan kelembaban, ventilasi, kepadatan hunian, pencahayaan, sedangkan untuk variabel terikat yaitu reaksi kusta. B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dimulai pada bulan Maret-April 2012 yang dilaksanakan di wilayah .X. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Dalam penelitian ini yang menjadi populasi penelitian adalah sebagian pasien di X yang dimana penderita kusta di daerah ini mencakup orang dari total dari seluruh daerah kerja X.

2. Sampel Sampel pada penelitian ini adalah Sampel unuk kasus yaitu orang yang menderita penyakit kusta sebanyak 20 kasus dan untuk sampel kontrol yaitu orang yang tidak menderita penyakit kusta serta memiliki kesamaan karakteristik subjek pada kasus. Perbandingan antara sampel kasus dengan sampel kontrol yaitu 1 : 2 dan dilakukan secara Simple Ramdom Sampling. D. Teknik Pengambilan Sampel 1. Kelompok Kasus Sampel pada kelompok kasus diambil dari populasi studi yang ada di wilayah .X., dipilih penderita yang mengalami reaksi kusta sampai terpenuhi jumlah sampel minimal. Penderita kusta tersebut merupakan penderita yang sudah didiagnosis oleh petugas atau dokter Puskesmas yang terlatih. Bila penderita bersedia, maka dapat dipilih sebagai responden penelitian.

2. Kelompok Kontrol Sampel pada kelompok kontrol diambil dari populasi studi yang tidak mengalami reaksi kusta, dengan cara acak sederhana. Perbandingan antara kasus dengan kontrol pada penelitian ini yaitu 1 : 2. E. Teknik Pengumpulan Data 1. Data Primer Data primer yang diperoleh yaitu melalui wawancara langsung kepada responden yang telah terpilih dengan menggunakan kuesioner dan check list observasi. Jenis data yang diperoleh adalah data tentang kondisi fisik rumah. 2. Data Sekunder Data sekunder yang diperoleh merupakan data yang didapatkan dari instansi terkait seperti Puskesmas dan Kantor Dinas Kesehatan.

F. Teknik Pengolahan dan Penyajian Data Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS 17, kemudian data tersebut disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan disertai dengan narasi.1. Prosedur Pengolahan Data

a. Editing Sebelum data diolah, data diedit terlebih dahulu yaitu dibaca sekali dan diperbaiki jika masih ada yang salah dan meragukan. Dalam mengedit juga

perlu dicek pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya tidak cocok dengan data sehingga data yang diperoleh benar-benar konsisten. b. Koding Mengkoding jawaban adalah menaruh angka pada tiap jawaban. Tujuannya adalah untuk mempermudah analisa data yang dilakukan dengan komputer.

c. Entri data Memasukkan data kedalam komputer untuk selanjutnya dapat dilakukan analisa. d. Cleaning data

Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut dimungkinkan terjadi pada saat kita mengentry ke komputer. 2. Penyajian Data Penyajian data dalam bentuk table frekwensi disertai dengan narasi untuk melihat hubungan kejadian kusta terhadap variabel independen. G. Analisa Data

1. Analisa Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel yang digunakan dalam penelitian yaitu dengan melihat gambaran distribusi frekwensinya dalam bentuk tabel. 2. Analisa Bivariat Analisa Bivariat dilakukan untuk melihat faktor risiko kejadian kusta terhadap variabel independen yaitu suhu dan kelembaban, ventilasi, padatan hunian, serta pencahayaan. Analisis data dilakukan dengan pengujian hipotesis yang diuji adalah hipotesis nol (Ho). Hipotesis diuji dengan tingkat kemaknaan = 0,05.Uji statistik yang digunakan untuk membandingkan antara kasus dan kontrol terhadap faktor-faktor risiko (variabel independent) adalah

menggunakan table 2 x 2 dan dilakukan perhitungan Odss Ratio (OR)

Faktor Risiko Positif Negatif Jumlah

Kasus a c a+c

Kontrol b d b+d

Jumlah a+b c+d a+b+c+d

Keterangan :

a : jumlah kasus dengan faktor risiko positif (+) b : jumlah kontrol dengan faktor risiko positif (+) c : jumlah kasus dengan faktor risiko negatif (-) d : jumlah kontrol dengan faktor risiko negatif (-) Selain itu untuk menghitung estimasi besar risiko masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat dihitung digunakan nilai Odds Ratio (OR).

Rumus

:

=

OR : Odds ratio risiko terhadap kejadian penyakit kusta : rasio antara jumlah kasus dengan faktor risiko positif (+) dan jumlah kontrol dengan faktor risiko positif (+) : rasio antara jumlah kasus dengan faktor risiko positif (-) dan jumlah kontrol dengan faktor risiko positif (-) Untuk menentukan apakah nilai OR yang telah diperoleh mempunyai pengaruh kemaknaan maka harus dihitung besarnya nilai batas atas maupun nilai bawah. Nilai batas atas dan nilai batas bawah dapat dihitung berdasarkan rumus.

(Pengujian tes hipotesis terhadap nilai OR dilakukan dengan cara menemukan Confidence Interval (CI) untuk OR) :1) CI upper = 2) CI lower =

Dimana : F =

(untuk = 0,5)

= log. natural (2,72)Ketentuan digunakan Odss ratio tersebut adalah : 1. Interval kepercayaan atau confidence interval sebesar 95 % 2. Nilai kemaknaan untuk melihat hubungan faktor risiko dengan kasus ditentukan berdasarkan pada limit, dikatakan memiliki hubungan bermakna jika upper limit dan Lower limit tidak mencakup nilai 1.

Interpretasi :a. OR >1 : menunjukkan bahwa variabel independen merupakan faktor risiko

kejadian penyakit kusta.b. OR=1 : menunjukkan bahwa variabel independen merupakan bukan fakor

risiko kejadian penyakit kusta.

c. OR