5 isi bab i bab ii bab iii babiv bab v

Upload: ibn000

Post on 08-Jul-2015

3.136 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) merupakan penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Berdasarkan Permen Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006 tentang standar isi dijelaskan bahwa ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup empat aspek kemampuan berbahasa yang meliputi aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam pengajaran berbahasa, dari empat aspek keterampilan tidak selalu berjalan dengan baik sedangkan tuntutan kurikulum pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk

meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan. Keterampilan mendengarkan adalah satu di antara aspek yang sangat penting dalam keterampilan berbahasa terutama dalam proses pembelajaran. Keterampilan berbahasa yang pertama harus dikuasai oleh siswa adalah keterampilan mendengarkan, karena sebagian besar waktu siswa di sekolah digunakan untuk mendengarkan informasi yang disampaikan oleh guru, terutama dalam proses pembelajaran. Mengidentifikasi unsur-unsur bentuk puisi adalah satu di antara materi dalam standar kompetensi mendengarkan. Ada dua macam unsur-unsur puisi dalam standar kompetensi mendengarkan, yaitu unsur bentuk dan unsur batin. Unsur

1

bentuk adalah unsur yang membangun puisi dari luar, yaitu mengenalkan siswa dengan bentuk puisi yang dilihat dari majas, irama, kata konotasi dan kata bermakna lambang. Unsur batin yaitu memahami isi puisi yang diidentifiasi dengan mengidentifikasi jenis, isi, tema dan maksud puisi. Mengidentifikasi unsur-unsur bentuk puisi adalah materi yang cukup sulit untuk disampaikan. Hal ini disebabkan materi yang disediakan dalam buku-buku ajar berupa teori yang dipaparkan berupa teori majas, irama, kata bermakna konotasi dan kata bermakna lambang disertai dengan contoh-contoh kalimat saja (bukan kalimat puisi), kemudian tidak tersedianya alat pengeras suara yang memadai untuk melaksanakan pembelajaran menyimak. Kedua hal tersebut menjadi penyebab siswa merasa bosan dan kurang tertarik dengan proses pembelajaran. Hal ini terbukti dari rata-rata nilai siswa selama dua tahun yaitu 55 dari Standar Ketuntasan Belajar Minimum (SKBM) yaitu 65 dari pembelajaran menyimak unsur-unsur bentuk puisi. Sebagai guru yang mengajar di SMA Tunas Bhakti, peneliti ingin meningkatkan pemahaman siswa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia khususnya unsurunsur bentuk puisi. Peningkatan hasil belajar siswa tidak terlepas dari metode yang digunakan oleh guru. Meskipun metode yang dikembangkan oleh para ahli cukup banyak tapi tidak semua dapat sesuai untuk pembelajaran unsur-unsur bentuk puisi. Untuk pembelajaran unsur-unsur bentuk puisi, peneliti memilih pembelajaran kooperatif (cooperative learning).

Pembelajaran kooperatif merupakan suatu metode pembelajaran yang dapat membantu meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat dibuktikan melalui penelitian yang disebut penelitian tindakan kelas. Menurut Kasbolah, (1991:15) Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) adalah penelitian dalam bidang pendidikan yang dilaksanakan dalam kawasan kelas dengan tujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas pembelajaran. Pembelajaran kooperatif merupakan sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk berkerjasama dalam tugas-tugas terstruktur. (Lie,1992:2). Pengajaran kooperatif (cooperative learning) memerlukan

pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar. Sejalan dengan pendapat tersebut, Anam (2000:4) menyatakan pendapatanya sebagai berikut. Banyak metode mengajar yang dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar. Salah satu di antaranya adalah pendekatan cooperative learning. Dengan pendekatan metode cooperative learning diharapakan anak dapat mengganti atau menemukan pokok materi secara bersama-sama dalam kelompok atau secara individu. Sehingga akhirnya merasa senang dan materi yang dipelajari melakat dalam benaknya karena didapatkan melalui pengalaman sendiri. Slavin (dalam Sanjaya 2006:240) mengemukakan dua alasan digunakannya cooperative learning, sebagai berikut. a. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. b. Pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah dan mengitegrasikan pengtahuan dengan keterampilan.

Kelebihan pada pembelajaran kooperatif bagi guru adalah guru dapat mengembangkan pembelajaran dalam hal akademik, individu maupun sosial. Dalam hal akademik, pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa di dalam kelas. Dalam individu, siswa ditantang untuk memiliki tanggungjawab individu, berkonsentrasi dan memecahkan masalah yang diberikan untuk mendapatkan penghargaan dari guru. Di dalam pembelajaran kooperatif siswa diajarkan untuk saling bekerja sama dalam kelompok, sehingga secara sosial siswa mendapatkan arti pentingnya bekerja sama dalam kelompok. Teknik-teknik pembelajaran kooperatif yang bisa dipilah guru dalam

memodifikasi proses kegiatan belajar sesuai dengan situasi kelas, yaitu mencari pasangan (make a match), bertukar pasangan, berpikir-berpasangan-berbagi (think-pair-share), berkirim salam dan soal, numbered heads, two stay two stray, keliling kelompok, kancing gemerincing dan jigsaw. Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode make a match atau mencari pasangan, menurut Lie (2002:55). Teknik make a match itu sendiri merupakan teknik belajar dengan melibatkan peran siswa untuk mencari pasangan belajar sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Di mana proses teknik ini sebagai cara untuk meningkatkan minat belajar siswa untuk saling bekerjasama dalam kelompok dan akhirnya dari kerjasama tersebut tanggungjawab individu dapat terselesaikan.

Teknik make a match dikembangkan oleh Lorna Currant, yaitu dengan melibatkan para siswa dalam meriview (mengulang) bahan yang tercakup dalam suatu

pembelajaran dan memeriksa pemahaman mereka mengenai isi pelajaran dengan membentuk pasangan atau tim yang beranggotakan dua atau lebih dan memberikan masing-masing siswa sebuah kartu. Teknik make a match ini cocok untuk pembelajaran unsur-unsur bentuk puisi karena materi yang perlu disampaikan adalah teori dari unsur-unsur bentuk puisi yang disertai dengan contoh. Kecocokan ini dilihat dari penerapaan

pembelajarannya, yaitu kartu utama (master card) akan diisi dengan contoh puisi yang dibacakan oleh siswa, sedangkan kartu biasa diisi dengan majas, irama, kata bermakna konotasi, atau kata bermakna lambang yang disesuaikan dengan kalimat puisi yang ada di kartu utama. Setelah siswa mendengarkan pembacaan puisi dari pemegang kartu utama, siswa yang memegang kartu biasa berpikir dan berkerja sama dalam kelompok besar untuk mengetahui puisi mana yang sesuai dengan teori yang dipegang di tangannya. Setelah mereka sudah berdiri dalam kelompokkelompok kecil, guru memeriksa kesesuaian antara kartu utama dan kartu biasa yang dipegang siswa. Pembelajaran yang tidak membuat siswa hanya diam dan mendengarkan pada teknik make a match ini dapat membuat siswa lebih antusias dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran ini sangat disarankan guru memberikan

penghargaan berupa hadiah kecil kepada kelompok yang berhasil mencari pasangannya tepat pada waktunya sehingga dapat membuat siswa bisa lebih termotivasi.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik memilih judul Peningkatan Kemampuan Memahami Unsur-unsur Bentuk Puisi dengan Teknik Make a Match pada Siswa kelas X Smester I SMA Tunas Bhakti Tahun Pelajaran 2009/2010.

1.1 Masalah Penelitian Masalah umum dalam penelitian ini adalah apakah penerapan teknik make a match dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam kemampuan memahami unsur-unsur bentuk puisi di kelas X SMA Tunas Bhakti semester I tahun ajaran 2009/2010? masalah umum tersebut dibatasi menjadi submasalah sebagai berikut. 1). Bagaimanakah langkah-langkah peningkatan kemampuan memahami unsurunsur bentuk puisi dengan teknik make a match pada siswa kelas X semester I tahun ajaran 2009/2010 di SMA Tunas Bhakti? 2). Bagaimanakah hasil siswa kelas X semester I tahun ajaran 2009/2010 di SMA Tunas Bhakti dalam pembelajaran unsur-unsur bentuk puisi dengan teknik make a match? 3). Bagaimanakah respon siswa kelas X semester I tahun ajaran 2009/2010 SMA Tunas Bhakti terhadap pembelajaran unsur-unsur bentuk puisi dengan teknik make a match?

1.2 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian sebagai berikut. 1). Unsur-unsur bentuk puisi mempunyai beberapa materi, yaitu majas (gaya bahasa), irama, kata-kata berkonotasi, dan kata bermakna lambang. 2). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah make a match, yaitu dengan melibatkan para siswa dalam meriview (mengulang) bahan yang tercakup dalam suatu pembelajaran dan memeriksa pemahaman mereka mengenai isi pelajaran dengan membentuk pasangan atau tim yang beranggotakan dua atau lebih dan memberikan masing-masing siswa sebuah kartu kuis yang berisi pertanyaan dan soal. 3). Prosedur penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas yang terdiri atas empat tahap yaitu: observasi (observing), perencanaan (planning), tindakan (action), dan refleksi (reflecting).

1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan kemampuan memahami unsur-unsur bentuk puisi dengan teknik make a match pada siswa kelas X semester I SMA Tunas Bhakti tahun pembelajaran 2009/2010. Tujuan umum tersebut dibagi lagi menjadi tujuan khusus sebagai berikut. 1). Mendeskripsikan langkah-langkah kemampuan memahami unsur-unsur bentuk puisi dengan teknik make a match pada siswa kelas X SMA tunas Bhakti tahun pembelajaran 2009/2010.

2). Mendeskripsikan hasil belajar siswa kelas X Semester I SMA Tunas Bhakti tahun pembelajaran 2009/2010 dalam kemampuan memahami unsur-unsur bentuk puisi dengan teknik make a match. 3). Mendeskripsikan respon siswa kelas X Semester I SMA Tunas Bhakti tahun pembelajaran 2009/2010 terhadap kemampuan memahami unsur-unsur bentuk puisi dengan teknik make a match.

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat tersebut sebagai berikut. 1.5.1 Manfaat Teoritis 1). Penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian untuk mengembangkan proses pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran Bahasa dan Sastra dan Indonesia. 2). Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam mengajarkan unsur-unsur bentuk puisi dengan teknik make a match. 3). Penelitian ini dapat memberikan cara memudahkan dan memotivasi siswa dalam belajar gaya bahasa. 1.5.2 Manfaat Praktis 1) Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengalaman peneliti tentang peningkatan kemampuan mahahami unsur-unsur bentuk puisi dengan teknik make a match.

2)

Penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi peneliti selanjutnya dalam penelitian tindakan kelas, khususnya tentang langkah-langkah

peningkatan kemampaun memahami unsur-unsur bentuk puisi dengan teknik make a match. 1.6 Penjelasan Istilah Untuk menghindari perbedaan persepsi tentang judul penelitian ini, berikut akan dijelaskan istilah yang digunakan dalam penelitian ini. 1). Yang dimaksud peningkatan adalah proses, cara, perbuatan meningkatkan (usaha, kegiatan, dan sebagainya) (KBBI, 2001:1198). Dalam penelitian ini, yang dimaksud peningkatan adalah usaha untuk meningkatkan. 2). Yang dimaksud pembelajaran adalah suatu bahan yang harus disampaikan sebagai bahan ajar bagi siswa (Subana dan Sunarti, 2000:213). Dalam penelitian ini, yang dimaksud pembelajaran dikhususkan pada materi pelajaran unsur-unsur bentuk puisi. 3). Dalam penelitian ini, yang dimaksud unsur-unsur bentuk puisi adalah unsur yang membangun puisi dari luar. 4). Teknik make a match adalah pembelajaran dengan melibatkan para siswa dalam meriview (mengulang) bahan yang tercakup dalam suatu pembelajaran dan memeriksa pemahaman mereka mengenai isi pelajaran dengan membentuk pasangan atau tim yang beranggotakan dua atau lebih dan memberikan masing-masing siswa sebuah kartu kuis yang berisi pertanyaan dan soal (Lie 2002:55). Dalam penelitian ini, make a match adalah metode pembelajaran yang menggunakan media kartu kuis.

5). Tahun pembelajaran 2009/2010 adalah jangka (kurun) waktu berlangsungnya kegiatan pembelajaran yang dimulai tahun 2009/2010. Berdasarkan penjelasan istilah tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan peningkatan kemampuan memahami unsur-unsur bentuk puisi dengan teknik make a match pada siswa kelas X semester 1 SMA Tunas Bhakti tahun pelajaran 2009/2010 adalah suatu usaha untuk meningkatkan pemahaman terhadap unsur yang membangun puisi dari luar dengan melibatkan para siswa dalam tim yang menggunakan kartu kuis dalam waktu kegiatan pembelajaran pada tahun 2009/2010.

BAB II KERANGKA TEORI

2.1 Unsur-unsur Bentuk Puisi Terdapat dua unsur yang membangun puisi, yaitu unsur bentuk yang berkaitan dengan unsur yang membangun puisi dari luar, dan unsur batin yang membangun puisi dari dalam. Unsur-unsur bentuk puisi digunakan untuk menganalisis puisi dari kata-kata yang terdapat di dalamnya. Dapat dianalisis dengan cara melihat kata-kata puisi. Di dalam kata-kata puisi tersebut mengandung gaya bahasa (majas), irama, kata-kata berkonotasi dan kata bermakna lambang. Sedangkan, unsur batin adalah usnur yang membangun puisi dari dalam, dapat dianalisis dengan cara memparafrasekan puisi. Dalam penelitian ini, dikhususkan meneliti unsur-unsur bentuk puisi sebagai berikut.

2.1.1 Gaya Bahasa (Badudu, 1975:70) menyatakan gaya bahasa adalah penggunaan kata-kata kiasan, sindiran, perbandingan untuk memperindah, memberikan jiwa, dan menghidupkan kata-kata. Sedangkan Keraf (1980:113) menyatakan hal yang sama, style atau gaya bahasa dapat diartikan cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Dale et al dalam Tarigan, (1985:5) menyatakan hal yang sama, sebagai berikut.

11

Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas adalah cara khas perungkapan seorang pengarang, sehingga setiap pengarang memiliki gaya bahasa yang berbeda. Sesuai dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, penelitian ini difokuskan untuk gaya bahasa yang terdapat untuk menganalisis unsur-unsur bentuk sebuah puisi sebagai berikut. 2.1.1.1 Litotes Di dalam Badudu (1975:74), apabila kita mempergunakan kata yang berlawanan artinya dengan yang dimaksud, dengan tujuan merendahkan diri terhadap orang tempat berbicara, maka gaya bahasa litotes. Tarigan (1985:58), juga mengatakan litotes kebalikan dari hiperbolisme, adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecil-kecilkan, dikurangi dari kenyataan yang sebenarnya, misalnya untuk merendahakan diri. Sedangkan Keraf (1980:132), mengatakan litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Dengan demikian, gaya bahasa litotes merupakan gaya bahasa yang

mempergunakan kata-kata yang berlawanan dengan maksud merendahkan diri. Contoh: 1) Singgahlah di gubuk kami yang tua ini! (padalah rumahnya tidak seburuk gubuk). 2) Hadiah dari kami mungkin tidak berarti bagi anda.

3)

Saya ini hanya pejabat biasa di kantor saya. (padahal dia adalah pimpinan di kantornya). 2.1.1.2 Paradoks

Menurut Badudu (1975:84) gaya bahasa paradoks merupakan gaya bahasa seolaholah ada pertentangan, tetapi jika diteliti lebih seksama ternyata tidak karena objek yang ditemukan berlainan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Keraf (1980:136) menyatakan paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya. Jadi, gaya bahasa paradoks merupakan gaya bahasa seolah-olah ada pertentangan, tetapi jika diteliti lebih seksama ternyata tidak, karena objeknya berbeda. Contoh: Dia kaya, tapi miskin. (maksudnya kaya harta, tapi miskin ilmu). 1). Gajinya besar, tapi hidupnya melarat. (hidup berkecukupan, tapi menderita karena sesuatu.) 2). Wanita itu lemah, tapi bisa menaklukkan kekuatan pria. (wanita lemah dilihat dari kekuatan fisiknya, namun dengan bujuk rayu, pria bisa takluk).

2.1.1.3 Pleonasme Pleonasme adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan suatu pikiran atau gagasan (Badudu, 1975:133). Sejalan dengan pendapat tersebut, Poerwadinata dalam Tarigan (1985:29) menyatakan bahwa pleonasme adalah pemakaian kata yang mubazir (berlebihan), yang sebenarnya tidak perlu (seperti menurut sepanjang adat; saling tolong-menolong). Dapat disimpulkan pleonasme adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata scara berlebihan yang sebenarnya tidak diperlukan. Contoh: 1).Saya melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri. 2).Penduduk Desa Pinang Dalam saling tolong menolong bergotong groyong pada waktu panen. 3).Dia telah menebus tanah itu dengan uang tabungannya sendiri. 2.1.1.4 Elispsis Menurut Keraf (1980:132), elipsis adalah suatu gaya bahasa yang menghilangkan suatu kalimat yang mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca. Sejalan dengan pendapat tersebut, Tarigan (1985:138) menyatakan ellipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya dilaksanakan penanggalan atau penghilangan kata atau kata-kata yang memenuhi bentuk kalimat berdasarkan tata bahasa. Dapat disimpulkan bahwa elispsis adalah gaya bahasa yang menghilangkan kalimat atau kalimat-kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau dilanjutkan oleh orang yang membaca atau mendengarkannya.

Contoh: 1). Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau taka pa-apa, badanmu sehat; tapi psikis 2). Jika anda gagal dalam melaksanakan tugasmu tetapi baiklah kita tidak membicarakan hal itu. 3). Aku batal meminangmu, karena kau tau sendiri alasannya. 2.1.1.5 Metonimia Di dalam Badudu (1975:73), apabila sepatah kata atau sebuah nama yang berasosiasi dengan suatu benda dipakai untuk menggantikan benda yang dimaksud tadi, gaya seperti itu disebut gaya bahasa metonimia. Sedangkan menurut Keraf (1980:142), metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Jadi, gaya bahasa metonimia merupakan gaya bahasa yang memperguanakn sebuah kata yang berasosiasi dengan suatu benda untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Contoh: 1). Ia membeli sebuah Kijang (berasosiasi dengan kendaraan roda empat) 2). Honda itu rusak berat. (berasosiasi dengan kendaraan roda dua) 3). Ia telah memeras keringat habis-habisan hanya untuk membeli Djarum. (berasosiasi dengan rokok) 2.1.1.6 Persamaan atau Simile

Di dalam Keraf (1980:138) menyatakan bahwa persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisist ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Contoh: 1).Kikirnya seperti kepiting batu 2).Bibirnya seperti delima merekah 3).Matanya seperti bintang timur 2.1.1.7 Metafora Metafora ialah gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda lain. Kedua benda yang dibandingkan ini mempunyai sifat yang sama (Badudu, 1975:70). Keraf (1980:139), metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal yang secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya. Dengan demikian, metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan suaru benda dengan benda lain dan kedua benda itu mempunyai sifar yang sama atau persamaan sifat. Contoh: 1).Pengangguran tidak sepenuhnya sampah masyarakat. (sampah masyarakat = manusia yang tidak berguna di masyarakat) 2).Rani Juliani menjadi buah bibir beberapa bulan ini. (buah bibir = bahan pembicaraan)

3).Dewi malam telah keluar dair peraduan. (dewi malam = bulan) 2.1.1.8 Personifikasi Keraf, (1980:140) menyatakan bahawa personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Menurut Badudu (1975:71), bila benda yang mati yang tidak dapat bergerak sendiri diumpamakan dengan benda bernyawa dapat bergerak sendiri, maka perbandingan itu disebut personifikasi. Menurut Tarigan (1985:17), personifikasi adalah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani kepada barang-barang yang tidak bernyawa dan ide yang sangat bersifat abstrak. Dengan demikian, personifikasi adalah gaya bahasa yang melukiskan bendabenda mati yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat seperti manusia. 1). Nyiur melambai di tepi pantai 2). Pengalaman mengajak kita tahan menderita. 3). Kaki meja itu patah setelah aku duduki.

2.1.1.9 Ironi atau sendiran Menurut Badudu (1975:77), gaya bahasa ironi adalah salah satu gaya bahasa sindiran. Yang dikatakan sebaliknya dari apa yang sebenarnya dengan maksud menyindir orang tempat berbicara. Sejalan dengan pendapat tersebut, moeliono dalam Tarigan (1985:61).

Ironi ialah majas yang menyatakan makna pertentangan dengan maksud berolokolok. Maksud itu dapat dicapai dengan mengemukakan: a. makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya b. ketaksesuaian antara suasana yang diketengahkan dengan kenyataan yang mendasarinya, dan c. ketaksuaian antara harapan dan kenyataan Sedangkan menurut Keraf (1980:143) ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Jadi, ironi adalah gaya bahasa sindiran yang mengatakan makna yang bertentangan atau sebaliknya dari apa yang sebenarnya dengan maksud untuk menyindir atau mengolok-ngolok orang yang menjadi lawan bicara. Contoh: 1). aduh, bersihnya kamar ini, puntung rokok dan sobekan kertas bertebaran di lantai. 2). Mobil paman mulus benar, seringkali mogok di jalan, mungkin mobilnya sedang capek. 3). Bukan main rajinnya kamu, sudah sepuluh hari kamu bolos dalam sebulan. 2.1.1.10 Sinisme Sinisme adalah jenis gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Tarigan (1985:91) menyatakan, sinisme adalah ironi yang lebih kasar sifatnya. Menurut Keraf (1980:143) sinisme diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Dapat disimpulkan bahwa sinisme adalah gaya bahasa sindiran yang mengandung ejekan yang lebih kasar dari ironi.

Contoh: 1).Memang Pak Dukunlah orangnya, yang dapat menghidupkan orang yang telah mati, apalagi mematikan orang yang masih hidup. 2).Tidak dapat disangkal lagi bahwa Bapaklah orangnya, sehingga keamanan dan ketentraman di daerah ini akan ludes bersamamu! 3).Jelas Andalah gadis tercantik di sejagad raya ini yang mampu menundukkan segala jejaka di bawah telapak kakimu di seantero dunia ini. 2.1.1.11 Sarkasme Di dalam Badudu (1975:78), gaya bahasa sindiran yang terkasar adalah gaya bahasa yang disebut sarkasme. Memaki orang dengan kata-kata kasar dan tidak sopan didengar telinga, biasanya diucapkan dengan marah. Sedangkan Keraf (1980:143) mengatakan gaya bahasa sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Jadi, sinisme adalah sindiran yang sifatnya lebih kasar dari ironi dan sinisme, mengandung ejekan dan menyakitkan hati. Contoh: 1). Cih! Mau muntah aku melihat wajahmu. 2). Lihat sang raksasa itu (padahal yang dimaksud berbadan kerdil). 3). Tulisanmu seperti cakar ayam! 2.1.1.12 Sinekdoke

Sinekdoke ialah majas yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya, atau sebaliknya (Moeliono dalam Tarigan 1985:124). Sinekdoke dibagi atas dua, sebagai berikut 1). Pars pro toto, yaitu bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakn keseluruhan. Contoh: Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp. 1.000,2). Totem pro parte, yaitu bahasa figuratif yang menyatakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Contoh: Dalam pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Malaysia di stadion utama senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4. 2.1.1.13 Hiperbola Apabila sepatah kata diganti dengan kata lain yang memberikan pengertian lebih hebat daripada kata tadi, maka gaya bahasa seperti itu disebut hiperbolisme. Menurut Tarigan (1985:364), hiperbolisme adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi tekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk mempercepat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frase, atau kalimat. Menurut Keraf (1980:135), hiperbolisme adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan maksud membesarbesarkan sesuatu hal.

Jadi, gaya bahasa hiperbolisme merupakan gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan dengan maksud untuk memberikan penekanan dan pada suatu pernyataan atau untuk memperhebat, meningkatkan kesan, menarik perhatian, dan sebagainya. Contoh: 1).Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit nak! 2).Kepala ini rasanya mau pecah. 3).Tabungan Pak Anton berjuta-juta, emasnya berkilo-kilo, sawahnya berhektarhektar. 2.1.1.14 Eufimisme Di dalam Badudu (1975:75), gaya bahasa ini sering digunakan dalam bertutur sehari-hari kita pergunakan sepatah kata untuk menggantikan kata lain dengan maksud supaya terdengar lebih sopan, atau menghindarkan diri dari yang dianggap tabu atau pamali. Eufimisme ialah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar yang dianggap merugikan, atau yang tidak menyenangkan. Misalnya: meninggal, bersenggama, tinja, tunakarya. Dapat dismpulkan bahwa eufimisme adalah majas memperhalus kata-kata yang dianggap tidak pantas ke bahasa yang lebih halus. Contoh: 1).Gelandangan dapat diganti dengan kata tunawisama. 2).Pengangguran dapat diganti dengan tunakarya. 3).Dipecat dapat diganti dengan kata dibebastugaskan. 2.1.1.15 Retoris

Menurut Badudu (1975:81), gaya bahasa penegasan ini mempergunakan kalimat tanya tak bertanya, sering mengatakan kesangsian atau bersifat mengejek. Contoh: 1).Sebagai penerus bangsa, apakah kita akan tinggal diam dijajah oleh kepentingan politik luar negeri? 2).Haruskah dipertanyakan lagi kemana ia pergi? 3).Bukankah hidup ini hanya sekali?

2.1.2 Irama Irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Sejalan dengan pendapat Waluyo (2002:12) irama dapat diartikan pergantian kelas-lembut, tinggi-rendah, atau panjang pendek kata secara berulang-ulang dengan tujuan menciptakan gelombang yang memperindah puisi. Irama dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu metrum dan ritme. 1). Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut irama tertentu. 2). Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyair. Dalam puisi timbulnya irama itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya paralelisme-paralelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait. Juga

disebabkan oleh tekanan kata yang bergantian keras, lemah, disebabkan oleh sifatsifat konsonan dan vokalnya atau panjang-pendek kata, juga disebabkan oleh kelompok-kelompok sintaksis.

2.1.3 Kata bermakna Konotasi Kata bermakna konotasi adalah kata yang bermakna bias, tidak sebenarnya, atau kata-kata yang ketika diucapkan menimbulkan konotasi tertentu seperti rasa hormat, atau sebaliknya menimbulkan afeksi rasa negatif seperti rasa benci, sedih atau emosional. Di dalam Djojosuroto (1997:13) Bahasa puisi bersifat konotatif. Konotasi yang dihasilkan bahasa puisi lebih banyak kemungkinannya daripada yang dihasilkan bahasa prosa dan drama. Oleh sebab itu, puisi sulit ditafsirkan maknanya secara tepat tanpa memahami konteks yang dihardirkan dalam puisi. Puisi diciptakan penyair dalam suasana perasaan, pemikiran dan citarasa yang khas sehingga bersifat khas pula. Hal ini berarti tanpa pemahaman terhadap suasana yang khas pemahaman teks beserta konteks, ketepatan penafsiran makna itu sukar didapatkan. Yang dapat diartikan bahwa, bahasa puisi yang bersifat konotasi tersebut, harus dipahami secara keseluruhan. Dengan kata lain, satu kata dalam puisi dapat diartikan dengan memahami keseluruhan puisi.

2.1.4 Kata Bermakna Lambang Kata-kata bermakna lambang adalah kata-kata yang digunakan sebagai simbol dari kata lain yang biasanya memiliki pertalian makna. Sejalan dengan pendapat Waluyo (2002:4) lambang dalam puisi adalah penggantian suatu hal dengan hal/benda dengan hal/benda yang lain.

Sebagai contoh, pada puisi Doa kata yang bermakna konotatif atau lambang misalnya tinggal kerdip lilin di kelam sunyi. Frase ini menggambarkan hati penyair yang telah menjauh dari Tuhan. Demikian juga kata-kata aku hilang bentuk, remuk yang menggambarkan kondisi penyair (aku) yang berlumur dosa. Negeri asing menggambarkan kondisi penyair yang melupakan Tuhan (jauh). Mengetuk bermakna kembali dan aku tidak bisa berpaling bermakna aku tak dapat melupakan Tuhan. Secara keseluruhan, puisi Doa menggambarkan kondisi aku (penyair) yang telah lupa pada Tuhannya, penuh dengan dosa, namun akhirnya kembali sadar dan beriman.

2.2

Pembelajaran Kooperatif

2.2.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif Menurut Anita Lie (1992:2), cooperative learning merupakan Sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dalam tugastugas terstruktur. Sedangkan menurut Nurhadi, (2003:21), Pengajaran kooperatif (cooperative learning) memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar. Sejalan dengan pendapat di atas, Johnson dan Johnson (http://www.cooperation.org/ di unduh pada tanggal 10 Oktober 2009:1) sebagai berikut Cooperative Learning is a relationship in a group of students that requires positive interdependence (a sense of sink or swim together), individual accountability (each of us has to contribute and learn), interpersonal skills (communication, trust, leadership, decision making, and conflict resolution), face-

to-face promotive interaction, and processing (reflecting on how well the team is functioning and how to function even better). Pembelajaran kooperatif adalah hubungan dalam sebuah kelompok siswa yang memerlukan saling ketergantungan positif (suatu perasaan dari berhasil atau gagal bersama-sama), tanggungjawab individual (masing-masing dari kita harus memberikan sesuatu dan belajar), keterampilan perseorangan (komunikasi, kepercayaan, kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan resolusi konflik), interaksi bertatap muka, dan berproses (mencerminkan seberapa baik sebuah kelompok berfungsi dan bagaimana membuatnya lebih baik). Berdasarkan pendapat tersebut, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa Cooperative Learning adalah model pembelajaran dengan mengelompokkan siswa untuk saling bekerjasama dalam mempelajari materi pelajaran, mengerjakan tugas, memecahkan suatu masalah dan merupakan suatu metode yang sangat menekankan tanggungjawab individu sekaligus kelompok untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam proses dan hasil belajar baik secara individual maupun kelompok. 2.2.2 Prinsip-prinsip dasar Pembelajaran Kooperatif Banyak guru menyatakan bahwa mereka telah melaksanakan metode belajar kelompok dan telah membagi para siswa dalam kelompok dan memberi tugas kelompok. Namun guru-guru tersebut mengeluh bahwa hasil kegiatan-kegiatan ini tidak seperti yang mereka harapkan. Tidak semua kerja kelompok bisa dianggap sebagai belajar dengan Pembelajaran Kooperatif. Abdurahman dan Bintoro dalam Rumiati Sari (2007:21) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang didalamnya terdapat elemenelemen yang saling terkait. Adapun berbagai elemen dalam pembelajaran kooperatif adalah adanya: (1) saling ketergantungan positif, (2) interaksi tatap

muka, (3) akuntabilitas individual, dan (4) keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan. Menurut Wina Sanjaya (2006:244) terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif, yaitu: a). Prinsip ketergantungan positif b). Tanggung jawab perseorangan c). Interaksi tatap muka d). Partisipasi dan komunikasi 2.2.3 Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Sebelum seorang guru mengajar atau memberikan tugas tertentu kepada siswa, harus ada perencanaan dan persiapan. Dalam melaksanakan atau menerapkan pembelajaran kooperatif perlu dilakukan berbagai kegiatan agar dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Untuk itu perlu disusun atau direncanakan langkah-langkah yang akan dilaksanakan sesuai dengan sasaran tersebut. Pembelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti siswa dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Selanjutnya siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti bimbingan guru pada siswa bekerjasama menyelesaikan tugas mereka. Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif yaitu penyajian hasil akhir kerja kolompok, dan mengetes apa yang mereka pelajari, serta memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Keenam fase pembelajaran kooperatif dirangkum pada Tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Fase Pembelajaran Kooperatif Fase Fase 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Fase 2 Menyajikan informasi Fase 3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar Fase 4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar Fase 5 Evaluasi Fase 6 Memberi penghargaan Kegiatan Guru Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan Guru menjelaskan siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan

kelompok Sumber : Wartono dkk, ( 2004:14)

2.2.4 Kebaikan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif 2.2.4.1 Kebaikan Pembelajaran Kooperatif Setiap model pembelajaran pada dasarnya memiliki suatu kebaikan dan kelemahan tertentu khusunya dalam proses belajar mengajar, atau proses

penyampaian materi pelajaran kepada siswa untuk mewujudkan tujuan pengajaran secara optimal. Menurut Anita Lie, (2001:1), bahwa pembelajaran kooperatif mempunyai kebaikan-kebaikan sebagai berikut: 1). Siswa dapat meningkatkan kemampuannya untuk bekerjasama dengan siswa lain. 2). Siswa mempunyai lebih banyak kesempatan untuk menghargai perbedaan. 3). Partisipasi siswa dalam proses pembelajaran dapat meningkat. 4). Mengurangi kecemasan siswa (kurang percaya diri) 5). Meningkatkan motivasi, harga diri dan sikap positif siswa. 6). Meningkatkan prestasi belajar siswa.

2.2.4.2 Kelemahan Pembelajaran Kooperatif Pada dasarnya pembelajaran kooperatif ini banyak memberikan pengaturan yang menitikberatkan pada kebebasan siswa dalam kegiatan belajar. Mereka akan menjadi seorang pelajar dan sekaligus menjadi seorang guru saat menyampaikan materi kepada rekan-rekannya. Tiap siswa diharapkan mampu menggunakan kemampuannya dalam berkomunikasi demi keberhasilan belajar kelompok maupun individu. Sehubungan dengan itu, Anita Lie (2000:2), mengemukakan bahwa kelemahan dari pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut : 1). Model ini kadang-kadang menuntut pengaturan tempat duduk yang berbedabeda pula dan gaya mengajar yang berbeda pula.

2). Kerja kelompok sering hanya melibatkan kepada siswa yang mampu sebab mereka cakap memimpin dan mengarahkan mereka yang kurang. 3). Model ini akan gagal apabila siswa pasif, tidak komunikatif dan sifat egois siswa yang tinggi. 2.3 Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Make a Match Satu di antara hal yang menandai profesionalisme guru adalah komitmennya untuk selalu memperbarui dan meningkatkan kemampuannya dalam suatu proses bertindak dan berefleksi. Guru harus mempunyai pengetahuan dan persediaan strategi-strategi pembelajaran. Menurut Anita Lie (2000:54) guru yang ingin maju dan berkembang perlu mempunyai persediaan strategi dan teknik-teknik pembelajaran yang pasti akan selalu bermanfaat dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar sehari-hari. Adapun teknik-teknik pembelajaran cooperative learning yang bisa dipilih oleh guru dalam memodifikasi proses kegiatan belajar mengajar sesuai dengan situasi kelas (Anita Lie 2002 : 54) yaitu Make a match, bertukar pasangan, jigsaw, berkirim salam dan soal, Numbered head together (NHT), dan Two Stay Two Stray. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik make a match. Satu di anatara keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Teknik make a match dikembangkan oleh Lorna Currant (1994) yaitu dengan melibatkan para siswa dalam mereview bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek atau memeriksa pemahaman mereka mengenai isi pelajaran dengan membentuk pasangan atau tim yang beranggotakan 2 atau lebih

dan memberikan masing-masing siswa sebuah kartu sehingga setiap siswa memiliki sebuah kartu yang terdiri dari pertanyaan maupun soal. Adapun langkah-langkah teknik make a match terdiri atas: Langkah 1 Langkah 2 Langkah 3 :Guru menyiapkan kartu kuis berisi pertanyaan dan soal :Guru membagi siswa dalam kelompok dan memberikan kartu kuis : Siswa yang memiliki kartu utama (master card) masing-masing membacakan isi kartunya. Langkah 4 : Siswa dalam kelompok memikirkan jawaban atau soal dari kartu kuis yang dipegangnya Langkah 5 Langkah 6 : Siswa mencari pasangan yang cocok dengan kartu kuisnya : Guru memberi poin pada siswa yang mendapatkan pasangan kartu kuisnya sebelum batas waktu Langkah 7 : Guru atau siswa mengocok kartu lagi agar tiap siswa mendapatkan kartu kuis yang berbeda dari sebelumnya. Demikian seterusnya. Jadi, yang dimaksud dengan teknik make a match adalah teknik pembelajaran kooperatif dengan membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil dan masingmasing siswa diberi kartu kuis yang berbeda. Sebelum mencari pasangan kartu kuisnya, di dalam kelompok mereka dapat saling membantu untuk menemukan pasangan kartu kuisnya, dengan demikian siswa belajar melaksanakan tanggung jawab pribadi dan saling keterkaitan dangan teman sekelompoknya.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Nawawi (2005:63), Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak untuk mengungkapkan atau sebagaimana adanya. Metode ini digunakan untuk mengungkapkan keadaan yang sebenarnya tentang penggunaan media pembelajaran oleh guru dalam pembelajaran mendengarkan di kelas X semester I SMA Tunas Bhakti tahun pembelajaran 2009/20010.

3.2 Bentuk Penelitian Bentuk penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Menurut Budiharso (2004:161), penelitian kualitatif menekankan pada hasil temuan berupa penjelasan, uraian, pendapat, dan fakta mengenai suatu objek. Menurut Moleong (2005:11), dalam penelitian kualitatif data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Penulis memilih bentuk penelitian kualitatif dalam penelitian ini karena penulis menjelaskan keadaan mengenai penggunaan media oleh guru dalam proses pembelajaran mendengarkan di kelas X semester I SMA Tunas Bhakti tahun pembelajaran 2009/2010. 32

3.3 Rancangan Penelitian Di dalam Departemen Pendidikan Nasional Penelitian (2003:4), Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan suatu penelitian yang mengangkat masalahmasalah aktual yang dihadapi oleh guru di lapangan. Sedangkan menurut Kasihani Kasbolah E.S, (1991:15) Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) adalah penelitian dalam bidang pendidikan yang dilaksanakan dalam kawasan kelas dengan tujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas pembelajaran. Di dalam Wardhani (2007:1.4) disebutkan bahawa PTK adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi meningkat. Dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan di dalam kelas yang di lakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri untuk memahami hal-hal yang terjadi di dalam kelas dan memberikan penjelasan mengenai hal tersebut dengan tujuan meningkatkan hasil belajar siswa.

Secara visual langkah-langkah penelitian tindakan kelas sebagai berikut.

Gambar 3.1 Diagram Siklus Langkah-langkah Penelitian Tindakan Kelas Refleksi Rencana Observasi Pelaksanaan Tindakan Refleksi Rencana Observasi Pelaksanaan Tindakan Sumber: Tim Pelatih Proyek PGSM Tindakan Tindakan

Langkah penelitian tindakan kelas tersebut menunjukkan bahwa 1. Sebelum melaksanakan tindakan, guru sebagai peneliti merencanakan tindakan yang akan dilakukan. 2. 3. Setelah rencana disusun, tindakan dilakukan. Ketika dilaksanakan tindakan, peneliti mengamati proses pelaksanaan tindakan itu dan kejadian-kejadian yang ditemukan selama tindakan berlangsung. 4. Berdasarkan pengamatan, peneliti kemudian melakukan refleksi atas tindakan yang telah dilakukan, kemudian dianalisis untuk menentukan

rencana tindakan selanjutnya agar tindakan yang dilaksanakan dapat memberikan perubahan yang lebih baik. Untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan, maka peneliti menetapkan indikator kinerja penelitian tindakan kelas sebagai berikut. 1) Adanya kesesuaian antara urutan penyajian materi dengan perencanaan pembelajaran. 2) Adanya perubahan yang terlihat dari kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran unusr-unsur bentuk puisi dengan taknik make a matach. 3) Adanya perubahan yang terlihat dari sikap siswa mengikuti pembelajaran undur-unsur bentuk puisi, yang semakin aktif dan antusias pada setiap siklus. 4) Adanya perubahan nilai rata-rata siswa yang semakin baik pada setiap siklus. Pencapaian indikator nilai rata-rata siswa sebagai berikut. a. b. Siklus I sekurang-kurangnya 60% nilai siswa minimal 6,50. Siklus II sekurang-kurangnya 70% nilai siswa minimal 6,50.

3.4

Data dan Sumber Data

3.4.1 Data Data dalam penelitian ini adalah proses belajar dan hasil tes tertulis siswa kelas X semester 1 SMA Tunas Bhakti tahun pembelajaran 2009/2010. 3.4.2 Sumber Data Menurut Arikunto (2002:107), yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data tesebut diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang melaksanakan

pengajaran gaya bahasa di kelas X semester 1 SMA Tunas Bhakti 2009/2010 dan siswa kelas X semester I SMA Tunas Bhakti 2009/2010.

BAB IV ANALISIS DATA

4.1 Langkah-langkah Peningkatan Kemampuan Memahami Unsur-Unsur Bentuk Puisi dengan Teknik Make a Match Penerapan metode make a matach dalam meningkatkan memahami unsur-unsur bentuk puisi ini dilakukan di SMA Tunas Bhakti tahun pelajaran 2009/2010. Penelitian ini difokuskan di kelas X dengan jumlah siswa sebanyak 31 terdiri atas 19 siswa dan 12 siswi. Berdasarkan hasil prariset yang dilakukan peneliti pada tanggal 17 november 2009, menunjukkan bahwa nilai rata-rata dalam memahami unsur-unsur bentuk puisi adalah 55 dan tidak memenuhi standar ketuntasan belajar minimum yang telah ditentukan yaitu 65. Kesulitan yang dihadapi siswa SMA Tunas Bhakti dalam memahami unsur-unsur bentuk puisi adalah kurangnya metode yang bervariasi dalam proses belajarmengajar, sehingga menimbulkan kejenuhan dan ketidakberanian bagi siswa untuk mengungkapkan ide dan gagasannya. Hal lain yang menyebabkan tidak terpenuhinya standar ketuntasan belajar minimum adalah tidak adanya media yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran, misalnya: audio visual. Sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam pemahaman unsurunsur bentuk puisi adalah menggunakan teknik make a match yang melibatkan media-media dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini dilakukan

37

antara peneliti dan Ibu Suratmi, S.Pd selaku pengamat indikator guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian ini dilakukan sebanyak dua siklus secara umum prosedur penelitian tindakan kelas yang dilakukan setiap siklus adalah adanya perencanaan (planning), pelaksanaan tindakan (action), pengamatan (observing) dan refleksi (reflecting).

4.2 Hasil pembelajaran unsur-unsur bentuk puisi dengan teknik make a match Hasil pembelajaran siswa menggunakan teknik make a match telah memberikan peningkatan kemampuan siswa dalam memahami unsur-unsur bentuk puisi. Sebelum dilakukan tindakan, nilai siswa hanya berjumlah 55, nilai tersebut masih tergolong rendah dan belum mencapai standar ketuntasan belajar minimum yang telah ditentukan oleh pihak sekolah SMA Tunas Bhakti yaitu 65. Hasil peningkatan nilai pembelajaran menggunakan teknik make a match dapat dilihat pada siklus I dan II. Siklus I nilai rata-rata siswa berjumlah 65,34 dan siklus II berjumlah 75,16. Hasil pembelajaran siswa menggunakan teknik make a match dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.1 Hasil Pembelajaran Siswa dengan menggunakan Teknik Make a MatchNo 1 2 3 4 5 6 7 Nama siswa Abdurahman Anggi devianto Ana Antoni Bayu hadiatna Darius daniel Darweli Nilai Siklus I 65 75 65 65 65 65 Siklus II 70 80 65 75 65 75 90

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Devi sumaghi Dwi putra pratama Hari saputra Kanggit Muhammad M. Andriano M. Syarbaini Newi Novian hermawan Nur mixraj Nur'aini Sarah husiana Shinta Nuriyan P. Shinta larasati Seli apriani Sri wahyuningsih Susanti Wahyu nurhidayani Wiranda sarvico Yanto Yudhi nugraha Yulio ardiansyah Santi Fattoni Nugraha Chandra Setono Jumlah Rata-rata

60 60 55 60 65 60 65 60 65 60 70 70 70 60 80 70 70 65 60 65 65 80 60 1895 65.34

80 70 65 65 70 60 70 75 70 75 85 75 75 70 100 90 85 75 70 80 75 100 60 70 2330 75.1613

Nilai siswa di atas diperoleh sesuai dengan jawaban yang dituliskan ke dalam lembar jawaban, kemudian dinilai oleh guru sesuai dengan format penilaian yang terdapat dalam perangkat pembelajaran (RPP) yang telah dibuat. Tiap siklus terdiri atas 19 soal, 16 soal bernilai 2 (nomor 1 sampai 16), dan 3 soal bernilai 3 (nomor 17 sampai 19) kemudian ditentukan skornya dengan rumus yang telah ditentukan untuk mendapatkan nilai 100. Peningkatan perolehan nilai siswa pada tiap siklus disebabkan oleh metode dan teknik yang digunakan dalam

pembelajaran ini bersifat terarah, efektif dan menyenangkan, sehingga siswa menjadi bersemangat mengikuti proses belajar mengajar di kelas. Berdasarkan tabel dapat dilihat hasil rata-rata nilai siswa kelas X setelah menggunakan teknik make a match menjadi meningkat. Nilai rata-rata siklus I berjumlah 65, siswa yang memperoleh nilai 65 atau tuntas belajar berjumlah 22 orang dan siswa yang memperoleh nilai 65 berjumlah 9 orang. Nilai rata-rata silkus II berjumlah 75, siswa yang memperoleh 65 atau tuntas belajar berjumlah 29 orang dan siswa memperoleh nilai 65 berjumlah 2 orang. Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa dengan menggunakan teknik make a match dapat meningkatakan nilai rata-rata hasil belajar siswa kelas X. Peningkatan nilai rata-rata hasil belajar tersebut diperoleh berdasarkan pedoman penilaian. Aspek yang dinilai adalah kesesuaian isi jawaban dengan pertanyaan yang telah dibuat oleh guru. Untuk lebih jelas perolehan nilai pada tiap siklus dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 4.2 Diagram batang Perolehan Nilai Siswa pada Pra Riset, Siklus I dan Siklus II80 70 60 50 40 30 20 10 0 Pra Riset Siklus I Siklus II

4.3 Respon Siswa terhadap Pembelajaran Unsur-Unsur Bentuk Puisi dengan Teknik Make A Match Pada proses pembelajaran siswa menggunakan teknik make a match, peneliti mengadakan pengamatan terhadap respon dari sikap siswa kelas X. Persentase dari sikap siswa ini terdiri atas dua siklus, dari dua siklus dapat dilaksanakan terhadap peningkatan sikap siswa yang cukup tinggi. Pengamatan respon sikap siswa dilakukan dengan melihat sikap siswa sangat aktif, siswa aktif, siwa cukup aktif dan siswa kurang aktif. Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.3 Persentase Respon Sikap Siswa pada Siklus IJuml ah 31 Sangat aktif 4 (12,9% ) Sikap siswa Aktif 5 (16,13 %) Cukup aktif 5 (16,13 %) Kurang aktif 17 (54,84 %) Siswa yang Mengikuti Kegiatan Pembelajaran 14 (45,16%)

Keterangan: Persentase respon sikap siswa pada siklus I berjumlah 45,16%. Persentase rata-rata sikap siswa yang tergolong mengikuti pembelajaran menggunakan teknik make a match berjumlah 14 orang. Berdasarkan respon sikap siswa pada siklus I, siswa belum termotivasi dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini disebabkan oleh kurangnya semangat siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Persentase keaktifan sikap siswa ini diperoleh berdasarkan pedoman observasi siswa dalam pembelajaran menggunakan teknik make a match. Di dalam pedoman observasi tersebut terdapat aspek-aspek yang diamati peneliti selama penelitian sesuai dengan sikap siswa dalam proses belajar-mengajar di kelas. Alat ukur yang

digunakan adalah pilihan jawaban yang tersedia dalam lembar/format observasi yaitu pilihan jawaban ya atau tidak sesuai dengan hasil yang diamati peneliti. Tabel 4.4 Persentase Respon Sikap Siswa pada Siklus IIJuml ah 31 Sangat aktif 9 (29,03 %) Sikap siswa Aktif 6 (19,35 %) Cukup aktif 8 (25,81 %) Kurang aktif 8 (25,81 %) Siswa yang Mengikuti Kegiatan Pembelajaran 23 (74,19%)

Keterangan Persentase respon sikap siswa pada siklus II berjumlah 74.19%. Hasil respon sikap siswa tersebut mengalami peningkatan sebesar 29,03% dibandingkan pada siklus I. Ini dikarenakan pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung, guru benar-benar memberikan motivasi yang lebih tinggi dan penguatan-penguatan terhadap siswa, sehingga siswa lebih bersemangat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal tersebut dilakukan agar siswa dapat menunjukkan sikap yang aktif dalam proses belajar-mengajar, sehingga bisa memperoleh nilai yang memuaskan. Untuk lebih jelas mengetahui perolehan persentase nilai siswa pada tiap siklus, dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 4.5 Diagram Batang Persentase Nilai Siswa pada Siklus I dan Siklus II

80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00%

PersentaseNilai S iswa

Siklus I

Siklus II

4.4 Pembahasan Berikut analisis data siklus I dan II 4.4.1 Siklus I Siklus I terdiri atas empat tahap yang dilaksanakan, yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan (action), pengamatan (observing) dan refleksi

(reflecting). Selengkapnya penelitian tindakan di kelas X pada siklus I sebagai berikut. 4.4.1.1 Perencanaan (Planning) Perencanaan siklus I dilaksanakan pada hari selasa tanggal 24 november 2009. Setelah itu, peneliti membuat rencana pembelajaran yang telah disetujui oleh pihak sekolah. Selain rencana pembelajaran, peneliti menyiapkan pedomanpedoman observasi yang akan digunakan peneliti dalam mengamati kegiatan pembelajaran pada saat guru dan siswa melaksanakan pembelajaran menggunakan teknik make a match. Pedoman-pedoman observasi yang dipersiapkan sebagai berikut. 1). Pedoman observasi kemampuan guru melaksanakan pembelajaran

menggunakan teknik make a match. 2). Pedoman observasi sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran menggunakan teknik make a match. 4.4.1.2 Pelaksanaan (Acting) Tindakan siklus I dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 25 November 2009 pukul 14.10-15.20 dan hari kamis tanggal 26 November 2009, alokasi waktu yang

digunakan 4 x 40 menit. Pelaksanaan tindakan yang dilaksanakan oleh guru dan siswa sebagai berikut. 1). Pelaksanaan pembelajaran menggunakan media audio visual seperti televisi tidak tersedia di SMA Tunas Bhakti, sehingga menyulitkan guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. 2). Pelaksanaan pembelajaran menggunakan media audio seperti tape recorder telah tersedia di SMA Tunas Bhakti, sehingga memudahkan guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. 3). Guru membuka kegiatan pembelajaran dengan mengucapkan salam. 4). Guru menciptakan kondisi kesiapan siswa untuk mengikuti pelajaran dan mengabsen kehadiran siswa. Hal ini bertujuan agar siswa benar-benar siap untuk mengikuti proses belajar-mengajar. 5). Guru memberikan apersepsi kepada siswa, artinya guru menggali pengalaman/pengetahuan siswa mengenai penyampaian pengumuman yang pernah didengar. 6). Guru menyampaikan materi dan tujuan pembelajaran yang terdapat dalam perangkat pembelajaran (RPP). 7). Guru menyiapkan media yang akan dipergunakan dalam pembelajaran dan memberikan contoh rekaman puisi. 8). Siswa menyimak dan memperhatikan contoh puisi yang telah

diperdengarkan melalui rekaman oleh guru. Dengan demikian, siswa mudah memahami media yang ditampilkan dan puisi yang

diperdengarkan.

9). Guru menyiapkan kartu kuis berisi pertanyaan dan soal. 10). Guru membagi siswa dalam kelompok dan memberikan kartu kuis 11). Siswa yang memiliki kartu utama (master card) masing-masing membacakan isi kartunya. 12). Siswa dalam kelompok memikirkan jawaban atau soal dari kartu kuis yang dipegangnya 13). Siswa mencari pasangan yang cocok dengan kartu kuisnya 14). Guru memberi poin pada siswa yang mendapatkan pasangan kartu kuisnya sebelum batas waktu 15). Guru atau siswa mengocok kartu lagi agar tiap siswa mendapatkan kartu kuis yang berbeda dari sebelumnya. 16). Siswa menjawab soal yang diberikan guru dari proses mendengarkan dan memperhatikan contoh pembacaan puisi melalui rekaman. Sebab, apabila siswa mendengarkan dan memperhatikan siswa dapat menjawab soal yang diberikan guru dan dapat menjawab pertanyaan yang diberikan. 17). Guru mengumpulkan hasil tes. Hasil tes siswa dikumpulkan untuk dinilai oleh guru. Hal ini bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa dalam menjawab soal yang telah dikerjakan. 18). Guru menutup pembelajaran dengan mengucapkan salam setelah pembelajaran berlangsung. 4.4.1.3 Pengamatan (observing) Pengamatan dilakukan bersamaan dengan guru melaksanakan tindakan pada hari Rabu tanggal 25 November 2009 pukul 14.10-15.20 dan hari kamis tanggal 26

November 2009. Peneliti melakukan pengamatan dengan merekam kejadiankejadian selama proses pembelajaran berlangsung menggunakan lembar/format observasi yang telah disiapkan. Hasil pengamatan pada siklus I sebagai berikut. 4.4.1.3.1 Pengamatan Terhadap Kemampuan Guru Melaksanakan Pembelajaran Menggunakan Teknik Make a Match. Aspek-aspek yang dikelompokkan berdasarkan kemampuan guru melaksanakan tindakan diharapkan dapat dilaksanakan oleh guru untuk mendukung keberhasilan kegiatan pembelajaran menggunakan teknik make a match. Pada pengamatan siklus I yang dilakukan oleh Ibu Suratmi, S.Pd selaku pengamat guru, terdapat beberapa kemampuan guru dalam mengajar yang tidak tampak. Beberapa kemampuan tersebut sebagai berikut. 1). Guru tidak memberikan kesempatan kepada pasangan siswa yang masih kelihatan pasif atau kurang keberaniannya dalam mengeluarkan pendapat pada saat diskusi pasangan dan saat berbicara di depan kelas. Guru hanya memberikan kesempatan kepada pasangan-pasangan yang aktif bertanya dan yang mau berbicara. 2). Guru tidak memberikan evaluasi setelah kegiatan pembelajaran, guru tidak

memberikan penilaian terhadap kegiatan pembelajaran yang telah berlangsung. 3). Guru tidak memberikan PR kepada siswa. Setelah proses belajar mengajar berlangsung, guru tidak memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan di rumah. 4.4.1.3.2 Pengamatan Terhadap Sikap Siswa Melaksanakan Pembelajaran Menggunakan teknik make a match.

Pengamatan terhadap sikap siswa mengikuti pembelajaran menggunakan teknik make a match terdapat beberapa aspek yang belum tampak dari pengamatan yang dilakukan peneliti. Aspek-aspek tersebut sebagai berikut. 1) Siswa yang sangat aktif hanya berjumlah 4 orang. Artinya, hanya 4 siswa yang mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, mengeluarkan pendapat dan memberikan contoh. 2) Siswa yang aktif hanya 5 orang. Artinya, hanya 5 orang yang mampu mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, dan memberikan contoh. 3) Siswa yang cukup aktif hanya 5 orang. Artinya, ada 5 siswa yang hanya mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan dan menyampaikan contoh dengan cara dipanggil. 4) Siswa yang mengikuti pembelajaran berjumlah 14 orang, sedangkan 17 orang siswa kurang aktif. 5) Siswa yang tidak hadir berjumlah 3 orang. 2 tanpa alasan dan 1 izin. 6) Siswa masih banyak yang belum berani mengeluarkan pendapat di dalam kelompoknya sendiri maupun di depan kelas. 7) Masih ada beberapa siswa yang tidak bekerjasama dalam kelompok 4.4.1.4 Refleksi Sebelum melakukan kegiatan refleksi, peneliti menilai hasil pekerjaan siswa berdasarkan pedoman penilaian pada tanggal 25 dan 26 November 2009. Hasil penilaian menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa dalam pembelajaran menggunakan teknik make a match pada siklus I adalah 65,34.

Berdasarkan hasil tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa indikator kinerja siklus I belum tercapai dan siswa masih terlihat belum aktif. Oleh karena itu, peneliti melakukan refleksi untuk mengetahui penyebab terjadinya hal tersebut. Kegiatan refleksi dilakukan pada hari Jumat tanggal 27 November 2009. Kegiatan refleksi dilakukan peneliti dengan cara menganalisis hasil pengamatan guru pengamat kepada peneliti. Hasil analisis guru pengamat sebagai berikut sebagai berikut. 1) Pengamatan terhadap kemampuan guru melaksanakan pembelajaran

menggunakan teknik make a match siklus I ini ada beberapa kegiatan pembelajaran yang belum terlaksana sepenuhnya. Ada tiga aspek yang belum terlaksana sepenuhnya. Pertama, guru tidak memberikan kesempatan kepada kelompok siswa yang masih kelihatan pasif atau kurang keberaniannya dalam mengelurkan pendapat. Kedua, guru tidak memberikan evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah berlangsung. Ketiga, guru tidak memberikan PR kepada siswa, dan keempat, guru tidak menjaga agar pembicaraan siswa tidak menyimpang dari materi yang sedang diajarkan. Berdasarkan refleksi, tidak terlaksananya kegiatan-kegiatan ini disebabkan oleh guru yang tidak melaksanakan pembelajaran sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan. Waktu lebih banyak digunakan pada kegiatan inti, yaitu menjelaskan bagaimana teknik make a match dilakukan sehingga guru tidak dapat mengatur waktu dengan baik. 2) Pengamatan terhadap sikap siswa mengikuti pembelajaran terdiri atas beberapa kategori. Pada siklus I ini ada beberapa kategori yang belum

tercapai. Hasil pengamatan peneliti terhadap sikap siswa sebagai berikut. Pertama, siswa yang sangat aktif hanya berjumlah 4 orang. Kedua, siswa yang aktif hanya berjumlah 5 orang. Ketiga, siswa masih banyak yang belum berani untuk mengeluarkan pendapat atau menanggapi jawaban temannya dari kelompok lain. Keempat, hanya beberapa siswa yang berusaha bekerjasama dalam kelompok. Berdasarkan analisis refleksi di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran yang direncanakan belum sepenuhnya diterapkan guru dan siswa dalam pembelajaran menggunakan taknik pembelajaran make a match. Guru seharusnya lebih banyak memberikan penguatan-penguatan kepada siswa dalam proses belajar-mengajar. Sehingga dengan penguatan-penguatan yang diberikan tersebut menjadikan siswa lebih berani dalam mengajukan dan menjawab pertanyaan, memberikan dan menanggapi pendapat pada saat diskusi. Hal itu dapat memotivasi siswa untuk lebih aktif, kritis dan kreatif dalam mengemukakan ide, pendapat serta saran dalam kegiatan pembelajaran khususnya pada saat diskusi di kelas. Oleh karena itu, peneliti mengadakan siklus II untuk memperbaiki pelaksanaan tindakan yang belum terlaksana pada siklus I. Hal-hal yang perlu diperbaiki pada siklus II sebagai berikut. a). Guru memberikan kesempatan kepada siswa/kelompok yang masih terkesan pasif/kurang keberaniannya dalam mengeluarkan pendapat, ide dan saran pada saat diskusi. b). Guru memberikan evaluasi setelah proses belajar-mengajar. c). Guru memberikan PR kepada siswa

d). Guru memberikan penguatan-penguatan kepada siswa dalam proses belajar-mengajar.

4.4.2 Siklus II Siklus II dilaksanakan berdasarkan hasil refleksi pembelajaran pada siklus I yang belum bisa dikatakan berhasil. Siklus II dilaksanakan terdiri atas empat tahapan, yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan (action), pengamatan (observing) dan refleksi (reflecting). Selengkapnya penelitian tindakan kelas pada siklus II sebagai berikut. 4.4.2.1 Perencanaan Perencanaan dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 1 Desember 2009. Setelah melihat hasil refleksi siklus I, peneliti membuat rencana pembelajaran dengan materi dan langkah-langkah yang berbeda dengan siklus I. Selain menyiapkan pembelajaran dan perangkat mengajar, peneliti menyiapkan pedoman observasi yang akan digunakan peneliti dalam mengamati kegiatan pembelajaran menggunakan teknik make a match. Pedoman-pedoman observasi yang dipersiapkan sebagai berikut. 1) Pedoman observasi kemampuan guru melaksanakan pembelajaran

menggunakan teknik make a match. 2) Pedoman observasi kemampuan siswa dalam mengikuti pembelajaran menggunakan teknik make a match.

4.4.2.2 Pelaksanaan Pelaksanan tindakan dilaksanakan pada hari rabu, 2 desember 2009 dan rabu, 3 Desember 2009, waktu yang digunakan adalah 4 x 40 menit. Kegiatan yang dilakukan guru dan siswa sebagai berikut. 1). Pelaksanaan pembelajaran menggunakan media audio visual seperti televisi tidak tersedia di SMA Tunas Bhakti, sehingga menyulitkan guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. 2). Pelaksanaan pembelajaran menggunakan media audio seperti tape recorder telah tersedia di SMA Tunas Bhakti, sehingga memudahkan guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. 3). Guru memotivasi siswa untuk siap melanjutkan kegiatan pembelajaran selanjutnya. 4). Guru menyampaikan materi dan tujuan pembelajaran. 5). Guru memberikan apersepsi kepada siswa, artinya guru menggali

pengalaman/pengetahuan siswa mengenai contoh kalimat puisi yang pernah didengar. 6). Guru memberikan penguatan-penguatan kepada siswa dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran selanjutnya. 7). Guru menyiapkan media yang akan dipergunakan dalam pembelajaran dan memberikan contoh rekaman puisi. 8). Siswa menyimak dan memperhatikan contoh puisi yang telah diperdengarkan melalui rekaman oleh guru. Dengan demikian, siswa mudah memahami media yang ditampilkan dan puisi yang diperdengarkan.

9). Guru menyiapkan kartu kuis berisi pertanyaan dan soal. 10). Guru membagi siswa dalam kelompok dan memberikan kartu kuis 11). Siswa yang memiliki kartu utama (master card) masing-masing membacakan isi kartunya. 12). Siswa dalam kelompok memikirkan jawaban atau soal dari kartu kuis yang dipegangnya 13). Siswa mencari pasangan yang cocok dengan kartu kuisnya 14). Guru memberi poin pada siswa yang mendapatkan pasangan kartu kuisnya sebelum batas waktu 15). Guru atau siswa mengocok kartu lagi agar tiap siswa mendapatkan kartu kuis yang berbeda dari sebelumnya. 16). Siswa menjawab soal yang diberikan guru dari proses mendengarkan dan memperhatikan contoh pembacaan puisi melalui rekaman. Sebab, apabila siswa mendengarkan dan memperhatikan siswa dapat menjawab soal yang diberikan guru dan dapat menjawab pertanyaan yang diberikan. 17). Guru membimbing jalannya proses belajar mengajar dengan teknik make a match. 18). Guru memberikan kesempatan kepada siswa/kelompok yang masih terlihat pasif/kurang berani dalam mengeluarkan ide, pendapat dan saran pada saat pembelajaran berlangsung. 19). Guru memberikan tes kepada siswa.

20). Guru mengumpulkan hasil tes. Hasil tes siswa dikumpulkan untuk dinilai oleh guru. Hal ini bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa dalam menjawab soal yang telah dikerjakan. 21). Guru merefleksikan kegiatan pembelajaran yang telah berlangsung. 22). Guru menutup pembelajaran dengan mengucapkan salam setelah

pembelajaran berlangsung.

4.4.2.3 Pengamatan (Observing) Pengamatan dilaksanakan bersamaan dengan guru melaksanakan tindakan pada hari Selasa tanggal 24 November 2009 dan hari Rabu tanggal 25 November 20009 pukul 10.00-11.20. Peneliti melakukan pengamatan dengan merekam kejadiankejadian selama proses pembelajaran menggunakan pedoman-pedoman observasi yang telah disiapkan. Hasil pengamatan peneliti pada siklus II sebagai berikut. 1). Askpek-aspek yang dikelompkkan berdasarkan kemampuan guru

melaksanakan tindakan sudah dilaksanakan oleh guru. 2). Pengamatan dilaksanakan. Hasil pengamatan peneliti terhadap siswa sebagai berikut. 1). Siswa yang sangat aktif berjumlah 9 orang. Artinya hanya siswa yang mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, mengeluarkan pendapat. 2). Siswa yang aktif berjumlah 6 orang, artinya ada 6 siswa yang mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan yang diberikan. terhadap sikap siswa mengikuti pembelajaran sudah

3). Siswa yang cukup aktif 8 orang, artinya ada 8 siswa yang hanya mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan dengan cara dipanggil satu persatu. 4). Siswa yang mengikuti pembelajaran berjumlah 23 orang, sedangkan hanya 8 siswa yang kurang aktif. 5). Siswa yang tidak hadir berjumlah nihil. 6). Siswa saling bekerjasama satu dengan yang lainnya. 7). Siswa terlihat antusias dengan model pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru, terlihat dari tidak ada siswa yang bericara di luar konteks pelajaran dan tidak ada siwa yang keluar masuk kels tanpa alasan yang jelas. 4.4.2.4 Refleksi Sebelum melakukan kegiatan refleksi, peneliti menilai hasil pekerjaan siswa pada saat setelah pembelajaran selesai berdasarkan pedoman penilaian pada tanggal 2 Desember 2009. Hasil penilaian menunjukkan bahwa rata-rata nilai siswa dalam pembelajaran menggunakan teknik make a match pada siklus II adalah 75 dan menunjukkan ketuntasan belajar. Berdasarkan hasil tersebut, dapat peneliti simpulkan bahwa pelaksanaan tindakan pada siklus II sudah terealisasi dengan baik. Indikator kinerja terhadap hasil pembelajaran menggunakan teknik make a match yang dilakukan siswa sudah tercapai dengan hasil yang memuaskan. Selain itu, siswa sudah termotivasi, lebih aktif, kreatif, kritis dan antusias dalam mengikuti pembelajaran. Oleh karena itu, peneliti sepakat untuk tidak melaksanakan penelitian pada siklus selanjutnya. Dapat dikatakan bahwa pembelajaran menggunakan teknik make a match di kelas X semester I SMA Tunas Bhakti membawa pengaruh positif dalam proses belajar-

mengajar di kelas. Untuk itu, peneliti menyarankan agar guru melakukan hal yang sama dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran berikutnya.

BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan, diperoleh simpulan sebagai berikut. 1. Pelaksanan kemampuan berbicara siswa menyampaikan pengumuman di kelas X semester 1 SMA Tunas Bhakti tahun pembelajaran 2009/2010 adalah menggunakan tknik make a match. Langkah-langkah pembelajaran ini dilakukan dengan cara sebagai berikut. Pertama, peneliti membuat perencanaan dan menyiapkan perangkat mengajar yaitu RPP. Kedua, guru sebagai peneliti melaksanakan perencanaan yang telah dibuat dan didukung kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran. 2. Hasil pembelajaran siswa menggunakan teknik make a match telah memberikan peningkatan kemampuan siswa dalam pembelajaran unsur-unsur bentuk puisi di kelas X. Sebelum dilakukan tindakan, nilai siswa hanya berjumlah 55. Nilai tersebut masih tergolong rendah dan belum mencapai standar ketuntasan belajar minimum yang telah ditentukan oleh pihak SMA Tunas Bhakti, yaitu 65. Hasil peningkatan nilai pembelajaranmenggunakan teknik make a match dikelas X dapat dilihat pada siklus I dan II. Siklus I nilai rata-rata siswa berjumlah 65 dan siklus II berjumlah 75. 3. Persentase respon sikap siswa pada silus I berjumlah 45,16%. Persentase ratarata sikap siswa yang tergolong mengikuti pembelajaran menggunakan teknik

56

make a match berjumlah 14 orang siswa. Berdasarkan respon siswa pada siklus I, siswa belum termotivasi dalam kegiatan pembalajaran. Hal ini disebabkan oleh kurangnya semangat siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Persentase keaktifan sikap siswa diperoleh berdasarkan pedoman observasi siswa dalam pembelajaran menggunakan teknik make a match. Persentase respon sikap siswa pada siklus II berjumlah 74,19%. Hasil respon sikap siswa tersebut mengalami peningkatan sebesat 43,98% dibandingkan pada siklus I. Hal ini dikarenakan pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung, guru benar-benar mmberikan motivasi yang lebih tinggi dan penguatan-penguatan terhadap siswa, sehingga siswa lebih bersemangat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.

5.2 Saran Berdasarkan uraian mengenai penelitian tindakan kelas yang telah peneliti laksanakan, peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut. 1).Peneliti harus benar-benar mengetahui masalah/kendala yang dialami dalam proses belajar-mengajar. 2).Sebaiknya dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas, peneliti didampingi oleh rekan sejawat sebagai pengamat jalannya proses belajar mengajar. Hal ini bertujuan agar pengamat dapat memberikan masukan untuk perbaikan yang akan dilakukan pada siklus selanjutnya.

3).Diharapakan kepada setiap guru mampu menggunakan metode pemeblajaran secara bervariasi, menarik serta konstruktif, agar proses belajar mengajar menjadi lebih baik dan menyenangkan bagi siswa. 4).Untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa pada saat melaksanakan teknik pembelajaran make a match dan unsur-unsur bentuk puisi hendakanya sebagai guru memberikan motivasi kepada siswa agar siswa menjadi lebih aktif. 5).Diharapakan kepada siswa agar dapat meningkatkan aktivitas dalam belajar sebelum melaksanakan teknik make a match serta memanfaatkan waktu belajar dengan sebaik-baiknya. 6).Diharapakan penggunaan teknik make a match ini tidak hanya diterapkan pada materi unsur-unsur bentuk pusi tetapi juga pada materi lainnya.