5. bab ii pembahasan

44
5 BAB II PEMBAHASAN Efek yang mungkin timbul dari pengulangan perpanjangan obat terbagi menjadi 6 macam efek yaitu sebagai berikut: 2.1 Reaksi Hipersensitif /Hipersensitivitas Pengertian Reaksi hipersensitif ialah suatu reaksi alergik yang merupakan respons abnormal terhadap obat dimana pasien sebelumnya telah kontak dengan obat tersebut hingga berkembang timbul antibodi. Perlu diingatkan jangan sering menggunakan salep antibiotik maupun penggunaan per oral. Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik yang terjadi akibat respon imun yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Kerusakan yang terjadi pada jaringan host adalah konsekuensi dari hipersensitivitas dari reaksi imun. Terminologi sensitivitas, alergi dan hipersensitivitas adalah pengertian yang sama. Pada individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak yang kedua dengan antigen spesifik (allergen). Pembagian

Upload: farid-riyadi

Post on 22-Dec-2015

46 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

BAB IIPEMBAHASANEfek yang mungkin timbul dari pengulangan perpanjangan obat terbagi menjadi 6 macam efek yaitu sebagai berikut:2.1 Reaksi Hipersensitif/Hipersensitivitas PengertianReaksi hipersensitif ialah suatu reaksi alergik yang merupakan respons abnormal terhadap obat dimana pasien sebelumnya telah kontak dengan obat tersebut hingga berkembang timbul antibodi. Perlu diingatkan jangan sering menggunakan salep antibiotik maupun penggunaan per oral.Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik yang terjadi akibat respon imun yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Kerusakan yang terjadi pada jaringan host adalah konsekuensi dari hipersensitivitas dari reaksi imun. Terminologi sensitivitas, alergi dan hipersensitivitas adalah pengertian yang sama. Pada individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak yang kedua dengan antigen spesifik (allergen). PembagianHipersensitivitas terbagi menjadi 4 kelas (tipe I – IV) berdasarkan mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif antara lain sebagai berikut:1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Reaksi Cepat/Anafilaksis/Anafilaktik)Reaksi Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemetik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi local (misalnya alergi atopik seperti demam hay). Mekanisme umum dari hipersensitivitas tipe cepat dimulai ketika antigen menginduksi pembentukan IgE (Imunoglobulin E), yang terikat kuat dengan reseptor pada sel basofil dan sel mast melalui bagian Fc antibodi tersebut. Beberapa saat kemudian kontak yang kedua dengan allergen yang

TRANSCRIPT

Page 1: 5. Bab II Pembahasan

5

BAB II

PEMBAHASAN

Efek yang mungkin timbul dari pengulangan perpanjangan obat terbagi menjadi

6 macam efek yaitu sebagai berikut:

2.1 Reaksi Hipersensitif /Hipersensitivitas

Pengertian

Reaksi hipersensitif ialah suatu reaksi alergik yang merupakan respons

abnormal terhadap obat dimana pasien sebelumnya telah kontak dengan obat

tersebut hingga berkembang timbul antibodi. Perlu diingatkan jangan sering

menggunakan salep antibiotik maupun penggunaan per oral.

Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik yang terjadi

akibat respon imun yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, sehingga

menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Kerusakan yang terjadi pada jaringan

host adalah konsekuensi dari hipersensitivitas dari reaksi imun. Terminologi

sensitivitas, alergi dan hipersensitivitas adalah pengertian yang sama. Pada

individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak yang

kedua dengan antigen spesifik (allergen).

Pembagian

Hipersensitivitas terbagi menjadi 4 kelas (tipe I – IV) berdasarkan

mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif antara lain sebagai

berikut:

1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Reaksi Cepat/Anafilaksis/Anafilaktik)

Reaksi Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan dalam

beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini

dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemetik (misalnya setelah pemberian

protein heterolog) atau sebagai reaksi local (misalnya alergi atopik seperti

demam hay). Mekanisme umum dari hipersensitivitas tipe cepat dimulai ketika

antigen menginduksi pembentukan IgE (Imunoglobulin E), yang terikat kuat

dengan reseptor pada sel basofil dan sel mast melalui bagian Fc antibodi

tersebut. Beberapa saat kemudian kontak yang kedua dengan allergen yang

Page 2: 5. Bab II Pembahasan

6

sama mengakibatkan fiksasi anti gen ke IgE yang terikat ke sel dan pelepasan

mediator yang aktif secara farmakologis dari sel tersebut dalam waktu

beberapa menit.

Reaksi ini meliputi 3 fase yaitu:

A. Fase Sensitasi

Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya

reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit atau basofil. IgE yang

dibentuk biasanya dalam jumlah yang sedikit, yang diikat oleh sel mastosit

atau basofil untuk beberapa minggu.

B. Fase Aktivasi

Waktu yang dibutuhkan untuk pajanan (menampakkan) ulang dengan

antigen yang spesifik dan sel mastosit melepaskan isinya yang berisikan

granul yang menimbulkan reaksi. Dalam fase aktivasi terjadi perubahan

dalam membran sel akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti influks.

C. Fase Efektor

Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek

mediator-mediator yang dilepas sel mastosit dengan aktivitas farmakologik.

Respons yang terjadi menyerupai alergi Hay Fever atau yang dapat

mengancam jiwa seperti anafilatik shock terhadap penicillin.

Reaksi yang terjadi pada tipe ini yaitu:

- Eritem : Kemerahan karena dilatasi vascular.

- Edem : Pembengkakan yang disebabkan masuknya serum ke dalam jaringan

tubuh.

- Pada fase aktivasi, terjadi perubahan membran sel akibat dari metilasi

fosfolipid yang diikuti influks Ca2+.

Contoh-contoh penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan oleh

allergen:

Page 3: 5. Bab II Pembahasan

7

Asma bronchial

Page 4: 5. Bab II Pembahasan

8

Disebut juga bengek

adalah suatu penyakit

kronis yang ditandai

dengan adanya

peningkatan kepekaan

saluran napas terhadap

berbagai rangsang dari luar (debu, serbuk bunga, udara dingin, makanan

dll) yang menyebabkan penyempitan saluran napas yang meluas dan dapat

sembuh spontan atau dengan pengobatan.

Rhinitis

Adalah radang selaput hidung yang ditandai dengan gejala bersin, hidung

tersumbat, gatal hidung, dan hidung berair. Ada 2 tipe rhinitis yaitu

musiman dan menahun. Rhinitis musiman (hay fever) terjadi secara

musiman dan disebabkan oleh allergen di luar ruangan seperti serbuk sari

dari pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan rhinitis menahun yang

dapat terjadi sepanjang tahun, biasanya dipicu oleh allergen di dalam

ruangan seperti bulu binatang, tungau debu, debu, jamur di kelembaban

dan kadang-kadang alergi makanan.

Dermatitis atopi

Adalah peradangan pada kulit yang lebih

sering muncul pada bayi dan anak kurang

dari 12 tahun, dimana tanda dan gejalanya

Page 5: 5. Bab II Pembahasan

9

sangat khas yaitu kemerahan pada kulit yang disertai gatal dan nyeri

kadang-kadang bengkak, sifatnya kronis/menahun. Penyakit ini dialami

oleh sekitar 10-20% anak.

2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Sitotoksik)

Hipersensitivitas tipe ini melibatkan pengikatan antibodi (IgG dan IgM)

ke antigen permukaan sel atau molekul matriks ekstraseluler. Antibodi ini akan

mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ R sebagai efektor Antibody

Dependen Cellular Cytotoxicity (ADCC). Ikatan antigen-antibodi akan

mengaktifkan komplemen (melalui reseptor C3B), memudahkan fagositosis

dan menimbulkan lisis.

Hasil akhir reaksi ini sama dengan Tipe I yaitu: terjadi pelepasan

histamine dan bahan-bahan vasoaktif lain. Perbedaannya di sini antigen

merupakan bagian dari atau melekat pada sel yang mengandung bahan

vasoaktif. Antibodi (biasanya IgG atau IgM) akan bereaksi dengan antigen

permukaan tersebut yang mengakibatkan kerusakan membran sel dan

pelepasan bahan-bahan vasoaktif, tetapi tidak didapatkan laporan tentang

reaksi yang disebabkan oleh melekatnya produk korosi atau degradasi

biomaterial pada permukaan sel.

Contoh reaksi tipe II:

1) Destruksi SDM akibat reaksi transfuse

Reaksi ini merupakan bentuk paling sederhana dari reaksi sitotoksik akibat

dari ketidakcocokan transfusi darah sistem ABO yang akan menghancurkan

eritrosit dalam vaskuler.

2) Anemia Hemolitik

Terjadi akibat suatu infeksi sehingga terbentuk Ig terhadap SDM sendiri.

3) Reaksi Obat

Terjadi akibat hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang

menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik.

4) Sindrom Goodpasture

Penyakit autoimun yang membentuk antibodi terhadap membran basal

glomerulus dan paru. Sering ditemukan setelah infeksi Streptococcus Sp.

5) Myasthenia Gravis

Page 6: 5. Bab II Pembahasan

10

Yaitu penyakit lemah otot karena gangguan transmisi neuromuscular,

sebagian disebabkan oleh auto antibodi terhadap reseptor asetilkolin.

6) Pempigus

Terbentuk antibodi terhadap desmosom di antara keratinosit sehingga

terjadi pelepasan epidermis dan gelembung-gelembung.

3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe 3 (Reaksi Kompleks Imun)

Ketika antibodi bergabung dengan antigennya yang spesifik, terbentuk

kompleks imun. Secara normal, kompleks tersebut akan dibuang oleh sistem

retikuloendotelial, tetapi kadang-kadang kompleks tersebut masih ada dan

dideposisi di jaringan-jaringan, dan mengakibatkan terjadinya beberapa

gangguan. Terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi

atau dinding pembuluh darah atau jaringan yang mengaktifkan komplemen C3a

dan C5a. Antibodi yang berperan yaitu IgM dan IgG. Antigen dapat berasal

dari:

Kuman pathogen yang persisten (malaria);

Bahan yang terhirup (spora jamur);

Jaringan sendiri (penyakit autoimun).

Reaksi ini merupakan hasil presipitasi (pengendapan) kompleks antigen

antibodi. Dengan paparan yang lama, organ-organ seperti ginjal, paru-paru,

jantung dan persendian secara permanen dapat dipengaruhinya. Presipitat

(pengendap) dapat menyumbat pembuluh darah kecil sehingga menyebabkan

aktivasi sistem komplemen dan respon inflamasi (adanya gangguan fungsi)

nonspesifik yang menyebabkan kerusakan pada bagian tersebut.

Hipersensitivitas tipe I,II dan III diperantarai oleh antibodi dan dapat timbul

dalam waktu beberapa menit atau jam dari reaksi tersebut. Tipe-tipe tersebut

diklasifikasikan sebagai reaksi hipersensitivitas humoral atau immediate.

Reaksi Tipe 3 mempunyai dua bentuk yaitu:

1) Reaksi Arthus

Reaksi ini secara lokal dan khas terjadi di kulit ketika dosis rendah

antigen disuntikkan dan terbentuk kompleks imun secara local. Antibodi

Page 7: 5. Bab II Pembahasan

11

IgG terlibat dalam proses tersebut dan aktivasi komplemen yang terjadi

menyebabkan pelepasan mediator dan meningkatkan permeabilitas

vaskuler. Ini secara khas terjadi dalam 4-10 jam.

2) Reaksi Serum Sickness

Reaksi ini menyebabkan penyakit serum. Setelah injeksi serum asing

(obat tertentu), antigen dibersihkan dan disirkulasi secara perlahan-lahan

dan produksi antibodi pun dimulai. Adanya antigen dan antibodi secara

simultan, mengakibatkan produksi kompleks imun yang dapat bersirkulasi

atau dideposisi di berbagai tempat. Penyakit serum yang khas menyebabkan

demam, urtikaria, artralgia limfadenopati dan splenomegali, beberapa hari

sampai 2 minggu setelah injeksi serum asing.

Contoh reaksi yang disertai kompleks imun adalah:

Demam reumatik

Adalah penyakit inflamasi

yang dapat berkembang

selama dua sampai tiga

minggu setelah infeksi

Streptococcus Grup A (seperti

radang tenggorokan atau

demam berdarah). Demam

reumatik akut biasanya muncul pada anak-anak usia 5 dan 15 tahun,

dengan hanya 20% dari serangan pertama kali terjadi pada orang

dewasa.

4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV ( Reaksi Hipersensitivitas Lambat)

Hipersensitivitas tipe lambat merupakan fungsi dari limfosit T

tersensitisasi secara spesifik, bukan merupakan fungsi antibodi. Reaksi imun

ini lambat, yakni respon ini dimulai beberapa jam (beberapa hari) setelah

kontak dengan antigen dan sering berlangsung selama berhari-hari.

Jenis antigen pada reaksi ini :

Jaringan asing;

Mikroorganisme intraseluler (virus, mycobakteri);

Page 8: 5. Bab II Pembahasan

12

Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung

dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.

Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Ini merupakan Cell

Immediate Sensitivity. Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II, dan III yang

berperan adalah antibodi (imunitas humoral) sedangkan pada tipe IV yang

berperan adalah Limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T

peka (sensitized T Lynphocyte) bereaksi dengan antigen dan menyebabkan

terlepasnya mediator (Limfokin) yang berakibat terjadinya peradangan lokal

subkutan atau musculus yang menyebabkan peningkatan masa jaringan yang

dapat kita palpasi (teraba). Reaksi ini sering memerlukan waktu berhari-hari,

dikenal sebagai delayed hypersensitivity. Pada beberapa individu, terjadi

sensitivitas kontak terhadap komponen biomaterial.

Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV yaitu:

a. Reaksi Jones Mote (JM)

Reaksi ini ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Reaksi

ini timbul oleh karena terdapat antigen yang larut dan oleh limfosit yang

peka terhadap siklofosfamide. Reaksi ini terjadi sesudah 24 jam.

b. Dermatitis kontak dan Hipersensitivitas kontak

Hipersensitivitas kontak terjadi setelah sensitisasi dengan zat kimia

sederhana (misalnya nikel, formaldehid), bahan-bahan kimia, bahan-bahan

tumbuhan (racun pohon oak), obat yang digunakan secara topikal (misalnya

sulfonamide, neosin). Molekul-molekul kecil masuk ke dalam kulit dan

kemudian bereaksi sebagai hapten, melekat pada protein tubuh dan

bertindak sebagai antigen komplit. Hipersensitivitas yang diperantarai oleh

sel terinduksi, khususnya di kulit. Ketika kulit kembali kontak dengan agen

penyebab hipersensitivitas tersebut, orang yang sensitif mengalami erotema,

gatal, vesikulasi, eksema, atau nekrosis kulit dalam waktu 14-28 jam.

Dermatitis kontak adalah dermatitis yang timbul pada kulit tempat kontak

dengan allergen.

c. Reaksi Tuberkulin

Page 9: 5. Bab II Pembahasan

13

Hipersensitivitas lambat terhadap antigen mikroorganisme terjadi pada

banyak penyakit infeksi dan telah digunakan sebagai alat bantu diagnosis.

Seperti yang terjadi pada reaksi tuberculin. Reaksi ini terjadi 20 jam setelah

terpajan dengan antigen. Kemudian setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit

dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah sehingga menyebabkan

hubungan serat-serat kolagen kulit rusak.

d. Reaksi Granuloma

Reaksi yang menyusul respon akut dimana terjadi influks monosit, neutrofil

dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan terkontrol neutrofil dikerahkan lagi

dan berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuclear yaitu sel

monosit, sel makrofag, sel limfosit dan sel plasma yang menyebabkan

gambaran patologik dari inflamasi kronik, monosit dan makrofag yang

berperan:

þ Menelan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang

berdegenerasi;

þ Modulasi respons imun dan fungsi sel T melalui presentasi antigen dan

sekresi sitokin;

þ Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel yang berperan dalam

informasi melalui sekresi sitokin.

Alergi obat yang terbanyak adalah melalui tipe I dan tipe IV. Penyebab

alergi terbanyak adalah golongan penisilin, sulfat, salisilat, dan pirazolon,

asam mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion, dll.

Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik. Satu macam

obat dapat menimbulkan berbagai gejala pada seseorang, dan berbeda dengan

orang lain, dari ringan sampai berat. Demam, Penyakit Jaringan Ikat Sistemik

Lupus Eritematosus (SLE) dan Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang

Page 10: 5. Bab II Pembahasan

14

paling sering, dapat berupa gatal, urtika, purpura, dermatitis kontak, reaksi

fotosensifitas, dermatitis eksfoliatif, dan Sindroma Steven Johnson.

Urtikaria Dermatitis

medikamentosa

Sindroma Steven Johnson

Contoh kasus efek reaksi hipersensitif:

1. Asma Broncial:

Pasien seorang perempuan usia 58 tahun datang dengan keluhan sesak nafas

sejak ± 2 hari SMRS. Sebelumnya pasien sering sesak nafas jika suasana

dingin atau kelelahan. Awalnya sesak napas hanya timbul satu bulan sekali

tapi lama-lama frekuensi sesak semakin sering terutama dua tahun terakhir ini.

Dan sejak tiga bulan terakhir, sesak napas datang setiap hari. Sesak napas

dirasakan memberat pada malam hari atau saat suasana dingin atau jika pasien

kelelahan. Dan hampir setiap malam sesak napas datang. Pasien juga

mengeluh batuk berdahak bersamaan dengan sesaknya. Selama tiga bulan

terakhir ini pasien rutin meminum obat dari hasil kontrol ke Poliklinik

Penyakit Dalam RSAY. Pasien mendapat 4 jenis obat, namun pasien tidak tahu

nama obatnya.

Page 11: 5. Bab II Pembahasan

15

2. Penyakit Rinitis:

Pasien perempuan 36 tahun, dengan keluhan pilek kambuh-kambuhan kurang

lebih 10 tahun, memberat 1 bulan ini. Pasien juga sering bersin-bersin

terutama apabila menghirup serbuk bunga salak. Hidung dirasakan tersumbat

dan keluar ingus cair. Tenggorokan terasa gatal. Bila pagi hari dan udara

dingin pilek dirasakan bertambah, bersin-bersin juga dikeluhkan bertambah.

Pasien tidak demam saat datang ke poliklinik,. Pasien bolak-balik berobat ke

puskesmas, tetapi tidak mereda. Pasien belum pernah melakukan tes alergi,

menyangkal mempunyai penyakit asma dan tidak ada keluarga yang menderita

penyakit serupa dengan pasien. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

serta pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis menderita rhinitis alergi.

3. Sindroma Steven Johnson:

Seorang anak perempuan usia 8

tahun beralamat di Tepas, Brang Rea

kabupaten KSB dikirim RSUD

Sumbawa Barat ke UGD RSUP NTB

pada tanggal 27 Februari 2012, dengan

keluhan utama kulit kering dan

terkelupas disertai rasa gatal pada

hampir seluruh tubuh. Kulit kering dan

terkelupas tersebut sejak ± 3 hari yang

lalu, sebelumnya ± 1 minggu yang lalu kulit pada hampir seluruh tubuh

melepuh seperti luka bakar dan nyeri.

Pasien sebelumnya ± 13 hari yang lalu, pernah tertusuk paku kemudian

berobat ke Puskesmas dan diberi obat amoksisilin. Setelah 4 hari minum

amoksisilin saudara pasien (kakak) mengaku bahwa timbul bintik-bintik merah

di kaki pasien, kemudian setelah ± 3 hari bintik-bintik tersebut berisi cairan

dan menyebar ke seluruh tubuh, termasuk sekitar mulut namun pada mata

pasien tetap normal. Kemudian pada hari ke-6  bintik-bintik tersebut pecah,

menghitam dan melepuh seperti luka bakar, kemudian dirawat di RSUD

Sumbawa Barat. Saudara pasien (kakak) mengaku bahwa pasien belum pernah

mengalami hal yang sama sebelumnya dan tidak mengetahui riwayat alergi

Page 12: 5. Bab II Pembahasan

16

pasien sebelumnya. Saudara pasien (kakak) juga mengaku bahwa tidak ada

keluarga yang mengalami hal yang sama.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien kompos mentis. Wujud

kelainan kulit didapatkan pada hampir seluruh tubuh terdapat patch eritem

kehitaman, generalisata dengan erosi yang membasah, krusta coklat dan

deskuamasi.

Tabel Perbandingan Tipe Hipersensitivitas

KarakteristikTipe I

AnafilaktikTipe II

Sitotoksik

Tipe III Kompleks

imun

Tipe IV Tertunda (delayed)

Antibodi IgE IgG, IgM IgG, IgM Tidak adaAntigen Eksogen Permukaan sel Larut Jaringan dan

organWaktu respons

15-30 menit

Menit-jam 3-8 jam 48-72 jam

Penampilan Weal and flare

Lisis dan nekrosis

Eritema edema, nekrosis

Eritema dan indurasi

Histologi Basofil dan eosinofil

Antibodi dan komplemen

Komplemen dan neutrofil

Monosit dan limfosit

Transfer dengan

Antibodi Antibodi Antibodi Sel T

Contoh Alergi asma

Eritroblastosis fetalis, goodpasture’s nephritis.

SLE, penyakit paru Farmer

Tes tuberkulin, racun ivy, granuloma

Efek Samping Akibat Hipersensitif Obat

Reaksi hipersensitivitas obat merupakan efek negatif obat jika digunakan

dengan dosis yang bisa ditolerir oleh subjek normal. Efek ini mungkin terlihat

sama dengan alergi secara klinis. Sejumlah gejala yang hampir sama dengan

sering kali disalahartikan sebagai alergi obat yang sebenarnya. Menurut

pengkajian nomenklatur Committee of the World Allergen Organization, alergi

obat mengacu kepada reaksi hipersensitivitas obat yang menunjukkan suatu

mekanisme imunologi yang pasti (IgE atau mekanisme yang dimediasi sel T).

Page 13: 5. Bab II Pembahasan

17

Mekanisme imun terlibat dalam sejumlah efek negatif yang disebabkan oleh

obat. Terjadinya alergi menunjukkan paparan sebelumnya terhadap obat atau zat

yang berhubungan erat. Sebagian besar obat memiliki bobot molekul kurang dari

1.000 sehingga tidak antigenik. Namun, kombinasi antara obat-obat ini dan zat-

zat yang bertindak sebagai hapten dengan bobot molekul tinggi (biasanya protein)

dapat membuat obat bersifat antigenik.

Faktor-faktor risiko munculnya alergi obat belum dipahami secara penuh.

Sebagian obat (missal penisilin) berpeluang lebih besar menimbulkan reaksi

alergi dibandingkan obat lain. Reaksi tipe I lebih lazim terjadi pada pasien dengan

riwayat atopik. Ada hubungan antara reaksi alergi yang melibatkan

Imunoglobulin E (IgE).

Manifestasi klinis dari hipersensitivitas obat tergantung kepada sejumlah

faktor, termasuk karakteristik kimia atau structural suatu obat, latar belakang

genetik pasien, spesifikasi, dan fungsi respons imun yang diinduksi oleh obat.

Ada beberapa tipe mekanisme efektor imun yang bisa menghasilkan reaksi

hipersensitivitas dengan pola klinis yang berbeda-beda. Misalnya, penisilin

sebagai obat-obatan klasik yang bertindak sebagai hapten, dilaporkan bisa

menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang dimediasi IgE tipe I (tipe immediate)

serta reaksi-reaksi yang dimediasi non-IgE, termasuk erupsi morbiliformis,

eritema multiformis dan sindrom Stevens-Johnson.

Faktor Risiko Reaksi Hipersensitivitas Obat

Beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan obat, regimen obat, dan

pasien (seperti usia, jenis kelamin, penyakit yang terjadi bersamaan, dan reaksi

sebelumnya terhadap obat) ditemukan memililiki peran penting dalam

hipersensitivitas obat.

1. Aspek yang berhubungan dengan obat.

Banyak obat yang saat ini digunakan dalam praktik sehari-hari . Namun, obat-

obatan yang terlibat dalam reaksi alergi adalah sejumlah kecil kelompok obat.

Page 14: 5. Bab II Pembahasan

18

Suatu zat harus memiliki bobot molekul yang cukup (11.000 dalton). agar

menjadi imunogenik atau allergen lengkap. Dengan demikian, sebagian besar

obat bertindak sebagai hapten dan harus mengikat dengan protein pengangkut

agar bisa menginduksi respons imun spesifik. -Laktam pada dasarnya bersifat

reaktif (mendukung konsep hapten tentang patofisiologi alergi obat). Obat-

obatan lain, seperti sulfametoksazol, memerlukan konversi menjadi suatu

intermediate reaktif (konsep prohapten). Sitotoksisitas terkait obat mungkin

juga sangat penting dalam meningkatkan respons imun (konsep bahaya).

Meskipun tidak reaktif, sebagian obat lain masih bisa bersifat imunogenik

dengan pengikatan langsung ke reseptor imun, terutama reseptor sel T (konsep

interaksi farmakologi). Ibia dkk. menjelaskan bahwa jenis obat (bahkan di

antara kelompok terapi yang sama) merupakan suatu faktor risiko penting

terjadinya alergi obat. Melalui sebuah review yang dilakukan pada kelompok

pasien yang mendapat terapi antibiotik, Ibia dkk. mendapatkan bahwa

frekuensi reaksi yang terjadi antara lain 12,3% untuk sefaklor, 8,5% untuk

sulfonamide, 7,4% untuk penisilin, dan 2,6% untuk sefalosporin lainnya.

2. Regimen terapi.

Dosis obat dan cara pemberian memengaruhi frekuensi reaksi. Sepertinya,

pemberian secara intermitten atau berulang membuat pasien lebih peka

daripada pemberian secara terus-menerus. Dalam kaitannya dengan rute

pemberian, rute parenteral dianggap paling imunogenik daripada rute oral

meskipun data akurat yang menunjukkan hal ini masih belum memadai.

Pemberian obat secara topical ke kulit (bukan mukosa) adalah salah satu jalur

sensitisasi yang penting.

3. Faktor yang berhubungan dengan inang (host).

Faktor-faktor terkait inang bisa memicu pasien terhadap alergi obat, terutama

karena faktor-faktor ini bertindak di jalur proses obat. Sebagian besar studi

menunjukkan bahwa wanita lebih sering terserang daripada pria (65-70%

dibandingkan 30-35%). Namun, perbedaan ini tergantung kepada kelompok

usia serta jenis reaksi (tingkat reaksi kutan adalah 35% lebih tinggi pada

wanita daripada pria).

Page 15: 5. Bab II Pembahasan

19

2.2 Reaksi Kumulasi (Cummulation)

Pengertian

Reaksi kumulasi adalah suatu fenomena pengumpulan obat dalam badan

akibat pengulangan penggunaan obat, dimana obat diekskresi lebih lambat

dibanding kecepatan absorpsinya dan dapat menimbulkan efek toksik.

Kumulasi dalam lemak terjadi dengan beberapa obat lipofil, misalnya

DDT, barbital kerja-pendek

(thiopental), anestetika halogen

(kloroform, halothan) dan zat-zat

estrogen tertentu. Sebagaimana

PP (pengikatan protein plasma),

terjadinya kumulasi obat di organ

atau jaringan tertentu merupakan

suatu cara penimbunan, dari

mana obat berangsur-angsur dilepaskan kembali dalam peredaran bila

konsentrasinya dilokasi tersebut menurun. Dengan demikian daya kerja obat

diperpanjang pula. Pada penilaian aktivitas obat-obat yang bersifat kumulasi

perlu diperhatikan bahwa antara konsentrasi plasma dan efek terapeutisnya

tidak ada hubungan langsung.

Contoh kasus efek reaksi kumulasi:

Pada

penggunaan obat fenitoin atau obat anti epilepsy yaitu salah satu obat yang

diabsorpsi lebih cepat, daripada ekskresinya dan apabila di konsumsi dalam

dosis yang berlebih dapat memicu efek toksik atau keracunan, walaupun hanya

gejala keracunan ringan yang salah satunya menyerang susunan saraf pusat

(SSP) yaitu diplopia, ataksia, vertigo, nistagmus, sukar berbicara (slurred

speech) disertai gejala lain, misalnya tremor, gugup, kantuk, rasa lelah,

Page 16: 5. Bab II Pembahasan

20

gangguan mental yang sifatnya berat, ilusi, halusinasi sampai psikotik. Efek

samping susunan saraf pusat lebih sering terjadi dengan dosis melebihi 0,5

gram sehari.

2.3 Toleransi (Tolerence)

Pengertian

Toleransi adalah suatu fenomena berkurangnya respon terhadap dosis

obat yang sama, sehingga untuk memperoleh respon yang sama, dosis harus

diperbesar. Toleransi obat adalah sebuah kondisi yang ditandai oleh

penurunan efek obat pada pemberian berulang.

Dalam beberapa kasus, toleransi obat menyebabkan kebutuhan untuk

meningkatkan dosis obat agar mencapai efek yang sama. Toleransi biasanya

berkembang dalam hitungan hari sampai minggu, dan dibedakan dari

takifilaksis (tachyphylaxis), penurunan yang lebih cepat dalam pengaruh

obat. Toleransi dapat merupakan hasil dari beberapa mekanisme, termasuk

perubahan dalam metabolisme obat dan perubahan dalam jumlah atau respon

dari reseptor.

Efek yang mungkin timbul pada pengulangan penggunaan obat atau

perpanjangan penggunaan obat salah satunya adalah toleransi terhadap obat.

Toleransi timbil ketika diperlukan dosis yang lebih tinggi dari waktu ke

waktu untuk mencapai efek yang diinginkan. Terutama disebabkan karena

meningkatnya metabolisme obat oleh enzim-enzim hati. Barbiturat adalah

suatu kelompok obat yang dapat menyebabkan toleransi setelah pemakaian

dalam jangka waktu yang lama. Toleransi bersifat reversibel apabila obat

dihentikan. Toleransi obat ini juga bisa dipakai untuk menentukan tingkat

adiksi seseorang.

Bagaimana terjadinya toleransi obat?

Pada orang-orang yang memulai penggunaan obat karena ada

gangguan medis/psikis sebelumnya, penyalahgunaan obat terutama untuk

obat-obat psikotropika, dapat berangkat dari terjadinya toleransi, dan

akhirnya ketergantungan. Menurut konsep neurobiologi, istilah

ketergantungan (dependence) lebih mengacu kepada ketergantungan fisik,

Page 17: 5. Bab II Pembahasan

21

sedangkan untuk ketergantungan secara psikis istilahnya adalah

ketagihan (addiction). 

Kebutuhan dosis obat yang makin meningkat dapat menyebabkan

ketergantungan fisik, di mana tubuh telah beradaptasi dengan adanya obat,

dan akan menunjukkan gejala putus obat (withdrawal symptom) jika

penggunaan obat dihentikan. Ketergantungan obat tidak selalu berkaitan

dengan obat-obat psikotropika, namun dapat juga terjadi pada obat-obat non-

psikotropika, seperti obat-obat simpatomimetik dan golongan vasodilator

nitrat.

Pembagian

Ada tiga macam toleransi, yaitu:

(1) Toleransi bawaan (primer)

(2) Toleransi dapatan (sekunder)

(3) Toleransi silang. Timbul karena obat-obat memiliki struktur kimia yang

serupa atau merupakan derivatnya. Misalnya, fenobarbital dan butobarbital.

Menurut peneliti dari Tempo Group, Agus Wiyanto, ada tiga jenis

toleransi obat, yakni toleransi farmakokinetik, farmakodinamik, dan

toleransi yang dipelajari. Tiga jenis toleransi inilah yang menentukan

tingkat adiksi seseorang, sebab adiksi dipicu oleh toleransi.

1. Toleransi farmakokinetika adalah perubahan distribusi atau metabolisme

suatu obat setelah pemberian berulang, yang membuat dosis obat yang

diberikan menghasilkan kadar dalam darah yang semakin berkurang

dibandingkan dengan dosis yang sama pada pemberian pertama kali.

Mekanisme yang paling umum adalah peningkatan kecepatan metabolisme

obat tersebut. Contohnya yaitu penggunaan stimultan untuk menambah efek

dari obat yaitu obat golongan barbiturat. Ia menstimulasi produksi enzim

sitokrom P450 yang memetabolisir obat, sehingga metabolisme/degradasinya

sendiri ditingkatkan. Karenanya, seseorang akan membutuhkan dosis obat

yang semakin meningkat untuk mendapatkan kadar obat yang sama dalam

darah atau efek terapetik yang sama. Sebagai tambahan infromasi,

penggunaan barbiturate dengan obat lain juga akan meningkatkan

Page 18: 5. Bab II Pembahasan

22

metabolisme obat lain yang digunakan bersama, sehingga membutuhkan

dosis yang meningkat pula.

2. Toleransi farmakodinamik merupakan perubahan adaptif yang terjadi di

dalam sistem tubuh yang dipengaruhi oleh obat, sehingga respons tubuh

terhadap obat berkurang pada pemberian berulang. Hal ini misalnya terjadi

pada penggunaan antibiotik. Dalam penggunaan jangka panjang, tubuh akan

menjadi resisten terhadap antibiotik sehingga membutuhkan penambahan

dosis.

3. Toleransi yang dipelajari yaitu pengurangan efek obat dengan

mekanisme yang diperoleh karena adanya pengalaman terakhir. Misalnya

orang yang sudah mempelajari efek alkohol terhadap tubuhnya masih dapat

mengendalikan tubuh untuk tidak mabuk. Sehingga ketika dites berjalan

lurus, ia masih sanggup. Kebutuhan dosis obat yang makin meningkat dapat

menyebabkan ketergantungan fisik, di mana tubuh telah beradaptasi dengan

adanya obat, dan akan menunjukkan gejala putus obat (withdrawal symptom)

jika penggunaan obat dihentikan. Di samping toleransi, ada pula variabel lain

yang dapat memicu adiksi. Antara lain obat yang terdiri dari ketersediaan

obat dan kemurnian obat, dan lingkungan.

Obat-obat yang sering disalahgunakan

Ada tiga golongan obat yang paling sering disalah-gunakan, yaitu:

golongan analgesik opiat/narkotik,

contohnya adalah codein, oxycodon,

morfin;

golongan depressan sistem saraf

pusat untuk mengatasi kecemasan

dan gangguan tidur, contohnya

barbiturat (luminal) dan golongan benzodiazepin (diazepam/valium,

klordiazepoksid, klonazepam, alprazolam, dll);

Page 19: 5. Bab II Pembahasan

23

golongan stimulan sistem saraf pusat, contohnya dekstroamfetamin,

amfetamin, dll. Obat-obat ini bekerja pada sistem saraf, dan umumnya

menyebabkan ketergantungan atau kecanduan.

Contoh kasus efek toleransi:

Seorang bapak-bapak yang telah berusia 43 tahun pernah mengalami

kecelakaan lalu lintas 7 tahun lalu saat dia akan berangkat ke kantor dengan

menggunakan sepeda motor miliknya, dan setelah kecelakaan tersebut, bapak

ini selalu gelisah, takut dan cemas setiap

malam hari karena teringat akan bayang-

bayang kecelakaan yang pernah

dialaminya, yang akhirnya berdampak

pada pola tidurnya yang kacau

berantakan. Akhirnya bapak itu

berkonsultasi dengan dokter dan dokter

memberikan resep obat Alganax tablet

0,5 mg. Pada awalnya bapak ini hanya

perlu satu tablet alganax untuk membuat

dia tidur dan terbebas dari rasa cemas, gelisah dan takut. Namun seiring

dengan berjalannya waktu satu tablet alganax tidak mampu membuatnya

tenang dan tertidur sehingga bapak ini menambah dosisnya hingga 5 tablet

sekali minum. Dan keadaan ini sudah berlangsung selama 6 tahun tanpa

dapat ia kendalikan dan apabila tidak mengkonsumsi alganax ini bapak ini

mulai berhalusinasi dan rasa takut, cemas serta gelisah nya muncul kembali.

Kasus yang dialami oleh Bapak tersebut menunjukkan satu efek

toleransi, dimana obat yang dikonsumsi mengalami peningkatan dosis

dengan efek yang sama. Artinya dulu hanya dengan satu biji sudah dapat

memberikan efek tidur, sekarang perlu 5 biji Alganax tablet 0,5 mg baru

dapat memberikan efek tidur.

Page 20: 5. Bab II Pembahasan

24

2.4 Tak h ifilaksis (Tachyphylaxis)

Pengertian

Takhifilaksis merupakan suatu fenomena berkurangnya kecepatan

respons terhadap aksi obat pada pengulangan penggunaan dosis yang sama

(kurang sensitif). Respons semula tidak terulang meskipun dengan dosis yang

lebih besar.

Takhifilaksis adalah menurunnya respons dari tubuh terhadap obat

obatan yang terlalu sering dikonsumsi, takifilaksis ini hanya berlangsung

dalam hitungan detik dan menit saja.

Di dalam praktik sering ditemukan bahwa efek suatu obat secara

perlahan-lahan berkurang bila diberikan secara terus-menerus ataupun secara

berulang-ulang. Untuk menyatakan fenomena ini di pakai istilah desensitisasi

atau takifilaksis apabila berkurangnya efek terjadi secara cepat dalam waktu

beberapa menit saja. Sementara itu, toleransi di pakai untuk menerangkan

penurunan respons yang terjadi secara lebih lambat dalam waktu beberapa hari

atau beberapa minggu, tetapi perbedaan waktu ini tidaklah begitu tegas. Istlah

refractoriness dipakai untuk menyatakan berkurangnya atau hilangnya

efficacy terapi. Sementara itu, hilangnya efektivitas obat antimikroba disebut

resistensi obat.

Contoh kasus efek takhifilaksis:

Penggunaan obat kortikosteroid sebagai antiinflamasi pada umunya

dianjurkan pemakaian salep 2-3x/hari sampai penyakit sembuh. Namun

apabila penggunaan obat terus dilakukan melebihi ketentuan yang dianjurkan

maka dapat menyebabkan takifilaksis. Takhifilaksis ialah menurunnya respons

kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang,

berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang,

Page 21: 5. Bab II Pembahasan

25

setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan timbul kembali

dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.

Efek Takifilaksis

Fenomena berkurangnya efek obat ini dapat dijelaskan dengan beberapa

mekanisme, antara lain:

1. Perubahan pada reseptor;2. Hilangnya reseptor;3. Berkurangnya mediator;4. Degradasi metabolik yang meningkat dan;5. Adaptasi Fisiologik.

Desentisisasi yang terjadi pada beta-adrenoseptor disebabkan reseptor

tersebut tidak mampu mengaktifkan enzim adenilat siklase, walaupun masih

mampu berikatan dengan molekul agonis pada beta adrenoseptor tersebut.

Di dalam kasus desentisisasi lain, ditemukan juga adanya pengurangan

jumlah reseptor yang terjadi setelah pemajanan jangka panjang dengan agonis.

Di dalam penelitian laboratorium dapat di buktikan bahwa jumlah

betaadrenoseptor berkurang (down-regulated) menjadi kira-kira 10% dari

normalnya setelah ditambahkan isoprenain konsentrasi rendah selama 8 jam.

Jumlah beta-adrenoseptor ini akan kembali normal kembali setelah beberapa

hari kemudian. Proses ini dapat pula terjadi pada reseptor lain terutama untuk

hormon bila diberikan untuk jangka waktu yang lama.

Contoh desentisisasi yang disebabkan oleh berkurangnya/pengosongan

mediator terjadi, pada takifilaksis terhadap amfetamin. Amfetamin bekerja

dengan cara melepaskan noradrenalin dan monoamin lainnya dari ujung-ujung

saraf simpatis. Takifilaksis terjadi karena pengosongan simpanan noradrenalin.

2.5 Habituasi (Habituation)

Pengertian

Habituasi adalah kejadian pemakaian obat secara menahun yang

menyebabkan gangguan emosi bila pemberian obat itu dihentikan. Dua faktor

yang mempengaruhi habituasi adalah stimulus internal dan pembangkit

subjektif yang bervariasi. Dari kedua faktor tersebut yang paling dominan

adalah variasi internal.

Page 22: 5. Bab II Pembahasan

26

Habituasi atau kebiasaan merupakan suatu gejala ketergantungan

psikologis terhadap suatu obat (psychological dependence). Habituasi dapat

terjadi dengan melalui induksi enzim yang dapat menguraikan obat,

terbentuknya reseptor-reseptor sekunder dan terjadinya penghambatan

resorpsi.

Habituas atau pembiasaan adalah suatu kondisi dimana seseorang sudah

terbiasa terhadap suatu stimulus sehingga secara bertahap seseorang menjadi

mengabaikan stimulus tersebut. Habituasi menekankan gagasan bahwa

receptors/penerima stimulus yang ada dalam tubuh manusia “fire less” secara

bertahap jika dihadapkan dengan stimulus yang sama secara berulang. Artinya

reseptor tersebut semakin lama akan semakin tidak peka terhadap rangsangan

yang diberikan habituasi terjadi secara otomatis dan memerlukan kontrol dari

alam-sadar, namun seseorang masih bisa mengontrol terjadinya habituasi.

Kontrol tersebut tidak berlangsung di dalam otak melainkan pada alat indera

seseorang. Proses seperti ini dikenal dengan adaptasi indera. Adaptasi indera

merupakan proses berkurangnya atensi terhadap sebuah stimulus tetapi  bukan

karena keinginan otak atau kontrol alam-sadar, namun terjadi secara langsung

di dalam indera.

WHO memberi ciri-ciri habituasi sebagai berikut:

a.      Keinginan untuk selalu menggunakan suatu obat;

b.      Tanpa atau sedikit kecendrungan untuk menaikkan dosis;

c.      Timbul beberapa ketergantungan psikis;

d.      Memberi efek yang merugikan pada suatu individu.

Contoh zat yang mengandung efek habituasi: nikotin dan kafein.

a.  Tembakau mengandung 0,2-5% nikotin. Pada

rokok tembakau, nikotin terkandung dalam

partikel kecil tar. Nikotin sangat cepat diserap

melalui bronkus dan alveolus paru-paru, dan

sudah dapat dideteksi dari otak hanya dalam 8

detik setelah hirupan pertama. Nikotin juga

berefek menstimulasi ganglion saraf.

Page 23: 5. Bab II Pembahasan

27

b. Kafein adalah diuretik, dapat

memperburuk masalah ginjal atau

kandung kemih. Untuk itu minum

air putih sebanyak mungkin bagi

pecandu kopi. Jika tidak, berhati-

hatilah, ganti cairan yang hilang

dengan air murni. Mungkin efek

sakit terburuk dari minum kopi berlebihan adalah masalah kelenjar adrenal.

Ketika kita minum kopi, kelenjar adrenal dirangsang untuk menghasilkan

adrenalin. Ini merupakan bagian dari perlawanan sindrom yang

menyebabkan iritabilitas, terutama karena juga menghambat serotonin

penenangan. Jika kopi dikonsumsi secara berlebihan, terlalu sering dan

terlalu lama, seseorang bisa mengalami kelelahan adrenal, penyakit yang

tampaknya diakui oleh pengobatan holistik saja. Kelelahan adrenal

menurunkan produksi kortisol, sehingga sangat sulit untuk mengatasi stress.

Contoh kasus efek habituasi:

Pengaruh Nikotin pada Tubuh

Pada awalnya, nikotin

menyebabkan tubuh melepaskan

adrenalin. Adrenalin menyebabkan

denyut jantung dan tekanan darah

meningkat serta merangsang tubuh

melepaskan insulin. Pelepasan

insulin membuat tubuh mengira

terdapat kelebihan glukosa dalam darah. Itu sebab, perokok sering

melaporkan terjadinya penurunan nafsu makan. Asap rokok yang dihirup

juga memiliki efek negatif pada tubuh: Karbon monoksida pada asap

rokok berpotensi merusak paru-paru dan dinding arteri, sehingga

meningkatkan potensi serangan jantung, stroke, dan pembekuan darah.

Page 24: 5. Bab II Pembahasan

28

Pengaruh Nikotin pada Otak

Selain tubuh, nikotin juga mengakibatkan kerusakan pada otak. Otak

terdiri atas jutaan neuron atau sel yang mentransfer informasi ke seluruh

sistem saraf. Antara dua neuron terdapat sinapsis, dimana informasi

ditransmisikan. Neuron melepaskan zat kimia yang disebut

neurotransmitter yang mengikat sel neuron lain sehingga membentuk

jalinan. Di otak, nikotin mengikatkan dirinya ke subset neuron yang

biasanya mengikat asetilkolin neurotransmitter. Hal tersebut akhirnya

menghalangi neuron mentransmisikan pesan-pesan yang berkaitan dengan

gerakan otot dan tingkat energi. Ketika nikotin memblok reseptor tersebut,

tubuh akan melepaskan lebih banyak asetilkolin dalam upaya untuk

menemukan sinapsis antar neuron. Asetilkolin yang berlebih lantas

membuat otak melepaskan neurotransmitter lain yang disebut dopamin

yang mengontrol pusat kesenangan/kenyamanan pada otak. Peningkatan

kadar asetilkolin membuat orang merasa lebih waspada, sedang

peningkatan dopamin membuat seseorang merasa rileks. Tingginya

tingkat asetilkolin dan dopamin menjadi sinyal bagi otak untuk

melepaskan endorfin dan glutamat. Endorfin menghasilkan perasaan

senang atau rileks sedangkan glutamat merekam sensasi rileks ini

sehingga mendorong penggunaan lebih lanjut yang ujungnya

menyebabkan kecanduan nikotin.

2.6 Adiksi

Pengertian

Adiksi adalah kejadian pemberian obat yang menyebabkan toleransi

dan penghentiannya menyebabkan timbulnya sindrom gejala putus obat (

withdrawal syndrome). Adiksi merupakan suatu gejala ketergantungan

psikologik dan fisik terhadap obat.

Adiksi atau ketagihan merupakan ketergantungan rohaniah dan

jasmaniah terhadap obat-obatan, bila pengobatan dihentikan dapat

menimbulkan efek hebat secara fisik dan mental dengan karakteristik sebagai

berikut:

(a) Adanya dorongan untuk selalu menggunakan obat.

Page 25: 5. Bab II Pembahasan

29

(b) Kecenderungan untuk menaikkan dosis (besar).

(c) Timbul ketergantungan rohaniah diikuti badaniahnya.

(d) Merugikan masyarakat maupun individu.

(e) Penghentian obat dapat menimbulkan abstinensi.

Narkotika dapat menimbulkan adiksi atau ketagihan yang lebih berat.

Di sisi lain, adiksi atau ketagihan obat ditandai dengan adanya

dorongan, keinginan untuk menggunakan obat walaupun tahu konsekuensi

negatifnya. Obat-obat yang bersifat adiktif umumnya menghasilkan

perasaan euphoria yang kuat dan reward, yang membuat orang ingin

menggunakan dan menggunakan obat lagi. Adiksi obat lama kelamaan akan

membawa orang pada ketergantungan fisik juga.

Bagaimana mekanisme terjadinya adiksi ?

Untuk menjelaskan tentang adiksi,

perlu dipahami dulu istilah

system reward pada manusia.

Manusia, umumnya akan suka

mengulangi perilaku yang menghasilkan

sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu

yang menyebabkan rasa menyenangkan

tadi dikatakan memiliki efek reinforcement positif. Reward bisa berasal

secara alami, seperti makanan, air, sex, kasih sayang, yang membuat orang

merasakan senang ketika makan, minum, disayang, dll. Bisa juga berasal dari

obat-obatan. Pengaturan perasaan dan perilaku ini ada pada jalur tertentu di

otak, yang disebut reward pathway. Perilaku-perilaku yang didorong oleh

reward alami ini dibutuhkan oleh mahluk hidup untuk survived

(mempertahankan kehidupan).

Bagian penting dari reward pathway adalah bagian otak yang

disebut: ventral tegmental area (VTA),nucleus accumbens, danprefrontal

cortex. VTA terhubung dengan nucleus accumbens dan prefrontal

cortex melalui jalur reward ini yang akan mengirim informasi melalui saraf.

Saraf di VTA mengandung neurotransmitter dopamin,yang akan dilepaskan

menuju nucleus accumbens dan prefrontal cortex. Jalur reward ini akan

Page 26: 5. Bab II Pembahasan

30

teraktivasi jika ada stimulus yang memicu pelepasan dopamin, yang

kemudian akan bekerja pada system reward.

Obat-obat yang dikenal menyebabkan adiksi/ketagihan seperti kokain,

misalnya, bekerja menghambat re-uptake dopamin,

sedangkan amfetamin, bekerja meningkatkan pelepasan dopamin dari saraf

dan menghambat re-uptake-nya, sehingga menyebabkan kadar dopamin

meningkat.

 

Bagaimana mekanisme adiksi obat-obat golongan opiat?

Reseptor opiat terdapat sekitar reward pathway (VTA, nucleus

accumbens dan cortex), dan juga pada pain pathway (jalur nyeri) yang

meliputi thalamus, brainstem, dan spinal cord. Ketika seseorang

menggunakan obat-obat golongan opiat seperti morfin, heroin, kodein, dll,

maka obat akan mengikat reseptornya di jalur reward, dan juga jalur nyeri.

Pada jalur nyeri, obat-obat opiat akan memberikan efek analgesia,

sedangkan pada jalur reward akan memberikan reinforcement positif (rasa

senang, euphoria), yang menyebabkan orang ingin menggunakan lagi. Hal

ini karena ikatan obat opiat dengan reseptornya di nucleus accumbens akan

menyebabkan pelepasan dopamin yang terlibat dalam system reward.

Sebagai tambahan informasi, di bawah ini disajikan beberapa jenis

obat golongan benzodiazepin/barbiturat beserta dosis dan dosis

ketergantungannya.  Berikut adalah tabel mengenai obat-obat psikotropika

beserta dosis sedatif dan dosis yang menyebabkan ketergantungan.

        

NamaDosis sedatif

(mg)Dosis ketergantungan dan waktu

untuk menimbulkan ketergantunganDiazepam 5 – 10 40 – 100 mg x 42 – 120 hariKlordiazepoksid 10 – 25 75 – 600 mg x 42 – 120 hariAlprazolam 0,25 – 8 8 – 16 mg x 42 hariFlunitrazepam 1 – 2 8 – 10 mg x 42 hariPentobarbital 100 800 – 2200 mg x 35 – 37 hariAmobarbital 65 – 100 800 – 2200 mg x 35 – 37 hariMeprobamat 400 1,6 – 3,2 g x 270 hari

Page 27: 5. Bab II Pembahasan

31

Bagaimana farmakoterapinya?Pengatasan penyalah-gunaan obat memerlukan upaya-upaya yang

terintegrasi, yang melibatkan pendekatan psikologis, sosial, hukum, dan

medis. Pada tulisan kali ini hanya akan dibahas mengenai farmakoterapi

(terapi menggunakan obat) bagi keadaan yang terkait dengan ketergantungan

obat.

Kondisi yang perlu diatasi secara farmakoterapi pada keadaan

ketergantungan obat ada dua, yaitu kondisi intoksikasi dan kejadian

munculnya gejala putus obat (“sakaw”). Dengan demikian, sasaran

terapinya bervariasi tergantung tujuannya:

1. Terapi pada intoksikasi/over dosis: tujuannya untuk mengeliminasi obat

dari tubuh, menjaga fungsi vital tubuh.

2. Terapi gejala putus obat: tujuannya untuk mencegah perkembangan

gejala supaya tidak semakin parah, sehingga pasien tetap nyaman dalam

menjalani program penghentian obat.

Tentunya masing-masing golongan obat memiliki cara penanganan

yang berbeda, sesuai dengan gejala klinis yang terjadi. Di bawah ini disajikan

tabel ringkasan terapi intoksikasi pada berbagai jenis obat yang sering

disalahgunakan.

Tabel 1. Ringkasan tentang terapi intoksikasi

Kelas obat Terapi obat Terapi non-obat

Komentar

Benzodiazepin Flumazenil 0,2 mg/min IV, ulangi sampai max 3 mg

Support fungsi vital

Kontraindikasi jika ada penggunaan TCA resiko kejang

Alkohol, barbiturat, sedatif hipnotik non-benzodiazepin

Tidak ada Support fungsi vital

 

Opiat Naloxone 0,4-2,0 mg IV setiap 3 min

Support fungsi vital

Jika pasien tidak responsif sampai dosis 10 mg  mungkin ada OD selain opiat

Kokain dan stimulan CNS lain

 - Lorazepam 2-4 mg IM setiap 30 min sampai 6 jam jika perlu

- Haloperidol 2-5

- Support fungsi vital- Monitor fungsi jantung

- digunakan jika pasien agitasi

- digunakan jika pasien psikotik

- komplikasi

Page 28: 5. Bab II Pembahasan

32

mg (atau antipsikotik lain) setiap 30 min sampai 6 jam

kardiovaskuler diatasi secara simptomatis

Halusinogen, marijuana

Sama dengan di atas Support fungsi vital,“talk-down therapy“

 

Selanjutnya, di bawah ini adalah ringkasan untuk terapi mengatasi gejala putus obat.

Tabel 2. Ringkasan tentang terapi untuk mengatasi withdrawal syndrome (DiPiro, 2008)

Obat Terapi obat KomentarBenzodiazepin(short acting)

Klordiazepoksid 50 mg 3 x sehari atau lorazepam 2 mg 3 x sehari, jaga dosis utk 5 hari, kmdtappering

 

Long acting BZD

Sama, tapi tambah 5-7 hari utktappering

Alprazolam paling sulit dan butuh wkt lebih lama

Opiat Methadon 20-80 mg p.o, taperdengan 5-10 mg sehari, atau klonidin 2 g/kg tid x 7 hari, taperuntuk 3 hari berikutnya

- jika metadon gagal metadon maintanance program

- Klonidin menyebabkan hipotensi  pantau BP

Barbiturat Test toleransi pentobarbital, gunakan dosis pada batas atas test, turunkan dosis 100 mg setiap 2-3 hari

 

Mixed-substance

Lakukan spt pada long acting BZD  

Stimulan CNS Terapi supportif saja, bisa gunakan bromokriptin 2,5 mg jika pasien benar-benar kecanduan, terutama pada kokain

 

Page 29: 5. Bab II Pembahasan

33

Contoh kasus efek adiksi:

Contoh dari adiksi dalam bahaya penggunaan obat yaitu morfin adalah

alkaloid analgesik yang sangat kuat dan merupakan agen aktif utama yang

ditemukan pada opium. Morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat

untuk menghilangkan rasa sakit. Efek samping morfin antara lain adalah

penurunan kesadaran, euphoria (kesenangan yang berlebihan), rasa kantuk,

lesu, dan penglihatan kabur. Morfin juga mengurangi rasa lapar, merangsang

batuk, dan menyebabkan konstipasi. Morfin menimbulkan ketergantungan

tinggi dibandingkan zat-zat lainnya.

Pasien ketergantungan morfin juga dilaporkan menderita insomnia dan

mimpi buruk. Peradangan

penyalahgunaan morfin pada hati

dapat menyebabkan hepatititis C atau

peradangan hati. Hepatitis C virus

umumnya dapat ditemukan

dipenyalahgunaan obat intravena.

Morfin merumitkan hepatitis C

dengan kekebalan menekan dan juga

meningkatkan replikasi virus

hepatitis C. Penyalahgunaan morfin akhirnya mengarah pada perkembangan

penyakit.