bab ii pembahasan konstrukstivis

35
BAB II PEMBAHASAN DEFINISI KONSTRUKTIVISME Gagasan tentang belajar bermakna yang dikemukakan oleh William Brownell pada awal pertengahan abad duapuluh merupakan ide dasar dari teori konstruktivisme. 1 Dalam kerangka konstruktivis, belajar dimaknai sebagai suatu upaya pengkonstruktisian pengetahuan oleh individu sebagai pemberian makna atas data sensori yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya (Tasker, 1992). Belajar merupakan suatu proses pemaknaan yang melibatkan konstruksi- konstuksi dari para pemelajar (Sukardi, 1999; Sadia, 1996; Fosnot, 1989). Selanjutnya, Dyle & Haas (1997) dan Putrayasa (2010; 2011) menyatakan bahwa belajar menurut pandangan konstruktivis lebih diarahkan pada terbentuknya makna pada diri pemelajar atas apa yang dipelajarinya berdasarkan pengetahuan dan pemahaman mereka sebelumnya. Dalam proses ini lebih ditekankan pada terbentuknya hubungan-hubungan makna antara pengetahuan yang telah ada dan pengetahuan baru dengan difasilitasi kreatifitas guru selaku mediator 1 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, bagian 2 (Jakarta: PT. Imperial Bhakti Utama, 2007), h. 163. 4

Upload: mario-jaya-muhammad-jusman

Post on 04-Dec-2015

224 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Konstruktivisme

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

BAB II

PEMBAHASAN

DEFINISI KONSTRUKTIVISMEGagasan tentang belajar bermakna yang dikemukakan oleh William

Brownell pada awal pertengahan abad duapuluh merupakan ide dasar dari teori

konstruktivisme.1 Dalam kerangka konstruktivis, belajar dimaknai sebagai suatu

upaya pengkonstruktisian pengetahuan oleh individu sebagai pemberian makna

atas data sensori yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya

(Tasker, 1992). Belajar merupakan suatu proses pemaknaan yang melibatkan

konstruksi-konstuksi dari para pemelajar (Sukardi, 1999; Sadia, 1996; Fosnot,

1989). Selanjutnya, Dyle & Haas (1997) dan Putrayasa (2010; 2011) menyatakan

bahwa belajar menurut pandangan konstruktivis lebih diarahkan pada

terbentuknya makna pada diri pemelajar atas apa yang dipelajarinya berdasarkan

pengetahuan dan pemahaman mereka sebelumnya. Dalam proses ini lebih

ditekankan pada terbentuknya hubungan-hubungan makna antara pengetahuan

yang telah ada dan pengetahuan baru dengan difasilitasi kreatifitas guru selaku

mediator pembelajaran. Dengan demikian, dilihat dari dimensi pembelajaran,

model konstruktivis memandang belajar itu sebagai sebuah proses modifikasi ide

dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa menuju terbentuknya pengetahuan

baru.

Dalam proses ini, siswa secara aktif terlibat dalam upaya penemuan makna

dari apa yang dipelajarinya, sehingga secara langsung berdampak pada tumbuh

dan berkembangnya keterampilan berpikir mereka selama pembelajaran

berlangsung (Sharon Lee, 1994). Disamping itu, aplikasi model konstruktivis

memungkinkan siswa untuk menguasai materi pelajaran secara lebih

komprehensif dan bermakna, mengingat mereka terlibat secara aktif selama

berlangsungnya pembelajaran (Putrayasa, 2010; 2011).

1 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, bagian 2 (Jakarta: PT. Imperial Bhakti Utama, 2007), h. 163.

4

Page 2: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

Model konstruktivis memberi beberapa peluang bagi kalangan guru untuk

mengatasi berbagai persoalan yang terkait dengan rendahnya kualitas proses dan

hasil pembelajaran, karena model ini dapat memfasilitasi keterlibatan aktif dan

berkembangnya keterampilan berpikir siswa selama pembelajaran. Jadi, dalam

pandangan konstruktivisme sangat penting peran siswa untuk dapat membangun

constructive habits of mind. Agar siswa mamiliki kebiasaan berpikir, maka

dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar.

Tekanan utama teori konstruktivisme adalah lebih memberikan tempat

kepada siswa dalam proses pembelajaran dari pada guru. Teori ini berpandangan

bahwa adalah sisa yang berinteraksi dengan berbagai obyek dan peristiwa

sehingga mereka memperoleh dan memahami pola-pola penanganan terhadap

obyek dan perisitiwa tersebut. Dengan demikian, siswa sesungguhnya mampu

membangun konseptualisasi dan pemecahan masalah mereka ssendiri. Oleh

karena itu kemendarian dan kemampuan berinisiatif dalam proses pembelajaran

sangat didorong untuk dikembangkan.

Para ahli konstruktivisme memandang belajar sebagai hasil dari konstruksi

mental. Para siswa belajar dengan cara mencocokkan informasi baru yang mereka

peroleh bersama-sama dengan apa yang mereka telah ketahui. Siswa akan dapat

belajar dengan baik jika mereka mampu mengaktifkan kontrak pemahaman

mereka sendiri. Belajar juga dipengaruhi oleh konteks, keyakinan, dan sikap

siswa. Dalam proses pembelajaran, para siswa didorong untuk menggali dan

menemukan pemecaan masalah mereka sendiri serta mencoba untuk merumuskan

gagasan-gagasan dan berhipotesis. Mereka diberikan peluang daan kesempatan

yang luas untuk membangun pengetahuan awal mereka. Dalam

perkembangannya, terdapat banyak pemikiran dalam teori konstuktivisme ini,

namun semua mendasarkan asumsi dasar yang sama tentang belajar.

Dua teori konstruktivisme yang utama dikenal dengan istilah. Proses

pembelajaran didasarkan pada temuan-temuan peneltian mutakhir tentang

otak/pikiran manusia dan apa yang dikenal dengan “bagaimana proses belajar

terjadi”.

5

Page 3: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

Pendekatan konstruktivisme adalah suatu cara atau strategi seorang guru

yang bertugas sebagai fasilitator dan membimbing siswa dalam menggali ilmu

pengetahuan sendiri, serta membina sendiri konsep ilmu pengetahuan yang

didapatnya melalui pengalaman-pengalaman belajar. Hal ini bertujuan untuk

mengatasi kebosanan siswa, sehingga siswa memiliki minat belajar yang

mendorong siswa mendapatkan hasil belajar yang tinggi terhadap pelajarannya

serta memberikan pengalaman belajar yang bermakna agar mencapai hasil belajar

siswa yang optimal.

CIRI-CIRI KONSTRUKTIVISME1. Menekankan pada proses belajar, bukan pada proses mengajar.

2. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa.

3. Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin

dicapai.

4. Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekankan

pada hasil.

5. Mendorong siswa untuk mampu melakukan penyelidikan.

6. Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar.

7. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa.

8. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa.

9. Mendasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip teori kognitif.

10. Banyak menggunakan terminology kognitif untuk menjelaskan proses

pembalajaran.

11. Menekankan pentingnya bagaimmana siswa dalam belajar.

12. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif

13. Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata.

14. Menekankan pentingnya konteks dalam belajar.

15. Memperhatikan keyakinan dalam sikap siswa dalam belajar.

16. Memerikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan

pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata.

6

Page 4: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

PENGETAHUAN MENURUT KONSTRUKTIVISMEPengetahuan dalam pengertian konstruktivisme tidak dibatasi pada

pengetahuan yang logis dan tinggi. Pengetahuan di sini mengacu pada

pembentukan gagasan, gambaran, pandangan akan suatu gejala sederhana. Dalam

konstruktivisme, pengalaman dan lingkungan kadang memiliki arti yang lain

dengan arti sehari-hari. Pengalaman tidak harus selalu merupakan pengalaman

fisis seseorang seperti melihat, merasakan dengan inderanya, tetapi dapat pula

berupa pengalaman mental yaitu berinteraksi secara pikiran dengan suatu objek.

Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan bukanlah kumpulan

fakta dari suatu kenyatan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi

aktif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya.

Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, kaidah, atau suatu yang

sudah ada dan tersedia yang orang lain tinggal mengambil, menerima, dan

mengingatnya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain,

karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang dikenal dan

diketahuinya. Pengetahuan adalah suatu pembentukan yang terus-menerus oleh

seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-

pemahaman baru. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan

dari seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada orang ain yang belum

memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep,

ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransferan itu akan

diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan

pengetahuan mereka sendiri. pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari

orang yang mengenal sesuatu (skemata). Manusia harus mengkonstruksi

pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.2

Menurut konstruktivisme, yang menjadi dasar bahwa siswa memperoleh

pengetahuan adalah karena keaktifan siswa itu sendiri. Pengetahuan bukanlah

hasil pemberian dari orang lain seperti guru, melainkan hasil dari proses

2 Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Kencana), h.113.

7

Page 5: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Bila seseorang tidak

mengkonstruksikan pengetahuannya secara aktif, meskipun ia berumur tua akan

tetap tidak akan berkembang pengetahuannya.

Konsep pembelajaran menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses

pembelajaran yang mengondisikan siswa untuk melakukan proses aktif

membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan

data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola

sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi

pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna.

Pandangan konstruktivisme tentang pengetahuan secara sederhana dapat

dirangkum sebagai berikut: (1) kita tidak bisa mengetahui suatu kenyataan yang

objektif. Yang bisa kita lakukan adalah mengkonstruksi pemahaman kita yang

objektif tentang pengalaman kita, menginterpretasikan apa saja yang telah

dipelajari dan dialami; (2) pengetahuan adalah subjektif. Tidak ada dua orang

yang memiliki pengalaman, phisiologis, atau lingkungan yang sama. Oleh karena

itu, tidak ada dua orang yang memiliki pengetahuan yang sama; dan (3)

Pengetahuan dari dua orang bisa dikatakan saling berbagi sepanjang

pembentukannya dilakukan dengan cara yang sama dalam situasi tertentu.

Misalnya, anda dan teman debat anda melihat suatu kejadian yang sama, lau

melihat satu sama lain dan mulai tertawa. Tidak diperlukan kata-kata untuk

menjelaskan mengapa itu lucu.

PROSES PEMBENTUKAN PENGETAHUAN MENURUT TEORI KONSTRUKTIVISME

Menurut teori konstruktivisme, subjek aktif menciptakan struktur-struktur

kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur

kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan

terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan

oleh subjek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan

berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses

8

Page 6: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

penyesuaian diri terjadi secara terus-menerus melalui proses rekonstruksi. Dalam

konstruktivisme, siswa sendiri yang aktif dalam mengembangkan pengetahuan.

Hal paling penting dalam teori konstruktivisme adalah penekanan pada

siswa dalam proses pembelajaran. Siswa harus aktif mengembangkan

pengetahuan mereka, dan tidak hanya bergantung pada guru atau orang lain.

Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Kreatifitas dan

aktivitas siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan

kognitif siswa. Belajar lebih diarahkan pada experiental learning, yaitu adaptasi

kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan

teman sejawat, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide serta

pengembangan konsep baru. Belajar menurut teori konsruktivisme bukanlah

sekedar menghafal, melainkan proses mengkonstruksi pengetahuan melalui

pengalaman.

Galsefeld (Sudrajat, 2008) mengemukakan bahwa ada beberapa

kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu (1)

kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2)

kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan persamaan dan

perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu

daripada yang lainnya.

Disamping ketiga kemampuan di atas, ada beberapa faktor yang

mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu konstruksi pengetahuan

seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang

dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki

seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang.

Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting daam membentuk

dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada

suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan

yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan kognitif dalam

dirinya.

9

Page 7: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

Pemahaman orang tentang konstruktivisme beragam. Hal ini terjadi karena

konstruktivisme memang mempunyai beberapa perwujudan tergantung dari sisi

mana dilihatnya. Untuk dapat memahami perspektif konstruktivisme dengan utuh

kita perlu membahas dua sisi konstruktivisme, yaitu konstruktivisme individual

(individual constructivism) dan konstruktivisme sosial (social constructivism).

Penjelasan tersebut selaras dengan teori yang dikemukakan oleh Piaget dan

Vygotsky dalam menjelaskan tentang belajar.

Konstruktivisme Menurut Piaget (Konstruktivisme Individual)Piaget (1990) menjelaskan pentingnya beberapa faktor internal seseorang

dalam proses belajar. Faktor-faktor tersebut adalah: tingkat kemampuan berpikir,

pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan. Faktor-

faktor internal tersebut menunjukkan bahwa kehidupan psikologis seseorang, serta

bagaimana dia mengembangkan struktur dan strategi kognitif serta emosinya.

Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif manusia sesuai dengan

aturan tertentu. Kemampuan berpikir pada satu tahapan yang lebih tinggi

merupakan perkembangan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Pada tahapan yang

lebih tinggi, seseorang lebih mampu berpikir terorganisasi dan abstrak. Piaget

menyebutnya sebagai kemampuan untuk mengembangkan skema berpikir

(schemas berarti bulding blocks of thinking).

Menurut Piaget, berpikir melibatkan dua jenis proses yang saling

berhubungan, yaitu mengorganisasikan (organizing) dan mengadaptasi/mengubah

(adapting) informasi atau pengetahuan. Ketika mengorganisasikan pengetahuan,

yang dilakukan seseorang adalah membedakan informasi yang penting dari yang

tidak penting, atau konsep utama dengan jabarannya, serta melihat saling

keterkaitan antara satu konsep dengan konsep yang lainnya. Di samping itu,

seseorang akan melakukan proses adaptasi ketika belajar, yaitu melalui asimilasi

(mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki) atau

melalui proses akomodasi terhadap pengetahuan baru, dengan sedikit banyak

mengubah struktur kognitif yang telah dimiliki. Sama halnya dengan setiap

10

Page 8: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

organisme yang harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat

bertahan hidup, struktur pemikiran manusia juga demikian.

Konstruktivisme Psikologis Personal dikemukakan oleh Piaget, dalam

Teori Adaptasi Intelektual. Dalam teori tersebut dikemukakan konsep sebagai

berikut:

SkemaSetiap orang memiliki struktur kognitif yang disebut skema.

Skema/skemata adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya

seseorang secara intelektual beradaptasi, mengoordinasi, dan terus mengalami

perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan sekitar. Skema itu

akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan mental anak. Skema

bukanlah benda nyata yang dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam

sistem kesadaran orang, maka tidak memiliki bentuk fisik dan tidak dapat dilihat

(Wadsworth, 1989).3 Skema adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental,

konstruksi hipotesis, seperti intelek, kreativitas, kemampuan, dan naluri.

Skema tidak pernah berhenti berubah atau menjadi lebih rinci. Skema

seorang anak berkembang menjadi skema orang dewasa. Gambaran dalam pikiran

anak menjadi semakin berkembang dan lengkap. Misalnya anak yang sedang

berjalan dengan Ibunya melihat seekor kuda. Lalu ibunya bertanya, “Apa nama

binatang itu nak?” Karena anak tersebut baru kali itu melihat kuda dan sudah

sering melihat sapi, maka ia menjawab “Itu sapi”. Anak tersebut melihat ada

sesuatu yang sama antara kuda dengan konsep sapi yang ia punyai, yaitu berkaki

empat, bermata dua, bertelinga dua, dan berjalan merangkak. Anak tersebut belum

dapat melihat perbedaannya, melainkan melihat kesamaannya antara sapi dengan

kuda. Bila anak mampu melihat perbedaannya, ia akan mengembangkan

skemanya tentang kuda, tidak sebagai sapi lagi.

AsimilasiAsimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang

mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema atau

3 Paul Suparno. Teori Perkembangan Kognitif Jean Peaget. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

11

Page 9: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu

proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau

rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan

dan terus berkembang. Menurut Wadsworth (Paul Suparno: 23), asimilasi tidak

menyebabkan perubahan skema (tetap mempertahankan konsep awalnya),

melainkan mengembangkan, menambah, atau merinci skema. Misalnya, sesorang

yang baru mengenal konsep balon, maka dalam pikiran orang itu memiliki skema

“balon”. Kalau ia mengempeskan balon itu kemudian meniupnya lagi sampai

besar dan meletus atau mengisinya dengan air sampai besar, ia tetap memiliki

skema tentang balon. Perbedaannya adalah skemanya tentang balon diperluas dan

terinci lebih lengkap, bukan hanya sebagai balon yang menggelembung karena

terisi udara, melainkan balon dengan macam-macam sifatnya. Jadi, asimilasi

merupakan salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan

mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian orang itu

berkembang.

Contoh lain misalnya seorang anak mempunyai konsep mengenai

“lembu”. Dallam pikiran anak itu, ada skema “lembu”. Mungkin skema anak itu

menyatakan bahwa lembu itu binatang yang berkaki empat, berwarna putih, dan

makan rumput. Skema itu terjadi waktu anak tersebut pertama kali melihat lembu

tetangganya yang memang berwarna putih, berkaki empat, dan sedang makan

rumput. Dalam perjalanan hidupnya, anak itu bertemu dengan bermacam-macam

lrmbu yang lain, yang warnanya lain, dan sedang tidak makan rumput, tetapi

sedang menarik gerobak. Berhadapan dnegan pengalaman yang lain itu, anak

memperkembangkan skema awalnya. Skemanya menjadi: lembu itu binatang

berkaki empat, dapat berwarna putih atau kelabu, makannya rumput dan dapat

menarik gerobak. Jelas bahwa skema lembu anak itu menjadi bertambah lengkap.

Skema awalnya tidak hanya tetap dipakai, tetapi juga dikembangkan dan

dilengkapi.4

4 Ibid.

12

Page 10: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

AkomodasiDapat terjadi bahwa dalam menghadapi ransangan atau pengalaman yang

baru, ada kemungkinan seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang

baru dengan skema yang telah ia dimiliki. Pengalaman yang baru itu bisa jadi

sama sekali tidak cocok dengan skema atau konsep awal yang telah dimilikinya.

Dalam keadaan demikian, orang itu akan mengadakan akomodasi. Ia dapat

membuat dua hal yaitu: (1) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan

rangsangan yang baru, atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok

dengan rangsangan itu.

Untuk memahami proses akomodai, diberikan beberapa contoh sebagai

berikut. Misalnya, seorang anak memiliki suatu skema bahwa semua binatang

berkaki dua atau empat. Skema itu didapat dari abstraksinya terhadap binatang

yang pernah dijumpainya. Pada suatu ketika ia berjalan ke sawah dan menemukan

banyak binatang yang kakinya lebih dari empat. Anak tersebut merasakan bahwa

skema lamanya tidak cocok lagi dan terjadi konflik dalam pikirannya. Ia harus

mengadakan perubahan terhadap skema lamanya. Ia mengadakan akomodasi

dengan membentuk skema baru bahwa binatang dapat berkaki dua, empat, dan

atau lebih dari empat. Contoh lain misalnya seorang anak mempunyai skema

bahwa semua benda padat akan tenggelam dalam air. Skema ini didapatkan

berdasarkan abstraksinya terhadap pengalamannya akan benda-benda yang

dimasukkan ke dalam air. Suatu hari, ia melihat beberapa benda padat yang

terapung di atas sungai. Ia merasakan bahwa skema lamanya tidak cocok lagi. Ia

mengalami konflik dalam pikirannya. Ia harus mengadakan perubahan skema

lama dengan membentuk skema baru yang berisi: tidak semua benda padat

tenggelam dalam air.5

Skema seseorang dibentuk dengan pengalaman sepanjang waktu. Skema

menunjukkan taraf pengertian dan pengetahuan seseorang sekarang tentang dunia

sekitarnya. Karena skema itu suatu konstruksi, maka bukan tiruan kenyataan

dunia yang ada. Menurut Piaget, proses asimilasi dan akomodasi ini terus berjalan

5 Paul Suparno. Teori Perkembangan Kognitif Jean Peaget, (________: Kanisius, ____), h. 23.

13

Page 11: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

dalam diri seseorang.6 Dalam contoh pengalaman anak di atas, ia akan terus

mengembangkan skemanya tentang kaki binatang bila dijumpainya pengalaman

yang berbeda, misalnya bahwa ada juga binatang yang tidak berkaki.

Equilibration (Ekuilibrasi)Unsur yang paling penting dalaam perkembangan pemikiran anak adalah

adanya mekanisme internal yang disebut ekuilibrum. Ini merupakan self-regulasi,

yaitu suatu pengaturan dalam diri seseorang ketika berhadapan dengan rangsangan

atau tantangan dari luar. Ketika berhadapan dengan lingkungan luar, seseorang

mengalami ketidaksetimbangan (disequilibrium) dalam dirinya. Karena

mengalami itu, ada usaha intrinsik untuk mengusahakan ekuilibrium dengan cara

melakukan asimilasi atau akomodasi. Proses asimilasi dan akomodasi perlu untuk

perkembangan kognitif sesorang. Dalam perkembangan intelek seseorang

diperlukan keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi sehingga seseorang

dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (skemata). Proses

ini disebut equilibrium, yaitu pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur

keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Disequilibrium adalah keadaan

tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi. Proses dari disequilibrium ke

equilibrium itu disebut equlibration. Jika terjadi kesetimbangan maka individu

akan berada pada tingkat yang lebih tinggi dari pada sebelumnya. Proses tersebut

berjalan terus dalam diri individu. Ekuilibrasi ini sering juga disebut motivasi

dasar seseorang yang memungkinkannya selalu berusaha memperkembangkan

pemikiran dan pengetahuannya.7 Jadi dengan proses equilibrium-disequilibrium,

anak senantiasa ditantang untuk selalu mengembangkan pemikirannya, dan

dengan demikian juga mengembangkan pengetahuannya.8

Menurut Piaget, pengalaman sangat menentukan agar proses pembentukan

pengetahuan berkembang. Semakin orang memiliki banyak pengalaman mengenai

persoalan, lingkungan, atau objek yang dihadapi, ia akan semakin

mengembangkan pemikiran dan pengetahuannya. Dengan semakin banyak

6 Ibid.7 Paul Suparno. Teori Perkembangan Kognitif Jean Peaget, (________: Kanisius, ____), h. 108.8 Ibid., h. 111.

14

Page 12: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

pengalaman, skema seseorang akan banyak ditantang dan mungkin dikembangkan

dan diubah dengan asimilasi dan akomodasi. Semakin orang terbuka dengan

banyak pengaalaman di laboratorium atau di dunia luar, ia akan semakin dibantu

dalam mengembangkan pengetahuan dan cara berpikirnya. Tanpa pengalaman,

pemikiran seseorang sulit untuk berkembang. Tanpa pengalaman, pengetahuan

seseorang sulit untuk maju.

Konstruktivisme Menurut Vygotsky (Konstruktivisme Sosial)Sebagaimana diketahui bahwa menurut pandangan konstruktivis, suatu

pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa dengan menggunakan pengalaman dan

struktur kognitif yang sudah dimiliki. Akan tetapi, hal ini tidaklah berarti tidak

dimungkinkannya pemahaman bersama atau pemahaman yang sama terhadap

suatu realitas. Sekelompok orang dapat mempunyai pemahaman yang sama

terhadap suatu fenomena atau realitas tertentu melalui interaksi sosial dan

kolaborasi bersama dalam membangun makna. Vygotsky berpendapat bahwa

pengetahuan dibangun secara sosial, dalam arti bahwa peserta yang terlibat dalam

suatu interaksi sosial akan memberikan konstribusi dan membangun bersama

makna suatu pengetahuan. Dengan demikian, proses yang terjadi akan beragam

sesuai dengan konteks kulturalnya.

Proses dan konteks kultural yang beragam juga menghasilkan belajar yang

beragam pula. Misalnya, seorang anak yang mendengarkan cerita dari orang

tuanya sebelum tidur akan berbeda dengan anak yang lebih mengandalkan

tayangan televisi dalam memahami nilai-nilai tertentu. Besar kemungkinan

pemahaman anak terhadap suatu nilai sebagai hasil belajar tidak akan sama

melalui kedua proses yang berbeda tersebut.

Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky yaitu Zone of Proximal

Development (ZPD) dan scaffolding.

Zone of Proximal Development (ZPD)Menurut Vygotsky, pengembangan kemampuan yang diperoleh melalui

proses belajar sendiri (tanpa bantuan orang lain) pada saat pemecahan masalah

disebut sebagai actual development, sedangkan perkembangan yang terjadi

15

Page 13: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

sebagai akibat adanya interaksi dengan guru atau siswa lain yang mempunyai

kemampuan lebih tinggi disebut potential development. Selanjutnya ZPD

merupakan jarak antara tingkat perkembanagan sesungguhnya yang didefinisikan

sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat

perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan

masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerja sama dengan teman

sejawat yang lebih mampu.9 Dengan kata lain, jarak antara actual development

dan potential development disebut sebagai zone of proximal development.10

ScaffoldingTingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang oleh Vygotskian

disebut sebagai scaffolding. Scaffolding berarti memberikan sejumlah besar

bantuan kepada seorang individu selama tahap-tahap awal pembelajaran dan

kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada

individu tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera

setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat

berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk

lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky (Putrayasa, 2011)

mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan

permasalahan, yaitu: (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa

mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan.

Scaffoldding berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya

mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa

ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimal.

Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi

secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh

setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan melalui proses regulasi diri

internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan

pada penerapan teknik saling tukar antar individual.

9 Erna Suwangsih. Bahan Belajar Mandiri (BBM) 4 tentang Pendekatan Pembelajaran Matematika, h. 11.10 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Jakarta: PT. Imperial Bhakti Utama, 2007), h. 164-165.

16

Page 14: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1)

mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai

proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar

informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Guru sebagai

mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya

membangun pengetahuan, pengertian, dan kompetensi.

KARAKTERISTIK KONSTRUKTIVISMEWinataputra (2007) mengemukakan beberapa karakteristik yang juga

merupakan prinsip dasar konstruktivisme dalam pembelajaran sebagai berikut.

1) Mengembangkan strategi alternatif untuk memperoleh dan menganalisis

informasi.

Siswa perlu dibiasakan untuk dapat mengakses informasi dari berbagai

sumber seperti buku, majalah, koran, pengamatan, wawancara, dan dengan

menggunakan internet. Sesuai degan tingkat kemampuan berpikir siswa,

mareka perlu belajar menganalisis informasi, sejauh mana kebenarannya,

asumsi yang melandasi informasi tersebut, bagaimana mengklasifikasikan

informasi informasi tersebut, dan menyederhanakan informasi yang

banyak. Dengan kata lain, siswa dilatih bagaimana memproses informasi.

2) Dimungkinkannya perspektif jamak dalam proses belajar.

Dalam proses belajar akan muncul pendapat, pandangan, dan pengalaman

yang beragam. Dalam menjelaskan suatu fenomena, diantara siswa pun

akan terjadi perbedaan pendapat yang dipengaruhi oleh pengalaman,

budaya, dan struktur berpikir yang dimiliki.

3) Peran utama siswa dalam proses belajar, baik dalam mengatur atau

mengendalikan prosses berpikirnya sendiri maupun ketika berinteraksi

dengan lingkungannya.

Dalam usaha untuk menyusun pemahaman, siswa harus aktif dalam

kegiatan belajar bersama. Siswa perlu terlatih untuk mendengarkan dan

mencerna dengan baik pendapat siswa lain dan guru. Sesuai dengan tahap

17

Page 15: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

perkembangan emosi dan berpikirnya, dia perlu dapat menganalisis

pendapat tersebut dikaitkan dengan pengetahuan yang dimilikinya.

4) Penggunaan scaffolding dalam pembelajaran.

Scaffolding merupakan proses memberikan tuntunan atau bimbingan

kepada siswa untuk mencapai apa yang harus dipahami dan apa yang

sekarang sudah diketahui. Siswa dilatih selangkah demi selangkah dengan

intensitas bimbingan yang semakin berkurang. Dengan cara ini,

kemampuan berpikir siswa akan semakin berkembang.

5) Peranan pendidik/guru lebih sebagai tutor, fasilitator, dan mentor untuk

mendukung kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa.

Dalam hal ini terjadi perubahan paradigma dari pembelajaran berorientasi

guru menjadi pembelajaran berorientasi siswa. Siswa diharapkan mampu

secara sadar dan aktif mengelola belajarnya sendiri.

6) Pentingnya kegiatan belajar dan evaluasi belajar yang otentik.

Kegiatan belajar yang otentik adalah seberapa dekat kegiatan yang

dilakukan dengan kehidupan dan permasalahan nyata yang terjadi dalam

masyarakat yang dihadapi siswa ketika berusaha menerapkan pengetahuan

tertentu.

PERBANDINGAN BEHAVIORISME DENGAN KONSTRUKTIVISME

BelajarTeori Belajar Pandangan

Behaviorisme Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang merupakan hasil dari stimulus respon. Aliran ini menganggap bahwa seseorang telah belajar jika ia telah mempu menunjukkan perubahan tingkah laku. Untuk membuat seseorang belajar, perlu adanya stimulus yang diberikan oleh pendidik.

Konstruktivisme Belajar merupakan usaha pemberian makna oleh peserta didik kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya. Menekankan pada kegiatan belajar siswa yang otentik.

18

Page 16: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

Belajar adalah penyusunan penegetahuan dari pengalaman kongkrit, aktifitas kolaboratif, refleksi, dan interpretasi.Seseorang yang belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap suatu pengetahuan terantung pengalamannya dan perspektif menginterpretasikannya.

Belajar menurut behaviorisme merupakan bentuk perubahan yang dialami

siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkahlaku dengan cara yang baru

sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Misalnya dalam pemebelajaran

matematika, seseorang belajar mencari luas persegi (luas daerah yang dibatasi

oleh persegi). Maka betapapun gurunya berusaha sebaik mungkin mengajar atau

bahkan siswa sudah hafal rumus segitiga diluar kepala dan sudah diberikan suatu

contoh latihan, namun bila siswa itu gagal mendemonstrasikan kemampuannya

dalam mencari luas segitiga dari soal yang lain, maka siswa itu belum bisa

dikatakan belajar. Ia dikatakan telah belajar apabila ia menunjukkan suatu

perubahan dalam tingkah laku (dari tidak tahu menjadi tahu mencari luas persegi).

Beda dengan behaviorisme yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan

yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, konstruktivisme lebih

memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan

pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan

pengalamannya. Jika behaviorisme menekankan keterampilan atau tingkah laku

sebagai tujuan pendidikan, konstruktivisme menekankan perkembangan konsep

dan pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat

siswa. Misalnya siswa yang pertama kali melihat persegi,

PembelajaranTeori Belajar Pandangan

Behaviorisme Hubungan sosial hanya sebagai metode, bukan tujuan pembelajaran.11

Kegiatan pembelajaran lebih banyak mengandalkan pada guru dan buku teks.

11 Babang Robandi. 2010. Landasan Psikologis Pendidikan (Disajikan pada DiklatPengembangan Kompetensi Gadik Secapa POLRI SUKABUMI 250110), Universitas Pendidikan Indonesia.

19

Page 17: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

Pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada guru.Konstruktivisme Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan

pertanyaan dan ide-ide peserta didik.Pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada siswa.Pengelolaan kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada kreativitas siswa.

EvaluasiTeori Belajar Pandangan

Behaviorisme Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pebelajaran. Menekankan evaluasi pada kemampuan peserta didik secara individual. Evaluasi belajar dilakukan di akhir pembelajaran dengan cara testing.

Konstruktivisme Evaluasi proses dan hasil belajar peserta didik terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan peserta didik, serta melalui tugas-tugas pekerjaan. Evaluasi proses dan hasil belajar dilakukan secara otentik, terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on going assessment). Dari awal sampai akhir, guru memantau perkembangan dan pemahaman siswa terhadap suatu konsep matematika, serta ikut membentuk dan mengawasi proses konstruksi pengetahuan (matematika) yang dibuat siswa.

Peserta DidikTeori Belajar Pandangan

Behaviorisme Partisipasi peserta didik bersifat pasif karena cenderung bekerja secara sendiri-sendiri, tanpa ada kegiatan kelompok/group proses dalam belajar.

Konstruktivisme Peserta didik lebih aktif karena banyak belajar dan bekerja melalui group proses.Peserta didik lebih mandiri belajar.Peserta didik diberikan peluang agar dapat memperoleh pengetahuan/keterampilan melalui usaha sendiri, dapat mengembangkan motivasi daari dalam dirinya, dan dapat mengembangkan pengalaman untuk membuat suatu karya.12

12 Dimyati dan Mudjiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta), h.121.

20

Page 18: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

PendidikTeori Belajar Pandangan

Behaviorisme Pendidik adalah orang yang mendominasi kegiatan pembelajaran. Tugasnya memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar, dengan cara memberikan stimulus, penghargaan, atau hukuman dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai hasil belajar yang baik. Guru menjadi sumber pengetahuan utama, menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah, dan banyak bergantung pada buku teks. Tugas guru dalam proses pembelajaran adalah:

1. Menentukan tujuan.2. Menentukan materi pembelajaran.3. Mengkaji materi pemebelajaran.4. Menyusun sesuai dengan sistem informasi.5. Menyajikan materi dan membimbing peserta didik

dengan pola sesuai materi pelajaran.Guru harus mampu menciptakan kondisi sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat berjalan secara efektif. Selain itu, guru juga harus memperhatikan adanya keberagaman kemampuan di antara siswa sehingga dengan kondisi tertentu yang diciptakan guru, maka potensi masing-masing siswa dapat berkembang secara optimal.13

Konstruktivisme Pendidik tidak mendominasi kegiatan pembelajaran. Pendidik konstruktivisme mengakui dan menghargai dorongan diri manusia/peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukan diarahkan untuk terjadinya aktivitas konstruksi pengetahuan oleh peserta didik secara optimal. Artinya, guru bertindak sebagai fasilitator atau pembimbing terjadinya pengalaman belajar, bukan lagi sebagai penceramah. Pendidik bukan satu-staunya sumber belajar, melainkan salah satu sumber belajar. Tugas guru dalam proses pembelajaran adalah:

1. Menentukan tujuan.2. Menentukan materi pelajaran.3. Menentukan topik-topik secara aktif oleh peserta

didik dengan bimbingan minim dari guru.4. Menentukan dan merancang kegiatan belajar yang

sesuai untuk topik yang akan dipelajari peserta didik dan kondisi peserta didik itu sendiri.

5. Menyiapkan pertanyaan yang akan memacu kreativitas peserta didik untuk berdiskusi atau bertanya.

13 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Jakarta: PT. Imperial Bhakti Utama, 2007), h. 163.

21

Page 19: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

6. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

Lingkungan BelajarTeori Belajar Pandangan

Behavioristik Kegiatan belajar lebih banyak dalam kelas karena aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku tersebut. Guru lebih banyak menyampaikan materi dengan cara ceramah, maka lingkungan belajar dibuat sesuai metode yang dipakai oleh guru supaya stimulus yang diberikan memberikan respon yang maksimal.

Konstruktivisme Menekankan pada aktivitas peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Jadi segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Peserta didik diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya.

IMPLEMENTASI KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Alim Sumarno (2011) menjelaskan mengenai penerapan pendekatan

konstruktivisme terhadap hasil belajar. Di dalam pembelajaran konstruktivisme

terdapat dua perubahan konsep yang terjadi pada siswa yaitu perubahan konsep

yang kuat dan perubahan konsep yang lemah. Perubahan konsep yang kuat akan

terjadi jika seseorang mengadakan akomodasi terhadap konsep yaang telah ia

punya ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Sedangkan perubahan

konsep yang lemah terjadi jika orang tersebut mengadakan asimilasi konsep yang

lama ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan perubahan ini

membuat pengetahuan siswa semakin berkembang.

John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini dengan

mengatakan bahwa pendidik yang cekap harus melaksanakan pengajaran dan

pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara

22

Page 20: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

berterusan. Beliau juga menekankan kepentingan pernyertaan murid dalam setiap

aktivitas pengajaran dan pembelajaran.

Dimyati (2010) mengemukakan pentingnya pembelajaran yang bermakna

bagi siswa.14 (1) Belajar menjadi bermakna bila siswa mengetahui tujuan belajar.

Oleh karena itu, guru perlu menjelaskan tujuan belajar secara hierarkis. Tujuan

belajar memahami operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian

misalnya. (2) Belajar menjadi bermakna jika siswa dihadapkan pada pemecahan

masalah yang menantangnya. Oleh karena itu peletakan urutan masalah yang

menantang harus disusun guru dengan baik. (3) Belajar menjadi bermakna jika

guru mampu memusatkan segala kemampuan mental siswa dalam program

kegiatan tertentu; oleh karena itu, disamping mengajarkan bahan secara terpisah-

pisah, guru sebaiknya membuat pembelajaran dalam pengajaran unit atau proyek.

Sebagai ilustrasi siswa kelas 1 SMP diberi tugas mempelajari contoh aritmetika

sosial di kotanya. Pengajaran tentang “aritmetika sosial di kota” tersebut sesuai

dengan kebutuhan hidup siswa. (4) Sesuai dengan perkembangan jiwa siswa,

maka kebutuhan bahan-bahan belajar siswa semakin bertambah, oleh karena itu,

guru perlu mengatur bahan dari yang paling sederhana sampai paling menantang.

Sebaiknya bahan tersebut diatur dalam prinsip memenuhi kebutuhan aktualisasi

diri. Sebagai ilustrasi, pada akhir pemebelajaran matematika misalnya,

diselenggarakan (5) Belajar menjadi bermakna bila siswa memahami prinsip

penilaian dan faedah nilai belajarnya bagi kehidupan dikemudian hari. Oleh

karena itu guru perlu memberitahukan kriteria keberhasilan atau kegagalan

belajar. Sebagai ilustrasi, siswa sekolah menengah perlu memahami pentingnya

Matematika. Bila siswa tahu bahwa matematika penting untuk belajar

pengetahuan di perguruan tinggi, maka ia akan belajar matematika dengan

sungguh-sungguh. Sebab dengan angka 9 untuk matematika peluang untuk belajar

di Perguruan Tinggi semakin terbuka.

14 Dimyati dan Mudjiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta), h.102.

23

Page 21: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran meliputi

empat tahap yaitu : 1) apersepsi; 2) eksplorasi; 3) diskusi dan penjelasan konsep;

serta 4) pengembangan dan aplikasi.

Tahap pertama, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan

awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu guru memancing

dengan memberikan pertanyaan – pertanyaan problematik tentang fenomena

yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas.

Siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan

pemahaman tentang konsep itu.

Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan

menemukan konsep pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpretasian

data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang guru. Kemudian secara

berkelompok didiskusikan dengan kelompok lain. Secara keseluruhan, tahap

ini akan memenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena alam di

sekelilingnya.

Tahap ketiga, saat siswa memberikan penjelasan dan solusi yang

didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan dari guru,

maka siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang dipelajari.

Hal ini menjadikan siswa tidak ragu–ragu lagi tentang konsepsinya.

Tahap keempat, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang

memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik

melalui kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah – masalah yang

berkaitan dengan isu – isu dilingkungannya. Dalam pembelajaran matematika

beberapa ahli konstruktivisme telah menguraikan indikator belajar mengajar

berdasarkan konstruktivisme. Confrey ( Suherman,2001 ) menyatakan: :

…sebagai seorang konstruktivis ketika saya mengajarkan

matematika, saya tidak mengajarkan tentang struktur matematika yang

objeknya ada di dunia ini. Saya mengajar mereka, bagaimana

24

Page 22: Bab II Pembahasan Konstrukstivis

mengembangkan kognisi mereka, bagaimana melihat dunia melalui

sekumpulan lensa kuantitatif yang saya percaya akan menyediakan suatu

cara yang powerful untuk memahami dunia, bagaimana merefleksikan

lensa–lensa itu untuk menciptakan lensa-lensa yang lebih kuat, dan

bagaimana mengapresiasi peranan dari lensa dalam memainkan

pengembangan kultur mereka. Saya mencoba untuk mengajarkan untuk

mengembangkan satu alat intelektual yaitu matematika.

Hal ini tercermin bahwa matematika hanyalah sebagai alat untuk

berfikir, fokus utama mengajar matematika adalah memberdayakan siswa

untuk berfikir mengkonstruksi pengetahuan matematika yang pernah ditemukan

oleh ahli-ahli sebelumnya.

25