3. bab ii - tinjauan pustaka oke
TRANSCRIPT
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Ekor Kuning (Caesio sp)
Ikan ekor kuning (Caesio sp) hampir terdapat di seluruh perairan
berkarang. Sifatnya yang mid pelagis dan lebih suka berada di dasar perairan
membuat ikan ini hanya terdapat di tempat-tempat tertentu, khususnya daerah
yang masih memiliki karang hidup. Ikan ini hidup bergerombol dan membentuk
schooling. Ikan ekor kuning (Caesio sp) hidup pada suhu perairan 28 – 31oC.
Klasifikasi ikan ekor kuning (Caesio erythrogaster) menurut Saanin (1986)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
sub filum : Vertebrata
kelas : Teleostei
sub kelas : Actinopterygii
ordo : Perciformes
genus : Caesio
spesies : Caesio erythrogaster
Gambar 2. Ikan Ekor Kuning (Caesio erythrogaster)
7
Berdasarkan data WCS tahun 2003 – 2005 (Mukminin et al., 2006), famili
ikan tangkapan terbesar di kepulauan Karimunjawa berasal dari famili
caesionidae. Dari data yang tercatat tahun 2005 - 2007, tangkapan terbesar berasal
dari famili Caesionidae adalah dari jenis ikan ekor kuning (Caesio sp). Sehingga
dapat dikatakan bahwa hingga saat ini perikanan Karimunjawa termasuk
perikanan ekor kuning (Caesio sp), dengan 74,55% di tangkap menggunakan
speargun (panah); 15,67% menggunakan bubu; 6,77% menggunakan muroami;
2,97% menggunakan pancing, dan 0,04% menggunakan jaring.
Dari total hasil tangkapan yang tercatat sebanyak 39.387,5 kg yang terdiri
dari 34 famili didominasi oleh keluarga Caesionidae (fusillier) sebesar 56,24%,
kemudian diikuti oleh keluarga Scaridae sebesar 7,32% serta keluarga tongkol
dan tenggiri (Scombridae) sebesar 6,54% (Mukminin et al, 2006).
Sumber : Laporan Monitoring Kajian Pola Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Karimunjawa, Wildlife Conservation Society 2003-2005
Gambar 3. Grafik Komposisi Perikanan Tangkap di Kepulauan Karimunjawa
8
2.2. Perairan Karimunjawa
Menurut Data Statistik BTNKJ (2008), Taman Nasional Karimunjawa
yang terletak pada koordinat 5º 40' – 5º 57' LS dan 110º 04' – 110º 40' BT
mempunyai luasan total 111.625 Ha, terdiri dari wilayah daratan di Pulau
Kemujan (ekosistem mangrove) 222,20 Ha, Pulau Karimunjawa (ekosistem hutan
hujan tropis dataran rendah) 1.285,50 Ha, dan wilayah perairan 110.117,30 Ha,
yang telah ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam (KPA) berdasarkan Surat
Keputusan Menhut No. 74/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001. Selain cara
penangkapan ikan yang merusak, kelebihan tangkap dan tidak efektifnya
pengelolaan kawasan, meningkatnya permintaan akan ikan karang hidup untuk
konsumsi dari Hongkong, Taiwan dan Singapura adalah beberapa faktor yang
menjadi penyebab memburuknya kondisi terumbu karang dan turunnya stok
karang di wilayah ini. Muroami dan jaring karang aktif yang menangkap ikan
target ekor kuning (Caesio sp) yang disebut “Jaring Pocong” merupakan alat
tangkap yang kontroversial di Taman Nasional ini.
Dari sisi masyarakat nelayan, kedua jenis alat tangkap ini memberikan
keuntungan secara cepat dan langsung serta memberikan lapangan pekerjaan bagi
ratusan nelayan yang tidak memiliki perahu sendiri. Dari sisi konservasi, kedua
alat tangkapa ini mengurangi stok ikan karang, terutama ekor kuning dengan
sangat cepat (Statistik BTNKJ, 2008).
9
2.3. Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
Teknologi penginderaan jauh dalam mendapatkan data atau informasi
secara tidak langsung, karena menggunakan fenomena merambatnya energi
matahari ke bumi dan reaksi dari objek-objek di bumi terhadap energi matahari
tersebut (Quantum, 2007 ).
Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu subjek, daerah, atau fenomena melalui analisa data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau
fenomena yang dikaji. (Lillesand dan Kiefer, 1990). JARS (1993) dalam pentury
(1997), menyebutkan bahwa inderaja merupakan suatu ilmu dan teknologi.
Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu bila digunakan untuk lingkup studi inderaja
sendiri dan merupakan suatu teknik bila digunakan sebagai penunjang untuk
mempelajari bidang ilmu lain (Susanto, 1987 dalam Pentury, 1997).
Energi yang dipantulkan, diserap dan ditransmisikan akan berbeda untuk
objek yang berbeda, tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini
memungkinkan untuk membedakan obyek yang berbeda pada suatu citra (Lillesand
dan Kiefer, 1990)
Reaksi objek-objek yang ada di bumi terhadap matahari beragam, seperti
memantulkan, memancarkan, mengalihkan, dan menyerap tenaga tersebut. Agar
reaksi objek di muka bumi terhadap energi matahari digunakan sebagai informasi
diperlukan adanya wahana dan sensor. Wahana sebagai kendaraan pembawa
sensor dapat berupa satelit. Sedangkan sensor adalah alat optik yang diletakkan di
wahana dan dapat merekam energi matahari yang dipantulkan objek-objek di
bumi (Quantum, 2007).
10
Gambar 4. Skema penginderaan jauh (remote sensing)
2.4. Sistem Informasi Geografi (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang
dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat
geografi. Sistem Informasi Geografis dapat diasosiasikan sebagai peta yang
berorde tinggi yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial.
Disebutkan juga SIG telah terbukti kehandalannya untuk mengumpulkan,
menyimpan, mengelola, menganalisa, dan menampilkan data spasial baik biofisik
maupun sosial ekonomi. Secara umum SIG menyediakan fasilitas-fasilitas untuk
mengambil, mengelola, memanipulasi, dan manganalisa data serta menyediakan
hasil baik dalam bentuk grafik maupun dalam bentuk tabel, namun demikian
fungsi utamanya adalah untuk mengelola data spasial (Star et al., 1990 dalam
Barus et al., 2000).
2.5. Citra MODIS
11
Menurut Effendi (2006), MODIS (Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer) adalah suatu instrumen kunci yang terdiri atas dua satelit yaitu
Terra ( EOS AM) dan Aqua ( EOS PM). Garis edar Terra di sekitar bumi diatur
sedemikian rupa sehingga melewati arah utara - selatan melintasi garis katulistiwa
pada waktu pagi hari, sedangkan Aqua akan melewati arah selatan - utara di atas
garis katulistiwa pada sore hari. Terra MODIS dan Aqua MODIS mengamati
keseluruhan permukaan bumi setiap 1 atau 2 hari, data yang diperoleh diterima
dalam 36 band spektral dengan panjang gelombang berbeda ( lihat spesifikasi
teknis MODIS). Data ini akan meningkatkan pemahaman pengguna tentang
proses dan dinamika global yang terjadi di atas daratan, di samudra, dan di bawah
lapisan atmosfir.
Tabel 1. Spesifikasi Satelit MODISSpesifikasi Keterangan
Spesifikasi teknis satelit MODIS 705 km, 10:30 a.m. descending node
(AM-1) or 1:30 p.m. ascending node
(PM-1), sun-syinchronous, near polar,
circular
Scan Rate 20.3 rpm, cross track
Swath Dimensions 2330 km (cross track) by 10 km (along
track at nadir)
Telescope 17.78 c. Diam, off-axis, afocal
(collimated), with intermediate field
stop
Size 1.0 x 1.6 x 1.0 m
Weight 228.7 kg
Power 162.5 W (singel orbit average)
Data Rate 10.6 Mbps (peak daytime); 6.1 Mbps
(orbital average)
Quantization 12 bits
12
Spatial Resolution 250 m (1-2) 500 m (3-7) 1000 m (8-36)
Design life 6 years
Sumber: http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specs.html
MODIS mengorbit bumi secara polar (arah Selatan – Utara) pada ketinggian
705 km dan melewati garis Khatulistiwa pada jam 10.30 waktu lokal. Orbit satelit
Aqua MODIS melintas dari Selatan ke Utara melalui garis Ekuator pada sore hari.
Sedangkan orbit satelit Terra MODIS. Melintas dari Selatan ke Utara melalui
garis ekuator pada pagi hari. Lebar cakupan lahan pada permukaan bumi setiap
putarannya sekitar 2330 km. Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima
sensor MODIS sebanyak 36 kanal (36 interval panjang gelombang), mulai dari
0,405 sampai 14,385 μm (1 μm = 1 / 1.000.000 m). Data terkirim dari satelit
dengan kecepatan 11 Mega bytes setiap detik dengan resolusi radiometrik 12 bit.
Artinya obyek dapat dideteksi dan dibedakan sampai 212 (= 4.096) derajat keabuan
(grey levels). Satu elemen citranya (pixel, picture elements) berukuran 250 m
(kanal 1-2), 500 m (kanal 3-7) dan 1.000 m (kanal 8-36). Di dalam dunia
penginderaan jauh, hal ini dikenal dengan nama resolusi spasial. MODIS dapat
mengamati tempat yang sama di permukaan bumi setiap hari, untuk kawasan di
atas Lintang 30°, dan setiap 2 hari untuk kawasan di bawah Lintang 30°, termasuk
Indonesia (Mustafa, 2004).
Menurut Prahasta (2008), sensor MODIS menghasilkan resolusi radiometrik
16-bit perpiksel ini menghasilkan citra dijital dalam beberapa band: biru (band 3),
merah (band 1), hijau (band 4), near-infrared (band 2, 5, dan 16-19), SWIR (band
6&7), visible (band 8-15), MWIR (band 20-26), dan TIR (band 27-36). Sementara
13
resolusi spasial antara 250m hingga 1000m: band 1&2 (250m), band 3-7 (500m),
dan band 8-36 (1000m).
Tabel 2. Karakteristik Sensor MODIS Band/kanal Nilai Spektrum Fungsi
1 620 - 670 nm Lahan/ Awan/ Aerosol
Boundaris
2 841 - 876 nm
3 459 - 479 nm
4 545 - 565 nm
5 1230 - 1250 nm
6 1628 - 1652 nm
7 2105 - 2155 nm
8 405 - 420 nm Ocean color/
Fitoplankton/
Biogeokimia
9 438 - 448 nm
10 483 – 493 nm
11 526 – 536 nm
12 546 – 556 nm
13 662 – 672 nm
14 673 – 683 nm
15 743 – 753 nm
16 862 – 877 nm
17 890 – 920 nm Uap Air Atmosfir
18 931 - 941 nm
19 915 – 965 nm
20 3.660 – 3.840 um Surface/ Temperatur
Awan
21 3.929 – 3.989 um
22 3.929 – 3.989 um
Sumber: http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specs.html
14
Data yang dihasilkan sensor MODIS terdiri dari beberapa format level data,
yaitu:
1. Format data level 1, merupakan data mentah ditambah dengan informasi
tentang kalibrasi sensor dan geolokasi. Format data level 1 terdiri dari:
a.Level 1a, mengandung informasi lebih yang dibutuhkan pada set data.
Digunkan sebagai input untuk geolocation, calibration, dan processing.
b. Level 1b, data yang telah mempunyai terapannya, merupakan hasil dari
aplikasi sensor kalibrasi level 1a.
2. Format data level 2, dihasilkan dari proses penggabungan data level 1a dan
1b. data level 2 menerapkan nilai geofisik pada tiap piksel yang berasal dari
perhitungan raw radiance level 1a dengan menerapkan kalibrasi sensor,
koreksi atmosfer, dan algoritma bio-optik.
3. Format data level 3, merupakan data level 2 yang dikumpulkan dalam periode
1 hari, 8 hari, 1 bulan, dan 1 tahun (http://modis.gsfc.nasa.gov/).
2.5.1. Satelit Aqua
Menurut Realino (2005), satelit Aqua (EOS PM-1) adalah satelit penelitian
ilmiah NASA yang sedang melayang di orbit sekitar bumi. Satelit ini mempelajari
tentang presipitasi, evaporasi, dan siklus air. Aqua adalah komponen utama kedua
Earth Observing System setelah Terra yang diluncurkan tahun 1999. Dan setelah
Aqua, Aura diluncurkan tahun 2004. Nama "Aqua" berasal dari bahasa Latin yang
berarti air. Satelit ini diluncurkan dari Vandenberg Air Force Base pada 4 Mei
2002 di atas roket Boeing Delta II. Aqua berada di orbit sun-synchronous. Satelit
ini terbang membentuk formasi yang disebut "A-Train" dengan beberapa satelit
15
lainnya (Aura, CALIPSO, CloudSat, dan PARASOL). Aqua membawa enam
instrumen untuk mempelajari perairan pada permukaan bumi dan atmosfer.
a. AMSR-E: Advanced Microwave Scanning Radiometer-EOS, dipergunakan
untuk mengukur sifat awan, temperatur permukaan laut, kecepatan angin pada
permukaan bumi, fluks radiatif energi, perairan permukaan, es, dan salju.
Dirakit oleh National Space Development Agency Jepang.
b. MODIS: Moderate Resolution Imaging Spectro r adiometer , juga mengukur
sifat awan dan fluks radiatif energi, juga sifat-sifat aerosol yang terkandung
dalam atmosfer bumi, vegetasi penutup daratan dan penggunaan lahan,
kebakaran hutan dan gunung berapi. Instrumen ini juga terdapat pada Terra.
c. AMSU-A: Advanced Microwave Sounding Unit, digunakan untuk mengukur
temperatur dan kelembaban atmosfer.
d. AIRS: Atmospheric Infrared Sounder, digunakan untuk mengukur temperatur
dan kelembaban atmosfer, temperatur daratan dan permukaan laut.
e. HSB: Humidity Sounder for Brazil, peralatan dengan gelombang VHF untuk
mengukur kelembaban atmosfer. Dirakit oleh Instituto Nacional de Pesquisas
Espaciais dari Brazil.
f. CERES: Clouds and the Earth's Radiant Energi System, untuk mengukur
fluks radiatif energi.
16
Sumber : http://www.google.co.id/images/aqua+satelite.html
Gambar 5. Satelit Aqua (EOS PM)
Aqua memiliki massa sekitar 2850 kg, ditambah 230 kg propelan ketika
peluncuran. Dalam keadaan terlipat, satelit ini berdimensi (2,68 x 2,49 x 6,49) m.
Dalam keadaan terbuka, satelit ini berdimensi (4,81 x 16,70 x 8,04) m.
2.5.2. Satelit Terra
Terra (EOS AM-1) adalah satelit penelitian multinasional NASA di orbit
sun-synchronous di sekitar bumi. Satelit ini adalah bagian dari Earth Orbiting
System. Nama Terra datang dari bahasa Latin yang berarti bumi. Satelit ini
diluncurkan dari Vandenberg Air Force Base pada 18 Desember 1999,
diterbangkan dengan roket Atlas IIAS dan mulai mengumpulkan data pada 24
Februari 2000.
Sumber: http://www.google.co.id/images/Gambar 6. Satelit Terra (EOS AM)
17
Terra membawa muatan yang terdiri dari lima sensor jarak jauh yang
didesain untuk memantau keadaan lingkungan bumi dan perubahan-perubahan
yang terjadi pada iklim. Instrumen yang dibawa itu diantaranya:
a. ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer)
b. CERES (Clouds and the Earth's Radiant Energi System)
c. MISR (Multi-angle Imaging SpectroRadiometer)
d. MODIS (Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer)
e. MOPITT (Measurements of Pollution in the Troposphere)
2.6. Klorofil-a
Klorofil-a merupakan pigmen hijau plankton yang digunakan dalam prses
foto sintesis, semua fitoplankton mengandung klorofil-a yang beratnya kira-kira
1-2 persen dari berat kering alga (APHA 1992 dalam Ahmad 2003 dalam Realino
dkk 2005).
Sebenarnya ada 3 macam klorofil, yaitu klorofil-a, b, dan c. Selain itu ada
juga jenis pigmen fotosintesis seperti karotein dan xantofil. Menurut Parsons et.al
(1984), dari ketiga pigmen tersebut, klorofil-a merupakan pigmen yang paling
umum terdapat pada fitoplankton sehingga kelimpahan fitoplankton dapat
dilakukan melalui pengukuran konsentrasi klorofil-a di perairan. Klorofil-a dapat
diukur dengan menfaatkan sifatnya yang memijar jika dirangsang oleh cahaya
pada gelombang tertentu. Hal inilah yang dimanfaatkan dalam dunia penginderaan
jauh untuk mengestimasi kandungan klorofil-a suatu perairan. Pada kegiatan
pelatihan magang ini dilakukan dengan menganalisis data penginderaan
18
jauh/ocean color dari satelit Aqua dan Terra yang menggunakan sensor MODIS
(dalam Ahmad 2003 dalam Realino dkk 2005).
Menurut Septiawan (2006), pembagian kelas klasifikasi konsentrasi
klorofil seperti:
1. Konsentrasi rendah
Klasifikasi nilai klorofil pada kisaran 0.01 mgm-3– 0.5 mgm-3
2. Konsentrasi sedang
Klasifikasi nilai klorofil pada kisaran 0.5 mgm-3 < nilai klorofil 1.0 mgm-3
3. Konsentrasi tinggi
Klasifikasi nilai klorofil pada kisaran 1.0 mgm-3 < nilai klorofil 1.5 mgm-3.
4. Konsentrasi sangat tinggi
Klasifikasi nilai klorofil pada kisaran 1.5 mgm-3 < nilai klorofil 1.8 mgm-3
Persebaran klorofil-a di laut lebih tinggi konsentrasinya dari pada perairan
pantai dan pesisir serta rendah di daerah perairan lepas pantai. Tingginya
persebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena
adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan
rendahnya konsentrasi klofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai
nutrien dari daratan secara langsung. Namun, pada daerah-daerah tertentu di
perairan lepas pantai diumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup
banyak. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang
dihasilkan melalui proses fisik massa air dimana massa air dalam mengangkat
nutrien dari lapisan dalam dan lapisan permukaan (Valiella, 1984 dalam Presetiadi
1994)
19
2.7. SST (Sea Surface Temperature)
Suhu permukaan laut (SPL) merupakan salah satu parameter yang dapat
mengidentifikasi proses terjadinya up welling dan front pada suatu perairan.
Selain itu perubahan suhu dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi
air secara langsung maupun tidak langsung yang nantinya akan berpengaruh
terhadap distribusi perairan, misalnya ikan akan cendrung akan memilih
lingkungan yang suhunya sesuai dengan kondisi fisiologis tubuhya.
Suatu permukaan laut (SPL) erat kaitannya dengan ketahanan hidup dan
mortalitas ikan. Hal ini disebabkan karena ikan adalah hewan berdarah dingin
yang suhu tubuhnya tidak diatur secara internal, tetapi menyesuaikan dengan
lingkungan dan batas-batas optimum tertentu. Jika batas-batas tersebut
perubahannya terlalu cepat dan ekstrim, maka akan menyebabkan mortalitas pada
ikan. Di samping itu, suhu permukaan air laut juga mempengaruhi tingkah laku
ikan dalam melakukan pemijahan dan migrasi. Hal itu sehingga didapatkan suhu
permukaan laut secara time series, maka dapat digambarkan isoterm, yang
mempermudah dalam memprediksi gerakan atau alur imigrasi jenis ikan
ekonomis penting, contohnya pola penyebaran jenis ikan tuna seperti pola
penyebaran pada ikan Tuna Albacore yang mempunyai kisaran suhu 23o C, pola
penyebaran big eye tuna mempunyai kisaran suhu 22o C – 28o C, pola penyebaran
ikan cakalang (skipjack) mempunyai kisaran suhu 23o C – 28o C, dan pola
penyebaran ikan tuna kecil mempunyai kisaran suhu 23o C – 28o C, sedangkan
ikan tuna ekor kuning (Yellow fin Tuna) mempunyai kisaran suhu 24o C – 28o C.
untuk rata-rata tertangkap dan kisaran suhu penyebaran 28o C – 32o C (Leavestu
dan Hela 1970 dalam Wijaya 2004).
20
2.8. Upwelling
Proses upwelling adalah suatu proses naiknya massa air yang berasal dari
perairan menurut Barness (1998 dalam Devi 1999 dalam Realino dd 2005).
Upwelling dapat terjadi karena 3 proses yaitu:
a. Upwelling terjadi pada arus dalam deep current bertemu dengan suatu
rintangan seperti mid ocean range (suatu ridge yang berada di tengah lautan)
di mana arus tersebut dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir deras ke
permukaan.
b. Upwelling terjadi ketika 2 massa air berdampingan, misalnya saat massa air
utara berada di bawah pengaruh gaya Coriolis dan massa air di selatan ekuator
bergerak ke arah selatan di bawah gaya Coriolis, keadaan tersebut akan
menimbulkan ruang kosong pada lapisan dibawahnya, hal ini terjadi karena
adanya divergensi pada perairan tersebut.
c. Upwelling dapat pula disebabkan oeleh arus yang menjauhi pantai akibat
tiupan angin yang terus-menerus selama beberapa waktu. Arus ini membawa
massa air di permukaan pantai ke laut lepas yang mengakibatkan ruang
kosong yang kemudian diisi oleh massa air dibawahnya.
2.9. Front
Front merupakan pertemuan 2 massa air yang memiliki suhu yang
berbeda. Pertumbuhan plankton secara cepat di suatu lokasi biasanya diawali
dengan adanya perairan yang subur yang disebabkan adanya fenomena
pergerakan massa air laut yang disebut upwelling dan sea front. Upwelling adalah
naiknya massa air laut menyebabkan dasar laut teraduk dan terangkat dimana
21
didasar laut tersebut terendapkan sekian banyak nutrien. Dengan terangkatnya
massa air laut dari dasar yang memiliki banyak kandungan nutrien tersebut, maka
memicu tumbuhnya plankton secara cepat didaerah tersebut. Fenomena upwelling
ini dapat dideteksi dengan menggunkan data satelit oseanografi yang
menggunakan panjang gelombang tertentu menggunkan radiometer sebagai
sensornya sehingga bisa menampilkan persebaran suhu permukaan laut secra
detil. Sedangkan fenomena sea front dapat di deteksi dari satelit oseanografi
dengan melihat pada adanya batas yang tegas antara perairan yang miliki suhu
panas dengan perairan yang memiliki suhu yang lebih rendah (Rasidi, 2009).
Fenomena upwelling ditandai dengan adanya perairan yang memiliki
suhu permukaan laut yang lebih rendah dibandingkan daerah sekitarnya yang
disebabkan oleh air laut dalam yang memiliki suhu lebih rendah muncul ke
permukaan laut yang suhunya lebih tinggi. Sedangkan seafront yang merupakan
daerah pertemuan arus laut yang memiliki suhu panas dengan arus laut yang
memiliki suhu dingin. Dengan mekanisme yanhg sama maka sea front akan
memicu tumbunya plankton di daerah tersebut (Rasidi, 2009).
2.10. Produktivitas primer
Produktivitas primer ialah laju pembentukan senyawa-senyawa organik
yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Jumlah seluruh bahan organik
(biomassa) yang terbentuk dalam proses produktivitas dinamakan produktivitas
primer kotor, atau produksi total. Jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk
dalam proses produksivitas dinamakan produksi primer kotor, atau produksi total.
Karena sebagian dari produksi total ini digunakan tumbuhan untuk kelangsungan
22
proses-proses hidup, respirasi. Produksi primer bersih adalah istilah yang
digunakan bagi jumlah sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan
untuk respirasi. Produktivitas primer inilah yang tersedia bagi tingkatan-tingkatan
trofik lain.
Produksi primer kotor maupun bersih pada umumnya dinyatakan dalam
jumlah gram karbon (C) yang terikat per satuan luas atau volume air laut per
interval waktu. Jadi, produksi dapat dilaporkan sebagai jumlah gram karbon per
m2 per hari (g C/m2/hari), atau satuan-satuan lain yang lebih tepat.
Hasil tetap (Standing crop) yang diterapkan pada tumbuhan ialah jumlah
biomassa tumbuhan yang terdapat dalam suatu volume air tertentu pada suatu saat
tertentu.Di laut khususnya laut terbuka, fitoplankton merupakan organisme
autotrof utama yang menentukan produktivitas primer perairan. Produktivitas
jumlah karbon yang terdapat di dalam matenal hidup dan secara umum dinyatakan
sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air
per hari (g C/m2/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter
kubik per hari (g C/m3/hari). Selain jumlah karbon yang dihasilkan tinggi
rendahnya produktivitas primer perairan dapat diketahui dengan melakukan
pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a. dimana
kedua metode ini dapat diukur secara langsung di lapangan (Levinton. 1982).
Sumber energi primer bagi ekosistem adalah cahaya matahari. Energi
cahaya matahari hanya dapat diserap oleh organisme tumbuhan hijau dan
organisme fotosintetik. Energi cahaya digunakan untuk mensintesis molekul
anorganik menjadi molekul organik yang kaya energi. Molekul tersebut
selanjutnya disimpan dalam bentuk makanan dalam tubuhnya dan menjadi sumber
23
bahan organic bagi organisme lain yang heterotrof. Organisme yang memiliki
kemampuan untuk mengikat energi dari lingkungan disebut produsen.
Di lingkungan perairan Indonesia Produksi bagi ekosistem merupakan
proses pemasukan dan penyimpanan energi dalam ekosistem. Pemasukan energi
dalam ekosistem yang dimaksud adalah pemindahan energi cahaya menjadi energi
kimia oleh produsen. Sedangkan penyimpanan energi yang dimaksudkan adalah
penggunaan energi oleh konsumen dan mikroorganisme. Laju produksi makhluk
hidup dalam ekosistem disebut sebagai produktivitas.
Menurut Campbell (2002), Produktivitas primer menunjukkan Jumlah
energi cahaya yang diubah menjadi energi kimia oleh autotrof suatu ekosistem
selama suatu periode waktu tertentu. Produktivitas primer merupakan laju
penambatan energi yang dilakukan oleh produsen. Total produktivitas primer
dikenal sebagai produktivitas primer kotor (gross primary productivity, GPP).
Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai bahan organik pada tubuh
organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena organisme
tersebut menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar organic
dalam respirasinya. Dengan demikian, Produktivitas primer bersih (net primary
productivity, NPP) sama dengan produktivitas primer kotor dikurangi energi yang
digunakan oleh produsen untuk respirasi (Rs):
NPP = GPP – Rs
Dalam sebuah ekosistem, produktivitas primer menunjukkan simpanan
energi kimia yang tersedia bagi konsumen. Pada sebagian besar produsen primer,
produktivitas primer bersih dapat mencapai 50% – 90% dari produktivitas primer
kotor. Menurut Campbell et al (2002), Rasio NPP terhadap GPP umumnya lebih
24
kecil bagi produsen besar dengan struktur nonfotosintetik yang rumit, seperti
pohon yang mendukung sistem batang dan akar yang besar dan secara metabolik
aktif.
Produktivitas primer dapat dinyatakan dalam energi persatuan luas
persatuan waktu (J/m2/tahun), atau sebagai biomassa (berat kering organik)
vegetasi yang ditambahkan ke ekosistem persatuan luasan per satuan waktu
(g/m2/tahun). Namun demikian, produktivitas primer suatu ekosistem hendaknya
tidak dikelirukan dengan total biomassa dari autotrof fotosintetik yang terdapat
pada suatu waktu tertentu, yang disebut biomassa tanaman tegakan (standing crop
biomass). Produktivitas primer menunjukkan laju di mana organisme-organisme
mensintesis biomassa baru. Meskipun sebuah hutan memiliki biomassa tanaman
tegakan yang sangat besar, produktivitas primernya mungkin sesungguhnya
kurang dari produktivitas primer beberapa padang rumput yang tidak
mengakumulasi vegetasi (Campbell et al., 2002).
Menurut McPhaden and Hayes (1991), adveksi vertikal dan entrainment
dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan bahang dan suhu pada
lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila dikombinasi dengan faktor angin
yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat mengakibatkan terjadinya
upwelling. Upwelling menyebabkan suhu lapisan permukaan tercampur menjadi
lebih rendah. Pada umumnya pergerakan massa air disebabkan oleh angin. Angin
yang berhembus dengan kencang dapat mengakibatkan terjadinya percampuran
massa air pada lapisan atas yang mengakibatkan sebaran suhu menjadi homogen.
Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan entrainment
25
dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur serta
kandungan bahangnya
Beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas primer perairan adalah:
a. Cahaya
Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a
di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak
cahaya matahari untuk proses fotosintesa. Sedangkan di lapisan yang lebih dalam,
cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali.
Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian bawah lapisan
permukaan tercampur atau pada bagian atas dari permukaan lapisan termoklin jika
dibandingkan dengan bagian pertengahan atau bawah lapisan termoklin.
Menurut Matsuura et al. (1997) berdasarkan hasil pengamatan di timur
laut Lautan Hindia, dimana diperoleh bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada
bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat
menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara
drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di
bawah lapisan termoklin.
Fotosintesa fitoplankton menggunakan klorofil-a, c, dan satu jenis pigmen
tambahan seperti protein-fukosantin dan peridinin, yang secara lengkap
menggunakan semua cahaya dalam spektrum tampak. Pada panjang gelombang
400 – 700 nm, cahaya yang diabsorbsi oleh pigmen fitoplankton dapat dibagi
dalam: cahaya dengan panjang gelombang lebih dari 600 nm, terutama diabsorbsi
oleh klorofil dan cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600 nm, terutama
diabsorbsi oleh pigmen-pigmen pelengkap/tambahan (Levinton, 1982).
26
Dengan adanya perbedaan kandungan pigmen pada setiap jenis plankton,
maka jumlah cahaya matahari yang diabsorbsi oleh setiap plankton akan berbeda
pula. Keadaan ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesa.
Parsons et al. (1984) mengklasifikasi alga laut berdasarkan efisiensi
fotosintesa oleh pigmen kedalam tipe klorofil-a dan b untuk alga hijau dan
euglenoid; tipe klorofil-a, c, dan caratenoid untuk diatom, dinoflagellata, dan alga
coklat; dan tipe klorofil-a dan ficobilin untuk alga merah dan alga hijau biru.
b. Nutrien
Menurut Levinton (1982), nutrien adalah semua unsur dan senjawa yang
dibutuhkan oleh tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik
(misalnya amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen
nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen,
fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien
trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper, dan
vanadium.
Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk
pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca
dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan elemen-
elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut
mikronutrien atau trace element.
Menurut Brown et al. (1989), sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan
sangat tergantung pada konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan
permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan
27
di bawahnya. Nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada
permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya
kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500
– 1500 m.
c. Suhu
Menurut Tomascik et al. (1997), suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di
laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung
yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses
fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa (Pmax),
sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur
hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton.
Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu
perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu
tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu berdaptasi
terhadap suatu kisaran suhu tertentu.