22281380-hipersensitivitas-makalah

17
 TUGAS PATOLOGI ANATOMI HYPERSENSITIVITY DIEASES DISUSUN OLEH : Billy Anderson Sinaga 080600070 Diah P. Sari 080600080 Dwi ardiani sari 080600076 Merry 0806000 Astrid 9080600 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara Medan 2009

Upload: tahtawi-afid-rifai-ridho

Post on 17-Jul-2015

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 1/17

TUGAS PATOLOGI ANATOMI

HYPERSENSITIVITY DIEASES

DISUSUN OLEH :

Billy Anderson Sinaga 080600070

Diah P. Sari 080600080

Dwi ardiani sari 080600076

Merry 0806000

Astrid 9080600

Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara

Medan

2009

Page 2: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 2/17

HIPERSENSITIVITAS

Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan

imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan

oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan

sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan

antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain

untuk menghancurkan antigen tersebut.

Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana

alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah

keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi

hipersensitivitas atau alergi.

Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:

1. Reaksi Tipe I

2. Reaksi Tipe II

3. Reaksi Tipe III

4. Reaksi Tipe IV

MEKANISME BERBAGAI GANGGUAN YANG DIPERANTARAI SECARA IMUNOLOGIS

Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe

I Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibodi IgE

  pelepasan amino vasoaktif dan mediator 

lain dari basofil dan sel mast rekrutmen

sel radang lain

Anafilaksis, beberapa

 bentuk asma bronkial

II Antibodi

terhadap Antigen

Jaringan Tertentu

IgG atau IgM berikatan dengan antigen

  pada permukaan sel fagositosis sel

target atau lisis sel target oleh komplemenatau sitotosisitas yang diperantarai oleh sel

yang bergantung antibody

Anemia hemolitik 

autoimun,

eritroblastosis fetalis,  penyakit Goodpasture,

 pemfigus vulgaris

III Penyakit

Kompleks Imun

Kompleks antigen-antibodi

mengaktifkan komplemen menarik 

  perhatian nenutrofil pelepasan enzim

lisosom, radikal bebas oksigen, dan lain-

Reahsi Arthua, serum

sickness, lupus

eritematosus sistemik,

  bentuk tertentu

Page 3: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 3/17

lain glomerulonefritis akut

IV Hipersensitivitas

Selular (Lambat)

Limfosit T tersensitisasi pelepasan

sitokin dan sitotoksisitas yang diperantarai

oleh sel T

Tuberkulosis,

dermatitis kontak,

 penolakan transplan

Tipe I : Reaksi Anafilaksis

Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang

terikat pada sel mast  atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini

menimbulkan reaksi tipe cepat.

Patofisiologi :

Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe TH2.

Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang

disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil.

Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil;

  begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk 

menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama

mengakibatkanpertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade sinyal intrasel

sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons awal sedangkan

mediator sekunder untuk fase lambat.

Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi,kebocoran vaskular, dan spasme otot polos,

yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu alergan danmenghilang setelah 60 menit;

Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari.

Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan kronis

lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam

 bentuk kerusakan sel epitel mukosa.

Page 4: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 4/17

Mediator Primer

Page 5: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 5/17

Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas

vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang

segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi

trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam

matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease

menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis

dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).

Mediator Sekunder

• Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang

dikenal paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif 

daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam

menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik 

untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.

•Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme

hebat serta meningkatkan sekresi mukus.

• Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,

mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme.

Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil.

• Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan

kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui

kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF

merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi

leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan

untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.

Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I

Kerja Mediator

Infiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF)

Leukotrien B4

Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis

Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis

Faktor pengaktivasi trombosit

Vasoaktif (vasodilatasi,

meningkatkan

 permeabilitas vaskular)

Histamin

Faktor pengaktivasi trombosit

Leukotrien C4, D4, E4

Page 6: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 6/17

Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin

Prostaglandin D2

Spasme otot polos Leukotrien C4, D4, E4

Histamin

Prostaglandin

Faktor pengaktivasi trombosit

Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat dalam hipersensitivitas tipe I,

 biasanya pengendaliannya memerlukan obat antiinflamasi berspektrum luas, seperti kortikoid.

Manifestasi Klinis :

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian

antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental)

menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang

tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,

diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat

dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan

obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang,

dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi

vasodilatasi sistemik ( syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan

kematian dalam beberapa menit.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur 

 pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,

menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

Tipe II : reaksi sitotoksik 

Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen

target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas disebabkanoleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:

1. Respon yang bergantung komplemen

Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme: lisis langsung 

dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada

antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya

Page 7: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 7/17

diikuti lisis melalui kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan

fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam

sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang

terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan  fagositosis gagal dan jejas.

Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:

Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai dirusak setelah diikat

oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor.

Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen materal yang

melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta

dan menyebabkan kerusakan sel darah merahnya sendiri.

Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh

antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel

darah merahnya sendiri.

Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya)byang

secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang dapatterjadi setelah pemberian penisilin).

Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom yang

menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.

2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi

Page 8: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 8/17

Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini

meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang

membawa reseptor untuk bagian Fc IgG;

sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis

tanpa difagositosis ataupun fiksasi komplemen.

ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam

leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil,

makrofag, dan sel NK. Meskipn secara khusus

ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm

kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit

yang diperantarai oleh eosinofil) yang

digunakaan adalah IgE.

3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan

untuk melawan reseptor permukaan sel

merusak atau mengacaukan fungsi tanpa

menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh

karena itu, pada miastenia gravis, antibodi

terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end-

  plate otot-otot rangka mengganggu transmisi

neuromuskular disertai kelemahan otot.

Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi

otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadapreseptor hormon perangsang tiroid (TSH)

merangsang epitel tiroid dan menyebabkan

hipertiroidisme.

Tipe III : reaksi imun kompleks

  Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi

(imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear. Kompleks

imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti

DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam

 jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks

imun in situ). 

Page 9: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 9/17

Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk dalam

sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya,

ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat khusus.

Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama; namun,

urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda.

Penyakit Komplek Imun Sistemik 

Patogenesis penyakit kompleks imun

sistemik dapat dibagi menjadi tiga tahapan: (1)

 pembentukan kompleks antigen-antibodi dalam

sirkulasi dan (2) pengendapan kompleks imun

di berbagai jaringan, sehingga mengawali (3)

reaksi radang di berbagai tempat di seluruh

tubuh.

Patofisiologi:

Kira-kira 5 menit setelah protein asing

(misalnya, serum antitetanus kuda)

diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan;

antibodi ini bereaksi dengan antigen yang masih

ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks

antigen-antibodi (tahap pertama). Pada tahap

kedua, kompleks antigen-antibodi yang

terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam

  berbagai jaringan. Dua faktor penting yangmenentukan apakah pembentukan kompleks

imun menyebabkan penyakit dan pengendapan

 jaringan:

• Ukuran kompleks imun. Kompleks yang

sangat besar yang terbentuk pada

keadaan jumlah antibodi yang

  berlebihan segera disingkirkan dari

sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear 

sehingga relatif tidak membahayakan.

Kompleks paling patogen yang

terbentuk selama antigen berlebih dan

  berukuran kecil atau sedang,

disingkirkan secara lebih lambat oleh sel

fagosit sehingga lebih lama berada

dalam sirkulasi.

Page 10: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 10/17

• Status sistem fagosit mononuklear . Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun,

makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan bertahannya kompleks imun

dalam sisrkulasi dan meningkatkan kemungkinan pengendapan jaringan.

Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks (anionic vs

kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai jaringan, arsitektur 

tiga dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat pengendapan

kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa, dan pembulah

darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi glomerulus,

yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus. Belum ada penjelasan yang

sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun pada tempat predileksi lainnya. 

Page 11: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 11/17

Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar dinding

 pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi

 pada saat kompleks imun berkaitan dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu

 pelepasan mediator vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks

tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang. Selama tahap ini

(kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul gambaran klinis, seperti demam, utikaria,

artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan proteinuria.

Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa. Aktivitas

komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas, melepaskan fragmen yang aktif 

secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh

darah dan bersifat kemotaksis untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh

neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi

Page 12: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 12/17

tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis, serta enzim

lisosom yang mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakan

 jaringan juga diperantarai oleh radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi.

Kompleks imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman;

kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali pembentukan mikrotrombus

yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkan disebut

dengan vasokulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus

ginjal, arthritis jika terjadi di sendi, dan seterusnya.

Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat menginduksi

lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif,

kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan. Peran penting komplemen

dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar 

komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan keparahan lesi, demikian pula

yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit, konsumsi komplemen menurunkan kadar serum.

Penyakit kompeks imun lokal (reaksi arthus )Reaksi Arthus dijelaskan sebagai area lokalisata nekrosis jaringan yang disebabkan oleh vaskulitis

kompleks imun akut. Reaksi ini dihasilkan secara eksperimental dengan menginjeksikan suatu

antigen ke dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya telah diimunisasi (yaitu antibodi  preformed 

terhadap antigen yang telah ada di dalam sirkulasi). Karena pada mulanya terdapat kelebihan

antibody, kompleks imun terbentuk sebagai antigen yang berdifusi ke dalam dinding pembuluh

darah; kompleks ini dipresipitasi pada tempat injeksi dan memicu reaksi radang yang sama serta

Page 13: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 13/17

gambaran histologist seperti yang telah dibahas untuk penyakit kompleks imun sistemik. Lesi

Arthus berkembang selama beberapa jamdan mencapai puncaknya 4 hingga 10 jam setelah injeksi,

ketika terlihat adanya edema pada tempat injeksi disertai perdarahan berat yang kadang-kadang

diikuti ulserasi.

Tipe IV : Reaksi tipe lambat

Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas

humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas

seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam mikroba,

termasuk patogen intrasel seperti  Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel

seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan

  jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai respons terhadap

antigen sendiri (pada penyakit autoimun).   Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T 

tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar: (1)hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2)  sitotoksisitas sel langsung,

diperantarai olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi

sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel

efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.

Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)

Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah injeksi

tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai puncaknya

(biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan kata

sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan.secara histologis ,

reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti manset”) dan

makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini

disertai dengan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis

dan pengendapan fibrin; penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi

fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang pernah

terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi,

imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons

tuberkulin yang negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.

Patofisiologi :

Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II pada

 permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut. Proses

ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama

 bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk 

menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naïf tersebut

Page 14: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 14/17

tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada orang tersebut, sel

memori memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan akan diaktivasi

(mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1.

Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons

DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai

 berikut:

•  IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal

dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokin

utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber 

sitokin lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ

oleh sel T dan sel NK yang poten.

•  IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling

 penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan

 produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul kelas

II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofagini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula

dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi beberapa

faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit

(PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis

kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan kemampuan makrofag untuk 

membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi

fibrosis.

•  IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang

termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik,

meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen

 penyerang asal.

• TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel endotel:

(1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan aliran

darah melalui vasodilatasi local; (2) meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu

molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan

sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan

keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.

Inflamasi Granulomatosa

Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen bersifat persisten

dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara progresif 

digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang terakumulasi ini secara

khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivitas, yaitu semakin membesar , memipih, dan

eosinofilik (disebut sebagai   sel epiteloid ). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah

  pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatu   sel raksasa (  giant cells)

 berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus dikelilingi oleh lingkaran

Page 15: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 15/17

limfosit, yang disebut  granuloma, dan polanya disebut sebagai inflamasi granulomatosa. Pada

dasarnya, proses tersebur sama dengan proses yang digambarkan untuk respons DHT lainnya.

Granuloma yang lebih dahulu terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat.

Pengenalan terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena hanya ada

sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya.

DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai patogen

intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan dapat pula terlibat dalam

 penolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe lambat

tampak jelas pada penderita AIDS. Karena kehilangan sel CD4+, respons penjamu terhadap

  patogen ekstrasel, seperti  Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu. Bakteri akan

dimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti pembentukan granuloma,

terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk mengatasi mikroba yang

menginvasi.

Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan suatu

  penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas jaringan yang diakibatkan oleh

hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol (juga

dikenal sebagai urushiol, komponen aktif    poison ivy atao   poisin oak ) pada penjamu yang

tersensitisasi dan muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya sama dengan

mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ TH1

tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag berada di dalam

epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, menyebabkan

terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel intradermal.

Page 16: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 16/17

Page 17: 22281380-Hipersensitivitas-Makalah

5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 17/17

 Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T

Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi membunuh sel

target yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, molekul MHC tipe I

 berikatan dengan peptida virus intrasel dan menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel efektor 

CD8+, yang disebut limfosit T sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting

dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi virus

yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini bahwa banyak peptida

yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan sel tumor sehingga CTL dapat pula

terlibat dalam imunitas tumor.

Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1) pembunuhan

yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang bergantung pada ligan Fas-Fas.

Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang terkandung dalam granula CTL, yang

menyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya, perforin melubangi membran plasma pada sel target;

hal tersebut dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya menyebabkan lisi osmotik.

Granula limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut dengan  granzim, yang

dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel, granzim

mengaktifkan apoptosis sel target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul

yang homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini menyebabkan

apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann untuk melawan antigen

histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting dalam penolakan graft.