22281380-hipersensitivitas-makalah
TRANSCRIPT
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 1/17
TUGAS PATOLOGI ANATOMI
HYPERSENSITIVITY DIEASES
DISUSUN OLEH :
Billy Anderson Sinaga 080600070
Diah P. Sari 080600080
Dwi ardiani sari 080600076
Merry 0806000
Astrid 9080600
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara
Medan
2009
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 2/17
HIPERSENSITIVITAS
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan
oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan
sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan
antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain
untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah
keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi
hipersensitivitas atau alergi.
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
1. Reaksi Tipe I
2. Reaksi Tipe II
3. Reaksi Tipe III
4. Reaksi Tipe IV
MEKANISME BERBAGAI GANGGUAN YANG DIPERANTARAI SECARA IMUNOLOGIS
Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe
I Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibodi IgE
pelepasan amino vasoaktif dan mediator
lain dari basofil dan sel mast rekrutmen
sel radang lain
Anafilaksis, beberapa
bentuk asma bronkial
II Antibodi
terhadap Antigen
Jaringan Tertentu
IgG atau IgM berikatan dengan antigen
pada permukaan sel fagositosis sel
target atau lisis sel target oleh komplemenatau sitotosisitas yang diperantarai oleh sel
yang bergantung antibody
Anemia hemolitik
autoimun,
eritroblastosis fetalis, penyakit Goodpasture,
pemfigus vulgaris
III Penyakit
Kompleks Imun
Kompleks antigen-antibodi
mengaktifkan komplemen menarik
perhatian nenutrofil pelepasan enzim
lisosom, radikal bebas oksigen, dan lain-
Reahsi Arthua, serum
sickness, lupus
eritematosus sistemik,
bentuk tertentu
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 3/17
lain glomerulonefritis akut
IV Hipersensitivitas
Selular (Lambat)
Limfosit T tersensitisasi pelepasan
sitokin dan sitotoksisitas yang diperantarai
oleh sel T
Tuberkulosis,
dermatitis kontak,
penolakan transplan
Tipe I : Reaksi Anafilaksis
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang
terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini
menimbulkan reaksi tipe cepat.
Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe TH2.
Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang
disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil.
Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil;
begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk
menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama
mengakibatkanpertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade sinyal intrasel
sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons awal sedangkan
mediator sekunder untuk fase lambat.
Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi,kebocoran vaskular, dan spasme otot polos,
yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu alergan danmenghilang setelah 60 menit;
Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari.
Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan kronis
lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam
bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 4/17
Mediator Primer
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 5/17
Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas
vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang
segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi
trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam
matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease
menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis
dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).
Mediator Sekunder
• Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang
dikenal paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif
daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik
untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
•Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme
hebat serta meningkatkan sekresi mukus.
• Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,
mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme.
Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil.
• Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan
kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF
merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi
leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan
untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I
Kerja Mediator
Infiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF)
Leukotrien B4
Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis
Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis
Faktor pengaktivasi trombosit
Vasoaktif (vasodilatasi,
meningkatkan
permeabilitas vaskular)
Histamin
Faktor pengaktivasi trombosit
Leukotrien C4, D4, E4
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 6/17
Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin
Prostaglandin D2
Spasme otot polos Leukotrien C4, D4, E4
Histamin
Prostaglandin
Faktor pengaktivasi trombosit
Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat dalam hipersensitivitas tipe I,
biasanya pengendaliannya memerlukan obat antiinflamasi berspektrum luas, seperti kortikoid.
Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang
tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,
diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat
dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang,
dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi
vasodilatasi sistemik ( syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan
kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,
menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen
target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas disebabkanoleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:
1. Respon yang bergantung komplemen
Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme: lisis langsung
dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada
antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 7/17
diikuti lisis melalui kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan
fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam
sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang
terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas.
Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:
Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai dirusak setelah diikat
oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor.
Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen materal yang
melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta
dan menyebabkan kerusakan sel darah merahnya sendiri.
Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh
antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel
darah merahnya sendiri.
Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya)byang
secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang dapatterjadi setelah pemberian penisilin).
Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom yang
menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.
2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 8/17
Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini
meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang
membawa reseptor untuk bagian Fc IgG;
sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis
tanpa difagositosis ataupun fiksasi komplemen.
ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam
leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil,
makrofag, dan sel NK. Meskipn secara khusus
ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm
kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit
yang diperantarai oleh eosinofil) yang
digunakaan adalah IgE.
3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan
untuk melawan reseptor permukaan sel
merusak atau mengacaukan fungsi tanpa
menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh
karena itu, pada miastenia gravis, antibodi
terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end-
plate otot-otot rangka mengganggu transmisi
neuromuskular disertai kelemahan otot.
Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi
otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadapreseptor hormon perangsang tiroid (TSH)
merangsang epitel tiroid dan menyebabkan
hipertiroidisme.
Tipe III : reaksi imun kompleks
Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi
(imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear. Kompleks
imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti
DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam
jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks
imun in situ).
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 9/17
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk dalam
sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya,
ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat khusus.
Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama; namun,
urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda.
Penyakit Komplek Imun Sistemik
Patogenesis penyakit kompleks imun
sistemik dapat dibagi menjadi tiga tahapan: (1)
pembentukan kompleks antigen-antibodi dalam
sirkulasi dan (2) pengendapan kompleks imun
di berbagai jaringan, sehingga mengawali (3)
reaksi radang di berbagai tempat di seluruh
tubuh.
Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah protein asing
(misalnya, serum antitetanus kuda)
diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan;
antibodi ini bereaksi dengan antigen yang masih
ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks
antigen-antibodi (tahap pertama). Pada tahap
kedua, kompleks antigen-antibodi yang
terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam
berbagai jaringan. Dua faktor penting yangmenentukan apakah pembentukan kompleks
imun menyebabkan penyakit dan pengendapan
jaringan:
• Ukuran kompleks imun. Kompleks yang
sangat besar yang terbentuk pada
keadaan jumlah antibodi yang
berlebihan segera disingkirkan dari
sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear
sehingga relatif tidak membahayakan.
Kompleks paling patogen yang
terbentuk selama antigen berlebih dan
berukuran kecil atau sedang,
disingkirkan secara lebih lambat oleh sel
fagosit sehingga lebih lama berada
dalam sirkulasi.
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 10/17
• Status sistem fagosit mononuklear . Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun,
makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan bertahannya kompleks imun
dalam sisrkulasi dan meningkatkan kemungkinan pengendapan jaringan.
Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks (anionic vs
kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai jaringan, arsitektur
tiga dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat pengendapan
kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa, dan pembulah
darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi glomerulus,
yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus. Belum ada penjelasan yang
sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun pada tempat predileksi lainnya.
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 11/17
Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar dinding
pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi
pada saat kompleks imun berkaitan dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu
pelepasan mediator vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks
tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang. Selama tahap ini
(kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul gambaran klinis, seperti demam, utikaria,
artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan proteinuria.
Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa. Aktivitas
komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas, melepaskan fragmen yang aktif
secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah dan bersifat kemotaksis untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh
neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 12/17
tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis, serta enzim
lisosom yang mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakan
jaringan juga diperantarai oleh radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi.
Kompleks imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman;
kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali pembentukan mikrotrombus
yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkan disebut
dengan vasokulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus
ginjal, arthritis jika terjadi di sendi, dan seterusnya.
Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat menginduksi
lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif,
kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan. Peran penting komplemen
dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar
komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan keparahan lesi, demikian pula
yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit, konsumsi komplemen menurunkan kadar serum.
Penyakit kompeks imun lokal (reaksi arthus )Reaksi Arthus dijelaskan sebagai area lokalisata nekrosis jaringan yang disebabkan oleh vaskulitis
kompleks imun akut. Reaksi ini dihasilkan secara eksperimental dengan menginjeksikan suatu
antigen ke dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya telah diimunisasi (yaitu antibodi preformed
terhadap antigen yang telah ada di dalam sirkulasi). Karena pada mulanya terdapat kelebihan
antibody, kompleks imun terbentuk sebagai antigen yang berdifusi ke dalam dinding pembuluh
darah; kompleks ini dipresipitasi pada tempat injeksi dan memicu reaksi radang yang sama serta
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 13/17
gambaran histologist seperti yang telah dibahas untuk penyakit kompleks imun sistemik. Lesi
Arthus berkembang selama beberapa jamdan mencapai puncaknya 4 hingga 10 jam setelah injeksi,
ketika terlihat adanya edema pada tempat injeksi disertai perdarahan berat yang kadang-kadang
diikuti ulserasi.
Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas
humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas
seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam mikroba,
termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel
seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan
jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai respons terhadap
antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T
tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar: (1)hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel langsung,
diperantarai olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi
sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel
efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.
Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah injeksi
tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai puncaknya
(biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan kata
sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan.secara histologis ,
reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti manset”) dan
makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini
disertai dengan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis
dan pengendapan fibrin; penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi
fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang pernah
terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi,
imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons
tuberkulin yang negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.
Patofisiologi :
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II pada
permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut. Proses
ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama
bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk
menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naïf tersebut
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 14/17
tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada orang tersebut, sel
memori memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan akan diaktivasi
(mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1.
Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons
DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai
berikut:
• IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal
dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokin
utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber
sitokin lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ
oleh sel T dan sel NK yang poten.
• IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling
penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan
produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul kelas
II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofagini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula
dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi beberapa
faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit
(PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis
kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan kemampuan makrofag untuk
membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi
fibrosis.
• IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang
termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik,
meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen
penyerang asal.
• TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel endotel:
(1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan aliran
darah melalui vasodilatasi local; (2) meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu
molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan
sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan
keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.
Inflamasi Granulomatosa
Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen bersifat persisten
dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara progresif
digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang terakumulasi ini secara
khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivitas, yaitu semakin membesar , memipih, dan
eosinofilik (disebut sebagai sel epiteloid ). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah
pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatu sel raksasa ( giant cells)
berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus dikelilingi oleh lingkaran
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 15/17
limfosit, yang disebut granuloma, dan polanya disebut sebagai inflamasi granulomatosa. Pada
dasarnya, proses tersebur sama dengan proses yang digambarkan untuk respons DHT lainnya.
Granuloma yang lebih dahulu terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat.
Pengenalan terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena hanya ada
sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya.
DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai patogen
intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan dapat pula terlibat dalam
penolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe lambat
tampak jelas pada penderita AIDS. Karena kehilangan sel CD4+, respons penjamu terhadap
patogen ekstrasel, seperti Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu. Bakteri akan
dimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti pembentukan granuloma,
terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk mengatasi mikroba yang
menginvasi.
Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan suatu
penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas jaringan yang diakibatkan oleh
hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol (juga
dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy atao poisin oak ) pada penjamu yang
tersensitisasi dan muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya sama dengan
mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ TH1
tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag berada di dalam
epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, menyebabkan
terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel intradermal.
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 16/17
5/14/2018 22281380-Hipersensitivitas-Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/22281380-hipersensitivitas-makalah 17/17
Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T
Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi membunuh sel
target yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, molekul MHC tipe I
berikatan dengan peptida virus intrasel dan menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel efektor
CD8+, yang disebut limfosit T sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting
dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi virus
yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini bahwa banyak peptida
yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan sel tumor sehingga CTL dapat pula
terlibat dalam imunitas tumor.
Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1) pembunuhan
yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang bergantung pada ligan Fas-Fas.
Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang terkandung dalam granula CTL, yang
menyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya, perforin melubangi membran plasma pada sel target;
hal tersebut dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya menyebabkan lisi osmotik.
Granula limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut dengan granzim, yang
dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel, granzim
mengaktifkan apoptosis sel target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul
yang homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini menyebabkan
apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann untuk melawan antigen
histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting dalam penolakan graft.