2. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi...

11
3 4. Berapa besar kerugian ekonomi dan dampak emisi karbon penggunaan bahan bakar minyak kendaraan angkutan kota akibat kemacetan di Kota Bogor? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui pertumbuhan jumlah kendaraan di Kota Bogor dalam kurun waktu 5 tahun (2008-2013). 2. Menganalisis jumlah optimal kendaraan agar tidak terjadi the tragedy of the common pada tahun 2013 sampai 2017 jika kapasitas jalan tidak berubah. 3. Menganalisis kapasitas jalan yang harus disediakan oleh pemerintah untuk menghindari the tragedy of the common apabila pertumbuhan jumlah kendaraan di Kota Bogor tidak dibatasi. 4. Menganalisis kerugian ekonomi dan dampak emisi karbon penggunaan bahan bakar minyak kendaraan angkutan kota akibat kemacetan di Kota Bogor. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Agar lebih fokus dalam menelaah permasalahan, maka penelitian ini dibatasi pada beberapa hal. Adapun ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan adalah: 1. Penelitian ini hanya dilakukan di wilayah yang secara administratif berada di lingkungan Kota Bogor. 2. Penelitian dilakukan pada saat peak hours. 1.5. Manfaat Penelitian Tesis ini diharapkan berguna bagi pemerintah daerah Kota Bogor sebagai rekomendasi dalam rangka membuat kebijakan sistem transportasi dan tata ruang kota untuk menangani masalah kemacetan lalu lintas di masa yang akan datang. Tesis ini juga dapat bermanfaat bagi seluruh stakeholder yang berkepentingan dalam penggunaan transportasi khususnya transportasi darat. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jalan Undang undang No. 38 Tahun 2004 mendefinisikan jalan sebagai pra- sarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa sistem jaringan jalan terbagi menjadi 2 (dua), yaitu sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. Sistem jaringan jalan primer terdiri dari: 1. Jalan arteri primer yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.

Upload: hoangdung

Post on 23-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

3

4. Berapa besar kerugian ekonomi dan dampak emisi karbon penggunaan bahan

bakar minyak kendaraan angkutan kota akibat kemacetan di Kota Bogor?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui pertumbuhan jumlah kendaraan di Kota Bogor dalam kurun

waktu 5 tahun (2008-2013).

2. Menganalisis jumlah optimal kendaraan agar tidak terjadi the tragedy of the

common pada tahun 2013 sampai 2017 jika kapasitas jalan tidak berubah. 3. Menganalisis kapasitas jalan yang harus disediakan oleh pemerintah untuk

menghindari the tragedy of the common apabila pertumbuhan jumlah

kendaraan di Kota Bogor tidak dibatasi.

4. Menganalisis kerugian ekonomi dan dampak emisi karbon penggunaan bahan

bakar minyak kendaraan angkutan kota akibat kemacetan di Kota Bogor.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Agar lebih fokus dalam menelaah permasalahan, maka penelitian ini dibatasi

pada beberapa hal. Adapun ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan adalah:

1. Penelitian ini hanya dilakukan di wilayah yang secara administratif berada di

lingkungan Kota Bogor.

2. Penelitian dilakukan pada saat peak hours.

1.5. Manfaat Penelitian

Tesis ini diharapkan berguna bagi pemerintah daerah Kota Bogor sebagai

rekomendasi dalam rangka membuat kebijakan sistem transportasi dan tata ruang

kota untuk menangani masalah kemacetan lalu lintas di masa yang akan datang.

Tesis ini juga dapat bermanfaat bagi seluruh stakeholder yang berkepentingan

dalam penggunaan transportasi khususnya transportasi darat.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jalan

Undang – undang No. 38 Tahun 2004 mendefinisikan jalan sebagai pra-

sarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan

pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang

berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan

tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan

lori, dan jalan kabel. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa sistem

jaringan jalan terbagi menjadi 2 (dua), yaitu sistem jaringan jalan primer dan

sistem jaringan jalan sekunder. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem

jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk

pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan

semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. Sistem

jaringan jalan primer terdiri dari:

1. Jalan arteri primer yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu

yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu

dengan kota jenjang kedua.

4

2. Jalan kolektor primer yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang

kedua dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua

dengan kota jenjang ketiga.

3. Jalan lokal primer yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu

dengan persil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan

persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang

ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang di bawahnya, kota

jenjang ketiga dengan persil atau sebaliknya.

Selanjutnya dinyatakan bahwa sistem jaringan jalan sekunder merupakan

sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa

untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan, yang terdiri dari:

1. Jalan arteri sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan primer

dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder

kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan

sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.

2. Jalan kolektor sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan

sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan

kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.

3. Jalan lokal sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan sekunder

kesatu dengan perumahan, menghubungkan kawasan sekunder

kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya

sampai ke perumahan.

2.2. Klasifikasi Jalan

Klasifikasi jalan menurut Undang-undang No. 38 Tahun 2004 berdasarkan

fungsinya yaitu: jalan umum dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor,

jalan lokal, dan jalan lingkungan. Jalan arteri merupakan jalan umum yang

berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan

rata- rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. Jalan

kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul

atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang,

dan jumlah jalan masuk dibatasi. Jalan lokal merupakan jalan umum yang

berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat,

kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi, sedangkan

jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan rata-rata rendah.

Kemudian klasifikasi jalan umum menurut undang-undang tersebut dibagi

berdasarkan wewenang pembinaan dan kondisi fisik. Klasifikasi jalan menurut

wewenang pembinaannya meliputi jalan negara atau nasional, jalan provinsi,

jalan kabupaten dan jalan kota. Pembagian jalan tersebut berdasarkan subjek

pengelola dan pemerintah yang menanggung beban anggaran pemeliharaannya.

Klasifikasi jalan menurut kondisi fisik terdiri dari:

1. Jalan Kelas I. Kelas jalan ini mencakup semua jalan utama yang

bertujuan melayani lalu-lintas cepat dan berat, tidak terdapat jenis

kendaraan lambat dan tidak bermotor. Jalan raya dalam kelas ini

mempunyai jalur yang banyak dengan perkerasan terbaik.

2. Jalan Kelas II. Kelas jalan ini mencakup semua jalan dengan fungsi

sekunder, komposisi lalu lintas terdapat lalu-lintas lambat tapi tanpa

5

kendaraan tak bermotor. Jumlah jalur minimal adalah dua jalur dengan

konstruksi terbaik. Untuk lalu lintas lambat disediakan jalur tersendiri.

3. Jalan Kelas III. Kelas jalan ini mencakup semua jalan dengan fungsi

sekunder, komposisi lalu-lintas terdapat kendaraan lambat yang bercampur

dengan lalulintas lainnya. Jumlah jalur minimal dua jalur dengan

konstruksi jalan lebih rendah, konstruksi permukaan jalan dari penetrasi

berganda atau setaraf.

4. Jalan Kelas IV. Merupakan jalan yang melayani seluruh jenis kendaraan

dengan fungsi jalan sekunder. Komposisi lalu-lintasnya terdapat

kendaraan lambat dan kendaraan tidak bermotor.

5. Jalan Kelas V. Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan penghubung

dengan konstruksi jalan berjalur tunggal atau dua, konstruksi permukaan

jalan paling tinggi adalah peleburan dengan aspal.

2.3. Eksternalitas

Jalan merupakan sumberdaya buatan manusia (man-made) yang bisa

digunakan oleh banyak orang dan dapat digolongkan sebagai barang publik.

Sebagai barang publik, jalan merupakan sumberdaya milik bersama yang mana

setiap orang bisa memanfaatkannya dan tidak dapat dikeluarkan dari komunitas

pengguna (non-excludable). Jalan publik dapat diklasifikasikan ke dalam common

pool resources (CPRs). Sumberdaya yang digolongkan menjadi CPRs memiliki

beberapa karakteristik, yakni rivalness atau substractable dan non excludable.

Sebagai barang publik, pemanfaatan jalan oleh seseorang akan mengurangi

kemampuan orang lain untuk memanfaatkannya (rivalness) (Fauzi 2004).

Konsumsi barang publik, seperti jalan seringkali menimbulkan apa yang

disebut eksternalitas atau dampak eksternal. Eksternalitas didefinisikan sebagai

dampak positif ataupun negatif (net cost atau benefit) dari tindakan satu pihak

terhadap pihak lain (Fauzi 2004). Eksternalitas terjadi karena pemanfaatan jalan

oleh satu pengguna dapat mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara

tidak diinginkan. Pihak pembuat eksternalitas juga tidak menyediakan kompensasi

terhadap pihak yang terkena dampak. Terminologi eksternalitas lain dijelaskan oleh

Hartwick dan Olewiler (1998) yang menggolongkan eksternalitas menjadi dua,

yakni eksternalitas privat dan eksternalitas publik. Eksternalitas privat melibatkan

hanya beberapa individu dan bisa bersifat bilateral serta tidak menimbulkan pill

(limpahan) kepada pihak lain. Sementara itu, eksternalitas publik terjadi jika barang

publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat. Adapun jalan, adalah barang

publik yang dengannya berlaku eksternalitas publik. Pemanfaatan oleh semua pihak

tidak akan mengurangi jumlah jalan yang digunakan, namun kemacetan yang

ditimbulkan merupakan gambaran penurunan kualitas dari barang publik tersebut

(Fauzi 2004).

2.4. Teori Kepemilikan Barang

Hak kepemilikan barang (property right) merupakan hak asasi manusia.

Hak ini merupakan hak yang paling mendasar yang dibutuhkan oleh manusia untuk

menunjukkan eksistensinya. Hak kepemilikan diatur dalam Undang-Undang Dasar

tahun 1945 dalam pasal 28H ayat 4, bahwa setiap orang berhak mempunyai hak

milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-

wenang oleh siapa pun. Menurut Hartwick dan Olewiler (1998), hak kepemilikan

6

(property right) didefinisikan sebagai klaim yang sah (secure claim) terhadap

sumber daya ataupun jasa yang dihasilkan dari sumber daya tersebut. Hak

kepemilikan juga dapat diartikan sebagai suatu gugus karakteristik yang

memberikan kekuasaan kepada pemilik hak (Hartwick & Olewiler 1998).

Karakteristik hak kepemilikan barang menyangkut ketersediaan manfaat, kemam-

puan untuk membagi atau mentransfer hak, derajat ekslusivitas dari hak, dan durasi

penegakkan hak (Perman et al. 1996).

Hak kepemilikan tidak bersifat mutlak karena dibatasi oleh dua hal, yaitu

hak pihak lain dan ketidaklengkapan (incompleteness). Misalnya, tidak semua

orang bisa menggali tambang emas yang ada di pekarangan kita. Namun, pihak lain

bisa melakukannya. Menurut Fauzi (2004), ketidaklengkapan hak kepemilikan

tersebut disebabkan oleh mahalnya biaya penegakkan hak (enforcement).

Contohnya hutan yang ditebang oleh penebangan ilegal, hak negara atas hutan

dibatasi oleh mahalnya biaya pengawasan hutan dan penegakkan hukum atas

tindakan ilegal tersebut.

Bromley (1989) membagi hak kepemilikan sumber daya alam menjadi tiga.

Pertama, state property yang menunjukkan bahwa klaim kepemilikan berada di

tangan pemerintah. Kedua, private property, yakni manakala klaim kepemilikan

berada pada individu atau kelompok usaha. Ketiga, klaim sumber daya yang

dikelola bersama baik atas nama pribadi maupun kelompok. Jenis terakhir ini

dikenal sebagai common property atau communal property. Menurut Fauzi (2004),

suatu sumber daya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa

dikatakan memiliki hak kepemilikan. Sumber daya alam semacam ini bisa

dikatakan sebagai open access.

Secara umum, Fauzi (2004) mengusulkan empat kemungkinan kombinasi

antara hak kepemilikan dan akses. Kombinasi yang didasarkan pada dua tipe akses

(open dan limited access) tersebut adalah: tipe kepemilikan di mana hak milik

berada pada komunal atau negara dengan akses yang terbatas; tipe kepemilikan di

mana sumber daya dimiliki secara individu (privat) dengan akses yang terbatas.

Tipe ini memungkinkan karakteristik hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas

dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari; tipe kombinasi antara hak

kepemilikan komunal dan akses yang terbuka; dan tipe kombinasi di mana sumber

daya dimiliki individu namun akses dibiarkan terbuka.

Jalan raya Kota Bogor sebagai barang publik menjadi milik pemerintah

seutuhnya (state property). Dampak eksternal negatif yang timbul, yakni kemacetan

yang sering terjadi di Kota Bogor, disebabkan adanya kesenjangan dalam peng-

alokasinya. Salah satunya disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah

kepemilikan dan penggunaan kendaraan sehingga terjadi konsumsi berlebih (over

consumption) di jalan raya. Di sisi lain, pemerintah belum mampu mengakomodir

kondisi kebutuhan tersebut (supply). Sehingga, hak kepemilikan kendaraan menjadi

masalah baru. Oleh karena itu, perlu pemahaman konsep hak kepemilikan terkait

dengan pengelolaan barang publik. Istilah lain untuk memahami hal ini adalah telah

terjadi penggunaan yang berlebihan pada sumberdaya (jalan). Ketidakseimbangan

antara supply dan demand ini menimbulkan congestion di waktu-waktu tertentu.

Hal ini dibuktikan dengan terjadinya kemacetan pada jam-jam sibuk.

Kecenderungan overuse merupakan masalah khas pada sumber daya CPRs.

Oleh sebab itu, diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan yang dapat

mencegah atau menghindarinya. Rustiadi et al. (2009) mengemukakan dua isu

7

penting yang sering mengikuti diskusi perihal CPRs, yakni konsep yang berkaitan

dengan sistem pengelolaan dan hak kepemilikan yang menyertainya. Fenomena

sumber daya alam seperti ini sering disebut dengan the tragedy of the common

(Hardin 1968). Fenomena ini terjadi apabila seseorang membatasi penggunaan

sumber daya yang terbatas namun tetangganya (masyarakat lainnya) tidak

melakukannya. Akibatnya, sumber daya akan mengalami penurunan nilai dan orang

yang membatasi penggunaan sumber daya tadi akan tetap kehilangan dalam jangka

pendek. Bahkan, dampak negatif lain adalah semakin besarnya biaya sosial yang

harus ditanggung baik oleh pemerintah sebagai pemilik hak maupun masyarakat

yang menggunakan jalan.

2.5. The Tragedy of The Common

Istilah tragedi kepemilikan bersama pertama kali dipublikasikan oleh Garrett

Hardin (1968) dalam sebuah artikel ilmiah berjudul The Tragedy of the Common.

Tragedi kepemilikan bersama adalah suatu ketidakbahagiaan akibat ketamakan

dalam berupaya untuk merebut sesuatu. Tragedi kepemilikan bersama timbul saat

setiap manusia berusaha mengambil sumberdaya alam yang menjadi milik bersama

untuk kepentingan pribadinya sehingga merugikan mahkluk hidup lain. Tragedi

kepemilikan bersama umumnya terjadi pada sumberdaya yang merupakan milik

umum atau common pool resources (CPRs).

Pandangan yang menyebabkan terjadinya tragedi kepemilikan bersama yaitu

keinginan untuk meraih untung yang banyak demi kepentingan pribadi daripada

membagi-bagikannya kepada manusia atau makhluk hidup lain, sehingga kemudian

masing-masing mendapat jatah sedikit. Pendangan seperti ini awalnya akan terasa

menguntungkan bagi pihak yang memakai banyak sumberdaya alam, tetapi dikala

jumlah pengguna meningkat, maka permasalahannya akan segera muncul. Pada

akhirnya ketersediaan sumberdaya alam akan habis atau rusak.

Kebebasan yang tidak bertanggungjawab hanya mendatangkan penderitaan

dan kesengsaraan. Satu-satunya cara kita dapat menjaga dan memelihara kebebasan

lain yang lebih berharga adalah dengan segera melepaskan kebebasan untuk

berkembang biak (Hardin 1968). Terkadang untuk menghindari tragedi pada barang

kepemilikan umum harus ditempuh dengan cara pemaksaan seperti pembuatan

peraturan tentang larangan-larangan, pajak, serta aturan-aturan non formal yang

disepakati bersama oleh unsur masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.

Secara lebih spesifik, Gardner dan Sterm (1966) telah mengindentifikasi

penggunaan peraturan pemerintah, aturan dan insentif sebagai salah satu dari solusi

dasar dalam menanggulangi perilaku undividual terhadap sumberdaya kepemilikan

bersama. Menurut Hardin (1968) kelemahan terbesar dari the tragedy of the

common adalah keinginan manusia untuk menguntungkan diri sendiri secara

individual yang dikombinasikan dengan sumberdaya yang bebas tetapi tersedia

terbatas dan akses yang bebas, berpotensi menghalangi konservasi sumberdaya

yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Ada dua solusi untuk mengatasi

hal ini diantaranya membatasi akses dan membuat sumberdaya menjadi mahal.

Kedua solusi tersebut memiliki pendekatan yang sama yaitu merubah insentif yang

diterima individu. Insentif dijelaskan sebagai kondisi positif dan negatif yang

meliputi perilaku.

8

2.6. Kebijakan terhadap Eksternalitas Negatif

Masalah yang muncul akibat ketidakseimbangan antara supply dan demand

barang CPRs dapat diatasi dengan berbagai pendekatan. Pertama, pendekatan

Leviatan, yakni dengan mengendalikan akses serta membatasi penggunaan SDA

secara ketat dengan menggunakan kekuatan pihak ketiga (pemerintah dengan

kelengkapan penegakan hukumnya, seperti polisi dan tentara). Kedua, pendekatan

privatisasi yang berusaha memberikan hak pengelolaan SDA kepada pihak swasta

(individu, firma) dengan asumsi bawa swasta dapat mengelola SDA secara efisien

sebagaimana mengelola perusahaan. Ketiga, pendekatan self organization atau self

governance yang dicirikan dengan penyerahan pengelolaan sumberdaya alam

kepada masyarakat atau kelompok (Hidayat 2010).

Menurut Fauzi (2004) menyatakan bahwa ada serangkaian tindakan yang

dapat mencegah atau mengurangi terjadinya eksternalitas negatif. Secara

sederhana, dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni pemberian hak milik

(assigning property rights), internalisasi, dan pemberlakuan pajak (Pigouvian tax).

Pemberian hak pemilikan tidak sepenuhnya menghapus eksternalitas, namun hanya

meningkatkan manfaat dari pertukaran (gains from trade) atas eksternalitas.

Pemberian hak kepemilikan menjadi langkah yang efektif manakala mengetahui

persis siapa yang berperan melakukan eksternalitas. Dengan demikian, kerusakan

bisa dihitung dan tawar menawar bisa dilakukan. Tujuan akhir dari kebijakan ini

adalah terjadinya pengurangan nilai eksternalitas.

2.7. Kebijakan Tata Ruang

Ketersediaan ruang merupakan hal yang terbatas di alam, namun kebutuhan

akan ruang merupakan hal yang tidak terbatas selama kehidupan manusia terus

berjalan. Menurut UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang

didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang

udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup

dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang

merupakan sumber daya alam yang diatur penggunaannya dalam Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945 yang berbunyi bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Sehingga berdasarkan bunyi pasal tersebut, ruang harus

dilindungi dan dikelola dalam sistem yang terpadu, terkoordinasi dan berkelanjutan.

Semakin berkembangnya aktivitas manusia mengakibatkan kebutuhan

terhadap ruang semakin tinggi. Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut,

penataan ruang yang mencakup tahapan perencanaan kebijakan tata ruang dapat

mewujudkan keinginan akan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Berdasarkan pengertian dalam UU 24/1992 Tentang Penataan Ruang, perencanaan

tata ruang merupakan proses untuk menghasilkan rencana tata ruang yang

mencakup proses penyusunan rencana tata ruang dan proses penetapan rencana tata

ruang. Penataan ruang disusun berasaskan: (a) Pemanfaatan ruang bagi semua

kepentingan secara terpadu, berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang,

dan berkelanjutan, (b) keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan ruang dalam wujud struktur dan pola

pemanfaatan ruang.

9

Salah satu pola pemanfaatan ruang, yaitu rencana struktur ruang meliputi

sistem jaringan transportasi. Dalam konteks tata ruang wilayah, sektor transportasi

memegang peranan penting, karena sektor ini menyebar membentuk jaringan di

dalam dan antar ruang, transportasi menjembatani interaksi penduduk dari satu

wilayah ke wilayah lain. Transportasi merupakan bagian yang menghubungkan dan

menyatukan seluruh wilayah dengan spesialisasi masing-masing menjadi suatu

kesatuan yang terintegrasi (Chaeriwati 2004).

2.8. Emisi Kendaraan Bermotor

Pencemaran udara terjadi apabila komposisi zat-zat kimia yang ada di udara

melampaui ambang batas yang ditentukan, sehingga dapat membahayakan

kesehatan manusia, mengganggu kehidupan hewan dan tumbuhan, serta tergang-

gunya iklim (cuaca). Gas-gas berbahaya yang bercampur dengan udara sebagai zat

pencemar berasal dari aktivitas manusia terutama akibat proses pembakaran bahan

bakar minyak. Emisi adalah zat atau bahan pencemar yang dikeluarkan langsung

dari kendaraan bermotor melalui pipa pembuangan (knalpot) kendaraan

bermotor sebagai sisa pembakaran bahan bakar dalam mesin. Terdapat lima

unsur dalam gas buangan kendaraan bermotor yaitu senyawa CO, HC, CO2, O2

dan senyawa NOX (Suryani 2010).

Karbon monoksida (CO) adalah salah satu unsur gas buangan yang banyak

dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. CO merupakan gas berbau yang tidak

berwarna, lebih ringan dari udara, terbentuk sebagai hasil dari pembakaran tidak

sempurna. Gas ini merupakan polutan udara yang paling lazim dijumpai. Gas ini

sangat beracun bagi manusia dan hewan. CO dapat menyebabkan aliran Oksigen

(O2) ke seluruh tubuh menurun sehingga kontraksi jantung dapat melemah dan

volume darah yang didistribusikan menurun (Kojima et al. 2000).

Penyebaran gas CO di udara tergantung pada keadaan lingkungan. Pada

daerah perkotaan yang banyak kegiatan industrinya dan lalu lintasnya padat, maka

udaranya sudah banyak tercemar oleh gas CO. Sedangkan di daerah pinggiran kota

atau desa, cemaran CO di udara relatif sedikit. Tanah yang masih terbuka (ruang

terbuka) dapat membantu penyerapan gas CO karena mikroorganisme yang ada di

dalam tanah mampu menyerap gas tersebut (Kojima et al. 2000).

2.9. Perhitungan Beban Emisi

Pengukuran kualitas dan beban emisi secara langsung dalam suatu kegiatan

tidak mungkin dilakukan untuk setiap sumber pencemar, apalagi pengukuran

langsung terhadap kendaraan bermotor yang jumlahnya tidak sedikit. Pengukuran

perkiraan besarnya beban pencemar dapat dirumuskan dengan menggunakan dua

pendekatan yaitu pendekatan panjang perjalanan kendaraan bermotor dan

pendekatan penggunaan bahan bakar (KLH 2007).

Estimasi beban emisi pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan

konsumsi bahan bakar. Secara umum perhitungan beban emisi dari kendaraan

bermotor menurut Chandrasiri (1999) adalah sebagai berikut :

ECO = Σ vol_bensin x FE x 10−6

Keterangan :

ECO = Beban emisi CO dari angkot (ton/bulan)

Σ vol_bensin = Konsumsi bahan bakar bensin (liter/bulan)

FE (Faktor Emisi) = Besarnya polutan CO yang diemisikan dari setiap liter

penggunaan bahan bakar minyak (gram/liter)

10

Faktor emisi adalah massa dari suatu polutan yang dihasilkan oleh setiap

unit proses. Beban massa ini dapat berupa per satuan massa bahan bakar yang

dikonsumsi atau per unit produksi (Porteous 1996 dalam Kusuma 2010). Faktor

emisi masing-masing gas buang kendaraan berbeda berdasarkan jenis bahan

bakarnya (Tabel 1).

Tabel 1 Faktor emisi kendaraan berdasarkan jenis bahan bakar

Bahan Bakar CO NOx HC TSP SO2 CO2

Bensin (kg/ton) 377.0 10.3 14.5 2.0 0.54 3 150.0

Solar (kg/ton) 43.5 11.0 26.0 2.4 19.00 3 150.0

Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup, 2007

2.10. Kapasitas Jalan

Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Raya Indonesia (MKJI) tahun 1997

(DJBM 1997), kapasitas jalan adalah jumlah kendaraan maksimum yang memiliki

kemungkinan yang cukup untuk melewati ruas jalan tersebut (dalam satu maupun

dua arah) dalam periode waktu tertentu dan dengan kondisi jalan dan lalu lintas

yang umum. Kapasitas dasar jalan raya didefinisikan sebagai kapasitas dari suatu

jalan yang mempunyai sifat-sifat jalan dan sifat lalu lintas yang dianggap ideal.

Karakteristik utama dari suatu jalan yang akan berpengaruh terhadap kapasitas dan

tingkat pelayanan saat dibebani arus lalu lintas antara lain :

1. Geometrik jalan, meliputi :

a. Tipe jalan: jalan terbagi (devide, D) dan jalan tidak terbagi (undevide, UD)

b. Lebar jalan, terkait dengan free speed flow atau kecepatan arus bebas dan

peningkatan kapasitas

c. Kerb, merupakan besarnya kapasitas jalan yang dilengkapi dengan trotoar

akan lebih kecil dibandingkan dengan jalan yang dilengkapi bahu jalan

d. Bahu jalan (shoulder), akan menimbulkan hambatan samping seperti

kegiatan di sisi jalan seperti pedagang kaki lima, parkir, berhentinya

kendaraan umum di sembarang tempat dsb.

e. Median dan alinemen jalan, radius yang kecil akan mengurangi kecepatan

arus bebas

2. Kontrol lalu lintas, peraturan lalu lintas yang cukup memberikan pengaruh

pada kondisi lalu lintas

3. Kegiatan jalan yang menimbulkan gangguan (hambatan samping) adalah

hambatan samping yang ditetapkan untuk jalan perkotaan di MKJI berupa

gangguan akibat:

Pejalan kaki

Berhentinya kendaraan umum dan kendaraan lainnya di sisi jalan

Kendaraan lambat (bergerak lambat) seperti becak, delman dsb

Kendaraan yang parkir dan keluar masuk dari sisi jalan

4. Perilaku pengendara dan populasi kendaraan. Kondisi beragam di Indonesia

merupakan faktor yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap prosedur

perhitungan kapasitas yang dinamakan faktor ukuran kota (city size).

5. Komposisi / persebaran arus lalu lintas tiap arah (directional split of traffic).

Merupakan banyaknya arus yang lewat di tiap arah jalan akan mempengaruhi

besarnya kapasitas. Kapasitas akan tinggi dan mencapai puncaknya di jalan dua

11

arah saat directional splitnya 50-50, hal ini menunjukkan adanya arus yang

sama di kedua arah untuk satu periode waktu analisis. Komposisi Lalu Lintas

akan mempengaruhi hubungan kecepatan arus apabila arus dan kapasitas

dinyatakan dalam satuan kendaraan per jam. Hal ini tergantung besarnya rasio

sepeda motor atau kendaraan berat dalam arus tersebut.

Kapasitas jalan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

C = C0 x FCw x FCsp x FCsf x FCcs

Keterangan :

𝐶 = Kapasitas (smp/jam)

C0 = Kapasitas dasar (smp/jam) Tabel 2

𝐹𝐶𝑤 = Faktor penyesuaian lebar jalan Tabel 3

𝐹𝐶𝑠𝑝 = Faktor pemisahan arah Tabel 4

𝐹𝐶𝑠𝑓 = Faktor penyesuaian hambatan samping Tabel 5 dan Tabel 6

𝐹𝐶𝑐𝑠 = Faktor penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota Tabel 7

Tabel 2 Kapasitas dasar C0 untuk jalan perkotaan

Jenis Jalan Kapasitas Dasar

(smp/jam)

Komentar

Empat-lajur terbagi atau jalan satu-arah 1 650 Per lajur

Empat-lajur tak terbagi 1 500 Per lajur

Dua-lajur terbagi 2 900 Total dua-arah

Tabel 3 Faktor penyesuaian FCw atau lebar lajur jalan

Jenis Jalan Lebar Lajur Efektif (WC) (m) FCW

Empat-lajur terbagi atau jalan satu-arah Per lajur

3.00

3.25

3.50

3.75

4.00

0.92

0.96

1.00

1.04

1.08

Empat-lajur tak terbagi Per lajur

3.00

3.25

3.50

3.75

4.00

0.91

0.95

1.00

1.05

1.09

Dua-lajur terbagi Total dua arah

5

6

7

8

9

10

0.56

0.87

1.00

1.14

1.25

1.29

1.34

12

Tabel 4 Faktor penyesuaian FCsp faktor pemisah arah

Pembagian Arah % - % 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

FCS

P

Dua-lajur 2/2 1.00 0.97 0.94 0.91 0.88

Empat-lajur 4/2 1.00 0.98 0.97 0.95 0.94

Tabel 5 Faktor penyesuaian FCsf untuk jalan perkotaan dengan bahu

Jenis Jalan Kelas Hambatan

Samping

(FCsf)

Faktor Penyesuaian

Lebar Bahu efektif rata-rata WS (m)

≤ 0,50 1,0 1,5 ≥ 2,0

Empat lajur

terbagi 4/2 D

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

0.96

0.94

0.92

0.88

0.84

0.98

0.97

0.95

0.92

0.88

1.01

1.00

0.98

0.95

0.92

1.03

1.02

1.00

0.98

0.96

Empat lajur

terbagi 4/2

UD

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

0.96

0.94

0.92

0.87

0.80

0.99

0.97

0.95

0.91

0.86

1.01

1.00

0.98

0.94

0.90

1.03

1.02

1.00

0.98

0.95

Dua lajur tak

terbagi 2/2

UD atau

Jalan satu-

arah

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

0.94

0.92

0.89

0.82

0.73

0.96

0.94

0.92

0.86

0.79

0.99

0.97

0.95

0.90

0.85

1.01

1.00

0.98

0.95

0.91

Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation / DS), rumus DS yaitu:

𝐷𝑆 = 𝑉

𝐶

Keterangan :

𝐷𝑆 = Derajat Kejenuhan (DS) 𝐶 = Kapasitas jalan

𝑉 = Volume lalu lintas (smp/jam)

2.11. Peramalan/Proyeksi Trafik (Lalu Lintas)

Trafik ada dua macam, trafik muatan dan trafik alat angkutan. Trafik muatan

adalah jumlah penumpang dan atau barang yang diangkut oleh kendaraan atau alat

angkutan pada suatu jalan. Sedangkan trafik alat angkutan adalah jumlah kendaraan

atau alat angkutan lalu lintas pada jalannya. Pengertian yang kedua inilah yang

lazim disebut sebagai trafik atau lalu lintas formula (Nasution 2004 dan Kamaludin,

Rustian 2013). Trafik kendaraan atau alat angkutan atau lalu lintas dibedakan

menjadi volume lalu lintas dan kepadatan lalu lintas. Jika volume lalu lintas adalah

jumlah kendaraan yang melewati titik tertentu yang melintas pada arah tertentu

pada suatu bagian ruas jalan, dinyatakan dalam jumlah kendaraan per jam, per hari,

dan per minggu. Sedangkan kepadatan lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang

menempati suatu bagian dari ruas jalan tertentu pada saat tertentu, dinyatakan

dalam jumlah kendaraan per mil atau per km sepanjang jalan yang dilalui.

13

Tabel 6 Faktor Penyesuaian FCsf pada kapasitas untuk jalan perkotaan dengan kerb

Jenis Jalan Kelas

Hambatan

Samping

(FCSF)

FP untuk Hambatan Samping dan Jarak Kerb

Jarak Kerb – Penghalang WK (m)

≤ 0.5 1.0 1.5 ≥ 2.0

Empat lajur

terbagi 4/2 D

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

0.95

0.94

0.91

0.86

0.81

0.97

0.95

0.93

0.89

0.85

0.99

0.98

0.95

0.92

0.88

1.01

1.00

0.98

0.95

0.92

Empat lajur

terbagi 4/2 UD

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

0.95

0.93

0.90

0.84

0.77

0.97

0.95

0.92

0.87

0.81

0.99

0.97

0.95

0.90

0.85

1.01

1.00

0.97

0.93

0.90

Dua lajur tak

terbagi 2/2 UD

atau

Jalan satu-arah

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

0.93

0.90

0.86

0.78

0.68

0.95

0.92

0.88

0.81

0.72

0.97

0.95

0.91

0.84

0.77

0.99

0.97

0.94

0.88

0.82

Tabel 7 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCCS)

Ukuran Kota

(Juta penduduk)

Faktor Penyesuaian

Ukuran Kota (FCCS)

Kelas Ukuran Kota

(CS)

< 0.1

0.1 – 0.5

0.5 – 1.0

1.0 – 3.0

> 3.0

0.86

0.90

0.94

1.00

1.04

Sangat kecil

Kecil

Sedang

Besar

Sangat besar

Volume lalu lintas adalah hasil dari kepadatan dan kecepatan lalu lintas.

Dapat saja terjadi pada suatu jalan yang volume lalu lintasnya rendah, tetapi

kepadatannya tinggi. Kepadatan tinggi terjadi apabila kendaraan praktis diam atau

tidak bergerak, di mana volume lalu lintas mendekati nol, kondisi ini disebut

sebagai kemacetan. Peramalan pertumbuhalan volume kendaraan ini menggunakan

metode peramalan double exponential smoothing. Perhitungan nilai smoothing data

ke-t sebagai berikut:

St = Lt + Tt

Tt = (Lt – Lt-1) + (1-)Tt-1

Lt = Xt + (1- )(Lt-1 + Tt-1)

Keterangan:

St = nilai smoothing data ke-t

Tt = nilai tren data ke-t, merupakan bobot komponen tren

Lt = nilai level data ke-t, merupakan bobot komponen level