sarafambarawa.files.wordpress.com · web viewsecara umum terjadi pergeseran pembagian limfoma...
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SYARAT MENGIKUTI UJIAN
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN SARAF
“CEPHALGIA KRONIK DENGAN LIMFOMA NON-HODGKIN
”
Diajukan Kepada:
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, MSc
Disusun Oleh:
Aurima Hanun Kusuuma H2A014011P
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
2018
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
“CEPHALGIA KRONIK DENGAN LIMFOMA NON-HODGKIN”
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Stase Ilmu Bagian Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Disusun Oleh:
Aurima Hanun Kusuma
H2A014011P
Telah Disetujui Oleh Pembimbing
Pembimbing : dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, MSc
Tanggal : Desember 2018
2
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Tanggal Lahir : 21 Juni 1951
Umur : 67 tahun 5 bulan 7 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Agama : Islam
Alamat : Jl. Krajan II 02/03 Tegaron Banyubiru Kab. Semarang
No CM : 0947xx-20xx
Tanggal masuk RS : 28 November 2018
B. DATA DASAR
Diperoleh dari pasien serta keluarga pasien (Autoanamnesis dan
alloanamnesis), dan catatan rekam medik, dilakukan pada tanggal 1 Desember
2018, pukul 15.15 di bangsal Dahlia.
C. KELUHAN UTAMA
Pasien mengeluhkan nyeri kepala
D. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Sejak 6 bulan yang lalu pasien mengeluhkan nyeri kepala dari bagian
dahi hingga ke kepala bagian tengah, terutama di daerah kepala bagian
belakang. Nyeri kepala tumpul dan lamanya serangan tidak menentu dengan
skala VAS 3 dari 10. Keluhan dirasakan hilang timbul, dipengaruhi aktifitas
berat dan nyeri kepala hilang dengan beristirahat. Keluhan tidak disertai gejala
lain seperti mual, muntah, pusing berputar, dan posisi.
Sejak 3 hari SMRS saat di rumah pasien merasakan nyeri kepala tumpul
dari bagian dahi hingga ke kepala bagian tengah, tertutama di daerah kepala
bagian belakang dan tengkuk. Nyeri dirasakan hilang timbul dan secara tiba-
3
tiba membaik saat duduk ataupun tidur terlentang dengan skala VAS 5 dari 10.
Nyeri kepala awalnya muncul hilang timbul terutama saat posisi pasien
beraktifitas berat, dengan durasi setiap kali nyeri sekitar 1 jam. Nyeri kepala
pasien akan mereda dengan tidur tengkurap. Pasien masih dapat menahan rasa
nyeri kepala tersebut dan melakukan aktivitas di rumah seperti biasanya.
Keluhan lain seperti demam, mual disangkal, muntah disangkal, silau saat
melihat cahaya disangkal.
Sekitar 3 jam SMRS pasien merasa nyeri kepala menjadi semakin
memberat muncul terus menerus dengan skala VAS 8 dari 10. Keluhan juga
disertai pusing dan mual. Keluhan nyeri dirasakan hingga menyebabkan pasien
tidak dapat beraktifitas dan hanya bisa tidur terlentang. Keluhan lain seperti
muntah disangkal, demam disangkal, pandangan ganda disangkal, pandangan
kabur disangkal, cedera kepala disangkal, kelemahan anggota gerak disangkal,
pelo disangkal, kesulitan untuk menelan atau minum disangkal, kesemutan
pada anggota gerak disangkal, telinga berdenging disangkal, keluar cairan dari
telinga disangkal, nyeri pada telinga disangkal, pandangan silau disangkal,
keluhan penurunan berat badan yang drastis akhir-akhir ini di sangkal,
gangguan berkemih disangkal. Dikarenakan keluhan nyeri kepala tersebut
semakin memberat dan disertai mual sehingga pasien diputuskan untuk di bawa
ke IGD RSUD Ambarawa.
E. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
1. Riwayat keluhan serupa sebelumnya : disangkal
2. Riwayat vertigo diakui, sejak tiga tahun yang lalu dan sudah dilakukan
pengobatan secara rutin tiap minggu di RSUD Ambarawa.
3. Riwayat keganasan diakui, limfoma non hodgkin sejak 1 tahun yang lalu.
Pada tahun 2016 pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan
pusing dan pada pemeriksaan fisik didapatkan benjolan dibagian leher
kanan. Oleh dokter diberikan rujukan dengan diagnosa limfoma non
hodgkin, lalu pasien dilakukan tatalaksana lebih lanjut dengan pemeriksaan
dan kemoterapi di RS Dr. Kariadi Semarang.
4
4. Riwayat stroke : disangkal
5. Riwayat jatuh : disangkal
6. Riwayat trauma kepala : disangkal
7. Riwayat masalah di mata : disangkal
8. Riwayat masalah di telinga dan hidung : disangkal
9. Riwayat gigi berlubang : disangkal
10. Riwayat penyakit jantung : disangkal
11. Riwayat penyakit maag : disangkal
12. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
13. Riwayat penyakit gula : disangkal
14. Riwayat kolesterol tinggi : disangkal
15. Riwayat gangguan psikologi : disangkal
16. Riwayat alergi obat : disangkal
F. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
1. Riwayat keluhan serupa : disangkal
2. Riwayat stroke : disangkal
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
G. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
Pasien sudah tidak bekerja, pembayaran menggunakan BPJS non PBI.
Kesan ekonomi cukup. Pasien menyangkal pernah minum minuman keras.
Pasien menyangkal memakai obat-obatan terlarang, obat-obat yang dibeli di
luar resep dokter dan jamu jamuan rutin.
H. ANAMNESIS SISTEM
1. Sistem cerebrospinal : nyeri kepala dari bagian dahi hingga
ke kepala bagian tengah, tertutama
di daerah kepala bagian belakang
dan tengkuk
5
2. Sistem kardiovascular : tidak ada keluhan
3. Sistem respiratorius : tidak ada keluhan
4. Sistem gastrointestinal : mual (+)
5. Sistem neuromuskuler : tidak ada keluhan
6. Sistem urogenital : tidak ada keluhan
7. Sistem integumen : tidak ada keluhan
I. RESUME PASIEN
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis, alloanamnesis dan dari
catatan rekam medis. Pasien seorang laki-laki 67 tahun datang ke IGD RSUD
Ambarawa dengan keluhan sejak 6 bulan yang lalu pasien mengeluhkan nyeri
kepala dari bagian dahi hingga ke kepala bagian tengah, terutama di daerah
kepala bagian belakang. Nyeri kepala tumpul dan lamanya serangan tidak
menentu dengan skala VAS 3 dari 10. Keluhan dirasakan hilang timbul,
dipengaruhi aktifitas berat dan nyeri kepala hilang dengan beristirahat. Keluhan
tidak disertai gejala lain seperti mual, muntah, pusing berputar, dan posisi.
Sejak 3 hari SMRS saat di rumah pasien merasakan nyeri kepala tumpul
dari bagian dahi hingga ke kepala bagian tengah, tertutama di daerah kepala
bagian belakang dan tengkuk. Nyeri dirasakan hilang timbul dan secara tiba-
tiba membaik saat duduk ataupun tidur terlentang dengan skala VAS 5 dari 10.
Nyeri kepala awalnya muncul hilang timbul terutama saat posisi pasien
beraktifitas berat, dengan durasi setiap kali nyeri sekitar 1 jam. Nyeri kepala
pasien akan mereda dengan tidur tengkurap. Pasien masih dapat menahan rasa
nyeri kepala tersebut dan melakukan aktivitas di rumah seperti biasanya.
Keluhan lain seperti demam, mual disangkal, muntah disangkal, silau saat
melihat cahaya disangkal.
Sekitar 3 jam SMRS pasien merasa nyeri kepala menjadi semakin
memberat muncul terus menerus dengan skala VAS 8 dari 10. Keluhan juga
disertai pusing dan mual. Keluhan nyeri dirasakan hingga menyebabkan pasien
tidak dapat beraktifitas dan hanya bisa tidur terlentang. Keluhan lain seperti
muntah disangkal, demam disangkal, pandangan ganda disangkal, pandangan
6
kabur disangkal, cedera kepala disangkal, kelemahan anggota gerak disangkal,
pelo disangkal, kesulitan untuk menelan atau minum disangkal, kesemutan
pada anggota gerak disangkal, telinga berdenging disangkal, keluar cairan dari
telinga disangkal, nyeri pada telinga disangkal, pandangan silau disangkal,
keluhan penurunan berat badan yang drastis akhir-akhir ini di sangkal,
gangguan berkemih disangkal. Dikarenakan keluhan nyeri kepala tersebut
semakin memberat dan disertai mual sehingga pasien diputuskan untuk di bawa
ke IGD RSUD Ambarawa.
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal. Riwayat vertigo diakui,
sejak tiga tahun yang lalu dan sudah dilakukan pengobatan secara rutin tiap
minggu di RSUD Ambarawa. Riwayat keganasan diakui, limfoma non hodgkin
sejak 1 tahun yang lalu. Pada tahun 2016 pasien datang ke IGD RSUD
Ambarawa dengan keluhan pusing dan pada pemeriksaan fisik didapatkan
benjolan dibagian leher kanan. Oleh dokter diberikan rujukan dengan diagnosa
limfoma non hodgkin, lalu pasien dilakukan tatalaksana lebih lanjut dengan
pemeriksaan dan kemoterapi di RS Dr. Kariadi Semarang.
Riwayat sosial ekonomi pasien saat ini sudah tidak bekerja, pembayaran
menggunakan BPJS non PBI. Kesan ekonomi cukup. Pasien menyangkal
pernah minum minuman keras. Pasien menyangkal memakai obat-obatan
terlarang, obat-obat yang dibeli di luar resep dokter dan jamu jamuan rutin.
J. DIAGNOSIS SEMENTARA
1. Diagnosis klinis : Nyeri kepala dari bagian
dahi hingga ke kepala bagian tengah, tertutama di
daerah kepala bagian belakang dan tengkuk sejak 6
bulan yang lalu
2. Diagnosis topis : Jaringan peka nyeri Ekstrakranial
3. Diagnosis etiologi :
a) Cephalgia Kronik Sekunder ec Metastase Limfoma Non-Hodgkin dd
Post Kemoterapi Limfoma Non-Hodgkin
b) Cephalgia Kronik Primer ec Tension Type Headache dd Migren dd
7
Cluster Headace dd Nyeri Kepala Lainnya
K. DISKUSI PERTAMA
Dari hasil anamnesa didapatkan seorang pasien laki-laki 67 tahun
mengeluhkan nyeri kepala dari bagian dahi hingga ke kepala bagian tengah,
tertutama di daerah kepala bagian belakang dan tengkuk sudah 6 bulan yang
lalu. Nyeri kepala timbul karena perangsangan terhadap struktur yang peka
didaerah kepala dan leher yang peka terhadap rasa nyeri. Bangunan-bangunan
peka nyeri pada kepala dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bangunan
intrakranial meliputi sinus venosus, arteri-arteri basalis, durameter, nervus V,
IX, X, dan bangunan ekstrakranial meliputi pembuluh darah dan otot kulit
kepala, orbita, membrane mukosa sinus nasalis dan paranasalis, telinga luar
dan tengah, gigi dan gusi, nervus cervical II dan III. Perangsangan bangunan-
bangunan ekstrakranial akan dirasakan pada umumnya sebagai nyeri pada
daerah terangsang. Sedangkan nyeri kepala sebagai akibat perangsangan
bangunan intracranial akan diproyeksikan ke permukaan dan dirasakan di
daerah distribusi saraf yang bersangkutan.
Keluhan nyeri kepala dapat disebabkan oleh riwayat penyakit dahulu
berupa adanya keganasan limfoma non hodgkin nasofaring sejak 1 tahun yang
lalu. Pada limfoma non hodgkin gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas
ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis. Gejalanya antara lain sakit kepala
yang terus menerus dan rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen.
Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau
metastase dekat secara limfogen dari limfoma non hodgkin.
L. CEPHALGIA
1. Definisi
Nyeri kepala adalah suatu rasa nyeri atau rasa tidak enak pada
daerah kepala termasuk meliputi daerah wajah dan tengkuk leher. (Sjahrir
dkk, 2013). Sedangkan, menurut Arif Mansjoer (2000) nyeri kepala atau
cephalgia adalah rasa nyeri atau rasa tidak enak di kepala, setempat atau
menyeluruh dan dapat menjalar ke wajah, gigi, rahang bawah dan leher.
8
2. Epidemiologi
Faktor resiko terjadinya sakit kepala adalah gaya hidup, kondisi
penyakit, jenis kelamin, umur, pemberian histamin atau nitrogliserin
sublingual dan faktor genetik.
Prevalensi sakit kepala di USA menunjukkan 1 dari 6 orang (16,54%)
atau 45 juta orang menderita sakit kepala kronik dan 20 juta dari 45juta
tersebut merupakan wanita. 75 % dari jumlah di atas adalah tipe tension
headache yang berdampak pada menurunnya konsentrasi belajar dan
bekerja sebanyak 62,7 %. Menurut IHS, migren sering terjadi pada pria
dengan usia 12 tahunsedangkan pada wanita, migren sering terjadi pada
usia diatas 12 tahun. HIS juga mengemukakan cluster headache 80-90 %
terjadi pada pria dan prevalensi sakit kepala akan meningkat setelah umur
15 tahun.
3. Etiologi
a) Penggunaan obat yang berlebihan.
Hampir semua obat sakit kepala, termasuk dan penghilang migrain
seperti acetaminophen dan triptans, bisa membuat sakit kepala parah
bila terlalu sering dipakai untuk jangka waktu lama. Menggunakan
terlalu banyak obat dapat menyebabkan kondisi yang disebut rebound
sakit kepala.
b) Stres
Stress adalah pemicu yang paling umum untuk sakit kepala, termasuk
sakit kepala kronis. Selain itu, itu terkait dengan kecemasan dan
depresi, yang juga faktor risiko untuk berkembang menjadi sakit
kepala kronis.
c) Masalah tidur
Kesulitan tidur merupakan faktor risiko umum untuk sakit kepala
kronis. Mendengkur, yang dapat mengganggu pernapasan di malam
hari dan mencegah tidur nyenyak, juga merupakan faktor risiko.
9
Dokter tidak yakin persis mengapa, menjaga berat badan yang sehat
tampaknya dapat dihubungkan dengan penurunan risiko untuk sakit
kepala kronis. Sementara kafein telah ditunjukkan untuk meningkatkan
efektivitas ketika ditambahkan ke beberapa obat sakit kepala, terlalu
banyak kafein dapat memiliki efek yang berlawanan. Sama seperti obat
sakit kepala berlebihan dapat memperburuk gejala sakit kepala, kafein
yang berlebihan dapat menciptakan efek rebound.
d) Penyakit atau infeksi
Penyakit atau infeksi seperti meningitis, saraf terjepit di leher, atau
bahkan tumor.
e) Gangguan lain
Gangguan lain seperti cedera kepala, penyakit mata, penyakit telinga,
hidung, penyakit vascular.
4. Klasifikasi
Berdasarkan The International Classification of Headache Disorders, 2nd
Edition, dari the International Headache Society (Sjahrir dkk, 2013)
secara garis besar nyeri kepala diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Nyeri Kepala Primer
1) Migren
2) Tension-Type Headache
3) Cluster headache
4) Nyeri kepala primer lainnya
b) Nyeri Kepala Sekunder
1) Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan/atau leher
2) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan vaskuler kranial
dan/atau servikalis
3) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan non vaskuler
4) Nyeri kepala yang berkaitan dengan suatu substansi atau
proses withdrawal nya
5) Nyeri kepala yang berkaitan dengan infeksi
10
6) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan hemostasis
7) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan kranium, leher, mata,
telinga, hidung, sinus, gigi, mulut atau struktur fasial atau kranial
lainnya
8) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan psikiatri
Jenis-Jenis Nyeri Kepala:
Nyeri Kepala
Sifat Nyeri Lokasi Lama Nyeri Frekuensi Gejala
Migren umum
Berdenyut
Unilateral atau Bilateral
6-48 jam Sporadik Mual, muntah, malaise, fotobia
Beberapa kali sebulan
Migren klasik
Berdenyut
Unilateral 3-12 jam Sporadik Prodromal visual, mual, muntah, malaise, fotobia
Beberapa kali sebulan
Klaster Menjemu-kan, tajam
Unilateral, orbita
15-20 menit
Serangan berkelompok dengan remisi lama
Lakrimasi ipsilateral, wajah merah, hidung tersumbat, horner
Tipe tegang
Tumpul, ditekan
Difus, Bilateral
Terus menerus
Konstan Depresi, ansietas
Neuralgia trigeminus
Ditusuk-tusuk
Dermaton saraf V
Singkat, 15-60 detik
Beberapa kali sehari
Zona pemicu nyeri
Atipikal Tumpul Unilateral atau Bilateral
Terus menerus
Konstan Depresi, kadang-kadang psikosis
Sinus Tumpul/ tajam
Di atas sinus
Bervariasi Sporadik atau konstan
Rinore
Lesi desak ruang
Bervariasi
Unilateral (awal), Bilateral (lanjut)
Bervariasi, progresif
Bervariasi, semakin sering
Papiledema, defisit neurologik fokal, gangguan mental atau perilaku, kejang
5. Patofisiologi
Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan
neuron trigeminal sentral. Fenomena pengurangan nilai ambang dari kulit
11
dan kutaneus allodynia didapat pada penderita yang mendapat serangan
migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan sebagai refleksi
pemberatan respons dari neuron trigeminal sentral. lnervasi sensoris
pembuluh darah intrakranial sebagian besar berasal dari ganglion
trigeminal dari didalam serabut sensoris tersebut mengandung neuropeptid
dimana jumlah dan peranannya adalah yang paling besar adalah CGRP
(Calcitonin Gene Related Peptide), kemudian diikuti oleh SP (substance
P), NKA (Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase activating
peptide (PACAP), nitricoxide (NO), molekul prostaglandin E2 (PGEJ2),
bradikinin, serotonin (5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP), mengaktivasi
atau mensensitisasi nosiseptor-nosiseptor. Khusus untuk nyeri kepala
klaster clan chronic paroxysmal headache ada lagi pelepasan VIP
(vasoactive intestine peptide) yang berperan dalam timbulnya gejala nasal
congestion dan rhinorrhea. Penanda pain-sensing nerves lain yang berperan
dalam proses nyeri adalah opioid dynorphin, sensory neuron-specific
sodium channel (Nav 1.8), purinergic receptors (P2X3), isolectin
B4(IB4), neuropeptide Y, reseptor galanin dan artemin ( GFR-α3 =
GDNF Glial Cell Derived Neourotrophic Factor family receptor-α3).
Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan dalam
transmisi dan modulasi nyeri terletak di batang otak. Batang otak
memainkan peranan yang paling penting sebagai dalam pembawa impuls
nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi transmisi
sensoris sebagian besar berpusat di batang otak (misalnya periaquaductal
grey matter, locus coeruleus, nukleus raphe magnus dan formatio
reticularis), yang mana mengatur integrasi nyeri, emosi dan respons
otonomik yang melibatkan konvergensi kerja dari korteks somatosensorik,
hipotalamus, anterior cyngulate cortex, dan struktur sistem limbik lainnya.
Dengan demikian batang otak disebut juga sebagai generator dan
modulator dari nyeri kepala. Stimuli elektrode, atau deposisi zat besi Fe
yang berlebihan pada periaquaduct grey (PAG) matter pada midbrain dapat
mencetuskan timbulnya nyeri kepala seperti migren (migraine-like
12
headache).
Pada penelitian MRI (Magnetic Resonance Imaging) terhadap
keterlibatan batang otak pada penderita migren, CDH (Chronic Daily
Headache) dan sampel kontrol yang non sefalgik, didapat bukti adanya
peninggian deposisi Fe di PAG pada penderita migren dan CDH
dibandingkan dengan control.
Pada cephalgia, struktur di wajah yang peka terhadap rasa nyeri adalah
kulit, fasia, otot-otot, arteri ekstra serebral dan intra serebral, meningen,
dasar fosa anterior, fosa posterior, tentorium serebri, sinus venosus, nervus
V, VII, IX, X, radiks posterior C2, C3, bola mata, rongga hidung, rongga
sinus, dentin dan pulpa gigi. Sedangkan struktur yang tidak sensitif
terhadap nyeri seperti parenkim otak, ependim ventrikel, pleksus koroideus,
sebagian besar duramater, piarachnoid meningen. Pada struktur tersebut
terdapat ujung saraf nyeri yang mudah dirangsang oleh:
a) Traksi atau pergeseran sinus venosus dan cabang-cabang kortikal
b) Traksi, dilatasi, atau inflamasi pada arteri intrakranial dan ekstrakranial
c) Traksi, pergeseran atau penyakit yang mengenai saraf kranial dan
servikal
d) Perubahan tekanan intrakranial yang meningkat
e) Penyakit jaringan kulit kepala, wajah, mata, hidung, telinga dan leher
6. Manifestasi Klinis
Menurut Arif Mansjoer, dkk (2000) manifestasi klinis adanya nyeri
kepala atau cephalgia memerlukan anamnesis khusus yaitu:
a) Awitan dan lama serangan
b) Bentuk serangan; paroksismal periodik atau terus menerus
c) Lokalisasi nyeri
d) Sifat nyeri; berdenyut-denyut, rasa berat, menusuk-nusuk, dll
e) Prodromal
f) Gejala penyerta
g) Faktor presipitasi
13
h) Faktor yang mengurangi atau memberatkan nyeri kepala
i) Pola tidur
j) Faktor emosional/stress
k) Riwayat keluarga
l) Riwayat trauma kepala
m) Riwayat penyakit medik; peradangan selaput otak, hipertensi, demam
tifoid, sinusitis, glaukoma, dsb.
n) Riwayat operasi
o) Riwayat alergi
p) Pola haid bagi wanita
q) Riwayat pemakaian obat; analgetik, narkotik, penenang, vasodilator
7. Macam- Macam Penyebab Cephalgia Sekunder
Nyeri kepala sekunder merupakan sakit kepala yang disebabkan adanya
suatu penyakit tertentu (underlying disease). Pada sakit kepala kelompok
ini, rasa nyeri di kepala merupakan tanda dari berbagai penyakit.
a) Nyeri Kepala akibat Kanker
Kanker tertentu dapat menyebabkan sakit kepala, terutama jenis-jenis
ini:
1) Kanker otak dan sumsum tulang belakang
2) Tumor kelenjar pituitari
3) Kanker tenggorokan bagian atas, disebut kanker nasofaring
4) Beberapa bentuk limfoma
5) Kanker yang telah menyebar ke otak
Infeksi. Sinusitis dan meningitis dapat menyebabkan sakit kepala.
Sinusitis adalah infeksi pada sinus. Ini adalah bagian berlubang di
tulang di sekitar hidung. Dengan meningitis, selaput pelindung yang
menutupi otak dan sumsum tulang belakang membengkak.
Terapi kanker berikut dapat menyebabkan sakit kepala:
1) Beberapa jenis kemoterapi, seperti fluorouracil (5-FU, Adrucil) dan
procarbazine (Matulane)
14
2) Terapi radiasi ke otak
3) Imunoterapi, pengobatan yang meningkatkan pertahanan alami
tubuh untuk melawan kanker
Obat lainnya. Obat untuk gejala terkait kanker atau kondisi lain
dapat menyebabkan sakit kepala:
1) Antibiotik, digunakan untuk mengobati infeksi
2) Antiemetik, digunakan untuk mencegah atau mengobati muntah
3) Obat jantung
Efek samping terkait kanker atau kondisi lainnya. Gejala atau efek
samping yang berkaitan dengan kanker atau perawatan kanker juga
dapat menyebabkan sakit kepala:
1) Anemia, jumlah darah merah rendah
2) Hiperkalsemia, kadar kalsium yang tinggi
3) Trombositopenia, jumlah trombosit yang rendah
4) Dehidrasi, hilangnya terlalu banyak air dari tubuh. Ini mungkin
disebabkan oleh muntah hebat atau diare.
Faktor lain. Stres, kelelahan, kecemasan, dan masalah tidur juga bisa
menyebabkan nyeri kepala.
Nyeri kepala adalah salah satu komplikasi paling umum dari
perawatan kanker. Pasien dengan riwayat nyeri kepala sebelum
perawatan mungkin lebih rentan. Namun semua pasien berisiko
mengalami nyeri kepala. Mekanisme nyeri kepala sebagian besar tidak
diketahui, tetapi nyeri kepala lebih sering terjadi pada agen yang
menembus sawar darah otak, terutama temozolomide, nelarabine, dan
intratekal (IT) atau methotrexate intravena dosis tinggi.
b) Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan / atau
leher.
Nyeri kepala pasca trauma dapat merupakan nyeri akut atau kronik.
Nyeri akut dapat terjadi setelah trauma yang menyebabkan trauma
ringan atau berat. Trauma berat dapat menyebabkan perdarahan otak,
15
perdarahan subdural atau epidural. Nyeri kepala setelah trauma biasanya
merupakan bagian dari sindrom pasca trauma yang meliputi dizziness,
kesulitan konsentrasi, gelisah , perubahan kepribadian , dan insomnia.
Penatalaksanaan sesuai jenis nyeri kepala yang muncul pada pasca
trauma.
c) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan vaskuler cranial atau
servikal
1) Nyeri kepala pada tekanan darah tinggi (hipertensi)
Tekanan darah tinggi dapat menimbulkan keluhan nyeri kepala.
Semua penderita nyeri kepala harus mengetahui tekanan darahnya.
Minum obat sakit kepala tanpa menurunkan tekanan darah dapat
berbahaya, karena 'hipertensi' merupakan ancaman bagi terjadinya
kerusakan organ target hipertensi (ginjal, otak, jantung dan
pembuluh darah).
2) Nyeri kepala SAH (Subarachnoid Hemorhage)
Nyeri kepala terjadi mendadak, seluruh kepala, hebat, disertai
muntah proyektil dan kadang – kadang kesadaran menurun dan
pada pemeriksaan neurologis didapatkan tanda–tanda rangsangan
meningeal.
d) Nyeri Kepala Yang Berkaitan Dengan Kelainan Non Vaskuler
Intrakranial
Nyeri kepala karena peningkatan tekanan intrakranial atau
hidrosefalus yang disebabkan oleh tumor otak. Berdasarkan lokasinya,
tumor otak dapat terjadi supratentorial atau infratentorial. Supratentorial
menunjukan gejala nyeri kepala, kelumpuhan, kejang, sedangkan tumor
infratentorial sering menunjukan gejala saraf otak dan gejala serebelum.
Analisa terhadap 200 anak dengan tumor otak menunjukan gejala sakit
kepala (41%), muntah (12%) , ketidak-seimbangan (11%), gangguan
visual (10%), gangguan prilaku (10%), dan kejang (9%). Nyeri kepala
karena tumor otak biasanya tidak berdenyut, bersifat progresif yaitu
makin lama makin sering dan makin berat. Seringkali disertai muntah.
16
Lokasinya sering menetap disuatu daerah. Nyeri sering terjadi pada saat
bangun tidur pagi hari, dan diperburuk oleh maneuver valsa berupa
batuk, bersin atau mengejan. Nyeri juga diperburuk dengan aktivitas
fisik.
e) Nyeri kepala yang berkaitan dengan substansi atau withdrawalnya
Nyeri kepala juga bisa terjadi karena terlalu lama (lebih dari 15
hari) minum obat sakit kepala, kemudian ketika 'putus obat' malah
menimbulkan keluhan nyeri kepala.
f) Nyeri kepala yang berkaitan dengan infeksi
1) Nyeri kepala karena infeksi susunan saraf pusat terutama
meningitis
Pada meningitis bakterialis, nyeri kepala ditandai gejala infeksi,
gejala rangsang meningeal dan gejala serebral berupa kejang atau
kelumpuhan. Meningitis tuberkulosa dapat menunjukkan gejala
nyeri kepala berat sebelum munculnya gejala serebral lain dan
gejala rangsang meningeal. Berbeda dengan peninggian tekanan
intrakranial lain, pada meningitis tuberkulosa sering ditemukan
atrofi papil N. II karena saraf otak ke II terkena langsung. Gejala
abses otak mirip dengan tumor otak ditambah gejala infeksi.
2) Nyeri Kepala Pada Arthritis Servikal
Nyeri kepala disertai nyeri leher dan timbul dalam mengerakan
kepala.
3) Nyeri Kepala Pada Abses Otak
Nyeri baru dirasakan, hilang-timbul, bersifat ringan sampai berat,
dirasakan di satu titik atau di seluruh kepala Sebelumnya penderita
mengalami infeksi telinga, sinus atau paru-paru atau penyakit
jantung rematik atau penyakit jantung bawaan.
g) Nyeri kepala atau nyeri vaskuler berkaitan dengan kelainan
17
kranium, leher, mata, telinga, hidung, gigi, mulut, atau struktur
facial atau kranial lainnya.
1) Nyeri kepala karena sakit gigi
Keluhan sakit gigi (nyeri gigi) dapat disebabkan karena berbagai
penyakit pada gigi sehingga kelainan / penyakit pada gigi perlu
dicari dan diatasi oleh dokter gigi.
2) Nyeri kepala pada Hidung
i. Sinusitis
Nyeri kepala ringan hingga berat dirasakan di daerah muka, pipi
atau dahi, biasanya disertai juga dengan keluhan 'THT' (telinga,
hidung dan tenggorakan) yang lain, misalnya berdahak, hidung
mampet, hidung meler dan lain-lain.
ii. Rhinitis
Nyeri kepala dan gangguan hidung (hidung tersumbat, rinore, rasa
sesak atau terbakar) berulang, diakibatkan bendungan dan edema
membran mukosa hidung. Nyeri kepala terutama pada bagian
anterior, ringan sampai sedang dalam intensitasnya. Penyakit ini
biasanya merupakan bagian dari reaksi individu selama stress.
Seringkali disebut ‘rinitis vasomotor’.
3) Nyeri kepala pada kelainan mata
Kelainan mata seperti Iritis, glaukoma dan gangguan retina,
dapat menimbulkan nyeri kepala dan bagian sekitarnya. Mata dapat
tampak memerah atau disertai dengan gangguan penglihatan.
h) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan psikiatrik
Nyeri Kepala Karena Waham, Keadaan Konversi Atau
hipokondria. Nyeri kepala pada penyakit-penyakit ini dimana gangguan
klinis umum berupa suatu reaksi waham atau konversi dan tidak
ditemukan suatu mekanisme nyeri prefer. Yang juga erat kaitannya
adalah reaksi hipokondri, dimana gangguan perifer sehubungan dengan
nyeri kepala adalah minimal. Penyakit-penyakit ini disebut juga nyeri
kepala‘psikogenik’
18
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang disarankan menurut Basuki Pramana (2007) adalah:
a) Foto Rontgen terhadap tengkorak
b) Pemeriksaan kadar Lemak darah (kolesterol, Trigliuseride HDL dan
LDL)
c) Kadar Hemoglobin darah ( Hb ) dll pemeriksaan
Lebih lanjut menurut Arif Mansjoer, dkk, (2000) pemeriksaan khusus pada
cephalgia meliputi palpasi pada tengkorak untuk mencari kelainan bentuk,
nyeri tekan dan benjolan. Palpasi pada otot untuk mengetahui tonus dan
nyeri tekan daerah tengkuk. Perabaan arteri temporalis superfisialis dan
arteri karotis komunis. Pemeriksaan leher, mata, hidung, tenggorok,
telingan, mulut dan gigi geligi perlu dilakukan. Pemeriksaan neurologis
lengkap, ditekankan pada fungsi saraf otak termasuk funduskopi, fungsi
motorik, sensorik serta koordinasi.
Beberapa nyeri kepala menunjukkan tanda bahaya dan memerlukan
evaluasi penunjang adalah:
1) Nyeri kepala hebat pertama kali yang timbul mendadak
2) Nyeri kepala yang paling berat yang pernah dialami
3) Nyeri kepala yang berat progresif selama beberapa hari atau minggu
4) Nyeri kepala yang timbul bila latihan fisik, batuk, bersin, membungkuk
atau nafsu seksual meningkat
5) Nyeri kepala yang disertai penyakit umum atau demam, mual, muntah
atau kaku kuduk
6) Nyeri kepala yang disertai gejala neurologis seperti afasia, koordinasi
buruk, kelemahan fokal atau rasa baal, mengantuk, fungsi intelek
menurun, perubahan kepribadian dan penurunan visus.
Pemeriksaan penunjang tersebut antara lain:
1) CT-Scan atau resonansi magnetik (MRI) otak hanya dilakukan pada
nyeri kepala yang menunjukkan kemungkinan penyakit intrakranial,
seperti tumor, perdarahan subaraknoid, AVM, dll.
19
2) Elektroensefalogram dilakukan bila ada riwayat kejang, kesadaran
menurun, trauma kepala atau presinkop.
3) Foto sinus paranasal untuk melihat adanya sinusitis dan foto servikal
untuk menetukan adanya spondiloartrosis dan fraktur servikal.
M. LIMFOMA NON-HODGKIN
1. Definisi
Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner
limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sangat jarang
berasal dari sel NK ("natural killer") yang berada dalam sistem lirnfe;
yang sangat heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis,
respon terhadap pengobatan, maupun prognosis1.
Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau non-Hodgkin Lymphomas
merupakan penyakit yang sangat heterogen dilihat dari segi patologi dan
klinisnya. Penyebarannya juga tidak seteratur penyakit Hodgkin serta
bentuk ekstra-nodal jauh lebih sering dijumpai3.
2. Epidemiologi
Limfoma maligna merupakan salah satu kanker yang dapat
disembuhkan dengan kemoterapi atau dengan kombinasi radioterapi.
Insiden penyakit ini khususnya LNH terlihat terus mengalami
peningkatan sekitar 3,4% setiap tahunnya. The American Cancer Society
memperkirakan terdapat 65.980 kasus baru setiap tahun dan 19.500 di
antaranya meninggal dunia akibat LNH pada tahun 2009.
Di Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak,
bahkan Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik
Penyakit Dalam Indonesia (BAKORNAS HOMPEDIN) menyatakan,
insiden Limfoma lebih tinggi dari leukemia dan menduduki peringkat
ketiga kanker yang tumbuh paling cepat setelah melanoma dan paru2.
3. Etiologi dan Faktor Risiko
20
Etiologi terjadinya sebagian besar LNH sampai saat ini belum
diketahui. Ada beberapa faktor risiko terjadinya LNH yaitu1,3,4:
a. Imunodefisiensi: diketahui sekitar 25% kelainan herediter langka yang
berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah severe
combined immunodeficiency, hypogamma globulinemia, common
variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-
telangiectasia. Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan
tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Barr virus
(EBV) dan jenisnyaberagam, mulai dari hiperplasia poliklonal sel B
hingga limfoma monokional.
b. Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada95% limfoma Burkit
endemik, dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkit sporadik.
Karena tidak pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan EBV,
hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkit
belum diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal
EBV dan faktor lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor
yang terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko terjadinya kerusakan
genetik. EBV juga dihubungkan dengan posttranspIant
lymphoproIifer ative disorders (PTLDs) dan AIDS-associat ed
lymphomas.
Selain EBV DNA, HTLV-1 juga merupakan agen penyebab
leukimia/limfoma sel T dewasa/ imunodefisiensi (herediter atau
didapat) yang merupakan faktor pencetus untuk terjadinya limfoma
sel B. Pada sindrom defisiensi imun didapat (AIDS) terdapat
peningkatan insidensi limfoma di tempat-tempat yang tidak umum,
misalnya di sistem saraf pusat. Limfoma tersebut biasanya berasal dari
sel B dan secara histologi berderajat tinggi atau sedang.
Enteropati yang diinduksi gluten serta limfadenopati
angioimunoblastik merupakan faktor pemcetus terjadinya limfoma sel
T, dan beberapa limfoma jaringan limfoid yang terkait dengan mukosa
(mucosa-assosiated lymphoid tissue, MALT) di lambung, faktor
21
pencetusnya dikaitkan dengan infeksi Helicobacter. Infeksi hepatitis
C juga telah diajukan sebagai faktor risiko terjadinya limoma non-
Hodgkin.
c. Paparan Lingkungan dan Pekerjaan: Beberapa pekerjaan yang sering
dihubungkan dengan risiko tinggi adalah petemak sefta pekerja hutan
dan peftanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan
pelarut organik.
d. Diet dan Paparan Lainnya: risiko LNH meningkat pada orang yang
mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok. dan yang
terkena paparan ultraviolet.
4. Klasifikasi dan Histopatologik
Klasifikasi histopatologik merupakan topik yang paling
membingungkan dalam studi limfoma maligna karena perkembangan
klasifikasi ini demikian cepat dan dijumpai berbagai jenis klasifikasi yang
satu sama lain tidak kompatibel. Pada tahun 1994 telah dikeluarkan
klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) dan
diterapkan secara luas. Klasifikasi REAL/WHO mencakup semua
keganasan limfoid dan limfoma dan lebih berdasarkan klinis
dibandingkan dengan skema-skema klasifikasi sebelumnya. Secara umum
terjadi pergeseran pembagian limfoma yang awalnya hanya berdasarkan
penampilan histologik menjadi lebih ke arah sindrom dengan gambaran
morfologik, imunofenotipe, genetik, dan klinis yang khas. Klasifikasi ini
juga berguna untuk mempertimbangkan kemungkinan asal keganasan
masing-masing limfoid berdasarkan fenotipe dan status penataan ulang
imunoglobulinnya3.
Tabel 1. Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) untuk neoplasma limfoid
Sel B (85%) Sel T dan sel NK (15%)
22
Neoplasma prekursor sel B Limfoma/leukimia limfoblastik
prekursor B (ALL-B/LBL)
Neoplasma sel B matur (perifer) Leukimia limfositik kronik sel
B/ Limfoma limfositik kecil Leukimia prolimfositik sel B Limfoma limfoplasmasitik Limfoma sel B zona marginal
limpa (limfosit vilosa) Leukimia sel berambut Myeloma sel plasma/
plasmasitoma
Limfoma sel B zona marginal ekstranodal tipe MALT
Limfoma sel mantel Limfoma folikular Limfoma sel B zona marginal
nodal Limfoma sel B besar difus Limfoma Burkitt
Neoplasma prekursor sel T Limfoma/leukimia limfoblastik
prekursor T (ALL-T/LBL)
Neoplasma sel T matur (perifer) Leukimia prolimfositik sel T Leukimia limfositik granular sel T Leukimia sel NK agresif Leukimia/Limfoma sel T dewasa
(HTLV-1)
Limfoma sel T/NK ekstranodal, tipe nasal
Limfoma sel T jenis enteropati Mycosis fungoides/ sindrom
Sezary Limfoma sel besar anaplastik, tipe
kutaneus primer
Limfoma sel T perifer, tidak dispesifikasi
Limfoma sel T angioimunoblastik Limfoma sel besar anaplastik, tipe
sistemik primer
5. Patogenesis Limfoma Non Hodgkin
Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas.
Perkembangan limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak
tergantung antigen (antigent independent) dan tahap yang tergantung
anrigent (antigent dependent).
Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B,
kemudian menjadi sel B imatur dan sel B matur, yang beredar dalam
sirkulasi, dikenal sebagai naive B-cell. Apabila sel B terkena rangsangan
antigen, maka proses perkembangan akan masuk tahap 2 yang terjadi
dalam berbagai kopartemen folikel kelenjar getah bening, dimana terjadi
immunoglobuline gene rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel
23
plasma yang akan pulang kembali ke sumsum tulang.
Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan
tubuh seperti sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi
suatu sel yang disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses
proliferasi ini berlangsung secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini
disebabkan akibat terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi
berlebihan ini menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal,
ukurannya membesar, kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya
terlihat, dan protein permukaan selnya mengalami perubahan.
Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell
dapat langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian
menjadi sel plasma. Sebagian besar naiv B cell dapat langsung mengalami
transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma.
Sebagian besar naiv B cell mengalami transformasi melalui mantle cell,
follicular B-blast, centroblast, centrocyte, monocyte B cell dan sel plasma.
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan
akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel
limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi
imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Proses ini terjadi
di dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada dlluar
"centrum germinativum" sedangkan imunoblast berada di bagian paling
sentral dari "centrum germinativum" Beberapa perubahan yang terjadi
pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin besar; 2). Kromatin inti
menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein permukaan sel
mengalami perubahan reseptor1.
Penataan ulang kromosom yang salah merupakan mekanisme
mutasi yang penting terhadap LNH sel B. Memahami mekanisme dasar
yang berkontribusi terhadap proses ini relevan dengan pembahasan
epidemiologi saat ini. Sedikit yang diketahui tentang agen yang
mempengaruhi penyusunan ulang kromosom abnormal, namun pada
pertemuan ini Kirschhas telah memberikan bukti bahwa paparan kerja
24
pestisida dapat meningkatkan laju pembentukan rekombinasi yang salah
[misalnya, inv (7) PL3, Q35)] antara gen reseptor sel T. Sementara inversi
ini tidak terkait dengan aktivasi onkogen, ini menunjukkan bahwa faktor-
faktor eksogen dapat mempengaruhi proses rekombinasi dalam sel. telah
dijelaskan penyusunan ulang kromosom, termasuk translokasi stabil dalam
aplikator fumigan (pengasapan) terpajan fosfin9. Gen Ig di B-sel (dan T-sel
reaktivitas gen dalam sel-T) mengalami perubahan struktural yang luas
selama perkembangan normal. Ada dua proses penataan ulang terpisah: V-
(D)-J penyusunan ulang yang terjadi selama tahap pro-B/pre-B awal dan
berat rantai isotipe beralih yang terjadi di matang perifer B-sel. Dalam
setiap proses DNA rusak dan bergabung kembali, enzim yang berbeda
mungkin terlibat dalam kedua proses. V-(D)-J gen menata ulang langkah
melibatkan gen Ig dalam tiga lokus kromosom yang berbeda: DHJH,
VH DHJH pada kromosome (chr) 14; VKJK pada kromosom 2, dan
V λJλ pada kromosom 229.
Disamping itu, BCL-6 represor transkripsi yang sering mengalami
translokasi dalam limfoma, mengatur deferensiasi germinal center sel B
dan peradangan. Skrining mikroangiopati DNA mengidentifikasi gen-gen
yang ditekan oleh BCL-6, termasuk banyak gen aktivasi limfosit,
menunjukkan bahwa BCL-6 memodulasi sinyal reseptor sel B. BCL-6
represi dari dua gen kemokin, MIP-1alpha dan IP-10, juga mungkin
meminimalkan respon inflamasi. Blimp-1, BCL-6 target lain, sangant
penting untuk diferensiasi plasmacytic. Sejak ekspresi BCL-6 tidak ada
dalam sel plasma, represi balon-1 oleh BCL-6 dapat mengontrol
diferensiasi plasmacytic. Memang, penghambatan BCL-6 fungsi
melakukan perubahan indikasi diferensiasi plasmacytic, termasuk
penurunan ekspresi c-Myc dan peningkatan ekspresi siklus inhibitor
p27KIP1 sel. Data ini menunjukkan bahwa transformasi maligna oleh
BCL-6 melibatkan penghambatan diferensiasi dan penigkatan
proliferasi10,11.
Selain mutasi gen, penuaan mungkin merupakan faktor penting
25
dalam patogenesis Kelompok I LNH sel B, karena tumor ini terjadi
terutama di kelompok usia yang lebih tua, dan peningkatan angka kejadian
dalam setiap kelompok usia lebih dari 55 tahun. Penjelasan biologis
bagaimana penuaan berpengaruh terhadap limfoma genesis belum
dipahami dengan baik. Efek penuaan pada sistem kekebalan tubuh telah
dipelajari selama beberapa tahun. Konsep bahwa penuaan adalah keadaan
imunodefisiensi mungkin peryataan yang terlalu umum. Pada pemeriksaan
sumsum tulang ditemukan Clonotypes baru. Hasil yang didapatkan oleh
peneliti sebelumnya yaitu adanya disregulasi dari sistem kekebalan tubuh.
Pertama, diketahui bahwa timus berinvolusi sehingga sel T bergantung
lebih banyak pada kolam perifer. Selain itu, proliferasi sel T dan produksi
IL-2 mengalami penurunan. Sel T autoreaktif muncul dengan
bertambahnya usia. Dalam garis keturunan sel B respon humoral terhadap
antigen asing menurun sementara produksi antibodi autoreaktif meningkat.
Perubahan dalam repertoar B-sel pada tikus terjadi dengan penuaan yang
mungkin berubah yaitu gen V, D,dan J. sel B manusia dari individu yang
berusia tua mengalami proliferasi 50% kurang efisien dibandingkan dari
usia muda, perbedaan ini mungkin karena gangguan dalam komponen
jalur transduksi sinyal tertentu dalam sel-B. Penuaan juga berhubungan
dengan ketidakseimbangan dalam T-dan B-repertoar. Pengaturan ukuran
dan aktifitas proliferasi clonotypes B-sel tertentu pada orang tua mungkin
kurang dikontrol dengan baik karena perubahan dalam kompartemen sel-
T. Ini ditambah dengan peningkatan frekuensi autoreaktif clonotypes,
dapat menghasilkan populasi B-sel yang kurang patuh pada peraturan oleh
sel T, sehingga meningkatan risiko untuk mengalami pertumbuhan
otonom9.
Selain itu LNH sel B memiliki hubungan dengan keadaan
immunodeficiency, yang paling sering adalah oligoclonal atau poliklonal,
dan ini telah mengangkat isu bahwa beberapa limfoma ini lebih kepada
lymphoproliferative daripada gangguan neoplastik. Banyak limfoma
timbul dalam berbagai bentuk immunodeficiency seperti EBV+,
26
menunjukkan peran partisipatif gen EBV dalam proses lymphomagenic.
Mekanisme dasar untuk limfomagenesis pada immunodeficiency diduga
melibatkan gangguan pengawasan imunologi dan kemampuan sel-T untuk
menghilangkan sel-sel mengekspresikan antigen permukaan sel atipikal.
Dalam sel B virus dipertahankan sebagai plasmid dalam sitoplasma sel
yang beristirahat, sehingga sejumlah besar sel B terinfeksi. Kondisi ini
akan mempengaruhi pertumbuhan sel B menjadi sel ganas. Sel B yang
baru terinfeksi (nonneoplastic) dan baris sel lymphoblastoid yang
dibiakkan dari darah orang yang terinfeksi terus-menerus
mengekspresikan beberapa protein virus EBNAs 1, 2a, 3a, 3b, 3c dan
EBNA-LP, LMP1, 2A, 2B tapi menghasilkan sangat sedikit virus. Protein
membran merupaka target antigen untuk sitotoksik T-sel9.
Sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap
rnempertahankan sifat "dasar"nya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua
tetap mempertahankan sifat mudah masuk aliran darah namun dengan
tingkat mitosis yang rendah, sedangkan sel kanker dari imunobias amat
jarang masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat mitosis yang
tinggi1.
6. Klasifikasi Limfoma Non-Hodgkin
Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-
sel pada suatu tipe LNH dengan limfosit normal dalam berbagai
kompartemen diferensiasi. Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan
dengan kemampuan patologis serta fasilitas yang tersedia. Dua jenis
klasifikasi yang paling umum dipakai adalah klasifikasi Kiel dan Working
formulation. Dibawah ini di uraikan klasifikasi Rappaport yang
merupakan awal klasifikasi LNH modern, Working formulation, serta
klasifikasi terbaru REAL3,4.
Tabel 2. Klasifikasi Rappaport
1. Lymphocytic, poorly differentiateda. Nodular (NLPD)
27
b. Diffuse (DLPD)2. Lymphocytic, well differentiated
a. Diffuse (DLWD)3. Mixed lymphocytic histiocytic
a. Nodular (NMLH)b. Diffuse (DMLH)
4. Undifferentiateda. Diffuse (DU)
Burkitt type Non-Burkitt (lymphoblastic) type
Klasifikasi Rappaport memakai dasar bentuk morfologik, makin
mendekati bentuk limfosit kecil dianggap sel yang berdiferensiasi baik,
sedangkan sel yang lebih besar dianggap berdiferensiasi tidak baik.
Sehubungan dengan itu, dilihat susunan sel, apakah noduler, atau difus.
Klasifikasi Kiel
Klasifikasi Kiel membagi LNH menjadi 2 golongan besar, yaitu:
a. LNH dengan derajat keganasan rendah
b. LNH dengan derajat keganasan tinggi
Klasifikasi Kiel sudah menyesuaikan dengan kompartemen dari
kelenjar getah bening, serta membedakan asal sel, apakah dari limfosit B
atau limfosit T
Tabel 3. Klasifikasi KielSel BLow grade malignancyLymphocyticLymphoplasmacyticPlasmacyticCentroblastic/centrocyticFollicularDiffuseCentrocytic
High grade malignancyCentroblasticImmunoblasticLarge cell anaplastic (Ki-1+)
Sel THigh grade malignancyLymphocyticSmall cerebriform cellMycosis funguidesSezary’s syndromeLymphoepitheloid (Lenner’s lymphomas)Angioimmunoblastic T zonePleomorphic small cell
High grade malignancyPleomorphic medium and large cellImmunoblasticLarge cell anaplastic (Ki-1+)
28
Burkitt’s lymphomaLymphoblastic
Rare types
LymphoblasticRare types
Perumusan Praktis untuk Penggunaan Klinis
Perumusan praktis untuk penggunaan klinik (working formulation
for clinical usage) merupakan klasifikasi yang banyak dipakai. Sebetulnya
klasifikasi ini merupakan jembatan antar berbagai klasifikasi yang ada.
Klasifikasi yang baru dibuat berdasarkan perkembangan limfosit
yang dengan demikian dapat dihubungkan dengan letak sel pada
kompartemen kelenjar getah bening normal. Maka secara umum klasifikasi
limfoma berasal dari sel B adalah:
1. Precursor B-cell lymphoma
Limfoma dianggap berasal dari limfoblast. Dapat terjadi dalam bentuk
leukemia ataupun limfoma, yang keduanya identik atau disebut
lymphoblastic leukemia/lymphoma.
2. LNH yang berasal dari naive B-cell
LNH ini disebut sebagai small lymphocytic lymphoma (SLL) yang
identik dengan bentuk chronic lymphocytic leukemia (CLL).
3. LNH berasal dari germinal center dari suatu folikel limfoid. LNH dari
germinal center dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
a. Follicular lymphoma: terdiri dari sel yang sangat mirip dengan sel
dari germinal center normal. LNH jenis ini biasanya bersifat indolen,
tetapi incurable. Follicular lympoma sering disertai translokasi
kromosom 14 dan 18 {t(14;18)} yang menyebabkan juxtaposisi bcl-
2 gene yang mengatur apoptosis dengan Ig heavy chain gene.
b. Large cell lymphoma: terdiri dari sel-sel besar yang terdapat dalam
folikel normal (centroblast). Jenis ini sering bersifat difus karena itu
disebut sebagai diffuse large cell lymphoma. LNH jenis ini bersifat
agresif, tetapi sangat responsif terhadap kemoterapi.
4. LNH yang berasal dari mantle zone
29
LNH jenis ini disebut sebagai mantle zone lymphoma. Secara
imunofenotipe mirip dengan SLL, tetapi menunjukkan CD5 positif.
Perjalanan klinis slowly progressive dan incurable dengan standard
chemotherapy.
5. LNH yang berasal dari marginal zone atau parafollicular
Termasuk dalam golongan ini adalah: B-cell monocytoid lymphoma,
low-grade mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma dan
splenic marginal zone lymphoma. Terdiri dari sel-sel limfosit kecil yang
menempati zone marginal atau prafolikuler dari folikel limfoid normal.
7. Gambaran Klinis Limfoma Non-Hodgkin
a. Gejala klinik limfoma non-hodgkin
1. Limfadenopati superfisial. Sebagian besar pasien datang dengan
pembesaran kelenjar getah bening asimetris yang tidak nyeri pada
satu atau lebih regio kelenjar getah bening perifer.
2. Gejal konstutisional. Demam, keringat pada malam hari, dan
penurunan berat badan lebih jarang terjadi pada penyakit Hodgkin.
Dapat terjadi anemia dan infeksi dengan jenis yang ditemukan pada
penyakin Hodgkin
3. Gangguan orofaring. Pada 5-10% pasein, terdapat penyakit di
struktur orofaringeal (cincin Waldeyer) yang dapat menyebabkan
timbulnya keluhan sakit tenggorok atau nafas berbunyi atau
tersumbat.
4. Anemia, netropenia dengan infeksi, atau trombositopeni dengan
purpura merupakan gambaran pada penderita penyakit sumsum
tulang difus. Sitpenia juga dapat disebabkan oleh autoimun.
5. Penyakit abdomen. Hati dan limpa seringkali membesar dan
kelenjar getah bening retroperitonela atau mesentrika sering
terkena. Saluran gastrointestinal adalah lokasi ekstranodal yang
paling sering terkena setelah sumsum tulang, dan pasien bisa
datang gejala nyeri abdomen akut.
30
6. Gejala pada organ lain. kulit, otak, testis, atau tiroid sering terkena.
Kulit juga secara primer terkena pada dua jenis limfoma sel T yang
tidak umum dan terkait erat: mikosis fungoides dan sindrom
Sezary.
b. Kelainan Hematologi
Pada pemeriksaan hematologi seorang LNH dapat dijumpai kondisi
sebagai berikut:
1. Biasanya ditemukan anemia normositik normokrom, tetapi hemolitik
autoimun juga dapat terjadi3.
2. Pada penyakit lanjut yang disertai dengan keterlibatan sumsum tulang,
mungkin terdapat netropenia, trombositopenia (khususnya jika limpa
membesar), atau gambaran leukoeritroblastik.
3. Dapat dijumpa sel sel limfoma (misalnya sel zona selubung, sel
limfoma folikuler berbelah, atau blast) dengan kelainan inti yang
bervariasi, dapat ditemukan dalam darah tepi beberapa pasien.
4. Biopsi trephin sumsum tulang menunjukkan lesi fokal pada 20%
kasus. keterlibatan sumsum tulang lebih sering ditemukan pada
limfoma maligna derajat rendah. Pada pemeriksaan petanda
imunologik dengan teknik fluorensi atau peroksidase dapat
mendeteksi keterlibatan minimal (misalnya suatu populasi klonal sel B
yang terbatas) yang mudah dikenali dengan mikroskop konvensional7.
c. Petanda imunologik
Pemeriksaan petanda imunologik (immunological marker) untuk
melihat ekspresi antigen pada permukaan sel sangat penting untuk
menentukan jenis sel (sel B atau sel T) serta tingkat perkembangannya.
Antigen diferensiasi kelompok yang berguna dalam penegakan
diagnosis limfoma dapat dilihat pada tabel.
Tabel 4. Antigen diferensiasi kelompok (cluster differentiation, CD)
Sel T Sel B Petanda aktivasi Antigen umum leokosit
CD2CD3
CD19CD20
CD23CD25
CD45
31
CD5CD7
Subset sel TCD4CD8
CD22CD24
Sel B langkaCD5
CD30
Berbagai subtipe limfoma non-hodgkin dikaitkan dengan translokasi
kromosom khas yang mempunyai nilai diagnostik dan prognostik.
Kalainan yang sangat khas adalah t(8;4) pada limfoma Butkitt, t(14;18)
pada limfoma folikular, t(11;14) pada limfoma sel selubung, t(2;5) pada
sel besar anaplastik.
d. Kimia Darah
Dapat terjadi peningkatan asam urat serum. Uji fungsi hati yang
abnormal mengesankan adanya penyakit diseminata. Kadar LDH serum
meningkat pada penyakit yang lebih cepat berproliferasi dan kuas serta
dapat digunakan sebagai suatu petanda prognostik.
9. Stadium Penyakit
Penentuan stadium didasarkan pada jenis patologi dan tingkat
keterlibatan. Jenis patologi (tingkat rendah, sedang atau tinggi)
didasarkan pada formulasi kerjayang baru. Tingkat keterlibatan
ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor.
a. Formulasi kerja yang baru5
Tingkat rendah:
1. Limfositik kecil
2. Sel folikulas, kecil berbelah
3. Sel folikulas dan campuran sel besar dan kecil berbelah
Tingkat sedang:
1. Sel folikulis, besar
2. Sel kecil berbelah, difus
3. Sel campuran besar dan kecil, difus
4. Sel besar, difus
32
Tingkat tinggi:
1. Sel besar imunublastik
2. Limfoblastik
3. Sel kecil tak berbelah
b. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor1
Stadium I:
Keterlibatan satu daerah kelenjar getah bening (I) atau keterlibatan satu
organ atau satu tempat ekstralimfatik(IIE)
Stadium II:
Keterlibatan 2 daerah kelenjar getah bening atau lebih pada sisi diafragma
yang sama. II2: pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi diafragma. II3:
pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi diafragma. IIE: pembesaran 1 regio
atau lebih KGB dalam 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra limfatik tidak
difus / batas tegas.
Stadium III:
Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua did diafragma (III),
yang juga dapat disertai dengan keterlibatan lokal pada organ atau tempat
ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya (IIIE+S)
Stadium IV:
Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus.
10. Diagnosis
a. Anamnesis
Umum:
Pemebesaran kelenjar getah bening dan malaise umum
- Berat badan menurun 10% dalam waktu 6 bulan
- Demam tinggi 380C 1 minggu tanpa sebab
- Keringan malam
Keluhan anemia
Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring)
Penggunaan obat (Diphantoine)
33
Khusus:
Penyakit autoimun
Kelainan darah
Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis)
b. Pemeriksaan Fisik
PembesaranKGB
Kelainan/pembesaran organ
Performace status: ECOG atau WHO/Kamofsky
c. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Rutin
Hematologi:
- Darah perifer lengkap
- Gambaran darah tepi
Urinalisa:
- Urin lengkap
Kimia klinik:
- SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam
urat.
- Alkali fosfatase
- Gula darah puasa dan 2 jam pp
- Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P
Khusus
- Gamma GT
- Cholinesterase (CHE)
- LDH/fraksi
- Serum Protein Elektroforesis (SPE)
- Imuno Elektroforese (IEP)
- Tes coombs
- B2 Mikroglobulin
b. Biopsi
34
Biopsi KGB dilakukan hanya I kelenjar yang paling
representatif, superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenj ar
perifer/superfi sial yang representatif, maka tidak perlu biopsi
intra abdominal atau intratorakal. Spesimen kelenjar diperiksa:
- Rutin
Histopatologi: REAL-WHO dan Working
Formulation
- Khusus
Imunoglobulin permukaan dan Histo/sitokimia
Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi.
FNAB dilalrukan atas indikasi tertentu.
Tidak diperlukan penentuan stadium laparatomi.
c. Aspirasi sumsum tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2
sisi spina iliaca dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm.
d. Radiologi
Rutin:
- Toraks foto PA dan lateral
- CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah)
Khusus:
- CT scan toraks
- USGAbdomen
- Limfografi,limfosintigrafi
e. Cairan tubuh lain: cakan pleura, asites, cairan serebrospinal j ika
dilakukan punksi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, di
samping pemeriksaan rutin lainnya.
f. Immunophenotyping: Parafinpanel: CD 20, CD 3.
Diagnosis LNH harus ditegakkan dari pemeriksaan histologi biopsi
seksisi kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal. Pemeriksaan dari
hasil aspirasi jarum tidak memadai untuk diagnosis komfirmatif.
Dilakukan klasifikasi histopatologik menurtu klasifikasi yang lazim
35
dipakai (di Indonesia umumnya gabungan working formulation dan Kiel).
Kemudian dilakukan prosedur penderajatan penyakit sehingga derajat
penyakit dapat ditentukan.
11. Penatalaksanaan
Terapi untuk LNH terdiri atas terapi spesifik untuk membasmi sel
limfoma dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita
atau untuk menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi.
Terapi spesifik untuk LNH dapat diberikan dalam bentuk berikut:
1. Radioterapi
a. Untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I)
b. Untuk ajuvan pada bulky disease
c. Untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut
2. Kemoterapi
a. Kemoterapi tunggal (singel agent)
Chlorambucil atau siklofosfamid untuk LNH derajat keganasan
rendah
b. Kemoterapi kombinasi dibagi menjadi 3, yaitu:
i. Kemoterapi kombinasi generasi I terdiri atas:
CHOP (cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine,
prednison)
CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + bleomycine)
COMLA (cyclophosphamide, vincristine, methotrexate with
leucovorin rescue)
CVP/COP (cyclophosphamide, vincristine, prednison)
C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,
prednison, procarbazine)
ii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
COP-Blam (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,
prednison, bleomycin, doxorubicine, procarbazine).
36
Pro-MACE-MOPP (prednison, methotrexate with leucovorin
rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide,
mechlorethamine, vincristine, procarbazine).
M-BACOD (methotrexate with leucovorin rescue, bleomycin,
doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, dexamethasone).
iii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
COPBLAM III (cyclophosphamide, infusional vincristine,
prednison, infusional bleomycin, doxorubicine, procarbazine).
ProMACE-CytaBOM (prednison, methotrexate with
leucovorin rescue, doxorubicine, doxorubicine,
cyclophosphamide, etoposide, cytarabine, bleomycin,
vincristine, methotrexate with leucovorin rescue).
MACOP-B (methotrexate with leucovorin rescue,
doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, prednison,
bleomycin).
Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi kombinasi
CHOP terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi lain.
penambahan jenis kemoterapi ataupun lama pemberian tidak menambah
angka kesembuhan. Oleh karena itu, kemoterapi generasi kedua dan ketiga
jarang digunakan. (hemato merah).
1. Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan
terapi baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka panajang.
2. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem
cell transplantasi.
3. Terapi dengan imunomodulator
Terapi dengan interferon diberikan untuk indolent lymphoma,
dikombinasikan dengan kemoterpai atau diberikan setelah kemoterapi
untuk memperpanjang masa remisi. Tetapi hasilnya sampai sekarang
masih kontroversial.
4. Targeted therapy
37
Antibodi monoklonal: rituximab suatu chimeric monoclonal antibody
ditujukan untuk antigen CD20 yang diekspresikan oleh semua sel limfosit
B. Pemberian rituximab intravena setiap minggu selama 4 minggu
memberikan remisi parsial pada 50% LNH indolen. Sekaran gcenderung
digabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada LNH
agresif.
Regimen kemoterapi yang paling umum dipakai adalah CHOP:
1. Cyclophosphamide 750 mg/m2 i.v. hari 1
2. Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mg/m2 i.v. hari 1
3. Oncovin (vincristine) 2 mg/m2 i.v. hari 1 dan 5
Siklus diulangi setiap 3 minggu, sampai terjadi remisi komplit,
kemudian ditambah 2 siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak terjadi
remisi komplit, sebaiknya diganti regimen lain. Data terbaru menunjukkan
bahwa penambahan anti-CD20 (Rituximab) pada terapi CHOP
memperbaiki tingkat remisi DLCL8.
12. Prognosis
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik yaitu Indolent
Lymphoma dan Agresif Lymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis
yang relatif baik, dengan median survival I 0 tahun, tetapi biasanya tidak
dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah
noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah
yang lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan
dengan kemoterapi kombinasi intensif. Risiko kambuh lebih tinggi pada
pasien dengan gambaran histologis "divergen" baik pada kelompok Indolen
maupun Agresif.
International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk memprediksi
outcome pasien dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi
regimen kombinasi yang mengandung Antrasiklin, namun dapat pula
digunakan pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang
mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum LDH, status performans,
38
stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra nodal.
Setiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga
abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor
yang didapat arfiara 0-5. Pada pasien usia <60 “ (age adjusted lPl), indeks
yang digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi faktor stadium
anatomis, serum LDH, dan status “performance”, tanpa status ekstra nodal.
Gambar 1. Indeks Prognostil Pasien LNH
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V
N. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Sabtu, 1 Desember 2018 pukul 15.15 di
bangsal Dahlia.
Status generalisata
a) Keadaan umum : Tampak sakit
b) Kesadaran : Composmentis / GCS = E4M6V5= 15
c) VAS : 7 dari 10
d) Vital sign
TD : 90/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 19 x/menit
39
Suhu : 36,40 C (axiller)
SpO2 : 99%
e) Status internus
1) Kepala : Kesan mesocephal, tidak ada kelainan
2) Mata :
OD = pupil bulat ø 3mm, reflek direk (+), reflek
indirek (+), reflek kornea (+), Ptosis (-),
Eksoftalmus (-)
OS = pupil bulat ø 3mm, reflek direk (+), reflek
indirek (+), reflek kornea (+), Ptosis (-),
Eksoftalmus (-)
3) Hidung : Rhinorea (-)
4) Wajah : Simetris, nyeri tekan maxillaris (-)
5) Mulut : Mukosa tidak hiperemis (-)
6) Gigi : gigi karies (-)
7) Telinga : Otorhea (-), tinitus (-)
8) Leher : Nyeri tekan trakea (-), pembesaran limfonodi (-/-),
Pembesaran
9) Thorax
Pulmo
Dextra Sinistra
Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada
Retraksi ICS
Hemithorak
2. Palpasi
Nyeri tekan
Ekspansi dada
Taktil fremitus
AP < L
(-)
Simetris
(-)
Tidak ada yang
tertinggal
Dextra = sinistra
AP < L
(-)
Simetris
(-)
Tidak ada yang
tertinggal
Dextra = sinistra
40
3. Perkusi
Sonor seluruh
lapang paru
4. Auskultasi
Suara dasar
Suara tambahan
+
Vesikuler
-
+
Vesikuler
-
Belakang
1. Inspeksi
Bentuk dada
Retraksi ICS
Hemithorak
2. Palpasi
Nyeri tekan
Ekspansi dada
Taktil fremitus
3. Perkusi
Sonor seluruh
lapang paru
4. Auskultasi
Suara dasar
Suara tambahan
AP < L
(-)
Simetris
(-)
Tidak ada yang
tertinggal
Dextra = sinistra
+
Vesikuler
-
AP < L
(-)
Simetris
(-)
Tidak ada yang
tertinggal
Dextra = sinistra
+
Vesikuler
-
Cor
Inspeksi : ictus cordis tampak, ICS normal.
Palpasi : ictus cordis teraba, kuat angkat (+), teraba 1-2 cm
medial ICS V linea midclavikularis sinistra
Perkusi :
Kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra
Kiri bawah : ICS V 1-2 medial midclavicularis
sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
41
Kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Suara jantung murni: Suara I dan Suara II regular,
murmur (-), gallop (-).
10) Abdomen : datar, timpani, BU (+) normal, hepar & lien tidak
teraba, nyeri tekan epigastrik (-)
11) Kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan
12) Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral dingin
Oedem
Sianosis
Gerak
motorik
nyeri
Hiperemis
-/-
-/-
-/-
Dalam batas normal
5/5/5
-/-
-/-
-/-
-/-
-/-
Dalam batas normal
5/5/5
-/-
-/-
1. Status psikiatri
a) Tingkah laku : Normoaktif
b) Perasaan hati : Normotimik
c) Orientasi : Baik
d) Kecerdasan : Normal
e) Daya ingat : Normal
2. Status neurologis
a) Sikap tubuh : Lurus dan simetris
b) Gerakan abnormal : Tidak ada
c) Kepala : nyeri kepala tumpul dari bagian dahi hingga ke
kepala bagian tengah, tertutama di daerah kepala bagian belakang dan
tengkuk
d) Nervus cranialis :
N. I (OLFAKTORIUS) Lubang hidung Lubang hidung
42
Kanan Kiri
Daya Pembau Normal Normal
N. II (OPTIKUS) Mata Kanan Mata Kiri
Daya Penglihatan Normal Normal
Pengenalan Warna Normal Normal
Lapang pandang Normal Normal
N.III (OKULOMOTORIS) Mata Kanan Mata Kiri
Ptosis - -
Gerak Mata Ke Atas + +
Gerak Mata Ke Bawah + +
Gerak Mata Ke Media + +
Ukuran Pupil 3mm 3mm
Bentuk Pupil Isokor Isokor
Reflek Cahaya Langsung + +
Reflek Cahaya Konsesuil + +
Strabismus Divergen - -
Diplopia - -
N.IV (TROKHLEARIS) Mata Kanan Mata Kiri
Gerak Mata Lateral Bawah - +
Strabismus Konvergen - -
Diplopia - -
N. V (TRIGEMINUS) Kanan Kiri
Mengigit Normal Normal
Membuka Mulut Normal Normal
Sensibilitas Muka Atas Normal Normal
Sensibilitas Muka Tengah Normal Normal
43
Sensibilitas Muka Bawah Normal Normal
Reflek Kornea + +
N. VI (ABDUSEN) Mata Kanan Mata Kiri
Gerak Mata Lateral Normal Normal
Starbismus Konvergen - -
Diplopia - -
N. VII (FASIALIS) Kanan Kiri
Kerutan Kulit Dahi Normal Normal
Kedipan Mata Normal Normal
Lipatan Nasolabial Normal Normal
Sudut Mulut Normal Normal
Mengerutkan Dahi Normal Normal
Mengangkat Alis Normal Normal
Menutup Mata Normal Normal
Meringis Normal Normal
Tik Fasial - -
Lakrimasi - -
Daya Kecap 2/3 Depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. VIII (AKUSTIKUS) Kanan Kiri
Mendengar Suara Berbisik Normal Normal
Mendengar Detik Arloji Normal Normal
Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N.IX (GLOSSOFARINGEUS) KETERANGAN
Arkus Faring Simetris
44
Daya Kecap 1/3 Belakang Tidak dinilai
Reflek Muntah (+)
Sengau (-)
Tersedak (-)
N. X (VAGUS) KETERANGAN
Arkus faring Simetris
Reflek muntah (+)
Bersuara Normal
Menelan Normal
N. XI (AKSESORIUS) Keterangan
Memalingkan Kepala Normal
Sikap Bahu Normal
Mengangkat Bahu Tidak dapat dinilai
Trofi Otot Bahu Eutrofi
N. XII (HIPOGLOSUS) Keterangan
Sikap lidah Normal
Artikulasi Normal
Tremor lidah (-)
Menjulurkan lidah Normal
Trofi otot lidah (-)
Fasikulasi lidah (-)
e) Fungsi motorik
Kanan Kiri
Gerakan Bebas Bebas
Kekuatan 555 555
Tonus + +
45
f) Refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Refleks Biceps Normal Normal
Refleks Triceps Normal Normal
Refleks Ulna dan Radialis Normal Normal
Refleks Patella Normal Normal
Refleks Achilles Normal Normal
g) Refleks Patologis
Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Mendel Bachterew - -
Rosollimo - -
Gonda - -
Hofman Trommer - -
h) Fungsi Sensorik
Kanan Kiri
Eksteroseptif Terasa Terasa
Rasa nyeri Terasa Terasa
Rasa raba Terasa Terasa
Rasa suhu Terasa Terasa
Propioseptif Terasa Terasa
Rasa gerak dan sikap Terasa Terasa
Rasa getar Terasa Terasa
Diskriminatif Terasa Terasa
46
Rasa gramestesia Terasa Terasa
Rasa barognosia Terasa Terasa
Rasa topognosisa Terasa Terasa
i) Pemeriksaan rangsal meningeal
Kaku kuduk -
Kernig sign -
Brudzinski I -
Brudzinski II -
Brudzinski III -
Brudzinski IV -
Tes Lermit -
j) Pemeriksaan fungsi luhur dan vegetatif
Fungsi luhur : baik
Fungsi vegetatif : BAK lancar dan selama perawatan belum BAB
O. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium, tanggal 30 November 2018
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 11,9 11,7 – 15,5 g/dl
Leukosit
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit %
Monosit %
Eosinofil %
9.760
0,85 (L)
0,54
0,23
0,02
8,28 (H)
8,6 (L)
5,4
2,3
3600 – 11.000
1,0 – 4,5 x 103/mikro
0,2 – 1,0 x 103/mikro
0,04 – 0,8 x 103/mikro
0 – 0,2 x 103/mikro
1,8 – 7,5 x 103/mikro
25 – 40%
2 – 8%
2 – 4%
47
Basofil %
Neutrofil %
0,2
83,6 (H)
0 – 1%
50 – 70%
Eritrosit 6,57 H 3,8 – 5,2 juta
Hematokrit 35,8 35 – 47 %
Trombosit 219 150 – 400 ribu
MCV 81,3 (L) 82 – 98 fL
MCH 26,9 (L) 27 – 32 pg
MCHC 31,0 (L) 32 – 37g/dl
RDW 17,5 (H) 10 – 15 %
MPV 7,2 7 – 11 mikro m3
KIMIA KLINIK
GDP 99 82 – 115 mg/dl
SGOT 27 0 – 35 U/L
SGPT 39 0 – 35 U/L
Ureum 35 10 – 50 mg/dl
Kreatinin (1,5) H 0,62 – 1,1 mg/dl
HDL
HDL Direct
LDL Cholesterol
36
109
37 – 92 mg/dl
<150 mg/dl
Asam urat 8,6 (H) 2 – 7 mg/dl
Cholesterol 163 <200 mg/dl
Trigliserida 89 70 – 140 mg/dl
P. DIANOSIS AKHIR
1. Diagnosis klinis : Nyeri kepala bagian dahi hingga kepala bagian
tengah, tertutama di daerah kepala bagian belakang dan tengkuk sejak 6
bulan yang lalu disertai mual
2. Diagnosis topis : Jaringan peka nyeri Ekstrakranial
3. Diagnosis etiologi : Cephalgia Kronik Sekunder ec Metastase Limfoma
Non Hodgkin dd Post Kemoterapi Limfoma Non Hodgkin
48
Q. DISKUSI KEDUA
Dari hasil pemeriksaan diatas tidak didapatkan kelainan pada status
neurologi, nervus cranialis lainnya tidak didapatkan adanya kelainan. Pada
pemeriksaan fungsi motorik, fungsi sensorik dan reflek fisiologis tidak
ditemukan adanya kelainan. Pada pemeriksaan hasil lab didapatkan hasil
peningkatan pada neutrofil, RDW, Kreatinin, dan Asam Urat walaupun tidak
signifikan.
Sebagian besar pasien dengan nyeri kepala pada pemeriksaan fisiknya
ditemukan normal. Hanya sebagian kecil saja yang tidak normal. Apabila
ditemukan ketidaknormalan pada pemeriksaan fisik pasien dengan nyeri
kepala, maka hal ini merupakan tanda bahaya (red flags). Red flags adalah
tanda bahaya atau kondisi yang harus diwaspadai. Beberapa hal yang
terkategori sebagai red flags pada kasus nyeri kepala adalah.
Kemudian
pada anamnesis
pasien
49
didapatkan data bahwa pasien memiliki riwayat Limfoma Non Hodgkin sejak 1
tahun yll, hal ini dapat sebagai pencetus dari terjadinya keluhan nyeri kepala
yang terus menurus pada pasien yaitu berdasarkan terjadinya metastase dari
kanker tersebut yang menyebar ke otak dan saraf-saraf kranialis secara
hematogen, walaupun harus dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut
seperti CT-scan untuk memastikannya, Menurut perdossi (2006) Nyeri kepala
karena adanya gangguan structural seperti HIV, kanker, meningitis, tumor
metastasis, gangguan intra kranial lain dikategorikan dalam nyeri kepala
sekunder. Nyeri kepala dapat disebabkan multifaktorial, kanker dalam bentuk
limfoma dan adanya metastasis di otak dapat menyebabkan gejala klinis ini.
Nyeri kepala juga dapat disebabkan karena pengobatan kanker, seperti
kemoterapi. Penggunaan seperti fluorouracil dan procarbazine memiliki efek
samping seperti nyeri kepala. Dalam hal ini kemoterapi berhubungan dengan
neurotoksitas pada sistem saraf pusat serta sistem saraf tepi neurotoksitas dapat
menyerang neuron dan glia secara langsung. Neurotiksitas juga berhubungan
dengan peningkatan mediator inflamasi sitokin. Pengobatan menggunakan
kemoterapi dapat menginduksi proses intrakranial dengan hasil gejala klinis
berupa nyeri kepala.
R. TERAPI
Pada pasien ini diberikan terapi :
1. Infus Asering 20 tpm
2. Inj. Piracetam 3 x 3 gr
3. Inj. Citicolin 2 x 250mg
4. P.O Ranitidin 2 x 1
5. P.O Diazepam 2 x 2mg
6. P.O Paracetamol 2 x 650 mg
7. P.O Flunarizin 2 x 5 gr
S. INNITIAL PLAN
50
1. Pemeriksaan Penunjang
a) CT – Scan
b) MRI
c) Pemeriksaan Serologis
2. Tatalaksana
a) Radioterapi
b) Kemoterapi
c) Operasi
d) Imunoterapi
DISKUSI 3
1. Piracetam berperanan meningkatkan energi (ATP) otak, meningkatkan
aktifitas adenylat kinase (AK) yang merupakan kunci metabolisme energi
dimana mengubah ADP menjadi ATP dan AMP, meningkatkan sintesis dan
pertukaran cytochrome b5 yang merupakan komponen kunci dalam rantai
transport elektron dimana energi ATP diproduksi di mitokondria (James,
2004). Piracetam juga digunakan untuk perbaikan defisit neurologi khususnya
kelemahan motorik dan kemampuan bicara pada kasus-kasus cerebral iskemia,
dan juga dapat mengurangi severitas atau kemunculan post traumatik /
concussion sindrom.
2. Citicolin berperan untuk perbaikan membran sel saraf melalui peningkatan
sintesis phosphatidylcholine dan perbaikan neuron kolinergik yang rusak
melalui potensiasi dari produksi asetilkolin. Citicoline juga menunjukkan
kemampuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif, Citicoline diharapkan
mampu membantu rehabilitasi memori pada pasien dengan luka pada kepala
dengan cara membantu dalam pemulihan darah ke otak. Studi klinis
menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif dan motorik yang lebih baik
pada pasien yang terluka di kepala dan mendapatkan citicoline. Citicoline juga
meningkatkan pemulihan ingatan pada pasien yang mengalami gegar otak.
3. Ranitidine merupakan antagonis reseptor H2 (AH2) yang bekerja
menghambat sekresi asam lambung. Perangsangan reseptor H2 akan
51
merangsang sekresi asam lambung, dengan pemberian ranitidine maka
reseptor tersebut akan dihambat secara selektif dan reversible sehingga sekresi
asam lambung dihambat. Ranitidine diberikan sebagai gastroprotektor dan
mencegah efek samping dan interaksi obat lain.
4. Diazepam merupakan turunan bezodiazepin. Kerja utama diazepam yaitu
potensiasi inhibisi neuron dengan asam gamma-aminobutirat (GABA) sebagai
mediator pada sistem syaraf pusat. Diazepam diberikan sebagai muscle
relaxant pada kasus ini.
5. Paracetamol adalah jenis obat yang termasuk kelompok analgesik atau pereda
rasa sakit. Paracetamol juga bisa dipakai untuk menurunkan demam.
Paracetamol bekerja mengurangi rasa sakit dengan cara mengurangi produksi
zat dalam tubuh yang disebut prostaglandin. Prostaglandin adalah unsur yang
dilepaskan tubuh sebagai reaksi terhadap rasa sakit. Paracetamol menghalangi
produksi prostaglandin.
6. Flunarizine adalah penghambat selektif masuknya kalsium dengan cara
ikatan calmodulin dan aktivitas hambatan histamin H1. Flunarizine dapat
mencegah terjadinya kerusakan sel akibat overload kalsium dengan
menghalangi secara selektif masuknya kalsium ke dalam jaringan sel.
Flunarizine juga terbukti dapat menghambat kontraksi otot polos pembuluh
darah, melindungi kekakuan sel-sel darah merah serta mampu melindungi sel-
sel otak dari efek hipoksia (kekurangan oksigen pada jaringan tubuh yang
terjadi akibat pengaruh perbedaan ketinggian)
T. PROGNOSIS
Death : dubia ad bonam
Disease : dubia ad bonam
Disability : dubia ad bonam
Discomfort : dubia ad bonam
Dissatisfaction : dubia ad bonam
Destitution : dubia ad bonam
52
FOLLOW UP
S
O
A
P
Kamis, 29 November 2018
Pasien mengeluhkan nyeri kepala, pusing (+) dan cekot-cekot.
Mual (+), muntah (-), riwayat limfoma non hodgkin
GCS : E4M6V5
VAS : 8 dari 10
TD : 130/80 mmHg
N : 68 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,5 0C
Cephalgia Kronis
1. Infus Asering 20 tpm
2. Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
3. Inj. Piracetam 3 x 3 gr
4. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
S
O
A
P
Jumat, 30 November 2018
Pasien mengeluhkan nyeri kepala, pusing (+). Mual (-), muntah (-)
GCS : E4M6V5
VAS : 7 dari 10
TD : 100/80 mmHg
N : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36 0C
Cephalgia kronis
1. Infus Asering 20 tpm
2. Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
3. Inj. Piracetam 3 x 3 gr
4. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
5. Inj. Mecobalamin 1x1
6. P.O Renadinac 3 x 2 tab
7. P.O Diazepam 2 x 1 mg
53
8. P.O Ranitidin 2 x 1 tab
S
O
A
P
Sabtu, 1 Desember 2018
Pasien mengeluhkan nyeri kepala, pusing (+). Mual (-), muntah (-)
GCS : E4M6V5
VAS : 5 dari 10
TD : 90/70 mmHg
N : 82 x/menit
RR : 18 x/menit
T : 36,4 0C
Cephalgia kronis
1. Infus Asering 20 tpm
2. Inj. Piracetam 3 x 3 gr
3. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
4. P.O Renadinac 3x2 tab
5. P.O Diazepam 2 x 1 mg
6. P.O Ranitidin 2 x 1 mg
7. P.O Diazepam 2 x 2mg
8. P.O Paracetamol 2 x 650 mg
9. P.O flunarizin 2 x 5 g
S
O
A
P
Minggu, 2 Desember 2018
Sudah membaik, Mual (-), muntah (-)
GCS : E4M6V5
VAS : 3 dari 10
TD : 90/70 mmHg
N : 82 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,8 0C
Cephalgia kronis
1. Infus Asering 20 tpm
2. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
54
3. P.O Renadinac 3x2 tab
4. P.O Diazepam 2 x 1 mg
5. P.O Paracetamol 2 x 650 mg
6. P.O flunarizin 2 x 5 g
7. P.O Fluoxetin 1 x 10 mg
8. P.O allopurinol 1 x 10 mg
S
O
A
P
Senin, 2 Desember 2018
Tidak ada keluhan
GCS : E4M6V5
VAS : 1 dari 10
TD : 100/80 mmHg
N : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36 0C
Cephalgia kronis
1. Infus Asering 20 tpm
2. Inj. Mecobalamin 1x1
3. P.O Renadinac 3x2 tab
4. P.O Diazepam 2 x 1 mg
5. P.O Paracetamol 2 x 650 mg
6. P.O flunarizin 2 x 5 g
7. P.O Fluoxetin 1 x 10 mg
8. P.O allopurinol 1 x 10 mg
55
DAFTAR PUSTAKA
1. Gilroy, J. Basic neurology. 3rd ed. Michigan: McGraw-Hill. 2000. p 123-126.
2. Srivasta S. Pathophysiology and treatment of migraine and related headache.
[Internet]; 2010 Mar 29 [cited 2013 February 14]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1144656-overview.
3. Katzung, Bertram. Basic and Clinical Pharmacology. 10th edition. Boston:
McGraw Hill. 2007. p 289
4. Chawla J. Migraine Headache: Differential Diagnoses & Workup. [Internet];
2010 Jun 3 [cited 2013 February 14]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1142556-diagnosis.
5. Brunton, LL. Goodman and Gilman’s Pharmacology. Boston: McGraw-Hill.
2006.
6. Gladstein. Migraine headache-Prognosis. [Internet]; 2010 Jun 3 [cited 2013
February 14]. Available from:
http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_migraines_000097_2.htm
7. Blanda, M. Migraine headache. [Internet]; 2010 Jul 12 [cited 2013 February
14]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/792267-overview
8. Chawla J. Migraine headache: Follow-up. [Internet]; 2010 Jun 3 [cited 2013
February 14]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1142556-followup
9. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi,
Tanda, Gejala. Edisi 4. Jakarta: EGC, 2010. Hal: 358-370.
10. Brunton, LL. Goodman and Gilman’s Pharmacology. Boston: McGraw-Hill.
2006.
11. Eccher M, Suarez JI. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics. In :
Suarez JI, ed. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey :
Humana Press.
12. Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi-8. Erlangga Medical
Series. Jakarta. 74-75
13. Goadsby, J Peter. 2009. Treatment of Cluster Headache. Headache Group.
56
Department of Neurology University of California. San Francisco. Diunduh
dari : http://www.americanheadachesociety.org.
14. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
15. Lumbantombing, SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2004.
16. Pertemuan Nasional III Nyeri, Nyeri Kepala & Vertigo PERDOSSI, Solo, 4-6
Juli 2008.
17. Price Sylvia. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1. EGC: Jakarta. 2006. hal : 231-
236 & 485-90.
18. Rasad, Sjahriar. 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
Halaman 359.
19. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Oftalmologi umum (General
ophthalmology) edisi 17. EGC: Jakarta. p. 12-199.
20. Khurana. Diseases of retina in comprehensive ophthalmology 4th edition. New
Age International Limited Publisher: India. p. 249- 279.
21. Setioyohadi, B. 2009. Limfona Non-Hodgkin. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 1251-1260.
22. Sutrisno, H. 2010. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma Non-
Hodgkin Yang Dirawat Di Rsup Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam
volume 2; 96-102
23. Hoffbrand A.V. 2005. Limfoma maligna. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4.
Jakarta: EGC; 185-198
24. Bakta IM. 2007. Limfoma maligna. Hematologi klinik ringkas. Cetakan I.
Jakarta: EGC;.p.192- 219.
25. Santoso, M., Krisfu, C. 2004. Diagnostik dan Penatalaksanaan LNH. Dexa
media: No. 4(17).
26. Emmanouillides C, Casciato DA. 2004. Hodgkin and non-Hodgkin lymphoma.
In Manual of clinical oncology, 5th Ed. Lippincot Williams & Wilkins : 435-
56.
27. Bruce D. Cheson. 2007. Revised Response Criteria for Malignant Lymphoma.
Journal Of Clinical Oncology. Volume 25(5); 581
57
28. Forspointner R, Dreyling M, Repp R, et all. 2004. The summary: The addition
of rituximab to a combination of fludarabine, cyclophosphamide,
mitoxantrone (FCM) significantly increases the response rate and prolongs
survival as compared to FCM alone in patients with relapsed and refractory
follicular and mantle cell lymphomas. Results from a prospective randomized
study of the German Low Grade Lymphoma Study Group (GLSG). Blood (4);
3061-7l.
29. Potter M. 1992. Pathogenetic Mechanisms in B-Cell Non-Hodgkin's
Lymphomas in Humans. Cancer Research. 52: 5525s-5528s.
30. Pasqualucci, at al. 2003. Molecular Pathogenesis of Non-Hodgkin's
Lymphoma: the Role of Bcl-6. Institute for Cancer Genetics, Columbia
University. Vol 44 (S3) S5-S12.
31. Shaffer AL, at al. 2000. BCL-6 represses genes that function in lymphocyte
differentiation, inflammation, and cell cycle control. 13(2):199-212.
58