referat limfoma maligna

27

Click here to load reader

Upload: arie-akbar

Post on 28-Jun-2015

3.155 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Limfoma Maligna

REFERAT

LIMFOMA MALIGNA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Limfoma malignum adalah tumor ganas primer dari kelenjar limfe dan

jaringan limfatik di organ lainnya. Ia merupakan salah satu keganasan sistem

hematopoietik, terbagi menjadi 2 golongan besar, yaitu limfoma Hodgkin (HL)

dan limfoma non-Hodgkin (NHL). Belakangan ini insiden Infoma meningkat relatif

cepat. Sekitar 90% limfoma Hodgkin timbul dan kelenjar limfe, hanya 10% timbul dari

jaringan limfatik di luar kelenjar limfe. Sedangkan limfoma non-Hodgkin 60% timbul

dari kelenjar limfe, 40% dari jaringan limfatik di luar kelenjar. Jika diberikan terapi

segera dan tepat, angka kesembuhan limfoma Hodgkin dapat mencapai 80% lebih,

menjadi tumor ganas dengan efektivitas terapi tertinggi dewasa ini. Prognosis

limfoma non-Hodgkin lebih buruk, tapi sebagian dapat disembuhkan. Dengan

semakin mendalam riset atas limfoma malignum, kini dalam hal klasifikasi jenis

patologik, klasifikasi stadium, metode terapi, diagnosis dan penilaian atas lesi residif dan

berbagai aspek lain limfoma telah mengalami kemajuan pesat, ini sangat membantu dalam

meningkatkan ratio kesembuhan limfoma.

Page 2: Referat Limfoma Maligna

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Limfoma maligna adalah neoplasma ganas primer pada kelenjar getah

bening/system limfatis, dan ditandai oleh pembesaran kelenjar getah bening yang

terkena. Dapat dibedakan menjadi dua, limfoma Hodgkin dan limfoma Non Hodgkin.

B. Insidensi

Insidensi penyakit Hodgkin (morbus Hodgkin; MH) kira-kira 3 per 100.000

penderita per tahun. Pada pria insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita.

Perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2. Pada morbus Hodgkin distribusi menurut

umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua puncak dalam distribusi frekuensi. Puncak

pertama terjadi pada orang dewasa muda antara umur 18 – 35 tahun dan puncak kedua

terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade terakhir terdapat kenaikan

berangsur-angsur kejadian morbus Hodgkin, terutama bentuk nodular sklerotik pada

golongan umur lebih muda.

Insiden Limfoma Non Hodgkin ± 8 kali lipat Limfoma Hodgkin, insiden baru

tahun 2004 di amerika serikat 50.000 kasus lebih, di china di perkirakan lebih dari

40.000 kasus. Insiden NHL meningkat sangat pesat. Ras orang kulit putih memiliki

risiko lebih tinggi daripada orang kulit hitam di Amerika dan Asia. Jenis kelamin

rasio laki dan perempuan sekitar 1.4:1, tetapi rasio dapat bervariasi tergantung pada

subtipe NHL, karena menyebar pada mediastinum primer besar misalnya B-sel

limfoma terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria. Usia untuk semua

subtipe NHL lebih dari 60 tahun, kecuali untuk pasien dengan grade tinggi limfoma

noncleaved lymphoblastic dan kecil, yang merupakan jenis yang paling umum NHL

diamati pada anak-anak dan dewasa muda. pada pasien berusia 35-64 tahun hanya

16% kasus pada pasien lebih muda dari 35 tahun.

Page 3: Referat Limfoma Maligna

Etiologi

Terdapat kaitan jelas antara HL dan infeksi virus EB. Pada kelompok terinfeksi

HIV, insiden HL agak meningkat dibanding masyarakat umum, selain itu manifestasi

klinis HL yang terkait HIV sangat kompleks, sering kali terjadi pada stadium lanjut

penyakit, mengenai regio yang jarang ditemukan, seperti sumsum tulang, kulit,

meningen, dll.

Infeksi virus dan regulasi abnormal imunitas berkaitan dengan timbulnya

NHL, bahkan kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi. Virus RNA, HTLV-1

berkaitan dengan lekemia sel T dewasa; virus imunodefisiensi humanus (HIV)

menyebabkan AIDS, defek imunitas yang diakibatkan berkaitan dengan timbulnya

limfoma sel B keganasan tinggi; virus hepatitis C (HCV) berkaitan dengan

timbulnya limfoma sel B indolen. Gen dari virus DNA, virus Ebstein Barr

(EBV) telah ditemukan terdapat di dalam genom sel limfoma Burkitt Afrika; infeksi

kronis Helicobacter pylori berkaitan jelas dengan timbulnya limfoma lambung,

terapi eliminasi H. pylori dapat menghasilkan remisi pada 1/3 lebih kasus limfoma

lambung. Defek imunitas dan regulasi-menurun imunitas berkaitan dengan

timbulnya NHL, termasuk AIDS, reseptor cangkok organ, sindrom defek imunitas

kronis, penyakit autoimun. Obat seperti fenitoin dan radiasi dapat menimbulkan setiap

fase penyakit dari penyakit limfoproliferatif hingga limfoma.

Patogenesis morbus Hodgkin mungkin kompleks dan masih banyak hal yang

kurang jelas dalam bidang ini.

Klasifikasi

Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam

hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear)

dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem

klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan

Page 4: Referat Limfoma Maligna

oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai dasar pembagian penyakit

Hodgkin.

Dibedakan empat bentuk utama. Bentuk nodular sklerotik (HB-NS) terciri

oleh adanya varian sel Hodgkin, sel lakunar, dalam latar belakang limfosit, granulosit,

sel eosinofil, dan histiositik. Sel Reed-Sternberg tidak sangat sering. Kelenjar limfe

sering mempunyai susunan nodular, dengan di dalamnya terlihat pita-pita jaringan

ikat yang sedikit atau kurang luas yang sklerotik.

Pada bentuk sel campuran (HD-MC) latar belakang juga terdiri dari granulosit,

eosinofil, sel plasma, dan histiosit, tetapi disini banyak terlihat sel Reed-Sternberg.

Diagnosis bentuk miskin limfosit (HD-LD) di negara industri sudah jarang

dibuat. Gambaran ini ternyata sering berdasar atas (sub) tipe morbus Hodgkin atau

limfoma non-Hodgkin. Bentuk kaya limfosit (HD-LP) terciri oleh varian sel Hodgkin

yang lain, sel L dan H dengan latar belakang limfosit kecil dan histiosit reaktif.

(Klasifikasi Lukes-Butler dan Rye, 1966)Tipe utama Sub-tipe Frekuensi

Bentuk lymphocyte predominance (LP) Nodular

Difus

}5%

Bentuk nodular sclerosis (NS) 70-80%

Bentuk Mixed Cellulating (MC) 10-20%

Bentuk Lymphocyte Depletion (LD) Reticular

Fibrosis difus

}1%

Page 5: Referat Limfoma Maligna

Bentuk histopatologik limfoma hodgkin

Mengenai sifat sel Reed-Sternberg masih banyak hal yang belum jelas.

Dianggap dapat merupakan sel T atau sel B yang teraktivasi, yang sedikit banyak

dikuatkan oleh data biologi molecular; hanya pada bentuk kaya limfosit karakter sel B

jelas.

Formulasi kerja terhadap limfoma non- Hodgkin

Formulasi kerja merupakan suatu sistem klasifikasi limfoma non Hodgkin yang dikemukakan tahun 1982, klasifikas ini terutama didasarkan pada kriteria morfologi (pola pertumbuhan kelenjar limfe karakteristik sitologik sel tumor) dan sifat progresivitas biologik (tingkat keganasar rendah, sedang, tinggi), bermanfaat tertentu dalam memprediksi survival dan kurabilitas pasien. Kekurangan dari sistem klasifikasi ini adalah belum membedakan asal tumor dari sel B atau sel T, selain itu karena belum memanfaatkan teknik imunologi dan genetik molekular, belum dapat mengidentifikasi jenis tertentu yang penting. Namun demikian, karena penggunaannya secara klinis sudah relatif lama dan klasifikasinya sederhana, maka masih memiliki nilai referensi tertentu.

Formulasi kerja limfoma non-Hodgkin (NHL)Keganasan rendah A. Limfoma jenis sel kecil

B. Limfoma jenis predominan sel belah kecil folikularC. Limfoma jenis campuran sel besar dan sel belah kecil folikular

Keganasan sedang D. Limfoma jenis sel besar: folikularE. Limfoma jenis predominan sel belah kecil difusF. Limfoma jenis campuran sel besar dan sel belah kecil difusG. Limfoma jenis sel besar difus

Keganasan tinggi: H. Limfoma jenis imunoblastik

I. Limfoma jenis limfoblastik (inti berkelok atau tidak berkelok)

550

Page 6: Referat Limfoma Maligna

J. Limfoma jenis sel kecil tak belah (Burkitt atau non-Burkitt,

Manifestasi klinis

Pembesaran kelenjar limfesuperfisialis menempati 60% lebih, diantaranya

kelenjar limfe bagian leher 60-80%, bagian axial 6-20%, inguinal 6-12%, kelenjar

limfe mandibula, pre atau retro auricular, dll relative sedikit. Pmebesaran seringkali

asimetri, konsistensi padat atau kenyal, tidak nyeri, pada stadium dini tidak melekat,

dapat menimbulkan tanda invasi dan kompresi setempat. Splenomegali umunya

banyak ditemukan pada LH. Hepatomegali dan gangguan fungsi hati, terjadi pada

stadium lanjut. Kelainan tulang rangka sekitar 0-15%, berupa nyeri tulang dan fraktur

patologis. Kelainan pada kulit, dapat berupa massa, nodul, ulkus, pruritus, dll. Dapat

juga ditemukan kelainan neural berupa paralisis.

Gejala sistemik yang khas yang berupa demam, keringat malam dan

penurunan berat badan 10% yang disebut dengan gejala B.

Perbedaan karakteristik klinis Limfoma Hodgkin (HL) dan Limfoma nonHodgkin (NHL)

Limfoma Hodgkin (HL) Limfoma nonHodgkin (NHL)

Keluhan pertama berupa limfadenopati

superficial terutama pada leher

Sekitar 40% timbul pertama di jaringan

limfatik ekstranodi

Pembesaran 1 kelompok kelenjar limfe,

dapat dalam jangka waktu sangat panjang

tetap stabil atau kadang membesar dan

kadang mengecil

Perkembangannya tidak beraturan

Limfadenopati lebih lunak, lebih mobile Berderajat keganasan tinggi. Sering

menginvasi kulit (merah, udem, nyeri),

membentuk satu massa relatif keras

Page 7: Referat Limfoma Maligna

terfiksir.

Berkembang relatif lebih lambat,

perjalanan penyakit lebih panjang, reaksi

terapi lebih baik

Progresi lebih cepat, perjalanan penyakit

lebih pendek, mudah kambuh, prognosis

lebih buruk

Gambar Pembesaran kelenjar limfe

Perubahan hematologik

Pada limfoma Hodgkin sering terdapat anemia normositik normokrom,

kausa anemia sering kali adalah menurunnya produksi dan peningkatan

destruksi, tapi anemia hemolitik dengan tes Coomb positif tidak sampai 1%.

Granulosit sering meningkat hingga timbul lekositosis, sebagian pasien dapat

menunjukkan peningkatan eosinofil granulosit, limfosit sering menurun, terutama pada

stadium lanjut, jumlah absolut limfosit dapat <1 x 109/L. Pada HL dengan demam,

kadang kala teijadi reaksi lekemik, jumlah total lekosit dapat mencapai 50 x 109/L

lebih.

Apusan sumsum tulang pada HL sering menunjukkan hiperproliferasi granulosit,

sering disertai peningkatan histiosit dan sel plasma, sehingga menyerupai gambaran

'sumsum tulang infeksius'. Apusan sumsum tulang jarang dapat menemukan sel R-S,

tapi biopsi sumsum tulang (tennasuk biopsi pungsi) dapat menemukan sel R-S (inti

dobel atau tunggal) pada infiltrasi fokal atau difus sumsum tulang, juga sering disertai

hiperplasia fibrosa dalam sumsum tulang. Jika menemukan secara jelas fibrosis

(dibuktikan biopsi sumsum tulang, atau berkali-kali pungsi `aspirasi kering' sumsum

Page 8: Referat Limfoma Maligna

tulang dengan pansitopenia), sangat kuat menunjukkan invasi tumor ke sumsum

tulang. HL sering terdapat peningkatan laju endap darah, ini dapat menjadi indikator

pemeriksaan aktivitas penyakit. NHL sering disertai anemia, kausanya dapat

multifaktorial, seperti invasi sumsum tulang, invasi saluran gastrointestinal menyebabkan

tukak berdarah dan gangguan absorpsi besi dan asam folat, serta akibat konsumsi

kronis, radioterapi dan kemoterapi menyebabkan depresi hematopoiesis atau

eritropoiesis inefektif dan faktor lainnya. NHL juga dapat mengalami anemia hemolitik

autoimun (tes Coombs positif).

Pada NHL sering terdapat invasi sumsum tulang, jika dilakukan biopsi pungsi krista

iliaka posterior superior berkali-kali, pada jenis limfosit kecil dan jenis lainnya dapat

ditemukan setidaknya 50-60% mengalami invasi sumsum tulang, sedangkan pada

limfoma sel B besar difus (DLBCL) hanya 10% mengalami invasi sumsum tulang.

Sebagian kasus dengan invasi sumsum tulang, kemudian sel abnormal dapat muncul di

darah tepi sehingga timbul gambaran lekemia. Bila jenis limfosit kecil menampilkan

gambaran lekemia, sangat sulit dibedakan dari lekemia limfositik kronis. Bila jenis sel

besar menampilkan gambaran lekemia, dapat menyerupai lekemia limfositik akut.

Ada juga kasus dengan dismorfia sel lekemia menonjol, atau nukleolus relatif

menonjol. Tapi pada umumnya sangat sulit hanya dari morfologi sel membedakan apa

yang disebut sel limfosarkoma'. Limfoma jenis limfoblastik' dengan

karakteristik massa besar mediastinum sangat mudah berkembang menjadi

lekemia limfositik akut.

Biokimia darah

Hiperkalsemia, hipofosfatemia, fosfatase alkali serum meningkat sejalan dengan per-

kembangan penyakit, tembaga serum dan asam urat darah juga dapat meningkat,

albumin rendah sedangkan β2-globulin jelas meningkat, C reaktif protein, C3, fibrinogen

juga dapat meningkat, pada stadium dini terdapat 40% pasien menunjukkan IgG, IgA

agak meningkat, IgM menurun, pada stadium lanjut 50% menunjukkan

hipogamaglobulinalfa-emia, produksi antibodi juga menurun.

Page 9: Referat Limfoma Maligna

Diagnosis

Pemeriksaan untuk penentuan stadium meliputi anamnesis khususnya

perhatikan ada tidaknya gejala `B', pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.

Pada pemeriksaan fisik diperhatikan kelenjar regional, hepar dan lien. Diagnosis

morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik. Sel Reed Stenberg yang

merupakan bentuk histiosit (makrofag jaringan) ganas adalah temuan khas pada

limfoma Hodgkin. Pemeriksaan rontgen terdiri atas foto toraks dan CT-scan toraks

untuk mencari kalau ada perluasan mediastinal atau pleural. Untuk pemeriksaan perut

ada dua kemungkinan, CT-scan atau limfangiografi. Sebaiknya dimulai dengan CT-

scan. Jika ini negatif, diperlukan limfangiografi, karena kadang-kadang terdapat

kelenjar yang mempunyai struktur abnormal tetapi tidak jelas membesar, sehingga

mungkin tidak terlihat pada CT-scan. Keuntungan limfangiografi di samping itu

adalah bahwa kontrasnya masih tampak 1-2 tahun, sehingga perjalanan penyakit dapat

diikuti dengan foto polos abdomen biasa.

Pemeriksaan isotop dengan gallium radioaktif dapat memberi gambaran

mengenai sarang-sarang di tempat lain dalam tubuh yang tidak dapat ditetapkan

dengan pemeriksaan rutin penentuan stadium biasa. Keterandalan pemeriksaan ini

masih diteliti. Jika kelenjar limfe juga meresorbsi gallium, pemeriksaan ini dapat juga

digunakan pada akhir terapi untuk mengetahui apakah ada massa sisa, misalnya di

dalam mediastinum, yang masih mengandung tumor yang aktif. Ini mempunyai arti

prognostik.

Diagnosis banding

Limfadenopati harus dibedakan dan infeksi nonspesifik kelenjar limfe atau

infeksi virus, metastasis, mononukleosis infeksiosa dll. Setiap pembesaran kelenjar

limfe berdiameter >1 cm, diobservasi 6 minggu lebih tetap tidak mengecil, maka

dilakukan biopsi.

Massa mediastinum dan hilus pulmonal tanpa limfadenopati superfisial,

sering kali perlu dibedakan dari karsinoma paru, tuberkulosis, dll. Pada umumnya,

Page 10: Referat Limfoma Maligna

massa limfoma dapat lebih besar, progresi lebih cepat, kadang kala timbul multipel

atau bilateral, sindrom kompresi vena kava superior sering kali tidak semenonjol

karsinoma paru tipe sentral, pemeriksaan bronkoskopi dan tomografi hilus pulmonal

area mediastinum membantu membedakan antara keduanya.

Kasus tanpa limfadenopati superfisial, dengan gejala demam, diagnosis lebih

sulit, bila dicurigai limfoma malignum, dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan CT

abdomen untuk menemukan lesi retroperitoneal, ada kalanya dapat dipertimbangkan untuk

laparotomi eksploratif.

Pembesaran kelenjar getah bening akibat infeksi akut, menyebabkan

hiperplasia kelenjar tersebut hingga secara klinis teraba membesar. Secara klinis akan

ditemukan : lesi Primer sumber infeksi dan pembesaran kelenjar getah bening

regioner, yang disertai tanda – tanda umum peradangan berupa dolor, robor, kolor,

tumor dan funsio laesa. Misalnya, ada sakit gigi atau karies dentis atau infeksi

stomatitis sering diikuti pembesaran kelenjar getah bening submandibuler

(limfadenitis submandibuler), apabila lesi infeksi primer sudah diobati, maka

limfadenitis akuta inipun akan sembuh secara berangsur. Limfadenitis Kronis

disebabkan oleh infeksi kronis. Infeksi kronis nonspesifik misalnya pada keadaan

seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening

leher (limfadenitis). Pembesaran di sini ditandai oleh tanda radang yang sangat

minimal dan tidak nyeri. Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di

Indonesia adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh

pembesaran kelenjar getah benng, padat / keras, multiple dan dapat berkonglomerasi

satu sama lain.

Stadium

Untuk pembagian stadium masih selalu digunakan klasifikasi Ann Arbor.

Dalam suatu pertemuan kemudian diadakan beberapa perubahan.

Page 11: Referat Limfoma Maligna

Atas dasar penetapan stadium klinis pada penyakit Hodgkin pada 60%

penderita penyakitnya terbatas pada stadium I atau II. Pada 30% penderita terdapat

perluasan sampai stadium III dan pada 10-15% terdapat pada stadium IV. Ini berbeda

dengan limfoma non-Hodgkin, yang biasanya terdapat pada stadium III-IV.

Gambar 4. Stadium morbus Hodgkin berdasarkan klasifikasi Ann Arbor

klasifikasi Ann Arbor

Stadium I Penyakit mengenai satu kelenjar limfe regional yang terletak diatas atau dibawah diafragma (I) atau satu regio ekstralimfatik atau organ (IE)

Stadium II

Penyakit mengenai dua atau lebih daerah kelenjar di satu sisi diafragma (II) atau kelainan ekstralimfatik atau organ terlokalisasi dengan satu atau lebih daerah kelenjar di sisi yang sama diafragma (IIE)

Stadium III

Penyakit mengenai daerah kelenjar di kedua sisi diafragma (III), dengan atau tanpa kelainan ekstralimfatik atau organ (IIIE), lokalisasi limpa (IIIE) atau kedua-duanya (IIIE).

Stadium IV

Penyakit telah menjadi difus / menyebar mengenai satu atau lebih organ atau jaringan ekstralimfatik, seperti sumsum tulang atau hati dengan atau tanpa kelainan kelenjar limfe.

Terapi

Terapi limfoma Hodgkin

Tiap penderita dengan penyakit Hodgkin harus diterapi dengan tujuan kuratif.

Ini juga berlaku untuk penderita dalam stadium III dan IV dan juga untuk penderita

dengan residif sesudah terapi pertama.

Page 12: Referat Limfoma Maligna

Ini berarti bahwa terapi harus cepat dimulai dan bahwa ini tidak boleh

dihentikan atau dikurangi tanpa alasan yang berat. Sebelum mulai terapi harus ada

pembicaraan antara radioterapis dan internis untuk menentukan program terapi.

Tabel 4. Pilihan terapi pertama pada morbus Hodgkin

Terapi pertama

Stadium I – II - Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan radiasi kelenjar paraaorta dan limpa; kadang-kadang hanya lapangan mantel saja

- Jika ada faktor resiko, kemoterapi dilanjutkan dengan radioterapi

- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas dengan “involved field radiation”

Stadium IIIA Kemoterapi ditambah dengan radioterapi

Stadium IIIB – IV

Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi

1. Stadium klinik I dan II

Terapi standar dalam stadium I dan II adalah radioterapi. Untuk lokalisasi

di atas diafragma ini terdiri atas radiasi lapangan mantel, diikuti dengan radiasi

daerah paraaortal dan limpa, yang terakhir ini karena kemungkinan 20-30%

dalam daerah ini, seperti ternyata dari hasil laparotomi penetapan stadium. Terapi

demikian itu berlangsung 4 minggu untuk daerah mantel dan sesudah periode

istirahat 3-4 minggu, 4 minggu untuk daerah kelenjar limfe paraaortal dan limpa.

Dengan terapi ini ketahanan hidup bebas penyakit yang berlangsung lama adalah

kira-kira 75%, ketahanan hidup total kira-kira 90%. Ini dengan titik tolak bahwa

periode bebas penyakit 5-7 tahun berarti penyembuhan.

Jika lokasi kelainannya di bawah diafragma, dalam stadium I atau II

diberikan penyinaran Y terbalik, dengan menyinari kelenjar limfe paraaortal,

limpa, kelenjar iliakal dan kelenjar inguinal. Pada radiasi ini ovarium terdapat

dalam lapangan penyinaran. Karena itu dipertimbangkan pada wanita muda untuk

menempatkan ovarium di luar lapangan penyinaran. Jika kelainan di perut sangat

voluminous, maka dipilih kemoterapi dalam kombinasi dengan radioterapi.

Page 13: Referat Limfoma Maligna

Jadi, penderita dalam stadium I atau II dengan faktor resiko ini secara

inisial harus diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan penyinaran. Tahun-tahun

akhir ini pada umumnya ada tendensi untuk juga stadium I dan II penderita tanpa

faktor resiko tambahan diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan radiasi. Alasan

untuk ini adalah bahwa misalnya sebagai akibat penyinaran lapangan mantel

sesudah 10-15 tahun, juga terdapat kenaikan kemungkinan timbul masalah

kardial.

2. Stadium IIIA

Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi memang

mungkin, misalnya dalam situasi klinis stadium klinik II pada laparotomi terdapat

perluasan terbatas di limpa atau perut atas. Penyinaran harus terdiri dari radiasi

lapangan mantel dan radiasi Y terbalik (radiasi “total node”). Pada stadium klinik

III lebih dipilih penanganan dengan kemoterapi. Penderita ini diterapi sebagai

pasien dalam stadium IIIB – IV.

3. Stadium IIIB – IV

Penderita dalam stadium ini diterapi dengan kemoterapi (Longo, 1990).

Skema MOPP yang telah lama sebagai pilihan pertama tampaknya digeser oleh

skema MOPP/ABV. Dalam hal ini pada hari ke-1 dan ke-8 dapat diberikan

berbagai obat. Dari penelitian ternyata bahwa dengan pilihan ini kemungkinan

penyembuhan lebih besar daripada dengan MOPP saja.

Pada penderita yang lebih tua juga digunakan skema ChlVPP, yang pada

umumnya lebih baik ditoleransi. Mengenai efek samping kemoterapi disamping

efek akut yang terjadi (misalnya nausea, vomitus, depresi sumsum tulang, dan

kerontokan rambut), juga harus diperhatikan efek samping yang timbul

kemudian.

Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada morbus Hodgkin

Dosis (mg/m2)

Hari ke-

1 5 8 15

MOPP

Page 14: Referat Limfoma Maligna

Nitrogen mustardVinkristinProcarbazinePrednisone

6

1,4

100

25

i.v.

i.v.

p.o.

p.o.

+ +

+ +

—————————

—————————ChlVPP

ChlorambusilVinblastinProcarbazinePrednisone

6

6

100

25

p.o.

i.v.

p.o.

p.o.

—————————

+ +

—————————

—————————ABVD

AdriamisinBleomisinVinblastinDTIC

25

10

6

250

i.v.

i.v.

i.v.

i.v.

+ +

+ +

+ +

+ +MOPP/ABV

Nitrogen mustardVinkristinProcarbazinePrednisoneAdriamisinVinblastinBleomisin

6

1,4

100

40

35

6

10

i.v.

i.v.

p.o.

p.o.

i.v.

i.v.

i.v.

+

+

——————

—————————

+

+

+CEP

CCNUEtoposidPrednimustin

80

100

p.o.

p.o.

+

———

Page 15: Referat Limfoma Maligna

80 p.o. ———Keterangan : + dosis sekali

— diminum tiap hari berkelanjutan

Terapi limfoma non-Hodgkin

Metode terapi terpenting terhadap limfoma non-Hodgkin (NHL) adalah

kemoterapi, terutama terhadap tingkat keganasan sedang dan tinggi. Radioterapi juga

memilik: peranan tertentu dalam terapi NHL. Sedangkan operasi juga merupakan pilihan

berguna dalam terapi gabungan terhadap sebagiar. lesi ekstranodus, misal pada terapi

limfoma gastrointestinal, terutama bila terdapa: bahaya perforasi di lokasi tumor.

Terapi terhadap limfoma non-Hodgkin berkaitan erat dengan subtipe patologiknya.

Dewasa ini klasifikasi patologik umumnya memaki sistem klasifikasi baru menurut

WHO tahun 2001.

1. Limfoma indolen (tingkat keganasan rendah).

Limfoma indolen (keganasan rendah) memiliki ciri tabiat biologis tumor relatif

tenang, survival relatif panjang. Limfoma sel B indolen meliputi limfoma sel limfosit

kecil difus, limfoma limfoplasmasitik, limfoma zona marginal splenik,

plasmasitoma, limfoma sel B zona marginal ekstranodal, limfoma sel B zona

marginal nodus limfatikus, limfoma folikular, granuloma limfoproliferatif, dll.

Kebanyakan pasien saat diagnosis sudah tergolong stadium lanjut, hanya sekitar

10-20% pasien termasuk stadium I-II. Pasien stadium lanjut (III-IV) sangat sedikit

yang berpeluang sembuh, terapi umumnya bersifat paliatif. Limfoma indolen

stadium I-II umumnya diradioterapi (area terkena + area drainase), bila sebelum

radioterapi diberikan kemoterapi dengan formula FND kemungkinan dapat

meningkatkan masa survival bebas penyakit jangka panjang. Kasus stadium .IIIA pasca

kemoterapi ditambah radioterapi lokal dapat memperbaiki masa survival tanpa penyakit

DF S5 tahun sekitar 60%), masih kontroversial apakah dapat disembuhkan. Pasien stadium

IIIB-IV berdasarkan ukuran tumor, ada tidaknya tanda desakan, gejala sistemik,

laju progresi tumor dan faktor lain, secara terpisah dilakukan observasi, kemoterapi

Page 16: Referat Limfoma Maligna

obat tunggal, kemoterapi kombinasi atau perpaduan kemo/radioterapi. Terhadap lesi

yang tidak besar, tanpa tanda desakan, dan progresi sangat lambat, dapat dilakukan

observasi. Bila terdapat gejala, umumnya dianjurkan kemoterapi obat tunggal (seperti

klorambusil, siklofosfamid atau fludarabin). Bila efektivitas kemoterapi obat tunggal

kurang baik dan gejala mempengaruhi secara nyata kualitas hidup pasien, dapat

dikemoterapi kombinasi dengan formula FND, CVP, CHOP, dll.

2. Limfoma agresif (tingkat keganasan sedang)

Limfoma agresif meliputi limfoma sel B besar difus, limfoma sel B besar mediastinal,

limfoma sel besar anaplastik, dan subtipe lain, terapi standar dengan formula CHOP.

3. Limfoma sangat agresif (tingkat keganasan tinggi).

Limfoma limfoblastik dan limfoma Burkitt termasuk limfoma dengan keganasan

tinggi, tapi terapi keduanya memiliki ciri yang berbeda.

(1) Limfoma limfoblastik: tergolong keganasan tinggi, mortalitas tinggi, harus

diterapi dengan formula terhadap lekemia limfositik akut, masih ada kemungkinan

sembuh. Limfoma limfoblastik pada anak-anak berprognosis lebih baik, pada

dewasa sangat buruk, tanpa invasi sumsum tulang dan sistem saraf pusat, bila LDH

normal prognosis lebih baik.

(2) Limfoma Burkitt: walaupun keganasan tinggi, namun dengan terapi rasional tidak

sedikit pasien dapat disembuhkan.

4. Formula kemoterapi terhadap limfoma non-Hodgkin

1) Formula CHOP

CTX 750mg/m2 iv, dlADR 50mg/m2 iv, dlVCR 1,4mg/m2 iv (dosis maks. 2mg), dlPred. 60mg/m2 po, d1-5

Diulangi setiap 21 hari.

2) Formula M-BACOD

MTX 3000mg/m2 iv, d8, d15 (berikut salvasi CF)CF 100mg/m2 po, q6h x8 (mulai 24jam pasca MTX)

BLM 4U/m2 iv, dlADR 45mg/m2 iv, dlCTX 600mg/m2 iv, dl

Page 17: Referat Limfoma Maligna

VCR 1,4mg/m2 iv, dlDXM 6mg/m2 d1-5

Diulangi setiap 21 hari.

3) Formula CHOP-RituximabCTX 750 mg/m2 iv, d3ADR 50 mg/m2 iv, d3

VCR 1,4 mg/m2 iv (dosis max.2 mg), d3

Pred. 100 mg/m2 po, d3-7

Rituximab 375 mg/m2 iv, dl

Diulangi setiap 21 hari.

4) Formula FMD.FDR 25mg/m2 iv, d1-5

MIT 10mg/m2 iv, dl

DXM 20mg/m2 iv, d1-5

Diulangi setiap 21 hari.

5) Formula CODOX-M/IVAC. CODOX-M

CTX 800 mg/m2 iv, dlCTX 200 mg/m2 iv, d2-5ADR 40 mg/m2 iv, dl

VCR 1,5 mg/m2 iv (dosis max. 2mg), d1,8

MTX 6,7 g/m2 iv drip kontinu 24jam, d10

CF 192 mg/m 2 iv, 12jam pasca MTX, lalu im, 12mg/m2, q6h, hingga kadar MTX darah<10-8

MTX 12 mg it, d15

Ara-C 70 mg it, d1,3

IVAC

IFO 1500 mg/m2 iv (Mesna, proteksi traktus urinarius), d1-5

VP-16 60 mg/m2 iv, d1-5

Ara-C 2g/m2 iv, drip 2jam ql2h x4, dl-2

MTX 12mg/m2 iv, d5CODOX-M dan IVAC setiap 3 minggu bergantian.(Lin Tongyu, Guan Zhongzhen)

Page 18: Referat Limfoma Maligna

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penerbit FKUI. BukuAjar Onkologi Klinis Ed. 2. 2008. Jakarta: FKUI; Hal 547-

563

Hoppe RT, Advani RH, Ambinder RF, et al. Hodgkin disease/lymphoma. J Natl Compr Canc Netw. Jul 2008;6(6):594-622. 

Jaffe ES, Harris NL, Stein H, Vardiman JW, eds. World Health Organization Classification of Tumours: Pathology and Genetics of Tumours of Haematopoietic and Lymphoid Tissues. Lyon, France: IARC Press; 2001.

Molina A, Pezner RD. Non-Hodgkin's lymphoma. In: Pazdur R, Coia LR, Hoskins WJ, Wagman LD, eds. Cancer Management: A Multidisciplinary Approach. 5th

ed. Melville, NY: PRR, Inc; 2000:583-618.

Thomas RK, Re D, Wolf J, Diehl V. Part I: Hodgkin's lymphoma--molecular biology of Hodgkin and Reed-Sternberg cells. Lancet Oncol. Jan 2004;5(1):11-8.

Vose JM. Current approaches to the management of non-Hodgkin''s lymphoma. Semin Oncol. Aug 1998;25(4):483-91. 

Page 19: Referat Limfoma Maligna

Zhang QY, Foucar K. Bone marrow involvement by Hodgkin and non-Hodgkin lymphomas. Hematol Oncol Clin North Am. Aug 2009;23(4):873-902.