yesi lemak+cover print

Upload: jessita-ryosuke

Post on 22-Jul-2015

129 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Acara II

LEMAK DAN MINYAKLAPORAN RESMI PRAKTIKUM KIMIA PANGAN

Disusun oleh: Ong, Jessita S.R. 10.70.0014 Kelompok A3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

2

2012

1. PENDAHULUAN1.1. Tanggal Praktikum dan Acara Praktikum Lemak dan Minyak untuk kloter A dilakukan pada hari Selasa, 15 Mei 2012 di Laboratorium Ilmu Pangan, UNIKA Soegiijapranata. Praktikum dimulai pada pukul 15.00. Asisten dosen yang bertanggung jawab pada praktikum Lemak dan Minyak adalah Wenni Yuliana. Jenis minyak yang digunakan pada kloter A adalah minyak kedelai. Minyak kedelai digunakan untuk menggoreng pisang (kelompok 1), tahu (kelompok 2), tempe (kelompok 3), sosis (kelompok 4), dan telur puyuh diceplok (kelompok 5). Minyak yang digunakan untuk pengamatan selanjutnya adalah minyak hasil penggorengan ke 1, 3, dan 5, serta minyak baru. Parameter yang dicari pada praktikum ini adalah nilai smoke point, free fatty acid (FFA), dan nilai TBA (Thiobarbituric Acid). Setelah itu hasil pengamatan dicatat dalam tabel hasil pengamatan pada buku praktikum. 1.2. Tujuan Praktikum Tujuan dilakukan praktikum kali ini adalah untuk mengetahui cara menentukan smoke point pada berbagai jenis sampel minyak dan membandingkannya, mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi smoke point pada minyak, mengetahui besarnya % FFA (Free Fatty Acid) pada minyak baru dan bekas penggorengan, serta menentukan TBA pada minyak baru dan minyak bekas penggorengan.

3

2. MATERI METODE2.1. Materi 2.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain timbangan analitik, gelas ukur, bekker glass, erlenmeyer, termometer, pemanas elektronik, pipet volume, buret, labu destilasi, spektrofotometer, labu destilat, waterbath / penangas air, tabung reaksi tertutup, rak tabung reaksi, dan destilator. 2.2.2. Bahan Dalam praktikum ini, bahan-bahan yang digunakan antara lain minyak kedelai baru maupun bekas penggorengan ke-1,3,5. Kelompok 1 menggunakan minyak bekas menggoreng pisang, kelompok 2 menggunakan minyak bekas menggoreng tahu, kelompok 3 menggunakan minyak bekas menggoreng tempe, kelompok 4 menggunakan minyak bekas menggoreng sosis, kelompok 5 menggunakan minyak bekas menggoreng telur puyuh, alkohol 95%, indikator PP, KOH 0,1 N, HCL 4N, antifoam, dan reagen TBA. Ukuran bahan pangan yang akan digoreng diseragamkan, yaitu tahu, tempe, dan pisang sebesar 4 x 3 x 0.5 cm, dan untuk sosis ayam dipotong dengan panjang 5 cm. 2.2. Metode 2.2.1. Persiapan Minyak Bekas Penggorengan Sebanyak 250 ml minyak baru dituangkan ke wajan dan dipanaskan untuk menggoreng bahan. Setelah penggorengan pertama, bahan diangkat dan sebanyak 50 ml minyak diambil. Proses diulangi untuk penggorengan ketiga dan kelima hingga tersisa minyak sebanyak kira-kira 100 ml. Minyak bekas penggorengan pertama, ketiga, dan kelima ditempatkan dalam plastik dan diberi tanda. 2.2.2. Smoke point 20 ml minyak baru dimasukkan ke dalam bekker glass dan dipasang termometer agar suhu terbaca. Lalu sampel dipanaskan pada pemanas elektronik hingga timbul asap. Suhu saat timbul asap dicatat. Percobaan ini dilakukan pula untuk minyak bekas.

4

2.2.3. Free Fatty Acid Sebanyak 2 ml sampel minyak baru dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml lalu ditambahkan 50 ml alkohol 95%. Kemudian larutan dipanaskan di dalam waterbath pada suhu 60 0C selama 10 menit dan ditambahkan 2 tetes indikator PP sebelum titrasi. Lalu larutan dititrasi dengan menggunakan KOH 0,1 N hingga terbentuk warna merah muda yang dapat bertahan selama 15 menit. Setelah itu % FFA dapat dihitung dengan menggunakan rumus: % FFA = ml KOH x N KOH x BM asam lemak x 100% berat sampel ( g ) x 1000

Keterangan : BM minyak kedelai : 278,43

2.2.4. Penentuan TBA Sebanyak 3 ml sampel minyak baru diambil, dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambah dengan 50 ml aquades hingga larut. Lalu larutan sampel dimasukkan ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 48,5 ml aquades. Kemudian ke dalam larutan ditambahkan 1,5 ml HCl 4N (1 bagian HCl dalam 2 bagian air) dan 3 tetes antifoam. Larutan didestilasi dengan pemanasan setinggi mungkin sampai diperoleh destilat kira-kira sebanyak 5 ml. Destilat yang diperoleh lalu diaduk dan diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi tertutup lalu ditambahkan dengan 5 ml reagen TBA dan dipanaskan selama 30 menit. Kemudian larutan diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm. Percobaan ini dilakukan pula pada minyak bekas dan dibuat pula blanko dengan menggunakan aquades. Angka TBA dapat dihitung dengan menggunakan rumus. Angka TBA (mg malonaldehid /kg minyak) = 3 x A528 x7,8 bobot sampel

5

3. HASIL PENGAMATAN 3.1.Smoke point Hasil pengamatan terhadap smoke point dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Smoke point Kelompok A1 Jenis minyak Minyak kedelai Bahan yang digoreng Pisang Penggorengan ke0 1 3 5 0 1 3 5 0 1 3 5 0 1 3 5 0 1 3 5 Suhu(oC) 200 220 175 180 210 220 200 80 173 164 180 172 110 300 220 164 240 220 -

A2

Minyak kedelai

Tahu

A3

Minyak kedelai

Tempe

A4

Minyak kedelai

Sosis

A5

Minyak kedelai

Telur puyuh (diceplok)

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa pada kelompok A1 dengan bahan pisang, pada penggorengan ke-0 suhu smoke pointnya adalah 200oC, pada penggorengan ke-1 suhu smoke point-nya adalah 220oC, pada penggorengan ke-3 suhu smoke point-nya adalah 175oC, dan pada penggorengan ke-5 suhu smoke point-nya adalah 180oC. Untuk kelompok A2 dengan bahan tahu, pada penggorengan ke-0 suhu smoke pointnya adalah 210oC, pada penggorengan ke-1 suhu smoke point-nya adalah 220oC, pada penggorengan ke-3 suhu smoke point-nya adalah 200oC, dan pada penggorengan ke-5 suhu smoke pointnya adalah 80oC. Pada kelompok A3 dengan bahan tempe, pada penggorengan ke-0 suhu

6

smoke pointnya adalah 173oC, pada penggorengan ke-1 suhu smoke point-nya adalah 164oC, pada penggorengan ke-3 suhu smoke point-nya adalah 180oC, dan pada penggorengan ke-5 suhu smoke point-nya adalah 172oC. Kelompok 4 dengan bahan sosis ayam, pada penggorengan ke-0 suhu smoke pointnya adalah 110oC, pada penggorengan ke-1 suhu smoke point-nya adalah 300oC, pada penggorengan ke-3 suhu smoke point-nya adalah 220oC. Kelompok A5 dengan bahan telur puyuh (diceplok), pada penggorengan ke-0 suhu smoke pointnya adalah 165oC, pada penggorengan ke-1 suhu smoke point-nya adalah 240oC, pada penggorengan ke-3 suhu smoke point-nya adalah 220oC. 3.2.Free Fatty Acid Hasil pengamatan terhadap %FFA dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Free Fatty Acid Kel. A1 Jenis minyak Minyak kedelai Bahan yang digoreng Pisang Penggorengan ke0 1 3 5 0 1 3 5 0 1 3 5 0 1 3 5 0 1 3 5 ml KOH 3,4 9,8 3,9 3,8 3 6,2 16,3 23,5 22,2 3,5 9,5 6,5 2,1 2,8 7,8 13,7 32 3,5 7,9 11 %FFA 5,917 17,054 6,787 6,613 5,221 10,789 28,365 40,894 38,632 6,090 16,532 11,311 3,654 4,872 13,573 23,840 55,68 6,09 13,74 19,14

A2

Minyak kedelai

Tahu

A3

Minyak kedelai

Tempe

A4

Minyak kedelai

Sosis

A5

Minyak kedelai

Telur puyuh (diceplok)

7

Berdasarkan tabel pengamatan di atas, dapat dilihat pada kelompok A1 dengan bahan pisang, pada penggorengan ke-0, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 3,4 ml dan %FFA-nya adalah 5,917%; pada penggorengan ke-1, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 9,8 ml dan %FFA-nya adalah 17,054%; pada penggorengan ke-3, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 3,9 ml dan %FFA-nya adalah 6,787%; pada penggorengan ke-5, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 3,8 ml dan %FFA-nya adalah 6,613%. Kelompok A2 yang menggunakan tahu, pada penggorengan ke-0, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 3 ml dan %FFA-nya adalah 5,221%; pada penggorengan ke-1, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 6,2 ml dan %FFA-nya adalah 10,789%; pada penggorengan ke-3, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 16,3 ml dan %FFA-nya adalah 28,365%; pada penggorengan ke-5, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 23,5 ml dan %FFA-nya adalah 40,894%. Kelompok A3 dengan bahan tempe, pada penggorengan ke-0, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 22,2 ml dan %FFA-nya adalah 38,632%; pada penggorengan ke-1, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 3,5 ml dan %FFA-nya adalah 6,090%; pada penggorengan ke-3, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 9,5 ml dan %FFA-nya adalah 16,532%; pada penggorengan ke-5, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 6,5 ml dan %FFA-nya adalah 11,311%. %. Kelompok A4 dengan bahan sosis, pada penggorengan ke-0, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 2,1 ml dan %FFA-nya adalah 3,654%; pada penggorengan ke-1, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 2,8 ml dan %FFA-nya adalah 4,872%; pada penggorengan ke-3, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 7,8 ml dan %FFA-nya adalah 13,573%; pada penggorengan ke-5, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 13,7 ml dan %FFAnya adalah 23,840%. Untuk kelompok A5 dengan bahan telur puyuh (diceplok), pada penggorengan ke-0, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 32 ml dan %FFA-nya adalah 55,68%; pada penggorengan ke-1, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 3,5 ml dan %FFA-nya adalah 6,09%; pada penggorengan ke-3, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 7,9 ml dan %FFA-nya adalah 13,74%; pada penggorengan ke-5, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 11 ml dan %FFA-nya adalah 19,14%.

3.3.Angka TBA

8

Hasil pengamatan terhadap angka TBA dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Angka TBA Kel. A1 Jenis minyak Minyak kedelai Bahan yang digoreng Pisang Penggorengan ke0 1 3 5 0 1 3 5 0 1 3 5 0 1 3 5 0 1 3 5 Absorbansi 0,0942 0,0834 0,0872 0,0824 0,0084 0,0170 0,0277 0,1083 0,0042 0,0066 0,0262 0,1615 0,0940 0,1713 0,858 0 0,0842 0,1295 0,0911 0,1783 Angka TBA(mg malonaldehid/kg minyak) 0,918 0,813 0,850 0,803 0,082 0,166 0,270 1,056 0,041 0,064 0,255 1,575 0,917 1,670 0,837 0 0,821 1,263 0,888 1,738

A2

Minyak kedelai

Tahu

A3

Minyak kedelai

Tempe

A4

Minyak kedelai

Sosis

A5

Minyak kedelai

Telur puyuh

Bersadarkan hasil pengamatan pada tabel 3, kelompok A1 dengan bahan pisang, pada penggorengan ke-0, absorbansinya adalah 0,0942 dan angka TBA-nya adalah 0,918; pada penggorengan ke-1, absorbansinya adalah 0,0834 dan angka TBA-nya adalah 0, 813; pada penggorengan ke-3, absorbansinya adalah 0,0872 dan angka TBA-nya adalah 0,850; dan pada penggorengan ke-5, absorbansinya adalah 0,0824 dan angka TBA-nya adalah 0,803. Kelompok A2 yang menggunakan tahu, pada penggorengan ke-0, absorbansinya adalah 0,00848 dan angka TBA-nya adalah 0,082; pada penggorengan ke-1, absorbansinya adalah 0,0170 dan angka TBA-nya adalah 0,166; pada penggorengan ke-3, absorbansinya adalah 0,0277 dan angka TBA-nya adalah 0,270; dan pada penggorengan ke-5, absorbansinya adalah 0,1083 dan angka TBA-nya adalah 1,056. Kelompok A3 yang

9

menggunakan tempe, pada penggorengan ke-0, absorbansinya adalah 0,0042 dan angka TBA-nya adalah 0,041; pada penggorengan ke-1, absorbansinya adalah 0,0066 dan angka TBA-nya adalah 0,064; pada penggorengan ke-3, absorbansinya adalah 0,0262 dan angka TBA-nya adalah 0,255; dan pada penggorengan ke-5, absorbansinya adalah 0,1615 dan angka TBA-nya adalah 1,575. Kelompok A4 yang menggunakan sosis, pada penggorengan ke-0, absorbansinya adalah 0,0940 dan angka TBA-nya adalah 0,917; pada penggorengan ke-1, absorbansinya adalah 0,1713 dan angka TBA-nya adalah 1,670; pada penggorengan ke-3, absorbansinya adalah 0,858 dan angka TBA-nya adalah 0,837; dan pada penggorengan ke-5, absorbansinya adalah 0 dan angka TBA-nya adalah 0. Kelompok A5 yang menggunakan telur puyuh (diceplok), pada penggorengan ke-0, absorbansinya adalah 0,0842 dan angka TBA-nya adalah 0,821; pada penggorengan ke-1, absorbansinya adalah 0,1295 dan angka TBA-nya adalah 1,263; pada penggorengan ke-3, absorbansinya adalah 0,0911 dan angka TBA-nya adalah 0,888; dan pada penggorengan ke-5, absorbansinya adalah 0,1783 dan angka TBA-nya adalah 1,738.

4. PEMBAHASAN

10

Lemak merupakan bahan padat pada suhu kamar, diantaranya disebabkan kandungannya yang tinggi akan asam lemak jenuh yang secara kimia tidak mengandung ikatan rangkap, sehingga mempunyai titik lebur yang tinggi. Minyak merupakan bahan cair diantaranya disebabkan rendahnya kandungan asam lemak jenuh dan tingginya kandungan asam lemak tidak jenuh yang memiliki satu atau lebih ikatan rangkap di antara atom-atom karbonnya, sehingga mempunyai titik lebur yang rendah (Winarno, 1997). Minyak atau lemak bersifat tidak larut dalam pelarut air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti misalnya : petroleum eter, dietil eter, alkohol panas, khloroform dan benzena (Tranggono & Sutardi, 1989). Menurut Gaman & Sherrington (1994), lemak adalah campuran dari trigliserida yang terbentuk bila tiga molekul asam lemak beresterifikasi dengan satu molekul gliserol. Dan menurut Martoharsono (1994), berdasarkan ada tidaknya ikatan rangkap dalam struktur molekulnya, asam lemak dapat dibedakan menjadi : 1. Asam lemak jenuh. Asam lemak ini tidak mempunyai ikatan rangkap dalam struktur kimianya. 2. Asam lemak tak jenuh Asam lemak ini rantai karbonnya mempunyai sebuah atau lebih ikatan rangkap. Ketengikan merupakan suatu kondisi dimana lemak mengalami oksidasi. Ketengikan oksidatif merupakan proses komplek yang berlangsung dalam 3 tahap, yaitu inisiasi, autooksidasi dan terminasi. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengetahui terjadinya ketengikan pada lemak atau minyak, diantaranya: 1. AOM (Active Oxygen Method), digunakan untuk memprediksi stabilitas lemak oleh gelembung udara melalui bahan pangan dibawah kondisi spesifik laju alir, temperatur dan konsentrasi. 2. TBA (Thiobarbituric Acid), mengukur pembentukan aldehid sebagai indikator stabilitas/ketengikan lemak. 4. Bilangan peroksida (PV), merupakan indikator yang paling banyak digunakan untuk mengetahui tingkat oksidasi lemak. (Hamilton, 2003)

11

Saat penggorengan dilakukan, ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tak jenuh akan putus membentuk asam lemak jenuh. Minyak yang baik adalah minyak yang mengandung asam lemak tak jenuh yang lebih banyak dibandingkan dengan kandungan asam lemak jenuhnya. Setelah penggorengan berkali-kali, asam lemak yang terkandung dalam minyak akan semakin jenuh. Dengan demikian minyak tersebut dapat dikatakan telah rusak atau dapat disebut minyak jelantah. Penggunaan minyak berkali-kali akan membuat ikatan rangkap minyak teroksidasi membentuk gugus peroksida dan monomer siklik, minyak yang seperti ini dikatakan telah rusak dan berbahaya bagi kesehatan. Suhu yang semakin tinggi dan semakin lama pemanasan, kadar asam lemak jenuh akan semakin naik. Minyak nabati dengan kadar asam lemak jenuh yang tinggi akan mengakibatkan makanan yang digoreng menjadi berbahaya bagi kesehatan. Selain karena penggorengan berkali-kali, minyak dapat menjadi rusak karena penyimpanan yang salah dalam jangka waktu tertentu sehingga ikatan trigliserida pecah menjadi Pada percobaan ini digunakan minyak kedelai untuk penggorengan. Kelebihan dari minyak nabati adalah memiliki titik asap yang lebih tinggi daripada lemak hewani. Titik asap adalah suhu di mana minyak mulai terdekomposisi dan membentuk akreolin, suatu senyawa berbau tidak enak. Sedangkan flash point adalah suhu di mana permukaan minyak mulai terbakar, dan fire point adalah suhu di mana permukaan minyak terbakar seluruhnya. Minyak yang sudah digunakan akan berwarna gelap karena minyak dan molekul makanan terbakar pada saat dipanaskan pada suhu tinggi. Selain itu juga akan terjadi perubahan viskositas karena struktur molekuler oil juga berubah (Anonim, 2006). 4.1. Smoke point Titik asap (smoke point) adalah temperatur dimana sampel mulai berasap ketika berada di bawah kondisi spesifik. Titik asap (smoke point) pada temperatur yang rendah, diteruskan secara tajam oleh bluish smoke dan menjadi menurun. Tes ini memberikan reflek material organik yang volatil pada minyak dan lemak, terutama asam amino bebas dan sisa ekstraksi pelarut. Minyak penggorengan dan minyak olahan harus memiliki titik asap sekitar 200oC dan 300oC (Nielsen, 1998). Smoke point adalah titik nyala tertinggi (dalam mm) yang dapat dihasilkan tanpa membangkitkan asap. Semakin tinggi kadar senyawa

12

aromat dalam minyak bumi tersebut, maka smoke point-nya pun semakin rendah (Adi, 2009). Jika lemak dipanaskan, akan terjadi perubahan-perubahan nyata pada 2 titik suhu : 1. Titik cair Lemak mencair jika dipanaskan. Karena lemak adalah campuran trigliserida, mereka tidak mempunyai titik cair yang jelas tetapi akan mencair pada suatu rentangan suhu. Suhu pada saat lemak terlihat mulai mencair disebut titik lincir. Kebanyakan lemak mencair pada suhu antara 30-40oC. Titik cair untuk lemak adalah dibawah suhu udara biasa. 2. Titik asap Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas (Winarno, 1997). Dalam percobaan pengamatan nilai smoke point ini, berbagai sampel minyak diletakkan di dalam bekker glass yang kemudian diletakkan di atas pemanas elektrik. Suhu di mana mulai timbul asap pertama kali pada sampel, ditentukan sebagai nilai smoke point . Hal ini sesuai dengan teori Herschdoerfer (1986), yang mengatakan bahwa tes smoke point dapat dilakukan dengan mengisi wadah kaca dengan sampel lemak dan ditempatkan pada kabinet yang mempunyai sumber cahaya pada wadah kaca dan menyebabkan iluminasi lateral. Wadah kaca tersebut ditempatkan pada sumber panas, kemudian dipanaskan, temperatur diamati dengan menempatkan termometer pada sampel. Smoke point adalah temperatur dimana sampel mengeluarkan asap biru secara kontinyu, kepulan kecil dapat diabaikan (Herschdoerfer, 1986). Titik asap bermanfaat dalam menentukan lemak atau minyak yang sesuai untuk keperluan menggoreng. Pemanasan ulang lemak atau minyak atau terdapatnya bagian bagian makanan yang hangus akan menurunkan titik asap. Pemanasan ulang juga akan mengakibatkan perubahan oksidatif dan hidrolitik pada lemak dan mengakibatkan akumulasi substansi yang akan memberikan flavor yang tidak disukai pada makanannya (Gaman & Sherrington, 1994).

13

Smoke point merupakan suhu lemak dimana dikeluarkannya asap yang kontinyu atau bersambung dari permukaan lemak. Penambahan emulsifier dan perubahan dari asam lemak bebas dengan hidrolisis lemak selama penggorengan akan menyebabkan pengurangan smoke point. Dan faktor yang paling berpengaruh adalah fase terbukanya permukaan lemak yang dapat menurunkan smoke point. (Bennion & Hughes, 1975). Bila suatu lemak dipanaskan, pada suhu tertentu timbul asap tipis kebiruan. Titik ini disebut titik asap (smoke point). Bila pemanasan diteruskan akan tercapai flash point, yaitu minyak mulai terbakar (terlihat nyala). Jika minyak sudah terbakar secara tetap disebut fire point. Suhu terjadinya smoke point pada percobaan ini bervariasi. Dari data di tabel hasil pengamatan, diketahui bahwa kelompok A1 yang menggunakan pisang, pada penggorengan ke-0 suhu smoke pointnya adalah 200oC, pada penggorengan ke-1 suhu smoke point-nya adalah 220oC, pada penggorengan ke-3 suhu smoke point-nya adalah 175oC, dan pada penggorengan ke-5 suhu smoke point-nya adalah 180oC. Untuk kelompok A2 yang menggunakan tahu, pada penggorengan ke-0 suhu smoke pointnya adalah 210oC, pada penggorengan ke-1 suhu smoke point-nya adalah 220oC, pada penggorengan ke-3 suhu smoke point-nya adalah 200oC, dan pada penggorengan ke-5 suhu smoke point-nya adalah 80oC. Untuk kelompok A3 yang menggunakan tempe, pada penggorengan ke-0 suhu smoke pointnya adalah 173oC, pada penggorengan ke-1 suhu smoke point-nya adalah 164oC, pada penggorengan ke-3 suhu smoke point-nya adalah 180oC, dan pada penggorengan ke-5 suhu smoke point-nya adalah 172oC. Untuk kelompok A4 yang menggunakan, sosis pada penggorengan ke-0 suhu smoke pointnya adalah 110oC, pada penggorengan ke-1 suhu smoke point-nya adalah 300oC, pada penggorengan ke-3 suhu smoke point-nya adalah 220oC. Untuk kelompok A5 yang menggunakan telur puyuh (diceplok), pada penggorengan ke-0 suhu smoke pointnya adalah 165oC, pada penggorengan ke-1 suhu smoke point-nya adalah 240oC, pada penggorengan ke-3 suhu smoke point-nya adalah 220oC. Dapat dilihat bahwa pada beberapa kelompok, smoke point yang dihasilkan mengalami fluktuasi. Dari hasil pengamatan praktikum smoke point, nilai smoke point paling tinggi adalah pada dan minyak kedelai penggorengan sosis ke-1 dengan nilai 300 oC , nilai smoke point yang

14

paling rendah adalah pada minyak kedelai bekas penggorengan ke-5 dengan bahan tahu, yang bernilai 80oC. Menurut Winarno (1997), nilai smoke point ini sangat dipengaruhi oleh jumlah asam lemak bebas yang terdapat di dalam sampel minyak. Jika asam lemak bebas banyak, maka ketiga suhu tersebut akan turun. Demikian juga bila berat molekul rendah, ketiga suhu tersebut lebih rendah. Ketiga sifat ini penting dalam penentuan mutu lemak yang digunakan sebagai minyak goreng. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng, titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Hasil pengamatan yang menyatakan bahwa minyak penggorengan ke-1 mempunyai smoke point paling tinggi belum sesuai dengan teori, karena seharusnya nilai smoke point tertinggi yaitu pada minyak baru karena minyak baru belum digunakan sebagai media transfer panas atau untuk menggoreng bahan-bahan yang ada. Minyak yang belum digunakan untuk menggoreng, jumlah asam lemak bebas yang lebih sedikit karena belum terjadi reaksi hidrolisis maupun oksidasi pada molekul-molekul asam lemak (Winarno, 1997). Nilai smoke point yang terendah adalah pada minyak bekas penggorengan yang ke-5 pada bahan tahu. Hal ini sesuai dengan teori Winarno (1997), yaitu nilai smoke point akan turun jika terdapat asam lemak bebas dalam jumlah yang banyak atau berat molekul minyak rendah. Selain karena jumlah asam lemak yang besar, penurunana nilai smoke point dapat dikarenakan adanya penambahan emulsifier pada minyak yang dipanaskan (Bennion & Hughes, 1975). Minyak yang telah terhidrolisis, smoke pointnya menurun, bahan-bahan menjadi coklat dan lebih banyak menyerap minyak. Semakin turun nilai smoke point minyak berarti semakin tengik juga minyak tersebut. Selain disebabkan karena minyak teroksidasi, penggunaan yang lama dan berulang kali menyebabkan ikatan rangkap teroksidasi membentuk gugus peroksida dan monomer siklis (Anonim, 2002). Smoke point minyak bekas lebih rendah daripada minyak baru, maka berarti mutu minyak bekas lebih jelek daripada mutu minyak baru (Winarno, 1997). Minyak yang digunakan untuk menggoreng akan mengalami perubahan komposisi kimia. Perubahan ini sangat menentukan kualitas dari minyak tersebut. Khususnya terhadap viskositas, warna, kandungan senyawa polar, polimer dan asam lemak polarnya. Pada umumnya, viskositas akan meningkat dan

15

warnanya menjadi lebih gelap (Benedito et al., 2002). Viskositasnya meningkat karena proses polimerisasi (penggumpalan), sehingga secara fisik nampak kental (Budiarso, 2005). Hal ini tampak pada percobaan ini, dimana minyak bekas berwarna lebih gelap atau lebih tua dan lebih kental daripada minyak baru. Hasil pengamatan semua kelompok mengalami fluktuasi. Seharusnya nilai smoke point dari penggorengan ke-1 hingga ke-5 semakin rendah. Kesalahan dalam pembacaan termometer kemungkinan terjadi. Selain itu ketepatan saat mengamati keluarnya asap pertama kali perlu diperhatikan. Asap yang keluar dari lemak atau minyak seringkali tidak terlihat jelas karena kurangnya pencahayaan. Dalam penentuan smoke point kali ini peralatan yang digunakan terbatas dan mengakibatkan pengamatan tidak berjalan sempurna. 4.2. Free Fatty Acid (FFA) Menurut Ekwenye (2006), jumlah asam lemak bebas terkandung dinyatakan dalam jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan 1 gram asam lemak bebas dalam sampel. Nilai asam lemak merupakan jumlah KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak dalam 1 gr sampel. Asam lemak bebas biasanya dinyatakan sebagai asam oleat yang mempunyai nilai asam 2x FFA. Nilai iodin merupakan pengukuran kuantitatif terhadap derajat ketidakjenuhan lemak, dimana dilakukan penitrasian dengan Na2S2O3. Nilai peroksida ditentukan berdasarkan berat mg iodin yang terbentuk dari 1 kg sampel. Iodin yang terbentuk kemudian dititrasi dengan larutan sodium tiosulat standart. Dalam uji asam lemak bebas, angka asam dinyatakan sebagai jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam satu gram minyak atau lemak. Pada penentuan asam lemak bebas yang pertama dilakukan adalah minyak ditambahkan dengan alkohol 95% pada sampel, lalu dipanaskan diatas waterbath. Alkohol berfungsi untuk melarutkan asam lemak. Setelah dipanaskan, larutan dititrasi dengan KOH dan sebelumnya ditetesi dengan indikator PP. Titrasi dilakukan sampai larutan berwarna merah jambu. Penggunaan KOH untuk menitrasi larutan tersebut karena larutan yang dihasilkan setelah penambahan alkohol bersifat asam dan untuk

16

menetralkannya adalah dengan menggunakan KOH atau basa kuat (Sudarmadji et al., 1989). Dalam hasil praktikum penentuan nilai % FFA, didapatkan data nilai % FFA dari setiap perlakuan penggorengan dari setiap masing-masing sampel. Kelompok A1 yang menggunakan pisang, pada penggorengan ke-0, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 3,4 ml dan %FFA-nya adalah 5,917%; pada penggorengan ke-1, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 9,8 ml dan %FFA-nya adalah 17,054%; pada penggorengan ke-3, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 3,9 ml dan %FFA-nya adalah 6,787%; pada penggorengan ke-5, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 3,8 ml dan %FFA-nya adalah 6,613%. Untuk kelompok A2 yang menggunakan tahu, pada penggorengan ke-0, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 3 ml dan %FFAnya adalah 5,221%; pada penggorengan ke-1, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 6,2 ml dan %FFA-nya adalah 10,789%; pada penggorengan ke-3, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 16,3 ml dan %FFA-nya adalah 28,365%; pada penggorengan ke-5, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 23,5 ml dan %FFAnya adalah 40,894%. Untuk kelompok A3 yang menggunakan tempe, pada penggorengan ke-0, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 22,2 ml dan %FFA-nya adalah 38,632%; pada penggorengan ke-1, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 3,5 ml dan %FFA-nya adalah 6,090%; pada penggorengan ke-3, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 9,5 ml dan %FFA-nya adalah 16,532%; pada penggorengan ke-5, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 6,5 ml dan %FFA-nya adalah 11,311%. %. Untuk kelompok A4 yang menggunakan sosis, pada penggorengan ke-0, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 2,1 ml dan %FFA-nya adalah 3,654%; pada penggorengan ke-1, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 2,8 ml dan %FFA-nya adalah 4,872%; pada penggorengan ke-3, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 7,8 ml dan %FFA-nya adalah 13,573%; pada penggorengan ke-5, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 13,7 ml dan %FFA-nya adalah 23,840%. Untuk kelompok A5 yang menggunakan telur puyuh (diceplok), pada penggorengan ke-0, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 32 ml dan %FFA-nya adalah 55,68%; pada penggorengan ke-1, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 3,5 ml dan %FFA-nya adalah 6,09%; pada penggorengan ke-3, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 7,9 ml dan %FFA-nya

17

adalah 13,74%; pada penggorengan ke-5, ml KOH yang dibutuhkan untuk titrasi adalah 11 ml dan %FFA-nya adalah 19,14%. Telur puyuh mempunyai nilai % FFA yang paling tinggi karena merupakan bahan pangan hewani yang berarti memiliki kandungan lemak lebih tinggi dan menyebabkan kerusakan minyak lebih besar dibandingkan bahan pangan nabati seperti tahu, tempe, dan pisang. Pada hasil pengamatan rata-rata hasil %FFA tiap kelompok mengalami penurunan kecuali kelompok 2 dan 4, hal ini karena pada proses oksidasi ini akan dihasilkan sejumlah aldehid, asam bebas dan peroksida organik. Untuk mengetahui tingkat ketengikan dari minyak atau lemak, dapat dilakukan dengan menggunakan jumlah peroksida yang telah terbentuk pada minyak atau lemak tersebut. Lemak tidak jenuh khususnya oleat ternyata lebih cepat tengik dibandingkan lemak jenuh. Lemak yang tengik menimbulkan rasa tidak enak, bahkan pada beberapa individu dapat menimbulkan keracunan ringan, dan dapat merusak zat - zat lain yang ada dalam makanan seperti karoten, vitamin A dan vitamin E. Kerusakan minyak dan lemak selain disebabkan oleh proses oksidasi dapat juga disebabkan oleh proses hidrolisa. Pada proses hidrolisa dihasilkan gliserida dari asamasam lemak berantai pendek (C4-C12) sehingga akan terjadi perubahan rasa dan bau menjadi tengik (Winarno, 1997). Kesalahan dan kejanggalan data yang diperoleh dari praktikum penentuan % FFA dapat disebabkan karena kesalahan yang terjadi selama praktikum seperti saat menentukan titik akhir titrasi. Seharusnya titrasi dihentikan saat muncul warna merah muda yang tidak hilang bila didiamkan selama 15 menit. Nilai % FFA yang paling tinggi seharusnya dimiliki oleh mentega bekas penggorengan yang kelima pada tiap kelompok. Menurut Bheemreddy (2002), minyak yang telah digunakan berulang kali akan mengalami penurunan kualitas. Untuk mengetahui kualitas minyak setelah penggorengan, maka dilakukan mengukuran asam lemak bebas (free fatty acid) dan warna minyak. Asam lemak bebas merupakan indicator penentuan kulitas minyak yang baik karena asam lemak bebas terbentuk dari proses hidrolisis lemak dan akan bereaksi membentuk komponen volatile (penyebab ketengikan) dan polimer. Dari penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa semakin lama waktu penggorengan, maka asam lemak bebas yang dihasilkan semakin tinggi.

18

4.3. Angka TBA Ketengikan adalah suatu proses kerusakan pada minyak goreng karena adanya proses hidrilisis dan oksidasi. Kerusakan ini akan menyebabkan citarasa, dan bau yang tidak enak pada minyak. Citarasa dan bau yang tidak enak ini karena terbentuknya senyawa lain selain trigliserida pada minyak karena minyak teroksidasi atau terhidrolisa. Proses ketengikan hidrolisa biasanya disebabkan karena penggunaan suhu tinggi pada minyak, dan adanya air. Kerusakan hidrolisa sering pula terjadi pada mentega / margarin. Untuk menghambat proses ketengikan pada minyak dan beberapa kerusakan yang lain, sering ditambahakan senyawa tertentu seperti karoten (Anonim, 2003). Ketengikan pada lemak atau minyak dapat disebabkan oleh reaksi oksidasi. Ini terjadi sebagai hasil reaksi antara trigliserida tidak jenuh dan oksigen dari udara. Molekul oksigen bergabung pada ikatan ganda molekul trigliserida dan dapat terbentuk berbagai senyawa yang menimbulkan rasa tengik yang tidak sedap. Reaksi ini dipercepat oleh panas, cahaya dan logam logam dalam konsentrasi amat kecil, khususnya tembaga (Gaman & Sherrington, 1994). Proses ketengikan sangat dipengaruhi oleh adanya prooksidan dan antioksidan. Prooksidan akan mempercepat terjadinya oksidasi, sedangkan antioksidan akan menghambatnya. Ada 2 macam antioksidan, yaitu antioksidan primer, dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal, yang melepaskan hidrogen. Antioksidan primer terbagi dalam 2 jenis, yaitu antioksidan alam, dan antioksidan buatan. Contoh antioksidan alam, yaitu tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, dan asam askorbat. Contoh antioksidan buatan, yaitu Butylated hydroxyanisole (BHA), Butylated hydroxytoluene (BHT), Propygallate (PG), dan Nordihidroquairetic Acid (NDGA). Sedangkan antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja prooksidan, sehingga dapat digolongkan sebagai sinergik. Contohnya: Etilendiamin tetraasetat (EDTA) (Winarno, 1997). Lemak yang tengik mengandung aldehid dan kebanyakan sebagai malonaldehid. Angka TBA adalah sama dengan banyaknya mg malonaldehid per kg minyak. Makin besar angka TBA, minyak makin tengik. Banyaknya malonaldehid ini dapat ditentukan dengan

19

jalan

didestilasi

terlebih

dahulu. Malonaldehid kemudian direaksikan

dengan

thiobarbiturat sehingga terbentuk kompleks berwarna merah. Intensitas warna merah sesuai dengan jumlah malonaldehid dan absorbansi dapat ditentukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm (Sudarmadji et al., 1996). Uji asam tiobarbiturat dipakai untuk menentukan adanya ketengikan. Lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam tiobarbiturat, menghasilkan warna merah. Intensitas warna merah menentukan tingkat ketengikan (Winarno, 1992). Bilangan peroksida biasanya ditentukan dengan mengukur jumlah iodin yang dibebaskan dari larutan potasium iodin yang dijenuhkan pada suhu kamar, dari lemak atau minyak yang dilarutkan pada campuran asam asetat glacial dan chlorofoam (2:1). Iodin yang terbebas dititrasi dengan sodium thiosulfat standart. Metode ini dapat dipakai untuk minyak, lemak, dan margarin. Minyak dan air harus dipisahkan sebelum dianalisa. Bilangan peroksida merupakan indikator produk yang pertama kali mengalami oksidasi (Herschdoerfoer, 1986). Cara penentuan angka peroksida dapat dilakukan dengan metoda titrasi iodine, yaitu sejumlah minyak dilarutkan dalam campuran asetat:kloroform (2:1) yang mengandung KI maka akan terjadi pelepasan iod (I2). Reaksinya adalah sebagai berikut: R.COO + KI R.CO + I2 + K+ Iod yang bebas dititrasi dengan natrium thiosulfat menggunakan indikator amilum sampai warna biru hilang, titrasi sampel = ts ml. I2 + Na2S2O3 NaI + Na2S4O6 Dibuat perlakuan blanko, titrasi blanko ( tb ) ml. Angka peroksida =

( ts tb ) N.Na 2S2O3 1000bobot sampel (gram )

(Sudarmadji et al, 1989).

Sedangkan menurut Nielsen (1998), reaksi yang terjadi selama penentuan bilangan peroksida adalah: H+

20

ROOH + K+II2 (biru) + indikator + 2Na2S2O3

ROH + K+OH- + I 2 2NaI + Indikator (tidak berwarna) + Na2S4O6

Dalam praktikum penentuan nilai TBA ini, sebelum dilakukan distilasi. Ke dalam labu destilasi, diberikan antifoam sebanyak 3 tetes. Antifoam ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pembentukan buih. Pemanasan pada suhu tinggi akan mempercepat proses autooksidasi sehingga akan terbentuk polimer. Pembentukan polimer tersebut akan mengakibatkan kekentalan minyak menjadi naik yang nantinya dapat meningkatkan pembentukan buih pada minyak (de Man, 1999). Nilai absorbansi dipengaruhi oleh komposisi sampel, kualitas minyak, kesegaran bahan yang digoreng, ketersediaan oksigen, suhu pemanasan, lama pemanasan, dan cahaya (Herschdoerfer, 1986). Dari tabel hasil pengamatan, percobaan pengukuran nilai TBA dalam satuan mg malonaldehid/kg minyak dari masing-masing sampel minyak dengan menggunakan spektofotometer dengan panjang gelombang 528 nm. Pada kelompok A1 yang menggunakan pisang, pada penggorengan ke-0, absorbansinya adalah 0,0942 dan angka TBA-nya adalah 0,918; pada penggorengan ke-1, absorbansinya adalah 0,0834 dan angka TBA-nya adalah 0, 813; pada penggorengan ke-3, absorbansinya adalah 0,0872 dan angka TBA-nya adalah 0,850; dan pada penggorengan ke-5, absorbansinya adalah 0,0824 dan angka TBA-nya adalah 0,803. Untuk kelompok A2 yang menggunakan tahu, pada penggorengan ke-0, absorbansinya adalah 0,00848 dan angka TBA-nya adalah 0,082; pada penggorengan ke-1, absorbansinya adalah 0,0170 dan angka TBA-nya adalah 0,166; pada penggorengan ke-3, absorbansinya adalah 0,0277 dan angka TBA-nya adalah 0,270; dan pada penggorengan ke-5, absorbansinya adalah 0,1083 dan angka TBA-nya adalah 1,056. Untuk kelompok A3 yang menggunakan tempe, pada penggorengan ke-0, absorbansinya adalah 0,0042 dan angka TBA-nya adalah 0,041; pada penggorengan ke-1, absorbansinya adalah 0,0066 dan angka TBA-nya adalah 0,064; pada penggorengan ke-3, absorbansinya adalah 0,0262 dan angka TBA-nya adalah 0,255; dan pada penggorengan ke-5, absorbansinya adalah 0,1615 dan angka TBA-nya adalah 1,575. Untuk kelompok A4 yang menggunakan sosis, pada penggorengan ke-0, absorbansinya adalah 0,0940 dan angka TBA-nya adalah 0,917; pada penggorengan ke-1, absorbansinya adalah 0,1713 dan angka TBA-nya adalah 1,670; pada penggorengan ke-3, absorbansinya adalah 0,858 dan

21

angka TBA-nya adalah 0,837; dan pada penggorengan ke-5, absorbansinya adalah 0 dan angka TBA-nya adalah 0. Untuk kelompok A5 yang menggunakan telur puyuh (diceplok), pada penggorengan ke-0, absorbansinya adalah 0,0842 dan angka TBA-nya adalah 0,821; pada penggorengan ke-1, absorbansinya adalah 0,1295 dan angka TBA-nya adalah 1,263; pada penggorengan ke-3, absorbansinya adalah 0,0911 dan angka TBA-nya adalah 0,888; dan pada penggorengan ke-5, absorbansinya adalah 0,1783 dan angka TBAnya adalah 1,738. Dengan demikian nilai TBA paling tinggi adalah pada nilai TBA minyak pada kelompok 5 bekas penggorengan telur puyuh kelima dan nilai TBA paling rendah adalah nilai TBA minyak baru. Sesuai teori, nilai TBA yang paling tinggi ada pada minyak bekas penggorengan yang kelima, dan nilai TBA yang paling rendah adalah pada minyak baru. Nilai TBA pada penggorengan telur puyuh yang kelima adalah yang tertinggi. Hal itu disebabkan telur puyuh adalah bahan pangan hewani yang mengandung lemak yang tinggi dibanding bahan lainnya, sehingga lebih cepat menyebabkan kerusakan pada minyak. Lemak yang tengik mengandung aldehid dan kebanyakan sebagai malonaldehid. Angka TBA adalah sama dengan banyaknya mg malonaldehid per kg minyak. Makin besar angka TBA, minyak makin tengik. Banyaknya malonaldehid ini dapat ditentukan dengan jalan didestilasi terlebih dahulu. Malonaldehid kemudian direaksikan dengan thiobarbiturat sehingga terbentuk kompleks berwarna merah. Intensitas warna merah sesuai dengan jumlah malonaldehid dan absorbansi dapat ditentukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm (Sudarmadji et al., 1996). Uji asam thiobarbiturat dipakai untuk menentukan adanya ketengikan. Lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam tiobarbiturat, menghasilkan warna merah. Intensitas warna merah menentukan tingkat ketengikan (Winarno, 1992). Thiobarbituric acid reactive substance (TBARS) diukur dengan mengindikasikan ipid peroksida pada daging mentah atau dimasak. Lipid peroksida ini akan menyebabkan terjadinya off flavor yang disebut warmed off flavor (WOF). TBA akan bereaksi dengan malonaldehid (MDA) yang merupakan secondary product dari lipid peroksida menghasilkan warna merah yang dapat dideteksi dengan spektofotometri. Kandungan TBARS dalam daging dapat ditentukan dengan 3 metode, yaitu,

22

1. Sampel dipanaskan dengan keberadaan TBA diikuti dengan pemisahan warna merah secara sentrifugasi. 2. Sampel didestilasi, kemudian MDA yang dihasilkan direaksikan dengan TBA. 3. Sampel dihomogenisasi dan diekstraksi dengan larutan trichloroacetic acid, hasil ektraksi kemudian direaksikan dengan TBA. Metode 1 dan 2 punya kelemahan, dimana selama proses dapat terjadi penambahan TBARS. Sedangkan metode 3 tidak dapat mengekstraksi semua produk oksidasi dari lipid peroksida. Umumnya reaksi antara TBA dan MDA lebih spesifik pada suhu ruang dari pada boiling temperature oleh sebab itu untuk meningkatkan reaksi antara asam tiobarbiturat dan malonaldehid maka suhu inkubasi diturunkan hinggah 40oC (Wang, et.al., 2002). Bila dilihat dari hasil pengamatan tiap kelompok, hanya kelompok A2 dan A3 yang hasilnya sesuai dengan teori, yaitu semakin banyak penggorengan maka nilai TBA semakin besar. Sedangkan pada kelompok lain, nilai TBA nya mengalami fluktuasi. Kesalahan dapat terjadi saat pengukuran absorbansi. Menurut Ewing (1985), alat yang digunakan untuk mengukur absorbansi selektif radiasi oleh larutan disebut spektrofotometer. Peralatan foto listrik yang tergolong sederhana, yang menggunakan filter sebagai sarana untuk menyeleksi panjang gelombang dianggap paling baik sebagai fotometer sederhana, meskipun kadang-kadang disebut sebagai desainasi yang kuno dan tidak teliti untuk analisa kolorimetri. Keterbatasan pada alat pengukur yang dapat menyebabkan penyimpangan semu dari Hukum Beer adalah : Adanya radiasi menyimpang yang mencapai detektor Perubahan kepekaan detector. Adanya fluktuasi yang mempengaruhi sumber radiasi dan sistem aplikasi pada

detektor.

Dan menurut Pomeranz & Meloan (1971), kesalahan dalam spektrofotometer : Kuvet kotor atau tergores Ukuran kuvet yang tidak seragam Penempatan kuvet yang tidak tepat

23

Adanya gelembung udara dalam larutan Panjang gelombang yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang tertera pada alat Kurang sempurna dalam penyiapan larutan sample dan blanko

Banyaknya asam lemak bebas atau tingginya %FFA yang ada menunjukkan umur dan kualitas minyak atau lemak. Makin banyak asam lemak bebasnya, bilangan peroksidanya makin tinggi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin sering minyak dipakai dan semakin rendah kualitasnya (Tranggono & Sutardi, 1989). Ini menunjukkan peningkatan angka TBA. Hal ini membuktikan bahwa semakin banyak penggorengan yang dilakukan maka semakin tinggi angka TBA dan semakin rendah kualitas minyak dan semakin rendah suhu pada smoke point.

24

5. KESIMPULAN

o Lemak dan minyak merupakan golongan lipida yang disebut juga trigliserida. o o o o rendah. o o o o o o o Nilai % FFA adalah jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk Semakin tinggi nilai FFA dari suatu lemak atau minyak, semakin rendah Semakin banyak frekuensi penggorengan, maka nilai % FFA semakin tinggi. Nilai TBA sama dengan sama dengan banyaknya mg malonaldehid per kg Semakin tinggi nilai TBA dari suatu sampel minyak atau lemak, semakin Semakin banyak frekuensi penggorengan, maka nilai TBA semakin tinggi. Sampel yang berasal dari bahan pangan hewani lebih cepat merusak minyak menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam satu gram minyak atau lemak. kualitas nya. Penentuan kualitas lemak dan minyak dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu Smoke point adalah suhu lemak di mana dikeluarkannya asap yang continue Semakin tinggi nilai smoke point suatu minyak atau lemak, maka semakin Semakin banyak frekuensi penggorengan, maka nilai smoke point semakin penentuan nilai smoke point , % asam lemak bebas (% FFA) dan nilai TBA. dari permukaan lemak. tinggi kualitasnya.

minyak. tinggi tingkat ketengikannya.

dari pada bahan pangan nabati.

Semarang, 01 Juni 2012 Praktikan

Asisten Dosen F. Mariella

Ong, Jessita S.R. 10.70.0014

25

5. DAFTAR PUSTAKAAdi, Zulfan. (2009). Kilang Minyak Bumi. www.migas-indonesia.net Anonim. (2003). Ekstra Hati-hati Memilih Minyak Goreng Hewani. www.google.com. Anonim. (2009). Khasiat Bunga Matahari. www.smallcrab.com Bennion, M. & O. Hughes. (1975). Introductory Food 6th ed. Macmillan Publishing Co., Inc. New York. Bell, J.G., R.J. Henderson, D.R. Tocher, F. McGhee, J.R. Dick, A. Porter, R.P. Smullen, & J.R. Sargent. (2002). Substituting Fish Oil with Crude Pal Oil in the Diet of Atlantic Salmon (Salmo salar) Affect Muscle Fatty Acid Composition and Hepatic. Journal of Nutrition. Bheemreddy, R. M; M. S. Chinnan; K. S. Pannu; & A. E. Reynolds. (2002). Active Treatment of Frying Oil for Enhanched Fry-life. Journal of Food Science : Food Engineering and Physical Properties. Vol. 67, Nr. 4 deMan, J. M. (1999). Kimia Makanan. ITB. Bandung. Ewing, G.W. (1985). Instrumental Methods of Chemical Analysis. Mc. Grow Hill Book Company. USA. Force, W. J. (1982). Bread Marking & Flour Confectionery. St. Edmunds Press. Great Britain. Gaman, P. H & K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Ginting, Herlina. (2002). Lemak an Minyak. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara. Hamilton, C. R, Ph. D & D. Kirstein, M. S. (2003). Does Rancidity, As Measured by Peroxide Value, Affect Animal Performance. http://www.darlingii.com/products/documents/PVeffectanimalspro.pdf.

26 Herschdoerfer, S.M. (1986). Quality Control in Food Industry Second Edition. Academic Press, Inc. London. Lukito, Yanuar. (2004). Proses Pembuatan Minyak Biji Bunga Matahari Menggunakan Metode Ekstraksi-Destilasi dengan Pelarut N-Hexan dan Pelarut Etanol. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses 2004. Martoharsono, S. (1994). Biokimia jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Nielsen, S. S. (1998). Food Analysis. Aspen Publishers. Inc. Maryland. Pomeranz, Y. & C. E. Meloan. (1971). Food Analysis: Theory and Practice. The AVI Publishing Company Inc. New York. Sudarmadji, S; B. Haryono & Suhardi. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta. Sudarmadji, S; B. Haryono & Suhardi. (1996). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta. Tranggono & B. Sutardi. (1989). Biokimia Pangan. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta. Urban, D.L., Z-G. Yuan, P.B. Sunderland, K-C. Lin, Z. Dai, & G.M. Faeti. (2002). Smoke point Properties of Non-Bouyant Round Laminar Jet Diffusion Flames. Proceeding of the Co,bustion Institute, Vol. 28.2000/pp. 1965-1972. Winarno, F. G. (1992). Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F. G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

27

7. LAMPIRAN7.1. Perhitungan 7.1.1. Perhitungan % FFA % FFA = x 100%

Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) =

x A 528 nm x 7,8

Keterangan : = 0,8 gram / ml Volume = 2 ml Berat sampel untuk %FFA = 1,6 gram Berat sampel untuk angka TBA = 2,4 gram BM minyak kedelai = 278,43

Kelompok A1 Minyak baru % FFA = = 5,917% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,0942 x 7,8 x 100%

= 0,918 Minyak penggorengan 1 % FFA = = 17,054% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,0834 x 7,8 x 100%

= 0,813

28 Minyak penggorengan 3 % FFA = = 6,787% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,0872 x 7,8 x 100%

= 0,850 Minyak penggorengan 5 % FFA = = 6,613% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,0824 x 7,8 x 100%

= 0,803 Kelompok A2 Minyak baru % FFA = = 5,221% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,0084 x 7,8 x 100%

= 0,082 Minyak penggorengan 1 % FFA = = 10,789% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,0170 x 7,8 x 100%

= 0,166

29

Minyak penggorengan 3 % FFA = = 28,365% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,0277 x 7,8 x 100%

= 0,270

Minyak penggorengan 5 % FFA = = 40,894% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,1083 x 7,8 x 100%

= 1,056 Kelompok A3 Minyak baru % FFA = = 38,632% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,0042 x 7,8 x 100%

= 0,041 Minyak penggorengan 1 % FFA = = 4,872% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,1713 x 7,8 x 100%

= 1,670

30

Minyak penggorengan 3 % FFA = = 13,573% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,858 x 7,8 x 100%

= 0,837 Minyak penggorengan 5 % FFA = = 11,311% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,1615 x 7,8 x 100%

= 1,575 Kelompok A4 Minyak baru % FFA = = 3,654% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,0940 x 7,8 x 100%

= 0,917 Minyak penggorengan 1 % FFA = = 4,872% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,1713 x 7,8 x 100%

= 1,670

31

Minyak penggorengan 3 % FFA = = 13,573% x 100%

Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) =

x 0,858 x 7,8

= 0,837 Minyak penggorengan 5 % FFA = = 23,840% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = =0 Kelompok A5 Minyak baru % FFA = = 55,68% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,0842 x 7,8 x 100% x 0x 7,8 x 100%

= 0,821 Minyak penggorengan 1 % FFA = = 6,09% x 100%

32 Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,1295 x 7,8

= 1,263

Minyak penggorengan 3 % FFA = = 13,74% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,0911 x 7,8 x 100%

= 0,888 Minyak penggorengan 5 % FFA = = 19,14% Angka TBA (mg malonaldehid / kg minyak) = x 0,1783 x 7,8 x 100%

= 1,738 7.2. Laporan Sementara