widal
DESCRIPTION
widalTRANSCRIPT
Widal
Deskripsi : Pemeriksaan Widal berguna untuk mendeteksi adanya antibodi yang spesifik
terhadap antigen Salmonella (kuman penyebab tifus). Pemeriksaan Widal dapat
memberikan hasil negatif sampai 30% dari sampel biakan positif penyakit tifus,
sehingga hasil tes Widalnegatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi
infeksi. Oleh karenanya, pemeriksaan tunggal penyakit tifus dengan
tes Widal kurang baik.
Manfaat
Pemeriksaan
: Mendeteksi penyakit tifus atau demam tifoid.
Persyaratan
& Jenis
Sampel
: Serum
Stabilitas
Sampel
: 2-8 °C : 24 jam, -20 °C : lebih lama
Persiapan
Pasien
: -
Hari Kerja : Setiap hari
Metode : Aglutinasi
Nilai Rujukan : -
Tempat
Rujukan
: -
Catatan : -
http://prodia.co.id/imuno-serologi/widal
Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada AnakABSTRAK
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik terutama pada anak sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang ini meliputi pemeriksaan darah tepi, isolasi/biakan kuman, uji serologis dan identifikasi secara molekuler. Berbagai metode diagnostik baru untuk pengganti uji Widal dan kultur darah sebagai metode konvensional masih kontroversial dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Beberapa metode diagnostik yang cepat, mudah dilakukan dan terjangkau harganya untuk negara berkembang dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, seperti uji TUBEXâ, Typhidot-Mâ dan dipstik mungkin dapat mulai dirintis penggunaannya di Indonesia.
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.
METODE DIAGNOSTIK
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
A. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala
hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%). Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.3 Angka kejadian komplikasi adalah kejang (0.3%), ensefalopati (11%), syok (10%), karditis (0.2%), pneumonia (12%), ileus (3%), melena (0.7%), ikterus (0.7%).
B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :(1) pemeriksaan darah tepi(2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman(3) uji serologis, dan(4) pemeriksaan kuman secara molekuler.
1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).
2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi
1. jumlah darah yang diambil2. perbandingan volume darah dari media empedu; dan3. waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
1. uji Widal2. tes TUBEX®3. metode enzyme immunoassay (EIA)4. metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan5. pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
3.1 UJI WIDAL
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.
3.2 TES TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan
spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
3.3 METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien. 3.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. 3.5 PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi
antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.24 Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.
http://koaskamar13.wordpress.com/metode-diagnostik-demam-tifoid-pada-anak/
DETEKSI DINI DEMAM TYPHOIDKerja pagi, wuaaach masih ngantuk. Tapi bagaimanapun juga sy hrs semangat kerja pagi, semangat, semangat, semangat.
Ha ha mumpung masih nyantai nulis dulu ah. 'mmm sy bahas tentang pemeriksaan tipus aja deh.
Demam tifoid (alias tipus / thypus) masih merupakan masalah kesehatan penting di Indonesia ini. Penyakit ini biasanya mewabah pada musim hujan, juga musim kemarau. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi . Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi(perpindahan penduduk), kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ (itu kata dokter di tmpt sy kerja).
Secara klinis gambaran penyakit typus berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.1.Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan demam tidak tinggi yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.2.Gejala pencernaan dapat berupa diare, mual, muntah, dan kembung.
Penularan penyakit ini melalui makanan dan minuman yang tercemar kuman Salmonella. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik sehingga dalam menegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium (he he jual diri)Pemeriksaan laboratorium yang selama ini banyak dilakukan adalah pemeriksaan serologis yaitu Widal. Pemeriksaan ini mengukur kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dalam darah (antigen O muncul pada hari ke 6-8, dan antibodi H muncul pada hari ke 10-12).Uji widal positif artinya ada zat anti (antibodi) terhadap kuman Salmonella, yang menunjukkan bahwa seseorang pernah kontak/terinfeksi dengan kuman Salmonella tersebut.
Beberapa hal yang sering disalah artikan :1. Pemeriksaan widal positif dianggap ada kuman dalam tubuh, ini merupakan pengertian yang salah, soalnya tes widal hanya menunjukkan adanya antibodi terhadap kuman Salmonella.2. Pemeriksaan widal yang diulang setelah pengobatan dan menunjukkan hasil positif dianggap masih menderita tifus, ini juga pengertian yang salah.
Setelah seseorang menderita tifus dan mendapat pengobatan, hasil uji widal kemungkinan positif untuk waktu yang agak lama sehingga uji widal tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk menyatakan kesembuhan.
Hasil ulang pemeriksaan widal positif setelah mendapat pengobatan tifus, bukan indikasi untuk
mengulang pengobatan bilamana tidak lagi didapatkan gejala yang sesuai.
Hasil uji negatif jangan terlalu dianggap tidak menderita tifus :Uji widal umumnya menunjukkan hasil positif pada 5 hari atau lebih setelah infeksi. Karena itu bila infeksi baru berlangsung beberapa hari, sering kali hasilnya masih negatif dan baru akan positif bilamana pemeriksaan diulang. Dengan demikian, hasil uji widal negatif terutama pada beberapa hari pertama demam belum dapat menyingkirkan kemungkinan tifus.
Untuk menentukan seseorang menderita demam tifoid :1. Tetap harus didasarkan adanya gejala yang sesuai dengan penyakit tifus.2. Uji widal hanya sebagai pemeriksaan yang menunjang diagnosis.3. Lakukan tes lanjutan (tes yang paling akurat adalah dengan kultur darah / gal cultur)Pemeriksaan gal cultur memiliki kelemahan, yaitu hasil pemeriksaan yg cukup lama (5-7 hari) dan harga yg lebih mahal.
Memang terdapat kesulitan dalam interpretasi hasil uji widal karena kita tinggal di daerah endemik, yang mana sebagian besar populasi sehat juga pernah kontak atau terinfeksi yang sedikit demi sedikit menghasilkan antibodi, sehingga menunjukkan hasil uji widal yang positif (walaupun hanya dengan kadar yang rendah).Kelemahan pemeriksaan ini adalah sensitivitas yang kurang, dan bisa memberikan hasil negatif sampai 30% dari sampel biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil tes Widal yang negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah :1. Negatif PalsuPemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering di daerah saya, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam 5 hari –> tes Widal) sehingga dpt menghalangi respon antibodi. Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
2. Positif Palsu- Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu. Padahal mungkin yang positif yaitu kuman non S. typhi (bukan tifoid).- Beberapa penyakit lainnya : malaria, tetanus, sirosis, dll.***
Pemeriksaan yang dapat dijadikan alternatif untuk mendeteksi penyakit demam typhoid lebih dini adalah mendeteksi antigen spesifik dari kuman Salmonella melalui pemeriksaan IgM Anti Salmonella (Tubex TF). Pemeriksaan ini lebih spesifik dan lebih sensitive, juga lebih praktis untuk deteksi dini infeksi akibat kuman Salmonella typhi.
Keunggulan pemeriksaan TUBEX TF :1. Mendeteksi secara dini infeksi akut akibat Salmonella typhi, karena antibody IgM muncul pada hari ke 3 terjadinya demam.2. Mempunya sensitivitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella ( > 95 %)3. Hanya dibutuhkan sample darah sedikit
4. Hasil dapat diperoleh lebih cepat.
Dengan pemeriksaan TUBEX TF diharapkan diagnosis demam typhoid dapat ditegakkan lebih dini sehingga pengobatan yang tepat dapat segera diberikan, dengan demikian dapat menurunkan angka kematian akibat kompikasi demam typhoid.
http://analislabkes.blogspot.com/2011/02/deteksi-dini-demam-typhoid.html
PEMANTAPAN MUTU PRA-ANALITIK PEMERIKSAAN LABORATORIUM Posted by Riswanto on Sunday, July 11, 2010
Labels: Pemantapan Mutu, Pengumpulan Spesimen
Laboratorium klinik sebagai subsistem pelayanan kesehatan menempati posisi penting dalam
diagnosis invitro. Setidaknya terdapat 5 alasan penting mengapa pemeriksaan laboratorium
diperlukan, yaitu : skrining, diagnosis, pemantauan progresifitas penyakit, monitor pengobatan
dan prognosis penyakit. Oleh karena itu setiap laboratorium harus dapat memberikan data hasil
tes yang teliti, cepat dan tepat.
Dalam proses pengendalian mutu laboratorium dikenal ada tiga tahapan penting, yaitu tahap pra
analitik, analitik dan pasca analitik. Pada umumnya yang sering sering diawasi dalam
pengendalian mutu hanya tahap analitik dan pasca analitik yang lebih cenderung kepada urusan
administrasi, sedangkan proses pra analitik kurang mendapat perhatian.
Kesalahan pada proses pra-analitik dapat memberikan kontribusi sekitar 61% dari total
kesalahan laboratorium, sementara kesalahan analitik 25%, dan kesalahan pasca analitik 14%.
Proses pra-analitik dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : pra-analitik ekstra laboratorium dan pra-
analitik intra laboratorium. Proses-proses tersebut meliputi persiapan pasien, pengambilan
spesimen, pengiriman spesimen ke laboratorium, penanganan spesimen, dan penyimpanan
spesimen.
PERSIAPAN PASIEN
Persiapan pasien dimulai saat seorang dokter merencanakan pemeriksaan laboratorium bagi
pasien. Dokter dibantu oleh paramedis diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
tindakan apa yang akan dilakukan, manfaat dari tindakan itu, dan persyaratan apa yang harus
dilakukan oleh pasien. Informasi yang diberikan harus jelas agar tidak menimbulkan ketakutan
atau persepsi yang keliru bagi pasien. Pemilihan jenis tes yang kurang tepat atau tidak sesuai
dengan kondisi klinis pasien akan menghasilkan interpretasi yang berbeda. Ketaatan pasien
akan instruksi yang diberikan oleh dokter atau paramedis sangat berpengaruh terhadap hasil
laboratorium; tidak diikutinya instruksi yang diberikan akan memberikan penilaian hasil
laboratorium yang tidak tepat. Hal yang sama juga dapat terjadi bila keluarga pasien yang
merawat tidak mengikuti instruksi tersebut dengan baik.
Ada beberapa sumber kesalahan yang kurang terkontrol dari proses pra-analitik yang dapat
mempengaruhi keandalan pengujian laboratorium, tapi yang hampir tidak dapat diidentifikasi
oleh staf laboratorium. Ini terutama mencakup variabel fisik pasien, seperti latihan fisik, puasa,
diet, stres, efek posisi, menstruasi, kehamilan, gaya hidup (konsumsi alkohol, rokok, kopi, obat
adiktif), usia, jenis kelamin, variasi diurnal, pasca transfusi, pasca donasi, pasca operasi,
ketinggian. Karena variabel tersebut memiliki pengaruh yang kuat terhadap beberapa variabel
biokimia dan hematologi, maka gaya hidup individu dan ritme biologis pasien harus selalu
dipertimbangkan sebelum pengambilan sampel.
PERSIAPAN PENGUMPULAN SPESIMEN
Spesimen yang akan diperiksa laboratorium haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Jenisnya sesuai jenis pemeriksaan
Volume mencukupi
Kondisi baik : tidak lisis, segar/tidak kadaluwarsa, tidak berubah warna, tidak berubah
bentuk, steril (untuk kultur kuman)
Pemakaian antikoagulan atau pengawet tepat
Ditampung dalam wadah yang memenuhi syarat
Identitas benar sesuai dengan data pasien
Sebelum pengambilan spesimen, periksa form permintaan laboratorium. Identitas pasien harus
ditulis dengan benar (nama, umur, jenis kelamin, nomor rekam medis, dsb) disertai diagnosis
atau keterangan klinis. Periksa apakah identitas telah ditulis dengan benar sesuai dengan pasien
yang akan diambil spesimen.
Tanyakan persiapan yang telah dilakukan oleh pasien, misalnya diet, puasa. Tanyakan juga
mengenai obat-obatan yang dikonsumsi, minum alkohol, merokok, dsb. Catat apabila pasien
telah mengkonsumsi obat-obatan tertentu, merokok, minum alkohol, pasca transfusi, dsb.
Catatan ini nantinya harus disertakan pada lembar hasil laboratorium.
1. Peralatan
Peralatan yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
bersih, kering
tidak mengandung deterjen atau bahan kimia
terbuat dari bahan yang tidak mengubah zat-zat dalam spesimen
sekali pakai buang (disposable)
steril (terutama untuk kultur kuman)
tidak retak/pecah, mudah dibuka dan ditutup rapat, ukuran sesuai dengan volume
spesimen
2. Antikoagulan
Antikoagulan adalah bahan kimia yang digunakan untuk mencegah pembekuan darah. Jenis
antikoagulan yang dipergunakan harus disesuaikan dengan jenis pemeriksaan yang diminta.
Volume darah yang ditambahkan juga harus tepat.
3. Pemilihan Lokasi Pengambilan Spesimen
Tentukan lokasi pengambilan spesimen sesuai dengan jenis spesimen yang diperlukan, seperti :
Darah vena umumnya diambil dari vena lengan (median cubiti, vena cephalic, atau vena
basilic). Tempat pengambilan tidak boleh pada jalur infus atau transfusi, bekas luka,
hematoma, oedema, canula, fistula
Darah arteri umumnya diambil dari arteri radialis (pergelangan tangan), arteri brachialis
(lengan), atau arteri femoralis (lipat paha).
Darah kapiler umumnya diambil dari ujung jari tengah atau jari manis tangan bagian tepi
atau pada daerah tumit 1/3 bagian tepi telapak kaki pada bayi. Tempat yang dipilih untuk
pengambilan tidak boleh memperlihatkan gangguan peredaran darah seperti sianosis
atau pucat.
Spesimen untuk pemeriksaan biakan kuman diambil dari tempat yang sedang
mengalami infeksi, kecuali darah dan cairan otak.
4. Waktu Pengambilan
Penentuan waktu pengambilan spesimen penting untuk diperhatikan.
Umumnya pengambilan dilakukan pada waktu pagi (ideal)
Spesimen untuk kultur kuman diambil sebelum pemberian antibiotik
Spesimen untuk pemeriksaan GO diambil 2 jam setelah buang air yang terakhir
Spesimen untuk malaria diambil pada waktu demam
Spesimen untuk mikrofilaria diambil pada tengah malam
Spesimen dahak untuk pemeriksaan BTA diambil pagi hari setelah bangun tidur
Spesimen darah untuk pemeriksaan profil besi diambil pada pagi hari dan setelah puasa
10-12 jam
PENGAMBILAN SPESIMEN
Hal-hal yang harus diperhatikan pada pengambilan spesimen adalah :
1. Tehnik atau cara pengambilan. Pengambilan spesimen harus dilakukan dengan benar
sesuai dengan standard operating procedure (SOP) yang ada.
2. Cara menampung spesimen dalam wadah/penampung.
o Seluruh sampel harus masuk ke dalam wadah (sesuai kapasitas), jangan ada
yang menempel pada bagian luar tabung untuk menghindari bahaya infeksi.
o Wadah harus dapat ditutup rapat dan diletakkan dalam posisi berdiri untuk
mencegah spesimen tumpah.
o Memindahkan spesimen darah dari syringe harus memperhatikan hal-hal seperti
berikut :
Darah harus segera dimasukkan dalam tabung setelah sampling.
Lepaskan jarum, alirkan darah lewat dinding tabung perlahan-lahan agar
tidak terjadi hemolisis.
Untuk pemeriksaan kultur kuman dan sensitivitas, pemindahan sampel ke
dalam media dilakukan dengan cara aseptik
Pastikan jenis antikoagulan dan volume darah yang ditambahkan tidak
keliru.
Homogenisasi segera darah yang menggunakan antikoagulan dengan
lembut perlahan-lahan. Jangan mengkocok tabung keras-keras agar
tidak hemolisis.
o Menampung spesimen urin
Sediakan wadah yang bersih, kering, tidak terkontaminasi oleh bahan
apapun, mudah dibuka, mudah ditutup, dan bermulut lebar
Sebaiknya pasien diinstruksikan membuang urine yang mula-mula keluar
sebelum mengumpulkan urine untuk diperiksa.
Untuk mendapatkan specimen clean catch diperlukan cara pembersihan
lebih sempurna :
Mulut uretra dibersihkan dengan sabun dan kemudian
membilasnya sampai bersih.
Penderita wanita harus lebih dulu membersihkan labia minora,
lalu harus merenggangkannya pada waktu kencing.
Perempuan yang sedang menstruasi atau yang mengeluarkan banyak
secret vagina, sebaiknya memasukkan tampon sebelum mengumpulkan
specimen.
Bagian luar wadah urine harus dibilas dan dikeringkan setelah spesimen
didapat dan keterangan tentang pemeriksaan harus jelas dicantumkan.
o Menampung spesimen tinja
Sampel tinja sebaiknya berasal dari defekasi spontan. Jika sangat
diperlukan, sampel tinja juga dapat diperoleh dari pemeriksaan colok
dubur.
Masukkan sampel ke dalam wadah yang bersih, kering, tidak
terkontaminasi oleh bahan apapun, dapat ditutup rapat, dapat dibuka
dengan mudah dan bermulut lebar.
o Menampung spesimen dahakPenting untuk mendapatkan sekret bronkial dan
bukan ludah atau sekret hidung.
Sediakan wadah yang bersih, kering, tidak terkontaminasi oleh bahan
apapun, mudah dibuka, mudah ditutup, dan bermulut lebar. Untuk
pewarnaan BTA, jangan gunakan wadah yang mengandung bercak lilin
atau minyak, sebab zat ini dapat dilihat sebagai bintik-bintik tahan asam
dan dapat menyulitkan penafsiran.
Sebelum pengambilan spesimen, penderita diminta berkumur dengan air,
bila mungkin gosok gigi terlebih dulu. Bila memakai gigi palsu, sebaiknya
dilepas dulu.
Pada saat pengambilan spesimen, penderita berdiri tegak atau duduk
tegak
Penderita diminta untuk menarik nafas dalam 2 – 3 kali kemudian
keluarkan nafas bersamaan dengan batuk yang kuat dan berulang kali
sampai dahak keluar.
Dahak yang dikeluarkan langsung ditampung dalam wadah dengan cara
mendekatkan wadah ke mulut.
Amati keadaan dahak. Dahak yang memenuhi syarat pemeriksaan akan
tampak kental purulen dengan volume cukup ( 3 – 5 ml )
Tutup wadah dengan rapat untuk menghindari kontaminasi dari udara
dan secepatnya dikirim ke laboratorium.
Sumber-sumber kesalahan pada pengambilan spesimen darah :
1. Pemasangan turniquet terlalu lama dapat menyebabkan :
o Protein (termasuk enzim) , Ca2+, laktat , fosfat, dan Mg2+ meningkat
o pH menurun, hemokonsentrasi
o PPT dan APTT mungkin memendek karena pelepasan tromboplastin jaringan ke
dalam sirkulasi darah
2. Pemompaan menyebabkan kalium, laktat, glukosa, dan Mg2+ meningkat, sedangkan pH
menurun
3. Pengambilan darah terlalu lama (tidak sekali tusuk kena) dapat menyebabkan :
o trombosit dan fibrinogen menurun; PPT dan APTT memanjang
o kalium, LDH dan SGPT/ALT meningkat
4. Pengambilan darah pada jalur infus dapat menyebabkan :
o natrium meningkat pada infus saline
o kalium meningkat pada infus KCl
o glukosa meningkat pada infus dextrose
o PPT, APTT memanjang pada infus heparine.
o kreatinin, fosfat, LDH, SGOT, SGPT, Hb, Hmt, lekosit, trombosit, eritrosit
menurun pada semua jenis infus
5. Homogenisasi darah dengan antikoagulan yang tidak sempurna atau keterlambatan
homogenisasi menyebabkan terbentuknya bekuan darah.
6. Hemolisis dapat menyebabkan peningkatan K+, Mg2+, fosfat, aminotransferase, LDH,
fosfatase asam total
IDENTIFIKASI SPESIMEN
Pemberian identitas pasien dan atau spesimen adalah tahapan yang harus dilakukan karena
merupakan hal yang sangat penting. Pemberian identitas meliputi pengisian formulir permintaan
pemeriksaan laboratorium dan pemberian label pada wadah spesimen. Keduanya harus cocok
sama. Pemberian identitas ini setidaknya memuat nama pasien, nomor ID atau nomor rekam
medis serta tanggal pengambilan. Kesalahan pemberian identitas dapat merugikan.
Untuk spesimen berisiko tinggi (HIV, Hepatitis) sebaiknya disertai tanda khusus pada label dan
formulir permintaan laboratorium.
PENGIRIMAN SPESIMEN KE LABORATORIUM
Spesimen yang telah dikumpulkan harus segera dikirim ke laboratorium.
1. Sebelum mengirim spesimen ke laboratorium, pastikan bahwa spesimen telah memenuhi
persyaratan seperti yang tertera dalam persyaratan masing-masing pemeriksaan.
2. Apabila spesimen tidak memenuhi syarat agar diambil / dikirim ulang.
3. Pengiriman spesimen disertai formulir permintaan yang diisi data yang lengkap. Pastikan
bahwa identitas pasien pada label dan formulir permintaan sudah sama.
4. Secepatnya spesimen dikirim ke laboratorium. Penundaan pengiriman spesimen ke
laboratorium dapat dilakukan selambat-lambatnya 2 jam setelah pengambilan spesimen.
Penundaan terlalu lama akan menyebabkan perubahan fisik dan kimiawi yang dapat
menjadi sumber kesalahan dalam pemeriksaan, seperti :
o Penurunan kadar natrium ( Na+ ), glukosa darah, angka lekosit, angka trombosit.
o Perubahan morfologi sel darah pada pemeriksaan mikroskopik
o PPT / APTT memanjang.
o Peningkatan kadar kalium ( K+ ), phosphate, LDH, SGPT.
o Lisisnya sel pada sample LCS, transudat, eksudat.
o Perkembangbiakan bakteri
o Penundaan pengiriman sampel urine :
Unsur-unsur yang berbentuk dalam urine (sediment), terutama sel-sel
eritrosit, lekosit, sel epitel dan silinder mulai rusak dalam waktu 2 jam.
Urat dan fosfat yang semula larut akan mengendap, sehingga
menyulitkan pemeriksaan mikroskopik atas unsur-unsur lain.
Bilirubin dan urobilinogen teroksidasi bila berkepanjangan terkena sinar
matahari.
Bakteri-bakteri akan berkembang biak yang akan menyebabkan
terganggunya pemeriksaan bakteriologis dan pH.
Jamur akan berkembang biak
Kadar glukosa mungkin menurun dan kalau semula ada, zat-zat keton
dapat menghilang.Apabila akan ditunda pengirimannya dalam waktu
yang lama spesimen harus disimpan dalam refrigerator/almari es pada
suhu 2 – 8 oC paling lama 8 jam.
5. Pengiriman sample sebaiknya menggunakan wadah khusus, misalnya berupa kotak atau
tas khusus yang tebuat dari bahan plastik, gabus (styro-foam) yang dapat ditutup rapat
dan mudah dibawa.
PENANGANAN SPESIMEN
Identifikasi dan registrasi spesimen
Seluruh spesimen harus diperlakukan sebagai bahan infeksius
Patuhi cara pengambilan spesimen dan pengisian tabung yang benar
Gunakan sentrifus yang terkalibrasi
Segera pisahkan plasma atau serum dari darah dalam tabung lain, tempeli label
Segera distribusikan spesimen ke ruang pemeriksaan
PENYIMPANAN SPESIMEN
Penyimpanan spesimen dilakukan jika pemeriksaan ditunda atau spesimen akan dikirim
ke laboratorium lain
Lama penyimpanan harus memperhatikan, jenis pemeriksaan, wadah dan stabilitasnya
Hindari penyimpanan whole blood di refrigerator
Sampel yang dicairkan (setelah dibekukan) harus dibolak-balik beberapa kali dan terlarut
sempurna. Hindari terjadinya busa.
Simpan sampel untuk keperluan pemeriksaan konfirmasi / pengulangan
Menyimpan spesimen dalam lemari es dengan suhu 2-8ºC, suhu kamar, suhu -20ºC, -
70ºC atau -120ºC jangan sampai terjadi beku ulang.
Untuk jenis pemeriksaan yang menggunakan spesimen plasma atau serum, maka
plasma atau serum dipisahkan dulu baru kemudian disimpan.
Memberi bahan pengawet pada spesimen
Menyimpan formulir permintaan lab di tempat tersendiri
Waktu penyimpanan spesimen dan suhu yang disarankan :
Kimia klinik : 1 minggu dalam referigerator
Imunologi : 1 minggu dalam referigerator
Hematologi : 2 hari pada suhu kamar
Koagulasi : 1 hari dalam referigerator
Toksikologi : 6 minggu dalam referigerator
Blood grouping : 1 minggu dalam referigerator
Siapa yang Terlibat Dalam Proses Pra-Analitik?
Selalu ada beberapa orang yang terlibat dalam proses pra-analitik, yaitu pasien, dokter,
paramedis/perawat, petugas layanan transportasi, analis dan dokter laboratorium; mereka
semua berbagi tanggung jawab terhadap mutu bahan spesimen dan harus memahami
pentingnya tahap pra-analtik, serta mengenali kemungkinan penyebab kesalahan dan
konsekuensi mereka untuk hasil pemeriksaan.
Komunikasi antara dokter, paramedis/perawat, petugas layanan transportasi, analis dan dokter
laboratorium harus selalu ditingkatkan dalam bentuk komunikasi langsung, telepon, atau media
lainnya. Lebih baik kalau laboratorium dapat membuat pedoman atau semacam SOP mengenai
pengumpulan spesimen untuk penggunaan oleh bagian lain. Pedoman tersebut harus ditinjau
ulang oleh supervisor laboratorium. Laboratorium juga perlu menetapkan prosedur untuk
penanganan spesimen dan prosedur untuk manajemen spesimen (penerimaan atau penolakan
spesimen).
http://labkesehatan.blogspot.com/2010/07/pemantapan-mutu-pra-analitik.html
PEMANTAPAN MUTU
Pemantapan mutu (quality assurance) laboratorium adalah semua kegiatan yang
ditujukan untuk menjamin ketelitian dan ketepatan hasil pemeriksaan laboratorium. Kegiatan
ini terdiri atas empat komponen penting, yaitu : pemantapan mutu internal (PMI),
pemantapan mutu eksternal (PME), verifikasi, validasi, audit, dan pendidikan dan pelatihan.
1. Pemantapan Mutu Internal (PMI)
Pemantapan mutu internal adalah kegiatan pencegahan dan pengawasan yang
dilaksanakan oleh setiap laboratorium secara terus-menerus agar diperoleh hasil
pemeriksaan yang tepat. Kegiatan ini mencakup tiga tahapan proses, yaitu pra-analitik,
analitik dan paska analitik.
Beberapa kegiatan pemantapan mutu internal antara lain : persiapan penderita,
pengambilan dan penanganan spesimen, kalibrasi peralatan, uji kualitas air, uji kualitas
reagen, uji kualitas media, uji kualitas antigen-antisera, pemeliharaan strain kuman, uji
ketelitian dan ketepatan, pencatatan dan pelaporan hasil.
2. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)
PME adalah kegiatan pemantapan mutu yang diselenggaralan secara periodik oleh
pihak lain di luar laboratorium yang bersangkutan untuk memantau dan menilai penampilan
suatu laboratorium di bidang pemeriksaan tertentu. Penyelenggaraan PME dilaksanakan
oleh pihak pemerintah, swasta atau internasional dan diikuti oleh semua laboratorium, baik
milik pemerintah maupun swasta dan dikaitkan dengan akreditasi laboratorium kesehatan
serta perizinan laboratorium kesehatan swasta.
PME harus dilaksanakan sebagaimana kegiatan pemeriksaan yang biasa dilakukan
oleh petugas yang biasa melakukan pemeriksaan dengan reagen/peralatan/metode yang
biasa digunakan sehingga benar-benar dapat mencerminkan penampilan laboratorium
tersebut yang sebenarnya. Setiap nilai yang diperoleh dari penyelenggara harus dicatat dan
dievaluasi untuk mempertahankan mutu pemeriksaan atau perbaikan-perbaikan yang
diperlukan untuk peningkatan mutu pemeriksaan.
3. Verifikasi
Verifikasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
dalam melakukan kegiatan laboratorium mulai dari tahap pra-analitik, analitik sampai
dengan pasca-analitik. Setiap tahapan tersebut harus dipastikan selalu berpedoman pada
mutu sesuai dengan bakuan mutu yang ditetapkan.
4. Validasi hasil
Validasi hasil pemeriksaan merupakan upaya untuk memantapkan kualitas hasil
pemeriksaan yang telah diperoleh melalui pemeriksaan ulang oleh laboratorium rujukan.
Validasi dapat mencegah keragu-raguan atas hasil laboratorium yang dikeluarkan.
5. Audit
Audit adalah proses menilai atau memeriksa kembali secara kritis berbagai kegiatan
yang dilaksanakan di laboratorium. Audit ada dua macam, yaitu audit internal dan audit
eksternal.
Audit internal dilakukan oleh tenaga laboratorium yang sudah senior. Penilaian yang
dilakukan haruslah dapat mengukur berbagai indikator penampilan laboratorium, misalnya
kecepatan pelayanan, ketelitian laporan hasil pemeriksaan laboratorium dan
mengidentifikasi titik lemah dalam kegiatan laboratorium yang menyebabkan kesalahan
sering terjadi.
Audit eksternal bertujuan untuk memperoleh masukan dari pihak lain di luar
laboratorium atau pemakai jasa laboratorium terhadap pelayanan dan mutu laboratorium.
Pertemuan antara kepala-kepala laboratorium untuk membahas dan membandingkan
berbagai metode, prosedur kerja, biaya dan lain-lain merupakan salah satu bentuk dari audit
eksternal.
6. Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan pelatihan bagi tanaga laboratorium sangat penting untuk
meningkatkan mutu pelayanan laboratorium melalui pendidikan formal, pelatihan teknis,
seminar, workshop, simposium, dsb. Kegiatan ini harus dilaksanakan secara berkelanjutan
dan dipantau pelaksanaannya.
PERHATIAN PADA MUTU
Laboratorium klinik adalah sarana kesehatan yang melaksanakan pelayanan
pemeriksaan di bidang hematologi, kimia klinik, mikrobiologi klinik, parasitologi klinik,
imunologi klinik, atologi anatomi dan atau bidang lain yang berkaitan dengan kepentingan
kesehatan perorangan terutama untuk menunjang upaya diagnosis penyakit, penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan (Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
364/MENKES/SK/III/2003).
Laboratorium klinik sebagai subsistem pelayanan kesehatan menempati posisi
terpenting dalam diagnostik invitro. Dengan pengukuran dan pemeriksaan laboratorium akan
didapatkan data ilmiah yang tajam untuk digunakan dalam menghadapi masalah yang
diidentifikasi melalui pemeriksaan klinis dan merupakan bagian esensial dari data pokok
pasien. Indikasi permintaan laboratorium merupakan pertimbangan terpenting dalam
kedokteran laboratorium. Informasi laboratorium dapat digunakan untuk diagnosis awal yang
dibuat berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Analisis laboratorium juga
merupakan bagian integral dari penapisan kesehatan dan tindakan preventif kedokteran.
Prof. dr. Hardjoeno, SpPK-K dalam bukunya : Interpretasi Hasil Tes Laboratorium
Diagnostik, Bagian dari Standar Pelayanan Medik, mengemukakan tujuan dilakukannya
pemeriksaan laboratorium adalah :
1. Menyaring berbagai penyakit dan mengarahkan tes ke penyakit tertentu misalnya dengan
urinalisis ditemukan bilirubin dan urobilin positif yang berarti ikterus, maka tes selanjutnya
adalah untuk melihat gangguan faal hati.
2. Menegakkan atau menyingkirkan diagnosis misalnya anemia, malaria, tbc, DM.
3. Memastikan diagnosis dari diagnosis dugaan, misalnya tifoid, hepatitis B, HIV.
4. Memasukkan/mengeluarkan dari diagnosis diferensial misalnya pasien dengan panas; tifoid,
malaria, dengue hemorrhagic fever (DHF).
5. Menentukan beratnya penyakit, misalnya hepatitis, infeksi saluran kemih
6. Menentukan tahap penyakit, misalnya penyakit kronis: tbc paru, sirosis hati.
7. Menyaring penyakit dalam seleksi calon donor darah.
8. Membantu menentukan rawat inap, misalnya observasi tifoid, observasi leukemia.
9. Membantu dalam menentukan terapi atau pengelolaan dan pengendalian penyakit, misalnya
leukemia, diabetes.
10. Membantu ketepatan terapi, misalnya tes kepekaan kuman.
11. Memonitor terapi, misalnya tes HbA1c pada diabetes, widal pada tifoid.
12. Menghindari kesalahan terapi dan pemborosan obat setelah ditemukan diagnosis.
13. Membantu mengikuti perjalanan penyakit, misalnya diabetes, hepatitis.
14. Memprediksi atau menentukan ramalan (prognosis) penyakit, misalnya dislipidemia dengan
penyakit jantung, kanker dengan kematian.
15. Membantu menentukan pemulangan pasien rawat inap, misalnya bila hasil pemeriksaan
laboratorium kembali normal.
16. Membantu dalam bidang kedokteran kehakiman, misalnya tes untuk membuktikan
perkosaan.
17. Mengetahui status kesehatan umum (general check up)
Oleh karena itu laboratorium klinik menempati kedudukan sentral dalam pelayanan
kesehatan. Karena kedudukan yang penting itulah maka tanggung jawab laboratorium klinik
bertambah besar, baik tanggung jawab professional (professional responsibility), tanggung
jawab teknis (technical responsibility) maupun tanggung jawab pengelolaan (management
responsibility).
Dinamika Globalisasi
Usaha pelayanan kesehatan saat ini baru dalam keadaan transformasi yang cepat
untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan masyarakat yang meningkat terus menerus.
Selain pentingnya peran dan kedudukan laboratorium klinik dalam upaya pelayanan
kesehatan, terdapat faktor lain yang mengharuskan setiap laboratorium berkomitmen
terhadap penjaminan mutu. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kedokteran laboratorium serta pesatnya arus informasi, tingkat pendidikan
masyarakat yang semakin maju, dan adanya peraturan perundang-undangan dan hukum
kesehatan telah mendorong tingginya tuntutan akan mutu pelayanan laboratorium klinik.
Mutu Pemeriksaan Laboratorium Klinik
Hasil pemeriksaan laboratorium klinik yang terbaik adalah apabila tes tersebut teliti,
akurat, sensitif, spesifik, cepat, tidak mahal dan dapat membedakan orang normal dari
abnormal.
Teliti atau presisi adalah kemampuan untuk mendapatkan nilai yang hampir sama
pada pemeriksaan yang berulang-ulang dengan metode yang sama. Namun teliti belum
tentu akurat.
Tepat atau akurat adalah kemampuan untuk mendapatkan nilai yang sama atau
mendekati nilai biologis yang sebenarnya (true value), tetapi untuk dapat mencapainya
mungkin membutuhkan waktu lama dan biaya yang mahal.
Sensitif adalah kemampuan menentukan substansi pada kadar terkecil yang
diperiksa. Secara teoritis tes dengan sensitifitas tinggi sangat dipilih namun karena nilai
normalnya sangat rendah misalnya enzim dan hormon, atau tinggi misalnya darah samar,
dalam klinik lebih dipilih tes yang dapat menentukan nilai abnormal.
Contoh :
Guaiac tes untuk menentukan darah samar dalam feses lebih dipilih daripada benzidin atau
orthotoluidin tes yang lebih sensitive. Dalam keadaan normal kedua tes terakhir dapat positif
karena + 3cc darah samar terdapat dalam faeses, sedangkan tes pertama positif dalam
keadaan abnormal saja.
Tes KED dan CRP sensitive untuk perubahan abnormal tetapi tidak spesifik untuk penyakit
tertentu.
Spesifik adalah kemampuan mendeteksi substansi pada penyakit yang diperiksa
dan tidak dipengaruhi oleh substansi yang lain dalam sampel tersebut, misalnya TPHA
(Treponema Palidum Haemaglutination Test). Secara teoritis spesifisitas sebaiknya 100%
hingga tidak ada positif palsu (false positive).
Contoh :
Pewarnaan Ziehl Nelson sputum, biakan Lowenstein Jensen dan PCR untuk tbc paru
spesitifitasnya 100% tetapi sensitifitasnya misalnya berturut-turut adalah 70%, 100% dan
98%. Tes yang baik adalah bila sensitivitas dan spesitifitasnya 100% atau mendekati 100%.
Cepat berarti tidak memerlukan waktu yang lama dan lekas diketahui oleh dokter
yang merawat.
Tidak mahal dan tidak sulit, artinya dapat dimanfaatkan oleh banyak laboratorium
dan penderita/orang yang memerlukan pemeriksaan laboratorium.
Pada umumnya untuk tes saring diperlukan tes yang sensitif, cepat dan tidak mahal,
sedangkan untuk diagnosis pasti diperlukan tes spesifik yang biasanya lebih mahal.
Ketepatan dalam pemanfaatan tes laboratorium untuk mendapatkan diagnosis akurat dan
cepat serta jaminan kualitas hasil pemeriksan laboratorium akan menghemat pembiayaan,
baik untuk diagnosis, terapi maupun lama rawat inap.
Nilai normal harus ditetapkan oleh masing-masing laboratorium dan dilaporkan
bersama-sama dengan hasil pemeriksan. Biasanya praktisi laboratorium melaporkan
rentang normal berdasarkan umur dan jenis kelamin, dan dokter menginterpretasi hasil
tersebut lebih jauh dengan melihat faktor spesifik lain (mis. diet, aktivitas fisik, kehamilan,
dan pengobatan)
Hasil pemeriksan laboratorium dapat mengalami variasi dan bila variasi ini besar
(lebih dari 2 SD), maka dianggap menyimpang. Penyebab variasi hasil pemeriksaan
laboratorium secara garis besar dipengaruhi oleh faktor-faktor :
1. Pengambilan spesimen, seperti : antikoagulan, variasi fisiologis pasien (puasa dan tidak
puasa, umur, jenis kelamin, latihan fisik, pengobatan, kehamilan, konsumsi tembakau, dsb),
cara pengambilan, kontaminasi, dsb.
2. Perubahan spesimen, seperti : suhu, pH, lisis, bekuan darah lama tidak dipisahkan dari
serum, dsb. Perubahan bisa terjadi di dalam laboratorium atau selama pengiriman ke
laboratorium.
3. Personel. Faktor personel yang dapat menimbulkan variasi yang besar pada hasil
laboratorium misalnya :
o Kesalahan administrasi, tertukar dengan pasien lain, kesalahan menyalin pada formulir hasil
o Kesalahan pembacan, kesalahan penghitungan
o Kesalahan teknis dalam prosedur pemeriksaan
4. Prasarana dan sarana laboratorium, misalnya :
o Gangguan aliran listrik, air bersih.
o Suhu tidak sesuai dengan suhu yang dianjurkan untuk penentuan tes.
o Air suling dengan pH yang tidak netral.
o Reagensia yang tidak baik, tidak murni, rusak atau kadaluwarsa. Bahan standard kurang baik
atau tidak ada.
o Peralatan (fotometer, pipet, dsb) tidak akurat.
5. Kesalahan sistematis (systematic error), yaitu berkaitan dengan metode pemeriksan (alat,
reagensia, dsb)
6. Kesalahan acak (random error). Variasi hasil yang tidak dapat dihindarkan apabila dilakukan
pemeriksaan berturut-turut pada sampel yang sama walaupun prosedur pemeriksaan
dilakukan dengan cermat.
Manajemen Mutu
Laboratorium klinik bagaikan sebuah industri, dimana sampel yang diterima
merupakan bahan bakunya, sedangkan hasil pemeriksaan yang dikeluarkan merupakan
produk yang dihasilkan. Hasil pemeriksaan yang dikeluarkan harus dapat dijamin mutunya.
Untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu pemeriksaan, maka perlu penataan faktor-
faktor sebagai berikut :
1. Sumber Daya Manusia (SDM)
o SDM yang kompeten, handal, profesional
o Penerapan Continuing Education, Profesional Development Program untuk meningkatkan
mutu SDMb. Manajemen dan kepemimpinan, pembiayaan dan komunikasi
berkesinambungan bertumpu pada Total Quality Management (TQM) dan Continous Quality
Improvement (CQI)
2. Sarana-prasarana dan alat (SPA)
o Penyediaan sumber energi dan air bersih
o Pengadan peralatan dan reagensia yang berkualitas
3. Sistem, prosedur & mekanisme kerja (SPM)
o Penetapan dan penerapan Standard Operating Procedure (SOP)
o Penerapan quality control (QC), baik intralab maupun ekstralab.
Program kontrol dalam laboratorium (intralab) atau Pemantapan Mutu Internal (PMI) ialah
program pemantapan mutu, pengecekan dengan nilai baku, penggunaan metode, alat,
reagen dan prosedur yang benar untuk melihat ketelitian, keakuratan, sensitifitas dan
spesitifitas pemeriksaan hingga menghasilkan hasil yang secara klinis dapat dipercaya.
Program kontrol kualitas ekstralab atau Pemantapan Mutu Eksternal (PME) ialah program
pemantapan mutu yang dikoordinasikan oleh Depkes atau perkumpulan profesi misalnya
PDS-PATKLIN sehingga hasil-hasil laboratorium tersebut dapat dipercaya kebenarannya.
Hasil yang baik juga menunjukkan mutu laboratorium tersebut baik, termasuk semua yang
berkaitan dengan tes yaitu dokter, teknisi, metode, reagensia, peralatan dan sarana lainnya.
Di pihak lain, mutu laboratorium klinik yang baik menunjukkan kepercayaan dokter terhadap
hasil tes laboratorium tersebut.
o Penerapan manajemen mutu pelayanan laboratorium, seperti akreditasi, ISO 9001 (Quality
Management System), ISO 15189 yang merupakan perpaduan ISO 9001 dengan ISO/IEC
17025 (International Electrotechnical Commission)
o Implementasi TQM, CQI, service satisfaction, customer satisfaction, dsb.
o Penerapan Standar Keselamatan Kerja
Upaya mencapai tujuan laboratorium klinik yakni tercapainya pemeriksaan yang
bermutu diperlukan strategi dan perencanaan manajemen mutu yang didasariQuality
Management Science (QMS) dengan suatu model Five–Q, yaitu :
1. Quality Planning (QP)
Pada saat akan menentukan jenis pemeriksaan yang akan dilakukan di laboratorium,
perlu merencanakan dan memilih jenis metode, reagen, bahan, alat, sumber daya manusia
dan kemampuan yang dimiliki laboratorium.
2. Quality Laboratory Practice (QLP)
Membuat pedoman, petunjuk dan prosedur tetap yang merupakan acuan setiap
pemeriksaan laboratorium. Standar acuan ini digunakan untuk menghindari atau
mengurangi terjadinya variasi yang akan mempengaruhi mutu pemeriksaan.
3. Quality Control (QC)
Pengawasan sistematis periodik terhadap : alat, metode, dan reagen. QC lebih berfungsi
untuk identifikasi ketika sebuah kesalahan terjadi
4. Quality Assurance (QA)
Mengukur kinerja pada tiap tahap siklus tes laboratorium: pra analitik, analitik dan pasca
analitik. Jadi, QA merupakan pengamatan keseluruhan input-proses-output/outcome, dan
menjamin pelayanan dalam kualitas tinggi dan memenuhi kepuasan pelanggan. Tujuan QA
adalah untuk mengembangkan produksi hasil yang dapat diterima secara konsisten, jadi
lebih berfungsi untuk mencegah kesalahan terjadi (antisipasi error).
Indikator kinerja QA adalah :
o Manajemen sampel : phlebotomy, preparasi spesimen
o Manajemen proses : turn around time (waktu tunggu), STAT atau cyto, pelaporan hasil,
pemeliharaan alat
o Manajemen SDM : kompetensi, Continuing Education, Profesional Development Programm.
o Keselamatan kerja : kecelakaan jarum suntik (needle stick injury), kimiawi & biologis.
5. Quality Improvement (QI)
Dengan melakukan QI, penyimpangan yang mungkin terjadi akan dapat dicegah dan
diperbaiki selama proses pemeriksaan berlangsung.
Langkah-langkah Five Q merupakan implementasi manajemen mutu laboratorium
yang berujung pada Continous Quality Improvement (CQI), menjamin pelayanan berstandar
tinggi dan terwujudnya kepuasan pelanggan. Hal ini membutuhkan komitmen pimpinan (Top
Management).
PEMANTAPAN MUTU PRA-ANALITIK PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Laboratorium klinik sebagai subsistem pelayanan kesehatan menempati posisi
penting dalam diagnosis invitro. Setidaknya terdapat 5 alasan penting mengapa
pemeriksaan laboratorium diperlukan, yaitu : skrining, diagnosis, pemantauan progresifitas
penyakit, monitor pengobatan dan prognosis penyakit. Oleh karena itu setiap laboratorium
harus dapat memberikan data hasil tes yang teliti, cepat dan tepat.
Dalam proses pengendalian mutu laboratorium dikenal ada tiga tahapan penting,
yaitu tahap pra analitik, analitik dan pasca analitik. Pada umumnya yang sering sering
diawasi dalam pengendalian mutu hanya tahap analitik dan pasca analitik yang lebih
cenderung kepada urusan administrasi, sedangkan proses pra analitik kurang mendapat
perhatian.
Kesalahan pada proses pra-analitik dapat memberikan kontribusi sekitar 61% dari
total kesalahan laboratorium, sementara kesalahan analitik 25%, dan kesalahan pasca
analitik 14%. Proses pra-analitik dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : pra-analitik ekstra
laboratorium dan pra-analitik intra laboratorium. Proses-proses tersebut meliputi persiapan
pasien, pengambilan spesimen, pengiriman spesimen ke laboratorium, penanganan
spesimen, dan penyimpanan spesimen.
PERSIAPAN PASIEN
Persiapan pasien dimulai saat seorang dokter merencanakan pemeriksaan
laboratorium bagi pasien. Dokter dibantu oleh paramedis diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai tindakan apa yang akan dilakukan, manfaat dari tindakan itu, dan
persyaratan apa yang harus dilakukan oleh pasien. Informasi yang diberikan harus jelas
agar tidak menimbulkan ketakutan atau persepsi yang keliru bagi pasien. Pemilihan jenis tes
yang kurang tepat atau tidak sesuai dengan kondisi klinis pasien akan menghasilkan
interpretasi yang berbeda. Ketaatan pasien akan instruksi yang diberikan oleh dokter atau
paramedis sangat berpengaruh terhadap hasil laboratorium; tidak diikutinya instruksi yang
diberikan akan memberikan penilaian hasil laboratorium yang tidak tepat. Hal yang sama
juga dapat terjadi bila keluarga pasien yang merawat tidak mengikuti instruksi tersebut
dengan baik.
Ada beberapa sumber kesalahan yang kurang terkontrol dari proses pra-analitik
yang dapat mempengaruhi keandalan pengujian laboratorium, tapi yang hampir tidak dapat
diidentifikasi oleh staf laboratorium. Ini terutama mencakup variabel fisik pasien, seperti
latihan fisik, puasa, diet, stres, efek posisi, menstruasi, kehamilan, gaya hidup (konsumsi
alkohol, rokok, kopi, obat adiktif), usia, jenis kelamin, variasi diurnal, pasca transfusi, pasca
donasi, pasca operasi, ketinggian. Karena variabel tersebut memiliki pengaruh yang kuat
terhadap beberapa variabel biokimia dan hematologi, maka gaya hidup individu dan ritme
biologis pasien harus selalu dipertimbangkan sebelum pengambilan sampel.
PERSIAPAN PENGUMPULAN SPESIMEN
Spesimen yang akan diperiksa laboratorium haruslah memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
Jenisnya sesuai jenis pemeriksaan
Volume mencukupi
Kondisi baik : tidak lisis, segar/tidak kadaluwarsa, tidak berubah warna, tidak berubah
bentuk, steril (untuk kultur kuman)
Pemakaian antikoagulan atau pengawet tepat
Ditampung dalam wadah yang memenuhi syarat
Identitas benar sesuai dengan data pasien
Sebelum pengambilan spesimen, periksa form permintaan laboratorium. Identitas
pasien harus ditulis dengan benar (nama, umur, jenis kelamin, nomor rekam medis, dsb)
disertai diagnosis atau keterangan klinis. Periksa apakah identitas telah ditulis dengan benar
sesuai dengan pasien yang akan diambil spesimen.
Tanyakan persiapan yang telah dilakukan oleh pasien, misalnya diet, puasa.
Tanyakan juga mengenai obat-obatan yang dikonsumsi, minum alkohol, merokok, dsb.
Catat apabila pasien telah mengkonsumsi obat-obatan tertentu, merokok, minum alkohol,
pasca transfusi, dsb. Catatan ini nantinya harus disertakan pada lembar hasil laboratorium.
1. Peralatan
Peralatan yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
bersih, kering
tidak mengandung deterjen atau bahan kimia
terbuat dari bahan yang tidak mengubah zat-zat dalam spesimen
sekali pakai buang (disposable)
steril (terutama untuk kultur kuman)
tidak retak/pecah, mudah dibuka dan ditutup rapat, ukuran sesuai dengan volume
spesimen
2. Antikoagulan
Antikoagulan adalah bahan kimia yang digunakan untuk mencegah pembekuan
darah. Jenis antikoagulan yang dipergunakan harus disesuaikan dengan jenis pemeriksaan
yang diminta. Volume darah yang ditambahkan juga harus tepat.
3. Pemilihan Lokasi Pengambilan Spesimen
Tentukan lokasi pengambilan spesimen sesuai dengan jenis spesimen yang
diperlukan, seperti :
Darah vena umumnya diambil dari vena lengan (median cubiti, vena cephalic, atau
vena basilic). Tempat pengambilan tidak boleh pada jalur infus atau transfusi, bekas luka,
hematoma, oedema, canula, fistula
Darah arteri umumnya diambil dari arteri radialis (pergelangan tangan), arteri
brachialis (lengan), atau arteri femoralis (lipat paha).
Darah kapiler umumnya diambil dari ujung jari tengah atau jari manis tangan bagian
tepi atau pada daerah tumit 1/3 bagian tepi telapak kaki pada bayi. Tempat yang dipilih
untuk pengambilan tidak boleh memperlihatkan gangguan peredaran darah seperti sianosis
atau pucat.
Spesimen untuk pemeriksaan biakan kuman diambil dari tempat yang sedang
mengalami infeksi, kecuali darah dan cairan otak.
4. Waktu Pengambilan
Penentuan waktu pengambilan spesimen penting untuk diperhatikan.
Umumnya pengambilan dilakukan pada waktu pagi (ideal)
Spesimen untuk kultur kuman diambil sebelum pemberian antibiotik
Spesimen untuk pemeriksaan GO diambil 2 jam setelah buang air yang terakhir
Spesimen untuk malaria diambil pada waktu demam
Spesimen untuk mikrofilaria diambil pada tengah malam
Spesimen dahak untuk pemeriksaan BTA diambil pagi hari setelah bangun tidur
Spesimen darah untuk pemeriksaan profil besi diambil pada pagi hari dan setelah
puasa 10-12 jam
PENGAMBILAN SPESIMEN
Hal-hal yang harus diperhatikan pada pengambilan spesimen adalah :
1. Tehnik atau cara pengambilan. Pengambilan spesimen harus dilakukan dengan benar
sesuai dengan standard operating procedure (SOP) yang ada.
2. Cara menampung spesimen dalam wadah/penampung.
o Seluruh sampel harus masuk ke dalam wadah (sesuai kapasitas), jangan ada yang
menempel pada bagian luar tabung untuk menghindari bahaya infeksi.
o Wadah harus dapat ditutup rapat dan diletakkan dalam posisi berdiri untuk mencegah
spesimen tumpah.
o Memindahkan spesimen darah dari syringe harus memperhatikan hal-hal seperti berikut :
Darah harus segera dimasukkan dalam tabung setelah sampling.
Lepaskan jarum, alirkan darah lewat dinding tabung perlahan-lahan agar tidak terjadi
hemolisis.
Untuk pemeriksaan kultur kuman dan sensitivitas, pemindahan sampel ke dalam media
dilakukan dengan cara aseptik
Pastikan jenis antikoagulan dan volume darah yang ditambahkan tidak keliru.
Homogenisasi segera darah yang menggunakan antikoagulan dengan lembut perlahan-lahan.
Jangan mengkocok tabung keras-keras agar tidak hemolisis.
o Menampung spesimen urin
Sediakan wadah yang bersih, kering, tidak terkontaminasi oleh bahan apapun, mudah dibuka,
mudah ditutup, dan bermulut lebar
Sebaiknya pasien diinstruksikan membuang urine yang mula-mula keluar sebelum
mengumpulkan urine untuk diperiksa.
Untuk mendapatkan specimen clean catch diperlukan cara pembersihan lebih sempurna :
Mulut uretra dibersihkan dengan sabun dan kemudian membilasnya sampai bersih.
Penderita wanita harus lebih dulu membersihkan labia minora, lalu harus merenggangkannya
pada waktu kencing.
Perempuan yang sedang menstruasi atau yang mengeluarkan banyak secret vagina,
sebaiknya memasukkan tampon sebelum mengumpulkan specimen.
Bagian luar wadah urine harus dibilas dan dikeringkan setelah spesimen didapat dan
keterangan tentang pemeriksaan harus jelas dicantumkan.
o Menampung spesimen tinja
Sampel tinja sebaiknya berasal dari defekasi spontan. Jika sangat diperlukan, sampel tinja
juga dapat diperoleh dari pemeriksaan colok dubur.
Masukkan sampel ke dalam wadah yang bersih, kering, tidak terkontaminasi oleh bahan
apapun, dapat ditutup rapat, dapat dibuka dengan mudah dan bermulut lebar.
o Menampung spesimen dahakPenting untuk mendapatkan sekret bronkial dan bukan ludah
atau sekret hidung.
Sediakan wadah yang bersih, kering, tidak terkontaminasi oleh bahan apapun, mudah dibuka,
mudah ditutup, dan bermulut lebar. Untuk pewarnaan BTA, jangan gunakan wadah yang
mengandung bercak lilin atau minyak, sebab zat ini dapat dilihat sebagai bintik-bintik tahan
asam dan dapat menyulitkan penafsiran.
Sebelum pengambilan spesimen, penderita diminta berkumur dengan air, bila mungkin gosok
gigi terlebih dulu. Bila memakai gigi palsu, sebaiknya dilepas dulu.
Pada saat pengambilan spesimen, penderita berdiri tegak atau duduk tegak
Penderita diminta untuk menarik nafas dalam 2 – 3 kali kemudian keluarkan nafas bersamaan
dengan batuk yang kuat dan berulang kali sampai dahak keluar.
Dahak yang dikeluarkan langsung ditampung dalam wadah dengan cara mendekatkan wadah
ke mulut.
Amati keadaan dahak. Dahak yang memenuhi syarat pemeriksaan akan tampak kental
purulen dengan volume cukup ( 3 – 5 ml )
Tutup wadah dengan rapat untuk menghindari kontaminasi dari udara dan secepatnya dikirim
ke laboratorium.
Sumber-sumber kesalahan pada pengambilan spesimen darah :
1. Pemasangan turniquet terlalu lama dapat menyebabkan :
o Protein (termasuk enzim) , Ca2+, laktat , fosfat, dan Mg2+ meningkat
o pH menurun, hemokonsentrasi
o PPT dan APTT mungkin memendek karena pelepasan tromboplastin jaringan ke dalam
sirkulasi darah
2. Pemompaan menyebabkan kalium, laktat, glukosa, dan Mg2+ meningkat, sedangkan pH
menurun
3. Pengambilan darah terlalu lama (tidak sekali tusuk kena) dapat menyebabkan :
o trombosit dan fibrinogen menurun; PPT dan APTT memanjang
o kalium, LDH dan SGPT/ALT meningkat
4. Pengambilan darah pada jalur infus dapat menyebabkan :
o natrium meningkat pada infus saline
o kalium meningkat pada infus KCl
o glukosa meningkat pada infus dextrose
o PPT, APTT memanjang pada infus heparine.
o kreatinin, fosfat, LDH, SGOT, SGPT, Hb, Hmt, lekosit, trombosit, eritrosit menurun pada
semua jenis infus
5. Homogenisasi darah dengan antikoagulan yang tidak sempurna atau keterlambatan
homogenisasi menyebabkan terbentuknya bekuan darah.
6. Hemolisis dapat menyebabkan peningkatan K+, Mg2+, fosfat, aminotransferase, LDH,
fosfatase asam total
IDENTIFIKASI SPESIMEN
Pemberian identitas pasien dan atau spesimen adalah tahapan yang harus dilakukan
karena merupakan hal yang sangat penting. Pemberian identitas meliputi pengisian formulir
permintaan pemeriksaan laboratorium dan pemberian label pada wadah spesimen.
Keduanya harus cocok sama. Pemberian identitas ini setidaknya memuat nama pasien,
nomor ID atau nomor rekam medis serta tanggal pengambilan. Kesalahan pemberian
identitas dapat merugikan.
Untuk spesimen berisiko tinggi (HIV, Hepatitis) sebaiknya disertai tanda khusus pada
label dan formulir permintaan laboratorium.
PENGIRIMAN SPESIMEN KE LABORATORIUM
Spesimen yang telah dikumpulkan harus segera dikirim ke laboratorium.
1. Sebelum mengirim spesimen ke laboratorium, pastikan bahwa spesimen telah memenuhi
persyaratan seperti yang tertera dalam persyaratan masing-masing pemeriksaan.
2. Apabila spesimen tidak memenuhi syarat agar diambil / dikirim ulang.
3. Pengiriman spesimen disertai formulir permintaan yang diisi data yang lengkap. Pastikan
bahwa identitas pasien pada label dan formulir permintaan sudah sama.
4. Secepatnya spesimen dikirim ke laboratorium. Penundaan pengiriman spesimen ke
laboratorium dapat dilakukan selambat-lambatnya 2 jam setelah pengambilan spesimen.
Penundaan terlalu lama akan menyebabkan perubahan fisik dan kimiawi yang dapat
menjadi sumber kesalahan dalam pemeriksaan, seperti :
o Penurunan kadar natrium ( Na+ ), glukosa darah, angka lekosit, angka trombosit.
o Perubahan morfologi sel darah pada pemeriksaan mikroskopik
o PPT / APTT memanjang.
o Peningkatan kadar kalium ( K+ ), phosphate, LDH, SGPT.
o Lisisnya sel pada sample LCS, transudat, eksudat.
o Perkembangbiakan bakteri
o Penundaan pengiriman sampel urine :
Unsur-unsur yang berbentuk dalam urine (sediment), terutama sel-sel eritrosit, lekosit, sel
epitel dan silinder mulai rusak dalam waktu 2 jam.
Urat dan fosfat yang semula larut akan mengendap, sehingga menyulitkan pemeriksaan
mikroskopik atas unsur-unsur lain.
Bilirubin dan urobilinogen teroksidasi bila berkepanjangan terkena sinar matahari.
Bakteri-bakteri akan berkembang biak yang akan menyebabkan terganggunya pemeriksaan
bakteriologis dan pH.
Jamur akan berkembang biak
Kadar glukosa mungkin menurun dan kalau semula ada, zat-zat keton dapat
menghilang.Apabila akan ditunda pengirimannya dalam waktu yang lama spesimen harus
disimpan dalam refrigerator/almari es pada suhu 2 – 8 oC paling lama 8 jam.
5. Pengiriman sample sebaiknya menggunakan wadah khusus, misalnya berupa kotak atau tas
khusus yang tebuat dari bahan plastik, gabus (styro-foam) yang dapat ditutup rapat dan
mudah dibawa.
PENANGANAN SPESIMEN
Identifikasi dan registrasi spesimen
Seluruh spesimen harus diperlakukan sebagai bahan infeksius
Patuhi cara pengambilan spesimen dan pengisian tabung yang benar
Gunakan sentrifus yang terkalibrasi
Segera pisahkan plasma atau serum dari darah dalam tabung lain, tempeli label
Segera distribusikan spesimen ke ruang pemeriksaan
PENYIMPANAN SPESIMEN
Penyimpanan spesimen dilakukan jika pemeriksaan ditunda atau spesimen akan dikirim ke
laboratorium lain
Lama penyimpanan harus memperhatikan, jenis pemeriksaan, wadah dan stabilitasnya
Hindari penyimpanan whole blood di refrigerator
Sampel yang dicairkan (setelah dibekukan) harus dibolak-balik beberapa kali dan terlarut
sempurna. Hindari terjadinya busa.
Simpan sampel untuk keperluan pemeriksaan konfirmasi / pengulangan
Menyimpan spesimen dalam lemari es dengan suhu 2-8ºC, suhu kamar, suhu -20ºC, -70ºC
atau -120ºC jangan sampai terjadi beku ulang.
Untuk jenis pemeriksaan yang menggunakan spesimen plasma atau serum, maka plasma
atau serum dipisahkan dulu baru kemudian disimpan.
Memberi bahan pengawet pada spesimen
Menyimpan formulir permintaan lab di tempat tersendiri
Waktu penyimpanan spesimen dan suhu yang disarankan :
Kimia klinik : 1 minggu dalam referigerator
Imunologi : 1 minggu dalam referigerator
Hematologi : 2 hari pada suhu kamar
Koagulasi : 1 hari dalam referigerator
Toksikologi : 6 minggu dalam referigerator
Blood grouping : 1 minggu dalam referigerator
Siapa yang Terlibat Dalam Proses Pra-Analitik?
Selalu ada beberapa orang yang terlibat dalam proses pra-analitik, yaitu pasien,
dokter, paramedis/perawat, petugas layanan transportasi, analis dan dokter laboratorium;
mereka semua berbagi tanggung jawab terhadap mutu bahan spesimen dan harus
memahami pentingnya tahap pra-analtik, serta mengenali kemungkinan penyebab
kesalahan dan konsekuensi mereka untuk hasil pemeriksaan.
Komunikasi antara dokter, paramedis/perawat, petugas layanan transportasi, analis
dan dokter laboratorium harus selalu ditingkatkan dalam bentuk komunikasi langsung,
telepon, atau media lainnya. Lebih baik kalau laboratorium dapat membuat pedoman atau
semacam SOP mengenai pengumpulan spesimen untuk penggunaan oleh bagian lain.
Pedoman tersebut harus ditinjau ulang oleh supervisor laboratorium. Laboratorium juga
perlu menetapkan prosedur untuk penanganan spesimen dan prosedur untuk manajemen
spesimen (penerimaan atau penolakan spesimen).
MUTU PELAYANAN LABORATORIUM KLINIK RUMAH SAKIT
Pelayanan kesehatan di Rumah Sakit merupakan bagian integral yang tidak dapat
dipisahkan dari pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Pada saat ini perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan semakin meningkat dan sudah mengarah
pada spesialisasi dan subspesialisasi. Semakin pesat lajunya pembangunan, semakin besar
pula tuntutan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Perlu disadari bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kesejahteraan
masyarakat, tuntutan akan pelayanan kesehatan yang bermutu pun semakin meningkat. Di
lain pihak pelayanan Rumah Sakit yang memadai, baik di bidang diagnostik maupun
pengobatan semakin dibutuhkan. Sejalan dengan itu maka pelayanan diagnostik yang
diselenggarakan oleh laboratorium klinik Rumah Sakit sangat perlu untuk menerapkan
sebuah standar mutu untuk menjamin kualitas pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat.
UU No. 23 / 1992 tentang kesehatan menjadi landasan hukum yang kuat untuk
pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Sebagai penjabaran dari undang-
undang tersebut salah satunya adalah Surat Keputusan Direktur Jendral Pelayanan Medik
Nomor HK 006.06.3.5.00788 tahun 1995 tentang pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit
(termasuk di dalamnya adalah pelayanan laboratorium klinik) untuk mengukur mutu
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.
Berkaitan dengan pengukuran mutu pelayanan kesehatan tersebut, menurut
Donabedian ada 3 variabel yang dapat digunakan untuk mengukur mutu, yaitu :
1. Input (struktur), ialah segala sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pelayanan
kesehatan, seperti SDM, dana, obat, fasilitas, peralatan , bahan, teknologi, organisasi,
informasi dan lain-lain. Pelayanan kesehatan yang bermutu memerlukan dukungan input
yang bermutu pula. Hubungan input dengan mutu adalah dalam perencanaan dan
penggerakan pelaksanaan pelayanan kesehatan.
2. Proses, ialah interaksi professional antara pemberi layanan dengan konsumen (pasien /
masyarakat ). Proses ini merupakan variable penilaian mutu yang penting.
3. Output/outcome, ialah hasil pelayanan kesehatan, merupakan perubahan yang terjadi pada
konsumen (pasien/masyarakat), termasuk kepuasan dari konsumen tersebut.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan, laboratorium klinik yang terdapat dalam
seluruh Rumah Sakit perlu dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang
tepat. Salah satu pendekatan mutu yang digunakan adalah Manajemen Mutu Terpadu (Total
Quality Magement, TQM).
Menurut Sulistiyani & Rosidah (2003) konsep TQM pada mulanya dipelopori oleh W.
Edward Deming, seorang doktor di bidang statistik yang diilhami oleh manajemen Jepang
yang selalu konsisten terhadap kualitas terhadap produk-produk dan layananannya. TQM
adalah suatu pendekatan yang seharusnya dilakukan oleh organisasi masa kini untuk
memperbaiki otputnya, menekan biaya produksi serta meningkatkan produksi. Total
mempunyai konotasi seluruh sistem, yaitu seluruh proses, seluruh pegawai, termasuk
pemakai produk dan jasa juga supplier. Qualityberarti karakteristik yang memenuhi
kebutuhan pemakai, sedangkan management berarti proses komunikasi vertikal dan
horizontal, top-down dan bottom-up, guna mencapai mutu dan produktivitas.
Pendekatan Manajemen Mutu Terpadu dalam pelayanan laboratorium menurut
Sianipar (1997) adalah menggunakan konsep dari Creech, yaitu suatu pendekatan
manajemen yang merupakan suatu sistem yang mempunyai struktur yang mampu
menciptakan partisipasi menyeluruh dari seluruh jajaran organisasi dalam merencanakan
dan menerapkan proses peningkatan yang berkesinambungan untuk memenuhi bahkan
melebihi harapan pelanggan. Terdapat lima pilar Manajemen Mutu Terpadu, yaitu
kepemimpinan, proses, organisasi, komitmen, produk dan service. Manajemen mutu terpadu
berfokus pada peningkatan proses. Proses adalah transformasi dari input, dengan
menggunakan mesin peralatan, perlengkapan metoda dan SDM untuk menghasilkan produk
atau jasa bagi pelanggan.
PENINGKATAN MUTU PELAYANAN LABORATORIUM KLINIK
Menurut Pusorowati (2004), mutu pada hakekatnya adalah tingkat kesempurnaan
suatu produk atau jasa. Sedangkan mutu pelayanan laboratorium klinik Rumah Sakit
diartikan sebagai derajat kesempurnaan pelayanan laboratorium klinik untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat konsumen akan pelayanan kesehatan dengan menggunakan potensi
sumber daya yang tersedia secara wajar, efisien dan efektif serta diberikan secara aman
dan memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum, dan sosial budaya dengan
memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah dan masyarakat konsumen.
Upaya peningkatan mutu pelayanan laboratorium klinik merupakan serangkaian
kegiatan yang komprehensif dan integral yang menyangkut struktur, proses dan outcome
secara obyektif, sistematik dan berlanjut, memantau dan menilai mutu dan kewajaran
pelayanan terhadap pasien, dan memecahkan maslah-masalah yang terungkapkan
sehingga pelayanan laboratorium yang diberikan berdaya guna dan berhasil guna.
Sasaran upaya meningkatkan mutu pelayanan laboratorium di rumah sakit adalah :
meningkatkan kepuasan pelanggan (pasien, dokter dan pemakai jasa laboratorium lainnya),
meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan laboratorium, dan efisiensi penggunaan
sumber daya yang dimiliki.
Cakupan kegiatan peningkatan mutu meliputi seluruh kegiatan teknis laboratorium
dan kegiatan-kegiatan yang bersifat administrasi, serta manajemen laboratorium. Kegiatan
teknis laboratorium meliputi seluruh kegiatan pra-analitik, analitik dan pasca-analitik.
Kegiatan yang berkaitan dengan administrasi meliputi pendaftaran pasien / spesimen,
pelayanan administrasi keuangan, dan pelayanan hasil pemeriksaan. Sedangkan kegiatan
yang bersifat manajerial meliputi pemberdayaan sumber daya yang ada, termasuk di
dalamnya adalah penatalaksanaan logistic dan pemberdayaan SDM.
Pendekatan yang dilakukan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
laboratorium di Instalasi Patologi Klinik adalah :
1. Pendekatan tidak langsung
o Program menjaga mutu (quality assurance/quality improvement), seperti pemeriksaan kontrol
kualitas (quality control), Pemantapan Mutu Internal (PMI), Pemantapan Mutu Eksternal
(PME)
o Quality Assesment, seperti akreditasi, ISO 9001:2000
o Total Quality Managemen (TQM)
o Pengembangan standar profesi, seperti seminar / kursus / workshop / pelatihan, pendidikan
berkelanjutan. Program ini dilakukan baik untuk Pranata Laboratorium maupun tenaga
administrasi.
o Risk management, misalnya penanganan komplain dari pelanggan.
o Program-program khusus, misalnya mengukur kepuasan pelanggan melalui pemberian
kuesioner.
2. Pendekatan pemecahan masalah
Pemecahan masalah merupakan suatu proses siklus (daur) yang
berkesinambungan. Langkah pertama dalam siklus ini adalah identifikasi masalah.
Identifikasi masalah merupakan bagian sangat penting dari seluruh proses siklus karena
akan menentukan kegiatan-kegiatan selanjutnya dari pendekatan masalah. Masalah akan
timbul apabila :
o Terdapat penyimpangan antara hasil yang dicapai (output) dengan standar yang adab.
o Terdapat ketidakpuasan akan penyimpangan tersebut.
Pendekatan pemecahan masalah ini dapat dilakukan melalui kegiatan Gugus
Kendali Mutu (GKM) atau dengan program Problem Solving for a Better Hospital (PSBH)
yang tengah digalakkan oleh Manajemen Rumah Sakit. Pendekatan kegiatan PSBH mirip
dengan GKM.
Bahan Bacaan :
1. Kuncoro, T., et. al., 1997, Manajemen Proses di Laboratorium Klinik Menuju Produk yang
Bermutu, Dalam : Sianipar, O. (ed), 1997, Prinsip-prinsip Manajemen Untuk Peningkatan
Mutu Pelayanan Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit, Magister Manajemen Rumah
Sakit, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
2. Lewandrovsky, Kent, 2002, Clinical Chemistry : Laboratory Management and Clinical
Corellations, Lippincot William & Wilkins, Philadelphia, USA.
3. Mulyadi, Bagus, et. al., 2001, Petunjuk Pelaksanaan Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit,
Worl Health Organization – Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
4. Nawawi, H. Hadari, 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia, cetakan ke-3, Gama Press,
Yogyakarta.
5. Pusorowati, Nunuk, 2004, Konsep Dasar Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit,
Clinical Epidemiology and Biostatistics Unit, RS Dr. Sardjito/FK-UGM, Yogyakarta.
6. Sulistiyani, Ambar T. dan Rosidah, 2003, Manajemen Sumber Daya Manusia : Konsep, Teori
dan Pengembangan Dalam Konteks Organisasi Publik, Graha Ilmu, Yogyakarta.
http://herdianaakhyar.blogspot.com/2012/10/pemantapan-mutu_5523.html?m=0