volume 3, nomor 1, april 2005 buletin hukum … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum...

81
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 3, Nomor 1, April 2005 Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Direktorat Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Roswita Roza, Ahmad Fuad, Oey Hoey Tiong, Ramlan Ginting Pemimpin Redaksi Agus Santoso Sekretaris Redaksi Hernowo Koentoadji, Musliha, Kesumawati Syafei, Anton Purba, Yulita Kuntari, M. Hoshi Utomo Dewan Redaksi Suchaemi Sy. Maarif, Hendrikus Ivo, Wahyudi Santoso, Bambang Djauhari, Sudarmaji, Tini Kustini, Umi Widji. R Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan- tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Namun mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember. Peminat buletin ini dapat menghubungi Tim RUU dan Pengkajian Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10100, telepon (021) 3817416, facsimile (021) 3801430, email : [email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. “Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id , pilih links kemudian publikasi”

Upload: vandang

Post on 18-May-2018

235 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 3, Nomor 1, April 2005

Volume 3, Nomor 1, April 2005

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Direktorat Hukum Bank Indonesia

Pelindung

Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung Jawab Roswita Roza, Ahmad Fuad, Oey Hoey Tiong, Ramlan Ginting

Pemimpin Redaksi

Agus Santoso

Sekretaris Redaksi Hernowo Koentoadji, Musliha, Kesumawati Syafei, Anton Purba,

Yulita Kuntari, M. Hoshi Utomo

Dewan Redaksi Suchaemi Sy. Maarif, Hendrikus Ivo, Wahyudi Santoso, Bambang Djauhari,

Sudarmaji, Tini Kustini, Umi Widji. R

Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Namun mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember. Peminat buletin ini dapat menghubungi Tim RUU dan Pengkajian Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10100, telepon (021) 3817416, facsimile (021) 3801430, email : [email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. “Buletin ini dapat diakses melalui website Bank

Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links kemudian publikasi”

Page 2: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 3, Nomor 1, April 2005

DARI MEJA REDAKSIDARI MEJA REDAKSIDARI MEJA REDAKSIDARI MEJA REDAKSI

Konsisten dengan usaha memberikan suatu bacaan dan wacana yang akurat mengenai hukum perbankan dan kebanksentralan, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 3, Nomor 1, April 2005 terbit perdana di tahun 2005 dengan tampilan cover merah dan biru yang merupakan corporate identity Bank Indonesia agar Buletin ini mudah dikenali oleh pembaca. Redaksi pada kesempatan ini mengucapkan terimakasih atas dukungan berupa sumbangan pemikiran dalam bentuk artikel dan saran dari para pembaca dan kontributor yang telah diberikan untuk penerbitan Buletin selama tahun 2004.

Mengenai muatan materi dari Buletin ini, Redaksi terus berusaha tetap konsisten mewujudkan visi Buletin, yaitu memperluas wawasan di bidang hukum perbankan dan kebanksentralan, sehingga sistematika isi Buletin tetap dipertahankan sebagaimana halnya pada edisi-edisi sebelumnya. Sehubungan dengan adanya wacana perlunya UU Perbankan Syariah untuk mendukung perkembangan Bank Syariah di Indonesia dan perlunya UU Mata Uang sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, Buletin edisi April ini menampilkan artikel-artikel seputar Perbankan Syariah dan RUU Mata Uang.

Ada 4 (empat) artikel yang terkait dengan Perbankan Syariah dan perlunya UU Mata Uang. Artikel tersebut berjudul Analisa Yuridis Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah, Peran Dewan Pengawas Syariah Dalam Bank Syariah, Menyongsong RUU Bank Syariah :Fenomena Dual Banking System, dan Perlunya Pengaturan Mata Uang Dalam Undang-Undang Tersendiri. Rubrik Resensi Buku mengetengahkan buku berjudul Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Kemudian terkait dengan musibah bencana alam di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, Redaksi juga menampilkan artikel tentang penanganan kredit program pasca bencana alam di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, yaitu berupa opini berjudul Penghapus Tagihan Porsi KLBI Dalam Kredit Program di Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias-Sumatera Utara. Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar atas Putusan Pengadilan. Selain itu, Buletin ini juga mengetengahkan hasil diskusi Permasalahan Hukum Terkait Internet Banking dan Solusi Penyelesaiannya yang diselenggarakan di Jakarta baru-baru ini.

Selain itu sebagaimana biasanya, edisi ini memuat juga informasi peraturan yang berisi daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia yang dikeluarkan pada bulan Desember 2004-April 2005.

Dengan informasi dan wacana yang cukup beragam, semoga Buletin ini dapat bermanfaat bagi semua pembacanya

Selamat membaca.

Jakarta, April 2005

Redaksi Redaksi Redaksi Redaksi

Page 3: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 3, Nomor 1, April 2005

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

Volume 3, Nomor 1, April 2005

Halaman

Dari Meja Redaksi Daftar Isi Analisis Yuridis Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah ………………….………………………………………… 1 - 11

⇒ Dhani Gunawan Idat, S.H., MBA Menyongsong RUU Bank Syariah : FENOMENA DUAL BANKING SYSTEM.……………………………………………… 12-30

⇒ Marulak Pardede, S.H., M.H., APU & Ahyar Ary Gayo, S.H., M.H

Perlunya Pengaturan Mata Uang Dalam Undang-undang tersendiri………………………………………………………….. 31-44

⇒ Direktorat Pengedaran Uang Peran Dewan Pengawas Syariah Dalam Bank Syariah................... 45-60

⇒ Brian A Prastyo, S.H., MLI. Resensi Buku : Bank Syariah dari Teori ke Praktik………….. 61-63

⇒ Musliha, S.H., LL.M Opini : Penghapustagihan Porsi KLBI Dalam Kredit Program di Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias Sumut……………………………………………………………… 64-66

⇒ Biro Kredit

Cakarawala Hukum : Diskusi Permasalahan Hukum Terkait Internet Banking dan Solusi Penyelesaiannya ………………. 67-73

⇒ Redaksi

Page 4: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 3, Nomor 1, April 2005

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran (Ekstern) Bank Indonesia Desember 2004 – April 2005…..…………………………………………………………… 74-77

⇒ Tim Informasi Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia

Page 5: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 1 Volume 3, Nomor 1, April 2005

ANALISIS YURIDIS PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

PERBANKAN SYARIAH

Oleh: Dhani Gunawan Idat

Analis Bank Senior, Direktorat Perbankan Syariah

I. Pendahuluan

Eksistensi bank syariah di Indonesia secara faktual terus menguat – baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya – terutama sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan). Eksistensi bank syariah bahkan semakin diperkuat dengan adanya Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (UU BI) yang memungkinkan diterapkannya kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah.1

Upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia sebenarnya bukan hanya merupakan konsekuensi yuridis UU Perbankan dan UU BI saja, akan tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya penyehatan sistem perbankan nasional yang bertujuan meningkatkan daya tahan 1 Pasal 1 angka 7 dan Pasal 11 UU No.23 Tahun 1999.

perkonomian nasional. Sedikitnya ada empat hal yang menjadi tujuan pengembangan perbankan yang berdasarkan prinsip syariah (Islam), yaitu :2 (1) memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga; (2) terciptanya dual banking sistem di Indonesia yang mengakomodasikan baik perbankan konvensional maupun perbankan syariah yang akan melahirkan kompetisi yang sehat dan perilaku bisnis yang berdasarkan nilai-nilai moral; (3) mengurangi risiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia; (4) mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sektor riil dan membatasi spekulasi atau tidak produktif karena pembiayaan ditujukan pada usaha-usaha yang berlandaskan nilai-nilai moral.

Krisis ekonomi yang terjadi sejak akhir 1997 menunjukkan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip

2 Mulya E. Sitegar dan Nasirwan, “Tantangan Perbankan Syariah”, dalam Republika, Jum’at, 30 Agustus 2001, hal.9.

Page 6: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 2 Volume 3, Nomor 1, April 2005

syariah relatif dapat bertahan dan memiliki kinerja lebih baik di tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Hal ini minimal terlihat pada angka NPFs (Non Performing Financings) yang lebih rendah dibanding sistem konvensional, tidak adanya negative spread, dan konsistensinya dalam menjalankan fungsi intermediasi. Kenyataan tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank syariah yang melarang bunga (riba), transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar), dan spekulatif (maysir).3

UU Perbankan (1998) dan UU BI menjadi era baru bagi perbankan syariah di Indonesia. Jumlah bank tumbuh dengan pesat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) pada tahun 1998 menjadi 3 bank umum syariah, 18 Unit Usaha Syariah dan 88 BPRS pada akhir tahun 2004 dengan jumlah jaringan kantor (network) sebanyak 443 kantor yang tersebar di 20 provinsi. Namun demikian, kontribusinya terhadap total perbankan nasional masih sangat kecil, yaitu sebesar Rp.15,3 triliun (1,3 %) meskipun aset perbankan syariah mencapai rata-rata pertumbuhan lebih dari 80% per tahun pada periode 1998-2004,

3 Harisman, “Perbankan Syariah di Indonesia : Sejarah, Kondisi Terkini dan Strategi Pengembangan”, dalam Republika, Senin, 3 Juni 2002, hal.20.

demikian pula yang terjadi pada dana pihak ketiga pada akhir tahun 2004 telah mencapai Rp.11,6 triliun (1,2%) dan penyaluran dana sebesar Rp.11,5 triliun (1,7%).

Dengan demikian selama sepuluh tahun berkiprah, total pangsa pasar bank maupun institusi syariah baru mampu mencapai sekitar 1 % dari pangsa pasar nasional. Sementara Malaysia yang sudah beroperasi 20 tahun pangsa pasarnya mencapai 6,9%. Artinya dalam 10 tahun telah berhasil membukukan pangsa pasar 3,45% atau 27,6 kali lebih besar dari Indonesia.4 Sebagai suatu industri baru, ternyata adanya UU Perbankan dan UU BI saja tidak cukup untuk mempercepat perkembangan bank syariah di Indonesia, meski dari Undang-Undang Perbankan tersebut telah lahir ketentuan pelaksanaannya berupa Keputusan Direksi Bank Indonesia atau Peraturan Bank Indonesia.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa selain mengatur bank syariah, kedua undang-undang tersebut di atas menjadi landasan hukum bagi perbankan nasional untuk menerapkan sistem perbankan ganda atau dual banking system, yaitu penggunaan perbankan konvensional dan syariah yang berjalan secara paralel.5 Keberadaan

4 Republika, Satu Dasawarsa Jejak Bank Syariah Di Indonesia : Malangnya Menjadi Tempelan, Jumlah, 5 April 2002. 5 Lihat, Pasal 1 angka 3 UU No.10 Tahun 1998.

Page 7: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 3 Volume 3, Nomor 1, April 2005

dua sistem perbankan yang berkembang secara paralel dan mempunyai hubungan keuangan yang terbatas satu sama lain akan menciptakan diversifikasi risiko keuangan secara beragam, yang akhirnya dapat mengurangi problem risiko sistemik pada saat terjadi krisis keuangan. Artinya pengembangan bank syariah dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional.6 Namun di sisi lain, dalam operasionalnya, dapat membawa konsekuensi terjadinya benturan hukum yang disebabkan adanya perbedaan yang prinsip antara ketentuan hukum yang berlaku bagi bank konvensional dengan bank syariah.

Kegiatan bisnis perbankan syariah di luar aspek syariah-mencakup berbagai aspek hukum termasuk hukum perbankan, hukum perusahaan dan hukum dagang. Karena hukum yang diberlakukan tersebut bersifat umum, maka pada bagian-bagian tertentu akan terdapat permasalahan yang tidak terhindarkan lantaran adanya kontradiksi antara hukum positif yang berlaku dengan prinsip-prinsip syariah dalam operasional bank syariah, dan dengan demikian akan juga mempengaruhi hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya.

6 Ryan Kiryanto, “Menyoal Konversi Bank Konvensional Ke Bank Syariah”, Suara Karya, Senin 10 Desember 2001, hal.v/2-6.

Perkembangan bank syariah suatu negara memang sangat tergantung pada dukungan peraturan perundang-undangan yang mengatur perbankan syariah sehingga dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan perbankan syariah itu. Dalam hal ini Sudin Haron berpendapat bahwa “Islamic banks have to conform to two types of law, Syariah law and positive law.”7 Yang dimaksud hukum positif adalah yang dibuat oleh otoritas kewenangan atau pemerintah dari suatu negara. Di negara-negara muslim, bank syariah dilaksanakan dalam berbagai tingkatan : dengan ketentuan yang terbatas atau non eksis (seperti di Algeria dan Maroko), berdampingan dengan sistem bank konvensional (seperti di Mesir dan negara-negara teluk/ GCC), atau yang dilaksanakan secara menyeluruh menurut prinsip syariah (seperti Pakistan dan Iran).8

Berbeda dengan peraturan perundang-undangan di negara-negara non muslim, peraturan perundang-undangan di Indonesia- sebagaimana penjelasan di atas-cukup kondusif terhadap praktik perbankan dengan prinsip syariah karena konfigurasi politik yang

7 Sudin Haron, Islamic Banking, Malaysia, Selangor Darul Ehsan, 2001, hal.4. 8 Lihat, A. Basha and Sami M. Khalil, “Monetary Policy in Moslem Countries with A Dual Banking Sistem”, International Conference on Islamic Banking, University of Wollongong, International Business Research Group, Sydney : 9-10 November 1993, p, M-19.

Page 8: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 4 Volume 3, Nomor 1, April 2005

demokratis dan produk hukum yang responsive terhadap perkembangan perbankan syariah. Namun pelaksanaan dual banking system akhir-akhir ini mulai banyak dipertanyakan oleh banyak kalangan, baik praktisi, akademisi maupun masyarakat pengguna jasa perbankan syariah. Undang-undang yang ada dinilai belum cukup untuk mendorong percepatan perkembangan perbankan syariah dan oleh karena itu ada keinginan agar perbankan syariah diatur secara lebih rinci daripada aturan-aturan yang selama ini ada pada perbankan yang disadari baru mengatur sebagian kecil perbankan syariah, meskipun tetap dalam koordinasi satu otoritas, yaitu Bank Indonesia.

II. Arah pembangunan hukum

Berdasarkan fenomena di atas, maka permasalahan yang dapat dikemukakan dalam hal ini adalah sejauhmana relevansi UU Perbankan dan UU BI serta peraturan pelaksanaannya dalam mengatur perbankan syariah menurut kondisi kekinian (lokal dan global), dan sejauhmana perlunya pengaturan perbankan syariah secara lebih terinci dan mandiri. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian adalah:

1) Terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan

Tersusunnya norma-norma kegiatan usaha perbankan syariah yang seragam (standarisasi) dan tidak terdapat pengaturan yang kontradiktif dalam tatanan sistem hukum nasional maupun global yang mencakup antara lain norma penghimpunan dana, penyaluran dana, penerbitan produk dan jasa, lembaga-lembaga yang terkait, dan pengaturan hukum terkait lainnya. Selain itu juga dapat mewujudkan mekanisme kerja yang efisien bagi pengawasan prinsip syariah dalam operasional perbankan baik instrumen maupun badan terkait.

2) Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah

Terwujudnya kerangka pengaturan dan pengawasan perbankan syariah yang berbasis kepada pengendalian risiko dan pengelolaan yang berhati-hati serta didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi.

3) Terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien.

Terwujudnya perbankan syariah yang memiliki daya saing dan efisiensi yang tinggi dalam upaya memenuhi kebutuhan dan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Daya

Page 9: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 5 Volume 3, Nomor 1, April 2005

saing dan efisiensi yang dicapai baik dalam standar nasional maupun internasional.

4) Terciptanya stabilitas lembaga keuangan dan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Bank syariah dapat berperan serta dalam mewujudkan sistem keuangan yang stabil, memenuhi kebutuhan layanan jasa perbankan syariah masyarakat di seluruh Indonesia dengan menawarkan jasa perbankan syariah yang terbuka bagi seluruh golongan masyarakat baik muslim maupun non-muslim.

III. Praktek penerapan hukum

Perlu diamati realitas penerapan hukum dalam perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mengkaitkannya dengan prinsip perbankan syariah. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di bidang perbankan, kegiatan usaha bank pada dasarnya dimulai dari ketentuan pendirian bank (entry regulations) yaitu persyaratan perizinan dari segi entitas hukum, pemilik, dan pengurus (komisaris dan direksi). Selanjutnya ketentuan operasional yang dibagi dalam tiga kegiatan utama perbankan pada umumnya yaitu sisi penghimpunan dana, sisi penyaluran dana, dan sisi penyediaan pelayanan jasa perbankan. Kegiatan usaha

pada ketiga aspek utama tersebut pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Bank Indonesia.

Pada tahapan transaksi yang terkait dengan perikatan antara bank dengan nasabah, perikatan dilakukan atas dasar hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan hukum perdata positif yang lainnya. Aspek yang terakhir adalah pengaturan pencabutan ijin usaha dan likuidasi bank dengan memperhatikan kedudukan bank sebagai badan hukum dan pertanggungjawaban kegiatan usaha terhadap para pihak yang berkepentingan (stakeholders).

Di lain pihak, perkembangan bank syariah telah memunculkan kaidah-kaidah atau prinsip pengaturan baru dalam aspek kegiatan usaha bank yang diadopsi dari hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadist yang juga harus konsisten dan harmonis mengatur aspek pendirian, kegiatan usaha, sampai dengan pencabutan ijin usaha dan likuidasi. Hukum syariah dalam kegiatan usaha bank yang telah dipraktekan seperti prinsip bagi hasil (Mudharabah dan Musyarakah), prinsip jual-beli (Murabahah, Salam, Istishna), sewa atau sewa-beli (Ijarah dan Ijarah Muntahya Bitamlik) dan prinsip-

Page 10: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 6 Volume 3, Nomor 1, April 2005

prinsip syariah lainnya. Aspek lainnya adalah manajemen bank yang terdiri dari pemilik dan pengurus keterkaitan atau dukungan kelembagaan yang terkait dengan peradilan, arbitrase, dan lembaga pengawas syariah.

a. Pendirian bank (entry regulations)

Permohonan pendirian bank syariah dilakukan melalui tahapan izin prinsip dan izin usaha yang diterbitkan oleh otoritas perbankan (Bank Indonesia). Hal-hal yang penting untuk diamati dalam aspek hukum pendirian bank adalah aspek kepemilikan dan kepengurusan.

Terkait dengan kepemilikan maka ketentuan UU Perbankan Pasal 22 menyatakan bahwa Bank Umum hanya dapat didirikan oleh warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; atau warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan. Pasal 23 menyatakan bahwa Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah daerah, atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya.

Dalam prinsip Syariah maka bank syariah harus dikaitkan dengan Islam sebagai suatu sistem hidup (way of life) dimana manusia adalah khalifah dimuka bumi. Islam memandang

bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah kepada sang khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Dalam surat Al Maaidah ayat 48 dinyatakan bahwa “… Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang…”. Dengan demikian Syariah ini bukan saja menyeluruh atau komprehensif tetapi juga universal 9. Komprehensif berarti syariah mencakup seluruh aspek kehidupan baik ibadah maupun muamalah, sedangkan universal dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai hari akhir nanti. Memperhatikan aspek komprehensif dan universal tersebut maka syariah sebenarnya tidak menganut asas pembatasan kepemilikan sehingga kepemilikan bank perkreditan rakyat (BPR) Syariah sebaiknya juga dibuka untuk badan hukum asing sepanjang mendorong atau memberikan kontribusi yang besar bagi kemakmuran dan kemaslahatan umat. Dalam prakteknya BPR Syariah memiliki peranan yang besar dalam pembiayaan usaha kecil namun banyak yang terkendala dengan modal yang terbatas. Dengan dibukanya peluang bagi badan asing untuk dapat memiliki BPR Syariah dengan asas kemitraan dengan pemilik nasional maka diharapkan kendala permodalan akan teratasi.

9 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta 2001, Halaman 4.

Page 11: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 7 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Badan hukum asing juga akan membawa teknologi dan manajemen yang relatif lebih maju sehingga akan meningkatkan kualitas manajemen BPR Syariah.

b. Kegiatan usaha

Sebagaimana lazimnya lembaga bank atau lembaga intermediasi keuangan, kegiatan usaha bank syariah pada dasarnya meliputi empat kegiatan pokok yaitu kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat, kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat, penawaran produk dan pelayanan jasa keuangan, serta pengelolaan usaha (manajemen intern).

1. Penghimpunan dana masyarakat

Penghimpunan dana masyarakat berdasarkan ketentuan Pasal 6 butir a UU Perbankan diatur sebagai berikut: menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Bentuk penghimpunan dana selain giro, tabungan dan deposito dapat dilakukan dalam bentuk menerbitkan surat pengakuan hutang (Pasal 6 butir c).

Penghimpunan dana sebagaimana ditentukan Pasal 6 UU Perbankan tersebut diterapkan untuk bank umum konvensional maupun bank umum syariah. Istilah simpanan (Pasal 6

butir a) mencakup giro, tabungan, dan deposito karena pengaturan subtansi adalah dana yang disimpan dan bank wajib mengembalikan dana seutuhnya termasuk kewajiban bunga. Dalam konteks prinsip syariah, simpanan dapat diterapkan pada prinsip giro atau tabungan wadiah, sedangkan untuk tabungan atau deposito mudharabah lebih tepat disebut dengan istilah investasi, karena mudharabah merupakan hubungan kerjasama investasi bukan simpanan.

Demikian pula dengan ketentuan bahwa bank dapat menerbitkan surat pengakuan hutang (Pasal 6 butir c), dalam konteks kegiatan bank umum konvensional, hal ini merupakan kegiatan yang lazim dilakukan, namun dalam kegiatan syariah, menghimpun dana dengan cara menerbitkan surat pengakuan hutang, karena sifatnya pengakuan hutang bukan suatu investasi, maka pengaturan untuk bank syariah harus lebih dipertegas lagi, yaitu apakah bank syariah diperbolehkan memberikan imbalan kepada pemilik dana.

2. Penyaluran dana masyarakat

Mengenai penghimpunan dana masyarakat, UU Perbankan mengatur bahwa usaha bank umum memberikan kredit (Pasal 6 butir b), membeli surat-surat berharga dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) (Pasal 6 butir d), menempatkan dana pada

Page 12: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 8 Volume 3, Nomor 1, April 2005

bank lain (Pasal 6 butir f), melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek (Pasal 6 butir j) dan menyediakan pembiayaan dan atau kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (Pasal 6 butir m).

Kegiatan penyaluran dana lainnya adalah melakukan kegiatan valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (Pasal 7 butir a), melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain dibidang keuangan seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (Pasal 7 butir b), melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (Pasal 7 butir c).

Dikaitkan dengan prinsip syariah maka penyaluran kredit (Pasal 6 butir b) dalam pengertian penyaluran dana dengan menarik imbalan bunga tidak diperbolehkan. Demikian pula membeli surat-surat berharga dan SBI serta penempatan dana pada bank lain (Pasal 6 butir d dan f) perlu

dicermati dengan pengaturan yang jelas bahwa pembelian surat berharga dan SBI serta menempatkan dana pada bank lain tersebut harus sesuai dengan prinsip syariah.

Bentuk-bentuk penyaluran dana lainnya yang merupakan kegiatan utama bank syariah seperti skema jual-beli atau “deferred payment sale” (Murabahah), piutang dengan pembayaran dimuka atau “in front payment sale” (Salam) dan piutang dengan pembayaran bertahap atau “purchase by order”(Istishna) dan pinjaman secara gadai “pawning” (rahn) belum ditetapkan secara jelas dalam perundang-undangan.

3. Produk dan jasa

Pengaturan jasa perbankan dalam UU Perbankan untuk bank umum adalah memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah (Pasal 6 butir e), menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga (Pasal 6 butir g), menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga (Pasal 6 butir h), melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (Pasal 6 butir i), melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit, dan kegiatan wali amanat (Pasal 6 butir l), melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang tidak

Page 13: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 9 Volume 3, Nomor 1, April 2005

bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 6 butir n).

Pada dasarnya kegiatan jasa yang dilakukan oleh bank sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 butir e, g, h, i, l, dan n adalah kegiatan yang juga lazim dilakukan oleh bank syariah. Dalam Pasal 6 butir l ditetapkan bahwa bank dapat melakukan kegiatan kartu kredit yang dapat membawa pengertian kredit sebagaimana umumnya yang mengandung bunga. Dengan demikian perlu kiranya ditetapkan secara tegas bahwa kegiatan jasa tersebut dilakukan tanpa mengandung hal-hal yang dilarang oleh prinsip syariah.

Demikian pula dengan pengaturan untuk BPR Syariah ditentukan bahwa BPR dilarang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing (Pasal 14 butir b) atau melakukan penyertaan modal (Pasal 14 butir c). Adanya ketentuan ini akan rancu dengan karakter usaha bank syariah yang memiliki produk utama perkongsian “partnership, project financing participation” (musyarakah) dan mendukung kegiatan jual-beli valuta asing “money changer” (sharf) dalam rangka mendukung pariwisata, perdagangan, dan pelayanan umrah/haji yang dewasa ini sudah mulai dibutuhkan masyarakat di kawasan luar kota dimana BPR Syariah berada.

4. Pengelolaan bank

Dalam pengelolaan bank ini akan difokuskan kepada pelaksanaan batas maksimum fasilitas dana bank bagi pihak terkait dan tidak terkait. Sebagaimana diatur pada UU Perbankan ditentukan bahwa Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan (Pasal 11 ayat 1) batas maksimum tersebut ditetapkan tidak boleh melebihi 30% dari modal bank (Pasal 11 ayat 2) dan maksimum 10% dari modal bank bagi pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih dari modal disetor bank, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, keluarga pihak pemegang saham, komisaris atau direksi, pejabat bank lainnya, dan perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak terkait tersebut (Pasal 11 ayat 3 dan 4).

Dengan adanya ketentuan batas maksimum pemberian pembiayaan kepada pihak terkait dengan bank (Pasal 11 ayat 3 dan 4) tersebut maka akan membuka kesempatan adanya diskriminasi atau self dealing

Page 14: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 10 Volume 3, Nomor 1, April 2005

terhadap fasilitas dana bank oleh pengurus bank. Dikaitkan dengan prinsip syariah yang berasaskan keadilan (justice) dan kejujuran (fairness) serta larangan menzalimi terhadap pihak lain maka adanya pembukaan batas maksimum tersebut tidak sesuai dengan tujuan bank syariah yang akan membentuk lembaga bank yang memiliki kredibilitas yang tinggi, amanah, dan transparan. Sebaiknya pengaturan fasilitas dana kepada pihak terkait tersebut tidak diakomodir dalam bank syariah.

IV. Penutup

Mengingat kekhususan operasionalnya dan keunggulan kompetitif dan komparatif yang dimiliki serta memperhatikan hasil penelitian yang menunjukkan tingginya harapan dan dukungan terhadap bank syariah, kerangka pengaturan yang belum memadai, dukungan pemerintah yang kondusif, pertumbuhan volume usaha yang pesat, perkembangan lembaga keuangan syariah internasional, serta hasil kajian perbandingan terhadap negara-negara yang telah mempraktekkan perbankan Islam, maka perbankan syariah membutuhkan ketentuan dalam tingkatan undang-undang yang sesuai dengan karakteristik operasionalnya. Tujuan dari undang-undang tersebut adalah mendukung

terwujudnya sistem perbankan syariah yang selain patuh terhadap prinsip syariah, juga dapat memberikan jasa keuangan secara efisien dan berhati-hati.

Namun demikian, mengenai urgensi pengaturan perbankan syariah dalam undang-undang yang perlu dilihat bukan hanya dari aspek keuangan saja tetapi juga implementasi aturan tersebut dan memenuhi rasa keadilan aspek syariah dan hukum positif.

Ditinjau dari sisi syariah sebagai serangkaian norma agama yang bersifat imperatif bagi pemeluknya, mewajibkan umatnya untuk melaksanakan seluruh ajarannya secara menyeluruh, integral dan komprehensif, maka pelaksanaannya harus tercermin dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam aspek pembangunan ekonomi termasuk industri perbankan. Sedangkan ditinjau dari aspek hukum positif terkait dengan implementasi pasal 29 UUD 1945 ke dalam kehidupan perekonomian bangsa, negara berkepentingan memberikan dasar hukum bagi setiap aktivitas ekonomi yang sesuai dengan rasa keadilan dan keyakinan masyarakat. Dengan memperhatikan bahwa perbankan syariah Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perekonomian global, maka lahirnya bank syariah di Indonesia juga tidak terlepas dari pengaruh praktik perbankan Islam di beberapa negara. Dari praktik pengaturan perbankan

Page 15: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 11 Volume 3, Nomor 1, April 2005

syariah di berbagai negara seperti Malaysia, Pakistan, Sudan, Yordania, dan Iran terbukti bahwa negara-negara tersebut telah memiliki pengaturan perbankan syariah tersendiri setingkat undang-undang dengan tujuan mendorong pertumbuhan dan pengembangan bank syariah yang sehat dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Subtansi yang perlu diatur dalam undang-undang perbankan syariah meliputi tapi tidak terbatas pada perizinan, kepemilikan, bentuk badan hukum, struktur organisasi dan manajemen, permodalan, jenis kegiatan usaha, cakupan rahasia bank, penilaian kesehatan bank, pengawasan syariah, pasar keuangan, instrumen pasar uang, likuidasi, sanksi pidana, serta isu-isu yang berkembang lainnya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa eksistensi perbankan syariah memerlukan landasan hukum yang kuat dalam bentuk undang-undang yang lebih rinci tetapi fleksibel dapat mengatur kepentingan semua stakeholders.

Page 16: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 12 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Menyongsong RUU Bank Syariah :

FENOMENA DUAL BANKING SYSTEM1

Oleh : Marulak Pardede, S.H., M.H., APU.2 & Ahyar Ary Gayo, S.H., M.H.3

1 Hasil Penelitian Mandiri, diselenggarakan untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pembangunan hukum nasional, khususnya hukum perbankan nasional. 2Ahli Peneliti Utama Bidang Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM-RI, Pengamat Masalah Perbankan. 3 Ahli Peneliti Muda Bidang Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM-RI, Sekretaris Jenderal Asosiasi Peneliti Hukum Indonesia (APHI) di Jakarta.

I. PENDAHULUAN

Lembaga perbankan memiliki peran penting di dalam kehidupan masyarakat, namun demikian tidak semua golongan masyarakat dapat menerima keberadaan lembaga perbankan (konvensional) tersebut. Keberatan tersebut antara lain berkaitan dengan sistem bunga dalam perbankan konvensional. Sebagian kalangan muslim baik di Indonesia maupun di negara-negara lain berkeyakinan bahwa sistem bunga dalam sistem perbankan konvensional masuk dalam kategori riba. Terbentuknya lembaga perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, berkaitan erat dengan gagasan terbentuknya suatu sistem ekonomi Islam, yang konsepnya secara internasional muncul pada dasawarsa 70-an, yaitu ketika pertama kali diselenggarakan Konferensi Internasional tentang Ekonomi Islam di Makkah pada tahun 1976 (Sumitro, 1997:1).

Di antara para pemikir sistem ekonomi Islam terdapat pola kecenderungan yang berbeda-beda. Pada dasarnya terdapat dua kelompok kecenderungan yaitu kecenderungan teoritis dengan memberikan alternatif konsep dan kecenderungan pragmatis dengan mendirikan lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang beroperasi berdasarkan prinsip Islam. Salah satu di antara kecenderungan kelompok kedua tersebut adalah mendirikan bank-bank Islam. Di dalam perkembangannya kelompok pragmatis yang lebih tampak keberhasilannya karena jauh sebelum adanya gagasan ekonomi Islam, telah diawali dengan suatu upaya untuk mendirikan bank-bank Islam. Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang

Page 17: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 13 Volume 3, Nomor 1, April 2005

pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariah. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan utamanya. Kegiatan dan usaha bank akan selalu terkait dengan komoditas, antara lain: 1) memindahkan uang; 2) menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran; 3) mendiskonto surat wesel, surat order maupun surat berharga lainnya; 4) membeli dan menjual surat-surat berharga; 5) membeli dan menjual cek, surat wesel, kertas dagang; 6) memberi kredit, dan 7) memberi jaminan bank (Dasuki 1999:150).

Pada tahun 1960, di Mesir didirikan Bank Islam berdasarkan Syariah yang pertama kali dengan nama Mit Ghamr Bank Mesir pimpinan Prof.Dr. Ahmad Najjar, kemudian disusul tindakan Pemerintah Republik Arab untuk menasionalisasikan bank. Lembaga perbankan Islam mengalami perkembangan yang amat pesat dengan lahirnya Islamic Development Bank (IDB) pada 20 Oktober 1975 yang didirikan oleh 22 negara anggota OKI yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan sosial bagi negara-negara anggota dan masyarakat muslim pada umumnya (Zuhri, 1996:169 dan Sjahdeini, 1999:6). Pesatnya perkembangan perbankan syariah ini, karena bank syariah memiliki keistimewaan-

keistimewaan. Salah satu keistimewaannya adalah yang melekat pada konsep build in concept dengan berorientasi kebersamaan. Orientasi kebersamaan inilah yang menjadikan bank syariah mampu tampil sebagai alternatif pengganti sistem bunga yang selama ini hukumnya masih diperdebatkan sesama pakar agama Islam. Namun demikian, sebagai lembaga yang keberadaannya lebih baru daripada bank-bank konvensional, bank syariah menghadapi permasalahan-pemasalahan, baik yang melekat pada aktivitas maupun pelaksanaannya.

Pada dasarnya, aktivitas bank syariah tidak jauh berbeda dengan aktivitas bank-bank yang telah ada. Perbedaannya selain terletak pada orientasi konsep juga terletak pada konsep dasar operasionalnya yang berlandaskan pada prinsip syariah. Bank syariah yang beroperasi di Indonesia diawali dengan keberadaan Bank Muamalat Indonesia (BMI), kemudian diikuti oleh bank-bank konvensional yang operasionalnya berdasarkan prinsip syariah, seperti Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Cabang Syariah, Bank IFI Cabang Syariah dan Bank Jabar Cabang Syariah juga dengan BPR-BPR yang berdasarkan prinsip syariah (BPRS). Penerapan prinsip syariah dalam perbankan di Indonesia sangat pesat dengan membuka cabang-cabang terutama

Page 18: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 14 Volume 3, Nomor 1, April 2005

di daerah yang landasan agama Islamnya kuat, misalnya Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai lembaga keuangan, bank syariah membutuhkan lembaga pendukung yang operasionalnya pun dengan sistem syariah. Dalam hubungan ini telah lahir pula Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa muamalah yang dihadapi oleh orang-orang Islam. Juga asuransi yang berlandaskan syariah seperti Syarikat Asuransi Takaful Indonesia (Asuransi Takaful) dan Reksadana Syariah.

Fenomena dis-intermediasi pasar keuangan yang terjadi mengakibatkan potensi perbankan syariah menjadi sangat menjanjikan, antara lain karena bank syariah dapat berperan sebagai perbankan investasi (investment banking) daripada perbankan komesial (commercial banking). Salah satu produk jasa bank syariah adalah layanan restricted investment (mudharabah muqayyadah). Dalam produk ini investor mempunyai hak untuk mewajibkan bank untuk tidak melakukan investasi ke jenis-jenis investasi tertentu (atau hanya melakukan investasi pada obyek-obyek tertentu) atas dana yang diserahkan oleh investor tersebut. Dalam prakteknya peran bank syariah menjembatani investor dan pengusaha, dimana bank memperoleh komisi, tanpa memperoleh selisih bunga (spread)

atau bagi hasil. Produk ini sangat cocok bagi masyarakat yang tingkat pengetahuannya di bidang bisnis dan investasi telah cukup baik. Pada kenyataannya di negara-negara maju produk layanan sejenis ini (seperti capital market brokerage, financial arrangement, restricted fund management) menjadi semakin diminati oleh investor (Achsin, 2000:xviii-xix).

Ditinjau dari segi peraturan perundang-undangan, bank dan lembaga keuangan yang berdasarkan syariah, baru diakomodir dan diberikan keleluasaan secara legal dengan diundangkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Undang-Undang tersebut telah memberikan peluang yang semakin besar bagi berkembangnya bank-bank syariah. Bank umum, berdasarkan Undang-undang tersebut dibolehkan menjalankan dual banking system, yaitu beroperasi secara konvensional dan syariah sekaligus, sepanjang penatausahaan dan pengelolaan itu dilakukan secara terpisah. Dalam operasionalnya bank umum tersebut membentuk cabang syariah dan unit usaha syariah di Kantor Pusatnya. Walaupun ketentuan yang ada saat ini telah memberikan peluang untuk pengembangan bank syariah di

Page 19: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 15 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Indonesia, namun dilihat dari sisi volume usaha perbankan syariah yang masih relatif kecil, menimbulkan pertanyaan apa yang menyebabkan kecilnya volume usaha perbankan syariah tersebut. Apakah karena adanya perbedaan dalam prinsip syariah atau belum memadainya ketentuan yang mengaturnya. Bagaimana dan mungkinkah penerapan lembaga perbankan yang ada dengan sentuhan atau total seluruhnya berdasarkan prinsip syariah.

II. PRO - KONTRA MASALAH HUKUM

Ditinjau dari sudut kepentingan ekonomi, kehadiran lembaga perbankan sangat dibutuhkan sebagai salah satu unsur untuk memperlancar roda perekonomian. Hamzah Yakub dalam konteks ini menyebutkan, “bahwa bunga bank yang oleh segolongan ulama dipandang bertentangan dengan syariah Islam, harus dicarikan jalan pemecahannya guna mempertahankan dan mengembangkan peranan bank dengan menghilangkan keburukan-keburukannya”. (Yakub, 1984:202). Pembahasan para ulama mengenai lembaga perbankan dari masa ke masa mengalami perkembangan, yang dulu tidak ada kini ada, atau sebaliknya. Persoalan baru muncul seperti dalam figh muamalat ketika pengertian riba dihadapkan kepada persoalan bank. Di satu pihak,

bunga bank terperangkap dalam kriteria riba, tetapi di sisi lain, bank dan lembaga keuangan lainnya mempunyai fungsi sosial yang sangat besar bahkan dapat dikatakan tanpa lembaga perbankan perekonomian suatu negara sebagaimana yang dikehendaki oleh pemerintah dalam upaya untuk mewujudkan tujuan pembangunan dari suatu negara tidak akan terwujud.

Bunga bank telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam, ada yang mengharamkan dan ada yang menghalalkan karena darurat, dan ada yang menghalalkan secara mutlak. Hal ini sangat menpengaruhi perkembangan lembaga perbankan atau lembaga pembiayaan lainnya. Walaupun demikian, para fuqaha tetap berpedoman kepada Al Quran dan Hadis. Abu Zahrah, Abdul A’la al-Maududi dan Muhammad Abdullah al-Arabi menyebutkan ”bunga” bank itu riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali kalau dalam keadaan darurat atau terpaksa. Mereka juga mengharapkan lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali “(Abu Zahrah Masjfuk Zuhdi, 1997:112). Majelis Tarjih Muhammadiyah memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank negara kepada para nasabahnya, demikian pula

Page 20: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 16 Volume 3, Nomor 1, April 2005

sebaliknya adalah termasuk syubhat atau musytabihat, artinya belum jelas halal atau haramnya. Maka sesuai dengan petunjuk hadis, kita harus berhati-hati menghadapi masalah-masalah yang masih syubhat itu. Karena itu apabila dalam keadaan terpaksa atau kita dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak/penting, barulah diperbolehkan bermuamalah dengan bank dengan sistem bunga itu sekedarnya saja (Masjfuk Zuhdi, 1997:112)

Riba termasuk sub sistem ekonomi yang berprinsip menguntungkan kelompok orang tertentu tetapi mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Al Quran datang dengan seperangkat prinsip untuk membawa kesejahteraan bagi umat manusia di dunia dan akhirat. Kesejahteraan antara individu dan masyarakat menjadi perhatian utama Al-Quran. Dengan ajaran tauhidnya, Al-Quran mengingatkan, bahwa apa yang dikerjakan manusia akan dilihat di akhirat kelak. Dengan demikian, umat Islam tidak bisa tidak, harus merasa gerak geriknya dalam rekaman Tuhan. Inilah ajaran moral Al-Quran yang menuntut manusia agar tidak berbuat semaunya terhadap sesamanya.

Sebagai jalan keluar dari bank dengan sistem bunga, maka pemerintah Indonesia sejak tahun 1991 telah mendirikan dan

mengoperasikan bank yang didasarkan atas prinsip syariah, yang tidak mengunakan sistem bunga. Salah satu diantaranya ialah bank syariah dengan sistem bagi hasil. Keberadaan bank syariah ini sekaligus sebagai salah satu upaya untuk menghindarkan umat Islam Indonesia dari praktek-praktek riba yang dilarang dalam Al-Quran dan Hadis Rasulullah SAW. Dewasa ini dengan dikeluarkannnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, maka eksistensi bank syariah telah mendapat legitimasi yuridis yang semakin kuat. Dalam Undang-undang tesebut keberadaan bank dengan prinsip syariah diatur secara tegas, dengan kata lain sudah mendapat pengakuan pemerintah dan rakyat Indonesia melalui dewan legislatif.

Menurut ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan “Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Dengan demikian semakin jelaslah keberadaan bank syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah dalam kerangka peraturan perbankan nasional Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan

Page 21: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 17 Volume 3, Nomor 1, April 2005

prinsip Syariah di dalam Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ditentukan sebagai berikut : “Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariat antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilhan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Ketentuan-ketentuan di atas memperlihatkan besarnya peran perbankan syariah di sektor hukum perbankan nasional, yang sebelumnya di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan belum tegas pengaturannya karena hanya dalam Pasal 6 (m) dan Pasal 13 (c) hanya disebutkan “berdasarkan prinsip bagi hasil”. Prinsip bagi hasil yang dijalankan bank syariah mempunyai perbedaan dengan prinsip bunga dalam beberapa hal diantaranya: Pertama, transaksi berdasarkan bunga melanggar aspek persamaan

di dalam organisasi ekonomi, karena debitur berkewajiban membayar bunga yang telah ditentukan terlebih dahulu walaupun nantinya debitur mengalami kerugian. Bahkan di dalam hal usaha itu mendapat keuntungan bunga yang telah ditetapkan besarnya secara pasti dapat menjadi beban apabila besarnya keuntungan ternyata lebih kecil dari besarnya bunga yang harus dibayar. Kedua, kakunya sistem operasi bank berdasarkan bunga, sehingga dalam keadaan usaha yang rugi akan membawa perusahaan-perusahaan kepada kebangkrutan. Hal ini mengakibatkan hilangnya potensi-potensi yang produktif dan terjadilah pengangguran. Beratnya bunga pada masa ekonomi sedang lesu ditandai dengan rendahnya keuntungan yang membuat bisnis/swasta kembali mengalami masalah yang sulit. Ketiga, sistem bunga menempatkan aktivitas-aktivitas dalam keadaan sulit karena bunga tersebut dibebankan sebagai salah satu investment cost. Jika tingkat bunga tiba-tiba naik secara signifikan, investasi-investasi akan menderita set back yang parah. Inilah yang menjadi pengalaman dari sejumlah negara-negara berkembang pada tahun-tahun terakhir ini, termasuk Indonesia. Keempat, sistem bank berdasarkan bunga akan mengurangi kegairahan untuk penemuan-penemuan, khususnya

Page 22: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 18 Volume 3, Nomor 1, April 2005

bagi perusahaan-perusahaan kecil (Purwataatmadja dan Antonio, 1992:23)

Di sisi lain, ketika bank menerapkan prinsip bunga dan bunga bank cenderung tinggi, maka terjadi suatu yang jauh sekali dari tujuan undang-undang perbankan yaitu untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Alasannya, karena bunga yang tinggi dapat mengakibatkan hilangnya beberapa usaha produktif. Sebaliknya dalam bank yang berdasarkan prinsip syariah, tidak berlaku sistem bunga, tetapi berdasarkan pada kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis antara kedua belah pihak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi : “Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesejahteraan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”. Paparan di atas memperlihatkan, adanya keunggulan komparatif yang dimiliki oleh bank dengan sistem syariah dibandingkan dengan bank

konvensional yang menerapkan sistem bunga.

Sejak pertengahan Oktober 1988, industri perbankan nasional berkembang cukup pesat sebagai dampak dikeluarkannya berbagai paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perbankan secara berkesinambungan melalui paket kebijaksanaan: Oktober 1988, Januari 1990, Pebruari 1991, Mei 1993 dan berbagai paket lainnya, yang pada umumnya memberikan kemudahan pendirian bank. Hal ini tercermin dari adanya pertambahan jumlah bank umum dari 111 bank pada bulan Desember 1988 menjadi 239 bank pada bulan Desember 1996. BPR dari 8.041 pada Desember 1988 menjadi 9.310 pada Desember 1996.4 Industri perbankan nasional diberikan keleluasaan berusaha dalam jangkauan yang lebih luas, dengan tetap melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential banking principles).

Terbukanya berbagai peluang di bidang perbankan, di satu sisi tetap mewajibkan bank untuk tunduk pada aturan main yang ketat agar asas kehati-hatian untuk memelihara stabilitas keuangan dapat terlaksana, namun di sisi lain aturan ketat 4 S. Sundari Arie M, “Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah Dalam Kaitannya Dengan Kedudukan Hukum Simpanan Dana Nasabah” (Makalah Disampaikan pada Seminar Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah, BPHN, Jakarta, Juni 1997), 1-3.

Page 23: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 19 Volume 3, Nomor 1, April 2005

tersebut dapat menghambat bank melakukan ekspansinya.5 Bank harus mampu membayar saat jatuh tempo, mempunyai kondisi keuangan yang baik dalam pengelolaan likuiditas dan rentabilitas secara memadai dan optimal.6 Di samping bank harus memelihara kesehatannya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia, bank juga dibebani berbagai kewajiban.7 Mengingat pentingnya tingkat kesehatan bank dalam menjaga sistem perbankan nasional, maka Bank Indonesia diberi wewenang tunggal oleh undang-undang melakukan pembinaan dan pengawasan bank.

Usaha pokok perbankan untuk menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit, dapat berjalan semata-mata hanya karena kesediaan masyarakat yang dilandasi kepercayaan terhadap bank, bahwa dana yang disimpannya dapat kembali pada saat dibutuhkan ditambah bunga 5 Ibid, 25. 6 Iswahyudi Karim, "Wewenang Kewajiban dan Tanggungjawab Direksi Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas", (Makalah disampaikan pada Konferensi Perkembangan akhir UUPT, Jakarta: 27-28 September 1995), 6-7. 7 Remi Sjahdeini. Sudah Memadaikah Perlindungan yang Diberikan Hukum Kepada Nasabah Penyimpan Dana? (Surabaya: Airlangga University Press, 1994), 22-25.

sebagai penghasilannya.8 Hilangnya kepercayaan masyarakat dapat mengakibatkan tidak berfungsinya bank sebagai penyalur dana ke masyarakat, dan mempunyai pengaruh berantai (domino), menjalar ke bank lain sehingga keseluruhan mengalami kesulitan (rush). Dalam ketetapan MPR/IV/MPR/1999 tentang Garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004, ditegaskan:

“pembangunan nasional lima tahun (propenas) khususnya bidang ekonomi antara lain disebutkan bahwa dalam dua tahun terakhir telah terjadi penurunan impor nonmigas terutama disebabkan oleh melemahnya kegiatan ekonomi dalam masa krisis serta penolakan L/C impor dari Indonesia oleh perbankan di luar negeri karena menurunnya kepercayaan internasional terhadap perbankan nasional”.9

8 Sundari Arie, “Transaksi Kredit”, (Makalah Disampaikan Dalam Lokakarya Tentang Pengadilan Niaga, Diselenggarakan oleh BPHN-Dep.Kehakiman dan HAM Bekerjasama Dengan Puslitbang MA-RI, Jakarta, 29-30 Mei 2001), 1. 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, iv - 90.

Page 24: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 20 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Oleh karena itu, bank sebagai unit usaha dituntut untuk mampu menyediakan sumber pembiayaan bagi usaha produktif untuk mendorong perekonomian nasional.10 Bank memiliki posisi strategis dalam pembangunan dan sekaligus sebagai sarana pengendalian moneter sehingga perlu terus dijaga dan ditumbuhkembangkan.11 Pengabaian jaminan kepastian hukum perlindungan terhadap nasabah merupakan tindakan yang tidak hanya mengganggu kepercayaan masyarakat, tetapi juga mengganggu sistem keuangan negara. Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat, dapat mengakibatkan berkurangnya sumber pembiayaan pembangunan, dan terjadinya capital flight.12

III. PERSPEKTIF PERBANKAN SYARIAH.

Kendati Perbankan Syariah dalam sistem perbankan modern masih sedikit (hal ini umumnya disebabkan kesulitan operasional, 10 Setiawan. “Bank dan Nasabah: Antara Hukum dan Kepercayaan”, Varia Peradilan. vol.8 (April 1991), 8-9. 11 Robert H Behrens. Commercial Loan Officer’s Handbook: From Basic Concepts to Advanced Technique. (Boston: Bankers Publishing Company, 1995), VI. 12 Mariam Darus Badrulzaman, “Perspektif Lembaga Jaminan Simpanan Dana Nasabah Di Indonesia”. (Makalah disampaikan pada Seminar Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah, Jakarta, 24-25 Juni 1997), 9.

seperti ketiadaan instrumen dan pemain dalam pasar uang antar bank yang cukup banyak serta masalah likuiditas), namun demikian pertumbuhan bank syariah bergerak maju dan sudah ada bank syariah yang berkibar menjadi soroton dunia internasional karena prestasinya tidak kalah dengan perbankan konvensional disamping mempunyai daya tahan yang kuat terhadap perubahan-perubahan kondisi ekonomi juga adanya perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional.

Sejarah perbankan Islam ditandai dengan berdirinya Bank Islam modern pertama di kota Mit Ghamr, Mesir, dengan nama Mit Ghamr Saving Bank tahun 1963. Karena alasan politik pada waktu itu, bank ini tidak dinamakan Bank Islam. Kemudian tahun 1972, berdiri lagi Nasser Social Bank dan tahun 1975 berdirilah Islamic Development Bank (IDB) yang merupakan lembaga keuangan Islam internasional, guna membantu perkembangan dunia Islam dengan sistem pinjaman bebas bunga. Setelah itu dimulailah pertumbuhan bank-bank Islam di negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Jordania, Sudan, Kuwait dan Bahrain. Pada saat ini telah tercatat bank syariah beroperasi di lebih dari 45 negara, termasuk negara-negara non Islam. Bank-bank syariah yang muncul selama

Page 25: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 21 Volume 3, Nomor 1, April 2005

periode tahun 1970-1990 di antaranya adalah: Pakistan, Faisal Islamic Bank di Mesir, Kuwait Finance House di Kuwait, Dubai Islamic Bank di Uni Emirat Arab, Bahrain Islamic Bank di Bahrain, Faisal Islamic Bank of Kibris di Siprus, Bank Islamic Malaysia Berhad di Malaysia.

Di Indonesia sendiri, perbankan berdasarkan prinsip syariah pertama kali berdiri sekitar 6 tahun yang lalu dengan berdirinya PT. Bank Muamalat Indonesia. Ide atau gagasan pembentukan bank syariah sebenarnya telah dimulai sejak 40 tahun yang lalu, namun karena berbagai sebab, antara lain belum adanya iklim usaha yang kondusif bagi terwujudnya perbankan syariah gagasan tersebut belum dapat terealisir. Berbagai tokoh Islam menekankan pentingnya pendirian bank-bank dengan prinsip syariah ini. Hal ini didasarkan adanya kehendak sebagian masyarakat yang menginginkan adanya sistem keuangan/perbankan yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam sehingga akan tercapai keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.

Di Indonesia, perkembangan bank syariah dimulai pada awal tahun 1980 yaitu dengan terbentuknya Baitul Tamwil-Salman di Bandung dan koperasi Ridho Gusti di Jakarta bank syariah, yang dimotori oleh

Karnaen A. Perwataatmadja, Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, M. Amin Rais dan lain-lain. Berdasarkan hasil Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua Bogor, tanggal 18-20 Agustus 1990 dan Musyawarah Nasional Ke-IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, tanggal 22-25 Agustus 1990 direkomendasikan untuk segera dibentuk Bank syariah di Indonesia. Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang lahir tanggal 1 November 1991 di Jakarta merupakan hasil kerja Tim Perbankan MUI. Modal awal disetor sebesar Rp. 106.126.282.000,- BMI mulai beroperasi 1 Mei 1992, dan sampai akhir tahun 2000 telah memiliki 45 outlet di Jakarta, dengan modal disetor Rp 165 milyar dan aset Rp 1,1 triliun. Tanggal 1 November 1999 berdiri Bank Syariah Mandiri (BSM), yang kini memiliki 18 Kantor Cabang (6 kantor di Jakarta dan 12 Cabang di Jawa dan Luar Jawa). BSM bersinergi dengan bank Mandiri dengan menggunakan lebih dari 520 jaringan mesin ATM Mandiri. Dengan dibolehkannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang syariah, maka sekarang muncul cabang syariah seperti dilakukan oleh Bank IFI, Bank Niaga, Bank BNI '46, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar, BPD Aceh.

Menurut Institute of Islamic Banking and Insurance (IIBI) yang berpusat di King's Cross Road, London, Inggris,

Page 26: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 22 Volume 3, Nomor 1, April 2005

jumlah bank syariah di Amerika Serikat, Inggris dan Swiss cukup banyak. Misalnya, di Amerika Serikat ada 13 bank syariah, di Inggris ada 6 bank syariah ditambah dengan 10 bank yang membuka counter khusus syariah, dan di Swiss ada 5 bank syariah. 13

Di antara bank-bank tersebut adalah The Islamic Banking System International Holding di Luxemburg tahun 1978, Dar al Mal Al Islami di Switzerland tahun 1981, Klientworth Benson tahun 1986 (Unit Trusts); Credit Suisse and First Boston 13 Bank-bank Syariah di Amerika Serikat adalah: Abrar Investment, Inc. Stanford, CT, Albaraka Bancorp Inc (Dallah Al Baraka Group), Chocago, Illionis, Al-Madina Realty Inc, Englewood, New Jersey; Amana Mutual Funds Trust, State Street, Billingham, WA, Ameen Housing Co-operative, San Fransisco, California; Baitul Mal Inc (BMI), Seacausus New Jersey, Failika Investment, Inc, Chicago, Illionis; Fuloos Incorporated, Toledo, Ohio, Hudson Investors Fund, Inc, Clifton, New Jersey, MSI Finance Corporation, Inc, Houston, Texas. Samad Group Inc, Dayton, Ohio, Share Equiities Homes, indianapolis, Indiana, North American Islamic Trust (NAIT), Indianapolis, Indiana.

Bank-bank syariah di Inggris, yaitu: Albarakah Internasional Ltd, London; Albaraka Investmen Co. Ltd, London; Al Rahji Company for Islamic Investment Ltd, London; Islamic Finance House Public Ltd. Co, London; Dallah Al Baraka (UK) Ltd, London; Islamic Finance House Public Ltd. Co, London; Takafol (UK) Ltd, London. Ditambah dengan bank-bank yang membuka counter khusus syariah, yaitu ABC International Bank, London; ANZ Grindlays, London; Arab Bank Plc, London; Gulf International Bank, London; Industrial Bank of Japan, London; J. Aron & Co (Goldman Sachs International Finance) Ltd, London; Dresdner Kleinwort benson, London, dan United Bank of Kuwait, London

(Personal Investment Account); UBS (Unit Trust Funds); Barclays Bank; Citibank; Credit Lyonnais; Banque Indosuez dan The Austrian Leader's Bank (Unit Trust).

Menurut data International Association of Islamic Bank (IAIB) - Jeddah, Arab Saudi, jumlah lembaga keuangan dan Bank Islam pada tahun 1996 mencapai 166, yang tersebar di seluruh dunia. Asset dan modal disetor totalnya mencapai US$ 137 miliar dan US$ 7,3 miliar. Tumbuh suburnya bank dan lembaga keuangan Islam hanya terbesar di Iran dan Pakistan. Aset dan modal disetor total perbankan Islam di kedua negara ini menguasai 70% dan 60% dari aset dan modal total perbankan Islam di dunia. Sementara untuk Kawasan Teluk, (Gulf Cooperation Council), memiliki 19 lembaga perbankan Islam, hanya menguasai 18% modal disetor dan 13% aset perbankan Islam dunia. Namun kelompok GCC memberikan keuntungan yang sangat fantastis dari bank-bank yang lain. Tahun 1996 GCC menghasilkan laba bersih US$ 686 juta atau lebih dari 28% terhadap modal agregat dan aset yang mencapai US $ 2,435 miliar.

Dari jumlah 166 lembaga dan Bank Islam di 34 negara, sebanyak 64 bank hanya tersebar di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan, dan sudah termasuk rural bank (21 BPRS)

Page 27: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 23 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Berapa sebenarnya jumlah bank syariah di seluruh dunia sekarang ini. Menurut Majalah Euromoney yang berpusat di London, Inggris, sekarang ini jumlahnya lebih dari 200 bank syariah. Perkiraan ini kiranya masuk akal. Sebab berdasarkan data dari International Association of Islamic Bank (IAIB) yang berpusat di Jeddah, Saudi Arabia, per 1996 jumlahnya sudah mencapai 166 bank dan lembaga keuangan berdasarkan syariah. Bank-bank syariah ini tersebar di 34 negara di berbagai wilayah dunia.

Kinerja bank-bank syariah di negara-negara yang non Muslim dan memiliki sistem perbankan konvensional berdasarkan bunga itu tentu menarik diamati.

Istilah "Bank Syariah" sebenarnya lebih dikenal sebagai Bank Islam (Islamic Bank) di masyarakat internasional. Bank syariah mengalami pertumbuhan tercepat pada dekade 1980-an ketika pertumbuhannya mencapai 30% per tahun, dibandingkan dengan pertumbuhan 5% sampai 7% pada dekade 1990-an. Sedangkan dana nasabah yang dikelola bank-bank syariah di seluruh dunia mencapai lebih dari US $ 100 milyar, menurut Samir Saikh, Sekretaris Jenderal International Association of Islamic Bank. Bank-bank Islam ini mempunyai modal total lebih dari US $ 7,3 milyar dan aset lebih dari US$ 137 milyar". 31% dari pembiayaan dengan cara Hukum Islam ini masuk

ke sektor perdagangan, 18% ke sektor industri, 13% ke sektor jasa (service sector) dan 11% ke sektor properti. Namun menurut seorang bankir barat, jumlah dana yang dikelola bank-bank Islam tersebut berkisar US$ 70 milyar sampai US$ 80 milyar, yang berarti tumbuh 12% per tahun. Terlepas dari perbedaan angka mengenai jumlah dana yang dikelola bank-bank Islam atau syariah di seluruh dunia, yang jelas banyak bank yang beroperasi secara internasional juga tertarik untuk bergerak secara syariah. Misalnya ABN AMRO Bank, Citibank, Hongkong Bank, ABN AMRO maupun Standard Chartered Bank yang mengincar dana-dana Islam tersebut. Atau Chase Manhattan bank yang mendirikan suatu lembaga keuangan syariah dengan Al Rahji bank yang berpusat di Arab Saudi dan mempunyai 350 cabang di negara yang menjadi tujuan calon haji tersebut. Prinsip-prinsip hukum Islam atau Syariah yang digunakan dalam perbankan Islam misalnya adalah larangan suku bunga, istisna, murabaha (pembiayaan plus biaya), mudharaba dan musharaka.

Tentu saja cepatnya pertumbuhan bank Syariah dan besarnya dana yang dikelola mengundang tanggapan dari banyak orang yang mempertanyakan tentang masalah yang dihadapi bank syariah. Pertama, banyak orang yang belum mengerti apa sebenarnya bank syariah itu. Dewan syariah (syariah

Page 28: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 24 Volume 3, Nomor 1, April 2005

board) pada tiap bank yang menentukan definisi bank syariah dan apa yang bukan, sehingga dapat mengakibatkan perbedaan dalam menafsirkan suatu transaksi. Kedua, bank konvensional berdasarkan pada analisis resiko dan manajemen neraca, di mana suku bunga memainkan peran kunci dalam manajemen likuiditas, risiko, harga, dan alokasi kredit. Dengan tidak adanya perhitungan bunga, manajer risiko pada bank syariah menghadapi tantangan yang lebih besar daripada suatu bank konvensional.

Perkembangan bank syariah yang demikian pesat tersebut telah mengilhami bank-bank konvensional dunia untuk juga mengoperasikan window sistem syariah, memberikan jasa tertentu berdasarkan prinsip syariah (seperti Islamic Investment funds), unit trusts dan/atau mengelola rekening khusus untuk nasabah.

Perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional, karena kegiatan perbankan perbankan syariah selain didasarkan atas kaidah-kaidah perbankan yang berlaku umum dalam operasionalnya, juga didasarkan pada aqidah dan moral Islam. Pada akhirnya, masalah bank syariah ini tidak semata-mata terkait dengan masalah bunga, melainkan akan berdampak pula terhadap terwujudnya kebijakan bank sentral

dan kebijakan ekonomi yang mementingkan kepentingan rakyat, dengan demikian akan tercipta suatu model ekonomi alternatif.

IV. DIPERLUKAN UNDANG-UNDANG BANK SYARIAH

Semenjak diberlakukannya Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998 eksistensi bank syariah semakin kuat karena terdapat pasal-pasal dalam UU tersebut yang menambah atau mengadakan perubahan yang menguatkan posisi bank syariah secara yuridis. Perubahan tersebut juga membolehkan bank-bank konvensional untuk beralih menjadi bank syariah atau membuka Kantor Cabang syariah (sistem Islamic Full Branch). UU Perbankan, memberikan suatu corak tersendiri bagi bank syariah, karena bank syariah perlu mematuhi dua aturan undang-undang, yaitu syariat Islam dan hukum positif. Seperti halnya seorang Muslim wajib melakukan perintah dan larangan agama, begitu pula halnya bagi lembaga keuangan yang berbasis syariah.

Syariat Islam yang wajib dilaksanakan oleh bank syariah bersumber dari Al Qur’an, Al Hadits, Ijma`, dan Qiyas yaitu dibentuk bukan berdasarkan proses irrasional tetapi dirangkai melalui kaidah interpretasi yang rasional dan selalu merujuk kepada nilai akhlaq dan moral. Sasaran utama

Page 29: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 25 Volume 3, Nomor 1, April 2005

dari syariat Islam adalah untuk membina kehidupan manusia di atas dasar kebaikan dan kebajikan (ma`ruf) dan untuk membersihkan sifat manusia dari segala perbuatan yang munkar (keji atau kejahatan). Konsep ma`ruf melambangkan segala kebaikan dan kualitas yang senantiasa diterima oleh suara hati manusia. Sebaliknya yang munkar melangkahi segala dosa dan kejahatan yang keji serta dikutuk oleh semua manusia. Karena itulah, syariah menggariskan dengan jelas segala kebaikan dan kejahatan serta menyarankan kepada seluruh manusia sebagai panduan peraturan kehidupan.

• QS. Al-Baqarah : 245 “Siapakah yang mau memberi pembiayaan kepada Allah SWT, pembiayaan yang baik maka Allah SWT akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak”.

• QS. Al-Muzammil : 20 “Maka dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pembiayaan kepada Allah SWT, berupa pembiayaan yang baik”.

• Dari Ibnu Mas’ud r.a. Rasulullah SAW, bersabda : “Tidaklah seorang muslim meminjamkan 2 kali kecuali sama baginya dengan memberi sekali”. (Hadist

terdapat dalam Sahih Ibnu Hibban).

• Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “Barang siapa yang telah melepaskan saudaranya yang muslim satu dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah SWT akan melepaskan daripadanya satu kesusahan di Yaumil Qiyamah”.

Undang-undang atau hukum positif merupakan peraturan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah sebagai acuan kenegaraan atau kepemerintahaan dimana bank syariah itu akan beroperasi. Adapun aturan perundang-undangan yang selama ini dijadikan dasar adalah : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 Tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional dan PBI Nomor 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Sektor perbankan memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi yang menunjang

Page 30: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 26 Volume 3, Nomor 1, April 2005

perekonomian nasional. Oleh karena itu, peranan perbankan syariah perlu lebih ditingkatkan sesuai fungsinya dalam menghimpun, menyalurkan dana masyarakat dan penyediaan pelayanan jasa perbankan lainnya. Sejalan dengan itu, pemerintah telah berupaya meningkatkan peranan Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Walaupun bank syariah berkembang pesat di Indonesia, namun belum didukung Undang-Undang Perbankan syariah tersendiri.

Oleh karena itu usulan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mengenai perlunya Undang-Undang Perbankan Syariah.

Sebagai perbandingan, Malaysia misalnya yang memiliki bank syariah telah mengeluarkan Islamic Banking Act. Undang-undang ini antara lain mengatur pendirian, kegiatan dan jasa-jasa yang dapat diberikan bank syariah. Kegiatan perbankan syariah di Malaysia mendapat dukungan penuh dari bank sentral.

Adanya keinginan dari masyarakat agar perbankan syariah untuk memiliki Undang-undang perbankan syariah yang terpisah dari UU perbankan konvensional tampaknya belum dapat terealisasi karena terbentur kepada pendapat yang pro dan kontra. Dalam rangka

memenuhi aspirasi masyarakat terhadap perbankan syariah, pada saat ini Bank Indonesia sudah mengeluarkan delapan peraturan perbankan syariah yang diperlukan sebagai upaya penyempurnaan perangkat peraturan dan ketentuan perbankan syariah agar bank-bank syariah dapat beroperasi secara sehat dan istiqomah dalam menjalankan ketentuan syariah. Dikeluarkannya peraturan perbankan syariah itu, mengingat perbankan syariah bagian integral dari sistem perbankan nasional, sehingga perkembangannya yang pesat, perlu diantisipasi oleh berbagai pihak, khususnya oleh otoritas perbankan.

Di samping kedelapan peraturan tersebut, berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Bank Indonesia juga telah membuat "Blue Print Perbankan Syariah" yang diterbitkan pada akhir tahun 2002, sebagai bahan arahan kebijakan pengembangan perbankan syariah sebagai bagian dari kebijakan pemantapan ketahanan sistem perbankan nasional. Arah kebijakan dalam "Blue Print" tersebut, sejalan pula dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang mencakup arah pengembangan sistem perbankan nasional yang menjadi landasan bagi Bank Indonesia, lembaga perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya dalam mengembangkan perbankan

Page 31: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 27 Volume 3, Nomor 1, April 2005

syariah sepuluh tahun ke depan. Disamping peraturan tersebut, juga telah dikeluarkan Peraturan BI No. 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang fasilitas pembiayaan jangka pendek bagi bank syariah, dalam rangka penyediaan Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek (FPJP) bagi perbankan syariah yang mengalami mismatch likuiditas.

Dengan dikeluarkannya beberapa peraturan tersebut, diharapkan ke depan perbankan syariah dapat memiliki daya saing, efisien dan memenuhi prinsip kehati-hatian serta prinsip syariah, serta mampu berperan mendorong sektor riil, sehingga pada gilirannya dapat berperan aktif dalam mensejahterakan masyarakat. Dan dengan adanya peraturan dan pedoman itu, diharapkan pula secara mendasar dapat mendukung landasan kelembagaan, kegiatan usaha, instrumen pasar keuangan dan moneter yang sehat sesuai prinsip syariah. Disamping dicetaknya "Blue Print Perbankan Syariah", berkaitan dengan kebutuhan sosialisasi dan komunikasi, saat ini juga Bank Indonesia sedang mempersiapkan pembentukan Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) guna menjembatani koordinasi, komunikasi dan sinergi antar lembaga keuangan syariah, dalam rangka mewujudkan prinsip kerjasama yang positif untuk

mencapai kemaslahatan bersama. Bank Indonesia juga sudah menyusun naskah akademik dan pokok-pokok pikiran draft RUU Perbankan Syariah.

Adanya perundang-undangan yang pasti dan jelas merupakan jaminan bagi kepastian usaha dan jaminan perlindungan hukum yang sangat diperlukan. Undang-undang ini kelak akan menjadi payung yuridis bagi semua kalangan yang berhubungan dengan bank syariah. Selain itu perbankan syariah membutuhkan ketentuan dan pengaturan yang memastikan bahwa pelaksanaan dan operasional perbankan syariah tetap berjalan secara konsisten dengan prinsip syariah. Adanya Undang-Undang Perbankan Syariah nantinya akan memberi keleluasan ruang dan gerak kepada pihak perbankan syariah untuk mengembangkan dan menciptakan inovasi dalam produk dan pelayanan perbankan syariah. Dan UU akan memberi rambu-rambu yang jelas dan tegas pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank syariah.

Adapun materi yang perlu diatur untuk operasional bank syariah ini pada prinsipnya sama dengan bank konvensional yaitu meliputi seluruh siklus pengawasan dan pembinaan bank. Siklus pengawasan dan pembinaan bank tersebut meliputi ketentuan perizinan, ketentuan kehati-hatian, pembinaan dan pengawasan serta ketentuan exit

Page 32: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 28 Volume 3, Nomor 1, April 2005

procedures. Di samping itu perlu diperhatikan secara khusus mengenai daftar tunggakan nasabah (penggolongan kolektibilitas) secara syariah, Pasar uang antar bank syariah (interbank

money market), Clearing house untuk bank syariah, Instrumen dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas seperti lender of the last resort.

Page 33: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 29 Volume 3, Nomor 1, April 2005

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anonim, “Kebijakan Moneter Ketat Dipertahankan”, Suara Pembaruan, 20 Juni 1998.

Anwar, Muhammad Ph.D., Modelling Interest-Free Economy: A Study in Macroeconomics and Development, The International Institute of Islamic Thought, Washington, D.C., USA, May 1987.

Achsin, Investasi Syariah di Pasar Modal Menggagas Konsep dan Praktek Manajemen Portofolio Syariah,Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2000.

Dasuki, A Hafidz…. (et al), Ensiklopedia Hukum Islam, Cet. III, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta , 1999

Hamdi, Abdur Rahim, Islamic Banking:Conceptual Framework and Practical Operations, Istitute of Policy Studies, July, 1992.

Iswahyudi Karim, "Wewenang Kewajiban dan Tanggungjawab Direksi Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas", (Makalah disampaikan pada Konferensi Perkembangan akhir UUPT, Jakarta: 27-28 September 1995).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, edisi kedua, 1991).

Mariam Darus Badrulzaman, “Perspektif Lembaga Jaminan Simpanan Dana Nasabah Di Indonesia”. (Makalah disampaikan pada Seminar Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah, Jakarta, 24-25 Juni 1997).

Masjfuk Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqliyah, Toko Gunung Agung, Jakarta, 1997.

Nasution, Anwar, Dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 20 Tahun 2002.

Natabaya, H.A.S, S.H.,LLM Aspek Hukum Pembinaan dan Pengawasan bank, (Jakarta:BPHN-Departemen Kehakiman, 1999).

Remi Sjahdeini. “Jaminan Hukum yang Diberikan Oleh Bank Terhadap Keamanan Simpanan Nasabah”. (Makalah dalam Seminar Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah, Jakarta, BPHN-Dep. Kehakiman, 1997).

_____”Sudah Memadaikah Perlindungan yang Diberikan Hukum Kepada Nasabah Penyimpan Dana?” (Surabaya: Airlangga University Press, 1994).

Page 34: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 30 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Robert H Behrens. Commercial Loan Officer’s Handbook: From Basic Concepts to Advanced Technique. (Boston: Bankers Publishing Company, 1995).

Sundari Arie M, “Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah Dalam Kaitannya Dengan Kedudukan Hukum Simpanan Dana Nasabah” (Makalah Disampaikan pada Seminar Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah, BPHN, Jakarta, Juni 1997).

_____, “Transaksi Kredit”, (Makalah Disampaikan Dalam Lokakarya Tentang Pengadilan Niaga, Diselenggarakan oleh BPHN-Dep.Kehakiman dan HAM Bekerjasama Dengan Puslitbang MA-RI, Jakarta, 29-30 Mei 2001).

_____“Masalah-Masalah Hukum Kejahatan Perbankan” (Jakarta, BPHN-Departemen Kehakiman, 1990/1991).

Setiawan. “Bank dan Nasabah: Antara Hukum dan Kepercayaan”, Varia Peradilan. vol.8 (April 1991).

Siddiqi, Muhammad Nejatullah, Banking Without Interest, The Islamic Foundation, Revised edition 1988.

Perwataatmadja dan Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1992 Soemitro, 1997:1).

Perwataatmadja, Karnaen Drs.H., H Muhammad Syafi'i Antonio, M.Ec, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Seri Ekonomi Islam, No.01, Penerbit Dana Bhakti Wakaf, Cetakan Kedua April 1993.

Yakub, Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Diponegoro, Bandung, 1984

Zuhri, Moh., Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Page 35: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 31 Volume 3, Nomor 1, April 2005

PERLUNYA PENGATURAN MATA UANG

DALAM UNDANG-UNDANG TERSENDIRI

Oleh : Direktorat Pengedaran Uang

I. PENDAHULUAN

Pengaturan mata uang berdasarkan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dijabarkan dalam: (1) Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951 Tentang Penghentian Berlakunya “Indische Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang; (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1953 Tentang Penetapan “Undang-Undang Darurat Tentang Penghentian Berlakunya “Indische Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang” (Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951) Sebagai Undang-Undang; (3) Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1958 Tentang Pengubahan “Undang-Undang Mata Uang Tahun 1953”; dan (4) Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1958 Tentang Penetapan “Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1958 Tentang Pengubahan Undang-Undang Mata Uang Tahun 1953” Sebagai Undang-Undang. Sedangkan pengaturan mengenai ketentuan pidana yang terkait pada mata uang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) dan Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

Namun, setelah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), keempat Undang-Undang tersebut di atas secara tegas dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral. Undang-Undang tersebut pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari amanat pada alinea terakhir Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: “Berhubung dengan itu, kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan Undang-Undang”.

Dalam perkembangannya, pengaturan mengenai mata uang terdapat dalam Pasal 2, Pasal 19 sampai dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan

Page 36: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 32 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU BI), dipandang masih belum mencukupi mengingat masih adanya substansi-substansi lain yang perlu diatur dalam undang-undang. Selain itu, dipandang “kurang pas” apabila hal tersebut diatur dalam UU BI, sehingga mata uang perlu diatur secara lebih komprehensif dalam suatu undang-undang tersendiri. Secara yuridis pengaturan mengenai mata uang dalam suatu undang-undang tersendiri telah diamanatkan dalam Pasal 23 B UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang” dan Pasal 77 A UU BI yang menyebutkan bahwa “Ketentuan mengenai mata uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku hingga diatur lebih lanjut dengan undang-Undang tersendiri”.

Selain itu, mata uang pada dasarnya merupakan salah satu simbol kedaulatan negara, maka sudah seharusnya apabila pengaturan mengenai mata uang dapat lebih jelas dan lebih komprehensif diatur dalam suatu undang-undang tersendiri.

II. PERMASALAHAN

Dalam upaya mendukung perlunya pengaturan mata uang secara

komprehensif dalam undang-undang tersendiri, diperlukan gambaran singkat mengenai mata uang dan materi apa saja yang perlu diatur dalam RUU Mata Uang.

Permasalahan lainnya adalah pengaturan mata uang yang tersebar dalam UU BI, Pasal 244 sampai dengan Pasal 252 KUHP dan Pasal IX sampai dengan Pasal XII UU No.1 Tahun 1946, sehingga perlu digabungkan pengaturannya. Sejalan dengan amanat Pasal 23 B UUD 1945 dan Pasal 77 A UU BI, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menggabungkan pengaturan mata uang dengan ketentuan pidana yang terkait dengan mata uang di dalam RUU Mata Uang.

Penggabungan pengaturan mata uang dengan ketentuan pidana yang terkait dengan mata uang juga dianut oleh beberapa negara baik yang diatur menjadi satu kesatuan dalam suatu central bank act atau currency act masing-masing negara tersebut, seperti Thailand dan Singapore1. Kerangka pemikiran mengenai perlunya pengaturan mata uang dan ketentuan pidana yang terkait dengan mata uang dalam Undang-Undang tersendiri, dapat dijelaskan sebagaimana bagan di bawah ini:

1 Di Thailand diatur dalam Currency Act B.E. 2501 (www.bot.or.th) dan di Singapore diatur dalam Currency Act No.25 year 2002 (www.mas.gov.sg).

Page 37: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 33 Volume 3, Nomor 1, April 2005

III. PENGERTIAN DAN FUNGSI MATA UANG

1. Pengertian mata uang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mata uang memiliki arti sebagai “satuan uang suatu negara”2. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU BI ditegaskan bahwa “Satuan mata uang negara Republik Indonesia adalah rupiah dengan singkatan Rp”.

2. Fungsi mata uang

Pada awalnya uang hanya berfungsi sebagai alat penukar saja tetapi

2 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 2002, hal 722.

sejalan dengan perkembangan, uang mempunyai beberapa fungsi yaitu: (1) sebagai alat penukar (medium of exchange); (2) penyimpan nilai (store of value); (3) satuan hitung (unit of account); dan (4) ukuran pembayaran yang tertunda (standard for deffered payment).

Menurut Glyn Davies3, fungsi uang terdiri dari fungsi khusus yang meliputi keempat fungsi di atas ditambah fungsi uang sebagai alat pembayaran (means of exchange) dan sebagai alat ukuran umum dalam menilai sesuatu (common measure of

3 Davies, Glyn, A History of Money From Ancient Times to the Present Day, 2002.

Isu Strategis

Pengaturan mata uang dengan ketentuan pidana yang terkait dengan mata uang terpisah

Kebutuhan untuk menggabungkan ketentuan yang terpisah

1. Pengaturan mata uang: Pasal 2, Pasal 19 sampai dengan Pasal 23 UU BI.

2. Pengaturan ketentuan pidana mata uang: a. Pasal 244 sampai dengan Pasal 252 KUHP; dan b. Pasal IX sampai dengan Pasal XII UU No.1 Tahun

1946.

Pengaturan yang ideal dalam suatu Undang-Undang tersendiri

Undang-Undang Mata Uang

Page 38: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 34 Volume 3, Nomor 1, April 2005

value), dan fungsi umum yang meliputi fungsi-fungsi sebagai aset likuid (liquid asset); faktor dalam rangka pembentukan harga pasar (framework of the market allocative system); faktor penyebab dalam perekonomian (a causative factor in the economy); dan faktor pengendali kegiatan ekonomi (controller of the economy).

IV. MATERI PENGATURAN MENGENAI MATA UANG

Pengaturan mata uang sebenarnya telah diatur dalam UU BI4, dan materi mata uang yang diatur tersebut pada umumnya juga terdapat di sebagian besar bank sentral di negara-negara lain. Akan tetapi, pengaturan mata uang dalam UU BI tersebut masih perlu diperjelas, diubah atau ditambahkan dan selanjutnya diatur dalam Undang-Undang tersendiri sebagai berikut:

1. Materi pengaturan mata uang yang perlu diperjelas antara lain sebagai berikut:

a. Kewenangan mengeluarkan uang rupiah yang ada pada BI, sebaiknya diperjelas juga meliputi kewenangan dalam menentukan perusahaan percetakan uang atau pemasok uang baik di dalam negeri maupun di luar negeri

4 Lihat Pasal 2, Pasal 19 sampai dengan Pasal 23 UU BI.

dengan alasan antara lain sebagai berikut:

1) diperlukan perusahaan percetakan uang atau pemasok uang yang mampu melakukan pencetakan uang sesuai macam, ciri dan bahan uang yang telah ditetapkan oleh BI;

2) jumlah uang rupiah yang beredar setiap tahunnya semakin meningkat5, sehingga diperlukan perusahaan percetakan uang atau pemasok uang yang memiliki kapasitas cetak uang rupiah dalam jumlah yang dibutuhkan dengan kualitas uang yang tinggi, aman dan dapat diandalkan;

3) diperlukan perusahaan percetakan uang atau pemasok uang yang mampu melakukan pencetakan uang rupiah dengan teknologi cetak yang canggih dan unsur pengaman uang yang sulit dipalsukan, sehingga akan dihasilkan kualitas uang yang tinggi, aman dan dapat diandalkan;

5 Data uang kartal yang diedarkan pada Tahun 2004 meningkat 12,56% dibandingkan dengan uang kartal yang diedarkan pada Tahun 2003, Laporan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2004.

Page 39: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 35 Volume 3, Nomor 1, April 2005

4) Biaya cetak uang rupiah merupakan pengeluaran kedua terbesar di BI setelah operasi moneter, sehingga mengharuskan BI untuk dapat melakukan efektivitas dan efisiensi biaya cetak uang rupiah. Oleh karena itu, diperlukan perusahaan percetakan uang atau pemasok uang yang mampu menawarkan biaya cetak yang bersaing dengan tetap berpatokan pada kualitas uang yang tinggi, aman dan dapat diandalkan.

Sebagai contoh Bank Negara Malaysia dalam Central Bank of Malaysia Act 1958 (revised 1994) mengatur bahwa “The Bank shall arrange for the printing notes and the minting of coins”6 (Bank Negara Malaysia mengatur pencetakan uang kertas dan pembuatan uang logam).

b. Kewenangan BI dalam menentukan keaslian uang rupiah, sebenarnya secara implisit telah diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU BI. Pengaturan tersebut

6 Lihat Section 22 subsection (a) Central Bank of Malaysia Act 1958 (revised 1994), www.bnm.gov.my

dalam penjelasan suatu pasal yang mengatur mengenai kewajiban menerima uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, dapat menimbulkan ketidakjelasan bagi masyarakat yang memiliki uang rupiah yang diragukan keasliannya dan penanganan uang palsu pada tingkat penegakan hukum. Alasan lain perlunya diatur kewenangan BI dalam menentukan keaslian uang rupiah dalam suatu pasal tersendiri adalah bahwa BI merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan ciri dan bahan uang rupiah yang dikeluarkan7, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa BI pulalah yang hanya dapat menentukan keaslian uang rupiah.

Upaya untuk memperjelas kewenangan-kewenangan BI tersebut di atas sebenarnya telah dilakukan dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 Tentang Pengeluaran, Pengedaran, Penarikan dan Pencabutan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (PBI P5UR)8.

2. Materi pengaturan mata uang yang perlu dilakukan perubahan

7 Lihat Penjelasan Pasal 19 UU BI. 8 Lihat Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 12 dan Pasal 13 PBI P5UR.

Page 40: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 36 Volume 3, Nomor 1, April 2005

antara lain adalah pengaturan mengenai pengecualian kewajiban penggunaan uang rupiah dalam sebagian materi dalam Pasal 2 ayat (5) UU BI. Salah satu klausul yang menjadi pengecualian kewajiban penggunaan uang rupiah adalah dengan “telah diperjanjikan secara tertulis” dan “perjanjian perdagangan barang dan jasa”9. Pengaturan kewajiban penggunaan uang rupiah yang dapat dikecualikan hanya dengan didasarkan pada adanya perjanjian secara tertulis dari para pihak, dapat membuat pengaturan kewajiban penggunaan uang rupiah dalam prakteknya sangat mudah dilanggar dan dampaknya dapat dipersamakan dengan tidak diaturnya kewajiban menggunakan uang rupiah10. Selain itu, pengaturan pengecualian kewajiban penggunaan uang rupiah dalam setiap transaksi tunai atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang sebaiknya diatur lebih lanjut dengan suatu Peraturan Pemerintah (PP) yang dikeluarkan oleh Presiden sehingga dapat menjamin

9 Lihat Pasal 2 ayat (5) berikut penjelasannya UU BI) 10 Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Implikasi Negatif Tidak Diaturnya Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah RI, 1 Mei 2003.

implementasi pengaturan kewajiban penggunaan uang rupiah.

Mengingat perekonomian Indonesia masih dalam proses pemulihan akibat krisis moneter berkepanjangan dan masih rentannya nilai tukar uang rupiah terhadap valuta asing maka pengaturan kewajiban menggunakan uang rupiah masih sangat relevan untuk dipertahankan dan diefektifkan pelaksanaannya.

Beberapa negara yang menerapkan aturan kewajiban menggunakan mata uang domestik untuk penyelesaian transaksi tunai sebagai berikut:

a. Malaysia

“… every contract, sale, payment, bill, note, instrument and security for money and every transaction, dealing, matter and thing whatsoever relating to money or involving the payment of, or the liability to pay, any money which but for this subsection would have been deemed to be made, executed, entered into, done and had for, in and in relation to Malaysian dollar shall be deemed instead to be made, executed,

Page 41: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 37 Volume 3, Nomor 1, April 2005

entered into, done and had for, in and in relation to ringgit.”11

(Setiap transaksi yang menggunakan uang atau pembayaran atau pemenuhan kewajiban dengan uang wajib menggunakan Malaysian Ringgit).

b. Jepang

“The banknotes issued by the bank shall be legal tender, and hence shall be used for payment without limits.”12 (Uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank of Japan adalah legal tender dan oleh karenanya wajib digunakan sebagai alat pembayaran tanpa pembatasan).

3. Materi pengaturan mata uang yang perlu ditambahkan antara lain sebagai berikut:

a. Kewenangan BI dalam menetapkan macam, ciri dan bahan uang rupiah yang akan dikeluarkan, perlu ditambahkan dengan kewenangan BI dalam menetapkan desain uang

11 Lihat Section 18 subsection (2) Central Bank of Malaysia Act 1958 (revised 1994), www.bnm.gov.my 12 Lihat Article 46 Bank of Japan Law as amended in 1998, 2000 and 2001. www.boj.or.jp

rupiah yang akan dikeluarkan. Pengertian “desain” adalah kerangka bentuk, rancangan atau motif13, yang demikian merupakan salah satu proses kegiatan mengeluarkan uang rupiah yang tidak dapat dipisahkan dari kewenangan mengeluarkan uang rupiah secara keseluruhan. Dengan demikian, desain uang merupakan rumah bagi ciri-ciri uang rupiah baik uang kertas maupun uang logam yang meliputi: (1) ciri-ciri uang rupiah; (2) tanda-tanda tertentu pada uang rupiah meliputi warna, gambar, ukuran, berat, bahan uang dan tanda-tanda lainnya; (3) teknik cetak yang digunakan; dan (4) unsur-unsur pengaman (security features).

Sehubungan dengan itu, penting artinya untuk mengatur pula kewenangan BI dalam menetapkan desain uang rupiah yang akan dikeluarkan dalam RUU Mata Uang. Sebagai informasi bahwa kewenangan BI dalam menetapkan desain uang rupiah yang akan dikeluarkan telah diatur dalam PBI P5UR.14

13 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, op. cit., hal. 257. 14 Lihat Pasal 2 ayat (2) PBI Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 Tentang P5UR.

Page 42: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 38 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Beberapa contoh kewenangan bank sentral dalam menetapkan desain uang domestiknya sebagai berikut:

1) New Zealand

“The Bank shall determine the denominations, form, design, content, weight, and composition of its bank notes and coins.”15 (Bank Sentral New Zealand menetapkan denominasi, bentuk, desain, isi, ukuran/berat, dan komposisi dari uang kertas dan uang logam yang akan dikeluarkan).

2) Singapore

“Currency notes and coins issued by the Authority (Monetary Authority of Singapore) shall be of such denomination and of such form and/or weight and design and printed from such plates and/or on such materials as the Authority may, from time to time, decide.”16

(Monetary Authority of Singapore, dari waktu ke waktu, menetapkan

15 Lihat Article 25 (2) Reserve Bank of New Zealand Act 1989. www.legislation.govt.nz 16 Lihat Article 17 (1) & (3) The Currency Act No.25 year 2002. www.mas.gov.sg

denominasi, ukuran dan/atau berat, desain, dan bahan uang kertas dan uang logam yang akan dikeluarkan).

b. Ciri-ciri minimal uang rupiah yang dikeluarkan dan diedarkan oleh BI perlu diatur dalam RUU Mata Uang. Hal tersebut dikarenakan, pengaturan mengenai ciri-ciri minimal pada setiap uang rupiah yang dikeluarkan dan diedarkan akan menjadi pedoman bagi BI dalam mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah baru, dan juga menjadi salah satu simbol negara Republik Indonesia yang berdaulat, serta menjadi salah satu pedoman bagi masyarakat dalam mengenali keaslian uang rupiah.

Ciri-ciri uang kertas memuat sekurang-kurangnya: (1) gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; (2) kata “Bank Indonesia”; (3) pecahan dalam angka dan huruf sebagai nilai nominalnya; (4) Tahun emisi; (5) nomor seri; (6) kata “Dewan Gubernur”, tanda tangan serta sebutan “Gubernur” dan seorang anggota Dewan Gubernur; dan (7) kalimat “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Bank

Page 43: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 39 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Indonesia mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai”.

Ciri-ciri uang logam memuat sekurang-kurangnya: (1) gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; (2) kata “Bank Indonesia”; (3) pecahan dalam angka sebagai nilai nominalnya; dan (4) Tahun emisi.

c. Kewenangan BI yang diatur dalam Pasal 19 UU BI, dapat mengalami hambatan dalam pelaksanaannya apabila BI tidak memiliki kewenangan untuk menangani uang palsu yang bersifat preventif. Adalah tugas BI untuk mencegah dan melindungi uang rupiah dari pemalsuan.

Tindak pidana pemalsuan uang merupakan salah satu bentuk kejahatan yang paling tua di dunia, dan memiliki motif ekonomi dan atau politik. Indonesia merupakan negara yang tidak luput dari tindak pidana pemalsuan uang, yang akan sangat merugikan dari banyak segi seperti terganggunya perekonomian Indonesia dan hilangnya kepercayaan masyarakat akan uang rupiah.

Oleh karena itu, perlu peran aktif BI untuk dapat

membentuk suatu unit khusus yang memiliki fungsi menangani uang palsu. Keberadaan unit khusus tersebut akan sangat membantu aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana pemalsuan uang, dan tidak akan tumpang tindih dengan Polri dan Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal)17 yang lebih bersifat represif. Unit khusus yang akan dibentuk tersebut memiliki tugas sebagai berikut: (1) membentuk pusat data; (2) mengadministrasikan uang palsu yang beredar di dalam wilayah dan di luar wilayah negara Republik Indonesia; (3) menyimpan contoh uang palsu sebagai dokumentasi; dan (4) melakukan pengkajian dan studi Tentang uang palsu.

Selain itu, unit khusus tersebut dalam pelaksanaan tugasnya akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait seperti Polri dan The International Criminal Police Organisation (Interpol).

Sebagai contoh European Central Bank (ECB) membentuk The Counterfeit

17 Botasupal dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1971 tanggal 22 Maret 1971.

Page 44: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 40 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Analysis Centre (CAC)18 yang berfungsi sebagai pusat analisa teknis atas Euro palsu dan data secara statistik yang berhubungan dengan pemalsuan Euro. ECB juga membentuk The Counterfeit Currency Database (CCD) yang telah diubah namanya menjadi The Counterfeit Monitoring System (CMS)19 yang berfungsi sebagai media informasi atas semua data yang berhubungan dengan pemalsuan Euro kepada semua negara anggota Uni Eropa, Europol, Interpol, lembaga-lembaga dan negara ketiga yang ditunjuk. Selain itu, negara-negara anggota Uni Eropa juga membentuk The National Counterfeit Centres (NCCs) yang berfungsi mirip dengan CAC, dan berkoordinasi dengan CAC. Selain itu, ECB juga melakukan kerjasama yang erat dengan pihak kepolisian masing-masing negara anggota Uni Eropa, Europol dan Interpol20.

Perlunya dibuka kemungkinan BI memiliki peran

18 Lihat Guideline ECB/1999/3 of 7 July 1998 as amended on 26 August 1999. www.ecb.int 19 Lihat Decision ECB/2001/11 of 8 November 2001. www.ecb.int 20 Lihat Cooperation Agreement 2004/C 134/06 of 29 March 2004. www.ecb.int

pemberantasan uang palsu secara represif.

d. Ketentuan pidana yang terkait dengan pemalsuan dan perusakan uang rupiah yang selama ini diatur dalam KUHP sebagaimana juga diatur dalam UU No.1 Tahun 1946, sebaiknya perlu diatur kembali dan dimasukkan ke dalam RUU Mata Uang. Penggabungan ketentuan pidana yang terkait pada mata uang dengan pengaturan mata uang sebagai satu kesatuan di dalam RUU Mata Uang akan menjadikan RUU Mata Uang sebagai suatu UU yang komprehensif dan akan mempermudah bagi masyarakat dalam memahami peraturan perundang-undangan mengenai mata uang. Sedangkan bagi aparat penegak hukum, pengaturan ketentuan pidana yang berhubungan dengan mata uang dapat mempermudah implementasinya dari segi penegakan hukum.

Sebagai contoh adalah undang-undang mengenai Merek juga mengatur ketentuan pidana yang berhubungan dengan merek yang selama ini diatur dalam Bab XI KUHP mengenai pemalsuan materai dan

Page 45: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 41 Volume 3, Nomor 1, April 2005

merek.21 Alasan lain mengapa ketentuan pidana pemalsuan dan perusakan uang rupiah yang terdapat dalam KUHP dan UU No.1 Tahun 1946 perlu diatur kembali adalah sebagai berikut:

1) Penggunaan terminologi dalam Pasal 244 sampai dengan Pasal 252 KUHP sudah tidak sesuai lagi dengan pengaturan mengenai mata uang sebagaimana yang tertuang dalam UU BI. Sebagai contoh Pasal 244 KUHP masih menggunakan terminologi “mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank”.

2) Ancaman pidana penjara bagi tindak pidana pemalsuan uang yaitu paling lama 15 (lima belas) tahun masih memadai. Akan tetapi, ketiadaan ancaman pidana penjara minimal bagi tindak pidana pemalsuan uang dapat membuat tujuan utama penerapan pidana penjara yaitu untuk menimbulkan efek jera bagi para pemalsu uang, menjadi

21 Lihat Pasal 90 sampai dengan Pasal 95 UU No.15 Tahun 2001 tanggal 1 Agustus 2001 Tentang Merek.

tidak tercapai. Hal tersebut, dapat dilihat dari banyak kasus pemalsuan uang yang telah diputuskan di tingkat pengadilan yang hanya menjatuhkan vonis hukuman yang relatif ringan. Selain itu, perlu diatur pula ancaman pidana denda minimal dan pidana denda maksimal bagi para pemalsu uang, yang bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi mereka.

Pengaturan ancaman pidana penjara dan pidana denda tersebut di atas tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana. Akan tetapi, semata-mata ditujukan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku dan menciptakan rasa keadilan di dalam masyarakat. Hal tersebut dikarenakan kerugian yang ditimbulkan dari beredarnya uang palsu sangat dirasakan oleh masyarakat dan dapat mengganggu perekonomian Indonesia. Pengaturan pidana penjara dan pidana denda secara

Page 46: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 42 Volume 3, Nomor 1, April 2005

minimal dan maksimal juga dianut dalam UU BI22.

V. MATERI YANG PERLU DIATUR DALAM RUU MATA UANG

Sebagaimana halnya materi secara garis besar yang diatur dalam currency act di beberapa negara maka pokok-pokok materi yang perlu diatur dalam RUU Mata Uang adalah sebagai berikut:

1. Macam dan harga mata uang negara Republik Indonesia, meliputi: (1) macam uang terdiri dari uang kertas dan uang logam; (2) satuan mata uang negara Republik Indonesia adalah rupiah; dan (3) harga uang merupakan nilai nominal yang tercantum pada setiap pecahan uang rupiah.

2. Uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, meliputi:

a. larangan menolak uang rupiah dalam setiap transaksi tunai atau untuk memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang;

b. kewajiban menggunakan uang rupiah dalam setiap transaksi tunai atau untuk memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang yang dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain dengan suatu PP.

22 Lihat Pasal 65 sampai dengan Pasal 71 UU BI.

3. Ciri-ciri, desain dan bahan uang rupiah meliputi BI menetapkan: (1) ciri-ciri uang rupiah; (2) ciri-ciri minimal uang rupiah yang dikeluarkan; (3) desain uang rupiah; (4) tanda pengaman pada uang kertas; dan (5) jenis dan spesifikasi bahan uang.

4. Pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, serta memusnahan uang rupiah meliputi kewenangan BI dalam: (1) mengeluarkan, mengedarkan, mencabut dan menarik, serta pemusnahan uang rupiah; (2) merencanakan, menentukan, dan menyediakan jumlah uang yang beredar berdasarkan pertimbangan dari perkembangan perekonomian; (3) menetapkan perusahaan percetakan uang atau pemasok uang; dan (4) menetapkan tanggal mulai berlakunya uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah.

5. Pengawasan pelaksanaan kewenangan BI yaitu kewajiban BI melaporkan pelaksanaan kewenangannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) secara periodik.

Page 47: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 43 Volume 3, Nomor 1, April 2005

6. Penukaran uang rupiah meliputi penggantian atas uang rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran sebesar nilai nominal dengan jangka waktu penukaran selama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal pencabutan dan memberikan layanan penukaran kepada masyarakat atas uang rupiah yang tidak layak edar.

7. Penanganan uang palsu meliputi kewenangan BI dalam menentukan keaslian uang rupiah dan membentuk unit khusus yang berfungsi menangani uang palsu;

8. Ketentuan pidana meliputi ketentuan pidana bagi setiap orang yang menolak menerima uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah dan ketentuan pidana yang berhubungan dengan pemalsuan dan perusakan uang rupiah.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a. Pengaturan mengenai mata uang dalam suatu Undang-Undang tersendiri telah diamanatkan dalam Pasal 23 B UUD 1945 dan Pasal 77A UU BI.

b. UU BI yang mengatur mata uang dirasakan masih kurang memadai dan belum komprehensif.

c. Materi pengaturan mata uang yang masih perlu diperjelas adalah kewenangan BI dalam menentukan perusahaan percetakan uang atau pemasok uang, dan menentukan keaslian uang rupiah.

d. Materi pengaturan mata uang yang masih memerlukan perubahan adalah menghapus klausul mengenai perjanjian para pihak yang tertulis atau atas dasar kesepakatan tertulis para pihak dalam pengecualian kewajiban penggunaan uang rupiah dan perlunya pengecualian kewajiban penggunaan uang rupiah diatur dengan suatu PP.

e. Materi pengaturan mata uang yang masih memerlukan penambahan meliputi: (1) kewenangan BI dalam menetapkan desain uang rupiah yang akan dikeluarkan; (2) ciri-ciri minimal uang rupiah yang dikeluarkan dan diedarkan oleh BI; (3) kewenangan BI dalam membentuk unit khusus yang memiliki fungsi menangani uang palsu, dan pemberian

Page 48: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 44 Volume 3, Nomor 1, April 2005

kewenangan sebagai PPNS kepada pegawai BI tertentu; dan (4) penggabungan pengaturan mata uang dengan ketentuan pidana yang terkait pada mata uang.

2. Saran

Mengingat DPR-RI bersama Pemerintah Republik Indonesia yang memiliki kewenangan untuk menyusun dan mengeluarkan suatu UU maka perlu didorong untuk mengagendakan dan memprioritaskan pembahasan RUU Mata Uang sesuai amanat dari Pasal 23 B UUD 1945 dan Pasal 77 A UU BI.

*****

Page 49: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 45 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Peran Dewan Pengawas Syariah Dalam Bank Syariah

Oleh : Brian A Prastyo, SH., MLI *

A. Pengantar

Dewasa ini istilah bank syariah bukan lagi sesuatu yang asing untuk masyarakat Indonesia. Hal tersebut tampaknya disebabkan kondisi perbankan syariah yang relatif cukup berkembang. Sampai November 2004 telah ada 3 Bank Umum Syariah, 15 Unit Usaha Syariah di Bank Umum Konvensional, dan 88 Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Selain itu, nilai asetnya mencapai Rp 14,04 triliun, dana pihak ketiga Rp 10,59 triliun, dan pembiayaan Rp 10,97 triliun.1

Terdapat sedikitnya dua faktor yang memiliki pengaruh signifikan dalam mendorong perkembangan perbankan syariah. Pertama, faktor hukum. Sejak dikeluarkannya Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 keberadaan perbankan syariah memiliki dasar hukum yang relatif lebih kokoh. Dengan adanya UU tersebut prinsip

1 Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah – November 2004, http:// http://www.bi.go.id/web/id/Riset+Survey+Dan+Publikasi/Publikasi/Statistik+Perbankan+Syariah/sps+november+2004.htm, diakses pada 22 Februari 2005.

syariah telah diakui sebagai salah satu sistem dalam perbankan nasional. Adapun prinsip syariah yang dimaksud dalam UU tersebut adalah,

”aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).”

Adanya aturan hukum yang lebih jelas tampaknya meningkatkan kualitas iklim usaha, sehingga mulai banyak pelaku usaha yang berinvestasi di bidang ini.

Kedua, faktor sosiologis. Sebagian besar orang Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Dalam ajaran

Page 50: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 46 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Islam terdapat larangan yang ekplisit mengenai riba (tambahan atas modal). Yusuf al-Qardawi menyebutkan sedikitnya 4 alasan pelarangan tersebut, yaitu:

1. Memungut riba artinya mengambil harta orang lain tanpa memberikan orang tersebut penggantian apapun. Dengan kata lain, si pemberi pinjaman mendapatkan sesuatu tanpa memberikan apapun.

2. Ketergantungan pada riba membuat orang malas bekerja untuk mendapatkan uang. Uang yang dipinjamkan dengan riba tidak akan digunakan dalam industri atau perdagangan, yang kesemuanya membutuhkan modal. Karena itu membuat masyarakat tidak memperoleh manfaatnya.

3. Membolehkan memungut riba menghambat orang untuk berbuat baik. Jika riba dilarang, orang akan memberi pinjaman kepada orang lain dengan itikad baik. Mereka tidak akan mengharapkan hasil yang lebih besar, selain dari jumlah yang telah mereka pinjamkan.

4. Orang yang meminjamkan biasanya kaya dan si peminjam miskin. Si miskin akan dieksploitasi

oleh si kaya melalui pemungutan riba atas pinjaman.2

Namun walaupun sebagian besar orang Indonesia beragama Islam, pada kenyataannya tatanan kehidupan kebangsaannya sekuler. Sistem perbankan yang berlaku adalah sistem konvensional yang justru menumbuhsuburkan praktek pemungutan riba. Kenyataan ini adalah masalah yang sangat besar bagi para muslim yang ingin menjalani syariat agama Islam sebaik-baiknya. Oleh karena itulah, keberadaan perbankan syariah menjadi alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dalam perkembangannya faktor ini menjadi kian signifikan terutama sejak keluarnya ketetapan Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 16 Desember 2003 yang menyatakan bahwa bunga bank bersifat haram. Dasar pemikiran dari keputusan tersebut salah satunya ialah bahwa di sebagian besar wilayah Indonesia telah berdiri bank syariah. Oleh karena itu, fatwa ini tak berlaku bagi daerah yang belum memiliki institusi pendanaan berbasis syariah.3

2 Ali Mutasowifin, Menggagas Strategi

Pengembangan Perbankan Syariah di Pasar Non Muslim, http://www.paramadina.ac.id/html/research/312-ali.pdf, diakses pada 18 Februari 2005, sebagaimana mengutip Jamila Hussain, Islamic Law and Society: An Introduction, (Sydney: The Federation Press, 1999).

3 Liputan 6 SCTV, MUI: Bunga Bank Riba, http://

Page 51: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 47 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Bank syariah dan bank konvensional memiliki kesamaan dan perbedaan. Salah satu hal yang paling jelas membedakan perbankan syariah dari perbankan konvensional adalah adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS berada dalam struktur organisasi bank syariah dengan tugas utamanya yaitu mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.

Kesamaan antara bank konvensional dan bank syariah yaitu sebagai lembaga penyaluran dana. Namun, masing-masing menjalankan fungsi ini dengan caranya tersendiri. Pada bank konvensional pihak peminjam diwajibkan untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan pada bank syariah pihak yang dibiayai diwajibkan untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Muhammad Syafi’i Antonio menyebutkan beberapa perbedaan antara sistem Bunga dan Bagi Hasil. Pada sistem bunga, penentuan bunga dibuat pada waktu perjanjian dengan asumsi harus selalu untung. Sedangkan pada sistem bagi hasil, penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu perjanjian dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi. Selain itu http://www.liputan6.com/fullnews/68337.html, diakses pada 23 Februari 2005.

pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa mempertimbangkan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. Namun pada sistem bagi hasil, pembayaran bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Apabila usaha merugi, maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak. Perbedaan yang penting pula bahwa dalam sistem bunga jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat. Sedangkan dalam sistem bagi hasil, pembagian laba meningkat sesuai peningkatan jumlah pendapatan.4

Sistem penyaluran dana yang dilaksanakan oleh perbankan konvensional terbukti tidak mampu menghasilkan sistem perbankan yang kuat. Lihat saja fenomena krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada medio tahun 1997 lalu. Hampir semua bank konvensional memiliki masalah serius dengan kredit macet atau piutang yang tidak mampu dilunasi oleh debiturnya. Keadaan makin bertambah buruk, sebab ternyata banyak debitur yang nilai asetnya jauh lebih kecil daripada nilai utangnya. Hal itu terjadi karena sebagian besar bank tidak mematuhi

4 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum

Dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 85, sebagaimana mengutip Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta, Gema Insani Press, 2001).

Page 52: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 48 Volume 3, Nomor 1, April 2005

berbagai ketentuan, seperti kehati-hatian (prudential), batas maksimum pemberian kredit, dan posisi devisa netto. Padahal di sisi lain bank harus membayar biaya berupa bunga terhadap dana yang disimpan masyarakat dalam bentuk giro, tabungan dan deposito.5 Selain itu, ada indikasi bahwa banyak debitur yang menggunakan uang yang dipinjamnya tidak sesuai dengan peruntukan krediturnya. Misalnya uang yang seharusnya digunakan untuk membiayai sektor riil, tetapi malah diputar di pasar uang atau pasar modal.

Sebagai sistem perbankan yang lahir belakangan, adalah penting bagi perbankan syariah untuk tidak mengulangi kesalahan yang diperbuat oleh perbankan konvensional. Hal ini terutama terkait dengan penyaluran dana, sebab dalam aspek inilah perbankan konvensional menumbuhsuburkan praktek pemungutan riba. Padahal memungut riba adalah praktek yang jelas-jelas dilarang dalam ajaran Islam. Sehubungan dengan itu, perlu dicermati lebih lanjut keberadaan dari Dewan Pengawas Syariah. Lembaga ini adalah sesuatu yang sangat khas dari perbankan syariah, karena tidak dimiliki oleh perbankan konvensional. Apa signifikansi dari keberadaan Dewan Pengawas Syariah tersebut

5 Ali Yafie, Fiqih Perdagangan Bebas, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 203.

dan bagaimana perannya agar bank syariah dapat menjalankan usaha lebih baik dari bank konvensional. Hal tersebut adalah dua hal utama yang akan diuraikan lebih lanjut dalam artikel ini.

B. Organisasi Bank Syariah

Berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diketahui bahwa Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat dapat berbentuk Perseroan Terbatas, Koperasi, atau Perusahaan Daerah. Apabila berbentuk Perseroan Terbatas maka sahamnya hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama. Apabila berbentuk Koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan peraturan mengenai perkoperasian yang berlaku. Bank Umum dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek. Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum, baik secara langsung dan atau melalui bursa efek. Akan tetapi, Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah daerah, atau dapat dimiliki bersama di antara ketiganya. Dalam artikel ini, aspek yang akan diulas

Page 53: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 49 Volume 3, Nomor 1, April 2005

lebih lanjut ialah Bank Umum yang menjalankan prinsip Syariah yang berbentuk Perseroan Terbatas.

Secara yuridis Perseroan Terbatas diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995 mengenai Perseroan Terbatas. Undang-Undang tersebut dikeluarkan, karena Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dipandang sudah tidak dapat mengikuti dan memenuhi perkembangan perekonomian dan dunia usaha yang sangat pesat dewasa ini. Perseroan terbatas pada intinya adalah badan usaha berbentuk badan hukum yang modalnya terdiri dari saham-saham. Kekayaan perseroan terpisah dari kekayaan pribadi para pengurusnya dan bahwa pemegang saham hanya bertanggungjawab sebesar nilai saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris. Peran ketiga organ perseroan inilah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam bagian ini.

1. Konfigurasi Lembaga Pengambil Kebijakan di Perseroan Terbatas

Terdapat tiga macam lembaga pengambil kebijakan dalam struktur organisasi perseroan terbatas. Pertama, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Lembaga ini mengeluarkan berbagai kebijakan yang bersifat fundamental atau

mendasar dalam penyelenggaraan perseroan. Kedua, Direksi. Lembaga ini mengeluarkan berbagai kebijakan yang terkait dengan fungsi pengurusan perseroan. Ketiga, Komisaris. Lembaga ini mengeluarkan kebijakan yang terkait dengan fungsi pengawasan terhadap jalannya perseroan.

RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris. RUPS diadakan sedikitnya setahun sekali dalam waktu tidak lebih dari enam bulan setelah tahun buku. Setiap pemegang saham berhak untuk mengikuti RUPS. Akan tetapi, RUPS hanya bisa diselenggarakan apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, kecuali ditentukan lain dalam UU atau Anggaran Dasar. Setiap saham memiliki 1 (satu) hak suara, kecuali Anggaran Dasar menentukan lain.

Direksi adalah organ perseroan yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar. Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat, perseroan yang

Page 54: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 50 Volume 3, Nomor 1, April 2005

menerbitkan surat pengakuan utang atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi. Orang yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, atau orang yang pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan. Anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseroan apabila:

a. terjadi perkara di depan pengadilan antara perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau

b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan perseroan.

Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan. Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang, atau Perseroan Terbuka wajib

mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang Komisaris. Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS, Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu.

Terdapat banyak doktrin untuk mendorong ketiga organ perseroan tersebut agar dapat membawa perseroan tumbuh dengan sehat dan membawa manfaat bagi masyarakat. Salah satunya adalah Doktrin Oportunitas Perseroan. Doktrin ini mengajarkan bahwa pemegang saham, direksi, komisaris, atau pegawai perseroan tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi manakala tindakan yang dilakukannya tersebut sebenarnya merupakan perbuatan yang semestinya dilakukan oleh perseroan dalam menjalankan bisnisnya itu.6 Doktrin ini penting karena ketiga organ tersebut memiliki wewenang yang sangat besar dan sangat menentukan jalannya perseroan.

6 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern

Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 224.

Page 55: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 51 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Dalam tabel perbandingan wewenang antara RUPS, Komisaris, dan Direksi yang dipaparkan di bawah ini terlihat jelas bahwa RUPS memiliki kekuasaan yang paling besar. Akan tetapi, dalam pengambilan keputusan sehari-hari RUPS jauh lebih kecil peranannya jika dibandingkan dengan peranan Direksi. Selain itu jalannya RUPS sangat bergantung pada siapa yang memegang saham paling

banyak. Dengan kata lain yang terpenting adalah kuantitas saham dan bukan kuantitas pemegang saham, karena hak suara ditentukan oleh berapa banyak saham yang dimiliki. Oleh karena itu, biasanya para pemegang saham terbesar mengendalikan perseroan melalui pemilihan anggota Direksi dan Komisaris.

Tabel Perbandingan Wewenang RUPS, Komisaris, dan Direksi7

Lembaga Wewenang RUPS 1. Merubah Anggaran Dasar

2. Membeli kembali saham yang telah dikeluarkan 3. Menambah modal perseroan 4. Pengurangan modal perseroan 5. Persetujuan laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan 6. Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah tertentu dari laba bersih untuk cadangan 7. Memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan dari Direksi dan Komisaris 8. Memutuskan penggabungan, peleburan, pengambil alihan, kepailitan dan pembubaran perseroan 9. Mengangkat anggota direksi 10. Menetapkan pembagian tugas dan wewenang setiap anggota Direksi serta besar dan jenis

penghasilan Direksi 11. Persetujuan untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar

kekayaan perseroan 12. Persetujuan pengajuan permohonan pailit 13. Memberhentikan anggota direksi 14. Mengangkat komisaris 15. Memberhentikan anggota komisaris 16. Persetujuan rancangan penggabungan atau peleburan perseroan 17. Membubarkan perseroan 18. Segala wewenang lain yang tidak diberikan kepada Direksi atau Komisaris dalam batas yang

ditentukan dalam UU Perseroan Terbatas dan atau Anggaran Dasar

Komisaris 1. Mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepada Direksi.

2. Jika diatur dalam Anggaran Dasar, dapat memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.

3. Menandatangani laporan tahunan 4. Jika diatur dalam Anggaran Dasar, dapat memanggil pemegang saham untuk menyelenggarakan

RUPS Direksi 1. Melakukan kepengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan

2. Mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan

7 Disarikan dari UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Page 56: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 52 Volume 3, Nomor 1, April 2005

3. Membuat dan memelihara Daftar Pemegang Saham, risalah RUPS, dan risalah rapat Direksi 4. Menyelenggarakan pembukuan perseroan 5. Mendaftarkan perseroan dalam Daftar Perusahaan 6. Memberitahukan keputusan RUPS yang mengurangi modal perseroan kepada kreditur dan

mengumumkannya dalam Berita Negara dan 2 surat kabar harian 7. Mencatat pemindahan hak atas saham atas nama, tanggal dan hari pemindahan hak tersebut dalam

Daftar Pemegang Saham atau Daftar Khusus 8. Menyusun laporan tahunan 9. Menandatangani laporan tahunan 10. Untuk perseroan tertentu harus menyerahkan perhitungan tahunan perseroan kepada akuntan

publik untuk diperiksa 11. Pemanggilan kepada pemegang saham untuk menyelenggarakan RUPS 12. Mengajukan permohonan ke RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau

sebagian besar kekayaan perseroan 13. Mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar perseroan dinyatakan pailit berdasarkan

keputusan RUPS 14. Menyusun rencana penggabungan atau peleburan perseroan 15. Mengajukan usul pembubaran perseroan kepada RUPS

Ketiga organ perseroan tersebut pada dasarnya terbentuk untuk melayani kepentingan perseroan. Pengertian dari kepentingan perseroan pada dasarnya dapat dilihat dengan memahami terlebih dahulu kedudukan perseroan terbatas sebagai salah satu bentuk badan usaha atau, dalam istilah sehari-hari, perusahaan. Secara yuridis pengertian perusahaan berakar pada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang khususnya pasal 6. Menurut penyusunnya,

”Perusahaan itu dianggap ada, apabila pihak yang berkepentingan bertindak secara terus menerus dan terang-terangan dalam kedudukan tertentu untuk

memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri.”8

Molengraf mengemukakan bahwa pengertian tersebut adalah pengertian ekonomis. Artinya suatu perusahaan ialah lembaga yang terus menerus bertindak keluar untuk memperoleh keuntungan dengan memperdagangkan atau menyerahkan benda-benda atau jasa-jasa.9

Berdasarkan pengertian perusahaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kepentingan perseroan adalah untuk menghasilkan keuntungan ekonomis. Artinya jika keuntungan ekonomis dipandang tidak dapat diperoleh, maka perseroan seharusnya tidak

8 Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 102-104.

9 Ibid.

Page 57: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 53 Volume 3, Nomor 1, April 2005

perlu ada atau dipertahankan. Eksistensi perseroan bergantung pada seberapa besar keuntungan ekonomis yang bisa dihasilkannya. Inilah paradigma mendasar yang menjadi pijakan RUPS, Direksi, dan Komisaris dalam mengambil keputusan. Paradigma yang pada akhirnya melahirkan sistem ekonomi kapitalistik yang berujung pada banyaknya penindasan dan penghisapan antar sesama umat manusia.

2. Kedudukan Dewan Pengawas Syariah

Bagi bank syariah yang berbentuk perseroan terbatas, organisasinya mengacu pada ketentuan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Hal tersebut berarti bahwa dalam sebuah bank syariah kekuasaan tertinggi ada pada RUPS, pengurusan dilaksanakan oleh Direksi, dan pengawasan terhadap Direksi dilaksanakan oleh Komisaris. Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Dewan Komisaris sekurang-kurangnya berjumlah dua orang dan masing-masing wajib memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang perbankan. Direksi sekurang-kurangnya berjumlah tiga orang. Mayoritas dari anggota direksi

wajib berpengalaman dalam operasional bank sekurang-kurangnya satu tahun sebagai pejabat eksekutif pada bank dan bagi yang belum berpengalaman wajib mengikuti pelatihan perbankan syariah.

Perbedaannya dengan perseroan terbatas lainnya, dalam struktur organisasi bank syariah wajib ada sebuah lembaga yang bernama Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS berkedudukan di kantor pusat dan fungsinya ialah mengawasi kegiatan usaha Bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Dalam melaksanakan fungsinya DPS wajib mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).

Berbeda dengan pengaturan untuk Komisaris dan Direksi, jika diperbandingkan, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, tidak mengatur secara rinci kekuasaan DPS. Ketentuan umum dalam SK Direksi tersebut jelas menyebutkan bahwa pengertian Komisaris dan Direksi disini mengacu pada pengaturan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Artinya dasar hukum pengaturan Komisaris dan Direksi jauh lebih komplit dan lebih kuat daya ikat dan keberlakuannya jika dibandingkan dengan pengaturan terhadap DPS.

Page 58: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 54 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Tabel Perbandingan Pengaturan Kelembagaan di Bank Syariah10

Kategori Komisaris Direksi DPS

Wewenang 1. Menjalankan kepengurusan bank

2. Mengacu pada UU PT

1. Menjalankan kepengurusan bank

2. Mengacu pada UU PT

1. Mengawasi kegiatan usaha bank agar sesuai dengan prinsip syariah

2. Melakukan fungsi pengawasan dengan berpedoman pada fatwa Dewan Syariah Nasional

Persyaratan Keanggotaan

1. Tidak termasuk dalam daftar orang tercela

2. Memiliki kemampuan dalam menjalankan tugasnya

3. Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas yang baik

1. Tidak termasuk dalam daftar orang tercela

2. Memiliki kemampuan dalam menjalankan tugasnya

3. Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas yang baik

Ditetapkan Dewan Syariah Nasional

Jumlah Anggota Sekurang-kurangnya 2 orang Sekurang-kurangnya 3 orang Tidak diatur

Pengangkatan Wajib disetujui terlebih dahulu oleh Bank Indonesia

Wajib disetujui terlebih dahulu oleh Bank Indonesia

Tidak diatur

10 Disarikan dari Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei

1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.

Page 59: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 55 Volume 3, Nomor 1, April 2005

DPS adalah istilah resmi yang digunakan di Indonesia. Di luar negeri istilah tersebut berbeda-beda. Selain

itu jumlah anggota DPS pun berbeda-beda. Adapun perbandingan tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Tabel Perbandingan Peristilahan dan Jumlah Anggota DPS11

Nama Bank Istilah Anggota

BEBERAPA BANK SYARIAH DI LUAR NEGERI

Al-Baraka Islamic Investment Bank Shariah Committee 3

Bank Islam Malaysia Berhad Shariah Supervisory Council 6

Beit Ettamwil Tounsi Saudi Tunisia Shariah Advisor 1

Dubai Islamic Bank Shariah Supervisory Board 3

Faisal Islamic Bank of Bahrain Religious Supervisory Board 4

Islamic Bank Bangladesh Limited Shariah Council 10

Islamic Bank of Bahrain Religious Control Committee 6

Islamic Co-op Dev Bank of Sudan Shariah Supervisory Board 2

Jordan Islamic Bank Shariah Supervisory Committee 3

Kuwait Finance House Fatwa & Shariah Supervisory Authority Board 6

BEBERAPA BANK SYARIAH DI INDONESIA

Bank Muamalat Indonesia Dewan Pengawas Syariah 4

Bank Syariah Mandiri Dewan Pengawas Syariah 4

Bank IFI (Unit Usaha Syariah) Dewan Pengawas Syariah 3

Bank DKI (Unit Usaha Syariah) Dewan Pengawas Syariah 3

BPD Riau (Unit Usaha Syariah) Dewan Pengawas Syariah 3

Bank Niaga (Unit Usaha Syariah) Dewan Pengawas Syariah 3

Bank Permata (Unit Usaha Syariah) Dewan Pengawas Syariah 2

11 Disarikan dari berbagai sumber.

Page 60: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 56 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Secara umum tugas DPS adalah untuk mendiskusikan masalah-masalah dan transaksi bisnis yang dihadapkan kepadanya, sehingga dapat ditetapkan kesesuaian atau ketidaksesuaiannya dengan syariah Islam. Wewenang DPS adalah:

a. Memberikan pedoman atau garis-garis besar syariah baik untuk pengerahan maupun untuk penyaluran dana serta kegiatan bank lainnya,

b. Mengadakan perbaikan seandainya suatu produk yang telah atau sedang dijalankan dinilai bertentangan dengan syariah.

Perwataatmadja dan Antonio mengemukakan bahwa anggota DPS seharusnya terdiri dari Ahli Syariah, yang sedikit banyak menguasai hukum dagang positif dan cukup terbiasa dengan kontrak-kontrak bisnis. Untuk menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat maka harus diperhatikan hal-hal tersebut di bawah ini:

a. Mereka bukan staf bank, dalam arti mereka tidak tunduk di bawah kekuasaan administratif,

b. Mereka dipilih oleh Rapat Umum Pemegang Saham,

c. Honorarium mereka ditentukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham,

d. DPS mempunyai sistem kerja dan tugas-tugas tertentu seperti halnya Badan Pengawas lainnya.12

Dengan berkembangnya perbankan syariah di Indonesia maka berkembang pula jumlah DPS. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kebingungan di kalangan umat islam akibat banyak dan beragamnya DPS, pada bulan Juli 1997 dibentuklah Dewan Syariah Nasional. Lembaga ini merupakan badan otonom MUI yang diketuai secara ex-officio oleh Ketua MUI. Sedangkan, untuk kegiatan sehari-hari dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Harian DSN. Bagi perusahaan yang akan membuka bank Syariah atau cabang syariah dari bank konvensional atau lembaga keuangan syariah lainnya, mereka harus mengajukan rekomendasi anggota DPS kepada DSN.

Berdasarkan laporan DPS pada masing-masing lembaga keuangan, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia berpendapat jika lembaga yang bersangkutan tidak mengindahkan teguran yang

12 Karnaen Perwataatmadja dan

Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Jogjakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1992), hlm. 2-4.

Page 61: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 57 Volume 3, Nomor 1, April 2005

diberikan, DSN dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk memberi sanksi.13

Berkait dengan peran DPS, KH Didin Hafidhuddin mengatakan penting saat ini untuk mendorong independensi DPS sekaligus memperkuat peranannya. ''Hal itu penting agar DPS dapat berperan lebih optimal,'' tandas Didin yang juga anggota Dewan Syariah Nasional (DSN). Dalam kesempatan tersebut, dia juga menegaskan, pentingnya kepatuhan pada prinsip syariah (shari'ah compliance) bagi bank syariah. ''Beberapa yang harus dibenahi lagi adalah memenuhi kebutuhan kualitas SDM DPS, pentingnya audit syariah dan internal shariah review.”14

C. Optimalisasi Peran Dewan Pengawas Syariah

Tugas DPS sebagai pengawas kegiatan usaha Bank agar senantiasa sejalan dengan prinsip syariah adalah sebuah tugas yang sangat berat. Terlebih lagi apabila mengingat tidak adanya aturan hukum yang cukup jelas mengenai kewenangan

13 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep. Produk, dan Implementasi Operasional, (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm. 28-29.

14 Ekonomi Syariah [dot] Org, Bank Syariah Butuh GCG (Good Corporate Governance) Khusus, http:// http://www.ekonomisyariah.org/docs/detail_berita.php?idberita=87

pengawasan tersebut. Tugasnya yang berat tampaknya akan semakin berat dalam pelaksanaannya, karena tidak diimbangi dengan pengaturan yang lebih rinci. Tidak ada aturan mengenai tata hubungan yang jelas antara DPS, Komisaris, dan Direksi.

Hasil pengawasan DPS pun tidak jelas status hukumnya. Tidak ada jaminan bahwa hasil pengawasannya dapat mengikat Direksi, karena hasil pengawasannya bersifat rekomendatif. Oleh karena itu, tampaknya akan jauh lebih baik, apabila Bank Indonesia mengeluarkan aturan yang lebih rinci mengenai DPS. Selain itu, berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh DSN juga sebaiknya dicoba untuk diformalkan dalam peraturan yang berlaku di kalangan Bank Indonesia. Hal ini disebabkan MUI bukanlah lembaga negara yang punya kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat publik. Sedangkan, di sisi yang lain Bank Indonesia adalah lembaga negara yang memiliki kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, perlu diupayakan suatu pola hubungan antara Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional (DSN) dimana DSN sebagai perumus substansi atau materi pengaturan dan Bank Indonesia sebagai lembaga yang akan memformalkan materi tersebut sesuai dengan tata

Page 62: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 58 Volume 3, Nomor 1, April 2005

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Jika hal tersebut dimungkinkan, peran DPS tampaknya akan lebih optimal dalam penyelenggaraan bank syariah.

Sebagai perseroan terbatas kepentingan bank syariah pada dasarnya sama dengan badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas lainnya, yaitu menghasilkan keuntungan ekonomis. Nilai materialisme yang begitu kental dalam konsep keberadaan perseroan terbatas tersebut pada dasarnya untuk beberapa hal tidak sejalan dengan prinsip syariah. Sebagai sebuah paradigma spiritualis, prinsip-prinsip syariah bertujuan untuk membantu manusia tidak hanya memperoleh kebaikan di dunia, tetapi yang terpenting adalah untuk memperoleh kebaikan di akhirat. Pada konteks ini, umumnya dipahami bahwa manusia akan memperoleh kebaikan di akhirat apabila Tuhan ridha dengan dirinya.

Berdasarkan paradigma tersebut seharusnya kepentingan bank syariah tidak bisa semata-mata hanya menghasilkan keuntungan ekonomis. Kepentingan utama penyelenggaraan bank syariah adalah untuk mencari keridhaan Tuhan. Artinya keberadaan bank syariah tidak semata-mata ditentukan oleh besar kecilnya keuntungan yang dihasilkan. Jika penyelenggaraan bank syariah hanya terfokus pada

upaya untuk menghasilkan keuntungan ekonomis, maka bank syariah telah menjadi salah satu penopang sistem ekonomi kapitalistik dan itu artinya bank syariah ikut bertanggungjawab atas ekploitasi dan penghisapan antar manusia yang lahir sebagai konsekuensi dari sistem tersebut.

Fungsi DPS sebagai pengawas memiliki kesamaan dengan fungsi Komisaris. Bedanya, kepentingan Komisaris dalam melakukan fungsinya adalah memastikan bank selalu menghasilkan keuntungan ekonomis. Tetapi, kepentingan DPS semata-mata hanya untuk menjaga kemurnian ajaran islam dalam praktek perbankan. Karena itu, kedudukan DPS dan Komisaris sebenarnya punya potensi besar melahirkan konflik, sebab DPS harus berpihak pada kemurnian ajaran islam walaupun itu bisa membuat perusahaan kehilangan keuntungan. Sedangkan di sisi lain, Komisaris harus berpihak pada keuntungan, walaupun itu artinya harus menyimpangi syariah. Oleh karena itu, agar DPS bisa berperan optimal tampaknya perlu ada ketegasan dalam Anggaran Dasar bank syariah bahwa tujuan penyelenggaraan bank syariah adalah untuk memperoleh ridha Allah dan bahwa itu harus menjadi prinsip dasar pengelolaan bank syariah. Dapat pula dibuat semacam aturan yang agak rinci

Page 63: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 59 Volume 3, Nomor 1, April 2005

mengenai pelanggaran prinsip syariah dan sanksi yang dapat dijatuhkan.

D. Penutup

Dewan Pengawas Syariah adalah lembaga yang khas dimiliki oleh bank syariah. Tugasnya sangat berat yaitu sebagai pengawas kegiatan usaha Bank agar senantiasa sejalan dengan prinsip syariah. Dalam menjalankan tugas tersebut adalah sangat penting untuk membekali DPS dengan wewenang yang cukup dan membuat aturan yang rinci mengenai kedudukannya. Hal tersebut akan membuat prinsip good corporate governance lebih mudah diterapkan dalam DPS.

Pada kenyataannya, pengaturan DPS yang ada sekarang sangat minim. Hal ini terlihat sekali apabila pengaturan untuk DPS dibandingkan dengan pengaturan untuk RUPS, Komisaris, dan Direksi. Tanpa ada pengaturan yang cukup rinci, DPS tampaknya tidak dapat optimal dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Bahkan bukan tidak mungkin, DPS

hanya menjadi lembaga stempel saja. Artinya DPS menjadi lembaga yang membuat seolah-olah semua produk bank telah sesuai syariah, padahal pada kenyataannya tidak. Ini sangat berbahaya karena mereka adalah otoritas yang menentukan kesesuaian penerapan hukum islam dalam operasional perbankan. Untuk mencegah hal tersebut aturan mengenai DPS tidak hanya perlu, melainkan sangat mendesak sifatnya.

Pada akhirnya kunci optimalisasi DPS ada pada kebijaksanaan Bank Indonesia. Kedudukan DPS dan tata cara kerjanya dalam penyelenggaraan bank syariah harus diatur dalam peraturan yang berlaku di Bank Indonesia. Segala fatwa yang dibuat DSN yang menjadi acuan kerja DPS sebisa mungkin juga harus diperjuangkan untuk diadopsi dalam Peraturan Bank Indonesia, dengan demikian fatwa tersebut akan memiliki daya laku dan daya ikat yang lebih kuat. Semoga hal tersebut dapat mendorong optimalisasi DPS dalam penyelenggaraan bank syariah.

***

Page 64: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 60 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Daftar Pustaka

Ali, Chidir, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 102-104.

Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah – November 2004, http:// http://www.bi.go.id/web/id/Riset+Survey+Dan+Publikasi/Publikasi/Statistik+Perbankan+Syariah/sps+november+2004.htm, diakses pada 22 Februari 2005.

Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.

Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 85, sebagaimana mengutip Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta, Gema Insani Press, 2001).

Ekonomi Syariah [dot] Org, Bank Syariah Butuh GCG (Good Corporate Governance) Khusus,http:// http://www.ekonomisyariah.org/docs/detail_berita.php?idberita=87

Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 224.

Indonesia, UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Liputan 6 SCTV, MUI: Bunga Bank Riba, http:// http://www.liputan6.com/fullnews/68337.html, diakses pada 23 Februari 2005.

Mutasowifin, Ali, Menggagas Strategi Pengembangan Perbankan Syariah di Pasar Non Muslim, http://www.paramadina.ac.id/html/research/312-ali.pdf, diakses pada 18 Februari 2005.

Perwataatmadja, Karnaen dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Jogjakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1992), hlm. 2-4.

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep. Produk, dan Implementasi Operasional, (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm. 28-29.

Yafie, Ali, Fiqih Perdagangan Bebas, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 203.

Page 65: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 61 Volume 3, Nomor 1, April 2005

RESENSI BUKU

Judul : BANK SYARIAH DARI TEORI KE PRAKTIK Penulis : Muhammad Syafi’i Antonio Penerbit : Gema Insani Press Oleh : Musliha, S.H., LL.M

Dengan terbitnya buku Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, diharapkan permasalahan perbankan khususnya persoalan pilihan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat dapat terjawab, yaitu antara lain mengenai halal-haramnya bunga. Menurut penulis, mengingat sudah cukup lamanya sebagian masyarakat menginginkan sistem perekonomian yang berbasis kepada nilai-nilai dan prinsip syariah (Islamic economic system) untuk dapat diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi di masyarakat.

Buku ini dibagi menjadi 6 Bagian dan terdiri dari 21 bab. Pada bagian pertama buku ini diuraikan mengenai Islam sebagai suatu sistem hidup yang lengkap dan universal yang mengatur dan memberikan arahan yang dinamis dan lugas ke semua aspek kehidupan, termasuk bisnis dan transaksi keuangan. Perbankan Islam merupakan sub-unit dari unit finansial, demikian halnya dengan unit finansial merupakan bagian dari sub-sistem ekonomi, sedangkan sub-sistem ekonomi merupakan bagian integral dari sistem Islam yang maha

luas. Pembangunan sub–unit perbankan tidak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan dari unit-unit dan sub-sub sistem lainnya, seperti pendidikan (tarbiyah) dan politik. Pada bagian ini juga dijelaskan perkembangan bank syariah di dalam negeri dan di luar negeri (misilanya Pakistan, Mesir, Siprus, Kuawait, Bahrain). Juga diuraikan mengenai perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah. Salah satu perbedaannya adalah pada bank syariah ada Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang antara lain bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan prinsip syariah; membuat pernyataan secara berkala bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan prinsip syariah dan meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya.

Sayangnya pada bagian pertama ini, penulis kurang detail menguraikan perkembangan praktik bank syariah baik di dalam

Page 66: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 62 Volume 3, Nomor 1, April 2005

maupun di luar negeri karena terlalu banyaknya negara yang dijadikan sample. Akan lebih baik seandainya penulis mengambil perkembangan praktik satu atau dua negara di luar negeri sehingga uraian/penjelasan mengenai praktik bank syariah di luar negeri dapat lebih rinci begitupun halnya dengan perkembangan bank syariah di dalam negeri. Sehingga ada kesesuaian antara isi dengan judul buku ini ”Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Baik sekali, apabila dalam bagian ini diuraikan mengenai hubungan antara DPS dengan Otoritas Pengawasan Bank (BI) dari sudut pandang DPS sebagai lembaga yang memberikan ”stempel halal” bagi produk bank syariah dan BI yang concern dengan prudential banking bagi suatu bank dalam opeasionalnya dalam menjaga kesehatan bank, baik individual bank maupun sistem perbankan.

Pada bagian kedua buku ini, diuraikan mengenai pertentangan antara riba dan bunga bank. Menurut penulis, tiga agama besar (Islam, Yahudi dan Kristen) sepakat bahwa riba adalah perbuatan yang dilarang dan pengambilan bunga uang telah memenuhi seluruh kriteria ketidakadilan riba. Adanya kekurangtegasan pendapat sebagian Ulama dan Ormas Islam dalam menjawab pertentangan antara riba dan bunga bank menurut penulis didasari oleh 4 hal, yaitu kurang komprihensifnya informasi yang sampai ke ulama dan ormas Islam;

kurang dipahaminya nash-nash qur’anidan Sunnah Nabawiyah yang berkaitan dengan riba; belum berkembang luasnya lembaga keuangan syariah dan adanya ”kemalasan intelektual” di kalangan ulama terhadap praktik ”pembungaan uang”. Pada bagian ini cukup banyak diangkat dasar hukum (ayat Alquran) dan teori-teori yang digunakan untuk menjelaskan persoalan riba. Isi bagian kedua buku ini, sangat baik sekali bagi pembaca yang ingin mendalami hal ini.

Di bagian ketiga buku ini, dibahas prinsip-prinsip dasar perbankan syariah, pengertian secara umum dari masing-masing prinsip dan produk-produk yang berada dibawah landasan syariah dari Alquran, As Sunnah, ijma dan qiyas; aplikasi dalam perbankan syariah dan manfaat yang mungkin diperoleh dari transaksi tersebut. Sayangnya pada bagian ini penulis tidak menguraikan bagaimana praktik-praktik yang dilakukan sekarang oleh bank syariah yang ada di dalam maupun di luar negeri sehingga pembahasan pada bagian ini cenderung lebih teoritis sifatnya.

Pada bagian Keempat buku ini dikupas mengenai sistem operasional dan aplikasi akad-akad syariah dalam perbankan, baik yang berkaitan dengan produk penghimpunan dana maupun pembiayaan. Dijelaskan

Page 67: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 63 Volume 3, Nomor 1, April 2005

juga mengenai profit sharing, yang merupakan karakteristik dasar dari sebuah bank syariah, bagaimana penghimpunan dana bersumber dari modal, sistim titipan, dan dari investasi. Namun uraian mengenai praktik mengenai operasional dan aplikasi yang berlaku di bank syariah cenderung kurang diuraikan secara gamblang. Namun demikian, uraian dalam bagian ini berkaitan dengan Pilar 1 Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang membahas struktur permodalan suatu bank.

Bagian kelima buku ini, membahas aspek pendukung sistem perbankan syariah secara umum, antara lain money market, asset-liability management dan foreign exchange. Pada bagian ini juga dibahas mengenai aspek akuntansi audit & control dalam perbankan syariah dan membahas fungsi, peran dan mekanisme badan penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank. Bahwa pembentukan lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata diantara bank-bank syariah dengan nasabah-nasabah sangat mendesak mengingat kehadiran bank syariah dengan segala kegiatannya merupakan sesuatu yang legal (berdasarkan UU perbankan). Pada bagian kelima ini pemikiran-pemikiran penulis sangat baik karena didukung dengan dasar hukum dan argumen untuk membentuk lembaga penyelesaian sengketa yang bersifat

permanen diantara bank-bank syariah dengan nasabah-nasabah. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan pembentuk Arsitektur Perbankan Indonesia (API), khususnya pada Pilar keenam, yaitu pembentuk lembaga yang menyelesaikan sengketa antara bank dan nasabah.

Bagian penutup buku ini, yaitu bagian keenam, menguraikan peran ulama dan umara dalam pengembangan perbankan syariah dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan bank syariah di Indonesia serta peran ulama untuk pengembangan dan sosialisasi mengenai perbankan syariah.

Secara garis besar, teori-teori yang disajikan cukup komprehensif, namun informasi mengenai penerapan teori–teori tersebut dalam praktik, terutama untuk bank syariah yang ada di Indonesia belumlah rinci. Diharapkan buku ini akan dicetak ulang dengan revisi sehingga harapan penulis bahwa buku ini dapat menjawab permasalahan perbankan khususnya persoalan pilihan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat dapat terjawab dan dapat memberikan kontribusi bagi para pembuat kebijakan untuk diterapkan dan dilakukan oleh perbankan syariah di Indonesia.

Page 68: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 64 Volume 3, Nomor 1, April 2005

PENGHAPUSTAGIHAN PORSI KLBI DALAM KREDIT PROGRAM DI DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN

NIAS SUMATERA UTARA Oleh : Biro Kredit

Sebagaimana diketahui bahwa bencana gempa bumi dan badai tsunami di Nanggroe Aceh Darrusalam (NAD) yang telah mengorbankan ratusan ribu jiwa telah mengundang rasa keprihatinan dan kepedulian masyarakat. Hal tersebut tercermin dari antusias masyarakat yang ikut menyumbangkan dananya maupun dari kesediaan masyarakat yang menjadi relawan di NAD dan Nias Sumut

Rasa kepedulian tersebut tidak hanya datang dari masyarakat Indonesia saja, namun bantuan dari luar negeri pun berdatangan bahkan beserta peralatan dan personilnya untuk melakukan penyelamatan dan pencarian korban. Dan dari negara-negara kreditur ingin ikut pula berpartisipasi meringankan beban bangsa ini dengan menawarkan moratorium pembayaran utang luar negeri Indonesia.

KEBIJAKAN BANK INDONESIA

Seperti kita saksikan lewat media bahwa bencana gempa bumi dan badai tsunami di NAD tersebut selain telah menelan korban jiwa juga telah meluluh lantakkan sarana dan prasarana fisik sehingga hampir sebagian besar tidak dapat

dipergunakan lagi atau perlu rekonstruksi ulang. Begitu pula

dengan kondisi pada sektor perbankan, selain rusaknya infrasuktur perbankan juga telah terjadi potensial lost dari kredit yang diberikan di NAD dan Nias Sumut.

Dalam rangka membantu meringankan beban dari perbankan dan masyarakat yang tertimpa musibah, dan harapan di masa yang akan datang dapat dilakukan perbaikan dan pemulihan terhadap perekonomian di daerah NAD dan Nias Sumut, BI sesuai hasil RDG tanggal 28 Desember 2004 telah mengambil kebijakan untuk memberikan perlakuan khusus bagi penyedia dana yang dilakukan perbankan di daerah tersebut.

Pokok-pokok kebijakan tersebut antara lain berupa : pengecualian penilaian kualitas aktiva produktif termasuk kredit, bagi debitur UKM dengan plafon maksimal Rp 5 milyar; penggolongan kualitas kredit menjadi Lancar dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah dilakukan restrukturisasi kredit; dan penghapustagihan porsi Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dari kredit program yang terkena bencana.

Page 69: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 65 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Terdapat beberapa kredit program yang disalurkan di NAD dan Nias Sumut yang sumber pendanaannya dari porsi KLBI dan porsi Bank. Kredit program tersebut terdiri dari skim PBSN (Kredit kepada Pengusaha Besar Swasta Nasional), PIR Trans (kredit dalam rangka pengembangan Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi), KKPA (Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya) dan KPRS (Kredit Pemilikan Rumah Sederhana) yang pemberiannya kepada Bank dengan pola executing bank. Adapula kredit program yang sumber pendanaannya seluruhnya dari KLBI seperti skim KUT (Kredit Usaha Tani) dan KPKM (Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Mikro) yang pemberiannya kepada Bank dengan pola channeling bank. Perbedaan pola pemberian KLBI tersebut terletak pada pihak yang akan menanggung risiko kredit. Pada pola executing bank, pihak yang menanggung risiko kredit adalah Bank, sedangkan pada pola channeling bank, risiko kredit ada pada penangung/penjamin kredit (risk sharing).

Dengan adanya pemberian KLBI dengan pola executing bank tersebut menyebabkan posisi saldo kredit yang masih ditanggung oleh debitur porsi KLBI nya tidak sesuai lagi dengan porsi semula, bahkan mungkin terdapat kredit yang porsi KLBI nya sudah tidak ada lagi. Hal ini terjadi karena kolektibilitas pembayaran antara debitur kepada Bank berbeda dengan kolektibilitas

pembayaran Bank kepada BI yang selalu lancar (auto debet).

Dengan demikian kebijakan penghapustagihan porsi KLBI pada kredit program kemungkinan tidak dapat dirasakan oleh debitur apabila kredit tersebut sudah tidak ada lagi porsi KLBI nya. Agar kebijakan tersebut dapat dirasakan oleh debitur, penghapustagihan kredit harus dilakukan secara menyeluruh baik terhadap porsi dari KLBI maupun porsi dana yang berasal dari dana Bank. Oleh karena sebagian besar Bank penyalur kredit program di NAD adalah Bank Pemerintah, maka penghapustagihan porsi bank tersebut harus mendapat persetujuan dari Pemerintah, sebagaimana diatur dalam UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Demikian pula dengan KLBI yang diberikan dengan pola channeling bank, penghapustagihan kredit nantinya akan menjadi tanggungan penjamin risiko kredit melalui risk sharing.

Selain hal itu berdasarkan informasi dari Bank sebagian besar kredit program yang disalurkan di NAD dan Nias Sumut tersebut telah “macet” sebelum terjadinya bencana gempa bumi dan badai tsunami. Untuk itu kebijakan penghapustagihan kredit harus dilakukan secara kasus per kasus dan secara hati-

Page 70: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 66 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Seluruh RedaksiSeluruh RedaksiSeluruh RedaksiSeluruh Redaksi Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan

menyampaikan :menyampaikan :menyampaikan :menyampaikan :

Turut Berduka Cita yang sedalam-dalamnya atas terjadinya musibah gempa bumi dan tsunami yang dialami oleh

saudara-saudara kita di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, serta gempa bumi yang terjadi di Nias

Sumatera Utara

Semoga arwahnya diterima disisi Tuhan YME dan semoga diberikan ketabahan dan kekuatan iman bagi keluarga yang

ditinggalkan

hati sehingga kebijakan tersebut tidak menimbulkan dampak moral hazard di kemudian hari pada daerah bencana dan daerah lainnya.

TINDAK LANJUT YANG HARUS DILAKUKAN

Dengan kondisi di atas maka sebelum dilakukannya penghapustagihan porsi KLBI perlu diketahui jumlah kredit program yang terkena bencana dari hasil identifikasi yang sedang dilakukan oleh Bank. Pada saat yang bersamaan perlu dilakukan pula koordinasi dengan Pemerintah untuk mendapatkan kesepakatan penyelesaian kredit yang menjadi porsi Pemerintah, termasuk porsi Pemerintah dalam risk sharing pada KLBI pola channeling bank.

Semoga langkah–langkah tersebut di atas dapat berjalan dengan lancar sehingga niat baik untuk meringankan beban debitur yang terkena bencana dapat segera dirasakan.

Page 71: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 67 Volume 3, Nomor 1, April 2005

CAKRAWALA HUKUM

Oleh : Redaksi

Pada tanggal 22 Maret 2005 di Hotel Sofyan Betawi Menteng, Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi (LKHT) Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Direktorat Hukum Bank Indonesia menyelenggarakan seminar tentang Permasalahan Hukum Terkait Internet Banking dan Solusi Penyelesaiannya. Diskusi ini merupakan tindak lanjut dari kerjasama penelitian hukum antara Bank Indonesia dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Pusat Kajian Hukum Bisnis STIE Perbanas yang masing-masing berjudul “Rekonstruksi Hukum Dalam Menanggulangi Kejahatan Dunia Maya Di Bidang Perbankan” dan “Identifikasi Produk Berbasis E-Banking Sebagai Jasa Pelayanan Perbankan di Indonesia Dan Aspek Hukum Keperdataannya”.

Dalam keynote speechnya Prof. Hikmahanto Juwana, Dekan Fakultas Hukum UI, mengemukakan bahwa makin maraknya penggunaan internet banking diikuti pula oleh kejahatan di bidang internet banking. Di sisi lain terdapat kendala-kendala di bidang hukum yang mesti dihadapi dalam menyelesaikan kasus kejahatan tersebut. Sementara itu, dalam kata sambutannya, Ahmad Fuad, Deputi

Direktur Direktorat Hukum Bank Indonesia, mengemukakan

harapannya agar acara diskusi ini dapat memberikan masukan bagi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan RUU Transfer Dana.

Pembicara dalam seminar tersebut adalah Dyah NK Makijani, Prof. DR. Ahmad Ramli, Heru Nugroho, DR. Munawar Ahmad, Edmon Makarim, Komisaris Polisi Setiadi, Eddy OS Hiarij, Teddy Susanto, Arus Akbar Silondae.

Beberapa hal pokok yang dapat ditarik dari pembahasan antara lain:

- Isu-isu pokok yang harus dipertimbangkan dalam melakukan transaksi elektronik agar transaksi itu sah dan mempunyai kekuatan hukum, antara lain adalah adanya kepercayaan/itikad baik dalam transaksi serta aturan-aturan yang mengatur transaksi elektronik. Dalam hal ini data atau catatan yang ada pada para pihak, haruslah data yang dapat disimpan dan direproduksi secara akurat, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti.

- Dari kacamata teknologi, untuk memperkecil kerugian dan

Page 72: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 68 Volume 3, Nomor 1, April 2005

mencegah terjadinya pemyimpangan/kejahatan diperlukan pengamanan terhadap resources & assets yang meliputi pengamanan sistem, pengamanan jasa, mekanisme pengamanan, pengelolaan pengamanan dan pengamanan objek. Di samping itu perlu diperhatikan pula bahwa kerusakan/kegagalan dari sistem komputer sebagian besar diakibatkan oleh tindakan yang tidak benar/menyimpang yang dilakukan oleh “orang dalam” (pemakai legitimate), yaitu petugas internal atau manajemen bank.

- Persyaratan yang harus dipenuhi ditinjau dari segi keamanan internet banking adalah:

1) Confidentiality, informasi dikomunikasikan dan disimpan secara aman dan hanya dapat diakses oleh mereka yang berhak saja.

2) Integrity, informasi dikirimkan secara menyeluruh, lengkap dan dalam keadaan tidak berubah. Integritas suatu data tidak hanya karena suatu data benar, namun juga apakah data dapat dipercaya dan diandalkan.

3) Availability, sistem yang bertugas mengirimkan, menyimpan, dan memproses informasi dapat digunakan ketika dibutuhkan.

4) Authenticity, kepastian bahwa pihak, obyek, dan informasi adalah riil dan bukan palsu. Untuk itu, pihak yang terlibat, alat-alat, dan obyek yang dipertukarkan harus diotentikasi. Hal ini membutuhkan mekanisme seperti tanda tangan digital, password, dan hirarkhi sertifikasi.

5) Non-repudiation, kepastian bahwa pihak yang melakukan sebuah transaksi tidak dapat menolak, menyangkal sebuah transaksi yang telah dilakukannya.

- Dalam merancang sistem internet banking, penyedia layanan harus memberikan prioritas utama pada keamanan. User perlu diberi informasi mengenai ancaman potensial pada sistem dan panduan sistem keamanan. Perbankan perlu meningkatkan keamanan internet banking antara lain melalui standarisasi pembuatan aplikasi internet banking (misalnya user interface yang mudah dipahami), adanya panduan bila terjadi fraud dalam internet banking, dan pemberian informasi yang jelas kepada user. Sementara itu Bank Indonesia dalam menjaga keamanan system pembayaran, seperti Real

Page 73: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 69 Volume 3, Nomor 1, April 2005

Time Gross Settlement (RTGS) yang transaksi per harinya mencapai triliunan rupiah, menggunakan system delivery channel yang tertutup.

- Terjadinya internet fraud, terutama karena kelemahan pada sistem dan jaringan, serta pada sistem operasi dan prosedur. Upaya meminimalisasi internet fraud melalui pendekatan aspek regulasi dan hukum serta sistem pendeteksian keamanan. Langkah yang ditempuh oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet melalui koordinasi rutin dengan kepolisian, membuka email account khusus untuk menampung laporan abuse dan pelanggaran, serta menyepakati sebuah standar bagi ISP yang terkait dengan langkah-langkah antisipasi terhadap spam dan abuse network

- Terkait dengan hacker, cracker, dan carder yang memasuki sistem komputer dengan tujuan berbeda-beda (sekedar ingin tahu, merusak, atau melakukan penipuan), maka pengaturannya dapat mengacu pada aturan tentang trespassing; dalam hal ini seseorang dapat telah dianggap melanggar hukum meskipun belum melakukan kejahatan. Kegiatan trespassing di dunia maya relatif lebih sulit untuk dibuktikan dibandingkan di dunia nyata.

- Secara internasional, dalam rangka menanggulangi cyber crime, PBB telah menghimbau negara anggotanya untuk mengintensifkan upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer secara lebih efektif dengan cara melakukan modernisasi hukum pidana materiil dan formil, serta mengembangkan tindakan pencegahan dan pengamanan komputer. Penanggulangan cyber crime dalam konteks internasional perlu mendapat perhatian mengingat kejahatan ini adalah kejahatan dimensi baru yang bersifat transnasional. Terkait dengan hukum formil, tidak hanya masalah pembuktian yang perlu mendapat perhatian, tetapi juga yurisdiksi pengadilan yang berhak mengadili jika terjadi kejahatan lintas negara.

- Dari sisi dalam negeri, sambil menunggu cyber law yang komprehensif, perlu dilakukan penambahan ketentuan dalam KUHP yang menyangkut pencurian, penipuan, pemalsuan, maupun perusakan guna diaplikasikan menanggulangi cyber crime yang modus operandinya terus berkembang. Hingga saat ini ketentuan yang dapat digunakan terhadap pelaku cyber crime adalah pasal-pasal tentang penggelapan,

Page 74: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 70 Volume 3, Nomor 1, April 2005

penipuan, penadahan, serta ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Money Laundering.

- Berkaitan dengan sistem pembuktian yang berlaku di Indonesia, maka untuk membuktikan kejahatan maya yang sulit pembuktiannya, kiranya perlu digunakan cara pembuktian yang mudah. Dasar pembuktian yang sebaiknya digunakan adalah conviction intime, atau setidaknya conviction raisonee. Conviction intime artinya untuk menjatuhkan putusan, hakim hanya berdasar pada keyakinan semata tanpa dipengaruhi oleh alat bukti. Sedangkan conviction raisonee berarti dasar pembuktian adalah keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atau alasan yang logis. Terhadap kejahatan dunia maya ini, aparat penegak hukum seyogianya berupaya menanggulanginya dengan menggali hukum yang senantiasa hidup dan tumbuh dalam masyarakat, dan tidak beralasan “tidak ada hukumnya”.

- Kendala utama yang dihadapi oleh kepolisian dalam menangani cyber crime di bidang perbankan justru datang dari prosedur dan birokrasi yang rumit dari bank sendiri.

- Akibat non-materiil yang ditimbulkan dari cyber crime termasuk kejahatan kartu kredit adalah banyaknya transaksi dari

Indonesia yang ditolak, yang tidak langsung mempengaruhi perekonomian negara serta citra bangsa di pergaulan antar bangsa, dan mengakibatkan kepercayaan masyarakat serta dunia usaha akan turun, sehingga mereka mencari cara bertransaksi yang lain yang terjamin keamanannya. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan produk e-banking Indonesia.

- Dalam rangka meningkatkan kemampuan penyidik dalam penanganan cyber crime, Polri di tingkat nasional memberikan penataran, mengikuti kursus, seminar dan workshop. Kemudian membentuk wadah CERT Nasional (Computer Emergency and Response Team) dan Pengamanan Jaringan Infrastruktur. Hambatan non-teknis yang dihadapai Polri dalam proses penyidikan antara lain: mendatangkan saksi korban, terutama bila korban berada di luar negeri. Disamping itu, alat bukti elektronik atau digital electronic evidence mudah hilang atau dihilangkan, serta masyarakat masih awam tentang cara yang efektif dan efisien dalam mengamankan barang bukti elektronik tersebut. Sedangkan hambatan teknisnya antara lain: besarnya biaya untuk membeli dan menyiapkan

Page 75: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 71 Volume 3, Nomor 1, April 2005

peralatan yang diperlukan dalam penyelidikan, dan besarnya biaya penyidikan. Disamping itu mengingat pelaku kejahatan sering menggunakan tempat umum (seperti warnet atau café net) untuk bertransaksi, maka sulit untuk menangkap pelaku meskipun ISP dan IP address telah ditemukan. Hambatan lainnya adalah belum adanya prosedur yang tetap dan jelas dari pihak/bank yang mengeluarkan kartu kredit bila terjadi fraud, disamping belum ada network sebagai wadah untuk bertukar informasi dan koordinasi antara bank-bank penerbit dengan aparat penegak hukum. Oleh karena itu, wadah ini perlu segera dibentuk.

- Terkait dengan kontrak yang dilakukan secara elektronik, timbul pertanyaan mengenai diterimanya suatu output/informasi elektronik sebagai suatu akta otentik atau surat. Dalam hal ini, hakim memegang peranan penting untuk menentukan diterimanya infromasi elektronik tersebut sebagai alat bukti di pengadilan dalam hal terjadi sengketa.

- Sehubungan dengan adanya macam-macam alat bukti, perlu ditinjau apakah secara analogi informasi elektronik temasuk sebagai alat bukti lain sebagaimana alat bukti lain yang berlaku untuk tindak pidana korupsi (tipikor), money laundering, dan terorisme menurut Hukum Acara Pidana, dimana

keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa juga dapat diperoleh dari:

1) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;

2) dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

- Pada dasarnya, peran hakim dalam proses pembuktian adalah mencari segala informasi untuk mendapatkan keyakinan tentang adanya peristiwa hukum dan/atau suatu hubungan hukum dengan menggunakan berbagai media/alat bukti, sejauh hal itu relevan dan valid.

- Untuk dapat menjadi data yang dapat dipercaya, data elektronik harus dihasilkan

Page 76: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 72 Volume 3, Nomor 1, April 2005

oleh sistem elektronik yang dapat dipercaya, yaitu dapat dipertanggungjawabkan dan telah dilakukan pemeriksaan oleh para professional yang terkait/mempunyai kemampuan untuk itu, sehingga dapat dikatakan handal dan aman serta bekerja sebagaimana mestinya.

- RUU ITE telah memberikan tempat agar informasi elektronik dapat diterima, dan memberikan prosedur tertentu untuk pedoman bagi hakim dalam pemeriksaan dan pembuktian. Namun demikian RUU ITE hingga saat ini belum dibahas, padahal undang-undang tersebut sangat mendesak untuk memberikan kepastian hukum atas transaksi elektronik. Oleh karena itu RUU ITE perlu segera dibahas dan disahkan. RUU ITE memuat ketentuan mengenai infromasi elektronik, dimana dinyatakan bahwa informasi elektronik memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti yang sah. Disamping itu juga dimuat ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem elektronik, transaksi elektronik, nama domain, Hak Atas Kekayaan Intelektual & Privacy, perbuatan yang dilarang, tindak pidana, dsb.

- Disamping RUU ITE, perlu pula segera dibahas RUU Transfer Dana yang mengatur mengenai transfer dana secara elektronik maupun non-elektronik, termasuk pengaturan mengenai

pembayaran debet dan kredit dengan menggunakan kartu.

- Dalam menerapkan teknologi dalam pelayanan perbankan, soal keamanan harus merupakan concern utama. Oleh karena itu perlu dipikirkan adanya standar internet banking policy dari bank dan standar pengamanan, seperti perlindungan nasabah, penanganan insiden, dan security policy. Terkait dengan ini, pengamanan perlu dilakukan secara menyeluruh yaitu mulai dari orang yang melakukan transaksi, proses, dan teknologi; dan berlapis, yaitu mulai dari komputer/peralatan yang digunakan nasabah, webserver, internet banking gateway, hingga aplikasi di bank.

- Kebijakan menetapkan tindak pidana di bidang teknologi informasi juga perlu memperhatikan pengaturan dalam KUHP, walaupun tindak pidana di bidang teknologi informasi sebaiknya diatur dalam suatu undang-undang tersendiri, mengingat adanya prinsip-prinsip yang berbeda dengan prinsip-prinsip umum dalam KUHP.

- Rekomendasi:

1) Dalam rangka memberikan kepastian hukum, perlu

Page 77: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 73 Volume 3, Nomor 1, April 2005

segera dibahas RUU ITE dan RUU Transfer Dana.

2) Perlunya ketentuan yang mewajibkan bank nasional untuk memiliki pusat penyimpanan, pemrosesan data/informasi & transaksi perbankan yang letaknya di dalam negeri.

3) Perlu dibentuk unit kerja khusus pengamanan-pencegahan kejahatan perbankan di dalam struktur Bank Indonesia untuk menerapkan kebijakan pengamanan sistem, melakukan penelitian untuk mencegah ancaman yang mungkin terjadi, dan melakukan tindakan recovery serta pemantauan transaksi perbankan selama 24 jam. Disamping itu, dalam rangka pengawasan bank perlu dilakukan audit terhadap Sistem Teknologi Informasi dan Komunikasi yang digunakan perbankan untuk kurun waktu tertentu.

4) Perlunya memperketat akses nasabah maupun pegawai ke jaringan system ICT perbankan, penggunaan multi faktor autentifikasi–selain ID/PIN & password- pada setiap transaksi, penggunaan Perangkat Lunak Komputer Deteksi untuk memonitor aktifitas rekening nasabah, sosialisasi oleh perbankan

mengenai bentuk-bentuk kejahatan/penipuan yang dapat terjadi dengan produk/layanan yang disediakannya, perlunya komunitas perbankan membangun Automated Clearing House untuk meningkatkan pengamanan perbankan secara bersama.

5) Perlunya ketentuan tentang tanggung jawab bank untuk mengganti uang nasabah yang hilang akibat kelemahan system pengamanan ICT perbankan, seperti Regulation E di Amerika.

6) Penyelenggara bisnis online atau e-commerce mensyaratkan agar pihak pemesan mencantumkan dan memberikan digital signature atau tanda tangan elektronik dalam transaksi online, untuk mengurangi transaksi illegal.

7) Dibentuk badan khusus yang menangani cyber crime.

Page 78: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 74 Volume 3, Nomor 1, April 2005

DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA DESEMBER 2004 – APRIL 2005

No Urut

Nomor P B I Tanggal Satker

Penerbit Perihal Nomor LN & TLN RI

1. 6/27/PBI/2004 13-12-2004 DPBPR Pelaksanaan Pengawasan Badan Kredit Desa.

LN.Thn.2004 No.161 TLN. 4460

2. 6/28/PBI/2004 17-12-2004 DPU

Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004

LN.Thn.2004 No.162

3. 6/29/PBI/2004 17-12-2004 DPU

Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004

LN.Thn.2004 No.163

4. 6/30/PBI/2004 28-12-2004 DASP Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.

LN.Thn.2004 No.166 TLN. 4462

5. 6/31/PBI/2004 28-12-2004 DPU

Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Khusus Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004 Dalam Bentuk Uang Kertas Belum Dipotong.

LN.Thn.2004 No.167

6. 6/32/PBI/2004 28-12-2004 DPU

Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Khusus Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004 Dalam Bentuk Uang Kertas Belum Dipotong.

LN.Thn.2004 No.168

7. 6/33/PBI/2004 31-12-2004 DPM

Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 Tentang Operasi Pasar Terbuka.

LN.Thn.2004 No.169 TLN.4463

8. 7/1/PBI/2005 10-01-2005 DPNP/DLN Pinjaman Luar Negeri Bank. LN.Thn.2005 No.3 TLN.4467

9. 7/2/PBI/2005 20-01-2005 DPNP Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum

LN.Thn.2005 No.12 TLN.4471

Page 79: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 75 Volume 3, Nomor 1, April 2005

No Urut

Nomor P B I Tanggal Satker

Penerbit Perihal Nomor LN & TLN RI

10. 7/3/PBI/2005 20-01-2005 DPNP Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum

LN.Thn.2005 No.13 TLN.4472

11. 7/4/PBI/2005 20-01-2005 DPNP Prinsif Kehati-Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum

LN.Thn.2005 No.14 TLN.4473

12. 7/5/PBI/2005 20-01-2005 DPNP

Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Umum Pascabencana Nasional Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara.

LN.Thn.2005 No.15 TLN.4474

13. 7/6/PBI/2005 20-01-2005 DPNP/DPbS/DPBPR

Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.

LN.Thn.2005 No.16 TLN.4475

14. 7/7/PBI/2005 20-01-2005 DPNP/DPbS/DPBPR

Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

LN.Thn.2005 No.17 TLN.4476

15. 7/8/PBI/2005 24-01-2005 DPIP/DPNP Sistem Informasi Debitur. LN.Thn.2005 No.18 TLN.4477

16. 7/9/PBI/2005 25-01-2005 DPbS Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat syariah.

LN.Thn.2005 No.19 TLN.4478

17. 7/10/PBI/2005 09-03-2005 DPM/UKMI/DPD/DPNP Laporan Harian Bank Umum. LN.Thn.2005 No.25

TLN.4483

18. 7/11/PBI/2005 31-03-2005 DPM

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank.

LN.Thn.2005 No.34 TLN.4491

Page 80: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 76 Volume 3, Nomor 1, April 2005

DAFTAR SURAT EDARAN (EKSTERN) BANK INDONESIA DESEMBER 2004-APRIL 2005

No Urut

Nomor

SE BI Ekstern

Tanggal Satker

Penerbit Perihal

1. 6/49/DPU 14-12-2004 DPU Permintaan Klarifikasi oleh Masyarakat dan Bank atas Uang yang Diragukan Keasliannya dan Laporan Penemuan Uang Palsu oleh Bank.

2. 6/50/DPM 30-12-2004 DPM Perubahan Keenam Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.6/20/DPM Tanggal 26 April 2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank.

3. 6/51/DLN 31-12-2004 DLN Kewajiban Pelaporan utang luar Negeri.

4. 6/52/DASP 31-12-2004 DASP Warkat dan Dokumen Kliring Serta Pencetakannya pada Perusahaan Percetakan Warkat dan Dokumen Kliring.

5. 7/1/DPM 03-01-2005 DPM Pelaksanaan Transaksi Fine Tune Operations Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka.

6. 7/2/DPM 28-01-2005 DPM Perubahan Ketujuh Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.6/20/DPM Tanggal 26 April 2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank.

7. 7/3/DPNP 31-01-2005 DPNP Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.

8. 7/4/DPM 01-02-2005 DPM Perubahan Atas Surat Edaran Nomor.6/5/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Pelaksanaan dan Penyelesaian Fasilitas Simpanan Bank Indonesia dalam Rupiah (FASBI).

9. 7/5/DPbS 08-02-2005 DPbS Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

10. 7/6/DPM 28-02-2005 DPM Perubahan Ketujuh Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.6/20/DPM Tanggal 26 April 2004 Perihal Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank.

11. 7/7/DPM 29-03-2005 DPM Laporan Harian Bank Umum.

12. 7/8/DPNP 31-03-2005 DPNP Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia.

13. 7/9/DPNP 31-03-2005 DPNP Sistem Informasi Debitur

14. 7/10/DPNP 31-03-2005 DPNP

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan tertentu yang disampaikan kepada Bank Indonesia.

Page 81: Volume 3, Nomor 1, April 2005 BULETIN HUKUM … · ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan ... Untuk tulisan kali ini artikel tersebut menggantikan rubrik Komentar

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 77 Volume 3, Nomor 1, April 2005

No Urut

Nomor

SE BI Ekstern

Tanggal Satker

Penerbit Perihal

15. 7/11/DPM 31-03-2005 DPM Perubahan Kesembilan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.6/20/DPM Tanggal 26 April 2004 Perihal Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank.

16. 7/12/DPM 7/14/DPNP DPM

Perubahan Ketiga Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/17/DPM Tanggal 6 April 2004 perihal Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Secara Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia Di Pasar Sekunder.

17. 7/13/DPbS 14-04-2005 DPbS Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Syariah.

18. 7/14/DPNP 18-04-2005 DPNP Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.