laporan resensi lola

31
LAPORAN RESENSI BAHAN BACAAN LANDSCAPE HISTORYINDIGENOUS FIRE USE TO MANAGE SAVANNA LANDSCAPES IN SOUTHERN MOZAMBIQUE PENGETAHUAN API LOKAL UNTUK MENGELOLA LANSKAP SABANA DI BAGIAN SELATAN MOZAMBIK KELOMPOK 10 ANGGOTA : Nuriskha Noviawanti (A44090051) Chika Puspasari (A44090069) Faris H El Shabir (A44090088) Ina Winiastuti Hutriani (A44090091) Herawaty Pare (A44090193) ASISTEN : Cindy Alifia, SP Andre Sujipto Muhammad Amin Shodiq DOSEN : Prof Dr Ir Hadi Susilo Arifin, MS Prof Dr Ir Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr Dr Syartinilia Wijaya, SP, M.Si Dr R.L. Kaswanto, SP, M.Si

Upload: ina-winiastuti

Post on 05-Aug-2015

65 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Resensi Lola

LAPORAN RESENSI BAHAN BACAAN

“LANDSCAPE HISTORY”

INDIGENOUS FIRE USE TO MANAGE SAVANNA LANDSCAPES IN

SOUTHERN MOZAMBIQUE

PENGETAHUAN API LOKAL UNTUK MENGELOLA LANSKAP

SABANA DI BAGIAN SELATAN MOZAMBIK

KELOMPOK 10

ANGGOTA :

Nuriskha Noviawanti (A44090051)

Chika Puspasari (A44090069)

Faris H El Shabir (A44090088)

Ina Winiastuti Hutriani (A44090091)

Herawaty Pare (A44090193)

ASISTEN :

Cindy Alifia, SP

Andre Sujipto

Muhammad Amin Shodiq

DOSEN :

Prof Dr Ir Hadi Susilo Arifin, MS

Prof Dr Ir Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr

Dr Syartinilia Wijaya, SP, M.Si

Dr R.L. Kaswanto, SP, M.Si

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

ARSITEKTUR LANSKAP

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

Page 2: Laporan Resensi Lola

KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan

nikmat iman, islam dan kesehatan tiada hentinya. Setiap titik masalah dan

motivasi menjadi nikmat yang luar biasa bagi kami sehingga kami bisa

menyelesaikan resensi jurnal bertema “Landscape History” yang berjudul

“Indigenous Fire Use to Manage Savanna Landscape in Southern

Mozambique”.

Dalam kesempatan ini sebagai sebagai bentuk rasa syukur penulis kepada

Allah SWT, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh

Dosen Staff Pengajar MK Pengelolaan Lanskap yaitu Prof Dr Ir Hadi Susilo

Arifin, M.Si , Prof Dr Ir Wahju Qamara Mugnisyah, M.Agr , Dr Syartinilia,

SP,M.Si , Dr R L Kaswanto, SP, M.Si , serta seluruh Asisten Cindy Alifia, SP ,

Andre Sujipto dan Muhammad Amin Shodiq atas semua bimbingan dan nasehat

sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat waktu.

Namun demikian, penulis sangat menyadari bahwa masih terdapat kekurangan

dalam resensi jurnal ini karena keterbatasan kami dan kendala lainnya. Resensi ini

nantinya diharapkan dapat bermanfaat bagi kami dan teman-teman dalam

memperdalam ilmu mengenai Arsitektur Lanskap terutama mengenai pengelolaan

lanskap.

Bogor, November 2012

Penulis

Page 3: Laporan Resensi Lola

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL.....................................................................................................i

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................ii

ABSTRAK..............................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................1

1.2 Tujuan ...................................................................................................2

BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................3

2.1 Lokasi Studi...........................................................................................3

2.2 Alat dan Bahan ......................................................................................3

2.3 Metode ...................................................................................................4

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27

Page 4: Laporan Resensi Lola

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Sumber Api di Madjadjane dan Gala...................................................................4

2. Lima Cara untuk mengendalikan api antropogenik, saat Musim Hujan dari

Oktober hingga April yang terdiri dari panas dan hujan, serta ketika Musim

Panas dari Mei hingga September yang terdiri dari dingin dan

kering............................................................……………....................6

Page 5: Laporan Resensi Lola

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Lokasi tapak praktikum............................................................................................3

Ukuran tapak ...........................................................................................................5

Pertanian IPB.........................................................................................................17

Page 6: Laporan Resensi Lola

ABSTRAK

Rezim api yang ditetapkan untuk melindungi area di bagian Afrika Selatan

biasanya didasarkan hanya pada pemodelan dari data sejarah dan eksperimen

dilapangan. Kebanyakan masyarakat desa di wilayah masih menggunakan api

untuk mengelola sumber daya alam untuk kebutuhan dasar namun studi mengenai

pengetahuan api lokal dan penerapan yang ada relatif sedikit. Sejarah panjang dari

api antropogenik di Afrika Selatan menunjukan bahwa Traditional Ecology

Knowledge (TEK) mengenai api dapat memberikan wawasan lebih lanjut pada

lokasi spesifik antropogenik api dalam kontribusi manusia terhadap interaksi

sabana. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi untuk menyelidiki

bagaimana masyarakat lokal berpikir tentang bagaimana mengelola api sebagai

bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, studi pada dua kelompok masyarakat

desa di Selatan Mozambik. Penduduk menggunakan api untuk berbagai kegiatan

mata pencaharian dan mengidentifikasi sumber-sumber api antropogenik yang

terkendali dan tidak terkendali.Rezim api tercerminkan pada 5 cara umum

megendalikan api antropogenik berdasarkan frekuensi, musim, daerah dan jenis

habitat yang dibakar.Perbandingan antara api bersejarah dan kontemporar

mengungkapkan menurunnya jumlah kebakaran yang terkendali dan

konsekuensinya meningkatkan jumlah dan ukuran api liar, tetapi tidak merubah

tujuan untuk mengendalikan api atau metode masyarakat menggunakan api.

Peraturan api yang dimiliki masayarakat bertujuan untuk mengurangi kerusakan

baik pada kepemilikan pribadi maupun masyarakat, sama halnya untuk

melindungi keanekaragaman hayati lokal yang berharga. Kesimpulan pentingnya

Traditional Ecology Knowledge (TEK) atau Pengetahuan Api Lokal untuk

memahami peran antropogenik dalam rezim api. Selain itu, mereka menunjukan

bahwa meskipun perbedaan pandangan didunia, ahli-ahli pengetahuan api lokal

dan barat memiliki tujuan yang sama untuk memelihara keanekaragaman hayati

regional.

Kata Kunci : Kebakaran Antropogenik, Kebakaran terkendali, Rezim api, Mata Pencaharian,

Tanah Maputa, Selatan Afrika, Pengetahuan Ekologi Tradisional

Page 7: Laporan Resensi Lola

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Api antropogenik secara kritis membentuk keragaman, kelimpahan dan

distribusi vegetasi sabana di Afrika Selatan selama 1,5 juta tahun terakhir. Saat ini

banyak masyarakat desa di Selatan Afrika terus menggunakan api untuk

mengelola sumber daya alam penting untuk kehidupan sehari-hari seperti

membakar padang rumput untuk menghilangkan ilalang dan meningkatkan

rumput untuk makanan ternak, mengendalikan hama, membersihkan lahan untuk

keperluan pertanian dan mengurangi dampak api liar. Namun demikian, rezim api

yang dikembangkan untuk melestarikan dan mengelola Sabana di Selatan Afrika

di kawasan lindung didasarkan pada alam, eksperimen, atau bukti arkeologi

sebagian besar masyarakat pedesaan yang kotemporer mengabaikan Traditional

Ecological Knowledge (TEK) dalam menggunakan dan memanajemen api.

Mulai abad ke -20 kebijakan api mulai diberlakukan untuk melindungi

area manajemen dan legislator nasional diseluruh Afrika Selatan dengan cara yang

bervariasi dan temporal. Namun akibat pengembangan kebijakan ini penggunaan

api antropogenik menjadi terbatas dan menyebabkan hilangnya garis habitat serta

keragaman spesies, penumpukan bahan bakar, dan proliferasi spesies invasif.

Untuk mengatasi masalah tersebut ilmuwan dan manajer melakukan studi ke

beberapa negara untuk mencari rezim api yang dapat di tiru namun pada

kenyataannya untuk menentukan kesesuaian rezim api untuk Sabana Afrika

Selatan sangat sulit karena setiap daerah Sabana memiliki parameter iklim dan

vegetasi berbeda serta sejarah penggunaan yang berbeda. Dalam studi ini, penulis

menggunakan pendekatan etnografi untuk menganalisis TEK api di dua kelompok

masyarakat yang berada di pesisir sabana Selatan Mozambik untuk menjelaskan

bagaimana, kapan dan mengapa mereka menggunakan api dalam kegiatan mata

pencaharian sehari-hari mereka dan menunjukan bagaimana kegiatan tersebut

memberikan kontribusi pada proses dan pola pembentukan lanskap sabana di

daerah mereka.

Page 8: Laporan Resensi Lola

Sebelumnya sudah ada beberapa studi yang menggunakan pendekatan

entografi untuk mengetahui penggunaan api antropogenik dan pengaruhnya dalam

pola dan proses pembentukan lanskap salah satu contohnya adalah Suku Aborigin

di Australia terampil memanipulasi lanskap Australia secara musiman dengan api

untuk memaksimalkan usaha mereka untuk mencari makan, menggurangi api liar,

memelihara keragaman flora dan fauna, menghilangkan tanaman invasif , dan

mempertahankan integritas ekologi ditempat tinggal mereka.

Di Afrika Selatan sendiri banyak kegiatan mata pencaharian dengan

melibatkan api. Efek dari api ini pada lanskap sabana berkisar dari rendah hingga

tinggi, dan target spesifik habitat tergantung pada musim. Api kecil digunakan

untuk memasak,menempa besi, mengeras tembikar, dan mengumpulkan madu

sedangkan sistem pengendalian api digunakan untuk berburu, membersihkan

lahan untuk bercocok tanam, mencegah satwa liar memakan tanaman pangan, dan

mendorong pertumbuhan jenis tanaman baru. Untuk meminimalkan efek yang

tidak diinginkan dari api dalam lanskap tersebut, masyarakat Afrika Selatan telah

mengembangkan pengetahuan, praktek, dan keyakinan untuk mengatur ukuran,

waktu dan frekuensi api yang didasarkan pada pengamatan dan interaksi selama

jangka waktu tertentu.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian pengetahuan api lokal dengan pendekatan etnografi

ini adalah mendapat pengetahuan mengenai traditional ecological knowledge

(TEK) api lokal dengan bekerja bersama beberapa kelompok masyarakat lokal di

Mozambik Afrika Selatan untuk meningkatkan manajemen lanskap baik untuk

melestarikan keanekaragaman hayati maupun praktek mata pencaharian dan

menunjukan bahwa penduduk menggunakan api dengan tujuan dan pengendalian

tertentu.

Page 9: Laporan Resensi Lola

Gambar 1 Peta Distrik Matutuine, Mozambik.

BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Lokasi Studi

Lokasi studi di Distrik Matutuine

bagian dari Provinsi Maputo, distrik ini

berada dibagian Selatan Mozambik

(gambar 1) dengan luas daerah sebesar

5403 km2. Bagian utara distrik ini

dibatasi oleh Teluk Maputo, bagian

timur oleh Samudera Hindia, bagian

barat oleh Swaziland dan bagian selatan

dibatasi oleh KwaZulu-Natal dan Afrika

Selatan.

Lanskap Matutuine didominasi

oleh mosaik padang rumput, tanah

basah, rumpun hutan, Hutan rawa dan

hutan pasir yang langka dengan bukit-

bukit pasir. Distrik Matutúine merupakan pusat keanekaragaman endemik

Maputaland 17.000 km2 wilayah yang mengandung spesies 2500 + tanaman

termasuk 225 spesies endemik atau dekat endemik dan tiga genus endemik

tanaman, 100 spesies mamalia dan 470 spesies burung yang termasuk empat

spesies dan 43 subspesies yang endemik di atau dekat endemik.

Studi ini berlangusng pada dua komunitas yaitu Madjadjane dan Gala, dua

komunitas desa ini berdekatan dengan REM. Sekitar 90% penduduk menganggap

diri mereka sebagai keturunan Mazingiri Ronga dan persentase lainnya sebagian

kecil penduduk mengidentifikasi dirinya sebagai Changaan, Zulu, Matsua, Makua,

Portugis, dan Ndau. Hanya jarak 19 km yang memisahkan Madjadjane dan Gala.

Lanskap Madjadjane didominasi oleh hutan, tanah berpasir dan semak belukar

yang membentang sepanjang Sungai Futi. Sedangkan Lanskap Gala didominasi

oleh padang rumput, sabana terbuka dan padang rumput daerah basah di daerah

Page 10: Laporan Resensi Lola

tepian Danau Piti dan Ntiti (de Boer 2000). Kombinasi dari sistem ladang

berpindah dan foraging membentuk dasar dari perekonomian lokal mereka.

2.2 Hasil Studi

Hasil dari wawancara menunjukkan bahwa penggunaan api pada aktivitas

sehari-hari sebagian besar memang sengaja dilakukan dan merupakan bagian dari

mata pencaharian seperti produksi arang dan persiapan penggembalaan. Aktivitas

lain yang menggunakan api antara lain berburu, menghalau ular, monyet, gajah,

dan hewan perusak panen lain dan membersihkan sampah dari pembuatan tikar.

Beberapa penggunaan api yang tidak terkontrol berasal dari ketidaksengajaan

seperti anak-anak yang meniru pembuatan arang dan pembakaran rumah dengan

sengaja. Penjelasan mengenai sumber api, pengendalian dan kesengajaan

penggunaan api dari komunitas Madjadjane dan Gala dapat dilihat dari tabel 1.

Tabel 1 Sumber Api di Madjadjane dan Gala

Pada malam hari api unggun dibutuhkan, sehingga praktek (pembakaran)

ini terutama diamati pada tempat lalu lintas gajah, ladang produksi, dan ladang

sekeliling rumah. Hingga Juni 2004, masyarakat Gala membakar rumput dekat

rumah dan ladang mereka untuk mengusir ular berbisa seperti mamba hitam

(Dendroaspis polylepis). Pada lokasi konstruksi pembangunan, dilakukan

Page 11: Laporan Resensi Lola

pengendalian pembakaran untuk membersihkan lahan untuk rumah baru atau

bangunan umum untuk masyarakat seperti gereja dan sekolah. Dengan

menggunakan jerami membangun api untuk membuka lahan untuk

membersihkan benih dan batang yang masih tersisa.

Untuk membuat arang, masyarakat Gala biasanya menempatkan gundukan

arang di daerah terbuka dengan pohon tanpa kanopi dan tanpa rerumputan. Hal ini

dilakukan untuk mengurangi kemungkinan kebakaran di dalam gundukan arang

yang di luar kendali dan untuk membantu menjaga suhu tinggi yang dihasilkan

dari dalam gundukan arang tersebut akibat pembakaran spontan.

Ibu rumah tangga di Madjadjane dan Gala masih memasak menggunakan

lubang-lubang pembakaran dangkal dalam tanah berpasir agar terlindung dari

angin yang kencang di daerah mereka.

Berdasarkan informasi dari masyarakat hasil pengamatan di lapang

menunjukkan bahwa api merupakan sumber budaya Ronga dan sumber kehidupan

masyarakat mereka (tabel 2).

Tabel 2 Lima Cara untuk mengendalikan api antropogenik, saat Musim Hujan dari

Oktober hingga April yang terdiri dari panas dan hujan, serta ketika Musim Panas

dari Mei hingga September yang terdiri dari dingin dan kering.

Page 12: Laporan Resensi Lola

Saai ini dan di masa lalu masyarakat menggunakan api pembakaran untuk

mengendalikan pembersihkan ladang pertanian untuk produksi tanaman. Petani

membakar ladang 2 kali setahun untuk menghilangkan rumput dan semak-semak.

Pada awal musim hujan, Oktober dan November, petani menggunakan api untuk

pembakaran di daerah hutan dan sabana dekat rumah mereka untuk membersihkan

plot tanaman seperti jagung, kacang, labu, kacang-kacangan, dan ubi kayu. Waktu

pembakaran ini tergantung pada musim hujan sebelumnya. Petani membakar dan

menanam di Oktober bila ada “hujan yang baik”. Jika tidak, mereka menunggu

sampai Bulan November. Jika seseorang berencana untuk menggunakan wilayah

yang sama di tahun berikutnya untuk produksi tanaman, pembakaran kedua terjadi

pada saat akhir musim hujan di Februari untuk menekan pertumbuhan tanaman

kayu di lahan yang dibajak. Pembakaran pada April dan Mei, juga di akhir musim

musim hujan untuk menyiapkan sawah di perbatasan hutan rawa dan di sepanjang

sungai, selain itu pada bagian daerah danau untuk gula tebu, pisang, kentang

manis, dan sayuran yang tumbuh selama musim panas yang dimulai sejak Bulan

Mei.

Page 13: Laporan Resensi Lola

Umumnya, daerah ini dibersihkan sekali kemudian digunakan terus

menerus. Orang jarang membakar lahan pertanian yang lebih kecil dari 0,5 ha

namun lebih memilih membersihkan ladang ini dengan tangan. Masyarakat

Madjadjane dan Gala menggembala ternak komunal di sabana terbuka, sabana

berhutan, dan daerah hutan terbuka sebelum perang saudara Mozambik.

Masyarakat Madjadjane dan Gala menggunakan api untuk membakar

padang rumput menghilangkan rerumputan yang hampir mati dan mendorong

pertumbuhan tanaman baru. Dari seorang pria Gala yang sedang menggembala

ternaknya seperti anaknya sendiri penulis mendapat informasi bahwa dia pernah

membakar setengah wilayah padang rumput dalam jangka waktu sekitar satu

tahun, dan membakar setengah lainnya di tahun berikutnya untuk membuat

rumput tumbuh lebih baik. Setelah padang rumput tersebut terbakar penggembala

dilarang menggembalakan ternak mereka disana selama satu tahun, padang

rumput tersebut dibiarkan untuk beristirahat.

Pembakaran selanjutnya terjadi di pertengahan musim hujan yaitu pada

bulan Februari, ketika rumput “belum tumbuh besar” sehingga api tidak bisa

menyebar jauh. Mantan penggembala yang lain dari Madjadjane menjelaskan

kondisi padang rumput yang ada ketika ia masih seorang gadis, sekitar 70 tahun

yang lalu, penggunaan api untuk meningkatkan pertumbuhan di padang rumput

berubah setelah perang saudara. Saat ini pemilik ternak mengandalkan kawanan

hewan yang berpindah dan kebakaran alami hutan untuk memberikan pdang

rumput yang baik bagi pakan ternak. Dari hasil wawancara dengan beberapa

pemilik ternak mereka menekankan bahwa pembakaran adalah ilegal. Mereka

juga menjelaskan juga banyak masyarakat menggunakan api untuk mendapatkan

madu selama dua tahun terakhir. Pada awal musim hujan, November dan

Desember, apikulturis semakin banyak di hutan tertutup, hutan sabana, dan hutan

terbuka, untuk memanen sarang lebah liar. Pohon ekaliptus yang merupakan

pohon non-pribumi menghasilkan banyak serbuk sari selama bulan-bulan kering

(Juni dan Juli) ketika tanaman asli banyak yang tidak berbunga sehingga banyak

mendominasi tanaman. Madu liar yang dikumpulkan saat ini dari perkebunan

ekaliptus dan koloni lebah, terletak 1 km dari tribun. Pada pengambilan madu

secara tradisional, kolektor mengarahkan asap dan api ke sarang lebah untuk

Page 14: Laporan Resensi Lola

menenangkan dan membunuh lebah, dan biasanya mereka memadamkan api

sebelum mereka meninggalkan sarang lebah tersebut. Disisi lain kombinasi sayur

yang mengalami kekeringan dan pohon di sekitarnya membuat pohon ekaliptus

sangat rentan terhadap kebakaran. Asap dapat menenangkan lebah tapi pemburu

yang mengambil madu dari sarangnya dapat membuat lebah menjadi lebih agresif

lagi. Jika ada rokok atau cerutu yang jatuh diatas rumput atau batang ekaliptus, di

situlah api akan menyala. Metode apikultur modern juga telah diberikan oleh

pemerintah seperti kotak fumigasi lebah, memiliki pengaruh signifikan untuk

mengurangi potensi kebakaran hutan. Pengendalian kebakaran digunakan untuk

mengontrol kebakaran di sabana terbuka, sabana berhutan, dan habitat hutan

terbuka. Beberapa tetua adat menjelaskan bahwa pemburu masa lalu

menggunakan api untuk mendorong hewan buruannya menuju garis perangkap

dan menciptakan penggembalaan rumput.

Seiring perkembangan waktu pemburu terus menggunakan teknologi baru.

Sebagian besar pemburu di daerah ini masih orang muda dari kota-kota besar di

Kabupaten Matutuine dan Maputo yang tidak memiliki hubungan dengan

komunitas lokal tempat pemburuan. Alhasil, mereka memiliki sedikit insentif

untuk mengontrol penyebaran kebakaran ke masyarakat sekitar. Mereka hanya

menggunakan api untuk memasak diantara semak-semak.Hasil penelitian di

lapangan menunjukan bahwa pembakaran tidak membunuh tanaman dan justru

merangsang pertumbuhan tanaman baru. Suhu dan curah hujan adalah faktor

penting untuk menentukan waktu pengendalian pembakaran. Warga Madjadjane

dan Gala mempertimbangkan variasi harian dan musiman ketika merencanakan

pembakaran. Hari yang panas membantu rumput untuk kering sehingga siap

melakukan pembakaran yang biasanya dilakukan di pagi atau sore hari. Karena di

waktu pagi atau sore hari, temperatur lebih dingin, vegetasi mempertahankan

kelembapan, tingkat pelepasan panas berkurang dan ketinggian api rendah,

sehingga memberikan kontrol yang lebih besar.

2.2.1 Pengetahuan dan Praktek Api Suku Ronga di Selatan Mozambik

Masyarakat Madjajane dan Gala mempertimbangkan iklim dan cuaca

daerah untuk melakukan kegiatan pembakaran. Pertimbangan yang paling

Page 15: Laporan Resensi Lola

mendasar dilihat dari iklim, masyarakat banyak membakar lahan pada musim

kemarau karena pada musim tersebut rumput lebih cepat kering dan mudah

terbakar, selain itu waktu pembakaran dipilih pada waktu pagi dan sore hari

karena pada waktu tersebut suhu udara lebih dingin sehingga api lebih mudah

dikontrol. Sedangkan pada musim hujan menurut catatan sejarah pernah ada

pembukaan lahan untuk padang rumput gembalaan pada bulan februari.

Sebelum pembakaran lahan masyarakat memanen kayu untuk kebutuhan

rumah tangga seperti memasak dan untuk bahan produksi batu bara. Ada 2

Metode untuk melakukan pembakaran lahan, metode pertama masyarakat

sebelumnya membuat parit berbentuk lingkaran dengan ukuran 2 sampai 2.5

meter dan kedalaman 1 sampai 2 meter kemudian membakar lahan didalam

lingkaran tersebut atau metode yang kedua yaitu memilih lahan yang akan dibakar

dan lahan yang akan dilindungi kemudian untuk lahan yang akan dilindungi

rumput disekeliling lahan yang dilindungi dipotong 0,5 m dan dirundukan dengan

rumput runduk lebar 3 meter, metode kedua ini yang paling umum digunakan oleh

masyarakat. Untuk menghindari penyebaran api masyarakat membuat sekat api di

sekitar area pembakaran yang terdapat jenis tanaman obat dan buah-buahan.

Pengendalian api juga memanfaatkan arah angin yang berhembus, arah angin

menentukan titik awal penempatan api serta besar kecilnya api sehingga

pembakaran lahan lebih mudah dikontrol.

Jumlah orang yang melakukan pembakaran tergantung pada ukuran api

dan pengalaman orang-orang tersebut terlibat. Sebagian besar masyarakat

menunjukan bahwa mereka membakar lahan pertanian sendiri atau dengan

bantuan dari anggota keluarga. Anak-anak termasuk yang paling sering terlibat

membantu orangtua mereka untuk belajar praktik membakar dengan cara yang

tepat dan membantu menjaga api untuk menghindari penyebaran keluar daerah

yang ditunjuk. Biasanya pembakaran juga dilakukan bersama pemilik lahan

lainnya yang memiliki lahan yang berdekatan hal ini agar dapat menghemat usaha

yang dikeluarkan dan mengurangi dari resiko api yang tak terkendali.

Menurut ketua adat masyarakat bahwa masyarakat Madjajane dan Gala

masih belum dapat megubah alasan mereka melakukan pembakaran lahan. Hal ini

telah berlangsung lama secara turun temurun. Teknik yang digunakan untuk

Page 16: Laporan Resensi Lola

mengelola api pun sama dengan yang digunakan oleh orangtua dan kakek-nenek

mereka. Mereka telah mempersiapkan anak atau cucu mereka untuk menjadi

pembakar lahan sejak usia 16 tahun dengan pengalaman selama membantu

orangtua dan bimbingan arahan yang tepat, mereka berharap anak dan cucu

mereka dapat menjadi pembakar lahan.

Namun dari itu semua, para ketua dan sesepuh masyarakat telah

mengamati peningkatan jumlah kebakaran hutan, dengan penurunan yang

simultan pembakaran lahan. Mereka percaya perubahan ini dimulai selama Perang

Sipil. Selama perang masyarakat berhenti membakar lahan sebagai mata

pencahariaan. Kebakaran membuat polisi milter patroli untuk menyelidiki dan

meredam bahaya yang mengancam kemanan pribadi. Ketika perang sipil berakhir

pada tahun 1992, masyarakat kembali membakar lahan namun dengan populsi

yang lebih kecil, dengan ternak yang lebih sedikit dan kebijakan baru untuk

mengontrol pembukaan lahan untuk ladang dan padang rumput. Menurut sensus

penduduk tahun 1980-1997, pada masa perang sipil menunjukan bahwa di

Kabupaten Matutuine populasi masyarakat menurun 38,9 % dari jumlah awal

57.509 orang (Gaspar, 2002). Setelah perang beberapa LSM masuk untuk

membantu perekonomian masyarakat dan mendorong kebijakan anti pembakaran

lahan.

2.2.2 Peraturan Lokal dan Regional Api

Pasal 40 dari Taman Nasional Mozambik menghukum kegiatan

pembakaran yang menghancurkan semua atau sebagian dari hutan, semak, belukar

atau savana dengan hukuman penjara selama 1 tahun dan denda (Serra dan

Chicue, 2005). Namun terbatasnya tenaga kerja dan transportasi menyulitkan

bagian Administrasi Matutuine dan staf REM menegakan peraturan ini. Akibatnya

masyarakat Matutuine tidak dihukum karena melakukan pembakaran lahan untuk

pembukaan ladang. Para LSM seperti International Union for Conservation of

Nature (IUCN) dan kelompok pengembang dari swiss Helvetas di Madjadjane

dan Gala berusaha bersama dengan masyarakat membangun pondok-pondok

ekowisata dan membangun sebuah pondok industri untuk produk-produk lokal

daerah seperti madu dan ukiran-ukiran kayu.

Page 17: Laporan Resensi Lola

Berdasarkan otoritas tradisional dari para regulo lokal dan Induna, sebuah

dewan yang beranggotakan masyarakat usia 55 sampai 70 yang merupakan

komunitas terkuat tentang peraturan penggunaan api. Penggunaan peraturan api di

Madjadjane dan Gala hanya dapat digunakan untuk pembakaran lahan untuk

bidang yang jelas dan melarang pembakaran lahan untuk daerah hutan yang

dikeramatkan. Warga mengakui bahwa pembakaran lahan yang tidak terkendali

berdampak negatif terhadap mereka, hilangnya tanaman-tanaman yang

menyediakan obat-obatan, buah-buahan dan konstruksi bangunan, tanaman

endemik serta rusaknya hutan suci dan situs-situs bersejarah dari peradabaan

terdahulu. Para regulo dari Madjadjane dan Gala menyatakan bahwa warga

menghormati hukum dan otoritas Regulo dan Induna untuk menghukum pelaku

pelanggar aturan. Pelanggar yang bersalah akan sanksi sosial berupa permohonan

pengampunan kepada masyarakat serta membayar denda sebesar 1000 metacais,

setara dengan $ 41,84 USD atau sekitar Rp. 418.410,00. Jika pelanggar

merupakan penduduk nonlokal, pelanggar akan dibawa ke Kantor Polisi di Bela

Vista atau Zitundo untuk dihukum karena tidak memiliki wilayah hukum

masyarakat.

2.2.3 Menggabungkan pengetahuan untuk mengelola lanskap Matutúine.

Pembakaran sangat bertentangan dengan masyarakat setempat dan

pengelolaan kawasan lindung. Di Madjadjane dan Gala, penduduknya sangat

berhati-hati dalam membentuk suatu lanskap dengan membakar untuk produksi

pangan langsung dan untuk menjamin keberlanjutan basis sumber daya untuk

panen masa depan. Pengetahuan lingkungan mereka dan keyakinan tentang iklim,

vegetasi, dan perilaku membakar membantu mereka dalam pengambilan

keputusan mengenai ke mana, kapan, dan bagaimana mengendalikan pembakaran

untuk berbagai aktivitas kehidupan mereka. Lembaga masyarakat dan peraturan

dalam pembakaran mampu menyelesaikan perselisihan yang muncul ketika

sumber daya yang dibutuhkan masyarakat telah rusak oleh pembakaran dari

orang-orang yang mengabaikan akal sehat dari pembakaran, atau dalam kasus

yang jarang terjadi dari pembakaran. Sebaliknya, Pengelola REM memiliki

bahasan tentang kontrol penggunaan pembakaran dalam pembuatan lanskap

Page 18: Laporan Resensi Lola

sabana untuk memelihara dan menghasilkan keanekaragaman hayati untuk

kepentingan sendiri. Akan tetapi, tidak ada rencana resmi yang dibuat serta

kebijakan dari REM untuk melindungi keanekaragaman hayati melalui

pencegahan kebakaran hutan. Penyusutan populasi setelah perang saudara,

tekanan saat ini untuk memindahkan orang keluar dari kawasan lindung dan

direncanakan, dan kebijakan yang mengatur kebakaran telah mengubah hubungan

antara Ronga dan tanah leluhur mereka di Mo¬zambique selama 25 tahun

terakhir. Banyak daerah yang dulunya sering terbakar akibat kegiatan mata

pencaharian sekarang menjadi lebih jarang dalam skala yang lebih luas dan

kerusakan akibat kebakaran hutan. Madjadjane dan Gala merupakan komunitas

kecil baik dalam suatu populasi dan suatu luas lahan namun warganya saling

berbagi sejarah yang sama, budaya, dan lingkungan dengan masyarakat lainnya

dalam kawasan Matutúine dan wilayah pusat Maputaland yang lebih besar.

Berbagi sejarah dan budaya, aktivitas kebakaran yang sesuai dengan rezim

yang berlaku, berdasarkan pengetahuan lingkungan setempat, dilakukan agar

pembakaran lanskap sabana berlangsung secara teratur demi kepentingan

kehidupan. Penelitian saya bersama penduduk Madjadjane dan Gala adalah

menilai kebakaran di Ronga ini dan memeriksa kontribusi TEK yang telah dibuat

sebagai rezim pembakaran di kawasan itu. Informasi tentang frekuensi kebakaran

akibat kegiatan manusia, musim, serta ukuran dan jenis daerah yang terbakar

dapat digunakan oleh pengelola kawasan lindung di daerah ini untuk

mengembangkan kebakaran sesuai rezim yang berlaku dan menetapkan kebutuhan

dari pembakaran untuk kepentingan kawasan lindung.

Saat ini tidak ada kebijakan kebakaran yang ditetapkan oleh pemerintah

nasional Mozambique dan non-pemerintahan pun gagal untuk memasukkan

penemuan ilmiah terbaru tentang pentingnya kebakaran untuk pemeliharaan

keanekaragaman sabana, dan mencerminkan ideologi bersejarah yang dilihat dari

semua praktik kebakaran alami yang berdampak negatif. Sebagai hasilnya,

kebijakan ini bertentangan langsung terhadap praktek mata pencaharian pedesaan

di kawasan Matutúine. Daripada memaksakan peraturan bukan kebakaran tanpa

pemeriksaan kondisi lokal, dan praktek, studi ini menyoroti dimana daerah-daerah

Departemen Konservasi kawasan alami Mozambique dan staf REM dapat bekerja

Page 19: Laporan Resensi Lola

dengan masyarakat di distrik Matutúine untuk menggabungkan praktek-praktek

manajemen adaptif lokal. Pengetahuan pengguna tentang kebakaran dalam

masyarakat bisa juga digunakan untuk membantu pengontrolan kebakaran dalam

batasan kawasan lindung. Menggambar pada TEK juga akan membantu ekonomi

lokal dalam masyarakat seperti Madjadjane dan Gala dengan mendukung

kelanjutan dari kegiatan mata pencaharian, juga mengenali dan membangun

inisiatif konservasi lokal. Meneliti kontribusi kegiatan manusia terhadap rezim

kebakaran Maputaland di kawasan Matutúine, Mozambique, memperdalam

pemahaman ilmiah hubungan antara manusia dan proses ekologi dan pola di

daerah ini. Deskripsi etnografi Mazingiri Ronga kebakaran TEK disajikan dalam

berbagai macam informasi yang dapat diperoleh dari meminta jawaban

masyarakat setempat mengenai bagaimana, mengapa, dan yang mana mereka

menggunakan api. Informasi semacam ini tidak dapat diperoleh dengan cepat

melalui eksperimen, catatan bersejarah atau pemodelan komputer. Pada tingkat

yang luas, data menawarkan contoh lain dari niat penggunaan api oleh masyarakat

pedesaan Afrika untuk produksi makanan. Data menyoroti keyakinan, praktek,

dan peraturan bahwa banyak masyarakat harus melindungi spesies dan habitat,

juga sebagai pribadi dan milik umum,dari kehancuran. Meskipun pandangan

dunia berbeda, Para ahli adat dan Barat api berbagi tujuan yang sama dalam

mempertahankan keanekaragaman hayati regional. Para ahli adat dan Barat api

berbagi tujuan yang sama dalam mempertahankan keanekaragaman hayati

regional. Akhirnya, sifat rinci dan holistik kebakaran Mazingiri Ronga TEK

memberikan wawasan ke pusat Maputaland ekologi dan menunjukkan cara-cara

khusus untuk meningkatkan rencana manajemen sumber daya nasional. Dalam

jangka panjang, penggabungan kebakaran ini TEK ke dalam perencanaan

konservasi akan memberikan kontribusi untuk perlindungan keanekaragaman

hayati Maputaland pusat dengan mempertahankan, dan menetapkan kembali

apabila diperlukan, kebakaran lokal yang sesuai baik di dalam rezim maupun di

luar batas-batas wilayah yang dilindungi.

2.3 Studi Kasus Budaya Penggunaan Api di Indonesia

Page 20: Laporan Resensi Lola

Afrika Selatan memiliki budaya penggunaan apinya tersendiri dan

berbeda-beda sesuai dengan jenis vegetasi dan penggunaan lahannya, di Indonesia

budaya penggunaan api juga ada diwilayah yang banyak didominasi oleh hutan.

Gambar 2 Studi Kasus Budaya Api di Bengkulu Indonesia

sumber:www.antarabengkulu.com

Studi kasus budaya penggunaan api di Indonesia salah satunya ada di Kota

Bengkulu yaitu budaya penggunaan api untuk membakar lahan garapan untuk

membuka lokasi pertanian. Namun budaya penggunaan api untuk membuka lahan

garapan baru ini mengakibatkan kerusakan hutan dan menurunkan kualitas

kesuburan tanah. Saat ini untuk mengatasi permasalahan budaya membakar lahan

pemerintah khususnya Departemen Kehutanan sedang bekerjasama bersama tokoh

masyarakat dan berbagai pihak lain untuk meningkatkan kesadaran masyarakat

Bengkulu agar tidak membuka lahan pertanian dengan cara membakar. Alasan

masyakarat Bengkulu terus mempertahankan budaya membakar diantaranya untuk

membersihkan lahan dengan cepat, murah dan menguntungkan untuk budidaya

Page 21: Laporan Resensi Lola

tanaman pertanian,membersihkan lahan agar nilai lahan menjadi lebih tinggi,

pengendalian hama dan penyakit, dan mempercepat pertumbuhan pohon yangg

dibudidayakan seperti Pohon Galam di Bengkulu.

Gambar 3 dan 4 Bekas Pembakaran lahan di Bengkulu Juli 2012

sumber : green.kompasiana.com

Page 22: Laporan Resensi Lola

DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Agus Faizul.2012. Menhut:Budaya Membakar Lahan Harus Diubah.

regional.kompas.com/read/2012/09/15/19424361/Menhut.Budaya.

Membakar.Lahan.Harus.Diubah [22 November 2012]

Lubis, Zulkifli. 2012. Menhut: budaya bakar rusak kawasan hutan.

www.antarabengkulu.com/berita/6094/menhut-budaya-bakar-rusak-

kawasan-hutan [22November 2012]

Siddik, Ahmad. 2012. Mengapa Hutan dan Lahan Terus Terbakar?.

green.kompasiana.com/penghijauan/2012/09/01/mengapa-hutan-dan-lahan-

terus-terbakar/ [22 November 2012]

Triyatna, Stefanusa Osa. 2012. Menhut: Hindari Budaya Membakar.

bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/09/11/17074978/Menhut.Hindari.B

udaya.Membakar [22 November 2012]