vol. 1 no. 2, agustus 2021 issn 2775-0930 newsletter setara

4
Vol. 1 No. 2, Agustus 2021 1 D alam beberapa tahun terakhir, menjelang perayaan kemerdekaan, berbagai media kerap mengangkat kisah tokoh-tokoh Tionghoa yang turut andil dalam persiapan dan perjuangan kemerdekaan. Mulai dari Liem Koen Hian, seorang tokoh Tionghoa yang terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI); Yap Tjwan Bing, tokoh Tionghoa di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI); hingga Djiauw Kie Siong yang rumahnya dipakai untuk “mengamankan” Soekarno-Hatta di Rengasdengklok. Bahkan majalah Tempo pada tahun 2019 mengangkatnya secara khusus dalam edisi kemerdekaan berjudul “Aktivis Cina di Awal Republik”. Edisi majalah tersebut selain juga muncul dalam edisi bahasa Inggris (“Chinese Descendants in Shaping Indonesia”), juga dibuat versi buku dengan judul yang sama. Munculnya kembali narasi-narasi ini tak lepas dari fakta bahwa pengetahuan tentang peran politik Tionghoa tersebut dengan sengaja dihapuskan oleh rejim Orde Baru di bawah Soeharto. Didi Kwartanada, sejarawan dan pemerhati masalah Tionghoa, dalam artikelnya di majalah Prisma (Vol. 39, 2020) membahas secara detail mengenai proses hilangnya tokoh Tionghoa di dalam BPUPKI dari buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI). SNI diterbitkan sebanyak enam jilid pada tahun 1975. Namun, pada edisi tahun 1984, keberadaan tokoh Tionghoa dalam BPUPKI yang semula muncul, justru dihilangkan dan hanya disebutkan “empat orang golongan Arab serta golongan peranakan Belanda.” Padahal, hanya ada satu orang perwakilan golongan Arab, yaitu A. R. Baswedan dalam BPUPKI dan justru terdapat empat orang golongan Tionghoa, yaitu Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Oey Tiang Tjoei, dan Tan Eng Hoa. Meskipun telah ada upaya koreksi, nyatanya pada edisi pemutakhiran tahun 2010 dan buku acuan baru, Indonesia dalam Arus Sejarah (2012), perihal ini masih belum dimasukkan kembali. Tak hanya itu, fakta ini masih dibarengi dengan kisah tragis dari tokohnya akan status kewarganegaraan yang tidak terwujud. Yap Tjwan Bing menjadi korban rasisme di Bandung tahun 1963 dan harus pindah ke Amerika Serikat hingga wafatnya memendam kerinduan akan tanah air Indonesia. Sementara Liem Koen Hian dipenjara oleh bangsanya sendiri dengan tuduhan menjadi simpatisan komunis pada Agustus 1951. Etnik Tionghoa dalam Refleksi Kemerdekaan Indonesia Daftar Isi Etnik Tionghoa dalam Refleksi Kemerdekaan Indonesia 1 Kesetaraan Etnik Tionghoa dalam Sejarah Indonesia 2 Inspirasi Christianto Wibisono 3 Seputar Riset 3 Ulasan Buku 4 Memajukan Indonesia yang Inklusif 4 Mengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah Indonesia Newsletter SETARA Diterbitkan 2 kali setahun oleh Tim Penelitian Kajian Etnik Tionghoa Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Penanggung Jawab Lidya Christin Sinaga, S.IP., M.A. Redaktur 1. Prof. Dr. Asvi Warman Adam, APU. 2. Syafuan Rozi, M.Si. Editor 1. Hayati Nufus, LL.M 2. Nina Andriana, M.Si 3. Atika Nur Kusumaningtyas, M.Stat Desain Grafis Anggih Tangkas Wibowo, S.T., M.MSI. Alamat: Pusat Penelitian Politik, Widya Graha LIPI, Lt.3 Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan Email: [email protected] || Website: http://politik.lipi.go.id Vol. 1 No. 2, Agustus 2021 ISSN 2775-0930 “Hilangnya” narasi sejarah penting ini pada akhirnya menjadi salah satu biang langgengnya stigma bahwa etnik Tionghoa tidak mempunyai peran dalam memperjuangkan republik ini. Upaya meluruskan peran Tionghoa dalam sejarah pendirian bangsa, kini banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Salah satunya diuraikan Asvi Warman Adam dalam bagian lain di newsletter ini. Upaya ini pada akhirnya menjadi penting untuk mendorong inklusivitas dalam identitas kebangsaan yang sejak era pendiri bangsa ini bersepakat pada pemikiran Ernest Renan dan Otto Bauer mengenai bangsa, yaitu ‘kehendak akan bersatu’ dan bahwa bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Sehingga, jelas bahwa fakta sejarah mengenai kontribusi etnik Tionghoa dalam pendirian republik ini menunjukkan adanya kehendak untuk bersatu. Menutup refleksi ini saya ingin mengulang kembali apa yang pernah ditegaskan oleh Mely G. Tan (1979), “jelas bahwa etnik Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia akan menaati konsep bangsa Indonesia ini karena tidak didasarkan pada ras atau etnisitas, sehingga menjadi dasar menegaskan hak mereka sebagai bagian dari bangsa ini.” (Lidya Christin Sinaga)

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Vol. 1 No. 2, Agustus 2021 1

Dalam beberapa tahun terakhir, menjelang perayaan kemerdekaan, berbagai media kerap mengangkat kisah tokoh-tokoh Tionghoa yang turut andil dalam

persiapan dan perjuangan kemerdekaan. Mulai dari Liem Koen Hian, seorang tokoh Tionghoa yang terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI); Yap Tjwan Bing, tokoh Tionghoa di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI); hingga Djiauw Kie Siong yang rumahnya dipakai untuk “mengamankan” Soekarno-Hatta di Rengasdengklok. Bahkan majalah Tempo pada tahun 2019 mengangkatnya secara khusus dalam edisi kemerdekaan berjudul “Aktivis Cina di Awal Republik”. Edisi majalah tersebut selain juga muncul dalam edisi bahasa Inggris (“Chinese Descendants in Shaping Indonesia”), juga dibuat versi buku dengan judul yang sama.

Munculnya kembali narasi-narasi ini tak lepas dari fakta bahwa pengetahuan tentang peran politik Tionghoa tersebut dengan sengaja dihapuskan oleh rejim Orde Baru di bawah Soeharto. Didi Kwartanada, sejarawan dan pemerhati masalah Tionghoa, dalam artikelnya di majalah Prisma (Vol. 39, 2020) membahas secara detail mengenai proses hilangnya tokoh Tionghoa di dalam BPUPKI dari buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI). SNI diterbitkan sebanyak enam jilid pada tahun 1975. Namun, pada edisi tahun 1984, keberadaan tokoh Tionghoa dalam BPUPKI yang semula muncul, justru dihilangkan dan hanya disebutkan “empat orang golongan Arab serta golongan peranakan Belanda.” Padahal, hanya ada satu orang perwakilan golongan Arab, yaitu A. R. Baswedan dalam BPUPKI dan justru terdapat empat orang golongan Tionghoa, yaitu Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Oey Tiang Tjoei, dan Tan Eng Hoa. Meskipun telah ada upaya koreksi, nyatanya pada edisi pemutakhiran tahun 2010 dan buku acuan baru, Indonesia dalam Arus Sejarah (2012), perihal ini masih belum dimasukkan kembali.

Tak hanya itu, fakta ini masih dibarengi dengan kisah tragis dari tokohnya akan status kewarganegaraan yang tidak terwujud. Yap Tjwan Bing menjadi korban rasisme di Bandung tahun 1963 dan harus pindah ke Amerika Serikat hingga wafatnya memendam kerinduan akan tanah air Indonesia. Sementara Liem Koen Hian dipenjara oleh bangsanya sendiri dengan tuduhan menjadi simpatisan komunis pada Agustus 1951.

Etnik Tionghoa dalam Refleksi Kemerdekaan Indonesia

Daftar IsiEtnik Tionghoa dalam Refleksi Kemerdekaan Indonesia 1Kesetaraan Etnik Tionghoa dalam Sejarah Indonesia 2Inspirasi Christianto Wibisono 3Seputar Riset 3Ulasan Buku 4Memajukan Indonesia yang Inklusif 4

Mengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah IndonesiaNewsletter SETARA

Diterbitkan 2 kali setahun oleh Tim Penelitian Kajian Etnik Tionghoa Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI).

Penanggung Jawab Lidya Christin Sinaga, S.IP., M.A.

Redaktur 1. Prof. Dr. Asvi Warman Adam, APU.2. Syafuan Rozi, M.Si.

Editor 1. Hayati Nufus, LL.M2. Nina Andriana, M.Si3. Atika Nur Kusumaningtyas, M.Stat

Desain GrafisAnggih Tangkas Wibowo, S.T., M.MSI.

Alamat: Pusat Penelitian Politik, Widya Graha LIPI, Lt.3Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan

Email: [email protected] || Website: http://politik.lipi.go.id

Vol. 1 No. 2, Agustus 2021 ISSN 2775-0930

“Hilangnya” narasi sejarah penting ini pada akhirnya menjadi salah satu biang langgengnya stigma bahwa etnik Tionghoa tidak mempunyai peran dalam memperjuangkan republik ini. Upaya meluruskan peran Tionghoa dalam sejarah pendirian bangsa, kini banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Salah satunya diuraikan Asvi Warman Adam dalam bagian lain di newsletter ini. Upaya ini pada akhirnya menjadi penting untuk mendorong inklusivitas dalam identitas kebangsaan yang sejak era pendiri bangsa ini bersepakat pada pemikiran Ernest Renan dan Otto Bauer mengenai bangsa, yaitu ‘kehendak akan bersatu’ dan bahwa bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Sehingga, jelas bahwa fakta sejarah mengenai kontribusi etnik Tionghoa dalam pendirian republik ini menunjukkan adanya kehendak untuk bersatu. Menutup refleksi ini saya ingin mengulang kembali apa yang pernah ditegaskan oleh Mely G. Tan (1979), “jelas bahwa etnik Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia akan menaati konsep bangsa Indonesia ini karena tidak didasarkan pada ras atau etnisitas, sehingga menjadi dasar menegaskan hak mereka sebagai bagian dari bangsa ini.” (Lidya Christin Sinaga)

Vol. 1 No. 2, Agustus 2021 2

Kesetaraan Etnik Tionghoa dalam Sejarah Indonesia

oleh WR Supratman yang merupakan wartawan koran

Sin Po. Surat kabar ini yang pertama memuat syair lagu

Indonesia Raya tahun 1928 dan mengedarkannya juga

dalam bentuk selebaran. Rekaman lagu ini pertama kali

dibuat oleh perusahaan rekaman  milik Yo Kim Tjan.

Setelah Indonesia merdeka lagu tersebut diaransemen

oleh Jos Cleber tahun 1950. Rekaman itu makin lama

makin kurang jelas dan banyak noise. Itulah sebabnya

Addie MS dengan Twilite Orchestra dan Victorian

Philharmonics Orchestra merekam ulang secara digital

di Australia. Pembiayaan sekitar 600 juta rupiah (tahun

1997) ditanggung oleh pengusaha rekaman Tionghoa

Youk Tanzil.     

Tahun 2002 saya pernah menulis “Cina absen dalam

pelajaran sejarah” (Koran Tempo, 2 Februari 2002).

Kesulitan untuk menempatkan Tionghoa dalam sejarah

Indonesia karena tidak ada kerajaan yang dapat diberi

label Tionghoa seperti halnya Hindu, Buddha dan Islam.

Selain itu, berbeda dengan kebanyakan etnik lain, orang

Tionghoa tersebar di Indonesia tanpa ada provinsi “asal”

(misal Minangkabau dari Sumatera Barat, Sunda dari

Jawa Barat, dan Bugis dari Sulawesi Selatan). Padahal

Denys Lombard menulis terdapat empat mega budaya

yang memengaruhi peradaban Nusantara yang berasal

dari India, Arab, Tiongkok, dan Eropa.

Tahun 1971 diterbitkan buku Koentjaraningrat,

Manusia dan Kebudayaan di Indonesia yang membahas

14 suku bangsa di tanah air. Termasuk di antaranya

suku Tionghoa yang ditulis Puspa Vasanty. Bambang

Purwanto dalam acara “Nggosipin Tionghoa” tanggal 2

Agustus 2021 mengemukakan pandangan tegas, seperti 

Koentjaraningrat, bahwa seyogianya etnik Tionghoa

dianggap sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia.

Beragam aspirasi, seperti yang disampaikan oleh tokoh-

tokoh di atas, akan terus muncul pada semangat yang

sama untuk mendorong kesetaraan etnik Tionghoa

dalam rumah Indonesia. (Asvi Warman Adam)

Anggapan bahwa etnik Tionghoa tidak setara

dengan etnik lain dalam sejarah Indonesia timbul

antara lain dari anggapan bahwa mereka tidak

punya andil dalam kemerdekaan Indonesia. Ini tergambar

dalam penelitian Benny Subianto tentang “Asal Usul

Kekerasan terhadap  Etnis  Tionghoa  di  Indonesia” yang 

dilakukan  pada  tiga  daerah,  yaitu Sumatera Utara,

Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan (penelitian yang

tidak diterbitkan pada awal Reformasi). Disimpulkan

bahwa ada tiga penyebab terjadinya kekerasan  tersebut, 

yakni a) etnis  Tionghoa  masih dianggap liyan (orang lain)

bagi sebagian besar penduduk Indonesia, b) kesenjangan

ekonomi, c) karena etnis Tionghoa tidak ikut dalam

perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Itulah sebabnya sejak tahun 2002 saya menulis

berulang-ulang di beberapa surat kabar nasional tentang

usulan John Lie sebagai pahlawan nasional. Perwira

Angkatan Laut itu  menyabung nyawa menembus blokade

Belanda dengan speedboat selama belasan kali tahun

1947-1949 untuk menjual hasil bumi dari Sumatera dan

menukar dengan senjata di Singapura dan Phuket untuk

keperluan tentara nasional.  Nama John Lie kemudian

diajukan oleh Yayasan Nabil sebagai calon pahlawan

nasional dari Sulawesi Utara tahun 2008 dan disetujui

Presiden tahun 2009.   

Bukan hanya itu, terdapat empat orang Tionghoa

menjadi anggota BPUPKI dan seorang di PPKI seperti

diungkapkan Didi Kwartanada. Namun, di dalam

buku Sejarah Nasional Indonesia terbitan tahun 1984

disebutkan bahwa dalam BPUPKI terdapat empat

etnik keturunan Arab dan seorang Indo-Eropa. Jauh

sebelumnya ada beberapa  orang Tionghoa juga ikut

Kongres Pemuda kedua 1928 yang melahirkan Sumpah

Pemuda. Bahkan kongres itu berlangsung di gedung yang

dimiliki seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liang.

Lagu Indonesia Raya yang diperdengarkan pada

penutupan Kongres Pemuda II tahun 1928 digubah

Newsletter SETARAMengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah Indonesia

Pusat Penelitian Politik-LIPI mengucapkan Selamat HUT Ke-76 Republik Indonesia

Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh

Vol. 1 No. 2, Agustus 2021 3

Newsletter SETARAMengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah Indonesia

Inspirasi CHRISTIANTO WIBISONO“Saya rasa kita sudah stop bicara soal etnik Tionghoa, mereka sudah berbaur, sudah muncul Ahok, Grace Natalie, Tjhai Chui Mie, sudah jalan sendiri. Yang penting sekarang adalah justru membangun struktur-struktur supaya bisa tumbuh entitas-entitas yang diakui sebagai Indonesia incorporated.”

Indonesia incorporated yang dibayangkan oleh CW adalah masyarakat banyak sebagai pemegang saham, maju dalam persaingan global dengan mendayagunakan seluruh modal yang ada tanpa mempermasalahkan SARA. Jika SARA masih dipermasalahkan, menurut CW itu malah menjadi bom waktu dan menghambat kemajuan bangsa. Padahal secara intelektual, teknologi kita sudah mampu. Ia pun menambahkan bahwa ideologi Pancasila sebenarnya sudah selesai, “Pancasila itu lebih tinggi daripada kiri dan kanan, itu betul-betul ekstrim tengah yang pas”, pungkas CW. Indonesia telah kehilangan seorang Christian Wibisono, namun mimpinya untuk mewujudkan Indonesia Incorporated harus tetap dilanjutkan. (Syafuan Rozi Soebhan)

Tanggal 22 Juli 2021, Indonesia kehilangan seorang putra terbaiknya. Christianto Wibisono (CW) atau Oey Kian Kok  tutup usia pada umur 76 tahun.

Beruntung satu bulan sebelum beliau berpulang, tepatnya 24 Juni 2021, kami sempat melakukan diskusi secara daring dengan beliau. Ini kali kedua kami berdiskusi mengenai topik riset Tionghoa Indonesia. Seperti biasa, beliau selalu bersemangat menyampaikan pokok-pokok pemikirannya

mengenai kebangsaan.

“Saya merasa berkepentingan memelihara, merawat dan

meruwat bangsa ini, yang dilahirkan oleh BPUPKI. BPUPKI

itu pendiri bangsa, founding fathers, jadi founding fathers

harus dihargai secara layak supaya ia diperingati dan diikuti

teladannya. “

Demikian diungkapkan Pak CW dalam wawancara kami. Beliau bercerita bahwa dari empat orang Tionghoa di BPUPKI, salah satunya yaitu Tan Eng Hoa yang mewakili pakar/cendekiawan adalah saudara sepupu beliau. “Anak dari mbakyu-nya papa saya. Makanya dia marga Tan, saya marga Oey.

Lebih jauh beliau mengungkapkan pandangannya mengenai pertarungan politik identitas yang kerap menjadi sandungan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurutnya, 

Sebagai kelanjutan riset tahun 2020, pada tahun 2021 ini riset difokuskan pada pengumpulan data melalui survei dan wawancara mendalam mengenai dampak

dari meningkatnya pengaruh global Tiongkok dan relasi Indonesia-Tiongkok terhadap identitas etnik Tionghoa. Dengan basis responden etnik Tionghoa, pengumpulan data bertujuan untuk menggali pandangan dan pengalaman sebagai Tionghoa di tengah dinamika sosial-politik kebangsaan. Proses pengumpulan data yang dilakukan pada masa pandemi mengharuskan tim membatasi kegiatan yang bersifat tatap muka. Sehingga, survei daring dan wawancara mendalam yang menggabungkan model daring dan tatap muka, dipilih sebagai instrumen dalam proses pengumpulan data.

Pemilihan responden dan narasumber dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan tua (lahir pada tahun 1925 hingga tahun 1980) dan golongan muda (lahir pada tahun 1981 hingga 2004). Pembagian kategori usia ini sangatlah penting, karena pengalaman sejarah dan interaksi sosial yang dialami oleh masing-masing kategori usia ini tentunya berbeda dan memberikan pengaruh terhadap cara pandang mereka.

Seputar Riset Survei daring yang telah dilakukan berhasil menjaring

173 responden di tiga lokasi penelitian, dengan proporsi, Jabodetabek 107 responden, Sumatera Utara 45 responden, dan Sulawesi Utara 21 responden. Harus diakui bahwa model survei daring cukup membatasi tim untuk dapat memperoleh jumlah responden yang diharapkan. Namun, dukungan dari jaringan mitra penelitian sangatlah membantu tim dalam mengatasi kesulitan tersebut. Selanjutnya, wawancara mendalam dilakukan kepada 28 orang Tionghoa dengan variasi latar belakang profesi sebagai berikut, 1) pengurus asosiasi Tionghoa, 2) akademisi, 3) politisi, 4) siswa/mahasiswa yang pernah menempuh studi di Tiongkok, dan 5) profesi lain yang spesifik, seperti dokter, advokat, analis politik, pengusaha, pedagang, dan lain sebagainya. Hasil pengolahan data survei dan wawancara mendalam menunjukkan bahwa pengalaman yang dialami oleh masing-masing responden dan narasumber dalam penelitian ini sangat subjektif dan beragam, sehingga pemaknaan yang diberikan pun menjadi kaya. Strategi yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan stereotip terhadap etnik Tionghoa pun menjadi sangat khas, karena lahir dari pengalaman, karakter dan cara pandang yang berbeda. (Nina Andriana)

Vol. 1 No. 2, Agustus 2021 4

Newsletter SETARAMengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah Indonesia

Memajukan Indonesia yang Inklusif

Membicarakan Indonesia saat ini mengingatkan saya pada ucapan sejarawan Perancis Ernest Renan yang terkenal dengan pertanyaannya “Qu’est-ce qu’une

nation “? (What is a nation?). Presiden Soekarno dalam rapat BPUPKI menyatakan dirinya terinspirasi oleh konsep bangsa dari Renan ini, selain dengan konsep geopolitik (Suryadinata, 2010). Renan dan Soekarno, dengan konteks sosiologis, berbekal pengalaman historis yang dialami masing-masing pada ruang geografis yang berbeda, mempunyai aspirasi yang  dibentuk oleh nilai-nilai mengenai nasion yang tidak dibatasi oleh afiliasi suku, agama, dan ras, tetapi terkait dengan ide kesejahteraan bersama. 

Sebuah negara dengan beragam kelompok masyarakat yang berdiam di dalamnya, sudah pasti memerlukan rasa aman yang diperoleh dari terpenuhinya kesejahteraan sebagai hak mereka. Namun, bagaimana kita merefleksikan realitas kecenderungan minoritisasi yang masih dialami etnik Tionghoa saat ini? 

Belajar dari pengalaman sejarah Indonesia dalam kurun waktu yang berbeda, jelas bahwa etnik Tionghoa sebagaimana warganegara dari etnik Jawa, Aceh, Papua, dan lainnya mempunyai kontribusi pada perkembangan peradaban budaya, ekonomi, dan politik. Kontribusi positif ini tentu tidak dapat dinafikan begitu saja dan harus tercatat serta terekam dalam memori bangsa. Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan karakter sebagai negara yang inklusif perlu dilakukan terus menerus tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat.

Aspirasi ini hanya bisa terwujud jika demokrasi berbasiskan good governance, bukan sekadar lip service (di satu sisi ada pemilu dan berlangsung institusionalisasi regulasi  mengenai HAM, di sisi lain  “ramah” pada ekonomi pasar), serta memperhatikan dan memasukkan suara dari kelompok-kelompok (yang dianggap) minoritas, atau yang selama ini ter/di-pinggirkan dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan untuk isu-isu penting terkait kesejahteraan publik.

Misalnya, tidak adanya lagi persekusi terhadap identitas agama/suku/ras, bukan sekadar  untuk mematuhi UU 40/2008 yang lahir karena konteks reformasi pasca-kekerasan pada etnik Tionghoa, melainkan karena terbentuknya kesadaran yang luas dan tertanam dalam benak orang Indonesia, sebagai rumah tempat bernaung beragam kelompok. Inklusivitas diperlukan sebagai prekondisi dari munculnya regulasi selain pembiasaan untuk berpikir dan bertindak humanis pada kelompok-kelompok yang dianggap minoritas (baik politik, sosial, kultural termasuk agama, ekonomi dan/atau orientasi gender).

Lalu, pertanyaannya, darimana inklusivitas yang dibayangkan ini bisa diperoleh? Lebih dua dekade pascareformasi 1998 telah  banyak pelajaran diperoleh dari orang-orang muda yang bekerja di ruang sunyi tanpa gegap-gempita baliho kampanye seperti di masa pemilu. Mereka membangun inklusivitas sebagai bagian dari bangsa Indonesia dengan beragam cara. Solidaritas Nusa Bangsa lewat perumusan UU No.40/2008; memperbanyak kapasitas literasi dan sekaligus memperluas wawasan multikultural oleh Sanggar Rebung Cendani; fasilitasi dialog antar-komunitas seperti dilakukan oleh aktivis Tionghoa di Semarang lewat EIN Institute; masuk ke kancah politik; dan juga berbagai kontribusi positif dari individu dan kelompok Tionghoa lainnya pada khazanah kebangsaan Indonesia. 

Kesadaran tentang Indonesia yang inklusif di tingkat masyarakat tentunya memerlukan peran pendidikan lewat kurikulum sekolah. Contoh baik juga harus dilakukan oleh penyelenggara negara, misalnya terkait dengan ketegasan untuk tidak melanggengkan persekusi yang didukung oleh peraturan diskriminatif dan berpotensi memunculkan rasa tidak aman di kalangan minoritas, terutama terkait blasphemy dan UU ITE. Tanpa dukungan dari masyarakat dan institusi negara, akan sulit untuk memajukan ide Indonesia inklusif yang bisa menjamin rasa aman serta kesejahteraan semua orang dan kelompok. (Irine Hiraswari Gayatri)

Indonesia yang multikultur menjadi penting diteliti karena dapat menjadi satu strategi yang diharapkan mampu menghilangkan stereotip negatif.

Buku Potret Pemenuhan Hak Sipil & Politik Etnik Tionghoa: di Singkawang & Tangerang yang ditulis oleh Tim Kajian Etnik Tionghoa Pusat Penelitian Politik-LIPI menganalisis penguatan hak sipil dan politik serta partisipasi politik etnik Tionghoa di Singkawang dan Tangerang, di tengah momen Pemilu Serentak 2019.

Pada praktiknya, pengalaman pemenuhan hak sipil dan politik etnik Tionghoa di tiap wilayah tidaklah homogen. Konteks lokal di mana komunitas tersebut tumbuh dan berkembang memengaruhi kekhasan komunitas etnik Tionghoa di tiap wilayah, yang pada gilirannya berpengaruh terhadap keragaman kelompok dan partisipasi politik yang dilakukan. Di tengah anggapan bahwa etnik Tionghoa merupakan kelompok yang seragam, kehadiran buku ini diharapkan dapat membuka mata pembaca mengenai keragaman etnik Tionghoa yang tidak dapat digeneralisir

dalam sebuah kerangka tunggal. (Atika Nur Kusumaningtyas)

Judul: Potret Pemenuhan Hak Sipil & Politik Etnik Tionghoa: di

Singkawang & TangerangEditor:

Lidya Christin SinagaTahun Terbit:

2020Penerbit:

Yayasan Pustaka Obor IndonesiaJumlah Halaman: xx + 202 halaman

Ulasan Buku

Setelah dua dekade reformasi yang membuka kesempatan bagi seluruh warga negara untuk berpartisipasi mewujudkan hak sipil dan politiknya, etnik Tionghoa

masih berhadapan dengan prasangka rasial dan stereotip negatif masyarakat serta elite politik yang melihat keberadaan etnik ini sebagai “liyan/other”, sehingga identitas mereka rentan dipolitisasi terutama pada momen-momen elektoral. Padahal, negara berkewajiban melindungi hak sipil dan politik seluruh warga negara, termasuk hak memilih dan dipilih secara politik serta hak untuk tidak mendapatkan diskriminasi. Partisipasi politik sebagai ruang perjumpaan yang setara dalam bingkai