newsletter april 09

27
2009 Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogya 3/2/2009 Edisi : 04 /April 2009

Upload: lp3y

Post on 20-Jun-2015

826 views

Category:

Education


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Newsletter April 09

2009

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan

Penerbitan Yogya

3/2/2009

Edisi : 04 /April 2009

Page 2: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Pengantar:

Berdayakan Perempuan Lewat Film

Jika para penonton disuguhkan film yang berbeda, dalam arti tidak seperti film kebanyakan dengan bertitik tolak pada isu perempuan, apa reaksinya? Mendukungkah, antipati, terinspirasi atau biasa-biasa saja? Mungkin ada banyak reaksi jika orang pernah menonton film ini. “Pertaruhan” (At Stakes) yang pernah diputar di salah satu televisi swasta. Film ini punya banyak “nilai” bagi para penonton yang peduli terhadap isu-isu perempuan. Nia Dinata, sang produser, dalam sebuah diskusi tentang film ini di bisokop Empire XXI, Yogyakarta pada Rabu, 29/4/09 mengatakan bahwa film ini sebenarnya ingin membawa pada kesadaran akan bentuk film yang berbeda. Selain juga ingin agar masyarakat Indonesia lebih “melek” film, tanpa harus menggurui.

Selain itu Nia juga mengungkap bahwa film antologi dokumenter ini sebagai alternatif film-film lain yang masuk ke bioskop dan tidak hanya sekadar menonjolkan unsur horor atau hiburan. Film ini tentunya mengajak penonton berpikir. Karena salah satu tujuan film ini kata Nia ingin memberdayakan orang-orang yang termarginalkan, apakah ia seorang lesbian, transgender, Pekerja Seks Komersial, Tenaga Kerja Wanita dan lain sebagainya. Tema yang diusung dari realitas kehidupan perempuan sekitar ini merupakan gambaran ada banyak pertaruhan yang dihadapi perempuan. Dalam realitas kehidupan ternyata masih banyak perempuan yang tidak memiliki tubuhnya sendiri. Perempuan juga menghadapi tekanan-tekanan. Dan satu lagi, dalam film ini digambarkan kemandirian perempuan dengan berjuang untuk hidup demi cinta kasih terhadap anak-anaknya.

Page 3: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Sehubungan dengan itu, nampaknya tepat pemutara film ini karena sekaligus merayakan hari Kartini. Setidaknya perjuangan perempuan atau realitas perempuan tersebut sudah ada sejak jaman Kartini. Semasa hidupnya Kartini juga menghadapi tantangan-tantangan yang disebabkan nilai-nilai patriarkhis. Tidak boleh bersekolah, dipingit dalam rumah bahkan ia pun harus rela menjadi selir dari suaminya. Sebuah pilihan yang sulit. Tidak mudah menjadi perempuan jaman sekarang yang dapat dengan mudah mengakses segala kebutuhan. Kemudahan dalam mengakses pendidikan, akses mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, akses mendapatkan hak agar tidak didiskriminasi. Namun realitas film tersebut memberikan pada kita bahwa bentuk ketertindasan dan diskriminasi dalam bentuk lain masih banyak dialami perempuan. Perjuangan memang perlu proses panjang. Hingga saat ini proses pencerahan masih terus berlanjut. Melalui film inilah diharapkan ada perubahan paradigma terhadap perempuan yang termarginalkan. Film-film seperti inilah yang diharapkan hadir dan mampu menggugah, menyentuh dan akhirnya dapat berempati terhadap persoalan yang ada.

***

Salah satu topik tulisan Newsletter edisi April ini tidak ada hubungan yang signifikan terhadap persoalan film. Tetapi nafas perjuangan yang diusung dalam salah satu tulisan ini sama, yakni bagaimana mengangkat persoalan perempuan dan anak dalam mendapat akses pelayanan kesehatan. Melalui salah satu tulisan yang menyorot tentang gizi buruk, analisis singkat terhadap berita-berita kasus itu. Dalam hal inilah coba dilihat sejauhmana peran media mengangkat persoalan tersebut. Lain halnya dengan persoalan pemilu yang masih hangat, persoalan kuota yang tidak tercapai itu menjadi salah satu sorotan pada edisi ini. Masih ada beberapa lagi topik liputan yang disajikan dengan analisis tajam, seperti bagaimana media bersikap dengan adanya bencana situ gintung atau sorotan tentang berita-berita politik pascapemilu ini. Untuk lebih jelasnya, silakan membaca lebih lanjut. (Ismay)

Page 4: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Sekilas Info:

Penjajakan Kerja Sama MI-LP3Y

Pada Rabu, 15 April 2009 sekitar pukul 10.00 WIB, di ruang rapat LP3Y hadir sejumlah anggota redaksi dan staf penelitian pengembangan (litbang) suratkabar harian

. Rombongan yang berjumlah lima orang itu dipimpin oleh Direktur Pemberitaan Media Indonesia Saur Hutabarat Kedatangan mereka disambut

Direktur , Ashadi Siregar beserta Staf Profesional. Hampir selama satu hari penuh, berlangsung diskusi antardua lembaga itu, yang tentu saja diselingi dengan jeda makan siang. Setelah istirahat, diskusi berlanjut

hingga menjelang senja tiba. Beberapa poin hasil diskusi tersebut dimaksudkan adanya kerja sama antara LP3Y dengan Media Indonesia dalam pelatihan jurnalis tingkat lanjutan. Rencana pelatihan akan diadakan pada bulan Juni tahun ini. Namun, berapa waktu yang dibutuhkan untuk pelatihan ini, belun lagi ditentukan. Hal itu disebabkan, selain menyangkut materi pelatihan yang perlu digodok lebih dalam, juga pelatihan ini ditujukan bagi para jurnalis senior yang diharapkan tidak lagi menyentuh atau berurusan dengan persoalan teknikalitas. Pelatihan ini nanti tidak lagi mengajarkan jurnalis bagaimana mereka meliput dan menulis berita secara konvensional, tetapi melatih jurnalis dalam membuat news analysis, yakni jika jurnalis menghadapi realitas sosial di lapangan, bagaimana mereka kemudian bisa memberi makna dalam tulisan atau laporannya. Jadi, tidak lagi sekadar mengembangkan jurnalisme fakta, tetapi sudah mencapai apa yang disebut dengan jurnalisme makna. (Ismay)

Page 5: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Nonton Film “Pertaruhan”

Pada hari Rabu 29 April lalu , sekitar pukul 09.00 WIB, redaksi newsletter LP3Y hadir dalam acara nonton film bareng dengan judul “Pertaruhan”, di bioskop Empire XXI, Jalan Urip Sumoharjo Yogyakarta.

Acara hasil kerja bareng Rifka Annisa dan Kalyana Shira Foundation ini adalah dalam rangka road show pemutaran film tersebut dan berkaitan pula dengan Hari Kartini. Banyak penonton yang hadir, dan ketika film berakhir applause penonton sebagai pertanda film ini begitu menyentuh dan mampu memberikan inspirasi tersendiri. Apalagi, setelah film berakhir ada acara diskusi dengan produser, Nia Dinata, dan salah satu protagonis film tersebut. Selama kurang lebih 20 menit diskusi berlangsung efektif dan mengena bahwa hadirnya

film lain dari yang lain dengan mengusung isu perempuan. Dengan adanya film ini penonton dapat berpikir dan menjadi agen perubahan bagi dirinya tanpa harus digurui. Begitulah kata sang produser. Semoga film ini menginpirasi produser lainnya sehingga ada karya film selanjutnya yang terus mengusung tentang isu-isu perempuan yang masih termarginalkan. Semoga. (Ismay)

Page 6: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Media dan Jurnalisme:

Dominasi Berita Politik dan Kebutuhan Informasi Khalayak

Selama satu bulan terakhir, April 2009, bisa dikatakan tidak pernah ada berita lain di media massa, cetak maupun elektronika, kecuali berita politik. Apalagi, setelah pada 9 April 2009 dilaksanakan pemungutan suara pemilihan umum legislatif. Sebelum 9 April selama lebih kurang tiga minggu, media, terutama suratkabar, diwarnai dengan berita tentang kampanye yang mengawali pemilu legislatif itu. Realitas tentang partai politik dan perolehan suara pada pemilu legislatif 9 April 2009 serta kiprah para aktornya, nyaris setiap hari menempati kapling sebagai berita utama (headline) suratkabar. Dilihat dari keterkaitan realitas itu dengan nilai berita (news value), tidak bisa di-pungkiri lagi bahwa dinamika politik yang sedang terjadi di ruang publik mempunyai nilai dan kelayakan yang tinggi untuk diberitakan. Pertanyaannya adalah, bagaimana media pers melihat kenyataan lain, di luar fakta politik itu? Apakah dengan demikian, khalayak yang ingin

mendapatkan banyak infor-masi, bisa dengan begitu saja diabaikan sehingga mereka dipaksa untuk menelan berita tentang politik? Tentu khalayak berhak untuk mendapatkan berita-berita selain berita politik. Pada kenyataannya, sejauh ini media hanya memfokuskan berita tentang politik, misalnya perolehan suara partai, sikap para petinggi partai setelah mengetahui perolehan itu, silang sengkarut pelaksanaan pemilu sampai pada berita tentang reaksi para calon anggota legislatif yang tidak mendapatkan suara. Dengan demikian, hampir pasti media mengganggap bahwa politik merupakan fakta penting yang harusnya diketahui oleh pem-bacanya. Nilai berita, ketermukaan, aktualitas persoalan --untuk menyebut contoh-- diambil sebagai unsur kelayakan yang sudah terpenuhi ada pada realitas politik yang sedang terjadi. Dengan demikian menjadi landasan media untuk memproduksi informasi.

Page 7: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Itu semua dilihat dari sisi media sebagai, katakanlah, produsen informasi. Lantas, bagaimana dari sisi khalayak yang hanya bisa menerima produksi informasi itu? Adakah mereka telah mendapatkan sesuatu yang baru? Jika ada, bisakah sesuatu yang baru itu di-gunakan sebagai panduan atau acuan bagi khalayak untuk menentukan pilihan terutama memasuki proses pemilihan presiden yang akan digelar secara langsung pada awal Juli 2009 nanti? Gugatan atau pertanyaan semacam ini memang bisa mengusik, namun bisa juga tidak dipandang sebagai persoalan. Sebab, apa yang dilakukan media sebagai produsen informasi tentunya tidak akan mengesampingkan faktor pasar sebagai landasan pro-fesional yang mereka lakukan. Akan halnya persoalan lain, misalnya menyangkut makna publik dari setiap fakta yang dikemas menjadi informasi yang diberikan media, tentunya bisa menjadi kajian lebih lanjut. Setidaknya, memantik pertanyaan kritis: jika khalayak diberi berita politik semata, lantas bagaimana pemenuhan mereka pada informasi lain? Atau, jika fakta atau realitas politik yang selalu dipaksakan agar dikonsumsi khalayak itu, sejauh mana telah menumbuhkan sikap kritis, minimal dari pemahaman diri mereka, terhadap kenyataan (politik) yang sebenarnya terjadi? Mengutip Prof Dr Ramlan Surbakti, politik merupakan proses kompetisi di antara berbagai pihak di dalam ruang publik untuk mendialogkan, menegosiasikan dan mem-bentuk makna publik tentang berbagai isu yang menyangkut atau mengenai kehidupan warga negara dalam upaya bersama merumuskan tatanan yang baik bagi kehidupan ma-syarakat (good society). Politik merupakan proses produksi, produksi tandingan dan re-produksi makna publik sampai akhirnya dicapai kesepakatan yang menjadi platform ber-sama. (Menuju Masyarakat Kewargaan: LP3Y-TAF 1999). Berdasar hal tersebut, khalayak bisa menilai terhadap kenyataan yang terjadi sekarang. Apakah benar perpolitikan sedang terjadi dan menuju terbentuknya good society itu? Kalau benar, bagaimana hal itu ditunjukkan oleh media? Atau bisa pula yang sedang terjadi adalah sebaliknya. Jangan-jangan politik dominasi sedang akan terulang kembali? Lantas, bagaimana media menyikapi persoalan-persoalan itu dan kemudian apakah sudah memberi informasi kepada khalayak? Manuver Berdasarkan pengamatan sepintas pada beberapa suratkabar, selama April 2009 yang lebih dominan menjadi berita (utama) di media khususnya suratkabar adalah manuver partai politik-partai politik dan para

Page 8: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

aktornya dalam upaya merebut kekuasaan. Persoalan kehidupan masyarakat yang makin kompleks dan makin berat, di tengah persaingan global, hampir tidak tersentuh dalam pemberitaan, khususnya jika dikaitkan dengan dunia politik aktual yang sedang berkembang. Artinya, berita politik itu tidak menyentuh secara langsung maupun tidak langsung kebutuhan bagi peri kehidupan masyarakat. Kalau pun ada hanyalah berupa wacana belaka. Berita realitas politik hanya berputar sekitar manuver partai dan para tokohnya, perolehan suara partai demi menuju kursi parlemen. Intinya, partai politik dan kekuasaanlah yang mengiringi dinamika pemberitaan itu. Meski demikian, selain manuver partai politik itu, ada juga tentang dinamika pe-laksanaan pemilihan umum legislatif. Kisruh daftar pemilih dan penghitungan suara pasca pemungutan, juga mendapat porsi cukup. Jika ada pemberitaan yang menyentuh kehidupan manusiawi (human interest) yang muncul adalah tentang beberapa calon anggota legislatif yang gagal bersaing dan kemudian secara kejiwaan terganggu. Berita tentang ini pun tidak menyentuh persoalan besar yang menjadi pokok masalah yakni bahwa mereka (caleg gagal itu) adalah korban. Ya, mereka adalah korban dari seluruh rangkaian sistem dalam pemilu kali ini. Mereka korban dari

produk undang-undang, korban dari persaingan intern di dalam partai, juga korban akibat budaya menerabas yang kini lebih berkuasa ketimbang menggunakan akal sehat dan rasionalitas. Pemujaan terhadap segala hal yang bersifat material dan finansial, yang kini menjadi ukuran utama, tidak semua bisa diikuti mulus oleh para caleg. Pemunculan berita tentang caleg gagal yang kemudian mengakibatkan jiwanya terganggu, bahkan sampai ada yang mengakhiri hidupnya sendiri, disajikan tidak lebih dari semangat sensasional. Sensasi tentang kesiapan rumah sakit dengan ruang utama bagi caleg gagal yang stress, atau beberapa rumah pemondokan yang merawat dengan metode tertentu. Bahkan dalam beberapa siaran televisi disajikan gambar tentang perilaku calon anggota legislatif yang gagal itu setelah berada dalam rumah perawatan. Setelah sempat hadir di media, berita macam itu kemudian hilang dengan sendirinya, seiring hilangnya akar persoalan yang memang selama ini tidak pernah tersentuh. Kembali pada persoalan di atas, sejauh ini bagaimana berita politik yang selama sebulan terakhir ini mendominasi ruang suratkabar bisa

dijadikan panduan bagi masyarakat, terutama menjelang pemilihan presiden (pilpres) Juli nanti?

Page 9: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Ternyata, berdasar pengamatan terhadap produk beberapa suratkabar, belum banyak yang bisa dijadikan acuan atau paling tidak membantu khalayak mendapatkan pemahaman secara khusus mengenai pilpres. Setelah pemungutan suara berlangsung 9 April, disusul penghitungan suara, sudah diperoleh gambaran susunan partai mana yang mendapatkan suara, paling tidak yang bisa masuk dalam kategori 10 besar. Tentu saja, konsekuensi setelah partai itu masuk dalam 10 besar, diikuti oleh ma-nuver para aktor atau pengelola partai itu. Manuver-manuver itulah yang kemudian banyak muncul, menghiasi wajah media, suratkabar, majalah maupun media elektronika. Berita utama (head line) beberapa suratkabar yang dirangkum dalam tabel di bawah ini, secara faktual memperkuat penafsiran publik bahwa pergulatan atas makna politik itu hanya ada pada tataran elit parpol, belum sampai menyentuh pada kehidupan rakyat di akar rumput.

NO TGL MEDIA JUDUL

1 2 3 4 5 6

14 April 2009 14 April 2009 14 April 2009 14 April 2009 14 April 2009 14 April 2009

SUARA MERDEKA KORAN TEMPO MEDIA INDONESIA KOMPAS REPUBLIKA SOLOPOS

Kalla Akhirnya Temui SBY Kalla Merapat ke Cikeas PKS Ancam Tinggalkan Demokrat Bila Merangkul Kalla JK Merapat Kembali ke Cikeas Lobi Koalisi Kian Intensif JK Temui SBY

Apa makna atas realitas seperti ditulis dalam berita utama itu? Tentulah pilihan media menempatkannya karena kiprah dua petinggi partai yang kebetulan sedang ber-kuasa (Demokrat dan Golkar) mempunyai nilai tinggi. Signifikansi dan ketermukaan ke-dua tokoh itu menjadi alasan. Selebihnya, khalayak sendiri harus mencari agar bisa menilai dan menguji sejauh mana sebenarnya manuver-manuver para aktor partai politik itu bermanfaat secara langsung pada diri mereka. Atau, adakah hal lain yang mampu menumbuhkan sikap kritis pada diri mereka. Bahkan, pada edisi 14 April 2009 itu, juga diwarnai dengan pemberitaan tentang dua orang tokoh, semata karena mereka yang semula dinilai berseteru itu kemudian bertemu kembali setelah 10 tahun berpisah. Mereka adalah Prabowo Subianto dan Wiranto. Dua orang itu berlatarbelakang militer, pensiunan jenderal,

Page 10: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

dan kini memimpin partai yang bersaing dalam pemilu legislatif. Berdasarkan peroleh suara, dua partai pimpinan dua tokoh itu masuk dalam kategori 10 partai besar. Pada edisi Selasa 14 April itulah hampir semua media cetak memuat foto kedua-nya sedang bersalaman. Ada pula tulisan khusus, atau berita yang menyertai foto itu. Namun ada yang hanya memberi caption (keterangan foto). Yang jelas, hampir semua suratkabar menempatkan gambar pertemuan itu pada halaman pertama. Mendidik Tentunya, setiap suratkabar mempunyai alasan mengapa memilih berita dan foto tersebut sebagai sajian utama. Pemilihan itu tentu pula sudah disadari akan mengambil risiko. Artinya, tidak semua khalayak membutuhkan informasi yang sarat dengan kan-dungan nilai politik itu. Harus disadari pula bahwa tentu masih banyak yang mem-butuhkan

informasi lain. Bisa jadi lain sama sekali, atau kalau pun toh masih berkaitan dengan realitas politik dan melibatkan tokoh-tokoh itu, masih ada yang perlu digali lebih dalam agar khalayak bisa mendapatkan informasi seluas-luasnya. Tidak sekadar dramati-sasi bertemunya dua tokoh yang banyak disebut-sebut mengetahui aksi kerusuhan atau terlibat di dalamnya, bahkan ada dugaan mengetahui tapi mendiamkan aksi itu terjadi, pada peristiwa awal 1998 menjelang runtuhnya rezim otoriter orde baru. Informasi yang diharapkan bisa memberi pendidikan pada khalayak itu tidak banyak muncul seiring dengan hiruk pikuk perpolitikan yang terus berkembang dari hari ke hari. Berita yang banyak hadir di tengah publik masih seputar langkah, strategi dan akibat dari manuver-manuver para aktor partai politik. Jika pun seorang pemimpin negara yang berdiri sebagai incumbent dalam pilpres nanti, muncul di pemberitaan, juga lebih sering diwarnai dengan langkah sukses partainya yang menangguk banyak suara, ketimbang sesuatu yang melahirkan kritisisme bagi publik. Langkah partai satu dengan partai lain dalam rangka berkoalisi, penetapan kriteria calon wakil presiden, dan masih banyak manuver politik para elite parpol, berseliweran menjadi berita di media. Namun, langkah-langkah itu masih pada pengertian lebih pada upaya perebutan kekuasaan belaka. Tidak atau belum ada langkah yang memberikan sinyal konkret, lugas, bahkan memberi harapan sekaligus kritis, pada masyarakat luas. Peran media, dalam hal ini suratkabar, juga setali tiga uang dengan apa yang dilakukan para elit itu. Bahkan, pada edisi 23 April 2009, berita utama di beberapa suratkabar memuat tentang putusnya hubungan dua pemimpin negeri ini. Suratkabar Kompas pada edisi itu secara lugas membuat judul : SBY-JK Bercerai. Namun, pada edisi berikutnya, diberitakan tetap bersatunya dua orang itu dalam memimpin negeri hingga Oktober 2009.

Page 11: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Apakah ini artinya? Sejauh mana gambaran masyarakat awam tentang perkembangan politik semacam ini? Bagaimana media memberi pemahaman tentang dua orang yang berseteru dan bersaing di ranah politik tetapi tetap harus bersatu ketika menjadi pejabat publik, bahkan memimpin sebuah negara? Masihjarang media mengulas persoalan ini. Kalau pun ada, hal itu muncul diambil dari beberapa peristiwa aktual di lingkungan pemerintahan, antara lain istana, atau dari para pengamat politik melalui artikel opininya, maupun komentar mereka di televisi. Pemahaman lebih tentang para tokoh elit politik yang diterima masyarakat awam, tentu belum sepadan dengan apa yang semestinya dibutuhkan. Tentang Prabowo dan Wiranto saja, misalnya, belum diulas secara tuntas. Bahwa latar belakang karier mereka adalah dunia militer, sama-sama lahir dari satu partai, kemudian kini menjelma menjadi pemimpin partai baru, disikapi media seolah sebagai hal yang biasa. Tak ada gugatan makna tentang kehadiran mereka di ruang publik berkendaraan partai politik. Tak ada pertanyaan dari mana mereka mendapatkan “amunisi” untuk menggerakkan partainya. Tak ada pertanyaan mengapa tiba-tiba mereka bersemangat muncul di kancah politik dan saling mengklaim diri sebagai nasionalis sejati? Pertanyaan atau gugatan itu tentu masih bisa diperluas dan diberlakukan untuk siapa saja. Tak terkecuali untuk incumbent, atau pihak yang kini berkuasa tapi sudah secara gamblang hendak mencalonkan diri kembali. Kritisisme yang semestinya bisa dimunculkan pada khalayak itu seakan terbungkus oleh berbagai persoalan yang sedang dialami masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Atau bisa jadi sengaja dibungkus oleh karena keengganan media yang jauh hari sudah bisa menduga siapa yang akan muncul sebagai pemenang dalam pilpres nanti. Padahal, tidak ada salahnya kalau khalayak diberi pengetahuan lebih tentang siapa saja yang akan bertarung dalam perebutan kekuasaan itu. Bagaimana mereka, apa latar belakangnya, dan lain sebagainya. Pada kenyataannya sampai sekarang media justru lebih disibukkan melihat dan kemudian memilih berita-berita keras yang masih tetap terjadi setalah pemilihan legislatif. Demikianlah, meski sudah banyak fakta politik dalam pemilihan legislatif diberitakan selama April 2009, kini saatnya khalayak diberi pemahaman lebih tentang para kandidat yang akan berlaga dalam pilpres nanti. Adalah tidak adil jika masyarakat hanya didiamkan begitu saja tanpa bisa memahami siapa calon pemimpin mereka. Sehingga dengan demikian masyarakat nanti bisa mengikuti pilpres dengan netralitas, kecerdasan dan rasionalitas yang terjaga. Memberikan suara tanpa makna tentu tidak diharapkan. Di sinilah peran media perlu hadir untuk memberi bekal itu.

Page 12: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Meski bukan dikerjakan oleh jurnalis, informasi mengenai para calon pemimpin itu sudah ditulis denga kritis oleh seorang sosiolog terkemuka, George Junus Aditjondro (GJA-pen). Melalui beberapa artikel yang ditulisnya di suratkabar Suara Pembaruan (SP), GJA secara khusus menyoroti kiprah dan latar belakang para pemimpin atau calon pemimpin yang akan mengikuti ajak pilpres itu. Tulisan tentang Prabowo, tentang Jusuf Kalla (Sang Kuda Hitam dari Makassar- SP 27/3/09); tentang SBY dan Mega (Persaingan Dua Calon Dinasti Politik - SP 3/4/09) dan tentang Sri Sultan HB X (Simpang Tiga pada Ulang Tahun ke 63-SP 7/4/09) adalah beberapa artikel karya GJA yang telah dipublikasikan. Tentu saja artikel yang dibuat berlandaskan penelitian dan kerangka ilmiah tapi disajikan dengan bahasa populer, itu mampu menambah pengetahuan, pemahaman dan warna tersendiri bagi khalayak terutama mengenai sosok kandidat dalam pilpres nanti. Waktu terus berjalan. Pelaksanaan pilpres masih dua bulan mendatang. Peran media pers tentu saja terus ditantang untuk mampu memberi informasi yang gamblang tentang para petarung. Informasi yang dibutuhkan tentu saja bukan hanya menyangkut hal-hal yang bersifat formalitas, namun juga substansial, sehingga ketika sampai saatnya nanti, masyarakat tidak lagi sekadar menjalankan haknya tapi tidak mengerti apa sebenarnya maknanya. (Agoes Widhartono)

Page 13: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Media dan Kesehatan Reproduksi:

Ekspos Media tentang Gizi Buruk

Pada bulan April ini, biasanya orang mengingat hari penting pada tanggal 21 April dengan memperingati hari Kartini. Tahun ini agak sedikit berbeda, selain hari Kartini, orang mengingat tanggal 9 merupakan pemilu, karena pada hari tersebut rakyat Indonesia diharapkan memilih wakil rakyat. Namun dua hari sebelumnya yakni tanggal 7 adalah hari kesehatan internasional. Tak banyak orang tahu dengan adanya hari kesehatan internasional ini. Hari kesehatan ini hanyalah sederet daftar hari-hari penting yang mendapat perhatian bagi pihak tertentu. Mengapa sampai ada hari kesehatan atau mengapa hari kesehatan ini dinyatakan sebagai hari penting? Pertanyaan kritis ini perlu mendapat bahasan serius. Dunia mengakui bahwa kesehatan adalah salah satu faktor penting yang perlu mendapat perhatian karena menyangkut hidup manusia, atau kualitas hidup manusia. Masih banyak orang sakit tidak tertangani, masih banyak orang menderita akibat tidak adanya pelayanan

kesehatan yang memadai. Dengan demikian sebenarnya, pemerintah perlu menangani masalah ini, karena ini menyangkut generasi penerus bangsa. Salah satu realitas yang sering terjadi dan berhubungan dengan masalah kesehatan ini adalah ketika terjadi bencana. Bencana banjir misalnya, yang selalu berulang setiap tahunnya disikapi menjadi hal yang biasa. Padahal akibat banjir, banyak warga mengungsi ke tempat yang dianggap aman. Namun, di tempat pengungsian inilah masalah kesehatan tidak pernah dieksplorasi media, padahal banyak warga yang menderita gangguan kesehatan seperti diare, gatal-gatal dan lain sebagai sebaganya. Cobalah simak berita-berita yang ada, apakah media memberitakan kondisi kesehatan masyarakat di tempat pengungsian tersebut? Seberapa jauh media memberitakan hal tersebut, apakah sampai menyentuh kepersoalan yang sangat mendasar misalnya ketersediaan layanan kesehatan bagi warga pengungsi? Seperti apa dan bagaimana layanan kesehatan tersebut?

Page 14: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Hasil analisis Dedi H Purwadi selama periode Januari 2009 tentang fakta kesehatan pada berita kebencanaan, ditemukan dari 83 item berita pada dua suratkabar Kompas dan Suara Mederka, hanya 8 item berita yang berbicara tentang fakta kesehatan. (Newsletter online LP3Y edisi Februari 2009). Apa artinya, apakah dengan adanya hasil temuan itu memang tidak terjadi persoalan yang berkaitan dengan kesehatan? ataukah itu terjadi karena tidak adanya kepekaan jurnalis terhadap fakta kesehatan. Masih minimnya berita yang bermuatan kesehatan pada berita kebencanaan menjadi pertanyaan tersendiri. Bagaimana dengan berita kesehatan lainnya, semisal kesehatan anak yang biasanya media memuat kasus gizi buruk. Seperti apa media khususnya suratkabar memberitakan kasus gizi buruk? Seberapa intens gizi buruk diberitakan? Apakah jika tidak ada berita gizi buruk berarti kondisi kesehatan masyarakat sudah baik? Kalau belum, seberapa jauh langkah pemerintah dalam hal pelayanan kesehatan membantu anak menderita gizi buruk? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menyeruak karena punya alasan tersendiri. Begitu banyak terjadi persoalan kesehatan atau dapat dikatakan persoalan yang menimpa perempuan dan anak. Kasus gizi buruk inilah yang sering terpampang jelas menghiasi suratkabar, sporadis, tidak utuh, namun ini menjadi suatu pertanda, kasus selalu terjadi dari tahun ke tahun dan seolah tidak pernah ada penanganan yang berarti dari pihak terkait.

Berita (gizi) buruk Persoalan kekurangan gizi atau kasus gizi buruk menjadi penting karena selama ini berita tentang itu muncul di media jika ada angka yang muncul atau kegiatan yang berkaitan dengan itu. Sebagai contoh suratkabar harian Kedaulatan Rakyat (10/3/09) yang menurunkan berita dengan judul: Bantul Galakkan penyuluhan Kepada Orangtua: Hingga Februari 228 Anak Gizi Buruk. Berita ini berisi tentang jumlah masih tingginya kasus gizi buruk di Bantul, Yogyakarta. Penurunan angka gizi buruk yang tidak signifikan yakni pada akhir Desember 2008 lalu berjumlah 229 anak, dan pada Februari 2009 ini menjadi 228 kasus. Selanjutnya, dalam berita tersebut dilaporkan bahwa Dinas kesehatan (dinkes) telah menggalakan penyuluhan dan memberikan bantuan kepada anak-anak yang menderita gizi buruk dengan pemberian makanan tambahan sebesar Rp. 5000 selama 3 bulan dari APBD

Page 15: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Bantul. Sedang dari APBD Propinsi DIY masing-masing anak Rp. 5000 setiap hari selama 6 bulan. Berita hanya berhenti pada pernyataan yang sumbernya diambil dari dinkes Bantul. Selesai. Masih kata kepala dinkes tentang imbauan bagi para pengusaha dan PNS yang diharapkan membantu kasus gizi buruk ini. Tetapi sama sekali tidak disentuh orangtua penderita gizi buruk. Sama halnya dengan berita yang ditulis Koran Tempo dengan judul Gizi Buruk Serang 23 Balita (24/2/09). Berita singkat yang terdiri dari 3 alinea itu berisi tentang adanya 23 kasus gizi buruk di Kecamatan Kokap, kabupaten Kulon Progo Yogyakarta. Data ini bersumber dari Camat Kokap. Sama saja dengan berita sebelumnya, berita ini berhenti pada pernyataan pejabat pemerintah yang diwakili camat. Jurnalis tidak menggambarkan kondisi balita-balita penderita gizi buruk tersebut. Apakah sudah mendapat penanganan, sejauhmana penanganan yang diberikan, apakah hanya bersifat sementara atau ada kesinambungan? Lain halnya berita yang diturunkan oleh Suara Merdeka dengan judul Pasien Gizi Buruk Jadi Tanggungan Pemerintah

(27/2/09). Berita ini tentang pasien gizi buruk di

wilayah Kulon Progo, Yogyakarta yang menjadi tanggungan pemerintah. Pilihan sumber berita pertama, berasal dari Direktur RSUD Wates, Bambang Haryatno tentang benar tidaknya ada pasien gizi buruk. Tapi masalahnya, dalam berita jurnalis tidak menanyakan apakah biaya perawatan ditanggung pemeritah? Padahal judulnya demikian. Kedua, sumber berasal dari Kepala Bidang Sosial pada Dinas Sosial Tenaga kerja dan Transmigrasi, Untung Waluyo yang mengatakan pihaknya selalu memberikan bantuan kepada keluarga berupa makanan pokok, lauk pauk dan penunjang. Lagi-lagi jurnalis hanya berhenti pada pernyataan tersebut, tidak dicecar kepertanyaan selanjutnya, berapa lama bantuan tersebut, sementarakah dan seperti apa bantuan penunjang yang dimaksud. Jurnalis tidak jeli dan apakah pembaca dianggap tahu bantuan penunjang yang dimaksud tersebut. Lagi-lagi jurnalis yang membuat berita tersebut hanya berhenti pada sumber pejabat otoritas dan tidak di-cross check kepada keluarga penderita gizi buruk, benarkah mendapat

bantuan dari pemerintah, seberapa besar dan berapa lama, apa saja dan lain sebagainya.

Page 16: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Berita gizi buruk yang dimuat media tidak memberikan informasi apa-apa selain terjadi kasus. Pilihan angle yang yang tidak kritis pun bisa membuat pembaca menarik kesimpulan bahwa kejadian gizi buruk merupakan tanggungjawab perempuan. Seperti halnya berita gizi buruk edisi 27/2/09 yang dimuat Kedaulatan Rakyat dengan judul berita: Dua Warga Condongcatur Alami Gizi Buruk. Dalam berita tentang dua balita yang menderita gizi buruk dan mendapatkan bantuan dan pemantauan dari Kepala Puskesmas Depok II, drg Isa Dharmawidjaja dan psikolog. Berita yang terdiri dari 5 alinea, pada alinea akhir (kelima) berasal dari pernyataan psikolog. Namun sayang pernyataan psikolog tersebut mengandung penilaian, seolah-olah menyalahkan ibu, lagi-lagi perempuan. Kelengkapan alinea tersebut sebagai berikut:

“Sementara itu Elly yang melakukan pendampingan pada Izzatul menambahkan, memang ada kesalahan dalam pola asuh. Sang Ibu tidak memberikan edukasi yang baik pada mengenai pola makan. Tidak ada jam makan bagi si anak, mau makan atau tidak juga cenderung dibiarkan saja…”

Pilihan jurnalis yang bersumber dari pernyataan dari psikolog, tidak salah karena itu adalah fakta. Namun jika jurnalis punya kepekaan terhadap persoalan itu, ia dapat memilah angle yang lebih tepat. Misalnya, eksplorasi lebih lanjut tentang kondisi keluarga penderita gizi buruk, berapa dana yang dibutuhkan untuk makan, bagaimana faktor pendidikan ibu dan ada tidak dampingan atau penyuluhan posyandu selama ini? Sebagai pembaca awam, membaca kutipan berita tersebut, pembaca dapat menarik kesimpulan seolah-olah semakin menyudutkan perempuan sebagai ibu yang berkewajiban mengurus anak-anaknya. Padahal kewajiban dalam pola asuh dan didik merupakan tanggungjawab kedua orangtua. Tidak dieksplorasi lebih lanjut bahwa adanya kasus tersebut merupakan kompleksnya persoalan yang saling berkaitan mulai dari kesulitan ekonomi, rendahnya pendidikan, kurangnya partisipasi masyarakat dan ketidakpekaan petugas Berangkat dari adanya persoalan dan berita-berita gizi buruk tersebut penulis mencoba melakukan pengamatan. Pengamatan terbatas selama Februari dilakukan terhadap suratkabar Kedaulatan Rakyat, Kompas, Suara Merdeka dan Koran Tempo, terhadap berita-berita kesehatan khususnya menyangkut gizi buruk. Dari pengamatan tersebut ada kecenderungan sebagai berikut:

Page 17: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

- Berita tentang gizi buruk cenderung ditulis dalam format berita straight news atau berita langsung. Apa artinya, media hanya mengangkat kasus gizi buruk hanya sebatas realitas seremoni saja. Tidak dalam dan sporadic. Padahal untuk dapat memahami secara utuh kasus tersebut perlu diliput secara mendalam.

- Sumber berita yang diambil cenderung dari kalangan otoritas pejabat, pejabat dinkes, direktur rumah sakit dan lain sebagainya. Dengan adanya dominasi sumber tersebut, tidak tergambar realitas kondisi sesungguhnya penderita gizi buruk, keluarga dan lingkungan sekitar. Pernyataan pejabat yang cenderung telah bertindak dengan memberikan bantuan kepada keluarga korban tidak diketahui sesungguhnya apakah betul bantuan tersebut diberikan atau hanya sekadar pernyataan.

- Berita tentang gizi buruk ini sama sekali tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Persoalan gizi buruk cenderung dilihat oleh media hanya sebatas wacana yang diperbincangkan pada suatu acara, misalnya di kantor kecamatan, puskesmas, rapat anggota DPRD dan sebagainya.

Dengan adanya kecenderungan yang dilakukan media, pembaca seolah-olah tidak mendapat pengetahuan yang lebih tentang kasus gizi buruk selain hanya bertambahnya atau berkurangnya jumlah kasus gizi buruk di daerah tertentu. Namun pembaca sangat minim menerima informasi apa saja selama ini yang dilakukan masyarakat ataupun pemerintah. Seberapa efektif langkah yang telah dilakukan dalam penanganan masalah ini. Penanganan gizi burukyang biasanya dilakukan melalui posyandu. Namun dari berita-berita yang ada sangat minim informasi tersebut. padahal jurnalis bisa turun ke lapangan dengan mendatangi posyandu-posyandu terdekat. Tanya langsung kepada masyarakat, atau kader posyandu, berapa banyak anak yang mengalami gizi buruk, gizi kurang dan bantuan apa saja yang diberikan. Efektifkah bantuan tersebut dan lain sebagainya. Mengingat peran dan fungsi media dalam hal ini, media dapat melakukan langkah yang lebih mengarahkan pihak-pihak yang berkompeten dengan masalah ini. Pihak tersebut tidak hanya dari pemerintah, masyarakat perlu diberi informasi seberapa jauh persoalan ini dan penanganannya. Dalam melihat kasus ini memang ada perbedaan cara pandang yang digunakan antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah menggunakan pendekatan statistik, sedangkan masyarakat cenderung melihat ini dengan pendekatan empirik. Perbedaan ini tentu

Page 18: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

berimplikasi terhadap cara pandang, bagaimana menentukan suatu langkah yang diambil dan efisiensi penanggulangannya. (http://theindonesianinstitute.com) Pemerintah cenderung melihat dari sisi besaran total per tahun dan konteks kategori kejadian luar biasa (KLB). KLB dihitung dari jumlah kasus per lokasi pada kurun waktu tertentu, dengan catatan dari kasus di tempat yang sama pada periode sebelumnya. Sedangkan masyarakat cenderung melihat adanya satu kasus pun bagi masyarakat itu sudah menjadi kasus. Apalagi ini menyangkut nyawa manusia yang sebagian besar adalah anak balita. Untuk itu adanya hari kesehatan internasional ini dapat dijadikan moment atau titik tolak bersama dalam menangani secara bersinergi masalah ini. Perlu diingat bahwa Indonesia turut menandatangani Konferensi Kairo (1994), kesepakatan kependudukan yang memfokuskan tentang kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan. Salah satu komponen dari 8 komponen tentang layanan kesehatan itu diperuntukkan bagi bayi dan anak-anak. Peran media dalam mewujudkan tujuan konferensi ini menjelang 2015, salah satunya agar masyarakat dengan mudah mengakses layanan kesehatan. Hal ini dilakukan agar kita tidak lagi menghadapi kondisi seperti yang dikatakan Direktur RSUD Wates, (Suara Merdeka, 27/02/09) biasanya pasien gizi buruk adalah penduduk pinggiran, jauh dari berbagai fasilitas dan kurang mampu. Dan akibat faktor miskin serta pendidikan yang kurang sehingga saat hamil dan memiliki anak-anak balita tidak datang ke layanan kesehatan. (Ismay Prihastuti)

Page 19: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Media dan Kebencanaan:

Bencana Situ Gintung dan Sikap Media Sekitar 100 jiwa meninggal, sekitar 100 lagi hilang, 300 lebih rumah hancur (sebagian rata tanah) akibat terjangan bah yang datang menggelora begitu tanggul Situ Gintung di Cireundeu, Tangerang, Provinsi Banten, jebol, pada subuh 27 Maret 2009. Peristiwa ini tentu saja menjadi berita utama seluruh media, cetak (nasional dan lokal) maupun elektronik, juga portal berita di Indonesia. Bagi televisi, peristiwa ini menjadi berita utama sepanjang hari hingga malam pada program berita mereka setelah diangkat menjadi breaking news di pagi hari atau berselang beberapa jam dari saat kejadian.

Bah akibat jebolnya tanggul situ penampung air hujan buatan Belanda tahun 1933 ini memang tak diduga. Ini berbeda dengan sejumlah kejadian bencana banjir yang kerap melanda berbagai daerah di Indonesia. Banjir, untuk sebagian wilayah Indonesia, sudah diperkirakan kemungkinan terjadinya, tinggal seberapa besar banjir itu yang belum dapat dipastikan. Jebolnya tanggul memang tak terduga, apalagi sampai berakibat fatal yang menyebabkan jatuhnya demikian banyak korban jiwa dan kerusakan harta benda. Akan tetapi, pemberitaan media pascabencana menunjukkan bahwa tanda-tanda kerusakan tanggul sudah diketahui sebagian penduduk yang tinggal di hilir tanggul. Media juga memberitakan bahwa penduduk sudah melaporkan kebocoran tanggul ke pemerintah melalui pemerintah kelurahan, jauh-jauh hari. Namun, menurut penduduk sebagaimana dikutip media, hingga tanggul tersebut jebol tak ada respon dari pemerintah terhadap laporan itu. Media juga memberitakan – tentu saja setelah danau buatan itu jebol dan jutaan meter kubik airnya meluluhlantakkan permukiman beserta penghuninya – bahwa BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) telah melaporkan temuan mereka ke departemen teknis terkait, yaitu Departemen Pekerjaan

Page 20: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Umum (Departemen PU). BPPT, yang notabene institusi pemerintah, menemukan adanya kerusakan pada sisi tanggul yang kemudian jebol. Laporan BPPT serupa nasibnya dengan laporan penduduk, tidak mendapat respon. Begitu yang dikutip media. Media memaparkan bahwa tidak diresponsnya laporan BPPT karena pihak Departemen PU menilai BPPT bukan institusi yang berkompeten dalam hal teknis bangunan seperti halnya konstruksi tanggul danau, laporan BPPT dianggap tidak valid. Khalayak pembaca dan pemirsa juga disuguhi fakta saling melempar tanggungjawab antarinstansi pemerintah. Departemen PU menunjuk Pemerintah Kabupaten Tangerang yang seharusnya bertanggungjawab. Sebaliknya, Pemerintah Kabupaten Tangerang menunjuk Departemen PU sebagai penanggungjawab sebab bangunan tanggul merupakan wilayah kerja dan kompetensi departemen ini sebagai departemen teknis. Departemen ini dinilai tidak melakukan pengawasan (bahkan tidak merespon laporan kerusakan). Tak mau disalahkan, Departemen PU menunjuk pemerintah daerah berkontribusi menyebabkan munculnya bencana: pemerintah daerah memberikan izin penggunaan areal tepi danau untuk permukiman dan pertanian, sehingga lambat laun danau yang semula seluas 30 hektar lebih hanya tinggal 20-an hektar. Penyusutan luas danau mengurangi daya tampung air. Begitu ada peningkatan volume air, karena curah hujan tinggi, air meluap dan melimpas di pintu air yang kemudian menggerus dan menjebol tanggul tepat di pintu air. Begitu logika yang disampaikan. Dan pada kejadian 27 Maret itu, curah hujan yang tinggi pun akhirnya ikut dituduh sebagai penyebab. Padahal, masih menurut narasumber yang diberitakan media, di tahun-tahun sebelumnya curah hujan jauh lebih tinggi namun tidak sampai menjebol tanggul. Di tengah saling lempar tanggung jawab itu, media memberitakan fakta yang juga penting untuk dicermati. Menyusul jebolnya tanggul Situ Gintung, pemerintah memerintahkan instansi teknis untuk segera memeriksa sekitar 200 situ atau danau yang tersebar di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan sekitarnya. Seperti pada kejadian bencana-bencana lain di negeri ini, kemudian media pun menyiarkan pernyataan pejabat pemerintah yang nyaris sama ketika merespon setiap bencana, yang intinya masyarakat dan siapapun agar tidak saling menyalahkan karena semua pihak bersalah. Rangkaian fakta-fakta yang disodorkan media melalui berita di atas tentu saja tidak memberikan pemahaman substansial tentang persoalan kepada publik (khususnya pembaca dan pemirsa).

Page 21: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Mendapati fakta-fakta seperti itu, pertanyaan yang pantas dimunculkan adalah bagaimana media menyikapinya? Apakah media kemudian menyikapi bencana ini secara kritis, ataukah mengikuti “ajakan” pemerintah agar semua bersikap (seolah-olah) arif bahwa (1) bencana ini menjadi pelajaran dan (2) tidak saling menyalahkan. Jika media memilih sikap pertama, maka akan membantu dan mendorong publik melihat persoalan secara kritis. Sebaliknya, jika media hanya mengamini “ajakan” pemerintah dan kemudian publik pun mengikutinya, maka yang terjadi adalah sikap nrima di satu pihak dan perilaku lepas tanggung jawab di pihak yang seharusnya bertanggungjawab. Untuk melihat sikap media terhadap persoalan bencana Situ Gintung, salah satunya adalah melalui tajuk atau editorial. Mengapa tajuk? Pertimbangannya sederhana, sebab tajuk atau editorial sebagai produk jurnalisme merupakan artikel yang mencerminkan sikap dan opini institusional media pers dalam menghadapi fakta publik. Dengan begitu visi dan misi media yang bersangkutan diharapkan bersifat ekplisit, secara jelas dapat ditangkap oleh pembaca (Ashadi Siregar dalam Politik Editorial Media Indonesia, LP3ES, 2003:xxxi, lihat juga Ashadi Siregar & I Made Suarjana ed. Bagaimana Mempertimbangkan Artikel Opini untuk Media Massa , Kanisius: 1995:40 ). Sudah tentu ketika membaca tajuk atau editorial pembaca tidak sekadar berharap mengetahui sikap media atau suratkabar yang dibacanya terhadap suatu masalah atau isu. Pembaca berharap dirinya bisa terbantu oleh tajuk atau editorial dalam melihat realitas di sebalik fakta-fakta publik. Meskipun harapan ini bisa juga dipenuhi antara lain melalui artikel-artikel opini yang ditulis berbagai kalangan. Karena tajuk memiliki bobot interpretatif-argumentatif dia bisa membantu pembaca mengapresiasi kehidupan di ruang publiknya, setelah sebelumnya pembaca hanya mengetahui fakta-fakta publik melalui berita. Tentunya harapan pembaca atau publik terhadap sebuah tajuk hanya bisa terpenuhi apabila tajuk bisa secara lugas dan jelas dalam menghadirkan interpretasi dan argumentasinya terhadap realitas publik. Adalah kesia-siaan dari sebuah tajuk apabila tajuk tersebut hanya membuat publik atau pembaca masih harus menginterpretasi lagi isi tajuk tersebut hanya karena tajuk masih penuh dengan kesamaran dan ketidakjelasan. Di antara manifestasi kesamaran itu adalah eufemisme dan teks-teks yang multitafsir. Bagi pembaca ini menjadi tidak efisien. Multitafsir dalam tajuk, bagi Surya Paloh (2003:xii), membuka ruang terlalu lebar bagi deviasi makna dan pesan. Akibatnya jelas, publik tak dapat dengan lempang pula dalam mengapresiasi kehidupan di ruang publiknya.

Page 22: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Beragam Untuk melihat seperti apa sikap media terhadap bencana Situ Gintung dilakukan penelaahan terhadap tajuk atau editorial di tujuh suratkabar. Ketujuh suratkabar tersebut adalah Kompas, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo (keempatnya terbitan Jakarta), Suara Merdeka (Semarang, Jawa Tengah), Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) dan Solopos (Solo, Jawa Tengah). Dari tujuh suratkabar tersebut terdapat sembilan tajuk yang menyoroti bencana Situ Gintung. Dua suratkabar menurunkan tajuk masing-masing dua kali, yaitu Koran Tempo (28/3 dan 31/3) dan Kompas (30/3 dan 1/4). Ada tiga pertanyaan yang diajukan untuk mencermati tajuk-tajuk ini. Pertanyaan pertama, bagaimana media menunjukkan jawaban atas pertanyaan mengapa bencana Situ Gintung terjadi. Pertanyaan kedua, bagaimana media menunjukkan jawaban atas pertanyaan siapa yang seharusnya bertanggungjawab atas bencana ini. Pertanyaan ketiga, bagaimana media menunjukkan saran atau solusi atas persoalan. Ketiga pertanyaan ini penting diajukan karena ketiganya saling terkait dan dengan jawaban atas ketiga pertanyaan itulah publik atau pembaca diasumsikan bisa terbantu dalam mengapresiasi kehidupan publiknya yang sebelumnya mereka peroleh secara sepenggal-sepenggal melalui fakta-fakta melalui berita. Dalam konteks kebencanaan, soal sebab-musabab terjadinya bencana perlu diketahui, dipahami dan disadari oleh semua pihak, sehingga tidak serta merta menunjuk kekuasaan di luar manusia sebagai penyebab. Pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan sebab-musabab bencana memungkinkanmanusia melakukan langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi risiko bencana dan menghindari pengulangan bencana serupa di tempat yang sama maupun berbeda. Pentingnya jawaban menyangkut penanggungjawab atas bencana untuk menunjukkan bahwa (1) tanggungjawab tidak bisa sertamerta didistribusikan kepada semua pihak, terlebih lagi dalam hubungan antara negara beserta aparatusnya (yang berfungsi melindungi) dengan warga (yang seharusnya dilindungi); (2) adanya pihak yang seharusnya memikul tanggungjawab untuk menghindarkan sikap lepas tanggungjawab. Benar, bahwa semua pihak memiliki tanggung jawab namun tanggung jawab ini tidak sama besar, artinya besar-kecilnya tanggungjawab memiliki skala berbeda dan bertingkat-tingkat sesuai tugas, fungsi dan wewenang yang melekat. Ketika diperhadapkan dengan persoalan bencana, publik atau khalayak pembaca tentu berharap adanya tawaran saran atau solusi yang sebisa mungkin aplikatif. Saran yang hanya mengajak publik untuk

Page 23: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

bertindak kontemplatif-reflektif cenderung tidak efisien dan hanya menjadikan bencana sebagai bagian dari kehidupan batiniah, bukan sesuatu yang riil yang harus dihadapi dengan langkah-langkah yang juga riil. Dalam menyikapi bencana Situ Gintung, saran manakah yang dipilih untuk ditawarkan media kepada pembaca atau publik? Hasil pengamatan terhadap tajuh di tujuh suratkabar menunjukkan adanya sikap beragam dari media terhadap bencana Situ Gintung. Menjawab pertanyaan pertama, yaitu mengapa terjadi bencana Situ Gintung, kita menemukan jawaban berbeda-beda secara substansial. Tiga media tidak jelas menunjuk apa penyebab bencana. Satu media menyebut bencana itu akibat rangkaian sebab-akibat dari berbagai faktor, mulai fisik hingga kontrol dan pengawasan; dua media menunjuk pada kelalaian dalam merawat dan terjadinya pembiaran atas sejumlah alih fungsi. Keragaman sikap paling mencolok adalah ketika media menyoroti aspek paling substansial, yaitu siapa pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap persoalan ini. Menyangkut siapa pihak yang bertanggung jawab sikap media terbagi atas sikap yang samar-samar, inkonsisten, dan jelas/tegas. Ini menarik, sebab fakta publik yang dihadapi oleh ketujuh suratkabar adalah fakta yang sama. Sikap tegas menyangkut siapa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap bencana Situ Gintung ditunjukkan hanya oleh dua suratkabar, yaitu Koran Tempo (31/3/09, Siapa Lalai di Balik Tragedi) dan Media Indonesia (30/3/09, Tragedi Situ Gintung). Kedua suratkabar ini secara tegas menyebut pemerintah sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Sebab, bencana tersebut akibat kelalaian pemerintah dalam mengawasi dan membiarkan terjadi pelanggaran serta perubahan peruntukan kawasan. Meskipun kurang terinci, Media Indonesia menunjuk pihak yang seharusnya bertanggungjawab adalah pemerintah pusat, Pemerintah Daerah Tangerang dan Pemerintah Provinsi Banten. Adapun Koran Tempo lebih menegaskan lagi apa yang disampaikan Media Indonesia, bahwa pemerintah pusat dan daerah tak bisa saling menyalahkan, sebab mereka sebenarnya sama-sama harus bertanggungjawab. Menurut Koran Tempo... pejabat pusat memelihara dan mengawasi tanggul Situ Gintung. Adapun pejabat daerah seharusnya menjaga fungsi kawasan sekitarnya sebagai area resapan dan irigasi. Pada bagian lain, Koran Tempo menunjuk secara spesifik siapa yang antara lain dimasukkan dalam kategori pemerintah, yaitu Departemen Pekerjaan Umum. Dalam tajuknya Koran Tempo mengatakan ...para pejabat Departemen Pekerjaan Umum lalai mengawasi waduk itu. Adapun sikap yang samar-samar ditunjukkan Republika, Kompas, Solopos, Suara Merdeka. Bahkan di salah satu tajuknya, Kompas justru lebih menyoroti dan memaknai realitas saling lempar tanggungjawab antara pemerintah pusat dan daerah. Suratkabar terbitan Yogya, Kedaulatan Rakyat, terkesan inkonsisten: di satu sisi menyatakan ...tidak siapapun dan pihak manapun dapat disalahkan dan tidak siapapun dan pihak manapun juga yang perlu menimpakan kesalahan itu ke pejabat atau instansi

Page 24: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

tertentu (alinea IV) di sisi lain menunjuk... pejabat dari instansi terkait dengan keberadaan situ yang harus bertanggungjawab (alinea V). Perbedaan sikap media dalam menyoroti persoalan publik, terlebih lagi jika persoalan itu menyangkut kekuasaan (negara, kapital atau kekuatan kelompok sosial) dengan rakyat, bisa ditangkap sebagai cerminan dari bagaimana masing-masing media memposisikan diri terhadap kekuasaan. Sikap yang berbeda ini tentulah menjadi pilihan masing-masing media sesuai visi dan misi masing-masing. Akan tetapi, jika menyangkut persoalan pertanggungjawaban publik atas sebuah persoalan media menyikapinya secara samar-samar, inkonsisten atau abu-abu, maka yang menjadi korban adalah publik atau pembaca. Pembaca berharap dari media mendapat kejelasan sekaligus pencerahan ketika mereka menghadapi persoalan di ruang publiknya, bukan sebaliknya: mendapatkan ketidakjelasan atau malah bagai mendapat pekerjaan tambahan dari media untuk menginterpretasi dan mencari benang merah fakta-fakta. Adanya sikap samar-samar, abu-abu, ambigu, melalui tajuk seperti ditunjukkan sebagian suratkabar di atas, merupakan realitas yang memprihatinkan. Bisa dimaknai bahwa media sesungguhnya belum sepenuhnya lepas dari belenggu kekuasaan yang represif di masa lalu. Sikap kompromistis tak lebih untuk mengamankan posisi media itu sendiri, bukan untuk kemaslahatan publik. Dalam hal kebencanaan, seperti halnya bencana Situ Gintung, sesungguhnya amat mudah bagi media untuk menunjukkan pihak yang seharusnya bertanggungjawab. Dengan mengacu kepada UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, pertanggungjawaban itu sangatlah jelas. Pada bagian a dan ayat 1 Penjelasan, secara eksplisit disebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggungjawab dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh. Pasal 8 menyebutkan tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: a.penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum; b.pelindungan masyarakat dari dampak bencana; c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; dan d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan belanja daerah yang memadai. Bagaimana penyelenggaraan penanggulangan bencana harus dilakukan pemerintah ditegaskan pada Pasal 33, 34, 35, 36 (ayat 4,6), 38, 44, 46 (2) dan 47 (1).

Page 25: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Pasal 34 menunjukkan dua kondisi yang harus disikapi pemerintah dalam penyelanggaraan penanggulangan bencana pada tahapan pra bencana, yaitu a) dalam situasi tidak terjadi bencana; dan b) dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Mencermati kasus Situ Gintung kita bisa masuk dari pasal 34 bagian b ini. Mengapa, Situ Gintung dengan berbagai faktornya (usia, perubahan kawasan sekitar dan iklim, serta perilaku manusia, yang disebabkan tidak berjalannya pengawasan dan penegakan hukum) berada dalam situasi terdapat potensi bencana. Apalagi, lama sebelum kejadian jebolnya tanggul penduduk dan BPPT pun sudah memberikan laporan kerusakan/kebocoran. Ada tiga hal yang harus dilakukan pemerintah terkait dengan situasi terdapat potensi bencana, yaitu a. kesiapsiagaan, b peringatan dini; c. mitigasi bencana (Pasal 44). Untuk memberikan peringatan dini harus dilakukan melalui a) pengamatan gejala bencana; b. analisis hasil pengamatan gejala bencana; c.pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang; d. penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana; dan e. pengambilan tindakan oleh masyarakat (Pasal 46 ayat 2). Peringatan dini menjadi sangat penting untuk mengurangi risiko bencana. Dari sisi ini saja sebetulnya media sudah bisa menyikapinya secara jelas dan tegas bahwa, berdasarkan pemberitaan, banyak hal tidak dilakukan otoritas yang berwenang, baik secara sendiri-sendiri maupun terkoordinasi sebagaimana dipersyaratkan undang-undang. Artinya, media tak perlu ragu untuk menunjuk siapa pihak yang bertanggungjawab dalam bencana Situ Gintung. Tapi yang terjadi adalah sejumlah media bersikap mengambang, tak jelas. Akibat jangka panjang dari penyikapan media seperti itu sesungguhnya adalah terus tumbuh suburnya perilaku tak bertanggungjawab dari otoritas penguasa. Sebab, penguasa merasa tidak disoroti oleh media sebagai pihak yang seharusnya bertanggungjawab. Ini sekaligus memperkuat sikap safe taker yang menjadi ciri kepemimpinan defensif (defensive leadership) yang banyak mewarnai kehidupan di negeri ini. Salah satu mentalitas kepemimpinan dari sikap safe taker ini yakni mentalitas kambing hitam. Contohnya mudah ditemukan, yaitu saling lempar tanggung jawab dan kesalahan dalam kasus Situ Gintung, bahkan yang naif adalah ketika hujan deras pun dijadikan kambing hitam. Di sisi lain, sikap media yang tak jelas seperti itu menyebabkan warga atau publik tetap tidak tahu siapa yang harus bertanggung jawab jika bencana terjadi pada dirinya, meskipun bencana itu sesungguhnya disebabkan kelalaian pihak lain. Apalagi jika media kemudian mereproduksi dan hanya mengamini wacana yang dilontarkan pemerintah bahwa bencana hanyalah musibah. Karena tidak jelasnya sebagian besar media dalam menyikapi kasus ini, pembaca juga tidak mendapat “pencerahan” tatkala mempertanyakan soal solusi atau saran untuk persoalan bencana semacam Situ Gintung ini. Melalui

Page 26: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

tajuknya, sebagian besar media hanya memberikan saran teknis dalam tataran yang amat normatif; misalnya menyarankan agar pemerintah melihat kembali fungsi awal situ untuk konservasi (Republika), mengecek ulang situ-situ (Koran Tempo), pengecekan secara berkala (Solopos). Dan yang selalu muncul adalah ajakan kepada publik agar selalu mengambil hikmah dari setiap bencana. Ini tentu sesuatu yang tidak operasional untuk antisipasi bencana di waktu dan tempat berbeda. Dari tajuk-tajuk itu, publik tidak tahu harus berbuat apa tatkala pemerintah tidak menjalankan tanggung jawabnya yang karena itu telah menyebabkan tragedi tewasnya 100-an warga, ratusan bangunan hancur, 1.000 lebih warga kehilangan tempat tinggal. Tak ada satu kata pun dalam tajuk itu menyinggung soal class action yang sejatinya bisa diupayakan warga, agar kelak pemerintah tidak lagi abai, lalai, dengan tanggungjawabnya melindungi warga. Saran atau solusi ini sejatinya diharapkan bisa menggerakkan publik dalam proses pemenuhan hak- hak mereka atas pelindungan sosial dan rasa aman khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana (Bab V, Pasal 26, ayat 1) dan menuntut agar negara menjalankan tanggungjawabnya untuk memenuhi hak-hak warga. Dari sisi ini kemudian menjadi patut dipertanyakan soal fungsi jurnalisme yang diemban media. Jika sikap media hanya “mengamankan” kekuasaan negara dan dirinya, maka metafor pers (sebagai produk jurnalisme) sebagai watchdog, yang menggonggong jika ada ketakberesan, terhadap kekuasaan ibarat bunga ilalang: indah dipandang namun terbang menghilang tatkala angin datang. (Dedi H. Purwadi)

Page 27: Newsletter April 09

Edisi : 04/April 2009

LEMBAGA PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA

Jl. Kaliurang Km. 13,7, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Telp: (0274)896016 / 896141(fax)

Penanggung Jawab : Ashadi Siregar

Pemimpin Redaksi :

Slamet Riyadi Sabrawi

Redaksi :

Ismay Prihastuti, Dedi H. Purwadi, Agoes Widhartono, Rondang Pasaribu. Sekretaris Redaksi :

W. Nurcahyo