uji in vivo

21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ilmu biofarmasetik dan farmakokinetik obat dan produk obat bermanfaat untuk memahami hubungan antara sifat-sifat fisikokimia dari produk obat dan efek farmakologik atau efek klinik. Studi biofarmasetika memerlukan penyelidikan berbagai faktor yang mempengaruhi laju dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik. Hal ini berarti, biofarmasetik melibatkan faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari suatu produk obat, laju pelarutan dan akhirnya bioavailabilitas obat tersebut. Farmakokinetika mempelajari kinetika absorpsi obat, distribusi dan eliminasi obat (Shargel, et all, 2005). Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai sistem sirkulasi sistemik dan menunjukkan kinetik perbandingan zat aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan salah satu tujuan dalam merancang suatu bentuk sediaan dan keefektifan obat tersebut. Pengkajian terhadap ketersediaan hayati ini tergantung pada absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi 1

Upload: sandhy-tampubolon

Post on 03-Jan-2016

647 views

Category:

Documents


219 download

DESCRIPTION

uji in vivo

TRANSCRIPT

Page 1: uji in vivo

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu biofarmasetik dan farmakokinetik obat dan produk obat bermanfaat

untuk memahami hubungan antara sifat-sifat fisikokimia dari produk obat dan

efek farmakologik atau efek klinik. Studi biofarmasetika memerlukan

penyelidikan berbagai faktor yang mempengaruhi laju dan jumlah obat yang

mencapai sirkulasi sistemik. Hal ini berarti, biofarmasetik melibatkan faktor-

faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari suatu produk obat, laju pelarutan

dan akhirnya bioavailabilitas obat tersebut. Farmakokinetika mempelajari kinetika

absorpsi obat, distribusi dan eliminasi obat (Shargel, et all, 2005).

Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai

sistem sirkulasi sistemik dan menunjukkan kinetik perbandingan zat aktif yang

mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan

hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan salah satu tujuan

dalam merancang suatu bentuk sediaan dan keefektifan obat tersebut. Pengkajian

terhadap ketersediaan hayati ini tergantung pada absorpsi obat ke dalam sirkulasi

sistemik serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi tersebut (Syukri, Y. 2002).

Absorpsi sistemik satu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskuler

yang lain bergantung pada bentuk sediaan,anatomi dan visiologi tempat absorpsi.

factor-faktor seperti luas permukaan dinding usus kecepatan pengosongan

lambung,pergerakan saluran cerna dan aliran darah ke tempat absorpsi, semuanya

mempengaruhi laju dan jumlah absopsi obat. walaupun ada variasi, keseluruhan

laju absorpsi obat dapat digambarkan secara matematik sebagai suatu proses order

kesatu atau order nol(Shargel, et all, 2005).

Di samping faktor formulasi, cara pemberian obat turut menetukan

kecepatan dan kelengkapan resorpsi obat. Tergantung dari efek yang diinginkan,

yaitu efek sistemis(diseluruh tubuh) atau efek lokal (setempat), keadaan pasien

dan sifat-sifat fisiko kimiawi obat, dapat dipilih dari banyak cara untuk

memberikan obat(Tan,2008).

1

Page 2: uji in vivo

2.2 Tujuan Percobaan

1. Untuk melakukan uji bioavailabilitas dan uji farmakokinetika dasar dari

sediaan Sulfadiazine dalam bentuk kapsul, tablet, SR, dan sediaan injeksi

intravena dengan menggunakan data konsentrasi obat di dalam darah yang

diukur dengan menggunakan spektrofotometer

2. Untuk melakukan uji bioavailabilitas dan uji farmakokinetika dasar dari

sediaan Furosemid dalam bentuk tablet generic, lassic, dan farsix dengan

menggunakan data konsentrasi obat di dalam darah yang diukur dengan

menggunakan spektrofotometer

3. Untuk mengetahui bioekivalensi antara sediaan dagang dengan sediaan

generik

2.3 Manfaat Percobaan

Melalui percobaan ini diharapkan praktikan dapat mempelajari beberapa

rute pemberian obat seperti pemberian secara oral, intravena, maupun

intramuscular. Diharapkan pula praktikan dapat mengetahui cara pengambilan

sampel darah dari kelinci secara vena marginal. Dan praktikan dapat mengetahui

pengaruh dari rute pemberian obat terhadap bioavailabilitas obat.

2

Page 3: uji in vivo

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Bahan

2.1.1 Sulfadiazine

GAMBAR 1. Struktur Bangun Sulfadiazin

Nama kimia : Asam 4-kloro-N-furfuril-5-Sulfanoilantranilat

Nama IUPAC : 5-( aminosulfonyl )-4-chloro-2-[( 2-

furanylmethyl )amino] benzoic acid

Rumus kimia : C12H11N2ClO5S

BM : 330,745

Pemerian : putih, putih kekuningan atau putih agak merah

jambu; hampir tidak berbau; tidak berasa.

Kelarutan : praktis tidak larut dalam air; agak sukar larut

dalam etanol(95%)P dan dalam aseton P; mudah

larut dalam asam mineral encer dan dalam larutan

alkali hidroksida.

Khasiat dan penggunaan : antibakteri

Dosis maksimum : sekali 2 g, sehari 8g.

Sulfadiazin dapat ditentukan kadarnya dengan berbagai cara., diantaranya

dilakukan dengan metode nitrimetri dengan menggunakan natrium nitrit sebagai

pentiter dan larutan kanji sebagai indikator dimana akan terbentuk larutan

berwarna biru tua. Menurut United States of Pharmacopeia , dengan cara titrasi

3

Page 4: uji in vivo

nitrimetri dan indikator pasta kanji. Menurut British Pharmacopeia dilakukan

dengan cara titrasi menggunakan larutan natrium nitrit dan titik akhir ditentukakn

dengan cara elektrometrik (Ditjen POM, 1979)

Sulfadiazin (Sulfapirimidin)/Triacef*/Temasud* adalah derivate pirimidin

(1947), bersama sulfametosazol dan sulfafurazol merupakan kelompok sulfa yang

paling kuat. Resorpsinya dari usus agak lambat, sehingga sebagian obat mencapai

usus besar. Oleh karena itu, sulfadiazin berkhasiat terhadap disentri basiler,

bahkan lebih efektif dibandingkan kloramfenikol dan tetrasiklin. PP – nya paling

rendah, rata – rata 40%, maka kadar obat dalam cairan tubuh paling tinggi dan

sering digunakan pada meningitis. Plasma t1/2- nya 10 jam. Sulfadiazin merupakan

obat pilihan kedua untuk infeksi saluran kemih (Tan,2008).

Sulfadiazin (2-sulfanilamidopyrimidine) telah diperkenalkan sebagai zat

kemoterapi pada 1940 ke bawah, dan sejak peraturan makanan dan obat baru

melarang secara tidak memilih-milih distribusi dan kegunaan,data klinik telah

mengakumulasi lebih banyak tentang obat ini yang salah satunya telah dibahas

pada bagian sebelumnya. Hasil percobaan pertama lebih dulu memberikan hasil

yang berlawanan,menunjukkan sulfadiazin sebagai pembentuk obat yang baik

pada infeksi tertentu,dan pastinya rendah toksik. Ini ditemukan sebagai bakterisid

yang bagus seperti bakteriostatik untuk sejumlah organisme,tapi hal itu tergantung

pada medium yang digunakan (Schnitker,1942).

2.1.2 Furosemida

Gambar 2. Struktur bangun Furosemida

Nama kimia : asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoilantranilat

Nama lazim : Furosemidum/ furosemida

Rumus kimia : C12H11ClN2O5S

4

Page 5: uji in vivo

BM : 330,74

Khasiat dan penggunaan : Diuretik

Dosis maksimum : Sekali 1,25 -10 mg

Furosemida mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari

101,0% C12H11ClN2O5S dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.Pemerian.

Serbuk hablur, putih sampai hampir kuning; tidak berbau.Kelarutan. Praktis tidak

larut dalam air; mudah larut dalam aseton, dalam dimetilformamida, dan dalam

larutan alkali hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam etanol;

sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam kloroform (Ditjen POM, 1995).

Furosemide (frusemide, lasix, impugan) turunan sulfonamide ini (1964)

berdaya diuretis kuat dan bertitik kerja di lengkungan henle bagian menaik.

Sangat efektif pada keaadaan udema diotak dan paru – paru yang akut. Mula

kerjanya yang pesat, oral dalam 0,5 – 1 jam dan bertahan 4 – 6 jam, intravena

dalam beberapa menit dan 2,5 jam lamanya. Resorpsinya dari usus hanya lebih

kurang 50%, PP-nya ca 97%, plasma t1/2- nya 30 – 60 menit, eksresinya melalui

saluran kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu. Efek sampingnya

berupa umum, pada injeksi intravena terlalu cepat dan jarang terjadi ketulian

(reversibel) dan hipotensi. Hipokalemia reversibel dapat terjadi pula(Tan, 2008).

Dosis : pada udema : oral 40 – 80 mg pagi p.c., jika perlu atau pada

insufisiensi ginjal sampai 250-4.000 mg sehari dalam 2-3 dosis. Injeksi i.v.

(perlahan) 20-40 mg, pada keadaan kemelut hipertensi sampai 500 mg.

Penggunaan i.m. tidak dianjurkan (Tan,2008).

Furosemid adalah salah satu diuretik yang paling efektif yang tersedia. Pada

penambahan untuk pengobatan edema disebabkan oleh gagal jantung,gagal

ginjal,dan sirkosis pada hati,furosemid dapat digunakan untuk pengobatan

hipertensi,tunggal atau kombinasi dengan antihipertensi yang lain.Ini juga

digunakan dalam infus sodium klorida 0,9% untuk meningkatkan ekskresi

kalsium pada pasien dengan hiperkalsemia (Clayton,2007).

2.2 Penentuan Rute Pemberian

Pemilihan rute pemberian yang tepat merupakan pertimbangan yang

penting dalam terapi dengan obat. Laju absorpsi dan lama kerja obat dipengaruhi

oleh rute pemberian obat. Lebih lanjut sering ada pertimbangan fisiologik yang

5

Page 6: uji in vivo

menghindari penggunaan rute tertentu pemberian obat. Obat-obat yang tidak stabil

dalam saluran cerna atau obat-obat yang mengalami “first-pass effect” yang besar

tidak sesuai untuk pemberian oral(Shargel, et all, 2005).

Lebih lanjut, obat-obat tertentu tidak sesuai untuk pemberian secara

intramuscular, disebabkan oleh pelepasan obat yang tidak menentu, rasa sakit,

atau iritasi lokal. Walaupun obat diinjeksikan ke dalam massa otot,obat harus

mencapai system sirkulasi atau cairan tubuh yang lain untuk dapat berada dalam

sistemik(Shargel, et all, 2005).

2.3 Cara Pemberian

Oral

Pemberiaan obat melalui mulut(per oral) adalah cara yang paling lazim,

karena sangat praktis, mudah dan aman. Namun, tidak semua obat dapat diberikan

peroral,misalnya obat yang bersifat merangsang(emetin,aminofilin) atau yang di

uraikan oleh getah lambung, seperti benzyl penisilin, insulin, oksitosin, dan

hormone steroida(Tan,2008).

Intramuskuler(i.m)

Dengan injeksi di dalam otot, obat yang terlarut bekerja dalam

waktu 10-30 menit. Guna memperlambat resorpsi dengan maksud

memperpanjang kerja obat, sering kali digunakan larutan atau suspense

dalam minyak, misalnya suspensi penisilin dan hormone kelamin. Tempat

injeksi umumnya dipilih pada otot bokong yang tidak memiliki banyak

pembuluh dan saraf(Tan,2008).

Intravena (i.v)

Injeksi ke dalam pembuluh darah menghasilkan efek tercepat

dalam waktu 18 detik,yaitu waktu satu peredaran darah, obat sudah tersebar

ke seluruh jaringan. Tetapi, lama kerja obat biasanya hanya singkat. Cara ini

di gunakan untuk mencapai pentakaran yang tepat dan dapat dipercaya, atau

efek yang sangat cepat dan kuat(Tan,2008).

2.4 First - Pass Effects

6

Page 7: uji in vivo

Untuk beberapa obat rute pemakaian mempengaruhi kecepatan

metabolismenya. Sebagai contoh,obat yang diberikan parenteral,transdermal,atau

inhalasi akan mempunyai kemungkinan untuk terdistribusi dalam tubuh sebelum

dimetabolisme oleh hati. Sebaliknya obat-obat yang diberikan secara oral

diabsorpsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan ditranspor melalui

melalui pembuluh mesenterika menuju vena porta hepatik dan kemudian ke hati

sebelum ke sirkulasi sistemik. Obat-obat yang dimetabolisme dalam jumlah besar

oleh hati atau oleh sel-sel mukosa usus halus menunjukkan avaibilitas sistemik

yang jelek jka diberikan secara oral. Metabolisme secara cepat dari obat-obat yang

diberikan secara oral sebelum mencapai sirkulasi umum disebut”first pass effect”

atau eliminasi presistemik(Shargel, et all, 2005).

Terjadinya “first pass effect” dapat diduga apabila terdapat berkurangnya

jumlah senyawa induk atau obat utuh dalam sirkulasi sistemik sesudah pemberian

oral. Dalam hal demikian AUC untuk obat-obat yang diberikan secara oral lebih

kecil dari AUC obat yang sama yang diberikan secara IV. Dari percobaan pada

binatang, “first-pass effect” dianggap terjadi jika obat utuh didapat dalam kanul

vena porta hepatic tetapi tidak didapat dalam sirkulasi umum(Shargel, et all,

2005).

Dengan menganggap obat stabil secara kimia dalam saluran cerna, dan

obat diberikan secara oral dalam bentuk larutan untuk memastikan absorpsi

campuran maka area dibawah kurva konsentrasi obat dalam plasma(AUC) harus

sama dengan AUC bila obat dengan dosis yang sama diberikan secara intravena.

Oleh karena dengan pengujian bioavaibilitas absolut, F, dapat menunjukkan

hilangnya obat oleh hati karena terjadinya “first-pass effect” (Shargel, et all,

2005).

F = [AUC]0∞ Oral

[AUC]0∞IV

Untuk obat-obat yang mengalami “first pass effect”, [AUC]0∞ Oral lebih

kecil dibandingkan [AUC]0∞IV dan F kurang dari 1. Obat seperti ini isoproterenol

atau nitrogloserin akan mempunyai nilai F kurang dari , oleh karena obat-obat ini

mengalami “first pass effect” yang bermakna(Shargel, et all, 2005).

7

Page 8: uji in vivo

BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat – Alat

Alat-alat yang digunakan dalam percobaan adalah animal box, beaker

glass, labu tentukur, label nama, penyangga mulut kelinci, pisau cukur, pipet tetes,

sentrifuse, spektrofotometer UV(Shimadzu Mini 1240), spuit 3 ml, tabung

sentrifuse, vial, dan vortex .

3.1.2 Bahan – Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan adalah alkohol 70%, Asam

tri Kloro Asetat (TCA) 10%, furosemid(generik,paten), heparin, dan sulfadiazin

(tablet,SR) .

3.2 Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan dalam percobaan adalah kelinci jantan dengan

berat badan 1,8 Kg.

3.3 Prosedur Percobaan

3.3.1 Pemberian secara oral (Tablet, Kapsul, atau Sediaan Lepas Lambat)

Kelinci di puasakan minimal 8 jam, cukur bulu telinga hingga bersih

dengan menggunakan pisau cukur. Ambil sebanyak 1 ml darah dari vena marginal

dengan pipa kapiler yang telah dimasukkan heparin. Masukkan ke dalam tabung

sentrifuge yang berisi 2 ml larutan TCA 10 %, homogenkan dengan vortex,

sentrifuge pada 2000 rpm selama 1 menit. Ambil supernatan dan masukkan ke

dalam polytube (untuk selanjutnya disebut sebagai blanko). Berikan sediaan

melalui oral dengan bantuan alat oral sonde. Ambil 1 ml cuplikan darah dari vena

marginal pada menit ke 5, 10, 20, 30, 45, 60, dan 75 menit.

8

Page 9: uji in vivo

3.3.2 Pemberian Secara Intravena

Kelinci di puasakan minimal 8 jam, cukur bulu telunga hingga bersih

dengan menggunakan pisau cukur. Ambil sebanyak 1 ml darah dari vena marginal

dengan pipa kapiler yang telah dimasukkan heparin. Masukkan ke dalam tabung

sentrifuge yang berisi 2 ml larutan TCA 10 %, homogenkan dengan vortex,

sentrifuge pada 2000 rpm selama 1 menit. Ambil supernatan dan masukkan ke

dalam polytube (untuk selanjutnya disebut sebagai blanko). Berikan sediaan

secara intravena pada vena marginal. Ambil 1 ml cuplikan darah dari vena

marginal pada menit ke 5, 10, 20, 30, 45, 60, dan 75 menit.

3.3.3 Pemberian Secara Intramuskular

Kelinci di puasakan minimal 8 jam,,timbang kelinci, cukur bulu telunga

hingga bersih dengan menggunakan pisau cukur. Ambil sebanyak 1 ml darah dari

vena marginal dengan pipa kapiler yang telah dimasukkan heparin. Masukkan ke

dalam tabung sentrifuge yang berisi 2 ml larutan TCA 10 %, homogenkan dengan

vortex, sentrifuge pada 2000 rpm selama 1 menit. Ambil supernatan dan

masukkan ke dalam polytube (untuk selanjutnya disebut sebagai blanko). Berikan

sediaan secara impada bagian paha kaki belakang kelinci dengan menggunakan

spuit. Ambil 1 ml cuplikan darah dari vena margianal pada menit ke 5, 10, 20, 30,

45, 60, dan 75 menit.

9

Page 10: uji in vivo

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Terlampir

4.2. Perhitungan

Terlampir

4.3. Grafik

Terlampir

4.4. Pembahasan

Pada umumnya obat-obat yang diinjeksikan secara intravena langsung

masuk ke dalam darah dan dalam beberapa menit beredar ke seluruh bagian tubuh.

sedangkan suatu obat yang diinjeksikan secara intramuskular dapat mengalami

penundaan proses absorpsi, karena obat berjalan dari tempat injeksi ke aliran

darah. Pemasukan obat ke dalam plasma dari pemberian oral dan intramuskular

melibatkan suatu fase absorpsi yaitu konsentrasi obat naik secara lambat mencapai

puncak dan kemudian menurun sesuai waktu eliminasi obat. Absorpsi obat terjadi

bila obat berdifusi dari otot ke cairan yang mengelilingi jaringan dan kemudian ke

darah. Injeksi intramuskular dapat diformulasi untuk melepaskan obat secara

cepat atau lambat dengan mengubah pembawa sediaan injeksi. Pada sediaan oral

dapat menghasilkan area di bawah kurva yang lebih rendah, karena proses

absorpsi dan metabolismenya (Shargel, 2005).

Dari studi biofarmasetik memberi fakta yang kuat bahwa metode fabrikasi dan

formulasi dengan nyata mempengaruhi bioavailabilitas obat tersebut. Untuk

memudahkan mengambil keputusan tersebut, suatu pedoman telah dikembangkan

oleh US Food and Drug Administration (FDA) (Shargel, 2005).

10

Page 11: uji in vivo

Kesalahan prosedur kerja, keadaan kelinci percobaan dan volume

pengambilan darah kelinci tidak dapat dikesampingkan dalam perolehan data yang

benar. Kondisi kelinci yang tidak memenuhi persyaratan hewan percobaan

seharusnya tidak dapat dipakai dalam percobaan. Kesalahan teknik pengambilan

darah kelinci juga dapat menghasilkan data yang tidak akurat.

11

Page 12: uji in vivo

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

12

Page 13: uji in vivo

DAFTAR PUSTAKA

Clayton, D.B. (2007). Basic Pharmacology For Nurses. Philadelphia : Mosby, Inc. Page. 470.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen

Kesehatan R.I. Halaman : 579

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen

KesehatanR.I. Halaman : 400

Schnitker, A.M. (1942). The Sulfonamide Compunds In The Treatment Of Injections. New York : Oxford University Press. Page. 149

Shargel, L. (1988). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Penerjemah:

Fasich dan Sjamsiah. Edisi Kedua. Surabaya: Universitas Airlangga.

Halaman 31,116,137,231,232,375

Tan,H.T. (2008). Obat-Obat Penting.Jakarta : PT Elex Media Komputindo

Kelompok Kompas. Halaman 18,19,144,523

13

Page 14: uji in vivo

LAMPIRAN

7.1 Flowsheet

7.1.1 Pemberian secara oral

← Ditimbang

← Diberikan obat ( sulfadiazin dan furosemida )

dalam bentuk kapsul, tablet, sediaan lepas lambat

secara oral

← Diambil darah + 1 ml melalui vena marginal

telinga pada waktu 0 , 20, 45, 60, 90, 120, dan 180

menit setelah pemberian obat (sulfadiazin dan

furosemida)

← Diukur dengan metode Bratton Marshall

7.1.2 Pemberian intra vena (i.v.)

← Ditimbang

← Diinjeksikan sulfadiazin dosis 40 mg melalui

vena marginal telinga kiri

← Diambil darah + 1 ml melalui vena marginal

telinga kanan pada waktu 0, 20, 45, 60, 90, 120,

dan 180 menit setelah pemberian sulfadiazin

← Diukur dengan metode Bratton Marshall

14

Hasil

Kelinci

Hasil

Kelinci