eng protein in vivo
DESCRIPTION
school work; laboratorium paperTRANSCRIPT
Laporan Praktikum Ke-7 Tanggal mulai : 13 November 2013
M.K. Evaluasi Nilai Gizi Tanggal selesai : 18 Desember 2013
EVALUASI NILAI GIZI PROTEIN IN VIVO
Oleh:
Kelompok 5-E2
Sri Zilla Arsyilah I14100135
Rina Apriany Utami I14110027
Natahsa Fredlina Ginting I14110051
Regi Meiliani I14110076
Adhe Fadillah Putri I14110105
Asisten Praktikum:
Qurratu Aini
Ilyatun Niswah
Penanggung Jawab Praktikum:
Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Protein adalah salah satu bio-makromolekul yang penting perananya
dalam makhluk hidup. Fungsi dari protein itu sendiri secara garis besar dapat
dibagi kedalam dua kelompok besar, yaitu sebagai bahan struktural dan sebagai
mesin yang bekerja pada tingkat molekular. Apabila tulang dan kitin adalah beton,
maka protein struktural adalah dinding batu-batanya. Beberapa protein struktural,
fibrous protein, berfungsi sebagai pelindung, sebagai keratin yang terdapat pada
kulit, rambut, dan kuku. Sedangkan protein struktural lain ada juga yang berfungsi
sebagai perekat, seperti kolagen.
Protein dapat memerankan fungsi sebagai bahan struktural karena seperti
halnya polimer lain, protein memiliki rantai yang panjang dan juga dapat
mengalami cross-linking dan lain-lain. Selain itu protein juga dapat berperan
sebagai biokatalis untuk reaksi-reaksi kimia dalam sistem makhluk hidup.
Makromolekul ini mengendalikan jalur dan waktu metabolisme yang kompleks
untuk menjaga kelangsungan hidup suatu organisma. Suatu sistem metabolisme
akan terganggu apabila biokatalis yang berperan di dalamnya mengalami
kerusakan (Winarno FG. 2001).
Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk
dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein
tubuh. Terdapat dua factor yang menentukan nilai gizi suatu protein, yaitu: (1)
daya cerna atau nilai cernanya dan (2) kandungan asam amino essensialnya.
Protein yang mudah dicerna (dihidrolisis) oleh enzim-enzim pencernaan, serta
mengandung asam-asam amino essensial yang lengkap serta dalam jumlah yang
seimbang, merupakan protein yang bernilai gizi tinggi.
Umumnya protein hewani (daging, ikan, susu, telur) merupakan protein
yang bernilai gizi tinggi, kecuali gelatin. Protein nabati umumnya daya cernanya
lebih rendah dan kekurangan salah satu (sering juga kekurangan dua macam)
asam amino essensia. Sebagai contoh, protein serealia (beras, terigu) kekurangan
asam amino lisin, sedangkan protein kacang-kacangan (kedelai) kekurangan asam
amino belerang (metionin dan sistein). Nilai gizi protein harus dianalisis karena
nilai gizi protein itu sangat penting untuk mengetahui kandungan protein pada
bahan pangan.
Teknik evaluasi nilai gizi protein terdapat beberapa cara, tetapi pada garis
besarnya dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu metode in vitro (secara
kimia, enzimatis atau mikrobiologis) dan in vivo (secara biologis menggunakan
hewan percobaan, termasuk manusia). Beberapa metode in vitro mengevaluasi
komposisi asam amino essensial suatu protein (metode skor kimia), ketersediaan
(bio-avaibilitas) asam amino (metode lisin tersedia), daya cerna suatu protein
(daya cerna protein in vitro, metode enzimatis), serta nilai PER yang dihitung
bedasarkan nilai cerna dan komposisi asam amino suatu protein (PER hitung, C-
PER, computed protein efficiency ratio). Nilai gizi protein akan menentukan
jumlah yang harus dikonsumsi. Untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan protein,
protein dengan nilai gizi rendah harus dikonsumsi dalam jumlah lebih banyak
dibandingkan dengan protein yang bernilai gizi tinggi. Berdasarkan metode
tersebut penetapan metode secara in vivo lebih baik digunakan karena dapat
menganalisa secara langsung ketersediaannya. Hanya butuh usaha lebih untuk
dapat mengontrol lingkungan (Winarno FG. 2001)..
Kadar protein pada bahan dan produk pangan dapat ditentukan dengan
berbagai jenis metode analisis. Metode analisis protein yang sering digunakan
Metode Kjeldahl yang merupakan metode penetapan kadar prtein kasar (crude
protein). Untuk menentukan kandungan protein dalam bahan pangan (analisis
proksimat). Metode ini didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total dalam
contoh/sampel. Kandungan protein dapat dihitung dengan mengasumsikan rasio
tertentu antara protein terhadap nitrogen untuk contoh yang dianalisis. Metdoe
analisis selanjutnya adalah Metode biuret yang bertujuan untuk membuktikan ada
tidaknya ikatan peptide pada suatu protein.
Dengan demikian praktikum ini perlu dilakukan mengingat protein
merupakan suatu zat gizi yang memiliki peranan penting didalam tubuh.
Ketersediaan protein di dalm tubuh perlu diketahui untuk mengetahui pangan
yang dikonsumsi dimanfaatkan dengan baik atau tidak. Sehingga perlu adanya
suatu evaluasi perhitungan nilai gizi protein yang dilakukan secara langsung yaitu
dengan metode in vivo.
Tujuan
Secara umum evaluasi nilai gizi secara biologis bertujuan untuk
mengetahui nilai gizi protein beberapa pangan dengan menggunakan metode in
vivo (secara biologis) dengan menggunakan hewan percobaan tikus putih (Rattus.
Sp).
Secara khusus evaluasi nilai gizi protein secara biologis bertujuan untuk
menghitung nilai PER (Protein Efficiency Ratio ), NPR (Net Protein Ratio), NPU
(Net Protein Utilization ), NB (Nilai biologis), DC (Daya Cerna Sejati ), dan NPU
hitung.
TINJAUAN PUSTAKA
Protein
Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang
merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu
sama lain dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen,
oksigen, nitrogen dan kadang kala sulfur serta fosfor. Protein berperan penting
dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk hidup dan virus.Protein memiliki
fungsi utama yang kompleks di dalam semua proses biologi. Protein berfungsi
sebagai katalisator, sebagai pengangkut dan penyimpan molekul lain seperti
oksigen, mendukung secara mekanis sistem kekebalan tubuh, menghasilkan
pergerakan tubuh, sebagai transmitor gerakan syaraf dan mengendalikan
pertumbuhan dan perkembangan (Katili 2009).
Protein pada umumnya dipertahankan oleh dua jenis ikatan kovalen yang
kuat yaitu peptida dan sulfida dan tiga jenis ikatan non kovalen yang lemah;
hidrogen, hidrofobik, dan elektrostatik. Protein tersusun atas asam amino. Tubuh
manusia memiliki kemampuan untuk mensintesis beberapa asam amino kecuali
sembilan asam amino diantaranya isoleusin, leusin, lisin, methionin, fenilalanin,
threonin, triptofan, valin, dan histidin (Sumardjo 2008). Kebutuhan asam amino
yang tidak dapat disintesis oleh tubuh dapat terpenuhi dengan mengkonsumsi
protein hewani.
Asam amino adalah sembarang senyawa organik yang memiliki gugus
fungsional karboksil (-COOH) dan amina (-NH2). Dalam biokimia seringkali
pengertiannya dipersempit : keduanya terikat pada satu atom karbon (C) yang
sama. (disebut atom C "alfa" atau α). Gugus karboksil memberikan sifat asam dan
gugus amina memberikan sifat basa. Dalam bentuk larutan, asam amino bersifat
amfoterik: cenderung menjadi asam pada larutan basa dan menjadi basa pada
larutan asam. Perilaku ini terjadi karena asam amino mampu menjadi zwitter-ion.
Asam amino termasuk golongan senyawa yang paling banyak dipelajari karena
salah satu fungsinya sangat penting dalam organisme, yaitu sebagai penyusun
protein. Struktur asam amino secara umum adalah satu atom C yang mengikat
empat gugus: gugus amina (NH2), gugus karboksil (COOH), atom hidrogen (H),
dan satu gugus sisa (R) atau disebut juga gugus atau rantai samping yang
membedakan satu asam amino dengan asam amino lainnya.
Perombakan protein dimulai di dalam lambung dengan media cairan
lambung yang asam, cairan tersebut membantu dan mempermudah pepsin untuk
bekerja merombak rantaian spesifik ikatan peptida dari asam amino yang
rantainya lebih pendek, pepton. Sebagian protein yang sudah dicerna masuk ke
dalam usus, asam telah dinetralisir menjadi sedikit alkalis dan enzim di cairan
pankreas kemudian bekerja. Protease pankreatik dimana tripsin dan khimotripsin
dirombak menjadi asam amino sederhana yang langsung dapat diserap usus.
Protein lainnya dipecah menjadi dipeptida, tripeptida, atau terdiri atas lebih dari 3
asam amino. Enzim proteolitik lainnya yanng berkemampuan memecah protein
yaitu karboksi peptidase dan amino peptidase yang mengubah protein komplek
menjadi dipeptida dan kemudian 2 asam amino. Enzim pengubah protein bersifat
hidrolik sehingga memerlukan air pada proses perombakan atau pelepasan asam
amino (Suwandito dan Trimartini 2011).
Asam amino yang larut air ini memudahkan penyerapan yaitu melalui
proses difusi pasif dan selektif diantara yang aktif. Penyerapan berlangsung
setelah melalui membran usus, vena portal, hati, kemudian masuk sirkulasi darah
dan diedarkan ke jaringan di seluruh tubuh. Penyerapan asam amino berlangsung
terutama pada bagian atas usus, 60% asam amino bebas diserap di usus halus,
28% di usus besar atau kolon, dan 12% telah mulai diserap saat makanan berada
di lambung (Suwandito dan Trimartini 2011).
Asam-asam amino yang berlebihan dapat digunakan sebagai sumber
energi bagi tubuh atau disimpan dalam bentuk lemak sebagai cadangan energi.
Berdasarkan kandungan asam-asam amino essensialnya, maka suatu protein bahan
pangan dapat dinilai apakah bergizi tinggi atau rendah. Suatu protein bernilai gizi
tinggi apabila mengandung asam-asam amino essensial yang susunannya lengkap
serta komposisinya sesuai dengan kebutuhan tubuh serta asam-asam amino
tersebut dapat digunakan oleh tubuh (available) (Sumardjo 2008).
Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk
dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein
tubuh. Terdapat dua faktor yang menentukan nilai gizi suatu protein, yaitu: (1)
daya cerna atau nilai cernanya dan (2) kandungan asam amino essensialnya.
Protein yang mudah dicerna (dihidrolisis) oleh enzim-enzim pencernaan, serta
mengandung asam-asam amino essensial yang lengkap serta dalam jumlah yang
seimbang, merupakan protein yang bernilai gizi tinggi. Umumnya protein hewani
seperti daging, ikan, susu, dan telur merupakan protein yang bernilai gizi tinggi,
kecuali gelatin. Protein nabati umumnya daya cernanya lebih rendah dan
kekurangan salah satu atau kekurangan dua macam asam amino essensial. Sebagai
contoh, protein serealia seperti beras dan terigu kekurangan asam amino lisin,
sedangkan protein kacang-kacangan yaitu kedelai kekurangan asam amino
belerang (metionin dan sistein) (Sumardjo 2008).
Bila dua jenis protein yang memiliki jenis asam amino esensial pembatas
yang berbeda dikonsumsi bersama-sama maka kekurangan asam amino dari satu
protein dapat ditutupi oleh asam amino sejenis yang berlebihan pada protein lain.
Dua protein tersebut saling mendukung (complementary) sehingga mutu gizi dari
campuran menjadi lebih tinggi. Contohnya, tepung gandum yang kekurangan
asam amino lisin namun berlebihan asam amino belerang dicampur dengan
kacang-kacangan yang kekurangan asam amino belerang akan membentuk bahan
makanan dengan komposisi asam amino mendekati sempurna. Sejumlah kecil
protein hewani pun dapat meningkatkan mutu protein nabati dalam jumlah yang
besar. Oleh karena itu, susu dengan serealia, nasi dengan tempe, kacang-kacangan
dengan daging atau roti meruapak kombinasi menu yang dapat meningkatkan
mutu protein (Winarno 2002).
Tikus Percobaan
Metode in vivo merupakan metode evaluasi nilai biologis pangan yang
sensitif dan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai manfaat dan
keamanan pangan karena dilakukan dengan menggunakan organisme hidup secara
utuh. Prinsip metode ini adalah pemberian makan pada hewan untuk melihat
manfaat suatu bahan pangan dalam tubuh dengan asumsi semua jaringan, sel-sel
penyusun tubuh, serta enzim-enzim yang ada dalam tubuh hewan coba memiliki
kesamaan dengan manusia.
Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan
untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari berbagai macam bidang
ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Pemanfaatan hewan
percobaan menurut pengertian secara umum ialah untuk penelitian yang
mendasarkan pengamatan aktivitas biologi tergantung pada bidang ilmu yang
dibina dan lingkungan apa suatu laboratorium bernaung sehingga pemanfaatan
hewan percobaan ini akan mengarah ke suatu tujuan khusus. Kesamaan filogeni
antara manusia dengan primata mendorong para ilmuwan memilih hewan primata
sebagai model dalam percobaan laboratorium. Akan tetapi karena dari segi
pengadaannya sulit dan pemeliharaannya juga memerlukan biaya yang besar maka
jenis tikus putih dapat dipilih sebagai alternatif (Malole dan Pramono 1989).
Terdapat lima macam tikus putih ( Albino Normay rat, Rattus
morvegicus) yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan di laboraturium,
yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Shermon, Sporgue Dawley, dan Wistar,
beberapa sifat tikus percobaan adalah (Zakaria et al. 2007):
1. Noctural, berarti aktif pada malam hari dan tidur pada siang hari.
2. Tidak mempunyai kantung empedu ( gali blader).
3. tidak dapat mengeluarkan isi perutnya (muntah).
4. tidak pernah berhenti tumbuh, walaupun kecepatannya menurun
setelah berumur 100 hari.
Umumnya tikus yang digunakan untuk percobaan adalah tikus-tikus
yang baru disapih yaitu umur kurang lebih 21 hari. Sebelum percobaan
dimulai harus dilakukan masa adaptasi selama 4-5 hari untuk membiasakan
tikus pada lingkungan laboratorium. Selain itu pada masa adaptasi ini dapat
dilakukan pengamatan apakah tikus dapat terus digunakan dalam percobaan (
tidak sakit). Pada masa adaptasi ini biasanya diberikan ransum semi sinthetik
diet atau ransum yang digunakan sebagai control, yaitu kasein dan laktal
bumin sebagai sumber proteinnya, dicampur dengan bahan- bahan lain seperti
karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Bahan- bahan makanan tersebut
hanya boleh dicampurkan apabila akan digunakan dan untuk menjaga agar
tidak terjadi perubahan akibat pengaruh fisik, kimia atau mikrobiologis dan
sebaiknya bahan-bahan tersebut disimpan pada suhu 4 °C (Zakaria et al.
2007).
Kandang tikus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut dan
terjaga dari asap industri atau polutan lanilla. Lantai ruangan harus mudah
dibersikan dan disanitasi. Suhu optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24 °C
dan kelembaban udara 50-60%, dengan ventilasi yang cukup. Tempat
makanan harus dibuat cukup besar untuk ad limitum feeding. Demikian tempat
minum harus mudah dicapai oleh tikus, botol tempat air minum harus
dibersihkan setiap satu minggu sekali. Ransum harus diganti setiap hari dan
sisa ransum yang tertinggal jangan digunakan lagi. Tempat ransum harus
diletakkan sedemikian rupa sehingga terhindar dari kontaminasi urin dan feses
(Zakaria et al. 2007).
Persamaan beberapa kebutuhan zat gizi tikus dengan manusia
membuat penggunaan tikus sebagai hewan percobaan sangat menguntungkan.
Menurut Muchtadi (2010), zat-zat gizi yang diperlukan tikus untuk
pertumbuhannya yaitu karbohidrat yang terdiri dari pati, gula, dan selulosa.
Lemak esensial juga dibutuhkan terutama linoleat dan linolenat karena
karbohidrat dapat disintesis di dalam tubuhnya dari linoleat. Bila kekurangan
asam lemak esensial maka kulitnya akan bersisik, pertumbuhannya terhambat,
dan pada kasus berat dapat menimbulkan kematian. Sedangkan asam amino
esensial yang dibutuhkan tikus ada 10 macam yaitu lisin, histidin, triptofan,
fenilalanin, leusin, isoleusin, treonin, methionin,valin, dan arginin. Sehingga
tanda-tanda kekurangan zat gizi yang juga dibutuhkan oleh manusia dapat
terlihat dengan jelas pada tikus dan memudahkan penelitian. Selain itu
penggunaan tikus sebagai hewan percobaan memberikan keuntungan karena
biaya yang diperlukan tidak sebesar penggunaan hewan mamalia sehingga
lebih terjangkau. Namun tikus juga memiliki kekurangan, diantaranya adalah
tingkat stress tikus yang tinggi. Tikus termasuk hewan yang sensitif dan
mudah mati pada tingkat stress tertentu.
Oleh karena itu, perlakuan terhadap tikus percobaan harus sangat
hati-hati. Tikus memerlukan waktu adaptasi sebelum diberi perlakuan uji,
tikus tidak boleh dipegang dengan alat bantu dan cara memegang tikus pun
harus sesuai, telapak tangan harus ditempatkan pada punggungnya sedangkan
ibu jari serta telapak tangan memegang kaki-kaki depan di bawah lehernya
Muchtadi (2010).
Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein in vivo
Secara garis besar, terdapat dua macam metode evaluasi nilai gizi protein
yaitu metode in vitro dan metode in vivo. Metode in vivo, secara biologis,
menggunakan hewan percobaan, salah satu hewan yang biasa digunakan yaitu
tikus putih. Parameter yang ditetapkan dalam evaluasi nilai gizi suatu protein
secara biologis antara lain PER, DC, BV, dan NPU.
Protein efficiency ratio (PER) pada dasarnya menghitung efisiensi suatu
protein pangan untuk digunakan dalam sintesis tubuh. PER merupakan
perbandingan antara pertambahan berat badan dengan jumlah protein yang
dikonsumsi. PER adalah suatu pengujian 28 hari untuk mengetahui pertambahan
berat badan per satu gram protein yang dikonsumsi. FDA menggunakan PER
sebagai dasar untuk persentase USRDA (US recommended daily allowance
(USRDA) untuk protein (Muchtadi 2010).
Cara ini biasanya melibatkan penggunaan anak-anak tikus jantan yang
sudah tidak menyusu lagi yaitu yang berumur 20-23 hari. Kecepatan pertumbuhan
tikus-tikus muda tersebut dipakai sebagai ukuran pengujian mutu protein yang
dikonsumsi. Tikus percobaan diberi ransum yang mengandung 10% protein
dengan masa percobaan selama 28 hari atau 4 minggu. Setiap minggu dievaluasi
jumlah tambahan berat dan makanan yang dikonsumsi. Harga PER sangat
dipengaruhi oleh kadar protein dalam diet dan komponen lain dalam bahan
makanan seperti vitamin (Winarno 2002). Namun PER memiliki kekurangan
karena mengasumsikan bahwa seluruh protein yang dikonsumsi digunakan untuk
pertumbuhan, sedangkan protein pada tubuh manusia juga digunakan untuk fungsi
pemeliharaan. Oleh karena itu, digunakan pula parameter Net protein ratio (NPR)
dimana dilibatkan satu kelompok tikus yang diberi ransum tanpa protein dengan
tujuan untuk menjadi pembanding. Perbedaan dengan NPR dengan PER yaitu
pada NPR ditambahkan kelompok tikus nonprotein dan lama percobaan hanya
sekitar 10 hari (Muchtadi 2010).
Net protein utilization (NPU) adalah perbandingan antara jumlah asam
amino yang dapat ditahan oleh tubuh dengan jumlah protein yang dikonsumsi.
Jumlah nitrogen yang dimakan oleh tiap-tiap tikus percobaan diamati dan dicatat.
Cara ini juga melibatkan penggunaan hewan percobaan tikus, umur 23 hari, yang
dikelompokkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberi ransum yang
mengandung protein yang akan diuji mutunya, sedangkan kelompok kedua diberi
ransum tanpa protein untuk dijadikan pembanding (kontrol). Baik air maupun
ransum diberikan ad libitum. Masa percobaan berlangsung selama 10 hari. Setelah
selesai tikus-tikus percobaan dibunuh dengan menggunakan kloroform, tubuhnya
dibuka, kemudian dikeringkan pada suhu 1050 C selama 48 jam, dan ditentukan
berat keringnya. Setelah digiling, lalu dianalisis dan diukur kadar nitrogennya.
NPU dinyatakan dalam satuan prosen nitrogen yang dikonsumsi tikus-tikus
percobaan (Winarno 2002).
Nilai gizi protein diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat
dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh,
dua faktor penentunya yaitu daya cerna atau nilai cerna dan kandungan asam
amino esensialnya (Muchtadi 2010). Nilai atau mutu protein sangat tergantung
pada dua faktor yaitu daya cerna dan nilai biologisnya. Yang dimaksud daya cerna
(DC) adalah jumlah fraksi nitrogen dari bahan makanan yang dapat diserap oleh
tubuh. Sedangkan nilai biologis atau biological value (BV) merupakan harga atau
jumlah fraksi nitrogen yang masuk ke dalam tubuh yang kemudian dapat ditahan
oleh tubuh dan dimanfaatkan dalam proses pertumbuhan atau untuk menjaga agar
tubuh tetap dalam keadaan normal. Baik nilai biologis maupun nilai NPU sangat
dipengaruhi oleh jumlah kalori yang dikonsumsi. Konsumsi kalori yang rendah
akan menurunkan retensi nitrogen dan akibatnya menurunkan nilai biologis dan
NPU (Winarno 2002).
Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkandung
dalam protein tersebut. Pada prinsipnya, suatu protein yang dapat menyediakan
asam amino esensial dalam suatu perbandingan yang menyamai kebutuhan
manusia mempunyai mutu yang lebih tinggi. Sebaliknya, protein yang kekurangan
satu atau lebih asam amino esensial mempunyai mutu yang rendah. Jumlah asam
amino yang tidak esensial tidak dapat digunakan sebagai pedoman karena asam-
asam amino tersebut dapat disintesis dalam tubuh (Winarno 2002).
Asam-asam amino yang biasanya sangat kurang dalam bahan makanan
disebut asam amino pembatas. Dalam serealia asam amino pembatasnya adalah
lisin, sedang dalam leguminosa asam amino pembatasnya biasanya adalah
metionin, maka kedua protein ini tergolong bermutu rendah. Jika protein dengan
mutu rendah terlalu banyak dikonsumsi dan menu yang dibuat tidak beraneka
ragam akan berakibat pada kurangnya asam amino pembatas dan beresiko
mengalami gejala-gejala lanjutan (Winarno 2002).
Ransum
Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak
baik berupa bahan organik maupun nonorganik yang sebagian atau seluruhnya
dapat dicerna tanpa mengganggu kesehatan ternak, sedangkan ransum adalah
campuran dua atau lebih bahan pakan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan
ternak selama 24 jam. Ransum berasal dari bahan nabati atau hewani, berdasarkan
sifatnya dapat berupa hijauan dan konsentrat, dan berdasarkan sumber zat gizinya
yaitu sumber protein, mineral, dan energi. Secara internasional, ransum atau
bahan pakan dibagi dalam delapan kelas, yaitu pakan kasar yang banyak
mengandung serat kasar, hijauan segar, silase, sumber energi, sumber protein,
sumber mineral, sumber vitamin, dan bahan additive (Sunarso dan Christiyanto
2000).
Ransum sumber protein adalah ransum atau pakan yang mengandung lebih
dari 20% protein. Contohnya ransum asal hewani yaitu tepung ikan, tepung
daging, susu skim, dan tepung darah, sedangkan ransum asal nabati yaitu kacang
tanah, kedele, turi, gamal, lamtoro atau pakan bungkil yang berasal dari kelapa,
kelapa sawit, kedele, kacang, kapok, kapas dan jagung (Sunarso dan Christiyanto
2000).
Komposisi ransum tikus berdasarkan rekomendasi AOAC yaitu meliputi
sumber protein, sumber lemak, pati, selulosa, vitamin, mineral, dan air.
Komponen protein ditentukan jumlahnya (10%) dengan rumus X = (1.60x100) /
%N sampel. Komponen lemak yang menggunakan minyak jagung ditentukan
jumlahnya (8%) dengan menggunakan rumus 8 – X x (%kadar lemak/100).
Komponen mineral ditentukan jumlahnya (5%) dengan rumus 5 – X x (%kadar
abu/100). Vitamin ditentukan jumlahnya tetap 1%. Serat yang menggunakan
CMC ditentukan jumlahnya (1%) dengan rumus 1 – X x (%kadar serat kasar/100).
Air minum sebanyak 5% ditentukan dari rumus 5 – X x (%kadar air/100). Dan
kemudian prosentase akhir adalah komponen karbohidrat yang melengkapi total
prosentase menjadi 100% maka rumusnya adalah (100% - lainnya) (AOAC 1984
dalam Muchtadi 2010).
Seluruh komponen yang sudah ditimbang sesuai rumus beratnya kemudian
dijadikan satu dan diaduk hingga rata menjadi adonan. Adonan kemudian digiling.
Menurut Sunarso dan Christiyanto (2000), dalam ilmu ternak, penggilingan
(grinding) akan memperkecil ukuran partikel pakan, meningkatkan kecernaan
khususnya bagi butiran yang keras. Partikel yang lebih kecil akan memperluas
permukaan sehingga kecernaannya akan meningkat. Setelah itu adonan halus
tercampur rata, adonan dibentuk menjadi ransum potongan kecil-kecil. Ransum
kemudian dipanaskan di dalam oven hingga kering dan matang. Suhu tinggi
pengeringan juga dapat membantu menghindarkan ransum dari pembusukan
akibat mikroorganisme atau jamur dan kerusakan fisik.
Kasein
Kasein merupakan proteida fosfor yang dijumpai dalam endapan koloida
air susu dan terdiri dari beberapa unit asam amino. Kasein berasal dari bahasa
latin yaitu Caseine, kata ini berawal dari kata caesus yaitu keju. Kasein
merupakan hasil pengolahan susu yang larut dalam larutan alkali dan asam pekat,
mengendap dalam asam lemak, dan tidak larut dalam air. Kasein sebagai protein
utama susu merupakan protein nutrien dan penyimpan, kasein dapat diendapkan
oleh asam. Kasein merupakan sejenis senyawa organik yang mempunyai gugus
polar dan nonpolar. Kasein mengandung sulfur yang terdapat pada metionin dan
sistin (Khopkar 2003).
Ransum merupakan campuran pakan yang disusun untuk memenuhi
kebutuhan ternak atau hewan selama 24 jam. Bahan pakan sengaja dicampurkan
dengan kasein untuk menghasilkan ransum sumber protein. Ransum sumber
protein adalah ransum atau pakan yang mengandung lebih dari 20% protein
(Sunarso dan Christiyanto 2000).
Kasein sebagai sumber protein memiliki nilai gizi yang tinggi karena
mengandung semua asam amino esensial dengan jumlah yang tinggi melebihi
pola referensi dari FAO. Oleh karena itu kasein berfungsi sebagai acuan baku
dalam pengujian-pengujian protein (ransum kontrol). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Ishihara et al (2003), dinyatakan bahwa kasein mengandung asam
amino esensial sebanyak 43.65%. Kasein komersial umumnya dihasilkan dari
susu skim yang mengalami pengendapan kasein akibat penambahan asam atau
rennet. Komposisi kasein komersial terdiri atas protein 88.5%, lemak 0.2%, air
7%, dan abu 3.8% (Webb et al 1981). Menurut Buckle et al (1987), kasein
komersial yang diproduksi merupakan substansi granular berwarna putih
kekuningan. Kasein terbentuk dalam bentuk kalsium kaseinat, yaitu senyawa
kompleks dari Ca-fosfat dan terdapat dalam bentuk partikel-partikel kompleks
koloidal yang dikenal sebagai misel. Berdasarkan komposisi kimiawi, kasein
terdiri atas: 55% α-kasein, 25% β-kasein, 15% k-kasein, dan 5% beberapa
komponen kecil τ-kasein (Damodoran 1996).
Tepung Lele
Pakan sumber protein merupakan bahan yang mengandung protein kasar
20% atau lebih, yang berasal dari hewan termasuk bahan yg disilase, maupun
sumber nabati seperti bungkil. Pakan sumber protein hewani antara lain tepung
ikan, tepung daging dan tulang, tepung daging, tepung bulu yang telah
dihidrolisis, tepung limbah unggas, dan tepung darah. Ransum tepung ikan
umumnya mengandung asam amino dengan asam amino yang menonjol yaitu
arginin, glisin, leusin, isoleusin, lisin, dan valin (Sunarso dan Christiyanto 2000).
Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai
penambahan jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai pelengkap mutu
protein (Erlangga 2009).
Ilyas (2003) menyatakan, tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan
dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak
dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan
ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung. Cara
pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan mencincang ikan
kemudian mengeringkannya dengan sinar matahari atau dengan pengeringan
mekanis.
Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada
daging ikan. Kadar air pada daging ikan merupakan faktor penentu daya simpan
ikan, pengurangan kadar air pada ikan akan membantu menghambat proses
pembusukan. Dengan proses pengeringan secara terus menerus, maka proses
pembusukannya akan berhenti sehingga tepung akan lebih tahan terhadap bakteri,
jamur, maupun enzim. Proses pengeringan ikan menjadi tepung ikan selain
menggunakan metode pengeringan dapat didahului dengan pemanasan suhu tinggi
(Moeljanto 1982). Tepung ikan merupakan sumber kalsium (Ca) dan phosphor (P)
dengan kandungan vitamin B dan mineral yang tinggi. Disamping memiliki
kandungan serat yang rendah, pada tepung ikan lele juga terdapat kandungan trace
element seperti seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn) dan kobalt (Co)
(Moeljanto 1982).
Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan
komposisi kimia pada ikan segar, yaitu air, protein, lemak, mineral, dan vitamin
serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya (Sunarya 1990). Ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) memiliki rendemen daging sekitar 35% dari keseluruhan
tubuhnya, ikan jenis ini memiliki bagian kepala dan tulang yang cukup besar yaitu
kepala sekitar 27,49% dan tulang sebesar 14,61%. Komposisi gizi ikan lele
mengandung protein 17.8%, lemak 0.84%, abu 1.65%, air 79.45% dan karbohidrat
0.26% (Erlangga 2009). Oleh karena itu dapat dilihat bahwa kandungan air dan
protein merupakan dua unsur penyusun utama dari tubuh ikan lele. Protein ikan
lele memiliki kandungan asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, yaitu
Arginin 6.3%, Histidin 2.8%, Asoleusin 4.3%, Leusin 9.5%, Lisin 10.5%,
Metionin 1.4%, Fenilalanin 4.8%, Treonin 4.8%, Valin 4.7%, dan Triptopan
0.8%, maka kandungan asam amino esensialnya sejumlah 49.9% sedangkan asam
amino non esensialnya 50.1% (FAO 1997 diacu dalam Astawan 2008).
Tepung lele digunakan dalam campuran ransum sebagai sumber protein
yang mewakili kebutuhan protein manusia yang akan diujikan. Kandungan protein
ikan umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan hewan darat yang akan
menghasilkan kalori lebih tinggi. Dalam tubuh manusia protein memegang
peranan penting dalam pembentukan jaringan. Kandungan asam amino esensial
pada daging ikan dapat dikatakan sempurna, artinya semua jenis asam amino
esensial terdapat pada daging ikan, tetapi perlu diperhatikan beberapa asam amino
tidak mencukupi kebutuhan manusia diantaranya fenilalanin, triptofan, dan
metionin. Kandungan protein pada daging ikan cukup tinggi dan berpola
mendekati pola kebutuhan asam amino di dalam tubuh manusia. Ikan mempunyai
nilai biologis yang tinggi (Winarno 2002).
Tepung Ikan Gabus
Pakan sumber protein merupakan bahan yang mengandung protein kasar
20% atau lebih, yang berasal dari hewan termasuk bahan yg disilase, maupun
sumber nabati seperti bungkil. Pakan sumber protein hewani antara lain tepung
ikan (Sunarso dan Christiyanto 2000). Tepung ikan adalah produk padat yang
dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau
seluruh lemak dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu hasil
pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung
(Ilyas 2003).
Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan
komposisi kimia pada ikan segar. Salah satu jenis tepung ikan yang biasa
digunakan adalah tepung ikan gabus. Ikan gabu (Ophiocephalus striatus)
memiliki kadar protein yang cukup tinggi. Kadar protein ikan gabus 25.5% lebih
tinggi dibandingkan dengan ikan bandeng (20%), ikan emas (16%), ikan kakap
(20%) dan ikan sarden (21.1%). Dalam 100 g ikan gabus mengandung kalori 69
kkal, protein 25.2 g, lemak 1.7 g, dan air 69 g. Sedangkan kandungan asam amino
dalam 100 g ikan gabus adalah leusin 1314.2 mg, isoleusin 801.6 mg, treonin
581.2 mg, metionin 397.5 mg, fenilalanin 678.4 mg, lisin 1273.4 mg, tirosin
1193.4 mg, glisin 769.9 mg, alanin 156.8 mg, valin 811 mg, serin 461 mg, asam
aspartat 1358 mg, asam glutamat 2578 mg, arginin 2499.7 mg dan histidin 332
mg. Tepung ikan gabus dalam setiap 100 g mengandung energi 428 kkal, protein
16%, lemak 11.6%, karbohidrat 64.9% dan air 6% dengan PER 2.8J (Puslitbang
Gizi Depkes 1999).
Tepung ikan gabus banyak digunakan sebagai sumber protein hewani yang
diharapkan menjadi alternatif sumber protein terutama albumin (Santosa 2001),
namun dalam evaluasi nilai gizi in vivo tepung ikan gabus dijadikan campuran
ransum agar ransum yang dihasilkan menjadi ransum sumber protein. Tepung
ikan gabus digunakan dalam campuran ransum sebagai sumber protein yang
mewakili kebutuhan protein manusia yang akan diujikan. Kandungan protein ikan
umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan hewan darat yang akan menghasilkan
kalori lebih tinggi. Dalam tubuh manusia protein memegang peranan penting
dalam pembentukan jaringan. Kandungan asam amino esensial pada daging ikan
dapat dikatakan sempurna, artinya semua jenis asam amino esensial terdapat pada
daging ikan, tetapi perlu diperhatikan beberapa asam amino tidak mencukupi
kebutuhan manusia diantaranya fenilalanin, triptofan, dan metionin. Kandungan
protein pada daging ikan cukup tinggi dan berpola mendekati pola kebutuhan
asam amino di dalam tubuh manusia. Ikan mempunyai nilai biologis yang tinggi
(Winarno 2002).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Praktikum Evaluasi Nilai Gizi Protein secara in vivo dilakukan pada hari
Rabu tanggal 13 November sampai tanggal 18 Desember 2013 pada pukul 09.00
sampai dengan pukul 12.00 WIB yang dilaksanakan di Laboratorium Evaluasi
Nilai Gizi lantai 2, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Bahan utama yang digunakan adalah tikus putih galur sprague dawley
(sebagai hewan percobaan ) dan ransum tikus percobaan.Komposisi penyusun
ransum tikus terdiri dari pati jagung, campuran mineral, campuran vitamin,
minyak jagung, kasein (sebagai protein standar ) dan beberapa sampel protein uji,
dan berbagai pereaksi yang digunakan untuk analisis kjeldahl serta analisis
proksimat lainnya.
Alat utama yang digunakan pada praktikum kali ini adalah kandang
metabolic, wadah minum, botol kaca, timbangan tikus, timbangan bahan, tissue,
alumunium foil, refrigerator, sendok, baskom, erlenmeyer, penangas, seperangkat
peralatan untuk analisis kjeldahl dan proksimat.
Prosedur Percobaan
Tahap pertama :
Persiapan dan Analisis proksimat :
1. Penetapan Kadar Air Metode Oven Biasa
untuk mengetahui kadar air pada tepung lele, ikan gabus dan non-protein
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Cawan dikeringkan dalam oven selama 1 jam ↓
cawan dimasukkan dalam desikator selama 15-20 menit ↓
cawan ditimbang (a gram)
↓
sampel sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan
↓
cawan dan sampel ditimbang (X1 gram)
↓
dipanaskan dalam oven selama1 jam
↓
dimasukkan kedalam desikator selama 15-20 menit
↓
cawan dan sampel ditimbang (X2 gram).
Gambar 1 Prosedur penetapan kadar air metode oven biasa
2. Penetapan Kadar Abu
Percobaan untuk mengetahui kadar air pada tepung lele, ikan gabus dan
non protein dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven pada suhu 100-105ºC selama 1 jam
↓
cawan didinginkan selama 15 menit dalam desikator, kemudian ditimbang
↓
dimasukkan sampel sebanyak 1.5-2 gram ke dalam cawan
↓
dimasukkan ke dalam Tanur dengan suhu 600ºC
↓
didinginkan diluar Tanur pada tempat yang telah disediakan, hingga suhunya
turun sampai 120ºC
↓
dimasukkan dalam desikator, setelah dingin timbang cawan+abu.
Gambar 2 Prosedur penetapan kadar abu
3. Penetapan Kadar Lemak
Penetapan kadar lemak metode soxhlet diawali dengan cara mengeringkan
labu lemak pada suhu 105ºC selama 30 menit, kemudian didinginkan dalam
desikator agar sampel bebas dari lemak. Penetapan kadar lemak dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
Sampel yang telah ditimbang disimpan pada alat ekstraksi soxhlet
↓
dituang 50 ml pelarut heksana pada labu lemak dan diletakkan di soxhlet
↓
dipanaskan selama 6 jam, kemudian pelarut disulingkan
↓
labu dikeringkan di dalam oven.
Gambar 3 Prosedur ekstraksi lemak metode soxhlet
4. Penetapan Kadar Protein
Percobaan kali ini dilakukan penetapan kadar protein dalam sampel
dengan menggunakan metode Kjeldhal. Penetapan kadar protein dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
Ditimbang bahan kira-kira 0.5 gram
↓
dimasukkan bahan tersebut dalam labu Kjeldhal
↓
ditambahkan 2.5-5 gram atau 0.5-1 sendok selenium mix atau campuran 5 gram
CuSO4 dan KMnO4 (1:9) dan 25 ml H2SO4 pekat
↓
dipanaskan dengan api kecil, kemudian api dibesarkan sampai terjadi larutan
berwarna jernih kehijauan dan uap SO2 hilang
↓
didinginkan kemudian dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan
sampai tanda tera
↓
dipipet 10 ml, lalu dimasukkan ke dalam labu destilasi dan ditambahkan 10 ml
NaOH 10% kemudian disuling
↓
destilat ditampung dalam 20 ml larutan asam borat 3%
↓
dititrasi larutan asam borat dengan HCl standar sampai berwarna ungu dengan
menggunakan metil merah sebagai indikator.
Gambar 4 Prosedur penetapan kadar protein metode Kjeldhal
Tahap kedua :
Pembuatan Ransum
Pembuatan ransum dibuat menjadi Ransum yang empat jenis ransum.
Ransum tersebut adalah ransum non protein, ransum kasein, ransum ikan gabus,
dan ransum ikan lele. Ransum kasein dan ransum non protein merupakan jenis
ransum non protein yang akan diberikan pada tikus non protein, sedangkan untuk
jenis ransum ikan lele dan ikan gabus merupakan ransum protein dan diberikan
pada tikus yang diberi perlakuan pemberian protein. Komposisi antar jenis ransum
yang dibuat berbeda – beda tergantung pada karakteristik bahan dasar yang
digunakan. Salah satu contoh komposisi pembuatan ransum seperti ditampilkan
dalam tabel 1 sebagai berikut.
Tabel 1 Komposisi pembuatan ransum Bahan Campuran 100 g X15
Sumber protein 0 -
Minyak jagung 8 120
Air 5 75
Mineral mix 5 75
Vitamin mix 1 15
CMC 1 15
Pati jagung 80 1200
Perlakuan Tikus
Pembuatan ransum
↓
Masing-masing perlakuan untuk tiga tikus
↓
dilakukan proses adaptasi dengan pemberian casein selama tiga hari
↓
10 hari masa perlakuan dengan ransum
↓
Diberikan ransum kepada tikus setiap hari, ditimbang feses dan urin setiap hari
↓
Dipisahkan kotorannya
↓
Ditimbang tikus setiap tiga hari sekali
↓
Dimatikan tikus dengan kloroform di akhir percobaan (hari ke 13)
↓
Dibuat sayatan melintang pada tikus dimulai dari ekor hingga kepala pada bagian
perut dan dada
↓
Semua tikus digabungkan diletakkan pada satu nampan yang telah diketahui
beratnya
↓
Ditimbang sebelum dan sesudah dikeringkan dalam oven pada 105oC±48 jam
↓
Dihitung berat cairan tubuh dan berat karkas kering, dihancurkan hingga halus
↓
Dihitung kadar nitrogen dalam karkas dan ransum dengan metode Kjeldahl dan
dihitung BV dan D
Gambar 5 Proses perlakuan pada tikus
Tahap ketiga :
Intervensi dan pemeliharaan tikus
Masa adaptasi tikus selama 3 -5 hari untuk pembiasaan tikus
pada lingkungan pengujian
↓
Digunakan ransum selama masa adaptasi adalah ransum kontrol seperti kasein,
laktalbumin atau susu skim yang dicampur dengan bahan – bahan lain
↓
Apabila dari hasil pengamatan terlihat tikus tidak mengalami gangguan , maka
ransum yang dikonsumsi dicatat setiap hari.
↓
Selama intervensi, berat tikus dan ransum yang dikonsumsi harus dicatat secara
berkala.
↓
Berat badan tikus ditimbang tiap 2 hari, sedangkan ransum yang dikonsumsi
dicatat setiap hari
X
↓
Selama intervensi, feses, urin dikumpulkan dalam wadah tertentu ( 2 hari sekali )
↓
Botol penampung urin diberi 1-2 tetes H2SO4 5 % , untuk mencegah menguapnya
amoniak
↓
Tepat pada hari ke – 10 bedah seluruh tikus dan ambil darah dari rongga dada.
Gambar 6 Intervensi dan pemeliharaan tikus
Tahap keempat :
Destruksi
Feses dicampur dari 3 tikus dan di tumbuk hingga halus. Urin dicampur.
↓
Ditimbang 0,5 gram feses/urin,dimasukkan kedalam labu destilasi, dibuat duplo
↓
Ditambahkan setengah sudip selenium mix.
↓
Ditambahkan H2SO4 7 ml.
↓
Didestruksi hingga warna dari feses dan urin jernih dengan menggunakan api
yang kecil
↓
Hasil desktruksi diencerkan dengan air 100 ml
↓
diambil 10 ml duplo, dimasukkan ke labu destilasi
↓
ditambahkan 3 tetes mm MM
↓
ditambahkan NaOH sampai setengah labu
Untuk di bawah alat :
- Masukan HBO3 20 ML
- Tambahkan 3 tetes MM
Gambar 7 Proses Destruksi
Destilasi
Sampel dipindahkan ke labu kjedhal, bilas labu destruksi hingga bersih dengan
aquades
↓
Ditambahkan aquades hingga ¼ labu kjedhal.
↓
Ditambahkan MMB 3 tetes
↓
Ditambahkan NaOH
↓
Dibilas dengan aquades
X
↓
Didestilat ± 75 ml
↓
Erlenmeyer diisi 20 ml asam borat
↓
Diteteskan 2-3 MM
↓
Di titrasi dengan HCL
Gambar 8 Proses Destilasi
Titrasi Erlenmeyer diletakkan dibawah buret untuk dilakukan titrasi
↓
diteteskan sedikit demi sedikit larutan titran
↓
titrasi dikatakan selesai jika telah terbentuk warna ungu untuk pertama kali dan
warna telah permanen
Gambar 9 Prosedur titrasi analisis protein pada feses tikus
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis proksimat adalah suatu metoda analisis kimia untuk
mengidentifikasi kandungan zat gizi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat
pada suatu bahan pakan atau pangan. Zat gizi sangat diperlukan oleh hewan untuk
pertumbuhan, produksi, reproduksi, dan hidup pokok. Analisis proksimat yang
dilakukan pada ransum adalah penentuan kadar air, serat kasar, lemak, protein,
dan abu. Penentuan kadar air dengan analisis proksimat memiliki prinsip yaitu
menghitung kadar air dalam suatu bahan dengan menggunakan oven, sehingga
dapat diukur berat sampel sebelum di oven dan berat sampel sesudah di oven.
Selisih keduanya merupakan jumlah air yang dikandung bahan tersebut (Khopkar
SM 1980). Ransum yang sudah jadi ditimbah terlebih dahulu kemudian
dimasukan ke dalam oven menggunakan cawan yang telah dipanaskan
sebelumnya. Ransum dipanaskan hingga kering dan kandungan air telah menguap
seluruhnya kurang lebih selama 3 jam pada suhu diatas 100oC. Ransum yang
sudah dipanaskan ditimbang kembali. Selisih berat ransum sebelum dipanaskan
dengan berat ransum setelah dipanaskan merupakan kandungan air dalam ransum.
Kandungan gizi yang dianalisis selanjutnya adalah lemak. Prinsip
penentuan kadar lemak dengan analisis proksimat adalah melarutkan lemak yang
terdapat didalam bahan dengan pelarut lemak (ekstraksi) selama beberapa waktu
yaitu sekitar 3-8 jam. Alat yang digunakan untuk ekstraksi adalah sokhlet (gold
fish). Pelarut yang digunakan adalah: kloroform, petroleum benzena, aseton,
heksan. Lemak yang terekstaksi (larut dalam pelarut) terakumulasi dalam wadah
pelarut (labu sokhlet/gelas gold fish) kemudian dipisahkan dari pelarut dengan
cara dipanaskan dalam oven dengan temperatur 105° C. Pelarut akan menguap
karena titik didihnya rendah/dibawah 80° C maka untuk mendapatkan berat lemak
tinggal ditimbang lemak yang tertinggal didalam wadah (Khopkar SM 1980).
Prosedur penetapan kandungan lemak dengan analisis proksimat menurut
Khopkar SM (1980) adalah sampel bahan kering diekstrasi dengan etil eter selama
beberapa jam, maka bahan yang didapatkan adalah lemak, eter akan menguap.
Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, tang penjepit, oven pengering,
desikator, seperangkat alat ekstraksi dan selongsong dari soxhlet yang berfungsi
untuk ekstraksi lemak, labu penampung yang berfungsi menampung sisa
petroleum benzene yang jatuh dari soxhlet , alat pendingin yang berfungsi untuk
mengkondensari uap hasil penguapan petroleum benzen agar tidak mencemari
lingkungan, dan kertas saring bebas lemak yang berfungsi untuk menyaring
ekstrak.
Prinsip penentuan kadar protein dengan analisis proksimat adalah
penetapan nilai protein kasar dilakukan secara tidak langsung karena analisis ini
didasarkan pada penentuan kandungan nitrogen yang terdapat dalam bahan.
Kandungan nitrogen (N) yang diperoleh dikalikan dengan angka 6,25 sebagai
angka konversi menjadi nilai protein. Nilai 6,25 didapat dari asumsi bahwa
protein mengandung 16% nitrogen (Khopkar SM 1980). Prosedur penentuan
protein dengan analisis proksimay menurut Khopkar SM (1980) adalah dilakukan
dengan 3 tahapan yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.
Prinsip penentuan kadar serat kasar menggunakan analisis proksimat
adalah komponen suatu bahan yang tidak dapat lewat dalam pemasakan dengan
asam encer dan basa encer selama 30 menit adalah sampel kering dan abu, untuk
mendapatkan serat kasar maka bagian yang tidak larut tersebut (residu) disamakan
sesuai dengan analisis (Khopkar SM 1980). Menurut Khopkar SM (1980),
perbedaan antara berat endapan sebelum dibakar dan berat abu disebut serat kasar.
Serat kasar adalah bahan organik yang tidak larut saat dihidrolisis dengan H2SO4
1,25% dan NaOH 1,25%. Perebusan dengan menggunakan H2SO4 1,25% setelah
itu diberi NaOH 1,25% supaya suasananya asam menjadi basa sesuai dengan
suasana pencernaan pada ruminansia yang di dalam rumen yang asam dan usus
halus suasana basa. Alat yang digunakan adalah beaker glass 600ml, desikator,
tang penjepit, timbangan analitik, tanur (550oC sampai 600oC), pemanas untuk
mendidihkan campuran bahan dalam beaker glass, saringan linen yang berfungsi
untuk menyaring bahan organik yang tertinggal, gelas arloji, glass wool dan gooch
crucible yang berfungsi sebagai penyaring bahan organik yang tertinggal. Bahan
yang digunakan dalam praktikum ini adalah H2SO4 1,25% (0,255N) yang
berfungsi untuk menghidrolisis karbohidrat dan protein, NaOH 1,25% (0,313N)
yang berfungsi untuk penyabunan lemak, dan ethyl alkohol 95%. Semua senyawa
organik kecuali serat kasar akan larut bila direbus dalam H2SO4 1,25% (0,255N)
dan NaOH 1,25% (0,313N) yang berurutan masing-masing selama 30 menit.
Bahan organik yang tertinggal disaring dengan glass wool dan gooch crucible.
Hilangnya bobot setelah dibakar 550oC sampai 600oC adalah serat kasar.
Berdasarkan data-data yang diperoleh, maka kadar serat kasar dapat dihitung
dengan menghitung bobot sampel setelah dioven 105oC dikurangi bobot sisa
pembakaran 550 sampai 600oC dan dikali 100% dan dibagi bobot sampel awal.
Prinsip penentuan kadar abu dengan analisis proksimat menurut Khopkar
SM (1980) adalah bahan dibakar dalam tanur (fornace) dengan suhu 600° C
selama 3 – 8 jam, sehingga seluruh unsur utama pembentukan senyawa organik
(C, H, N, O), habis terbakar dan berubah menjadi gas. Sisanya yang tidak terbakar
adalah abu, yang merupakan kumpulan dari mineral yang terdapat dalam bahan.
Cawan porselen dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 100-105oC,
kemudian dilanjutkan dengan pendinginan di dalam Eksikator selam 15 menit dan
ditimbang. Hasil penimbangan dicatat sebagai A gram. Sejumlah sampel kering
dimasukkan ke dalam oven sebanyak 2-5 gram di dalam cawan, dicatat sebagai B
gram. Sampel dipanaskan dengan hot plate atau pembakar bunsen sampai tidak
berasap lagi. Sampel dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan temperatur 600-
700oC, dibiarkan beberapa lama sampai bahan berubah menjadi abu putih betul.
Lama pembakaran sekitar 3-6 jam. Sampel didinginkan dalam eksikator kurang
lebih 30 menit dan timbang dengan teliti (hasil dicatat sebagai C gram). Kadar abu
dapat dihitung dari data hasil yang telah didapat.
Menurut Sunarso dan Christiyanto (2000) ransum adalah campuran dua
atau lebih bahan pakan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan ternak selama
24 jam. Ransum berasal dari bahan nabati atau hewani, berdasarkan sifatnya dapat
berupa hijauan dan konsentrat, dan berdasarkan sumber zat gizinya yaitu sumber
protein, mineral, dan energi. Ransum yang dibuat untuk praktikum kali ini dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu ransum protein dan ransum non protein. Ransum jenis
protein diperoleh dari tepung ikan. Berikut disajikan tabel komposisi bahan
penyusun ransum.
Tabel 2 Komposisi bahan penyusun ransum
Komposisi Sumber Jumlah Perhitunngan (%)
Protein Protein standar
atau protein uji
10% 𝑥 =
1.60 x 100
% N sampel
Lemak Minyak jagung 8% 8 − (𝑋 𝑥
% kadar lemak
100)
Mineral Mineral mix 5% 5 − (𝑋 𝑥
% kadar abu
100)
Vitamin Vitamin mix 1% 1 %
Serat CMC 1% 1 − (𝑋 𝑥
% kadar serat kasar
100)
Air Air minum 5% 5 − (𝑋 𝑥
% kadar air
100)
Karbohidrat Pati jagung 70% 100 – (lainnya)
Ransum yang dibuat oleh kelompok praktikan adalah ransum jenis non
protein. Pembuatan ransum diawali dengan penentuan komposisi dari bahan-
bahan penyusun ransum. Ransum dibuat dari beberapa bahan pangan sumber
karbohidrat sebanyak 70%, sumber lemak sebanyak 8%, sumber mineral sebanyak
5%, sumber vitamin sebanyak 1%, sumber serat sebanyak 1%, air sebanyak 5%,
dan sumber protein sebanyak 10%. Protein jenis non protein yang dibuat oleh
kelompok praktikan bahan pangan sumber protein digantikan dengan bahan
pangan sumber karbohidrat sehingga komposisi bahan pangan sumber karbohidrat
yang digunakan sebanyak 80%. Berikut disajikan tabel formulasi ransum non
protein sampel 100 gram.
Tabel 3 Formulasi ransum non protein per 100 gram bahan pangan campuran
Bahan campuran Ransum non protein
Per 100 gram Tot. formulasi (B3X15)
Sumber protein 0.00 0.00
Minyak 8.00 120.00
Air 5.00 75.00
Mineral mix 5.00 75.00
CMC 1.00 15.00
Vitamin mix 1.00 15.00
Pati jagung 80.00 1200
Jumlah 100 1500
Ransum non protein diperoleh dari formulasi bahan campuran per 100
gram dengan sumber minyak sebesar 8 gram, air 5 gram, mineral mix 5 gram,
CMC 1 gram, vitamin mix 1 gram, dan pati jagung 80 gram. Total sampel analisis
non-protein per 100 gram diperoleh sebesar 100. Total formulasi sampel non-
protein diperoleh sebesar 1500 gram dalam 100 gram yang berarti 1:1,5 yaitu
sebesar 15, sehingga dilakukan perkalian dari sampel kasein sumber minyak per
100 gram sebesar 8 gram dikalikan dengan perbandingan formulasi untuk sumber
minyak sebesar 15. Sehingga diperoleh hasil sebesar 120 gram. Total formulasi
dari bahan campuran lainnya dapat diperoleh dengan melakukan kalkulasi dan
cara yang sama yang dilakukan pada bahan campuran sumber minyak. Sehingga
diperoleh total hasil formulasi, air 75 gram, mineral mix 75 gram, CMC 15 gram,
vitamin mix 15 gram, dan pati jagung 1200 gram.
Bahan pangan yang sudah siap dan jumlahnya sudah sesuai komposisi
dicampurkan hingga merata dibuat menjadi adonan. Adonan yang sudah jadi
kemudian digiling sehingga ukurannya menjadi lebih kecil. Penggilingan ini
menurut Sunarso dan Christiyanto (2000) akan meningkatkan daya cerna ransum
karena ukuran partikel yang mengecil. Partikel yang mengecil akan memperluas
permukaan sehingga daya cernanya akan meningkat. Ransum yang telah dibentuk
menjadi andonan kecil kemudian dipanaskan dalam oven hingga kering dengan
suhu tinggi. Suhu tinggi pada pemanasan dan pengeringan ini akan membantu
ransum terhindar dari pembusukan akibat mikroorganisme atau jamur dan
kerusakan fisik. Ransum yang telah jadi dapat diberikan kepada tikus sesuai
perlakuan yang telah ditentukan.
Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan
untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari berbagai macam bidang
ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Kesamaan filogeni
antara manusia dengan primata mendorong para ilmuwan memilih hewan primata
sebagai model dalam percobaan laboratorium. Akan tetapi karena dari segi
pengadaannya sulit dan pemeliharaannya juga memerlukan biaya yang besar maka
jenis tikus putih dapat dipilih sebagai alternatif (Malole dan Pramono 1989).
Persamaan beberapa kebutuhan zat gizi tikus dengan manusia membuat
penggunaan tikus sebagai hewan percobaan sangat menguntungkan. Menurut
Muchtadi (2010), zat-zat gizi yang diperlukan tikus untuk pertumbuhannya yaitu
karbohidrat yang terdiri dari pati, gula, dan selulosa.
Menurut Zakaria et al (2007), umumnya tikus yang digunakan untuk
percobaan adalah tikus-tikus yang baru disapih yaitu umur kurang lebih 21 hari.
Sebelum percobaan dimulai harus dilakukan masa adaptasi selama 4-5 hari untuk
membiasakan tikus pada lingkungan laboratorium. Masa pembiasaan pada
praktikum dilakukan selama 3 hari sebelum intervensi diberikan. Masa
pembiasaan pada praktikum yang kurang dari masa pembiasaan berdasarkan
Zakaria et al (2007) diakibatkan oleh waktu praktikum yang terbatas sehingga
tidak memungkinkan melakukan masa pembiasaan terlalu lama. Selama masa
pembiasaan pada praktikum, tikus diberikan ransum kasein sebagai sumber
proteinnya, dicampur dengan bahan- bahan lain seperti karbohidrat, lemak,
vitamin dan mineral. Bahan- bahan makanan tersebut hanya boleh dicampurkan
apabila akan digunakan dan untuk menjaga agar tidak terjadi perubahan akibat
pengaruh fisik, kimia atau mikrobiologis dan sebaiknya bahan-bahan tersebut
disimpan pada suhu 4°C.
Tikus percobaan pada praktikum dibedakan menjadi empat jenis tikus
berdasarkan jenis ransum yang diberikan. Jenis-jenis ransum yang diberikan
adalah ransum kasein, ransum tepung ikan lele, ransum tepung ikan gabus, dan
ransum non protein. Perbedaan jenis ransum yang diberikan memberikan
perbedaan pada pertambahan berat badan tikus percobaan bahkan terdapat
penurunan berat badan pada salah satu tikus percobaan. Hasil penimbangan berat
badan tikus percobaan saat awal dan penimbangan berat badan tikus percobaan di
akhir praktikum adalah sebagai berikut:
Tabel 4 Hasil penimbangan berat badan tikus percobaan
Jenis Ransum Kode Tikus BB awal (gram) BB akhir
(gram)
Selisih BB
awal dan BB
akhir (gram)
Kasein J1 76 95 19
Tepung Ikan
Lele
M3 67,8 70,2 2,4
Tepung Ikan
Gabus
K3 35,9 39,1 3,2
Non Protein T3 71,6 38,6 -33
Kelompok praktikum E2 bertanggungjawab terhadap pertumbuhan tikus
non protein. Pertumbuhan tersebut termasuk pertambahan maupun penurunan
berat badan tikus non protein. Tikus non protein diberikan kode T3 dengan berat
badan awal 71,6 gram. Berat badan tikus percobaan ditimbang sebanyak 7 kali
selama masa intervensi dan sekali sebelum melakukan pembedahan. Berat badan
akhir tikus percobaan diambil berdasarkan berat badan tikus sebelum melakukan
pembedahan. Tikus non protein memiliki berat badan akhir 38,6 gram.
Tikus non protein mengalami penurunan berat badan setelah masa
intervensi. Penurunan berat badan terjadi selama intervensi pada tikus non protein,
dimana penurunan berat badan terjadi secara bertahap. Selisih berat badan pada
tikus non protein pada awal dan akhir intervensi sebesar 33 gram. Selain tikus non
protein, tikus dengan jenis ransum kasein, ransum tepung lele, dan ransum tepung
ikan gabus mengalami penambahan berat badan. Pada tikus kasein dengan berat
badan awal 76 gram memiliki pertambahan berat badan sebesar 19 gram. Tikus
kasein memiliki pertambahan berat badan paling besar dibandingkan dengan tikus
tepung lele dan tikus tepung ikan gabus.
Berat badan awal pada tikus tepung lele sebesar 67,8 gram, sedangkan
berat badan awal pada tikus tepung ikan gabus adalah 35,9 gram. Berat badan
tikus paling besar di awal masa pembiasaan dimiliki oleh tikus kasein sebesar 76
gram sedangkan berat badan tikus paling besar di akhir masa intervensi dimiliki
oleh tikus kasein pula dengan berat 95 gram.
Tikus non protein mengalami penurunan berat badan akibat ransum yang
tidak mengandung protein ataupun tidak mengandung asam amino esensial yang
dibutuhkan oleh tikus dalam masa pertumbuhannya. Katili (2009) protein
berfungsi mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan organisme, sehingga
pemberian ransum tanpa protein menghambat pertumbuhan dan perkembangan
tikus percobaan. Pada tikus dengan pemberian ransum tepung lele dan tepung ikan
gabus, tikus mengalami penambahan berat badan sebanyak 2,4 – 3,2 gram.
Penambahan berat badan pada kedua tikus percobaan dipengaruhi oleh kandungan
protein pada ikan lele dan ikan gabus yang menjadi bahan ransum. Tikus dengan
penambahan berat badan paling besar terdapat pada tikus kasein, dimana ransum
terdiri dari kasein dengan jumlah protein lebih dari 20% (Sunarso dan
Christiyanto 2000). Kasein sebagai sumber protein memiliki nilai gizi yang tinggi
karena mengandung semua asam amino esensial dengan jumlah yang tinggi
melebihi pola referensi dari FAO. Oleh karena itu kasein berfungsi sebagai acuan
baku dalam pengujian-pengujian protein (ransum kontrol). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Ishihara et al (2003), dinyatakan bahwa kasein mengandung
asam amino esensial sebanyak 43.65%. Jumlah asam amino yang berlimpah
berpengaruh terhadap penambahan berat badan tikus kasein.
Secara garis besar, terdapat dua macam metode evaluasi nilai gizi protein
yaitu metode in vitro dan metode in vivo. Metode in vivo, secara biologis,
menggunakan hewan percobaan, salah satu hewan yang biasa digunakan yaitu
tikus putih. Parameter yang ditetapkan dalam evaluasi nilai gizi suatu protein
secara biologis antara lain PER, DC, BV, dan NPU (Muchtadi 2010). Praktikum
ini menggunakan metode in vivo menggunakan tikus sebagai hewan percobaan.
Hasil perhitungan nilai gizi protein pada tikus dengan ransum tepung lele dan
tikus dengan ransum tepung ikan gabus adalah sebagai berikut:
Tabel 5 Hasil perhitungan nilai gizi protein pada tikus percobaan
Jenis Ransum Kode Tikus Nilai PER Nilai NPR Nilai DC (%)
Tepung lele M3 0,66 11,27 77,39
Tepung ikan
gabus
K3 0,50 6,56 102,36
Hasil praktikum menunjukkan bahwa nilai PER dan NPR pada tikus
dengan ransum tepung lele memiliki nilai yang lebih tinggi, yakni 0,66 untuk PER
dan 11,27 untuk NPR. Namun, daya cerna ransum tepung ikan gabus lebih baik
dibandingkan daya cerna tepung ikan lele dengan persentase daya cerna sebesar
102,36% pada ransum ikan gabus.
Nilai PER yang semakin tinggi menunjukkan bahwa suatu jenis protein
semakin efisien digunakan dalam sintesis sel tubuh. PER merupakan
perbandingan antara pertambahan berat badan dengan jumlah protein yang
dikonsumsi (Muchtadi TR dan Ayustaningwarno F 2010). Kecepatan
pertumbuhan tikus-tikus muda tersebut dipakai sebagai ukuran pengujian mutu
protein yang dikonsumsi. Harga PER sangat dipengaruhi oleh kadar protein dalam
diet dan komponen lain dalam bahan makanan seperti vitamin (Winarno 2002).
Tingginya nilai PER pada ransum tepung lele diakibatkan oleh kandungan protein
dalam ikan lele yang tinggi sebesar 49,9% asam amino esensial dan 50,1% asam
amino non esensial (FAO 1997 diacu dalam Astawan 2008). Selain itu tepung
ikan lele juga mengandung vitamin B dan kadar mineral trace element yang tinggi
(Moeljanto 1982). Kadar protein yang tinggi pada ikan lele tidak sebesaar kadar
protein dalam ikan gabus sebanyak 25,5%. Hal ini yang menyebabkan nilai PER
pada ransum tepung lele lebih tinggi dibandingkan ransum tepung ikan gabus
(Depkes RI 1999).
Selain menghitung nilai PER pada masing-masing ransum, perhitungan
nilai gizi protein dilakukan pula dengan menghitung nilai NPR, dimana dilibatkan
satu kelompok tikus yang diberi ransum tanpa protein dengan tujuan untuk
menjadi pembanding. Perhitungan menggunakan NPR dilakukan karena nilai PER
dianggap memiliki kekurangan. Nilai PER memiliki kekurangan karena
mengasumsikan bahwa seluruh protein yang dikonsumsi digunakan untuk
pertumbuhan, sedangkan protein pada tubuh manusia juga digunakan untuk fungsi
pemeliharaan (Muchtadi TR dan Ayustaningwarno F 2010). Hal ini sesuai dengan
hasil praktikum dimana nilai PER berbanding lurus dengan nilai NPR ransum,
dimana ransum tepung lele memiliki nilai PER dan NPR lebih tinggi.
Nilai gizi protein diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat
dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh,
dua faktor penentunya yaitu daya cerna atau nilai cerna dan kandungan asam
amino esensialnya (Muchtadi TR dan Ayustaningwarno F 2010). Daya cerna (DC)
diartikan sebagai jumlah fraksi nitrogen dari bahan makanan yang dapat diserap
oleh tubuh. Berdasarkan hasil praktikum ransum ikan gabus yang memiliki nilai
PER dan NPR lebih rendah ternyata memiliki kandungan nitrogen lebih mudah
diserap tubuh dibandingkan ransum tepung lele. Hal diakibatkan oleh kandungan
asam amino esensial pada tepung ikan gabus lebih merata dibandingkan
kandungan asam amino esensial pada tepung lele (Winarno 2002).
Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkandung
dalam protein tersebut. Pada prinsipnya, suatu protein yang dapat menyediakan
asam amino esensial dalam suatu perbandingan yang menyamai kebutuhan
manusia mempunyai mutu yang lebih tinggi. Sebaliknya, protein yang kekurangan
satu atau lebih asam amino esensial mempunyai mutu yang rendah. Jumlah asam
amino yang tidak esensial tidak dapat digunakan sebagai pedoman karena asam-
asam amino tersebut dapat disintesis dalam tubuh (Winarno 2002).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Nilai gizi protein pada bahan pangan yang dievaluasi dengan metode in
vivo pada praktilkum kali ini adalah tepung ikan gabus dan ikan lele yang diolah
menjadi ransum untuk hewan percobaan yaitu tikus putih. Bahan pangan tersebut
dibandingkan hasil evaluasinya dengan protein kontrol berupa kasein. Hasil
analisis yang dilakukan adalah nilai gizi dari protein ikan gabus lebih baik
dibandingkan dengan ikan lele, hal ini dibuktikan dengan kandungan asam amino
esensial dan nilai cerana yang berada pada ikan gabus lebih baik dibandingkan
yang berada pada ikan lele. Selain kasein yang digunakan sebagai pembanding
kontrol ditambah pula dengan adanya kelompok yang tidak diberi intervensi
protein, kelompok ini ada untuk mengurangi kesalahan pada nilao PER yang
menganngap bahwa semua protein hanya digunakan untuk pertumbuhan dan tidak
untuk pertahaanan (maintenance) didalam tubuh. Nilai koreksi tersebut ditulis
pada nilai NPR. Penentuan nilai daya cerna (DC) dihasilkan dari hasil
perbandingan antara protein yang diserap yang dilihat dari selisih nilai nitrogen
pada feses antara tikus protein dan non protein dengan nitrogen yang dikonsumsi
secara total. Sedangkan nilan net protein utilisation (NPU) diperoleh dari hasil
metabolic secara keseluruhan baik dari feses dan urin yang telah dihitung
selisihnya antara tikus protein dan non protein dibandingkan dengan nitrogen
yang diserap. Untuk nilai PER dan NPR pada tikus yang diberi intervensi ikan lele
lebih memiliki nilai yang besar dibandingkan dengan tikus yang diberi intervensi
ikan gabus. Sedangkan nilai DC tepung ikan gabus memiliki nilai yang lebih besar
dibandingkan dengan nilai DC tepung ikan lele.
Saran
Saran untuk praktikum kali ini adalah dalam hal penanganan terhadap
tikus lebih baik dilakukan oleh tenaga yang lebih terlatih untuk mengurangi data
yang tidak akurat seperti penimbangan berat badan tikus, berat feses dan berat
urin.
DAFTAR PUSTAKA
Astawan M. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Belitz HD dan Grosch W. 2000. Food Chemistry. Berlin : Verlag Springer
Buckle KA. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Damodaran S. 1996. Amino Acids, Peptides, and Proteins. In: Fennema OR (ed.)
1996. Food Chemistry Third Edition. New York: Marcel Dekker Inc.
Depkes RI. 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat
2010. Jakarta.
Fennema OR. 1996. Food Chemistry 3rd Edition. New York: Marcek Dekker,
Inc.
Ilyas N. et al. 2003. Indonesian Fermented Food. Departement of Horticultur,
Ohio Argic. Res and Dev. Center. Wooster, Ohio.
Ishihara J. et al. 2003. Demographics, Lifestyle, Health Characteristic, and
Dietary Intake Among Dietary Supplement User in Japan. Int J
Epidemiol. Agus; 32(4):546-53.
Katili, AS. 2009. Struktur dan Fungsi Protein Kolagen. Jurnal Pelangi Ilmu
Volume 2.
Khopkar, S.M. 1980. Konsep Dasar Kimia Analitik. Diterjemahkan oleh A.
Saptorahardjo dan A. Nurhadi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/bt111062.pdf (diakses 30
Desember 2013)
Khopkar SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia
Press
Malome MBM dan Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan
di Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral dan Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Meyer LH. 1973 Food Chemistry. New Delhi: East-West Press PVT. Ltd
Moeljanto. 1982. Penanganan Ikan Segar. Jakarta: Swadaya.
Muchtadi TR dan Ayustaningwarno F. 2010. Teknologi Proses Pengolahan
Pangan. Bandung: Alfabeta.
Palupi NS, Zakaria FR, dan Prangdimurti E. 2007. Pengaruh Pengolahan
terhadap Nilai Gizi Pangan. [Modul e-learning ENBP]. Bogor:
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, IPB.
Santoso et al. 2001. Perbaikan Mutu Gel Ikan Mas Melalui Modifikasi Proses
[Laporan Penelitian]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Sumardjo, D. 2008. Pengantar Kimia. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Sunarso MS dan Christiyanto MP. 2000. Manajemen Pakan.
http://nutrisi.awardspace.com/download/MANAJEMEN%20PAKAN.pdf
[diakses 25 Desember 2013]
Sunarya. 1990. Masalah Mutu Tepung Ikan, Rebon, dan Kepala Udang sebagai
Bahan Baku Pangan. Makalah Seminar Teknologi Pangan Ikan/Udang.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Suwandito dan Trimartini. 2011. Metabolisme Protein dan Asam Amino.
http://www.fk.unair.ac.id/pdfiles/Metabolisma%20asam%20amino.pdf
[diakses pada 25 Desember 2013]
Winarno FG. 2001. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
LAMPIRAN
Tabel Hasil Pengamatan
Tabel 5 Berat badan tikus percobaan
Jenis Ransum Kode
Tikus
Hari ke- sebelum
bedah
selisih
BB
awal
dan
akhir
1 3 5 7 9
Kasein J1 76 76.5 83.4 85.6 93.8 95 19
Tepung Ikan Lele M3 67.8 61.8 56.4 64.8 66.9 70.2 2.4
Tepung Ikan gabus K3 35.9 31 27.6 38.5 39.1 39.1 3.2
Non Protein T3 71.6 57.7 50.6 44.9 38.6 38.6 -33
Tabel 6 Data konsumsi ransum
Jenis Ransum Kode
Tikus
Konsumsi Ransum
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Total
Kasein J1 10 7.9 10 7 6.7 9 11.3 10.3 7 79.2
Tepung Ikan Lele M3 5.2 1 1 1 0 8 6.6 3 7 32.8
Tepung Ikan gabus K3 3.1 4 4 2 2.4 7 5.3 2 6 35.8
Non Protein T3 1.5 2 0 0 1 0 0 0 1 5.9
Tabel 7 Data suhu dan kelembaban ruangan tikus percobaan
HARI KE- TANGGAL Suhu (C) Kelembaban (%)
P1 20 Nov 2013 26.1 65
P2 21 Nov 2013 26.9 67
P3 22 Nov 2013 26.3 66
1 23 Nov 2013 27.2 67
2 24 Nov 2013 27.4 78
3 25 Nov 2013 28.1 77
4 26 Nov 2013 27.2 71
5 27 Nov 2013 25.9 75
6 28 Nov 2013 27.5 75
7 29 Nov 2013 27.3 79
8 30 Nov 2013 26.7 75
9 1 Nov 2013 27.7 72
10 2 Nov 2013 27.2 79
MINIMUM 25.9 67
MAKSIMUM 28.1 79
Tabel 8 Rata-rata nitrogen feses, urin, dan ransum
NAMA TIKUS FESES URIN RANSUM
%N Protein %N Protein %N Protein
JACK (Kasein) 0.46 2.84 0.49 3.05 1.33 8.33
MARK (Lele) 2.06 12.87 1.07 6.66 1.53 9.58
KAMAL (Gabus) 2.23 13.96 0.62 3.85 2.47 15.43
TOM (Non protein) 3.43 21.47 0.53 3.32 0.55 3.45
Tabel 9 Nilai NPU, NB, dan DC
NAMA TIKUS % NB % DC Sejati NPU
Kasein 88.83 99.71 88.57
Tepung Ikan Lele 92.38 77.39 71.50
Tepung Ikan Gabus 99.83 102.36 102.19
Non Protein
Tabel 10 Nilai PER
NAMA TIKUS
Kandungan
Protein
Ransum /100g
Asupan
Protein
Tikus (g)
PER PER
Terkoreksi NPR
Kasein 8.33 6.60 2.88 0.87 7.88
Tepung Ikan Lele 9.58 3.14 0.76 0.66 11.27
Tepung Ikan Gabus 15.42 5.52 0.58 0.50 6.56
Non Protein 0.00
Contoh Perhitungan
%Nilai Biologis (N Asupan Hit − (N Feses Hit − N Feses Hit Non prot) − (N Urin Hit − N urin Hit Non Prot))
N Asupan Hit − (N feses Hit − N Feses Hit Non Prot))𝑥100
(0,5 − (0,14 − 0,03) − (0,05 − 0,02))
0,5 − (0,14 − 0,03)𝑥100 = 92,38%
%Daya Cerna Sejati (N Asupan Hitung − (N Feses Hitung − N Feses Hitung Non prot)
N Asupan Hitung𝑥100
0,5 − (0,14 − 0,03)
0,5𝑥100 = 77,39%
PER (Berat tikus sebelum dibedah − Berat tikus sebelum Intervensi)
𝐴𝑠𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑃𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 𝑇𝑖𝑘𝑢𝑠
70,20 − 67,80
3,14= 0,76
Gambar Hasil Pengamatan
Gambar 10 Analisis Proksimat Gambar 11 Hasil analisis proksimat
Gambar 12 Analisis Proksimat Gambar 13 Preparasi sampel sebelum analisis
Pembagian Tugas
Sri Zilla Arsyilah : Tinjauan Pustaka
Rina Apriany Utami : Kesimpulan dan Saran, Editor
Natahsa Fredlina Ginting : Pembahasan tabel 4 dan tabel 5
Regi Meiliani : Prolog pembahasan
Adhe Fadillah Putri : Cover, Pendahuluan, dan Metode