tugas ujian

13
Pendahuluan Kerja volunter dari otot berkaitan dengan serat otot panjang yang berasal dari neuron kortikal dan berjalan ke bawah ke sel kornu anterior medula spinalis. Serat-serat ini membentuk traktus kortikospinal atau piramidalis yang merupakan traktus desenden paling besar dan paling penting pada manusia dengan jumlah serat diperkirakan mencapai 1 juta. 1,2,3 Serabut-serabut motorik ini berasal dari beberapa area motorik cortex serebri, yaitu dua pertiga dari primary motor area (area 4), supplementary motor area (medial area 6), dan premotor area (lateral area 6) 1,2,3,4,5 sisanya berasal dari somatosensory cortex (area 3,2 dan 1) 1,2 dan posterior parietal cortex (area 5 dan 7). 6 Jalur Traktus Piramidalis Serat-serat motorik berupa homunkulus motorik yang meninggalkan korteks motorik akan bergabung melewati korona radiata substansia alba serebrum membentuk traktus piramidalis yang terdiri atas traktus kortikospinal (traktus piramidalis) dan traktus kortikobulbar (traktus kortikonuklear). Serat-serat traktus kortikobulbar terpisah dari traktus kortikospinal pada level midbrain (mesensefalon) dan berjalan ke nukleus saraf kranial. 3 Serat-serat traktus kortikospinal berjalan memasuki pedunkulus mesensefalon terus ke pons. Pada ujung akhir medula oblongata, 80-85% serat dari setiap traktus piramidalis menyeberang pada sisi yang berlawanan di dekusasio piramidalis menjadi traktus kortikospinal lateral, sisanya terus berjalan ke bawah tidak menyilang dalam funikulus anterior menjadi traktus kortikospinal anterior. 2,3,4,5 Aspek Klinik Traktus kortikospinal mengontrol semua gerakan volunter yang terdiri dari Upper Motor Neuron (UMN) dan Lower Motor Neuron (LMN). Kerusakan traktus kortikospinal menghambat semua impuls volunter sepanjang perjalanannya dari korteks serebri turun ke motoneuron masing-masing pada kornu anterior medula spinalis. 3

Upload: pandu-anggoro

Post on 08-Apr-2016

25 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

tugas ujian

TRANSCRIPT

Pendahuluan Kerja volunter dari otot berkaitan dengan serat otot panjang yang berasal dari neuron kortikal dan berjalan ke bawah ke sel kornu anterior medula spinalis. Serat-serat ini membentuk traktus kortikospinal atau piramidalis yang merupakan traktus desenden paling besar dan paling penting pada manusia dengan jumlah serat diperkirakan mencapai 1 juta.1,2,3 Serabut-serabut motorik ini berasal dari beberapa area motorik cortex serebri, yaitu dua pertiga dari primary motor area (area 4), supplementary motor area (medial area 6), dan premotor area (lateral area 6)1,2,3,4,5 sisanya berasal dari somatosensory cortex (area 3,2 dan 1)1,2 dan posterior parietal cortex (area 5 dan 7).6

Jalur Traktus Piramidalis Serat-serat motorik berupa homunkulus motorik yang meninggalkan korteks motorik akan bergabung melewati korona radiata substansia alba serebrum membentuk traktus piramidalis yang terdiri atas traktus kortikospinal (traktus piramidalis) dan traktus kortikobulbar (traktus kortikonuklear). Serat-serat traktus kortikobulbar terpisah dari traktus kortikospinal pada level midbrain (mesensefalon) dan berjalan ke nukleus saraf kranial.3

Serat-serat traktus kortikospinal berjalan memasuki pedunkulus mesensefalon terus ke pons. Pada ujung akhir medula oblongata, 80-85% serat dari setiap traktus piramidalis menyeberang pada sisi yang berlawanan di dekusasio piramidalis menjadi traktus kortikospinal lateral, sisanya terus berjalan ke bawah tidak menyilang dalam funikulus anterior menjadi traktus kortikospinal anterior.2,3,4,5

Aspek Klinik

Traktus kortikospinal mengontrol semua gerakan volunter yang terdiri dari Upper Motor

Neuron (UMN) dan Lower Motor Neuron (LMN). Kerusakan traktus kortikospinal menghambat

semua impuls volunter sepanjang perjalanannya dari korteks serebri turun ke motoneuron

masing-masing pada kornu anterior medula spinalis.3

Pada lesi UMN terjadi paralisis spastik, hipertonia, hiperrefleks, refleks patologis dan klonus positif.2,3,5 Refleks patologis yang sering didapatkan adalah refleks Babinski.3 Sedangkan lesi LMN memberikan gambaran paralisis flaksid, hipotonia, hiporefleks, reflex patologis negatif, atrofi otot-otot bersangkutan yang progresif dan fasikulasi.3,5

http://kedokteranebook.blogspot.com/2010/04/traktus-kortikospinal.html

1. Jelaskan Mengenai Sindrome Horner?

Definisi

Sindrom Horner’s adalah suatu sindrom yang terdiri dari kelainan berupa masuknya bola

mata, ptosis kelopak mata atas, kelopak mata atas sedikit naik, kontraksi dari pupil, penyempitan

dari fissura palpebra, anhidrosis dan warna kemerahan di sisi wajah yang sakit, disebabkan oleh

paralisa saraf-saraf simpatis servikal. Sindroma Horner’s juga disebut dengan Bernard’s

Syndrome, Bernard-Horner’s Syndrome dan Horner’s Ptosis.

Etiologi

Sindroma Horner’s merupakan blefparoptosis akuisita unilateral. Terjadinya akibat

paralisa dari saraf simpatis yang mengurus M. Muller. Biasanya sindroma Horner’s ditemukan

pada proses lues (sifilis)

Patofisiologi dan Gejala Klinis

Seperti yang telah diterangkan di atas, bahwa sindroma Horner’s terdiri dari ptosis,

miosis, enoftalmus dan anhidrosis. Semua gejala klinis ini disebabkan oleh karena adanya proses

di tulang belakang pada servikal VIII sampai dengan torakal I. Di sini ada saraf simpatis yang

berpengaruh pada ptosis. Biasanya kelainan ini ditemui pada proses lues (sifilis).

Lues (raja singa) atau dalam dunia kedokteran lebih dikenal dengan sifilis, merupakan

penyakit infeksi yang disebabkan oleh “Treponema pallidum” sangat kronis dan bersifat

sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai

banyak penyakit, mempunyai masa laten dan dapat ditularkan dari ibu ke janin.

Trepanoma pallidum mencapai sistem kardiovaskuler dan sisitem saraf pada waktu dini,

tetapi kerusakan secara perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk

menimbulkan gejala klinis. Pemeriksaan tulang belakang servikal tidak boleh dilupakan pada

setiap penderita yang mengemukakan keluhan bahwa kuduk, bahu dan lengan sakit. Adanya

Sindroma Horner harus dihubungkan dengan proses patologik di leher dan fosa

supraklavikularis. Penelitian terhadap gerakan leher, kepala, lengan dan tangan adalah penting

untuk menentukan adanya nyeri pada persendian atau selaputnya.

Nyeri yang disebabkan oleh proses patologik setempat dapat ditunjuk oleh penderita

dengan tepat sebagai “pegal atau linu”, sering kali tidak dapat dilokalisasikan oleh penderita

dengan tepat. Dalam hal ini sindroma Horner melengkapi gambaran penyakit tersebut bersamaan

dengan parastesia, paresis serta anhidrosis pada lengan.

Sindroma Horner berkolerasi dengan lesi pleksus brakhialis, mengingat sindroma Horner

itu dihasilkan oleh terputusnya hubungan ortosimpatetik dari ganglion servikal superior yang

terletak di daerah pleksus brakhialis. Jenis Dejerine-Klumpke, menyatakan bahwa hal yang

dikemukakan seorang ibu yang membawa bayinya dengan lesi pleksus brakhialis ialah terjadi

kelumpuhan dari tangan dan jari-jari bayinya.

Gerakan lengan pada sendi bahu dan siku masih utuh tetapi tangan dan jari-jari sisi ulnar

tidak tampak bergerak. Tangan yang terkena menunjukan ciri-ciri “claw hand” yang ringan, yaitu

jari kelingking dan jari manis menekuk tidak dapat diluruskan secara volunter. Jika bayi sudah

sering membuka matanya maka akan terlihat adanya ptosis ringan sisi tangan yang abnormal,

itulah sebagai sindroma Horner.

Orang dewasa menunjukan syndroma lesi pleksus brakhialis bahwa (Jenis Dejerine-

Klumpke) jelas mirip syndoma Horner’s pada sisi tangan yang lumpuh. Kelumpuhan tersebut

menimbulkan claw hend yang disertai hipestesia atau parestesia pada kulit yang menutupi ulnar

tangan dan pergelangan tangan.

Pada blokade ganglion stelatum secara tepat akan didapat sindroma Horner langsuntg setelah

xylocain disuntikan. Pada saat itu juga wajah dan leher sisi ipsilateral menjadi merah, serta

mukosa hidung menjadi bengkak sehingga hidung tersumbat. Dengan blokade ganglion stelatum

3 – 5 kali dengan interval 3 – 5 hari perbaikan yang sempurna dapat diperoleh.

Paralisis lower motor neuron akibat lesi di pleksus dan fasikulus tidak berbahaya,

berbeda dengan kelumpuhan yang terjadi akibat lesi di nervus radialis dan nervus medianus.

Selain data anamnestik dan pemeriksaan sensoris, masih ada satu gejala penting yang dapat

mengungkapkan lokalisasi lesi di pleksus atau fasikulus yaitu sindroma Horner’s. Sindrom ini

terdapat miosis, enoftalmus, ptosis dan anhidrosis hemifasialis. Yang hampir selamanya

dijumpai ialah ptosis, miosis, dan anhidrosis hemifasialis. Proses neoplastik yang berada di kutub

paru-paru dapat menimbulkan kelumpuhan-kelumpuhan pada otot-otot bahu dan lengan yang

disertai sindroma Horner’s pada sisi ipsilateral.

Ptosis atau blefaroptosis adalah menurunnya palpebra superior, akibat pertumbuhan yang

tidak baik atau paralisa dari muskulus levator palpebra. Ada bermacam-macam derajat ptosis.

Bila hebat dan mengganggu penglihatan oleh karena palpebra superior menutupi pupil, maka ia

mencoba menaikkan palpebra tersebut dengan memaksa muskulus occipitofrontalis berkontraksi,

sehingga di dahi timbul berkerut-kerut dan alisnya terangkat. Kalau lebih hebat lagi, untuk dapat

mengatasinya, supaya penglihatan tercapai sebaik-baiknya maka penderita akan menjatuhkan

kepalanya ke belakang. Tanda-tanda ini adalah karakteristik untuk ptosis. Pada ptosis didapat

pula garis lipatan kulit yang berbentuk seperti huruf S, pada palpebranya.

Penyebab dari ptosis, ada yang kongenital dan akwisita.

a. Yang kongenital biasanya bilateral, disebabkan oleh gangguan bentuk muskulus levator

palpebra. Kadang-kadang dengan kelainan kongenital yang lainnya. Bisa herediter, yang

herediter bersifat dominan autosom.

b. Sedang yang akuisita biasanya unilateral, akibat:

(1) Paralisis N.III, yang mengurus muskulus levator palpebra. Seringkali bersamaan

dengan paralisa muskulus rectus superior. Hal ini dapat ditemukan pada Myastenia

gravis (melumpuhnya otot secara progresif). Terjadinya perlaha-lahan, mulai timbul

pada malam hari karena capai, sembuh keesokan harinya, kemudian menetap;

(2) Syndrome Hoerner’s

Miosis adalah suatu keadaan dimana garis tengah pupil kurang dari 2 mm. Dimana

ukuran normal garis tengah pupil tersebut adalah antara 4 – 5 mm pada penerangan sedang. Pupil

sangat peka terhadap rangsangan cahaya dengan persarafan afferent nervus kranialis II

sedangkan efferentnya nervus kranialis III. Sehingga mengecil bila cahaya datang (miosis) dam

membesar bila tidak ada atau sangat sedikit sekali cahaya (remang-remang), keadaan ini disebut

dengan midriasis yaitu diameter pupil lebih dari 5 mm.

Enoftalmus, merupakan dimana bola mata letaknya lebih ke dalam, di dalam ruang

orbita. Penyebabanya antara lain:

(1) kelainan kongenital,

(2) lanjut umur, karena berkurangnya jaringan lemak di orbita,

(3) fraktur dari salah satu dinding orbita terutam dasar orbita, dimana bola mata dapat

masuk ke dalam sinus maksilaris,

(4) enoftalmus pada orang berumur dibawah 25 tahun, merupakan bagian dari sindroma

Horner’s yang terdiri dari ptosis, miosis, enoftalmus dan anhidrosis.

Anhidrosis merupakan suatu gejala karena kuman lues menyerang sistem persarafan,

sehingga produksi minyak terhambat atau kurangnya produksi minyak disebabkan oleh proses

yang abnormal dikarenakan oleh kuman lues tersebut.

Gejala-gejala miosis, ptosis dan anhidrosis yang merupakan manifestasi blokade aktivitas

simpatik dikenal sebagai sidroma Horner’s. Pada penyakit-penyakit darah dan hipertensi juga

terdapat sindroma Horner’s yang mencerminkan terputusnya serabut-serabut simpatetik servikal.

Pada lesi vaskuler parsial dapat terjadi bahwa kombinasi hemiparastesia parsilaris dan

hemiataksia ipsilateral saja yang ditemukan. Bila juga terjadi bahwa sindroma tersebut timbul

bersama dengan sindroma Hoerner’s.

2. Bagaimana patoisiologi rokok mengakibakan stroke ?

Kebiasaan merokok meningkatkan risiko terjadinya stroke 2-3 kali dibandingkan yang

bukan perokok dan baru hilang setelah berhenti merokok 5-10 tahun. Nikotin, CO dan bahan

lainnya dalam asap rokok terbukti merusak dinding pembuluh endotel (dinding dalam pembuluh

darah), mempermudah penggumpalan darah sehingga dapat merusak pembuluh darah perifer,

dengan dihisap secara dalam maka zat-zat beracun tersebut volumenya akan lebih banyak masuk

ke dalam tubuh sehingga dampaknya akan lebih mudah nampak dibandingkan yang menghisap

secara dangkal. (Sianturi, 2003).

Asap rokok mengandung zat-zat yang berbahaya yang sering disebut zat oksidator. Zat

oksidator ini menimbulkan kerusakan dinding arteri. Dinding arteri yang rusak akibat asap rokok

akan menjadi lokasi penimbunan lemak, sel trombosit, kolesterol, dan terjadi penebalan lapisan

otot polos dinding arteri. Kondisi ini disebut aterotrombotik. Aterotrombotik menyebabkan

diameter rongga arteri menyempit dan biasanya juga menyebabkan aliran darah ke beberapa

organ termasuk otak menjadi tersumbat dan berisiko menimbulkan stroke iskemia.(Wahyu,

2008).

Merokok juga merupakan salah satu faktor eksternal yang menyumbang 80 % untuk terjadinya

suatu proses aterosklerotik. Peranan rokok pada proses aterosklerosis adalah dengan

meningkatkan kecenderungan sel-sel darah untuk menggumpal, menurunkan jumlah atau

kemampuan HDL kolesterol baik dalam menyingkirkan kolesterol LDL dan meningkatkan

oksidasi lemak. Sehingga aterosklerosis dan pembentukan plak yang terjadi selanjutnya

menghasilkan penyempitan atau oklusi arteri dan merupakan penyebab stenosis arteri yang

paling sering. Pembentukan trombus paling mungkin terjadi pada area dimana aterosklerosis dan

penumpukan plak menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang paling berat

3. Mekanisme hemiparese pada meningitis TB grade II ?

Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)

Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen.

Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas

lengkung serebri. Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+)

kecuali pada bayi. Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly

berwarna abu) di dasar otak menyebabkan gangguan otak / batang otak.

Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan

kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan

serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf

kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan karena

infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak

yang berat.

Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya,

sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar,

sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.

4. Pembagian stroke berdasarkan waktu terjadinya ?

TIA (Transient Ischemic Attack)

Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat dapat

dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara klinis, gejala

yang timbul adalah Transient Ischemic Attack (TIA) yang timbul dapat berupa

hemiparesis sepintas atau amnesia umum sepintas, yaitu selama < 24 jam.

RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)

Sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas sehingga penurunan CBF regional lebih

besar. Pada keadaan ini, mekanisme kompensasi masih mampu memulihkan fungsi

neurologik dalam waktu beberapa hari sampai 2 minggu. Keadaan ini secara klinis

disebut Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND).

Progressing stroke atau Stroke in evolution

Sumbatan cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas, sehingga mekanisme

kolateral dan kompensasi tidak dapat mengatasinya. Dalam keadaan ini timbul defisit

neurologis yang berlanjut.

Pada bentuk ini kelainan yang ada masih terus berkembang ke arah yang lebih berat.

Completed stroke

Completed stroke diartikan bahwa kelainan neurologis yang ada sifatnya sudah menetap,

tidak berkembang lagi.

4. Cara Kerja dan nama generik dari acetazolamide ?

Farmakologis: Acetazolamide (ACZ) adalah diuretik untuk mengurangi sekresi dari CSF

pada tingkat koroid pleksus. ACZ dapat digunakan sendiri atau bersama dengan FUR. Kombinasi ini meningkatkan efektivitas ACZ dalam menurunkan sekresi CSF oleh koroid pleksus.

Karbonat anhidrase inhibitorObat ini untuk menghambat enzim yang ditemukan dalam banyak

jaringan tubuh yang mengkatalisis reaksi reversibel di mana karbon dioksida menjadi terhidrasi dan asam karbonat dehidrasi. Perubahan ini dapat mengakibatkan penurunan produksi CSF oleh koroid pleksus.

Acetazolamide (Diamox)  Kompetitif reversibel penghambat karbonat anhidrase enzim, yang mengkatalisis reaksi antara air dan karbon dioksida. Hal ini memberikan kontribusi untuk penurunan sekresi CSF oleh koroid pleksus. Mengurangi volume cairan serebrospinalis: Acetazolamide 25 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 3 dosis. Dosis dapat dinaikkan 25 mg/KgBB/hari (Maksimal 100 mg/KgBB/hari)

5. Tingkatan Penurunan CBF?Tingkat Kritikal Pertama

Terjadi bila aliran darah otak menurun hingga 70-80%(kurang dari 50-55ml/100gr

otak/menit).Menurut Hossmann pada keadaan ini respon pertama otak adalah

terhambatnya sintesa protein karena adanya disagregasi ribosom.

Tingkat Kritikal Kedua

Terjadi bila aliran darah otak menurun hingga 50% (kurang dari 35 ml/100gr

otak/menit).Akan terjadi aktivasi glikolisis anaerob dan peningkatan konsentrasi laktat

yang selanjutnya berkembang menjadi asidosis laktat dan edema sitotoksik.

Tingkat Kritikal Ketiga

Terjadi bila aliran darah otak menurun hingga 30 % (kurang dari 20 ml/100gr

otak/menit). Pada keadaan ini akan terjadi berkurangnya produksi adenosine triphospat

(ATP),deficit energy serta adanya gangguan transport aktif ion , instabilitas membrane

sel serta dilepaskannya neurotransmitter eksitatorik yang berlebihan.

Pada saat aliran darah otak mencapai hanya 20% dari nilai normal (10-15

ml/100gr/menit),maka neuron-neuron otak mengalami hilangnya gradient ion dan

selanjutnya terjadi depolarisasi anoksik dari membrane.

Jika jaringan otak menerima aliran darah kurang dari 10 ml/100gr/menit akan terjadi

kerusakan neuron yang irreversible sevara cepat dalam waktu 6-8 menit.Daerah ini

disebut “ischemic core”

http://eprints.undip.ac.id/29352/3/Bab_2.pdf

cbf

http://childrengrowup.wordpress.com/2012/08/10/penanganan-terkini-hidrosefalus-pada-anak/