tugas pajak
TRANSCRIPT
1. PENDAHULUAN.
A. Pengertian pajak
Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan)yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
Sedangkan menurut Rochmat Soemitro, menyatakan bahwa : “Pajak adalah
iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undangundang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapat jasa timbale (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919) : “Pajak adalah
bantuan uang secara insidental atau secara periodic (dengan tidak ada
kontraprestasinya), yang dipungut oleh Badan yang bersifat Umum (Negara), untuk
mempeloreh pendapatan, dimana terjadi suatu Tatbestand (sasaran pemajakan), yang
karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak”.
Definisi Prof Edwin R.A. Seligman. “Tax is a compulsory contribution from
the person, to the government to defray the expenses incurred in the common interest
of all, without reference to special benefit conferred”. Banyak terdengar keberatan
atas kalimat “without reference” karena bagaimana juga uang pajak tersebut
digunakan untuk produksi barang dan jasa benefit diberikan kepada masyarakat,
hanya tidak mudah ditunjukkannya, apabila secara perorangan.
Definisi di atas menyimpulkan bahwa iuran yang wajib di bayar oleh Wajib
Pajak kepada kas negara berdasarkan undang-undang untuk membayar pengeluaran
umum dengan tidak mendapat jasa timbal balik.
1
B. Retribusi.
Retribusi ialah pembayaran-pembayaran kepada Negara yang dilakukan oleh
mereka yang menggunakan jasa-jasa Negara. Dalam retribusi nyata-nyata bahwa atas
pembayaran-pembayaran itu si pembayar mendapat prestasi kembali yang langsung.
Misalnya : pembayaran uang sekolah, uang kuliah, langganan PAM, retribusi pasar
dan lain-lain.
C. Sumbangan.
Menurut Santoso Brotodihadjo, S.H, sumbangan mengandung pikiran, bahwa
biaya biaya yang dikeluarkan untuk prestasi Pemerintah tertentu, tidak boleh
dikeluarkan dari kas umum. Karena prestasi itu tidak ditunjukan kepada penduduk
seluruhnya, melainkan hanya untuk sebagian tertentu saja. Oleh karena itu maka
hanya golongan tertentu dari penduduk yang diwajibkan membayar sumbangan ini.
Misalnya Sumbangan Wajib Pemeliharaan Prasarana Jalan, Pening Speda.
2. ASAS-ASAS PEMUNGUTAN PAJAK.
A. Asas menurut falsafah hukum
Asas pemungutan menurut falsafah hukum termasuk dalam maxim pertama
“The Four Maxim”. Berikut ini akan dikemukakan teori-teori pajak yang menyatakan
dasar keadilannya.
(1). Teori Asuransi.
Menurut teori ini Negara memungut pajak karena Negara bertugas untuk
melindungi orang dan segala kepentingannya, keselamatan dan keamanan jiwa juga
harta bendanya. Pembayaran pajak disamakan dengan pembayaran dengan
pembayaran premi, seperti halnya perjanjian asuransi (pertanggungan), maka untuk
2
perlindungan diperlukan pembayaran berupa premi. Walaupun perbandingan dengan
perusahaan asuransi tidak tepat karena ;
a. Dalam hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian dari Negara.
b. Antara pembayaran jumlah-jumlah pajak dengan jasa-jasa yang diberikan
oleh Negara, tidaklah terdapat hubungan yang langsung, namun teori ini
tetap dipertahankan, sekadar untk memberi dasar hukum kepada
pemungutan pajak saja. Karena pincangnya persamaan tadi, menimbulkan
ketidak puasan, pula karena ajaran bahwa pajak bukan restibusi, maka
makin lama makin berkuranglah penganut teori ini.
(2). Teori kepentingan.
Menurut teori ini Negara memungut pajak karena Negara melindungi
kepentingan jiwa dan harta benda warganya, teori ini memperhatikan pembagian
beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduk. Pembagian beban ini harus
didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah
(yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa beserta harta
bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Negara
untuk menunaikan kewajibannya, di bebankan kepada mereka. Terhadap teori ini
banyak yang menyanggah. Karena dalam ajarannya pajak dikacaukan dengan
restibusi. Untuk kepentingan yang lebih besar terhadap harta benda yang lebih
banyak harganya daripada harta si miskin harus membayar pajak lebih besar dalam
hal tertentu, misalnya dalam perlindungan yang termasuk jaminan sosial, sehingga
sebagai konsekwensinya harus membayar pajak lebih banyak, dan inilah suatu hal
yang bertentangan dengan kenyataan. Untuk mengambil kepentingan seseorang
dalam usaha pemerintah sebagai ukuran, sejak dahulu belum ada alat pengukurnya,
sehingga sulit sekali dapat ditentukan dengan tegas. Makin lama teori ini pun
ditinggalkan.
3
(3). Teori kewajiban pajak mutlak atau Teori Bakti.
Teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, diajarkan bahwa
justru karena sifat Negara inilah maka timbulah hak mutlak untuk memungut pajak.
Orang-orang tidaklah berdiri sendiri, dengan tidak adanya persekutuan , tidaklah akan
ada individu. Oleh karena persekutuan itu (yang menjelma jadi Negara) berhak atas
satu dan lain. Sejak berabad-abad hak ini telah diakui, dan orangorang selalu
menginsafinya sebagai kewajiban asli untuk membuktikan tanda baktinya terhadap
Negara dalam bentuk pembayaran pajak.
(4). Teori asas Gaya Beli.
Teori ini tidak mempersoalkan asal mula Negara memungut pajak, hanya
melihat kepada efeknya, dan dapat memandang efek yang baik itu sebagai dasar
keadilannya. Menurut teori ini fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai
gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli
dari rumah-tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga Negara, dan kemudian
menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup
masyarakat dan untuk membawanya kearah tertentu. Teori ini mengajarkan, bahwa
penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar
keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu, juga bukan kepentingan
Negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya. Teori ini
menitikberatkan ajarannya kepada fungsi kedua dari pemungutan pajak yaitu fungsi
mengatur.
(5). Teori Gaya Pikul.
Teori ini menganut bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada
jasa-jasa yang diberikan oleh Negara pada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa
dan harta bendanya. Untuk keperluan ini diperlukan biaya-biaya, biaya ini dipikul
oleh orang yang menikmati perlindungan itu, berupa pajak. Pokok pangkal teori ini
4
adalah asas keadilan, yaitu tekanan pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang.
Pajak harus dipikul menurut gaya pikulnya dan sebagai ukurannya, dapat
dipergunakan selain besarnya penghasilan dan kekayaan juga pengeluaran atau
pembelanjaan seseorang. Teori ini sampai kini masih dipertahankan. Asas ini sangat
terkenal, tetapi seluk beluknya sering kali timbul salah paham, bahkan diantara para
sarjana hukum dan cerdik pandai lainnya.
3. PEMBEDAAN DAN PEMBAGIAN PAJAK
Dalam hukum pajak terdapat berbagai pembedaan jenis-jenis pajak, yang
dibagi kedalam beberapa golongan besar. Cara membedakannya dapat didasarkan
atas ditemukan sifat-sifat tertentu yang terdapat dalam masingmasing pajak, seperti :
1. Pajak atas kekayaan dan pendapatan;
2. Pajak atas lalu lintas, yaitu lalu lintas hukum, lalu lintas kekayaan, dan lalu
lintas barang;
3. Pajak yang bersifat kebendaan;
4. Pajak atas pemakaian
Pembagian lain didasarkan atas ditemukannya ciri-ciri tertentu pada setiap
pajak, dan jenis pajak yang ciri tertentunya bersamaan dimasukkan dalam satu
golongan, sehingga terjadilah pembagian pajak dalam :
1. Pajak subyektif dan pajak obyektif (berdasarkan sifat)
2. Pajak langsung dan pajak tidak langsung (berdasarkan golongan)
3. Pajak umum dan pajak daerah (wewenang pemungutan)
Modul ini akan menguraikan tentang pembagian pajak dalam beberapa golongan.
5
A. PAJAK SUBYEKTIF DAN PAJAK OBYEKTIF
Pajak Subyektif
Pajak subyektif ialah pajak yang memperhatikan pertamatama keadaan
pribadi wajib pajak; untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang
obyektif yang berhubungan dengan keadaan materialnya, yaitu yang disebut gaya
pikulnya. Contoh : Pajak Penghasilan, (Orang Pribadi). Hubungan antara pajak dan
wajib pajak (subyek pajak) adalah langsung oleh karena besarnya Pajak Penghasilan
yang harus dibayar tergantung kepada gaya pikulnya, pada pajak-pajak subyektif ini
keadaan pribadi wajib pajak sangat mempengaruhi besar kecilnya jumlah pajak yang
terhutang.
Pajak Obyektif
Pajak obyektif ialah pajak yang pertama-tama melihat obyeknya yang selain
dari pada benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa yang
menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian dicari subyeknya (orang
atau badan hukum) yang bersangkutan langsung, dengan tidak mempersoalkan
apakah subyek ini berkediaman di Indonesia atau tidak. Subyek yang mempunyai
hubungan hukum tertentu dengan obyek itulah yang ditunjuk sebagai subyek yang
harus membayar pajak. Contoh : Pajak Penghasilan Wajib Pajak luar negeri.
B. PAJAK LANGSUNG DAN PAJAK TIDAK LANGSUNG
Pembagian golongan pajak ini terjadi karena ditinjau dari sudut beban pajak
dan administrasi pemungutan pajak.
Pajak Langsung
Pajak langsung ialah pajak yang ditinjau dari :
6
a. Segi Administratip, berkohir dan dikenakan secara berulang-ulang pada
waktu tertentu (periodik) misalnya setiap tahun.
b. Segi ekonomis, pajak harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan.
Pajak Tidak Langsung
Pajak Tidak Langsung, ialah pajak yang ditinjau dari segi :
a. Administratip, tidak berkohir dan tidak dikenakan secara periodic
(berulang-ulang), tetapi dikenakan hanya bila terjadi hal-hal, atau peristiwa-
peristiwa yang dikenakan pajak.
b. Ekonomis pajak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : PPN dan
PPn BM.
C. PAJAK PUSAT DAN PAJAK NEGARA DAN PAJAK DAERAH
Pajak Negara / Pajak Pusat
ialah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat Yang termasuk Pajak Pusat
adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Meterai, BPHTB.
Pajak Daerah / Pajak Lokal,
ialah pajak yang dipungut oleh daerah Tingkat I, daerah Tingkat II (Kodya,
Kabupaten) Yang termasuk Pajak Daerah seperti, PKB, PRO, PBA, Pajak Tontonan,
Pajak Reklame dan lain-lain.
4. UTANG PAJAK
7
A. Dalam Hukum Pajak dikenal ada dua ajaran tentang timbulnya utang
pajak, yaitu :
Ajaran Material
Ajaran Material adalah suatu ajaran timbulnya utang pajak yang menyatakan
bahwa utang pajak timbul karena undang-undang, tanpa diperlukan suatu perbuatan
manusia, asal dipenuhi syarat adanya suatu Tatbestand. Tatbestand ditentukan sendiri
di dalam Undang-undang Pajak yang bersangkutan, terdiri dari keadaan, perbuatan
atau peristiwa tertentu yang harus dikenakan pajak. Surat ketetapan pajak dalam
ajaran ini tidak menimbulkan utang pajak, hanya diperlukan untuk menetapkan
besarnya utang
pajak dan untuk memberitahukan besarnya utang pajak. Berdasarkan ajaran
ini maka meskipun surat ketetapan pajak belum memenuhi adanya Tatbestand, sudah
memenuhi syarat kewajiban pajak subyektif dan obyektif, serta sudah mempunyai
utang pajak dan kewajiban membayarnya.
Ajaran Formal
Ajaran Formal adalah suau ajaran timbulnya utang pajak, yang menyatakan
bahwa utang pajak timbul tanpa melihat adanya. Tatbestand, tetapi menggantungkan
adanya pada adanya surat ketetapan pajak. Jadi menurut ajaran ini utang pajak timbul
pada saat dikeluarkannya surat ketetapan pajak. Walaupun Tatbestand telah dipenuhi,
tetapi jika belum dikeluarkan surat ketetapan pajak, maka belum ada suatu utang
pajak. Surat ketetapan pajak menurut ajaran formal berfungsi :
a. Menimbulkan utang pajak
b. Menentukan besarnya utang pajak
c. Memberitahukan besarnya pajak kepada Wajib Pajak.
B. HAPUSNYA UTANG PAJAK
Setiap perikatan, termasuk pula utang pajak, pada suatu waktu akan hapus.
Hapusnya utang pajak dapat terjadi karena :
8
1. Pembayaran
Utang pajak hapus setelah dibayar oleh Penanggung Pajak / Wajib Pajak ke
Kas Negara, atau tempat-tempat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Pembayaran dilakukan dengan penyetoran uang, bukan dalam bentuk natura.
2. Kompensasi
Utang pajak yang masih belum dibayar dapat hapus dengan dilakukannya
kompensasi pembayaran antara kelebihan pembayaran pajak dengan utang
pajak yang belum dibayar. Kompensasi pembayaran harus dimintakan kepada
Kepala KPP, agar tidak timbul kesulitan di kemudian hari, dan secara
administrasi telah diselesaikan di Kantor Pelayanan Pajak.
3. Daluwarsa
Daluwarsa yang dimaksud disini adalah daluwarsa penagih, seperti yang
tercantum dalam Pasal 22 Undang-undang KUP. Pajak yang penagihannya
telah kedaluwarsa tidak dapat dilakukan tindakan penagihan, maka setelah
dilakukan penelitian administrasi dapat diusulkan untuk dihapuskan.
4. Penghapusan
Wajib Pajak yang menunggak pajak, dan setelah diadakan penelitian setempat
dan diketahui Wajib Pajak telah meninggal dunia tidak meninggalkan ahli
waris dan tanpa warisan, atau wajib pajak pailit, atau alamat wajib pajak tidak
diketemukan lagi, tunggakan pajak dapat diusulkan untuk dihapuskan.
C. SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
SELF ASSESSMENT.
Self Assessment adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak
menetapkan sendiri jumlah pajak yang terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan perpajakan. Dalam sistem pemungutan ini, kegiatan
9
pemungutan pajak diletakkan kepada aktivitas dari masyarakat wajib pajak sendiri,
dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk :
1. Menghitung sendiri pajak yang terhutang
2. Memperhitungkan sendiri pajak yang terhutang
3. Membayar sendiri jumlah pajak yang terhutang
4. Melaporkan sendiri pajak yang terhutang Sistem ini antara lain
dianut Undang-undang PPh.
OFFICIAL ASSESSMENT
Official assessment adalah suatu sistem pemungutan pajak, diaman aparatur
pajak menetapkan jumlah pajak yang terhutang dan wajib pajak. Dalam sistem ini
inisiatif dan kegiatan dalam menghitung dan menetapkan pajak sepenuhnya berada
pada aparatur pajak. Undang-undang yang menganut sistem ini adalah Undang-
undang perpajakan lama seperti PPd 1944, PPs 1925, PKK 1932.
WITHOLDING SYSTEM.
Witholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana
perhitungan pemotongan dan pembayaran pajak serta pelaporan pajak dipercayakan
kepada pihak ketiga oleh Negara. Pihak ketiga yang diberi kepercayaan pemerintah
untuk memotong atau memungut pajak misalnya Badan-badan tertentu, Direktorat
Jenderal Bea Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan dan lain-lain.
Contoh pajak yang menganut sistem ini misalnya PPh Pasal-pasal 21, 22,23, 26.
D. CARA PENGENAAN/PEMUNGUTAN PAJAK ;
STELSEL RIIL
Stelsel Riil / stelsel nyata (Rieele stelsel) ialah suatu system pengenaan pajak,
yang didasarkan pada penghasilan yang sesungguhnya diperoleh dalam suatu tahun
10
pajak. Karena penghasilan yang sesungguhnya diperoleh dalam suatu tahun pajak
baru diketahui pada akhir tahun, maka pajak baru dikenakan sesudah akhir tahun
pajak berakhir. Dan biasanya pajak ini dikenakan di belakang (naheffing). Contoh :
Pajak Penghasilan.
STELSEL FIKTIF
Stelsel Fiktif (Fictieve Stelsel) ialah suatu sistem pengenaan pajak yang
didasarkan pada suatu fiktif / anggapan. Bunyi suatu fiksi tergantung dari ketentuan
undang-undang perpajakan yang bersangkutan. Contoh : Dalam PPh Pasal 25,
besarnya PPh Pasal 25 dengan rumus secara umum ialah 1/12 x PPh tahun yang lalu
– PPh Pasal – Pasal 21, 22, 23, 24.
STELSEL CAMPURAN
Stelsel campuran ialah suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan baik
pada stelsel riil maupun stelsel fiktif. Pada awal tahun pajak menganut stelsel fiktif
dan setelah akhir tahun pajak menganut stetsel riil. Contoh : Pajak Penghasilan.
5. TARIF PAJAK
Seseorang yang menjadi subyek pajak dan mempunyai obyek pajak, untuk
dapat menghitung besarnya jumlah pajak yang terhutang harus mengetahui tarif pajak
yang bersangkutan.Tarif yang dianut dalam suatu Undang-undang pajak, tergantung
dari ketentuan Undang-undang Pajak yang bersangkutan. Modul ini akan
menguraikan tentang bermacam macam tarif yang dikenal dalam Hukum Pajak,
yaitu :
1. Tarif yang sepadan
2. Tarif yang meningkat
3. Tarif yang menurun
11
4. Tarif tetap
A. Tarif yang sepadan (Proporsionil)
Tarif yang sepadan ialah tarif pajak dengan persentase pengenaan yang tidak
berubah. Jumlah pajak yang harus dibayar berubah menurut jumlah yang dipakai
sebagai dasar pengenaan pajak. Misalnya : Tarif pajak Hotel dan Restoran sebesar
10% Tarif PPN sebesar 10%.
B. Tarif Pajak yang Meningkat (Progresif)
Tarif pajak yang progresif ialah tarif pajak yang persentase pengenaannya
menaik semakin besar manakala jumlah yang harus dikenakan pajak meningkat.
Misalnya : Tarif PPh
C. Tarif yang Menurun (Degresif)
Tarif pajak yang menurun ialah tarif pajak yang besar persentasenya menurun
semakin besar manakala jumlah yang harus dikenakan pajak meningkat.
D. Tarif yang Tetap
Tarif yang tetap ialah tarif pajak yang besarnya tetap dan tidak tergantung
kepada nilai objek yang dikenakan pajak. Misalnya : Bea Meterai Rp. 3.000,- / Rp.
6.000,-
6. PENAGIHAN PAJAK
A. Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan oleh Pejabat apabila:
Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk
selamalamanya atau berniat untuk itu.
12
Penangguhan Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan
kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia,
ataupun memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasainya.
Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan
badan usahanya dan berniat untuk itu.
Badan usaha akan dibubarkan oleh negara atau
Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga
atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
B. Pemberitahuan Surat Paksa kepada orang pribadi.
Surat paksa diberiahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain
yang memungkinkan.
Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja
di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang
bersangkutan tidak dapat dijumpai.
Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus
harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan
harta warisan belum dibagi, atau
Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta
warisan telah dibagi.
C Pemberitahuan Surat Paksa kepada badan
Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab,
pemilik modal baik di tempat keduduka badan yang bersangkutan, di
tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan
atau,
13
Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan usaha
yang bersangkutan apabila-jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah
seorang sebagaimana dimaksud diatas.
7. FUNGSI PAJAK YANG BERSIFAT MENGATUR./FUNGSI PAJAK.
Fungsi pajak.
Fungsi pajak ada dua :
Fungsi Anggaran (Fungsi Budgetair) ialah fungsi pajak disektor publik,
merupakan suatu alat atau sumber untuk memasukkan uang dari masyarakat
berasarkan undang-undang ke Kas Negara, hasilnya untuk membiayai
pengeluaran umum Negara.
Fungsi mengatur (Regulerend) ialah fungsi pajak yang dipergunakan untuk
mengatur atau untuk mencapai tujuan tertentu dibidang ekonomi, politik,
sosial, budaya, pertahanan keamanan misalnya dengan mengadakan
perubahan-perubahan tarif, memberikan pengecualian atau keringanan-
keringanan.
Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat
dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang
efektif dan efisien.
Fungsi redistribusi pendapatan
14
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai
semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan
sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat.
8. PERADILAN DALAM HUKUM PAJAK.
Dalam hukum pajak dikenal dua macam hukuman. Yaitu ;
a) Hukum administrasi (tata usaha)
b) Hukuman pidana atau strafrechtelijk.
9. PENAFSIRAN DALAM HUKUM PAJAK.
Di dalam memahami suatu ketentuan Undang-undang agar jelas diperlukan
suatu penafsiran. Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya
menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas ataupun
membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada dalam rangka
penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.
Cara-cara penafsiran hanya merupakan alat untuk mencoba mengetahui dan
memahami arti kadah-kaedah hukum. Macam-macam penafsiran yang dikenal dalam
ilmu hukum:
a. Penafsiran tata bahasa (gramatika). Penafsiran tata bahasa, ialah cara
penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedomen
pada arti perkataanperkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-
kalimat yang dipakai oleh undang-undang, yang dianut ialah semat-mata arti
perkataan menurut tata bahasa atau kebiasaan, yakni arti dalam pemakaiansehari-hari.
b. Penafsiran sahih (resmi, autentik) ialah
15
penafsiran yang pasti terhadap kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh
pembentuk Undangundang. Misalnya arti “malam” dalam Pasal 98 KUHP yang
berarti waktu antara matahari terbenam dari matahari terbit.
c. Penafsiran histories :
1). Sejarah hukumannya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya
hukum tersebut.
2). Sejarah Undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk
undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu,
misalnya didenda f 10, sekarang ditafsirkan dengan uang R.I.,
sebesar Rp.10,-
d. Penafsiran sistematis (dogmatis).
Penafsiran sistematis ialah penafsiran memiliki susunan yang berhubungan
dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undangundang itu maupun dengan
undang-undang yang lain.
e. Penafsiran sosiologi.
Penafsiran sosiologi yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan
undang-undang. Hal ini penting karena kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa,
sedangkan undang-undang tetap saja.
f. Penafsiran ekstensip.
Penafsiran ekstensip ialah penafsiran dengan memperluas arti, katakata dalam
peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimaksudkan dalam ketentuan itu.
Misalnya “aliran listrik termasuk benda”.
g. Penafsiran restriktif.
Penafsiran restriktif ialah penafsiran dengan mempersempit arti katakata
dalam suatu undang-undang, misalnya “kerugian” tidak termasuk kerugian yang “tak
berwujud” seperti sakit, cacat dan lain-lain.
h. Penafsiran analogis.
16
Penafsiran analogis ialah penafsiran pada suatu hukum dengan memberi ibarat
(kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu
peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai
dengan bunyi peraturan tersebut.
i. Penafsiran a contrario.
Penafsiran a contrario ialah suatu cara penafsiran undang-undang yang
didasarkan pada lawan dari ketentuan tersebut. Contoh Pasal 34 BW yang
menyatakan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum
lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Bagaimana hanya
dengan laki-laki ? Tidak berlaku karena kata lakilaki tidak disebutkan.
Cara-cara penafsiran sebagaimana telah diuraikan terdahulu pada umumnya
berlaku dalam Hukum Pajak, namun penafsiran Undang-undang pajak sering dilihat
dengan kaca mata yang istimewa, sehingga sering para sarjana mengatakan sebagai
masalah yang luar biasa. Alasannya banyak orang yang berbuat demikian, karena
berdasarkan kenyataan, bahwa corak pemungutan pajak berpengaruh
besar atas cara-cara penafsiran itu.
Mr. Santoso Brotodihardjo, S.H. (1982 : 147), menyatakan bahwa hingga kini
yang merupakan titik persengketaan di antara para sarjana adalah penafsiran analogi
dalam Hukum Pajak, sekali pun pada gelagatnya pada akhir-akhir ini mereka
cenderung kepada pendapat bawa penafsiran semacam ini harus tidak dipergunakan
dalam penafsiran perundang-undangan pajak.
10. HUKUM PAJAK INTERNASIONAL.
Prof. DR. Rochmat Soemitro SH. Dalam Buku hokum pajak Internasional
Indonesia Hukum pajak internasional adalah hokum pajak nasional yang terdiri dari
kaedah, baik berupa kaedah kaedah nasional maupun kaedah yang berasal dari tractat
17
antar Negara dan dari prinsip/kebiasaan yang telah diterima baik oleh Negara-negara
di dunia umtuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan
adanya unsure-unsur asing baik mengenai subjeknya maupun mengenai objeknya.
A. Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional Indonesia
1. Hukum pajak nasional
2. Traktat
Perjanjian bilateral
Perjanjian multilateral
B. Prinsip-prinsip dan Azas-azas hokum pajak Internasional
1. Prinsip kedaulatan dalam hokum pajak Internasional ; Suatu Negara tidak
dapat melakukan tindakan administrative tanpa memperoleh izinnya, lebih-
lebih kalau tindakan itu disertai dengan ancaman atau paksaan. Perbuatan
seperti itu akan melanggar kedaulatan suatu Negara
1. Prinsip Keadilan, prinsip keadilan nya adam smith
2. Prinsip Negara HUkum
UUD 1945,
Indonesia Negara berdasarkan atas hokum
Pajak dipungut berdasarkan UU
Prinsip territorial/wilayah
Jika seseorang warga Negara asing menetap disuatu Negara
dan disitu ia mendapatkan nafkah, wajib menjadi wajib pajak
18
dalam negri di Negara ia menetap karena itu untuk keperluan
pajak ia oleh Negara itu diperlakukan sama dengan
warganegara nya .
11. PEMBAGIAN HUKUM PAJAK DAN PEMBEDAANNYA.
Hukum Pajak Material
Memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan perbuatan-
perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak.
Hukum pajak formiil
Peraturan peraturan mengenai cara-caraa untuk menjelmakan hukum
pajak material menjadi suatu kenyataan.
Memuat cara2 penyelenggaraan mengenai penetapan suatu hutang
pajak.
Kontrol Pemerintah terhadap penyelenggaraan pemingutan Pajak
Kewajiban para wajib pajak (sebelum dan sesudah menerima surat
ketetapan pajak)
Prosedur pemungutan pajak
19