final tugas kelompok pemeriksaan pajak skpkbt

Upload: eddy-joni

Post on 20-Jul-2015

1.550 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

BANDING ATAS SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN TERBIT TANPA DATA BARU (NOVUM)Oleh: Citra Istiqa Mahanisa Devid Eddy Joni Feranika Husodo Ira Darmayanti Isabella 123100016 123100019 123100024 123100028 123100043 123100044

Dosen Pembimbing:

Drs. Ek. Puspahadi Boenjamin, M.SiDiajukan sebagai syarat untuk mengikuti mata kuliah Pemeriksaan Pajak Program Magister Akuntasi Universitas Trisakti Tahun Akademik 2011/2012

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER AKUNTANSI UNIVERSITAS TRISAKTI 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan untuk memperoleh nilai serta memenuhi aktivitas mata kuliah Pemeriksaan Pajak. Berhasilnya penyusunan makalah ini tidak lepas dari dukungan, bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu dengan segala ketulusan hati dan penghargaan yang setinggi-tingginya, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Drs. Ek. Puspahadi Boenjamin, M.Si., sebagai dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan dan mengajar selama masa perkuliahan dan memberikan makna mendalam mengenai Pemeriksaan Pajak. 2. Sahabat dan rekan-rekan yang banyak membantu dalam perkuliahan ini. Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dan semoga makalah ini memberi manfaat bagi pengembangan ilmu.

Jakarta, 02 Januari 2012

Penulis

i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................................................ 1 1.2. Pembatasan Masalah ............................................................................................... 2 1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 2 BAB 2 KERANGKA TEORITIS ....................................................................................... 3 2.1. Sengketa Pajak ........................................................................................................ 3 2.2. Penyelesaian Sengketa Pajak ................................................................................... 4 2.2.1. Penyelesaian di DJP sebelum ke Pengadilan Pajak ..................................... 5 2.2.2. Keberatan ..................................................................................................... 9 2.2.3. Penyelesaian di Pengadilan Pajak .............................................................. 12 2.2.3.1. Banding........................................................................................ 12 2.2.3.2. Gugatan........................................................................................ 15 2.2.3. Penyelesaian di Mahkamah Agung, setelah Pengadilan Pajak ............... 17 2.3. SKPKBT Merupakan Koreksi Atas SKP yang Telah Diterbitkan Sebelumnya.. ......................................................................................................... 18 2.4. Ketentuan Formal Penerbitan SKPKBT ................................................................ 19 2.5. Data Baru atau Novum ......................................................................................... 21 2.5.1. Data yang Semula Belum Terungkap ......................................................... 22 2.5.2. Sanksi yang Dikenakan Dalam SKPKBT .................................................. 24 2.5.3. Tidak Menunggu Sampai Pemeriksaan Dilakukan .................................... 25 2.5.3. Kekeliruan SKP Akibat Kesalahan Fiskus ................................................. 26 BAB 3 PEMBAHASAN KASUS .................................................................................... 27 3.1. Kronologi Kasus .................................................................................................... 27 3.2. Penyelesaian Kasus ............................................................................................... 28 BAB 4 KESIMPULAN & SARAN .................................................................................. 30 4.1. Kesimpulan ............................................................................................................. 30 4.2. Saran ....................................................................................................................... 31 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 32

ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari partisipasi masyarakat. Negara berwenang memungut pajak dari rakyatnya karena pajak digunakan sebagai sarana untuk mensejahterakan rakyat. Sistem pemungutan pajak yang dipakai saat ini adalah self assessment system yaitu sistem pemungutan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, melaporkan hutang pajaknya yang tertuang dalam Surat Pemberitahuan (SPT), kemudian menyetor kewajiban perpajakannya. Pemberian kepercayaan yang besar kepada wajib pajak sudah sewajarnya diimbangi dengan instrumen pengawasan, untuk keperluan itu fiskus diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Sebagai hasil pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, fiskus berwenang menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) dan ( SKP ). Pemerintah sudah berupaya menghindari terjadinya pemeriksaan ulang terhadap satu Wajib Pajak, menyangkut jenis pajak dan tahun pajak yang sama. Tujuannya untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Oleh sebab itu, pemeriksaan ulang dan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dibatasi dengan rambu-rambu dan persyaratan yang ketat. Tidak boleh dilakukan sembarangan dan harus memenuhi ketentuan formal yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP). Dan yang jelas, SKPKBT tidak mungkin diterbitkan tanpa didahului dengan adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebelumnya, baik berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), maupun SKP nihil. Hal yang menyebabkan perlu dibuka peluang terjadinya pemeriksaan ulang dan penerbitan SKPKBT. Karena dalam sistem self assessment, wajib pajak diberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung sendiri besarnya1

Surat Ketetapan Pajak

pajak yang terutang sesuai ketentuan peraturan pajak yang berlaku. Seiring dengan hal itu, SPT berikut semua lampirannya harus diisi oleh wajib pajak secara benar, lengkap dan jelas. Namun tidak semua wajib pajak bisa melaksanakannya dengan baik, entah disengaja maupun tidak. Merujuk pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum tahun 2008 dan 5 (lima) tahun mulai tahun 2008 sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, apabila diketemukan data baru atau data yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang. Pemeriksaan ulang dan penerbitan SKPKBT hanya dapat dilakukan apabila fiskus menemukan data baru atau data yang semula belum terungkap dalam pemeriksaan terdahulu (pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya dan menjadi dasar penerbitan SKP). Tanpa adanya novum atau data yang semula belum terungkap, fiskus tidak boleh melakukan pemeriksaan ulang, apalagi sampai menerbitkan SKPKBT. Dalam hal penerbitan SKPKBT tidak didasarkan pada data baru (novum), wajib pajak dapat melakukan upaya hukum terhadap keputusan tersebut. Wajib pajak dapat mengajukan keberatan atas SKPKBT tersebut atau Gugatan (setelah UU KUP No 28 Tahun 2007). Selanjutnya apabila belum puas atas putusan keberatan maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding.

1.2. Pembatasan Masalah Makalah ini akan membahas mengenai Banding atas SKPKBT terbit tanpa data baru (novum) sesuai dengan kasus pajak tahun 1998 keputusan pengadilan pajak tahun 2003.

1.3. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mempelajari lebih mendalam mengenai upaya banding atas SKPKBT terbit tanpa data baru (novum)

2

BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Sengketa Pajak Sengketa pajak sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 Undangundang (UU) Pengadilan Pajak (PP), yaitu: sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Sengketa yang timbul akibat suatu keputusan yang dikeluarkan Direktur Jendral Pajak (DJP) sesuai kewenangan yang dimilkinya berdasarkan UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan terhadap keputusan tersebut Wajib Pajak (WP) merasa tidak puas yang selanjutnya mengajukan upaya hukum sesuai UU KUP. Selanjutnya, penyelesaian sengketa pajak yang demikian hanya bermuara pada Banding atau Gugatan di Pengadilan Pajak.

Gambar 2.1. Skema Penyelesaian Sengketa Pajak Sebelum Tahun 2008 dan setelah UU PP

3

Gambar 2.2. Skema Penyelesaian Sengketa Pajak Setelah UU No 28 Tahun 2007

2.2. Penyelesaian Sengketa Pajak Terhadap setiap keputusan yang dikeluarkan fiskus yang menyangkut WP berpotensi menimbulkan sengketa pajak apabila WP merasa tidak puas terhadap keputusan tersebut dan sepanjang keputusan tersebut dapat diajukan Banding atau Gugatan. Dalam pengertian ini muara penyelesaian sengketa pajak hanya melalui Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak. Meskipun demikian sebelum sampai kepada Pengadilan Pajak sengketa pajak bisa saja diselesaikan terlebih dahulu di DJP untuk beberapa keputusan. Selain itu terdapat juga sengketa pajak yang penyelesaiannya di lakukan pada tingkat Mahkamah Agung, yaitu peninjauan kembali. Dengan pengertian seperti ini, maka penyelesaian sengketa pajak bisa diselesaikan di DJP (sebelum ke Pengadilan Pajak), atau di Pengadilan Pajak. Sementara itu untuk upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali diselesaikan di Mahkamah Agung.

4

2.2.1. Penyelesaian di DJP sebelum ke Pengadilan Pajak Penyelesaian sengketa pajak yang dapat diselesaikan di DJP atau penyelesaiannya menjadi kewenangan Dirjen Pajak, berdasarkan UU KUP terdiri dari: pembetulan suatu keputusan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak,

pengurangan/pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP), dan pembatalan hasil pemeriksaan atau Surat Ketetapan Pajak (SKP) hasil pemeriksaannya. Rinciannya adalah sebagai berikut: 1. Pembetulan Suatu Keputusan Pasal 16 ayat 1 sebelum UU KUP No 16 Tahun 2000 menyatakan bahwa: Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundangundangan perpajakan. Setelah UU KUP No 28 Tahun 2007 terdapat beberapa penambahan Surat Keputusan. Berikut bunyi Pasal 16 ayat 1 UU KUP UU No 28 Tahun 2007 menyatakan bahwa: Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan

Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam

penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

5

2. Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Kewenangan Dirjen Pajak untuk melakukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan diberikan oleh Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP yang berbunyi: Dirjen Pajak karena jabatan atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan per-UU-an Pajak dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan WP atau bukan karena kesalahannya. Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada WP tidak tepat karena ketidak telitian petugas pajak yang dapat membebani WP yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Dirjen Pajak. Sebagai peraturan pelaksanaan diterbitkan PMK No. 21/PMK.03/2008, dengan pengaturan sebagai berikut: Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan yang dikenakan karena kekhilafan WP atau bukan karena kesalahannya meliputi sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan, yang tercantum dalam: (1) STP, (2) SKP KB; atau (3) SKP KBT Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKP KB atau SKP KBT, hanya dapat dilakukan dalam hal SKP tersebut : - tidak diajukan keberatan; - diajukan keberatan tetapi telah dicabut oleh WP; atau - diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan. Permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tersebut harus memenuhi persyaratan sbb: - 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) STP, SKP KB atau SKP KBT; - Permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan alasan yang mendukung permohonannya; - Permohonan harus disampaikan ke KPP tempat WP terdaftar; - WP telah melunasi pajak yang terutang; dan6

- Surat permohonan ditandatangani oleh WP, dan dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan WP, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus. Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan diatas tidak dapat dipertimbangkan; Permohonan hanya dapat diajukan oleh WP paling banyak 2 kali; Dalam hal WP mengajukan permohonan kedua, permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal keputusan Dirjen Pajak atas permohonan yang pertama dikirim; Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima,harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan; Apabila jangka waktu tersebut telah lewat tetapi Dirjen Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan WP dianggap dikabulkan dan Dirjen Pajak harus menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan; Keputusan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dapat berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan WP; Apabila diminta oleh WP, Dirjen Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan WP. Dirjen Pajak secara jabatan dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi dalam STP yang diterbitkan sebagai akibat dari: - diterbitkannya SKP karena PKP tidak membuat faktur pajak; dan - penerapan ketentuan Pasal 19 ayat 1 UU KUP (bunga penagihan terlambat melunasi utang pajak) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tersebut dilakukan apabila diterbitkan SK Pembetulan, SK Pengurangan/Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar berkurang atau dibatalkan.7

3. Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak Kewenangan Dirjen Pajak untuk melakukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b, yang berbunyi: Dirjen Pajak karena jabatan atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau membatalkan SKP yang tidak benar.Dirjen Pajak berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan SKP yang tidak benar, misalnya WP yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi. Pelaksanaan Pasal 36 ayat (1) huruf b ini diatur dgn PMK No. 21/PMK.03/2008. Setelah UU KUP No. 28 tahun 2007 maka ditambah point keempat dan kelima. 4. Pengurangan/Pembatalan STP Kewenangan Dirjen Pajak untuk melakukan pengurangan atau pembatalan STP terdapat dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c UU KUP yang berbunyi; Dirjen Pajak karena jabatan atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau membatalkan STP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar. Pelaksanaa Pasal 36 ayat (1) huruf c ini diatur dgn PMK No. 21/PMK.03/2008. 5. Pembatalan Hasil Pemeriksaan atau SKP Hasil Pemeriksaan Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak WP, Dirjen atas kewenangannya atau atas permohonan WP dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan WP. Namun, dalam hal WP tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan WP tidak dapat dipertimbangkan. Kewenangan Dirjen Pajak untuk membatalkan hasil pemeriksaan atau SKP hasil pemeriksaan terdapat dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d, yang berbunyi: Dirjen Pajak karena jabatan atau atas permohonan WP dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau SKP dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa : Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau8

Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Pelaksanaan Pasal 36 ayat (1) huruf d ini diatur dgn PMK No. 21/PMK.03/2008.

2.2.2. Keberatan Dalam penjelasan Pasal 25 ayat 1 UU KUP disebutkan apabila WP berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, WP dapat mengajukan keberatan hanya kepada Dirjen Pajak. Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak. Ketentuan mengenai keberatan dalam Pasal 25 ayat 1 UU KUP berbunyi: WP dapat mengajukan keberatan hanya kepada Dirjen Pajak atas suatu : Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; Surat Ketetapan Pajak Nihil; Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Yang dimaksud dengan "suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak. Contoh: Keberatan atas ketetapan PPh Tahun Pajak 2008 dan Tahun Pajak 2009 harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu) surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun Pajak tersebut harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.

9

Ketentuan mengenai pengajuan keberatan Ketentuan dan syarat pengajuan keberatan diatur dalam Pasal 25 UU KUP jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007, PER - 49/PJ./2009 dan PER - 52 /PJ/2010 adalah sebagai berikut: 1. Keberatan diajukan oleh WP dengan menyampaikan surat keberatan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak (PKP) dikukuhkan melalui: Penyampaian langsung; Pos dengan bukti pengiriman surat; atau Cara lain, meliputi: a) melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau b) e-Filing melalui ASP; 2. Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat sebagai berikut: Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia; Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan WP dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan; 1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) SKP, untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak; WP telah melunasi pajak yg masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui WP dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan ( diatur baru dalam UU KUP No 28 Tahun 2007); Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim SKP atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga kecuali WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan WP (force majeur); dan Surat keberatan ditandatangani oleh WP, dan dalam hal surat keberatan ditandatangani oleh bukan WP, surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus;

10

3. Surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan SK Keberatan, serta hal ini diberitahukan secara tertulis kepada WP; Dalam hal surat keberatan yang disampaikan oleh WP belum memenuhi persyaratan, WP dapat menyampaikan perbaikan surat keberatan dengan melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan dimaksud terlampaui, dengan demikian tanggal penyampaian perbaikan surat keberatan merupakan tanggal surat keberatan diterima. 4. Untuk keperluan pengajuan keberatan, WP dapat meminta kepada Dirjen Pajak untuk memberi keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak atau penghitungan rugi, dan hal ini wajib dipenuhi oleh Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permintaan WP diterima; 5. Jangka waktu pemberian keterangan oleh Dirjen Pajak atas permintaan WP tersebut tidak menunda jangka waktu pengajuan keberatan. 6. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak, namun setelah UU No 28 tahun 2007 pasal 25 ayat 7 berbunyi bahwa Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. 7. Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan; Keputusan Dirjen Pajak dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yg masih harus dibayar; Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui, Dirjen Pajak tidak menerbitkan SK Keberatan, keberatan yang diajukan WP dianggap dikabulkan dan Dirjen Pajak wajib menerbitkan SK Keberatan sesuai dengan keberatan WP.

11

2.2.3. Penyelesaian di Pengadilan Pajak Penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak meliputi banding dan gugatan. 2.2.3.1. Banding Upaya hukum selanjutnya yang dimiliki WP dalam hal tidak puas dengan SK Keberatan yang diterbitkan fiskus adalah mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak sebagaimana tertera dalam Pasal 27 ayat 1 UU KUP. Berdasarkan pasal 35 dan pasal 36 UU Pengadilan Pajak, pengajuan banding harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak. b. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundangundangan perpajakan. c. Jangka waktu 3 (tiga) bulan terebut tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon Banding. d. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding. e. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding. f. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding. g. Dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dlmaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen) Persyaratan kewajiban melunasi 50% dari jumlah pajak yang terutang menjadi tidak berlaku lagi dengan berlakunya UU No 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga UU KUP yang mulai berlaku 1 Januari 2008. Dalam pasal 27 ayat (5c) UU No 28 Tahun 2007 diatur bahwa jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.

12

Apabila diminta oleh WP untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Dirjen Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar SK Keberatan diterbitkan (Pasal 27 ayat 4a UU KUP). Jangka Waktu Pelunasan SK Keberatan dalam hal WP mengajukan Banding Bagi WP yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat 5a bahwa: Dalam hal WP mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Contoh : Misalkan PT ABC pada contoh sebelumnya mengajukan banding, maka kekurangan pembayaran pajak (Rp.18juta), tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan (Pasal 19) atas jumlah Rp.18juta tidak diberlakukan. Dalam hal permohonan banding WP ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila WP tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, WP dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (5d) UU KUP bahwa: Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, WP dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100 % dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.13

Contoh : Untuk tahun pajak 2008, SKP KB dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp.1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, WP hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp.200.000.000,00. WP telah melunasi sebagian SKP KB tersebut sebesar Rp.200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Dirjen Pajak mengabulkan sebagian keberatan WP dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp.750.000.000,00. Selanjutnya WP mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp.450.000.000,00. Dalam hal ini baik sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, WP dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% x (Rp.450.000.000,00 Rp.200.000.000,00) = Rp.250.000.000,00. Putusan Banding Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap SK Keberatan yang diajukan oleh WP (Pasal 1 angka 31 UU KUP). Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara {Pasal 27 ayat 2 UU KUP}. Sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam penjelasan Pasal 15 ayat 1 yang menyatakan bahwa: Yang dimaksud dengan pengadilan khusus dalam ketentuan ini antara lain pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.

14

Gambar 2.3.

2.2.3.2. Gugatan Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan

perpajakan yang berlaku (Pasal 1 angka 7 UU Pengadilan Pajak). Mengenai gugatan diatur dalam Pasal 23 ayat 2 UU KUP No 9 Tahun 1994 adalah sebagai berikut: Sanggahan dan/atau gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, sita atau lelang hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak. Kemudian di dalam Pasal 23 ayat 2 UU KUP No 16 tahun 2000 yaitu sebagai berikut: Gugatan WP atau Penanggung Pajak terhadap: pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak;15

Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak; hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak. Selanjutnya mengenai gugatan diatur dalam Pasal 23 ayat 2 UU KUP No 28 Tahun 2007 yaitu sebagai berikut: Gugatan WP atau Penanggung Pajak terhadap: pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau penerbitan SKP atau SK Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.

Gambar 2.4. Proses Pemohonan Gugatan mulai tahun 2008

16

2.2.4. Penyelesaian di Mahkamah Agung, setelah Pengadilan Pajak Upaya hukum berikutnya yang merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan baik oleh WP maupun fiskus adalah peninjauan kembali. Peninjauan kembali diatur dalam UU Pengadilan Pajak, yaitu sebagai berikut: Pasal 77 ayat 3: Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Pasal 91: Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; 2. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda; 3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c; 4. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau 5. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

17

2.3. SKPKBT Merupakan Koreksi Atas SKP yang Telah Diterbitkan Sebelumnya Pemerintah sudah berupaya menghindari terjadinya pemeriksaan ulang terhadap satu Wajib Pajak, menyangkut jenis pajak dan tahun pajak yang sama. Tujuannya untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Oleh sebab itu, pemeriksaan ulang dan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dibatasi dengan rambu-rambu dan persyaratan yang ketat. Tidak boleh dilakukan sembarangan dan harus memenuhi ketentuan formal yang telah ditetapkan dalam UU KUP. Dan yang jelas, SKPKBT tidak mungkin diterbitkan tanpa didahului dengan adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebelumnya, baik berupa SKPKB, SKPLB, maupun SKP nihil. Perlu dibuka peluang terjadinya pemeriksaan ulang dan penerbitan SKPKBT ? Dalam sistem self assessment, wajib pajak diberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung sendiri besarnya pajak yang terutang sesuai ketentuan peraturan pajak yang berlaku. Seiring dengan hal itu, SPT berikut semua lampirannya harus diisi oleh wajib pajak secara benar, lengkap dan jelas. Namun tidak semua wajib pajak bisa melaksanakannya dengan baik, entah disengaja maupun tidak. Pemeriksaan perlu dilakukan guna mengawasi pemenuhan kewajiban SPT seperti telah disebutkan tadi. Bagi Wajib Pajak yang telah melaporkan SPT dengan lengkap, benar dan jelas sesuai pembukuannya tidak akan dikenakan tagihan dan sanksi. Tetapi bagi mereka yang belum melaksanakan kewajibannya dengan baik, pasti akan dimintakan pertanggungjawabannya untuk memikul beban pajak yang kurang dibayar berikut sanksinya. Wajib Pajak harus mengungkapkan dan memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaporan SPT serta pembukuannya kepada fiskus yang melaksanakan pemeriksaan. Apabila ternyata Wajib Pajak belum selengkapnya memberitahukan dan mengungkapkan data atau keterangan lainnya yang diperlukan oleh fiskus dalam pemeriksaan, sehingga jumlah pajak yang ditetapkan oleh fiskus lebih rendah daripada yang seharusnya, maka ketetapan pajak tersebut perlu dikoreksi.18

Berbeda dengan pembetulan ketetapan pajak yang dimaksudkan pada Pasal 16 dan Pasal 36 UU KUP, koreksi perlu dilakukan terhadap ketetapan pajak hasil pemeriksaan terdahulu karena adanya data baru atau data yang semula belum terungkap. Koreksi yang terjadi karena kelalaian atau kekeliruan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya tadi dilakukan melalui penerbitan SKPKBT. Oleh karena itu, SKPKBT tidak mungkin terbit sebelum ada SKP sebelumnya.

2.4. Ketentuan Formal Penerbitan SKPKBT Merujuk pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum tahun 2008 dan 5 (lima) tahun setelah tahun 2008 sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, apabila diketemukan data baru atau data yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang. Dari bunyi ketentuan tersebut dapat ditegaskan bahwa pemeriksaan ulang dan penerbitan SKPKBT hanya dapat dilakukan apabila fiskus menemukan data baru atau data yang semula belum terungkap dalam pemeriksaan terdahulu (pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya dan menjadi dasar penerbitan SKP). Tanpa adanya novum atau data yang semula belum terungkap, fiskus tidak boleh melakukan pemeriksaan ulang, apalagi sampai menerbitkan SKPKBT. Menyimpang dari ketentuan tersebut, fiskus masih diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan ulang dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam hal terdapat indikasi tindak pidana yang mungkin dilakukan oleh wajib pajak. Meskipun telah dilakukan pemeriksaan ulang berdasarkan temuan novum, sepanjang hasil pemeriksaan itu tidak mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang, maka SKPKBT tidak akan diterbitkan. Artinya, jika pemeriksaan ulang tidak menimbulkan kurang bayar atau, timbul lebih bayar pajak atau nihil, selayaknya tidak perlu terbit SKPKBT. Seandainya hasil pemeriksaan ulang menghasilkan kelebihan bayar pajak padahal ketentuan Pasal 15 UU KUP tidak memungkinkan Dirjen Pajak untuk menerbitkan SKP-nya.19

SKPKBT hanya dapat diterbitkan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tahun sebelum tahun 2008 dan 5 (lima) tahun mulai tahun 2008 setelah saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak. Ini terkait dengan daluwarsa penagihan pajak yang ditetapkan dalam Pasal 22 UU KUP. Misalnya, atas SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 1996 yang dilaporkan dan telah diterbitkan SKPKBT pada tahun 1998: Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKPKBT PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 1996 paling lambat pada akhir tahun 2006, dengan syarat SKPKBT tersebut berdasarkan temuan novum yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang. Dalam hal masih diketemukan lagi novum yang belum terungkap pada saat penerbitan SKPKBT dan sepanjang belum melewati jangka waktu 10 tahun tersebut, maka Dirjen Pajak masih dapat menerbitkan SKPKBT lagi. Artinya, SKPKBT dapat diterbitkan hingga dua kali atau lebih, dengan syarat terbitnya masing-masing SKPKBT itu dilandasi dengan temuan novum dan masih dalam jangka waktu yang ditentukan. Melanjutkan contoh di atas, misalnya fiskus telah menerbitkan SKPKBT atas dasar temuan novum pada tahun 1999. Namun ternyata masih ada lagi novumyang ditemukan pada tahun 2001 dan menambah jumlah PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 1996 yang seharusnya terutang, maka Dirjen Pajak masih bisa menerbitkan lagi SKPKBT PPh Orang Pribadi tahun pajak 1996 (yang kedua) pada tahun 2001, sebab SKPKBT terbit berdasarkan temuan novum yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak terutang dan penerbitannya masih dalam jangka waktu yang ditentukan. Undang-undang pajak sudah memberikan batasan yang cukup memadai mengenai novum yang bisa menjadi dasar penerbitan SKPKBT. Selain itu, dalam praktek belum pernah terdengar ada Wajib Pajak yang dikenakan SKPKBT hingga dua kali atau lebih. Apabila jangka waktu 10 tahun tersebut sudah terlewati maka SKPKBT tidak dapat diterbitkan lagi. Namun apabila Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka terhadap Wajib Pajak tersebut tetap dapat diterbitkan SKPKBT dengan ditambah sanksi

20

administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (4) UU KUP.

2.5. Data Baru atau Novum Pengertian mengenai data baru atau novum sesuai penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU KUP adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak terutang oleh Wajib Pajak, yang belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam SPT dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ.31/1990 tanggal 18 Oktober 1990 juga menjelaskan tentang pengertian Data Baru dan Data yang Semula Belum Terungkap. Meskipun SE-33/PJ.31/1990 dikeluarkan dalam era berlakunya UU Perpajakan Tahun 1983, namun substansi yang termuat di dalamnya masih relevan, kecuali menyangkut jangka waktu penerbitan SKP. Dalam surat edaran itu masih disebutkan 5 (lima) tahun sesuai dengan ketentuan UU KUP 1983, namun untuk saat itu sudah diubah menjadi 10 tahun sesuai ketentuan UU KUP Tahun 2000. Data baru atau novum yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU KUP tersebut bisa dicontohkan sebagai berikut: Pada tahun 1996 Pak Marto memperoleh penghasilan dari persewaan mobil miliknya kepada PT Maju Perkasa, sebesar Rp15.000.000. Pak Marto tidak melaporkan penghasilan sewa mobil tersebut di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 1996. Pada saat dilakukan pemeriksaan pajak atas SPT Tahunan PPh orang pribadi tahun pajak 1996, Pak Marto tidak memberikan data atau keterangan kepada fiskus mengenai penghasilan sewa mobil yang belum dilaporkan di SPT. Akhirnya, pada tahun 1998 fiskus menerbitkan SKPKB PPh Orang Pribadi tahun pajak 1996 kepada Pak Marto tanpa memperhitungkan adanya penghasilan sewa mobil yang belum dilaporkan. Tahun 1999 fiskus mendapatkan data berupa Bukti Pemotongan PPh pasal 23 atas penghasilan sewa mobil yang dipotong oleh PT. Maju Perkasa. Dalam Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 itu disebutkan penghasilan bruto sewa mobil yang21

diperoleh Pak Marto sebesar Rp15.000.000, telah dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 6% atau sebesar Rp900.000 (misal terjadi dalam kurun waktu berlakunya KEP-59/PJ.1/1996). Apa yang dilakukan fiskus dengan adanya Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 tersebut ? Pak Marto terbukti tidak melaporkan penghasilan sewa mobil yang telah diperoleh pada tahun 1996 sebesar Rp15.000.000 di dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 1996. Pada saat dilakukan pemeriksaan atas SPT PPh tahun pajak 1996, Pak Marto juga tidak memberikan data atau mengungkapkan mengenai adanya penghasilan sewa mobil yang belum dilaporkan di SPT PPh-nya. Dengan demikian, Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 yang dibuat oleh PT. Maju Perkasa dapat dipergunakan sebagai data baru (novum) untuk melakukan pemeriksaan ulang dan menjadi dasar penerbitan SKPKBT PPh Orang Pribadi tahun pajak 1996 kepada Pak Marto. Dari contoh tersebut jelas bahwa data baru atau novum merupakan data yang belum pernah dilaporkan oleh Wajib Pajak di SPT dan belum pernah diungkapkan sama sekali dalam pemeriksaan pajak yang sebelumnya telah dilakukan oleh fiskus.

2.5.1. Data yang Semula Belum Terungkap Selain karena adanya data baru (novum), SKPKBT juga bisa diterbitkan dalam hal ditemukan data yang semula belum terungkap. Jadi SKPKBT tidak mutlak harus berdasarkan adanya novum, tetapi apabila terdapat data yang semula belum terungkap pun sudah cukup untuk menjadi dasar penerbitan SKPKBT. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU KUP yang dimaksud dengan data yang semula belum terungkap adalah data atau keterangan lain mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang, yang: a. Tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dala SPT beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan atau b. Pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan22

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitunga jumlah pajak yang terutang. Walaupun mengungkapkan Wajib pada Pajak waktu telah memberitahukan akan dalam tetapi SPT atau

pemeriksaan,

apabila

memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, maka hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap. Pengertian dan contoh yang tertuang dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU KUP Tahun 2000 tersebut, ditinjau dari substansinya, tidak berbeda dengan SE33/PJ.31/1990. Perlu ditambahkan mengenai klausul dengan cara sedemikian rupayang dimaksudkan antara lain, dengan cara menyamarkan transaksi, memasukkan suatu transaksi pengeluaran yang non-deductible ke dalam akun yang umumnya deductible, mencatat transaksi yang merupakan objek pajak tertentu ke dalam akun yang susah dilacak fiskus. Wajib Pajak dapat dikatakan mempunyai itikad tidak baik untuk menghindari atau menggelapkan pajak yang seharusnya terutang. Contoh yang berbeda dengan yang tercantum dalam memori penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU KUP: Dalam pembukuan PT. Gemilang tahun 2000 terdapat transaksi-transaksi berikut ini: Perjalanan wisata direksi dan keluarga yang semestinya non-deductible dicatat pada akun perjalanan dinas. Tunjangan makan karyawan yang semestinya merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21 dicatat pada akun biaya konsumsi karyawan (natura) yang bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21 Biaya in-house training yang semestinya merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dicatat sebagai biaya registrasi kursus untuk umum.

23

Pembelian komputer untuk anak pemegang saham dicatat sebagai pembelian komputer untuk operasional dan Pajak Masukannya dikrMartotkan oleh perusahaan. PT. Gemilang tidak mengungkapkan transaksi-transaksi tersebut pada SPT

yang dilaporkannya untuk tahun pajak 2000. Kemudian pada saat dilakukan pemeriksaan atas SPT tahun pajak 2000, PT. Gemilang juga tidak memberikan keterangan atau data mengenai transaksi-transaksi tersebut kepada fiskus, sehingga akhirnya fiskus menerbitkan ketetapan pajak tanpa memperhitungkan hal-hal yang disamarkan oleh PT. Gemilang. Jika di kemudian hari diketahui adanya transaksi-transaksi yang disamarkan tersebut, fiskus dapat melakukan pemeriksaan ulang terhadap SPT yang dilaporkan oleh PT. Gemilang tahun pajak 2000 dan menerbitkan SKPKBT atas dasar temuan data yang semula belum terungkap.

2.5.2. Sanksi yang Dikenakan Dalam SKPKBT Agar pelaksanaan sistem self assessment bisa berjalan dengan baik, pemerintah menganggap perlu adanya penerapan sanksi, termasuk sanksi sehubungan dengan penerbitan SKPKBT. Seperti telah diuraikan, dalam hal fiskus menemukan data baru atau data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya ketetapan pajak terdahulu, maka fiskus dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Mengacu pada ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU KUP, jumlah yang harus dibayar oleh Wajib Pajak meliputi kekurangan pajak yang terutang, ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari kekurangan pajak tersebut. Contoh: Melanjutkan kasus Pak Marto, fiskus telah melakukan pemeriksaan atas SPT PPh Orang Pribadi tahun pajak 1996 dan SKPKB diterbitkan tahun 1998 dengan jumlah Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp150.000.000. PPh terutang sebesar Rp36.250.0001)

telah dibayar lunas oleh Pak Marto. Pada tahun 1999

fiskus menemukan novum berupa Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan sewa yang diperoleh Pak Marto pada tahun 1996, sebesar Rp15.000.000 yang telah dipotong PPh Pasal 23-nya oleh PT. Maju Perkasa.24

Berdasar novum tersebut fiskus melakukan pemeriksaan ulang dan misalnya tidak ada koreksi fiskal selain penghasilan sewa mobil yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh Pasal 23, maka perhitungan SKPKBT menjadi sebagai berikut:Penghasilan Kena Pajak sesuai SKPKB terdahulu Koreksi Positif Penghasilan: Sewa Mobil Penghasilan Kena Pajak dalam SKPKBT 1) PPh Tahun Pajak 1996 yang terutang Rp Rp Rp Rp 150.000.000 15.000.000 +/+ 165.000.000 40.750.000

Kredit Pajak - PPh yang telah dilunasi sebelumnya Rp - Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan Rp 2) sewa mobil dari PT. Maju Perkasa Jumlah kredit pajak Rp Jumlah PPh yang kurang dibayar Sanksi sesuai ketentuan Pasal 15 (2) UU KUP 100% x Rp3.600.000 = Jumlah yang masih harus dibayar menurut SKPKBT PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 1996 Rp Rp

36.250.000 900.000 +/+ 37.150.000 3.600.000 3.600.000 +/+

Rp

7.200.000

Keterangan: 1. Contoh kasus terjadi pada tahun pajak 1996, sehingga penghitungan PPh terutang menggunakan tarif berdasarkan Pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1994. 2. Penghasilan sewa mobil dikoreksi positif sebagai penghasilan Wajib Pajak, sehingga Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan sewa mobil tersebut harus diperhitungkan sebagai kredit pajak.

2.5.3. Tidak Menunggu Sampai Pemeriksaan Dilakukan Kenaikan sebesar 100% tidak akan dikenakan apabila SKPKBT diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Dirjen Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Ketentuan tersebut ada di dalam Pasal 15 ayat (3) UU KUP. Wajib Pajak yang menyadari kekeliruannya jangan menunggu sampai fiskus mulai melakukan tindakan25

pemeriksaan pajak atas temuan novum atau data yang semula belum terungkap. Wajib Pajak harus segera melayangkan surat keterangan secara tertulis dengan kehendak dan itikad sendiri kepada Dirjen Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar, meskipun kemudian SKPKBT tetap diterbitkan, Wajib Pajak tersebut tidak akan dikenakan sanksi kenaikan sebesar 100%. 2.5.4. Kekeliruan SKP Akibat Kesalahan Fiskus Salah satu syarat penerbitan SKPKBT yang telah dibahas tadi adalah timbulnya penambahan pajak terutang yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak. Apabila dalam pemeriksaan ulang justru menimbulkan kelebihan bayar pajak, maka Dirjen Pajak tidak diberi kewenangan untuk menerbitkan SKP Tambahan. Apabila SKP hasil pemeriksaan yang dilakukan fiskus terdahulu ternyata lebih rendah daripada pajak yang seharusnya terutang, tetapi kekeliruan SKP tersebut terjadi akibat kesalahan fiskus sendiri dan apabila Wajib Pajak sudah selengkapnya memberitahukan dan mengungkapkan data atau keterangan lain yang diperlukan untuk menentukan pajak yang terutang pada waktu terbitnya SKP tersebut, maka Dirjen Pajak hanya berhak menagih pokok pajak terutang yang masih kurang dibayar. Dalam hal ini tidak ada novum atau data yang semula belum terungkap, sehingga Wajib Pajak tidak boleh dikenakan sanksi atas kekurangan pajak yang masih harus dibayar. Seandainya fiskus terlanjur menerbitkan SKPKBT dan menerapkan sanksi kenaikan 100%, Wajib Pajak berhak mengajukan penghapusan sanksi administrasi yang dikenakan bukan karena kesalahannya dengan mengacu pada ketentuan Pasal 36 UU KUP.

26

BAB III PEMBAHASAN KASUS

3.1. Kronologi Kasus Wajib Pajak telah diperiksa oleh fiskus dari Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa) berkaitan dengan kewajiban PPh Pasal 26 tahun pajak 1998. Dalam pemeriksaannya fiskus membuka kembali berkas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang telah ditetapkan oleh KPP tempat kedudukan Wajib Pajak. Berdasarkan penelitian kembali atas SKPKB sebelumnya, fiskus kemudian menetapkan adanya PPh Pasal 26 terutang dari objek berupa bunga yang belum dimasukkan dalam penghitungan SKPKB tersebut yang diterbitkan tanggal 02 Juli 2001. Wajib Pajak tidak dapat menerima ketetapan pajak (SKPKBT) yang diterbitkan oleh fiskus, sehingga Wajib Pajak mengajukan keberatannya kepada fiskus dengan surat tertanggal 20 September 2001. Namun keberatannya ditolak oleh fiskus melalui surat keputusan tertanggal 23 September 2002. Menurut fiskus, dasar penerbitan SKPKBT PPh Pasal 26 Tahun Pajak 1998 adalah sesuai dengan ketentuan SE-33/PJ.31/1990 tanggal 18 Oktober 1990. Dalam poin 1 surat edaran tersebut, dinyatakan apabila karena kesalahan Direktur Jenderal Pajak sendiri jumlah pajak yang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, maka Wajib Pajak masih tetap harus melunasi hutang pajak yang kurang dibayar. Karenanya Fiskus berpendapat walaupun Wajib Pajak telah menyerahkan seluruh data secara lengkap pada pemeriksaan yang pertama, namun karena pada pemeriksaan tersebut masih terdapat pajak terhutang yang kurang diperhitungkan, maka kepada Wajib Pajak bisa dilakukan pemeriksaan ulang untuk menggali potensi pajak yang kurang diperhitungkan.

27

3.2. Penyelesaian Kasus Untuk menyelesaikan kasus ini dan menentukan upaya hukum apa yang hendak diambil, wajib pajak mempelajari kembali dasar hukum yang dapat digunakan dan mengumpulkan bukti-bukti yang dapat digunakan untuk mengajukan upaya hukum. Upaya hukum yang dapat dilakukan setelah keberatan ditolak oleh DJP adalah Banding ke Pengadilan Pajak. Dasar hukum a. Ketentuan Pasal 27 ayat 1 UU KUP No 9 Tahun 1994, yang berbunyi: Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. b. Ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 Bagian Kedua UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur perihal Banding.

Alasan Banding a. SKPKBT PPh Pasal 26 Tahun 1998 yang diterbitkan oleh fiskus dari Karikpa tidak memiliki dasar hukum. Hal ini karena SKPKBT tersebut, diterbitkan berdasarkan hasil penelitian kembali atas SKPKB yang telah ditetapkan sebelumnya oleh KPP tempat kedudukan Wajib Pajak. b. Sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) UU No. 6 tahun 1983 yang telah diubah dengan UU No. 9 tahun 1994, SKPKBT dapat diterbitkan oleh Dirjen Pajak dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, apabila ditemukan data baru (novum) atau data yang belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak terutang. c. Novum atau data yang semula belum terungkap tersebut tidak ada, karena Wajib Pajak telah menyampaikan seluruh data dan keterangan yang dibutuhkan oleh pemeriksa pada waktu penetapan awal, yaitu pada waktu proses penetapan SKPKB. Hal ini dapat Wajib Pajak buktikan dengan tanda terima dokumen/data yang ditandatangani oleh pemeriksa pajak pada saat penetapan awal.28

d. Selain itu, dari penelusuran terhadap Kertas Kerja Pemeriksaan yang telah memuat rekonsiliasi PPh Pasal 26, dapat diketahui bahwa rekonsiliasi pemeriksa menggunakan data yang sama dengan rekonsiliasi yang dilakukan oleh pemeriksa terdahulu. Dengan demikian, penetapan SKPKBT tersebut tidak sah dan seharusnya dicabut karena tidak ada data baru yang belum terungkap (novum).

Berdasarkan dasar hukum dan alasan tersebut di atas, wajib pajak mengajukan permohonan kepada Pengadilan Pajak agar dapat membatalkan Surat Keputusan DJP atas penerbitan SKPKBT PPh Pasal 26.

29

BAB IV Kesimpulan dan Saran

4.1. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil mengenai penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) hasil pemeriksaan ulang 1. SKPKBT PPh Pasal 26 Tahun 1998 yang diterbitkan oleh fiskus dari Karikpa tidak memiliki dasar hukum. Hal ini karena SKPKBT tersebut, diterbitkan berdasarkan hasil penelitian kembali atas SKPKB yang telah ditetapkan sebelumnya oleh KPP tempat kedudukan Wajib Pajak. SKPKBT hasil pemeriksaan ulang hanya dapat diterbitkan apabila terpenuhi syarat formal berikut: a. Diketemukan data baru (novum) atau data yang semula belum terungkap; yang b. Mengakibatkan penambahan jumlah pajak terutang; dan c. Masih dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sesuai UU KUP No 16 tahun 2000, sedangkan sesuai UU KUP No 28 Tahun 2007 selama 5 (lima) tahun. Jika ketiga syarat tersebut tidak dipenuhi seluruhnya, maka pemeriksaan ulang dan SKPKBT yang diterbitkan dianggap tidak memenuhi ketentuan formal dan semestinya batal demi hukum 2. Selain itu, dari penelusuran terhadap Kertas Kerja Pemeriksaan yang telah memuat rekonsiliasi PPh Pasal 26, dapat diketahui bahwa rekonsiliasi pemeriksa menggunakan data yang sama dengan rekonsiliasi yang dilakukan oleh pemeriksa terdahulu. Dengan demikian, penetapan SKPKBT tersebut tidak sah dan seharusnya dicabut karena tidak ada data baru yang belum terungkap (novum). 3. SKPKBT masih bisa diterbitkan setelah melewati jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesuai UU KUP No 16 tahun 2000 atau 5 (lima) tahun sesuai UU KUP No 28 tahun 2007 sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak,30

bagian tahun pajak, atau tahun pajak, hanya apabila Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 4. Apabila SKPKBT terbit bukan karena kekeliruan Wajib Pajak, tetapi akibat kesalahan fiskus sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan, maka Wajib Pajak tidak boleh dikenakan sanksi karenanya. Apabila SKPKBT terlanjur diterbitkan dengan menerapkan sanksi kenaikan 100%, maka Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan penghapusan sanksi berdasarkan ketentuan Pasal 36 UU KUP.

4.2. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, maka disarankan untuk menghindari pemeriksaan ulang dan penerbitan SKPKBT sebagai berikut: 1. Wajib Pajak sebaiknya mengisi SPT dengan lengkap, benar, dan jelas. 2. Kemudian saat dilakukan pemeriksaan, penuhi semua data dan keterangan yang diminta oleh fiskus. 3. Buatkan tanda terima yang lengkap dan jelas atas penyerahan data, dokumen, dan keterangan kepada fiskus. Bubuhkan tanda tangan, nama jelas penerima, dan tangal terima. 4. Simpan baik-baik bukti tanda terima data, dokumen, dan keterangan yang telah ditandatangani oleh pihak fiskus. Bukti tanda terima dokumen tersebut akan sangat berguna untuk mengantisipasi terjadinya pemeriksaan ulang dan penerbitan SKPKBT.

31

DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, 2011. Rangkuman Undang-Undang Perpajakan. Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia. Kurniawan, Anang Mury, 2011. Upaya Hukum Terkait dengan Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak. Jakarta: Graha Ilmu. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 49/PJ./2009 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 52/PJ/2010 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan. Purwito M., Ali, dan Rukiah Komariah, 2007. Pengadilan Pajak: Proses Keberatan dan Banding. Jakarta. Universitas Indonesia: Lembaga Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pusdiklat Pajak Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan RI. 2008. Modul Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta. Saadah, Nabitatus, 2009. Membentuk Model Upaya Hukum Pajak Yang Sesuai Dengan Prinsip Equality ( Kesamaan ) Dan Equity ( Keadilan). Working Paper. Semarang: Universitas Diponegoro. Saptono, Prianto Budi, 2009. Trik Jitu dan Tips Praktis Menghadapi Pemeriksaan Pajak. Jakarta. Setiawan, Agus, dan Musri, Basri, 2007. Tax Audit dan Tax Review. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa. Suandy, Erly, 2008. Perencanaan Pajak. Edisi Empat. Jakarta: Salemba Empat. Surat Edaran Direktur Jendaral Pajak Nomor SE-33/PJ.31/1990 Tentang Pengertian Data Baru dan Data Yang Semula Belum Terungkap. Undang Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Undang Undang Nomor 9 tahun 1994 tentang Perubahan Pertama Atas Undangundang nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.32

Undang Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undangundang nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Waluyo, 2011. Perpajakan Indonesia. Edisi 10. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. www.ortax.org www.pajak.go.id www.setpp.depkeu.go.id www.taxcenter.fe.unpad.ac.id www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/

33