tugas dokter toni

Upload: malvino-giovanni

Post on 02-Mar-2016

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pengaruh Nutrisi pada Penyembuhan LukaBAB I

PENDAHULUAN

Nutrisi memiliki peran yang penting dan tidak dapat dipisahkan dengan persiapan pra operasi dan pasca operasi pada pasien yang menjalani prosedur utama bedah umum dan tindakan suportif pada pasien yang luka parah.Secara umum, ketika dokter memutuskan kepada pasiennya untuk menjalani prosedur operasi besar, nutrisi suportif telah menunjukkan pengurangan komplikasi luka utama seperti luka terbuka dan kebocoran anastomosis luka.(5)

Pasien yang menjalani operasi menghadapi tantangan secara metabolik dan fisiologi yang dapat membahayakan status gizi. Gejala pascaoperasi seperti mual, muntah, nyeri, dan anoreksia dapat terjadi pada pasien, halinijuga bahkan dapat terjadi pada pasien yang menjalani operasi kecil, padahal katabolisme, infeksi, dan proses penyembuhan luka menjadi faktor peyulit pada pasien setelah operasi besar.Hal-hal ini menjadi masalah yang jauh lebih besar pada pasien operasi dengan gizi yang kurang.(9)

Deplesi nutrisi telah ditunjukkan menjadi penentu utama dari perkembangan komplikasi pasca operasi. Pasien bedah gastrointestinal mempunyai resiko terjadi deplesi nutrisi dari asupan gizi yang tidak memadai, stres bedah dan peningkatan tingkat metabolisme pascaoperasi. Banyak pasien tidak dapat bertahan terhadap penyakitnya tanpa bantuan nutrisi suportif yang khusus. Seperti pada pasien dengan kehilangan usus total atau hampir total yang mungkin disebabkan infark atau reseksi multipel, pasien malnutrisi dengan penyakit inflamasi mukosa usus kronis yang mempengaruhi penyerapan, atau pasien dengan fistula yang menghalangi pencernaan nutrisi secaraoral, dan lain sebagainya.(5),(6)

Kekhawatiran terjadinya ileus pasca operasi dan integritas dari pembuatan anastomosis baru menyebabkan terjadinya kelaparan, sehingga pemberian nutrisi menggunakan cairan intravena sampai terjadinya kentut. Namun, sejak saat itu telah menunjukkan bahwa pemberian makananenteralsecepatnya pasca operasi ialah efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Pemberian makanan secara enteral juga berhubungan dengan manfaat klinis tertentu seperti menurunnya insiden komplikasi infeksi pascaoperasi dan peningkatan respon penyembuhan luka.Namun penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk menentukan hubunganantaranutrisi enteral dengan terjadinya modulasi fungsi usus.(6)

Pasien dengan kekurangan gizi pra operasi memilikirisikoyang jauh lebih tinggi terjadinya komplikasi pasca operasi dan kematian daripada pasien yang memiliki gizi baik sebelum operasi. Status gizi buruk dapat membahayakan fungsi sistem organ, termasuk jantung, paru-paru, ginjal, dan saluran gastrointestinal (GIT). Fungsi kekebalan tubuh dan kekuatan otot juga dapat berpengaruh, pasien seperti ini lebih rentan terhadap terjadinya komplikasi infeksi dan biasanya memerlukan untuk reintubasi pascaoperasi. Penyembuhan luka yang tertunda, seperti tertundanya kemajuan dalam mobilitas pasien, sehingga dapat memperpanjang pemulihan pasien operasi. Semua faktor ini dapat berkontribusi terjadinya lamanya perawatan di rumah sakit, dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Seperti yang dijelaskan oleh Meguid dan Laviano, setiap dokter bedah secara intuitif mengetahui bahwa operasi pada pasien dengan kurang gizi dapat menjadi menyedihkan (rueful) dan mahal.(8),(9)

Bahkan pasien dengan gizi yang cukup saja dapat mengalami hasil yang kurang baik jika gizi pasca operasi tertunda secara signifikan. Kurangnya gizi untuk 10-14 hari, khususnya selama periode meningkatnya kebutuhan (demand) metabolik dengan pemulihan pasca operasi, dapat mengakibatkan komplikasi dan tingkat kematian yang lebih buruk daripada mereka yang menerima nutrisi suportif. Sejalan dengan ini, pedoman yang disediakan olehAmerican Society for Parenteral dan Nutrisi Enteral(ASPEN) merekomendasikan bahwa nutrisi suportif diberikan pada pasien tidak mampu mengambil nutrisi oral yang cukup selama 7-14 hari. organisasi medis lainnya juga telah membuat rekomendasi yang sama.(9)

Dasar dari nutrisi suportif merupakan pemberian nutrisi pada pasien yang tidak dapat melakukan intake secara per oral. Nutrisi suportif diberikan baik secara intravena menggunakan kateter vena dengan infus formula yang mengandung makronutrisi dan mikronutrisi maupun secara enteral menggunakan tube yang ditempatkan pada perut atau usus halus seperti pada pascaoperasibypassatonia gaster atau ileus usus halus dalam periode praoperatif maupun postoperatif. Meskipun tekhnik pemberian makanan intragastik telah diketahui selama ratusan tahun, namun nutrisi parenteral terbilang relatif baru, memiliki dasar tekhnik yang tinggi, dan maju pesat sejak tahun 1970-an. Tujuan dari nutrisi suportif ialah untuk mencegah perburukan status nutrisi, untuk memperbaiki keadaan klinis, dan sebagai terapi adjuntive, yang mungkin terjadi pada pasien malnutrisi.

Asupan gizi yang baik penting pada pasien dengan luka/pasca operasi merupakan pondasi untuk proses penyembuhan luka yang lebih cepat. Nutrisi yang baik akan memfasilitasi peyembuhan, dan menghambat atau bahkan menghindari keadaan malnutrisi (Williams dan Leaper 2000). Dukungan nutrisi sangat penting bagi perawatan pasien sehingga dibutuhkan pengaturan makanan selama masa penyembuhan luka. Penyembuhan luka sendiri tidak terjadi secara instan. Penyembuhan merupakan proses kompleks yang melibatkan sel-sel darah, jaringan ikat, sitokin, dan growth factor.2 Komponen-komponen tersebut memerlukan beberapa mediator dan zat-zat tertentu agar berjalan optimal, dan sebagian besar diantaranya dipenuhi dari luar tubuh. Kekurangan asupan beberapa zat dapat memengaruhi penyembuhan luka secara keseluruhan.Pada prinsipnya, pengaturan makanan / diet pada pasien dengan luka / pasca operasi adalah karbohidrat (50 s/d 60 % total kal), protein ( 20 s/d 25 % total kal), lemak (20 s/d 25% total kalori) vitamin dan mineral.

Kerja nutrisi dalam penyembuhan luka adalah sebagai berikut :1. Karbohidrat

Sebagai bagian dari proses penyembuhan tubuh memasuki fase hipermetabolik, di mana ada peningkatan permintaan untuk karbohidrat. Aktivitas selular didorong oleh adenosin trifosfat (ATP) yang berasal dari glukosa, menyediakan energi untuk respon inflamasi terjadi. Oleh karena itu, dalam rangka untuk memperbaiki hipoalbuminemia, karbohidrat diperlukan serta protein. jika intake karbohidrat berkurang maka tubuh akan memecah protein untuk dijadikan kalori.jika ini terjadi maka akan mengganggu fungsi utama protein sebagai pembentuk jaringan baru pada luka

2. Protein

Protein dan asam amino yang terdapat di dalam whey protein adalah dasar untuk membentuk kulit baru dan memperbaiki sel yang rusak.

Whey protein terdiri dari empat pecahan protein mayor dan enam pecahan protein minor. Empat pecahan protein mayor tersebut adalah beta-lactoglobulin, alpha-lactalbumin, bovine serum albumin dan immunoglobulin. Masing-masing dari keempat pecahan protein tersebut mempunyai efek pencegah penyakit yang sangat penting bagi tubuh manusia. Karena itulah, whey protein sering diproduksi sebagai suplemen untuk memacu pertumbuhan otot dan mempercepat proses penyembuhan. Albumin, Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma, sekitar 60% dari total plasma protein, dengan nilai normal 3,5 5,5 g/dl Hipoalbumin sering dijumpai pada pasien dengan pra bedah, masa recovery atau pemulihan setelah tindakan operasi ataupun dalam proses penyembuhanSumber bahan makanan: keju, dan jenis-jenis kacang, putih telur, ikan gabus

3. Lemak

Sebagai pelarut vitamin (A,D,E danK), sebagai pembentuk struktur membran sel dan fungsi ( sintesis sel baru). Di jumpai dalam asam lemak esensial (ALE) yaitu Linolenac dan linoleac ( omega 3 dan omega 6)

Sumber makanan: sunflower oil, zaitun , canola oil, alpukat, ikan perairan dalam : tuna, bass, dll; ikan perairan dingin: salmon

4. Vitamin

Beberapa macam vitamin :

Vitamin A juga terlibat dalam silang kolagen dan proliferasi sel epitel.

B-Kompleks vitamin adalah co-faktor atau co-enzim dalam berbagai fungsi metabolisme yang terlibat dalam penyembuhan luka, terutama dalam rilis energi dari karbohidrat.

Vitamin C memiliki peran penting dalam sintesis kolagen, dalam pembentukan ikatan antara helai serat kolagen, membantu memberikan kekuatan ekstra dan stabilitas. Ada banyak bukti yang menunjukkan meningkatnya kebutuhan untuk vitamin C selama cedera, stres dan sepsis, tetapi tidak ada bukti bahwa dosis mega meningkatkan hasil klinis (Gray dan Cooper 2001). Vitamin E. Berperan sebagai antioksidan di lapisan kulit (terlarut dalam lemak).

Bromelain. Mengurangi edema, kemerahan, nyeri, dan waktu penyembuhan akibat trauma dan proses operasi. (catatan: hanya digunakan setelah operasi)

Glukosamin. Membantu pembentukan asam hialuronik pada luka. Asam hialuronik sendiri berfungsi meningkatkan viskositas cairan sel dan membantu mempertahankan keseimbangan jaringan. Vitamin K adalah terlibat dalam pembentukan trombin,5. MineralSeng/zinc dibutuhkan untuk sintesis protein dan juga merupakan co-faktor dalam reaksi enzimatik. Ada peningkatan permintaan untuk seng selama proliferasi sel dan sekresi protein. Seng juga memiliki efek penghambatan pada pertumbuhan bakteri, dan terlibat dalam respon imun

Sumber makanan: daging merah(sapi,kambing) ikan dan hasil laut, kacang-kacangan, susu

Zat Besi/Fe adalah co-faktor dalam sintesis kolagen, jika terjadi defisiensi fe maka berpengaruh terhadap penundaan penyembuhan luka. Tembaga juga terlibat dalam sintesis kolagen.

Sumber makanan : ikan dan hasil laut, daging merah, kacang, telur ( dalam penyerapan nya

Gambar 1. Pengaruh nutrisi dalam penyembuhan lukaPenanganan luka yang tidak baik juga berpengaruh terhadap penyembuhan luka itu sendiri. Pada luka terbuka yang cukup besar, kelembapan adalah faktor penting dalam penyembuhan, karena kondisi luka yang lembab sangat kondusif untuk pertumbuhan mikroorganisme, ditambah nutrisi yang diperoleh dari luka tersebut. Pemberian zat-zat yang tidak dikenal secara klinis sebenarnya juga berpotensi untuk membuat penyembuhan luka menjadi lebih buruk. Penanganan luka yang tidak steril telah menjadi catatan tersendiri selama berabad-abad hingga penemuan antiseptik. Lokasi terjadinya luka juga memberi pengaruh pada penyembuhan luka, karena ketebalan kulit, kontraksi luka, dan fisiologis kulit berbeda untuk setiap bagian kulit.Jika luka terjadi pada daerah epidermis kulit, luka dapat disembuhkan hanya dengan re-epitelisasi dan tidak terjadi jaringan parut. Hal ini dikenal sebagai primary healing. Namun, jika luka terjadi jauh hingga ke dalam dermis, inflamasi akut (dan tidak menutup kemungkinan untuk menjadi kronis) akan terjadi dan menyebabkan nekrosis dan pembentukan scar. Akibatnya, penyembuhan menjadi lebih lama karena kolagen tersebut harus diurai agar sel-sel dermis dan epidermis memiliki ruang untuk tumbuh dan menjalankan fungsinya. Hal ini dikenal sebagai secondary healing. Kulit tipis lebih rentan terhadap luka karena lapisan epidermisnya yang tipis tidak mampu menahan stress lingkungan berlebihan.Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa tahap, yakni hemostasis, inflamasi, perbaikan, dan remodeling. Setiap tahapan tidak selalu terjadi tumpang tindih; tahapan sebelumnya harus terjadi agar tahapan selanjutnya bisa berjalan. Sifat, kondisi jaringan, dan partisipasinya dalam tingkat seluler terhadap reaksi imunitas akan memengaruhi hasil perbaikan, tergantung pada daerah dan tipe jaringannya.

Sebenarnya, inflamasi sangat penting dalam penyembuhan luka. Saat inflamasi terjadi, sebagian besar agen-agen patologis akan dimusnahkan sebelum menimbulkan dampak yang lebih buruk. Beberapa peristiwa terjadi ketika inflamasi, seperti dilatasi kapiler, fagositosis mikroorganisme patogen, dan lainnya. Sayangnya, proses regenerasi tidak akan dimulai sebelum fase inflamasi selesai. Umumnya, inflamasi berlangsung kurang dari beberapa jam untuk luka-luka kecil dan meningkat seiring bertambahnya ukuran luka.

Pada beberapa kasus, luka berukuran cukup besar sehingga neutrofil baru memasuki jaringan yang rusak setelah 24 jam. Akhirnya, proses inflamasi berlangsung lebih lama dan berujung pada bertambahnya waktu penyembuhan luka. Keadaan ini bisa diperburuk dengan berkembangnya mikroorganisme patogen saat sel-sel neutrofil belum tersedia dalam jumlah memadai yang mengakibatkan semakin lamanya proses inflamasi. Inflamasi juga berkaitan erat dengan sistem imunitas tubuh, dan hal ini menerangkan mengapa pasien dengan kondisi imunosupresan lebih sulit untuk mendapati lukanya sembuh dibanding orang lain. Beberapa keadaan khusus, seperti diabetes mellitus, juga memperburuk penyembuhan luka.Inflamasi yang terlalu lama bukan hanya memperlama proses penyembuhan luka, tetapi juga memperberat penyembuhannya. Inflamasi kronis sering dikaitkan dengan nekrosis akibat pelepasan enzim-enzim lisomatik untuk menghancurkan mikroorganisme patogen. Akibatnya, fibroblast akan mengisi daerah nekrosis itu dengan kolagen dan membebani tubuh untuk menguraikannya walaupun hanya bersifat sementara.

Sebenarnya, penyembuhan luka telah lama menjadi fokus penelitian, karena fungsinya yang lebih dari organ-organ biasa: estetika. Penanganan yang salah akan menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan dan secara langsung akan memengaruhi psikologis individu yang bersangkutan. Banyak teknik-teknik operasi dan perawatan luka yang terus disempurnakan dan membawa harapan yang lebih baik dalam penanganan luka di masa yang akan datang. MalnutrisiMalnutrisi berat mempengaruhi morbiditas karena terganggunya penyembuhan luka dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Namun, malnutrisi protein-kalori yang ringan tidak banyak memengaruhi hasil operasi. Berbeda dengan malnutrisi akibat kelaparan, pada penderita bedah terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan malnutrisi. Dua faktor utama adalah kurangnya asupan makanan dan proses radang yang mengakibatkan katabolisme meningkat dan anabolisme menurun. Keadaan ini dapat langsung tampak pada penurunan kadar serum albumin dan hipotrofi otot.(8),(9)Asupan nutrisi yang faali adalah melalui makanan dan minuman. Ini dapat berupa diet yang dapat diberikan secara oral, melalui sonde hidung, atau secara intravena.(8)Diet juga dibedakan atas diet biasa dan diet khusus, misalnya pada penderita diabetes. Penderita kolelitiasis juga memerlukan diet khusus yang kurang mengandung lemak. Contoh lain adalah diet tinggi serat untuk penderita obstipasi dan diet rendah kalori untuk penderita obesitas. Diet khusus kalori dan protein telur tinggi dibutuhkan oleh penderita malnutrisi kronik yang mampu makan secara normal. (8)Makanan biasa yang dicairkan diberikan kepada penderita dengan obstruksi esofagus atau pada orang yang tidak dapat mengunyah, seperti pada patah tulang rahang. (8)Kadang penderita begitu lemah dan mengalami anoreksia, atau terdapat gangguan mekanik dan obstruksi saluran cerna yang mengakibatkan proses faali itu tak dapat berlangsung. Fungsi saluran cerna bisa sangat terganggu sehingga proses pencernaan dan penyerapan sedemikian terganggu dan kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi. Keadaan ini disebut kegagalan intestinal. Keadaan ini terdapat pada sindrom usus pendek akibat reseksi sebagian besar ileum dan yeyunum, fistel usus, gangguan motilitas usus misalnya pada paralisis usus dan pada peradangan usus yang luas seperti pada penyakit Crohn dan kolitis ulserosa. Pada kasus khusus dan sulit ini diperlukan tambahan nutrisi secara enteral atau parenteral. (8) Perubahan Pada Pasien Bedah1) Perubahan Fisiologis Pada Pasien BedahTelah dibuktikan bahwa permeabiltas usus meningkat 2 (dua) sampai 4 (empat) kali pada periode segera pascaoperasi, dan normalnya berlangsung selama 5 hari. Akhir-akhir ini kurangnya nutrisi berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dan menurunnya tinggi dari villus. Penemuan ini mengarah ke investigasi dari penatalaksanaan yang bertujuan menjaga barrier mukosa yang intak. Meningkatnya permeabilitas usus mengindikasikan kegagalan dari fungsi barrier usus untuk mengeluarkan bakteri dan toksin endogen. Hal ini menjadi salah satu agen penyebab dalam systemic inflammatory response syndrome, sepsis dan gagal organ multipel. Meskipun, terdapat kegagalan untuk menunjukan bahwa terdapat korelasi antara rusaknya fungsi barrier usus dan komplikasi sepsis setelah kegagalan gastrointestinal bagian atas.(6)2) Perubahan Metabolik Pada Pasien BedahTubuh memproduksi respon khas terhadap luka karena trauma, operasi elektif, atau inflamasi. Semakin ringan cedera, responnya akan semakin tumpul dan cepat hilang, sedangkan semakin besar luka yang didapat, maka respon yang muncul akan semakin lama dan parah khususnya jika komplikasinya muncul. Respon tersebut akan meningkatkan tingkat metabolisme, sekresi glukokortikoid dan katekolamin, produksi sitokin proinflamasi, dan retensi cairan. Retensi cairan dan output urin yang rendah disebabkan bertambahnya sekresi vasopresin dan mineralokortikoid sebagaimana meningkatnya edema usus disebabkan meningkatnya permeabilitas. Pemulihan pascaoperasi tanpa komplikasi mempunyai hasil diuresis cairan ini pada hari ketiga dan keempat pascaoperasi sejalan dengan menurunnya respon endokrin. Hiperglikemia terjadi disebabkan oleh supresi katekolamin dari sekresi insulin oleh pankreas (efek sentral) dan inhibisi uptake glukosa oleh jaringan perifer dalam responnya terhadap kadar sirkulasi insulin (efek perifer). (5),(6)Setiap respon tersebut memiliki manfaat yang khusus seperti retensi garam dan air yaitu untuk menjaga volume darah, meningkatnya produksi glukosa hepar yaitu untuk menyediakan "tenaga" yang cukup, dan mobilisasi dari asam amino untuk glukoneogenesis, produksi protein hepar, proliferasi fibroblas, dan regulasi imunologi. Perubahan kecepatan katabolisme protein, khususnya pretein otot. Katekolamin menstimulasi glikogenolisis dan glukoneogenesis hepar. Kortisol merangsang glikogenolisis, glukoneogenesis, dan proteolisis protein dan efek potensial katekolamin pada hepar. (5)Hormon lain disekresi sebagai respon terhadap luka. Arginine vasopresin (yang awalnya diketahui sebagai antidiuretik hormon (ADH)), meningkatkan absorpsi air dan stimulasi glikogenesis hepar dan glukoneogenesis. Kadar glukagon meningkatkan glikolisis, lipolisis, dan glukoneogenesis. Insulin like growth factor-I (IGF-I) dan Growth Hormone (GH) menurun, dan hal ini menginduksi ketidakseimbangan dalam regulasi hormon mengarah penurunan hormon anabolik dan percepatan kehilangan jaringan. (5)Respon stress berbeda dengan kelaparan tanpa luka. Kelaparan mengurangi pengeluaran energi dan meningkatkan lipogenesis dan produksi keton bodies. Namun tidak berkembang menjadi respon protein fase akut. Stress meningkatkan pengeluaran energi, mempercepat produksi protein hepar, merangsang respon protein fase akut, dan mempercepat proteolisis tanpa produksi keton bodies. Asam lemak, keton bodies, dan gliserol merupakan substrat energi utama dalam kelaparan dan terjadi pada 95% kebutuhan awal. Dalam keadaan stres, asam amino merupakan sumber yang penting dari produksi glukosa melalui glukoneogenesis hepar. Protein menyediakan 15-20 % energi, padahal lemak menyediakan energi sampai 80-85%. (5)Kondisi hipermetabolik yang lebih lama dapat berhubungan dengan keseimbangan nitrogen yang negatif yang muncul kemudian. Tingkat metabolik biasanya meningkat sekitar 10% pasca operasi. Jika dukungan gizi yang memadai tidak ada pada tahap ini akan terjadi proteolisis dari otot rangka yang berlebihan dan terjadi depresi metabolisme yang lebih lanjut. Peningkatan pengeluaran energi dikaitkan dengan berbagai tanggapan hormonal yang terjadi sebagai akibat dari trauma bedah. Sitokin, termasuk Tumor Necrotizing Factor (TNF) dan interleukin (IL-1 dan IL-6) memiliki peran penting dalam menentukan perubahan metabolik jangka panjang. Perubahan ini tidak relevan secara klinis, kecuali terjadinya sepsis pasca bedah atau trauma setelah operasi tetapi dalam hubungannya dengan kelaparan preoperatif sering mengakibatkan keseimbangan nitrogen negatif secara signifikan. (6)3) Peran Usus Dalam Pertahanan TubuhSebagian besar konsensus menyatakan bahwa nutrisi harus diberikan melalui saluran gastrointestinal daripada parenteral bila memungkinkan. Konsensus ini dihasilkan dari berbagai percobaan klinis prospektif acak pada pasien trauma dan pasien bedah umum. Hasil eksperimental yang signifikan telah mendokumentasikan bahwa terjadi perubahan dalam histologi pencernaan serta imunitas mukosa ketika saluran pencernaan tidak diberikan makanan. (5)Perlindungan sistemik dan intraperitoneal juga dipengaruhi oleh rute pemberian gizi. Nutrisi enteral akan mengurangi kematian bakteri intraperitoneal dibandingkan dengan hewan yang diberi makan diet parenteral isonitrogen dan isokalorik. Studi-studi awal telah dikonfirmasi oleh Lin dan rekan-rekannya, yang menunjukkan bahwa makanan enteral pada tikus menghasilkan peningkatan TNF intraperitoneal dan inhibisi proliferasi bakteri. Hal ini menghasilkan respon sistemik TNF yang tumpul terhadap sepsis intraperitoneal. Temuan ini telah dikonfirmasi oleh Fong dan rekan pada subyek manusia. Ketika nutrisi parenteral diberikan secara infus maka sebenarnya diberikan pula endotoksin, respon TNF ditingkatkan pada individu yang diberikan nutrisi secara parenteral dibandingkan dengan mereka yang makan secara enteral. Sehingga pada beberapa aspek, rute pemberian nutrisi secara enteral lebih tetap disukai.(5)4) Kebutuhan NutrisiTujuan utama dari nutrisi suportif adalah untuk memenuhi kebutuhan energi untuk proses metabolisme, pemeliharaan suhu basal, dan perbaikan jaringan. Kegagalan untuk menyediakan sumber energi nonprotein yang memadai akan menyebabkan penggunaan cadangan jaringan tubuh. Kebutuhan untuk energi dapat diukur dengan kalorimetri secara langsung atau diperkirakan dari ekskresi nitrogen urin, yang sebanding dengan pengeluaran energi selama istirahat. Namun, penggunaan kalorimetri secara tidak langsung, terutama pada pasien yang sakit kritis, sering mengarah kepada perhitungan yang terlalu tinggi dari kebutuhan kalori. (1)Untuk menentukan kebutuhan kalori harus diketahui metabolisme basal, sedangkan untuk menentukan basal energy expenditure (BEE) ini digunakan suatu rumus Harris-Benedict. (1),(5),(8)Rumus : (1),(5),(8)BEE (Laki-laki) = 66,47 + 13,75 (Berat badan/Kg) + 5,0 (Tinggi Badan/Cm) - 6,76 (Usia/tahun) Kkal/hariBEE (Perempuan) = 655,1 + 9,56 (Berat badan/Kg) + 1,85 (Tinggi badan/Cm) - 4,68 (Usia/tahun) Kkal/hariPersamaan ini, disesuaikan dengan jenis stres bedah, yang cocok untuk memperkirakan kebutuhan energi pada lebih dari 80% pasien rawat inap. Telah terbukti bahwa penyediaan 30 kkal / kg per hari akan cukup memenuhi kebutuhan energi pada sebagian besar pasien pascaoperasi, dengan risiko rendah kelebihan makan. Pada trauma atau sepsis, kebutuhan substrat energi meningkat, memerlukan kalori yang lebih besar melebihi pengeluaran energi nonprotein yang dihitung (Tabel 2.1). Kebutuhan tambahan kalori nonprotein ini diberikan setelah luka biasanya 1,2-2,0 kali lebih besar daripada resting energy expenditure (REE) yang dihitung, tergantung pada jenis cedera.(1)Untuk mengoreksi katabolisme yang tinggi seperti yang terjadi pascatrauma, pascabedah, pada infeksi atau sepsis, harus ditambahkan 50% atau lebih dari BEE, tetapi jangan melebihi 150% BEE. (8)KondisiKkal/kg per dayPerhitungan di atas BEEGram Protein/kg per dayKalori non protein: Nitrogen

Normal/moderate malnutrition25301.11150:1

Mild stress25301.21.2150:1Top of Form

Moderate stress301.41.5120:1

Severe stress30351.6290120:1

Burns354022.590100:1Bottom of Form

Tabel 2.1 Penyesuaian kalori di atas Pengeluaran Energi Basal (BEE) pada kondisi hipermetabolik. (1)Tujuan kedua dari nutrisi suportif adalah untuk memenuhi kebutuhan substrat untuk sintesis protein. Kalori nonprotein yang sesuai: rasio nitrogen 150:1 (misalnya, 1 g N = 6,25 g protein), harus dipertahankan, yang merupakan kebutuhan kalori basal yang diberikan untuk mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Sekarang terdapat bukti yang lebih besar yang menunjukkan bahwa asupan protein meningkat, dan kalori lebih rendah: nitrogen rasio 80:1 untuk 100:1, yang mungkin memiliki manfaat penyembuhan pada pasien dengan hipermetabolik dan sakit kritis. Dengan tidak adanya disfungsi ginjal atau gangguan hati yang berat dapat dugunakan rejimen gizi standar, sekitar 0,25-0,35 g nitrogen per kilogram berat badan harus disediakan setiap hari. (1)Kebutuhan kalori harus dirinci. Karbohidrat sebagai sumber kalori diberikan tidak lebih dari 6 g/kgBB/hari, bila berlebihan, terjadi hipermetabolisme. Oleh karena pembatasan penggunaan karbohidrat seperti di atas, lemak digunakan juga sebagai sumber kalori, sekaligus sebagai sumber asam lemak esensial. (8)Penderita dengan katabolisme berat, seperti trauma ganda dan luka bakar, memerlukan nutrisi tinggi protein dan asam amino untuk mengatasi keseimbangan nitrogen yang negatif. Umumnya diperlukan 1,2-1,5 g protein/kgBB/hari. (8) Elektrolit dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan asam basa, juga untuk metabolisme sel. Unsur Na+, K+, Mg+, Ca+, P+, Cl- sama pentingnya seperti protein dan kalori dalam proses penggantian sel yang rusak. Vitamin dan unsur runut {trace element) juga esensial untuk proses metabolisme. Dosis tinggi vitamin tertentu, seperti vitamin C atau vitamin E, memainkan peranan penting dalam pertahanan tubuh sebagai antioksidan. Konsentrasi plasma vitamin C dan E telah ditunjukkan dapat mengurangi pasien sakit berat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dibandingkan dengan sukarelawan yang sehat. (5),(8)Kebutuhan nutrisi dlperkirakan atas dasar kondisi klinis pasien. Penentuan status metabolik yang lebih tepat dapat didasarkan pada keselmbangan nitrogen. (8)5) Kelebihan Pemberian Nutrisi (Overfeeding)Kelebihan memberikan nutrisi biasanya disebabkan oleh kelebihan perhitungan kebutuhan kalori yang terlalu tinggi, seperti yang terjadi ketika berat badan aktual digunakan untuk menghitung BEE dalam populasi pasien seperti pasien yang sakit kritis dengan cairan overload yang signifikan dan gemuk. Kalorimetri langsung dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan energi, tetapi sering melebihi BEE dari 10% hingga 15% pada pasien stres, terutama jika pasien sedang menggunakan ventilator. Dalam hal ini, berat kering (dry weight) yang diperkirakan harus diperoleh dari anggota keluarga atau anamnesis sebelum cedera. Secara klinis, peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan produksi CO2, lemak hati, penekanan fungsi leukosit, dan meningkatkan risiko infeksi semuanya telah didokumentasikan dengan adanya kelebihan pemberian makan (overfeeding).(1)6) Nutrisi PerioperatifBanyak penelitian meneliti nutrisi suportif preoperatif dan postoperatif, meskipun hasilnya terdapat banyak konflik. Masalah utama dari data-data tersebut ialah pengambilan pasien yang tidak mempunyai resiko terhadap komplikasi yang berkaitan dengan nutrisi. Terutama ketika nutrisi perenteral pada lengan dimasukkan, hasil sering menunjukkan peningkatan komplikasi septik pada pasien yang mendapatkan nutrisi parenteral yang seharusnya tidak peru mendapatkan keadaan yang penyulit seperti ini. Contoh klasik adalah Veterans Affairs Cooperive study, yang secara acak memilih pasien pra operasi bedah untuk diberikan nutrisi parenteral selama 7 sampai 15 hari sebelum operasi atau untuk kelompok kontrol dengan akses gratis untuk diet. Jumlah nutrisi parenteral yang diberikan dalam studi melebihi rekomendasi saat ini, dan ini memperburuk efek negatif. Secara keseluruhan, saat itu terjadi pengurangan komplikasi penyembuhan (luka terbuka, anastomosis luka yang tidak adekuat, pembentukan fistula) pada kelompok nutrisi parenteral, tetapi terjadi peningkatan komplikasi infeksi secara signifikan, terutama pneumonia. Setelah stratifikasi disesuaikan dengan tingkat gizi buruk yang sudah ada sebelumnya, sangat jelas manfaat nutrisi parenteral pada pasien gizi buruk, dengan pengurangan yang signifikan dalam penyembuhan komplikasi dan tidak ada kenaikan (dan penurunan beberapa) pada komplikasi infeksi. Dalam percobaan gizi perioperatif, hampir semua percobaan dengan hasil negatif atau efek negatif dari gizi terjadi pada sebagian besar pasien dengan gizi yang baik. Namun, percobaan yang menyertakan sejumlah besar pasien malnutrisi menunjukkan manfaat yang signifikan dengan nutrisi perioperatif. Orang bisa menyimpulkan bahwa pasien dengan gizi yang baik-yang teridentifikasi setelah anamnesis riwayat dan pemeriksaan fisik-tidak mungkin untuk mendapatkan manfaat preoperatif baik menggunakan nutrisi parenteral meupun makanan enteral. Namun, jika pasien memiliki defisiensi gizi yang sudah ada sebelumnya, terdapat data-data yang mendukung penggunaan nutrisi suportif di awal sebelum operasi dan/atau periode pasca operasi.(5)7) Monitoring Terapi Nutrisi SuportifStatus cairan harus dievaluasi setiap hari pada pasien sakit kritis. Formulasi nutrisi parenteral harus terkonsentrasi dan natrium harus dikurangi saat berat badan pasien tiba-tiba meningkat 1-2 kg dalam 24 jam. Laboratorium untuk pengukuran glukosa, natrium, kalium, status asam-basa, dan fungsi ginjal harus dilakukan setiap hari, sedangkan pengukuran untuk kalsium, fosfor, dan magnesium harus dilakukan setidaknya tiga kali seminggu. Konsentrasi trigliserida, tes fungsi hati, hitung darah lengkap dengan diferensial, waktu prothrombin, dan waktu tromboplastin harus dinilai mingguan selama fase akut cedera pada populasi pasien ini.(5)Keseimbangan nitrogen dapat dihitung setelah pengumpulan urin 24 jam untuk volume dan urea nitrogen yang digunakan untuk menentukan beratnya katabolisme. Keseimbangan nitrogen didefinisikan sebagai perbedaan antara asupan nitrogen dan ekskresi nitrogen. Pasien yang memiliki cedera tulang belakang atau kepala berat akan tetap berada dalam keseimbangan nitrogen negatif bahkan ketika diberikan dosis protein 2 g/kg/hari disebabkan atrofi disuse. Keseimbangan nitrogen, atau keseimbangan nol nitrogen, dapat terjadi pada pasien stress, sehat sebelumnya, dan pasien bedah yang muda.(5),(14). Konsentrasi protein serum dapat digunakan sebagai ukuran status gizi karena kenaikan konsentrasi protein tertentu dapat mencerminkan terjadinya anabolisme protein. Konsentrasi serum albumin merupakan penanda protein yang paling umum digunakan untuk menilai status gizi. Namun, albumin merupakan penanda yang buruk untuk menilai status gizi pada pasien sakit kritis karena konsentrasinya cepat menurun jika terjadi stres atau luka akibat redistribusi dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial, dan karena waktu paruh hidupnya yang panjang (C Reactive Protein (CRP) dapat dipertimbangkan karena protein ini merupakan protein serum jangka pendek. CRP diakui sebagai protein fase akut yang positif, dan sintesisnya meningkat selama inflamasi dan stres. Jika terjadi peningkatan konsentrasi CRP dan serum prealbumin tiba-tiba menurun, ini mungkin menandakan adanya suatu kondisi inflamasi yang mendasari daripada terjadinya penurunan status gizi. Namun, gabungan prealbumin rendah dan konsentrasi CRP dapat mencerminkan kalori atau protein yang tersedia tidak memadai. Hal-hal ini merupakan prinsip-prinsip dasar yang bisa digunakan untuk membantu klinisi dalam membuat penyesuaian yang diperlukan dalam membuat rejimen gizi pasien. (5),(14)8) ImmunonutrisiSelain penelitian yang sedang berlangsung memastikan manfaat spesifik dari rute pemberian untuk nutrisi suportif, penelitian terbaru juga difokuskan pada komposisi rejimen gizi. Secara khusus, banyak perhatian telah dibayarkan kepada potensi nutrisi khusus yang dapat mempengaruhi respons metabolik terhadap penyakit. Salah satu hal yang kontroversi atas pemberian nutrisi suportif dalam beberapa tahun terakhir ialah nutrisi yang memodulasi kekebalan (imunonutrisi), termasuk glutamin, arginin, omega-3 asam lemak, dan nukleotida. Sejumlah percobaan telah dilakukan untuk menilai dampak dari produk yang mengandung bahan-bahan tersebut pada pasien. Namun, banyak dari percobaan telah dikritik cacat desain, dan hasilnya masih menjadi konflik. Glutamin adalah asam amino bebas terbanyak yang terdapat dalam kompartemen ekstra dan intraseluler. Hal ini memainkan peran penting dalam transportasi nitrogen dan homeostasis asam basa dan merupakan bahan bakar untuk mempercepat pembelahan diri sel-sel seperti enterosit, limfosit dan fibroblast. Glutamin juga terlibat dalam mekanisme pertahanan antioksidan dengan mempengaruhi sintesis glutathione. Dalam situasi stres berat atau penurunan gizi, permintaan glutamin dapat melebihi kapasitas tubuh untuk mensintesisnya. Studi telah mengeksplorasi manfaat rejimen nutrisi parenteral yang diperkaya glutamin, terutama pada usus dan sistem kekebalan tubuh. Telah terbukti bahwa penambahan glutamin untuk rejimen nutrisi parenteral yang diberikan kepada pasien setelah operasi elektif perut menghasilkan pengurangan panjang lama waktu rawat inap di rumah sakit dan mengurangi biayanya. Hal ini juga disertai dengan perbaikan keseimbangan nitrogen dan pemulihan limfosit yang lebih cepat. Glutamin juga telah ditunjukkan untuk mempertahankan permeabilitas usus pada pasien pasca operasi. Seperti halnya glutamin, arginin adalah asam amino nonesensial yang penting dalam kondisi stres metabolik. Asam amino ini, salah satu yang tertinggi dalam nitrogen, telah dikaitkan dengan perbaikan keseimbangan nitrogen dan penyembuhan luka. Arginine diyakini meningkatkan imunitas melalui promosi makrofag dan sitotoksisitas natural killer tumor, serta proliferasi dan aktivasi sel T. Selain itu, arginin merupakan prekursor untuk nitrat oksida, yang terlibat dalam pengaturan irama vaskular dan fungsi kekebalan tubuh. Ciri-ciri ini telah membuat potensi arginin menarik untuk digunakan pada pasien bedah.(3),(13)GlutamineArginine

1. Meningkatkan kapasitas absorpsi usus setelah reseksi usus2. Mengurangi permeabilitas usus3. Resolusi dini eksperimental pankreatitis 4. Menjaga keseimbangan nitrogen5. Meningkatkan regenerasi hati setelah hepatektomi6. Mengembalikan fungsi imunoglobulin mukosa7. Meningkatkan clearance pada peritonitis bakteri8. Melindungi viabilitas enterosit pascaradiasi9. Mengembalikan tingkat glutathione intraselular10. Memfasilitasi sensitivitas tumor terhadap kemoterapi dan terapi radiasi11. Meningkatkan fungsi natural killer dan lymphokine-activated killer cell1. Meminimalkan iskemia / reperfusi cedera hati 2. Mengurangi translokasi bakteri usus3. Meningkatkan fungsi natural killer dan lymphokine-activated killer cell4. Meningkatkan retensi nitrogen dan sintesis protein

Tabel 2.4 Manfaat eksperimental suplemen Glutamine dan Arginine.Dua asam amino, alanin dan glutamin, adalah karier untuk pertukaran nitrogen pada organ. Ini dapat dijelaskan dari gambar 2.2.Gambar 2.2 Siklus otot-usus-hati-alanin-glutamin-glukosa. Secara keseluruhan skema dari respon metabolik terhadap penyakit. Skema ini meliputi hubungan metabolisme antara organ. Fitur ini sampai sekarang masih belum jelas namun saat ini mendapatkan perhatian lebih. Salah satu artikel adalah bahwa tanggapan tersebut terjadi sebagai respon terhadap cedera dan secara teleologis benar dan menguntungkan. Dengan demikian, luka membutuhkan glukosa, bisa glutamin, dan juga arginin yang berhubungan dengan elemen selular tertentu. Gerakan asam amino dari perifer (otot) menuju hati mungkin mengakibatkan sekresi protein fase akut, yang memiliki tujuan, pada gilirannya, adalah untuk melawan infeksi. Glutamin dikeluarkan otot yang sebagai energi yang berguna untuk banyak sel. Glutamin diambil ginjal untuk menjadi prekursor untuk membentuk amoniak. Usus halus dapat mengambil dan mematabolisme glutamin, yang kemudian akan mengeluarkan sejumlah alanin. Hepar kemudian menggunakan alanin yang dilepaskan untuk memproduksi glukosa. Proses yang kompleks ini memainkan peran penting dalam glukoneogenesis dan mengubahnya menjadi glutamin di otot. Asam lemak omega-3, terutama yang berasal dari minyak ikan, bersaing dengan asam lemak lainnya untuk digunakan ke dalam membran sel. Berbeda dengan asam lemak omega-6 yang biasanya disediakan sebagai lipid intravena, asam lemak ini menimbulkan antiinflamasi, dan anti-trombotik. Di antara percobaan terbatas yang mengevaluasi asam lemak omega-3 dan pengaruh mereka pada hasil pasien, percobaan kontrol acak baru-baru ini menilai dampaknya terhadap pasien pasca operasi dengan hasil memanjangnya waktu pembedahan perut. Dua puluh empat pasien gizi baik yang diterima baik infus 10 g minyak ikan (Omegaven, Fresenius AG, Bad Homburg, Jerman) maupun tanpa infus minyak ikan pada hari 1-5 perioperatif. Kedua kelompok menerima nutrisi suportif yang sama pada hari ke-4 dan 5. Tidak ada perbedaan yang signifikan yang khas pada kedua kelompok. Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan tingkat infeksi pascaoperasi yang lebih rendah dan lama tinggal di rumah sakit yang lebih pendek untuk pasien yang makan asam lemak omega-3. Nukleotida adalah unit dari struktur DNA dan RNA. Meskipun diketahui memiliki efek potensial meningkatkan imunitas yang berkaitan dengan natural killer cells dan limfosit T, ada penelitian manusia telah menunjukkan efek yang menguntungkan dari suplementasi nukleotida. Imunonutrisi dapat meningkatkan perbaikan hasil pada pasien bedah elektif tapi berpotensi merugikan pada pasien sakit kritis. Hal ini didukung oleh penelitian kontrol acak baru-baru ini yang menunjukkan bahwa pasien sepsis yang diberi nutrisi enteral untuk meningkatkan imunitas terjadi kematian lebih besar daripada yang didapat oleh nutrisi parenteral. Produk ini sebaiknya tidak direkomendasikan secara rutin untuk semua pasien pascaoperasi, sampai penelitian lebih lanjut menjelaskan bahwa pasien dapat mengambil manfaat dari nutrisi suportif yang memodulasi imunitas.