tuan guru versus wahabi di lombok

30
MUKADIMAH Studi-studi sosial di pulau Lombok tentang Tuan Guru menunjukkan bahwa Tuan Guru sebagai pemimpin Islam memegang peranan penting dalam menentukan dan mencegah pudarnya jati diri dan kultural agama yang dianut dan dipegang oleh masyarakat. Atmosfir budaya maupun pengetahuan yang dianggap tidak sejalan dengan nilai- nilai Islam yang dapat menerbitkan rasa tidak aman serta mengancam jati diri masyarakat sebagai muslim yang taat, menjadi alasan masyarakat memelihara hubungan dengan Tuan Guru. (Budiwanti, 2000) Tuan Guru adalah assigned status dimana predikat ini oleh masyarakat Lombok diberikan kepada mereka yang menguasai dan mengajarkan ilmu dan tata nilai agama. Merujuk pada kata “Tuan” dan “Guru” adalah sebutan kelas sosial yang berada pada lapis tertinggi dalam struktur

Upload: bimtihan

Post on 19-Jun-2015

784 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

Tuan Guru adalah assigned status dimana predikat inioleh masyarakat Lombok diberikan kepada mereka yangmenguasai dan mengajarkan ilmu dan tata nilai agama

TRANSCRIPT

Page 1: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

MUKADIMAH

Studi-studi sosial di pulau Lombok tentang Tuan Guru menunjukkan bahwa Tuan Guru sebagai pemimpin Islam memegang peranan penting dalam menentukan dan mencegah pudarnya jati diri dan kultural agama yang dianut dan dipegang oleh masyarakat. Atmosfir budaya maupunpengetahuan yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam yang dapat menerbitkan rasa tidak aman serta mengancam jati diri masyarakat sebagai muslim yang taat, menjadi alasan masyarakat memelihara hubungan dengan Tuan Guru. (Budiwanti, 2000)

Tuan Guru adalah assigned status dimana predikat ini oleh masyarakat Lombok diberikan kepada mereka yang menguasai dan mengajarkan ilmu dan tata nilai agama. Merujuk pada kata “Tuan” dan “Guru” adalah sebutan kelas sosial yang berada pada lapis tertinggi dalam struktur

Page 2: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

2 | Pendahuluan

masyarakatnya. Hal ini menunjukkan terjadinya pelapisan sosial yang bertumpuk dalam matra stigmatik yang diciptakan oleh sistem sosial. (Badrun, 2006)

Tuan memiliki makna dasar, orang yang dianggap mulia, lebih tinggi dan patut dihormati. Sebutan "tuan" dalam masyarakat Sasak juga merujuk pada orang yang telah melaksanakan ibadah haji. Sedangkan "guru" adalah sebutan bagi orang yang telah mengajarkan ilmu dan pengetahuan. Dua kata ini menyiratkan hubungan hirarkial dan dikotomis antara tuan guru dan umat (masyarakat).

Walaupun hasil riset dan karya-karya yang utuh tentang Tuan Guru belum banyak dilakukan—sebagaimana Kiai di pulau Jawa1—namun menurut Badrun (2006) maksud dari sebutan tersebut dapat kita tangkap pada tulisan Martin Van Bruinessen (1994) tentang tarekat Naqsabandiyah di pulau Lombok, John R. Bertholemew (2001), dan Erni Budiwanti (2000) tentang proses beragama di Gumi Sasak.

1 Secara umum perbedaan cara perolehan status antara Kyai di Jawa dan Tuan Guru di Lombok melalui alur yang berbeda. Di Jawa perolehan status Kyai dapat melalui tiga cara yakni pertama melalui ascribed status, dimana seseorang memperoleh status dari keturunannya, kedua melalui achieved status yakni status diperoleh melalui usaha yang disengaja, dan yang ketiga adalah campuran dari kedua tersebut, yakni seseorang memperoleh status kyai selain karena faktor keturunan juga disebabkan oleh faktor kemmapuannya. Adapun status Tuan Guru di Lombok hanya dapat diperoleh melalui achieved status.

Page 3: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 3

Secara jelas dari masing-masing karya tersebut memberikan maksud yang tak jauh berbeda bahwa Tuan Guru merupakan predikat yang diberikan bagi orang yang memiliki ilmu agama (dan pernah menunaikan ibadah haji) dengan dukungan kharisma2 yang tinggi, dan menempati kelas sosial teratas, dan dihormati sebagai pewaris Nabi.

Masyarakat Sasak yang memandang penting penge-tahuan agama, memandang Tuan Guru sebagai sumber pengetahuan yang akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang terkait dengan seluruh aktifitas kehidupan yangakan membawa mereka kepada cita-cita ideal, akibatnya tuan guru menjadi legitimator yang memberikan "pencerahan" terhadap berbagai persoalan yang mereka hadapi.

2 Kharisma sangatlah determinatif dalam membuat predikat tersebut. Orang yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi, bila tidak didukung oleh kharisma yang kua t maka tidak akan disebut sebagai Tuan Guru, ia hanya berhak disebut guru atau ustad. Demikian sebaliknya orang yang hanya memiliki kharisma namun tidak memiliki pengetahuan agama akan disebut tuan, datu, ataupun raden. Dalam perjalanannya predikat sosial keagamaan tersebut telah mengalami pergeseran sensibilitas karena pengaruh perkembangan sosial. Kharisma sangat ditentukan oleh kemampuan membangun pengaruh dan mobilitas sosial. Kharisma inilah yang telah menyedot pengaruh yang demikian kuat sehingga relasi kuasa yang terbangun antara Tuan Guru dan masyarakat berada pada bingkai yang meta rasional. Masyarakat dengan sukarela akan membela dan mengikuti setiap pilihan dan langkah yang diambil oleh Tuan Guru. Lihat Badrun AM. Membongkar Misteri Politik NTB. (Yogyakarta: Genta Press, 2006), cet ke-1 h. 97

Page 4: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

4 | Pendahuluan

Peranan penting Tuan Guru juga terkait dengan kedudukan mereka sebagai elit terdidik yang mentransfer pengetahuan agama ke tengah masyarakat. Mereka akan memberikan penjelasan dan mengklarifikasi berbagaipermasalahan yang ada di tengah masyarakat, karena umumnya masyarakat Sasak menyadari keterbatasan pengetahuan mereka dalam mengakses doktrin agama secara luas.

Posisi ini memperkuat nilai tawar Tuan Guru terhadap masyarakatnya sehingga segala bentuk pendapatnya menjadi pegangan masyarakat dalam memahami perubahan, terutama perubahan dalam cara "memperlakukan" doktrin agama secara literal (rigid) maupun liberal.

Sebagai contoh, ajaran wahabi3 yang dikenal sebagai—meminjam istilah Rahmat (2006)—suatu ajaran yang

3 Hampir oleh kebanyakan masyarakat Lombok istilah wahabi tidak dikenal, mereka menyebut kelompok ini dengan salafi, namun untuklebih memudahkan penyebutan dalam buku ini akan menggunakan istilah wahabi. Paham wahabi diperkirakan masuk ke Lombok seiring kepulangan jamaah haji dari Mekah, namun (sejauh penelusuran penulis) tidak diketahi secara persis kapan paham ini muncul. Dan yang hanya bisa dilacak adalah paham ini pernah dilekatkan kepada Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid ketika ia mengganti sistem pengajaran dari sistem sorogan menjadi sistem klasikal di Pondok Pesantren Al-Mujahidin yang ia pimpin, dan di tahun 1980-an hal serupa juga menimpa Tuan Guru Musthafa Umar Abdul ‘Aziz. Namun yang akan dicermati dalam penelitian ini adalah kemajuan penetrasi paham ini setelah tahun 1993.

Page 5: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 5

berkarakter khusus4, yakni ajaran yang menggeneralisasi bid’ah pada setiap doktrin agama yang tidak dijalankan sesuai dengan maksud teks Al-Qur’an dan hadits secara harfiah, bagi kebanyakan tuan guru dipandang dapatmemunculkan embrio individualisme di tengah masya-rakat. Dengan kata lain penetrasi wahabisme di tengah masyarakat Sasak dapat mengancam harmoni sosial dalam masyarakat yang sebelumnya terpelihara dengan, serakalan, tahlilan, maulidan (mulud) dan berbagai aturan adat yang telah mengadaptasi.

Pun dalam konteks "memperlakukan" doktrin agama secara liberal seperti yang diimajisasi oleh Ulil Abshar Abdalla dengan Jaringan Islam Liberalnya (JIL), yang dalam pandangan tuan guru mereka "didaulat" sebagai penyusup yang berusaha meruntuhkan pilar-pilar agama secara internal.

Pandangan-pandangan tuan guru tersebut oleh masya-rakat Sasak dimaknai sebagai—meminjam istilah Budiwanti

4 Karakter ajaran yang khusus tersebut antara lain; pertama memerangi segala bentuk syirik, khurafat dan bid’ah. Kedua menerapkan literalisme yang ketat dan menjadikan teks sebagai satu-satunya sumber otoritas yang sah. Ketiga menampilkan permusuhan yang ekstrem terhadap intelektualisme, mistisisme, dan semua perbedaan sekte dalam Islam. Lihat M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2005), cet ke-1, h. 66

Page 6: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

6 | Pendahuluan

(2000)—atmosfir yang mengancam jati diri mereka sebagaimuslim yang taat, sekaligus menerbitkan rasa tidak aman dalam menjalankan agama.

Walau tidak tertutup kemungkinan adanya beberapa kelompok kecil di tengah masyarakat Sasak yang mampu mengakses informasi yang lebih luas dan mampu memper-timbangkan perlakuan keliteralan maupun keliberalan sebuah doktrin dengan bijaksana, namun karena mayo-ritas masyarakat Sasak cenderung memandang dan mengagungkan ketokohan, maka setiap dari mereka dapat diidentifikasi mengikuti setiap pilihan dan langkah yangdiambil oleh Tuan Guru,5 karena walau bagaimanapun legitimasinya adalah lokomotif dari gerak mereka.

Untuk itu, buku ini akan berusaha menelaah pemikiran Tuan Guru terhadap kelompok wahabi dalam pergumulan identitas sosial dilihat dari berbagai kategori pemikiran yang berkembang, dan dasar-dasar pemikiran tersebut dapat diterima oleh masyarakat Sasak.

5 Setiap pilihan dan langkah yang diambil Tuan Guru umumnya diikuti tanpa reserve oleh masyarakat Sasak, apalagi mempertimbangkan lebih jauh dimensi di luar keyakinan dan ketaatan mereka. Hal ini kemungkinan beranjak dari hadis populer “ulama sebagai pewaris Nabi” yang melahirkan keyakinan bahwa sifat-sifat Nabi melekat dalam diri Tuan Guru. Namun tidak menutup kemungkinan juga bagi sebagian masyarakat yang lain dimensi ketaatan ini lahir dari pemahaman lingkungan sosialnya.

Page 7: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 7

Pemetaan Pemikiran Tuan Guru

Umumnya hasil pemikiran tidak lahir dari dunia hampa, ia selalu dihadirkan dan dipengaruhi oleh sosio kultural dimana pemikiran tersebut dikembangkan, sehingga dapat diejawantah ke dalam tindakan yang berdasar (legitimate), dan menjadi gambaran nyata dari keadaan sosiologis suatu masyarakat.

Membincangkan pemikiran tuan guru meniscayakan deskripsi mengenai apa yang dikatakan sebagai pemikiran. Secara umum pemikiran dimaknai sebagai tanggapan terhadap masalah-masalah individual, sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang terefleksi secara intelek dansistematis, dan dilandaskan pada kesadaran yang bersifat terbuka dan dialogis, serta dilandaskan pada pendidikan6 yang akan menumbuhkembangkan atau memandekkannya. Sedangkan pemikiran dalam konteks pemikiran Islam berarti refleksi pemikiran tersebut ditinjau dari sumberpokok ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan hadis. (Fauzi, 2001: 237-238)

Namun demikian pemikiran tuan guru sebagaimana pemikiran pada umumnya, tidak lepas dari arus perkem-

6 Pendidikan yang dimaksud di sini adalah pertumbuhan intelek-tualisme secara orisinil sebagai penentu dari kemajuan atau stagnasi suatu pendidikan.

Page 8: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

8 | Pendahuluan

bangan pemikiran Islam kontemporer yang secara garis besar terbagi menjadi empat tren besar yang dominan.7

Pertama, kelompok pemikiran yang memercayai sepenuhnya bahwa doktrin Islam merupakan satu-satunya alternatif bagi manusia, bagi mereka Islam telah mengatur segala tatanan kehidupan secara detail sehingga segala bentuk teori atau apapun yang datang dari luar adalah ditolak.

Mereka juga sangat teguh dengan aspek religius budaya Islam sehingga garapan utamanya adalah menghidupkan Islam sebagai agama, budaya dan peradaban, dengan menyerukan kembali pada sumber asli ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan sunnah dengan penerapan praktik Rasul dan al-khulafa ar-rasyidin sebagai model. Bentuk pemikiran ini dikenal sebagai bentuk pemikiran fundamentalistik.

Kelompok pemikiran tradisionalistik merupakan kelom-pok pemikiran yang berusaha berpegang teguh pada tradisi-

7 Bandingkan dengan Amin Abdullah dan Akbar S. Ahmed. Amin membagi tipologi pemikiran Islam menjadi dua tren besar, yakni kaum salaf dan modern, adapun Akbar membaginya ke dalam tiga tren besar yakni tradisionalis, radikal, dan modern. Lihat Amin Abdullah, Falsafah Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 31; Akbar S. Ahmed, Posmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam, terj. Sirazi (Bandung: Mizan, 1993), h. 167-176.

Page 9: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 9

tradisi yang telah mapan adalah kelompok kedua dalam keempat tren besar ini.8

Kecenderungan kelompok ini adalah memercayai bahwa seluruh persoalan umat telah tuntas dirumuskan dan dibicarakan oleh ulama terdahulu, sehingga tugas umat Islam sekarang hanyalah menyatakan kembali, menafsir ulang atau menganalogi pada pendapat-pendapat mereka.9

Pada dasarnya kelompok kedua ini tidak jauh berbeda dengan kelompok pertama namun dalam hal tertentu seperti dalam menyikapi modernitas dan tradisi kelompok kedua ini lebih fleksibel. Jika kelompok pertama menolak

8 Istilah tradisionalisme awalnya digerakkan oleh para pemikir Katolik pada abad ke-18 yang menuntut pengendalian kembali oleh gereja, menurut mereka masyarakat tidak bisa mengenal kebenaran hakiki tanpa bimbingan wahyu Tuhan (gereja). Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 1116

9 Dan di Indonesia kecenderungan tradisionalistik tersebut dapat dilihat dalam masyarakat pesantren. Tradisi di kalangan pesantren tidak hanya dinilai sebagai sesuatu yang harus diikuti dan ditampilkan kembali dalam kehidupan modern, tetapi telah dianggap sebagai sesuatu yang telah sempurna (final), fixed dan tidak bisa dikritik (sakral). Hasil pemikiran tokoh-tokoh seperti As-Syafi’i dan Ghazaliyang hidup pada abad pertengahan dianggap telah menyelesaikan berbagai persoalan umat Islam sampai akhir zaman, sehingga pada gilirannya orang yang mendalami dan menguasai tradisi ikut mendapat berkah dianggap sebagai tokoh yang patut dijadikan panutan dan dianggap mampu menyelesaikan segala persoalan duniawi maupun ukhrawi.

Page 10: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

10 | Pendahuluan

modernitas karena menganggapnya sebagai capaian Barat, maka kelompok kedua menerima modernitas karena bagi mereka capaian-capaian modernitas tidak lebih dari apa yang telah hasilkan oleh umat Islam pada masa kejayaannya.

Dan dalam hal tradisi, jika kelompok pertama membatasi anutan tradisinya sebatas khulafa al-rasyidin, maka pada kelompok kedua ini justeru melebarkan tradisinya sampai pada seluruh salaf as-shalih.

Menurut Akbar10 jika kelompok pemikiran tradisionalis dilihat dari kategorisasi sikap muslim11 terhadap Barat maka pemikiran para tradisonalis terlihat lebih mementingkan pesan-pesan universal Islam daripada perbedaan personal atau sektarian yang sempit, dikarenakan kelompok pemikiran ini mempunyai kecenderungan sufistik yangmemiliki pesan penting tentang universalisme dan toleransi. (Akbar, 1996: 168-167)

10 Akbar membagi hubungan masyarakat Islam dan Barat dewasa ini menjadi tiga kategori yakni sikap tradisionalis, radikalis, dan modernis. Lihat Akbar S Ahmed, Posmodernisme Harapan dan Bahaya bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1996) h. 171-175

11 Sikap menghargai warisan intelektual dan tradisi sendiri, juga keharusan adaptasi dari tradisi luar nampak pada pemikiran Al-Attas dan Faruqi yang dikenal dengan proyek islamisasi ilmu. Bagi keduanya ilmu dan peradaban Barat harus diislamkan terlebih dahulu sebelum digunakan, karena dasar dan sumber pemikiran Barat menurut mereka tidak Islami.

Page 11: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 11

Pemikiran tradisionalistik mensyaratkan islamisasi terlebih dahulu, karena itu fokus mereka—khususnya dikalangan sarjana—adalah islamisasi segala aspek kehidupan seperti etika dan ilmu pengetahuan. Adapun landasan epistemologi yang akan diserap harus diislamkan agar seluruh gerak dan tindakan umat Islam adalah Islami.

Kecenderungan tradisionalisme seperti yang dikatakan Hanafi (1992: 27-29) akan melahirkan tiga sikap yang dapatmerugikan umat Islam, yakni: 1. Ekslusifisme yang menggiring terbentuknya sikap

tertutup (eksklusif) yang hanya menghargai dan mengakui kebenaran kelompoknya sendiri dan menolak keberadaan pihak lain.

2. Subjektifisme sebagai akibat lanjut dari sikap eksklusifisme,yakni kehilangan sikap objektif dalam menilai sebuah persoalan. Benar dan salah bukan lagi didasarkan atas persoalannya, akan tetapi lebih kepada asal persoalan, oleh dan dari kelompok mana atau tokoh siapa.

3. Determinisme sebagai tindak lanjut dari dua konsekuensi sebelumnya yakni masyarakat telah tersubordinasi dan terkurung dalam satu warna, mereka jadi terbiasa menerima kata-kata sang panutan dan menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan tanpa ada keinginan untuk mengubah, apalagi menolak.

Page 12: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

12 | Pendahuluan

Ketiga, kelompok pemikiran yang berusaha merekon-struksi12 ulang warisan-warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Bagi kelompok ini, umat Islam telah mempunyai budaya dan tradisi (turats) yang mumpuni dan mapan. Namun tradisi-tradisi tersebut harus dibangun kembali dengan kerangka modern dan prasyarat rasional agar bisa tetap survive dan diterima di dalam kehidupan modern.

Karena itu, kelompok ini berbeda dengan kalangan fundamentalistik yang tetap menjaga dan melanggengkan serta menjalankan tradisi masa lalu seperti apa adanya,

12 Bagi Hanafi rekonstruksi adalah pembangunan kembali warisan-warisan intelektual Islam berdasarkan spirit modern sebagai kebutuahan umat Islam kontemporer. Teologi sebagai ilmu yang paling fundamental harus dibangun kembali sesuai dengan perspektif dan standar modernitas. Oleh karena itu ia menawarkan ide teologi baru, ideologi revolusi ideologis yang dapat memotivasi umat Islam modern untuk beraksi melawan despotisme dan penguasa otoriter, tidak seperti teologi Asy’ari, Baqillani maupun Ghazali yang hanya menekankan ideologi doktrinal. Dalam hal ini Hanafi mengubahteologi Asy-‘Ariyah yang teosentris menjadi antroposentris, misalnya term wahdaniyah (keesaan) tidak dirujukkan pada keesaan Tuhan, penyucian Tuhan dari paham syirik, politeisme atau sejenisnya, akan tetapi lebih mengarah pada eksperimentasi kemanusiaan. Wahdaniyah merupakan pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan; kesatuan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan, dan kesatuan kemanusiaan. Lihat Hasan Hanafi Min al-Aqidah Ila as-Sunnah, Jilid 1 (Kairo: Maktabah Matbuli, 1991), h. 46

Page 13: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 13

biasanya kelompok jenis ketiga ini disebut sebagai bentuk pemikiran reformistik.

Keempat, kelompok pemikiran yang berusaha mendekon-struksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. Kelompok postradisionalistik ini pada satu segi tidak berbeda dengan kelompok tradisionalistik yang mengakui bahwa warisan tradisi Islam, tetap relevan untuk era modern selama ia dibaca, diinterpretasi, dan dipahami sesuai standar modernitas namun relevansi tradisi tersebut tidak cukup dengan hanya interpretasi lewat pendekatan rekonstruktif, akan tetapi harus juga dilakukan dekonstruksi.

Dengan kata lain seluruh bangunan tradisi Islam harus dirombak dan dibongkar setelah sebelumnya dilakukan pengkajian dan analisa yang mendalam. Tujuannya adalah agar segala yang dianggap absolut berubah menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi historis (Al-Jabiri, 1991: 48).

Dari keempat tren pemikiran dalam dunia Islam tersebut, pemikiran tuan guru secara umum dapat dimasukkan ke dalam kelompok tradisional, walaupun tidak dipungkiri pula dari beberapa tuan guru beraliran fundamentalistik, reformis, dan postradisionalistik (khusus bentuk keempat ini dapat ditemukan dari kalangan tuan guru bajang [muda]).

Hal tersebut berdasarkan pada; pertama, kalangan tuan guru lahir dari rahim pesantren. Kedua tuan guru menerima

Page 14: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

14 | Pendahuluan

modernitas yang terlihat dengan diterjemahkannya ajaran-ajaran Islam—yang nanti akan dipaparkan pada pembahasan berikutnya, dikaitkan dengan konteks kekinian dan budaya yang berkembang di tengah masyarakatnya, dan ketiga sebagai imbas dari pengawalan mereka terhadap tradisi, mereka ikut mendapat berkah, yang dalam konteks masyarakat Sasak, mereka dianggap sebagai tokoh yang dijadikan panutan dan mampu menyelesaikan segala persoalan duniawi maupun ukhrawi.

Berbeda dengan Hasan Hanafi, bentuk pemikirantradisionalistik tuan guru sedikit sekali menampakkan tiga kecenderungan (ekslusifisme, subjektifisme, dandeterminisme) yang dilekatkan pada kelompok pemikiran ini. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena pengaruh ragam komponen masyarakat Sasak dan kesejarahannya yang sering berganti-ganti penguasa. Selain itu pengaruh sistem kepatronan (ketergantungan) antara tuan guru dan masyarakat, keinginan, dan kepentingan, yang bergantung pada norma, realitas berpikir, dan argumentasi rasional maupun irasional turut mempengaruhi hal tersebut.

Tuan Guru vs Wahabi

Salah satu faktor penting dalam upaya mempertahankan keberlangsungan sistem kepatronan tuan guru adalah kemampuan masing-masing mereka dalam mengadap-tasikan pemikirannya terhadap masyarakat Sasak.

Page 15: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 15

Oleh karenanya setiap pemikiran yang tercetus dalam diri mereka selalu melibatkan pelbagai kendala normatif maupun situasional. Karena umumnya seseorang akan menghadapi kepentingan pribadinya untuk mencapai tujuannya dan alternatif-alternatif yang akan dilakukannya untuk mencapai tujuan tersebut. Seseorang akan menghadapi faktor situasioanal yang memengaruhi pemilihan keputusannya tersebut.

Timbulnya penafsiran yang berbeda di antara mereka, disebabkan oleh pemikiran masing-masing tuan guru yang bergantung kepada pandangan maupun pemikiran masyarakatnya, yang sudah kadung memandang bahwa penganut wahabisme sebagai “orang luar”, atau kelompok menyempal, karena mereka (penganut wahabisme) menggunakan simbol-simbol yang tidak umum.

Selain itu adanya kesadaran para tuan guru bahwa setiap pemikiran maupun pandangan masyarakat harus dicermati secara integratif, karena perilaku sosial mereka sangat dipengaruhi oleh nilai dan kebudayaannya. Nilai dan kebudayaan itulah kemudian yang menjiwai pola-pola lainnya, memengaruhi struktur kebutuhan, dan menentukan kehendak mereka dalam menerapkan peran sosialnya.

Demikian juga sebaliknya, karena dipengaruhi oleh sistem kepatronan masyarakat terhadap tuan gurunya, maka pemikiran atau pandangan tuan guru juga memengaruhi masyarakatnya. Jadi, terjadi semacam timbal balik pemikiran

Page 16: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

16 | Pendahuluan

atau pandangan antara tuan guru dengan masyarakat dalam melihat dan merespon segala sesuatu yang terjadi di tengah mereka.

Oleh karenanya diperlukan interaksi dan komunikasi pemikiran antara tuan guru dan masyarakat dengan kelompok wahabi dalam mengantisipasi kemungkinan konflik yangbakal terjadi di antara mereka. Dan penyelesaiannya pun harus didasarkan pada pengelolaan pemikiran mereka.

Konsep pengelolaan pemikiran seperti ini harus memper-hitungkan efektivitas interaksi sosial yang membangkitkan untuk membangun suatu pola hubungan yang terbuka dan akan mengurangi label-label negatif diantara kelompok yang berinteraksi. Sebaliknya, ketertutupan interaksi diantara kelompok-kelompok sosial akan menimbulkan hubungan yang didasarkan saling curiga sebagai wujud nyata dari perseteruan yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi konflik terbuka.

Pemikiran Tuan Guru, pengaruh sosio kultural masyarakatnya Sasak sangatlah kental, sehingga apa yang terlihat di tengah masyarakat saat ini merupakan hasil akulturasi dari proses pergumulan pemikiran keagamaan tuan guru dengan sosio kultural masyarakat Sasak pra Islam.

Bentuk pengejawantahan pemikiran ini dapat dikatakan sebagai embrio dari Islam Sasak, yakni perpaduan antara Islam yang mengakomodasi beberapa ritual dari Hindu

Page 17: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 17

dalam bentuk yang berbeda, seperti pada ritual kelahiran, hidup, dan kematian. Dengan kata lain tuan guru melebur-kan simbol-simbol, ritus-ritus agama Hindu ke dalam adat istiadat Islam yang baru ditumbuhkan, sehingga terciptalah—meminjam istilah Yudi Haryono—agama hybrid.13 Upaya pemikiran ini menjadikan pembentukan masyarakat Islam awal berjalan lancar dan Islam mudah diterima oleh segenap lapisan masyarakat.

Hasil pergumulan pemikiran tersebut—Islam Sasak, kemudian menjadi nilai sosial sebagai konsepsi abstrak masyarakat Sasak dalam memberi landasan, alasan, moti-vasi, dan alat kontrol yang mengarahkan mereka dalam berpikir dan bertingkah laku, serta sebagai alat dalam menentukan “harga” sosial dari suatu kelompok.14

13 Hybrid atau hibrida merupakan istilah dalam ilmu biologi yang bermakna perkembangan secara bersama dua spesies atau lebih yang akan menghasilkan spesies baru. Lihat M. Yudhie Haryono, “Menggagas Islam Hybrid”, Republika, Jumat 13 September 2002.

14 Nilai sosial terkadang menjadi harga mati bagi suatu kelompok, sehingga jika terjadi benturan terhadap nilai ini maka masyarakat berusaha melakukan pembelaan dengan berbagai cara, sehingga tidak heran jika para penganjur wahabisme yang mencoba meruntuhkan nilai sosial ini mendapatkan perlawanan yang gigih dari masyarakat.

Page 18: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

18 | Pendahuluan

Dampak dari sebuah pemikiran jika dikaitkan dengan nilai sosial maka setidaknya akan bermuara pada dua hal. Pertama pemikiran sebagai dampak positif yakni sebagai daya penyatu atau sentrifugal yang menyatukan unsur masyarakat yang beragam pemahaman, pengamalan dan pengalaman. Meskipun pokok suatu pemikiran bisa bersifat universal, namun awalnya selalu ditujukan kepada sekelompok orang yang sedikit banyak homogen, dan akhirnya berkembang menjadi dasar solidaritas kelompok tertentu.

Kedua dampak negatif sebagai daya pemecah atau sentripetal yang memecah unsur masyarakat menjadi kelompok-kelompok tertentu berdasarkan hasil pemikiran tokoh mereka—yang karena pengaruh sosio kultural tertentu—pada akhirnya membawa mereka pada perbedaan dalam menyikapi persoalan-persoalan agama.

Pun dengan pemikiran Tuan Guru dalam memandang kelompok wahabi, dapat dipetakan menjadi tiga kelompok. Tuan Guru kelompok pertama memandang wahabi sebagai kelompok yang pemurni, dan pelurus ajaran Islam yakni menerapkan perintah Nabi dengan berpraktik ritual secara harfiah. Kelompok Tuan Guru ini mendukung sepenuhnyagerakan wahabi, bahkan mereka bergabung sebagai penganjurnya.

Kelompok Tuan Guru yang mengasumsikan wahabi sebagai kelompok yang sama benarnya dengan mereka, dan

Page 19: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 19

menerima penganjur wahabisme sebagai pesaing yang sehat dalam memajukan umat merupakan sebagai kelompok kedua.

Kelompok kedua ini cenderung akomodatif terhadap penganjur wahabi, akan tetapi mereka tetap menjaga dan menjalankan tradisi Islam-Sasak selama hal tersebut meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Karena fokus mereka adalah komitmen untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat selain dengan peningkatan di bidang pengamalan agama, juga dengan perbaikan kesejahteraan ekonomi serta pembekalan dan penanaman pendidikan sekuler, menjadi kewajiban utama tanpa meninggalkan tradisi Islam yang sudah ada.

Kelompok ketiga adalah Tuan Guru yang menolak wahabi dengan pandangan bahwa gerakan tersebut15 tidak cocok dikembangkan di tengah masyarakat Sasak, mengingat antara masyarakat Sasak dengan masyarakat Arab secara kultural jauh berbeda, dan secara metodologis mengucilkan proses sejarah dalam pembentukan sumber-sumber ajaran Islam.

15 Menurut Rahmat, gerakan wahabi telah mengubah salafisme dariteologi berorientasi modernis liberal menjadi teologi literalis, puritan, dan konsevatif. Lihat Imdadun Rahmat, Lihat h. 68

Page 20: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

20 | Pendahuluan

Menurut para Tuan Guru dalam kelompok ini, cara pandang wahabi yang menunjukkan ajaran agama meng-atasi sejarah dan terbebas dari campur tangan manusia dalam pembentukannya tidak benar, sehingga ketaatan penuh terhadap praktik-praktik sahabat 14 abad yang silam tidak bisa harus direalisasikan pada setiap zaman. Jika hal tersebut dipaksakan maka masyarakat akan bingung dalam menghadapi zaman mereka masing-masing.

Demikian juga dengan wahyu, ia tidak bisa dialpakan dari kenyataan sejarah bahwa wahyu diturunkan dengan bahasa manusia yang menyejarah, dengan jarak yang demikian jauh antara dirinya dengan apa yang dibacanya. Mereka juga tidak menyadari bahwa bahasa tidak bisa lepas dari proses berpikir, sebagaimana juga kegiatan berpikir dibatasi oleh bahasa. Artinya ide-ide yang terkandung dalam Al-Qur’an disampaikan dengan wadah bahasa Arab pada saat ia diturunkan yang berkait erat dengan cara pandang dan khazanah pemikiran bangsa Arab yang hidup pada waktu itu.

Dengan cara pandang wahabi tersebut, kemanusiaan wacana menjadi hilang, yang tinggal hanyalah keabadian-nya atau lebih tepat dikatakan dengan terjadinya pencabutan dari proses sejarah.

Dengan demikian pada tataran nilai sosial mengharus-kan mereka berpijak pada teks secara ketat sebagai sarana mediasi antara mereka dengan Tuhan, hal inilah

Page 21: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 21

kemudian melahirkan pemahaman bahwa perilaku yang tidak bersandar pada teks—secara ketat—merupakan perilaku bid’ah, dan membelah masyarakat menjadi yang berprilaku agamis (islami) dan yang sesat yakni mereka yang dianggapnya sebagai pelaku bid’ah.

Penolakan mereka terhadap pandangan hidup lama (tradisi) masyarakat Sasak menjadi penyebab utama timbulnya keretakan sosial yang berujung pada perpecahan antar anggota masyarakat, dengan adanya klaim akan kemutlakan prilaku yang bersandar secara tekstual dan hasil pemikirannya, sehingga dari kalangan masyarakat yang tidak mampu berargumen cenderung mengekspresikan kegusaran mereka melalui tindakan anarkis. Ekspresi yang diwujudkan dengan berbagai tindakan, terutama kepada kelompok lain yang berbeda dengan mereka secara umum.

Walaupun secara moral para Tuan Guru mengakui tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan kekerasan terhadap pemahaman yang berbeda, namun—khususnya Tuan Guru pada kelompok ketiga—cenderung menyetujui cara-cara kekerasan ketika identitas sosialnya merasa terancam.16

16 Persetujuan tersebut dapat dilihat dengan diamnya para Tuan Guru ketika terjadi tindak kekerasan oleh jamaahnya terhadap pemahaman yang berbeda, seperti beberapa kasus pengusiran di beberapa tempat terhadap penganut Ahmadiyah atau wahabi.

Page 22: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

22 | Pendahuluan

Dalam hal ini identitas sosial Tuan Guru telah mem-bentuk citra diri dan masyarakatnya yang melahirkan keyakinan kelompok sebagai yang terbaik dibandingkan dengan kelompok diluarnya. Kesuksesan atau kegagalan kelompok akan menaikkan atau mengurangi self esteem para anggotanya. Motif penting dari sikap dan perilaku kelompok adalah motif untuk membentuk dan mempertahan-kan identitas positifnya.

Namun demikian, apabila intensitas ancaman tersebut dirasakan cukup kuat, maka diferensiasi itu akan muncul dalam bentuk pengekspresian bias ringan yakni penghadap-hadapan masing-masing kelompok dan dievaluasi secara positif, sampai kepada sikap dan perilaku antar kelompok yang memandang rendah secara terbuka (prasangka). Efek identitas yang terancam ini juga akan mengancam self esteem para anggotanya sehingga tidak jarang terjadi disintegrasi atau konflik antar kelompok.

Perbedaan kepentingan antar kelompok menyebabkan benturan antar idealisme yang terkait langsung dengan kelangsungan hidup karena kepentingan merupakan dasar atau motif yang timbul dari tingkah laku. Artinya munculnya pemikiran karena ada dorongan untuk memenuhi kepentingan, sehingga kepentingan ini bersifat esensial bagi kelangsungan hidup baik individu maupun kelompok.

Jika individu atau kelompok tersebut berhasil dalam memenuhi kepentingannya, maka akan merasa puas dan

Page 23: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 23

sebaliknya kegagalan dalam memenuhi kepentingan akan menyebabkan konflik kepentingan antar individu atau antarkelompok.

Sejalan dengan itu, Campbell dengan teorinya realistic group conflict mengungkapkan bahwa sikap dan perilaku antar kelompok cenderung merefleksikan kepentingankelompok. Ketika kepentingan-kepentingan tersebut tidak kompatibel atau ketika salah satu kelompok memperoleh sesuatu dengan mengorbankan kelompok lainnya, maka respon psikologis sosialnya cenderung negatif seperti sikap berprasangka, penilaian terbias, dan perilaku bermusuhan.

Akan tetapi ketika kepentingan-kepentingan tersebut kompatibel atau lebih baik sehingga salah satu kelompok hanya dapat memperoleh sesuatu dengan bantuan kelompok lainnya, maka reaksinya akan lebih positif, misalnya toleransi, adil dan ramah. (Campbell dalam Rupert Brown, 2005: 75)

Dilihat dari implikasinya dikenal dua bentuk kepentingan yaitu kepentingan pribadi dan kepentingan sosial atau kelompok. Akan tetapi biasanya kepentingan pribadi akan sejalan dengan kepentingan kelompok jika individu-individu tersebut berada dalam satu ideologi, visi dan misi yang merupakan identitas sosial mereka.

Identitas sosial ini cenderung akan mengarahkan perilaku sosial individu agar sesuai dengan harapan kelompoknya. Hal ini menurut Tajfel dan Turner karena individu tersebut

Page 24: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

24 | Pendahuluan

akan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari sebuahkelompok dan menilai orang lain sebagai bagian dari kelompok itu atau bukan (Tajfel dan Turner dalam Matt Jarvis, 2006).

Oleh karena itu reaksi pemikiran Tuan Guru terhadap wahabisme dapat dilihat sebagai kepentingan kelompok yang sedang mempertahankan identitas sosialnya di tengah gencarnya gelombang penetrasi wahabisme sebagai identitas baru dalam memperebutkan pengaruh, dan melahirkan konfigurasi pemikiran yang beraneka ragam sehinggamenjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Literatur

Dominasi pengaruh tuan guru dapat dicermati sebagai gambaran aktual dari respon pemikiran mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa literatur berikut.

Buku Nahdlatul Wathan; Organisasi Pendidikan, Sosial, dan Dakwah Islamiyah yang ditulis oleh Abdul Hayyi Nu’man dan Sahafari Asy’ari pada tahun 1988 ini merupakan buku standar yang dijadikan sebagai buku pegangan bagi Perguruan Tinggi Nahdlatul Wathan. Buku ini tidak membahas tentang pemikiran Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Madjid secara spesifik, akan tetapi dari pengantarkedua buku ini dikemukakan bahwa data-data dan sumber kedua buku ini disusun berdasarkan materi-materi pengajian dan kumpulan naskah pidato yang diberikan oleh

Page 25: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 25

Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Madjid (Pendiri NWDI, NBDI, dan NW).

Organisasi Nahdlatul Wathan sebagai organisasi pendidikan melalui lembaga abiturennya (NWDI dan NBDI), banyak melahirkan tuan guru dan telah menyebar di seantero Nusa Tenggara Barat (pulau Sumbawa dan Lombok) dan Bali. Kemudian para alumni ini di tempat asal mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan (pesantren) yang mengajarkan ajaran-ajaran Nahdlatul Wathan. Dan pada akhirnya secara primordial dan tidak langsung membentuk bangunan jejaring tuan guru yang membawa, memakai, dan mengamalkan, sekaligus mengajarkan ajaran-ajaran Nahdlatul Wathan (NW) sebagai garis ketentuan dari organisasi.

Melalui lembaga-lembaga inilah organisasi menyebarkan paham sebagai landasan organisasi, sehingga dapat dikatakan bahwa paham ahlussunnah wal jamaah dengan mazhab Syafi’i dalam perkembangannya di Lombok didukung olehorganisasi Nahdlatul Wathan (NW). Hal ini juga menjadi penting mengingat organisasi ini turut berperan dalam kancah pemikiran tuan guru selanjutnya.

Organisasi Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Madjid pada awalnya merupakan lembaga pendidikan biasa (pondok pesantren) yang mengajarkan kitab-kitab klasik (kuning), dengan metode sorogan, hingga atas tuntutan masyarakat ia kemudian

Page 26: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

26 | Pendahuluan

merubah metode pengajaran dengan menggunakan sistem klasikal (kelas). Melalui metode ini Pondok Pesantren Al-Mujahidin—nama pesantren sebelum diganti menjadi Nahdlatul Wathan (NW)—antusiasme masyarakat demikian besar hingga pada tahun pertama dibuka dengan sistem ini santri yang terdaftar hampir mencapai 200-an orang. Santri-santri inilah kemudian yang menyebar dan mengajarkan ajaran-ajaran Nahdlatul Wathan.

Sebagaimana ditegaskan dalam anggaran dasarnya, Nahdlatul Wathan menganut paham ahlussunnah wal jamaah dan bermazhab Syafi’i17 (Nu’man dan Sahafari, 1998: 86). Hal ini dinyatakan juga dalam Hizib Nahdlatul Wathan—wirid para nadliyyin, yang disusun oleh Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Madjid sebagai pendiri organisasi ini.

17 Pengertian Ahlussunnah, dalam pandangan organisasi—sebagai-mana yang disebutkan dalam buku ini—adalah penganut sunnah Nabi Muhammad saw dan wal jama’ah berarti akidah jama’ah sahabat Nabi. Ahlussunnah wal jama’ah berarti orang yang mengikuti akidah Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya sebagaiman termaktub dalam Al-Quran dan sunnah dan kemudian dirumuskan oleh Abu Hasan Ali Al Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Karena Akidah Ahlussunah wal jama’ah ini dihimpun dan dirumuskan oleh Imam Abul Hasan Ali Al-Asy’ari maka ada yang menyambut kaum Ahlussunnah wal jama’ah dengan Al Asya’irah, jama’ dari Asy’ari, yaitu pengikut-pengikut Imam Abul Hasan Ali Asy’ari. Dan ada juga yang menyebutnya dengan istilah sunni sebagai kependekan dari kata ahlussunnah wal jama’ah tersebut, dan orang-orang sunni disebut

Page 27: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 27

“Ya Allah, ya hayyu ya qayyûmu, dengan rahasia kun fayakun makmurkanlah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah berdasarkan Mazahab ahlussunnah wal jamaa’ah sampai Hari Kiamat.”

Dilihat dari sisi tersebut buku ini menjadi penting untuk digali karena merupakan hasil ijtihad tuan guru dalam merumuskan landasan organisasinya, di samping menjadi landasan pemikiran tuan guru selanjutnya di tengah masyarakat Sasak.

Beberapa alasan pokok yang dikemukakan dalam membangun argumen yang melandaskan pada akidah Ahlussunnah wal jamaah dan Mazhab Syafi’i, antara lain,pertama, alasan kontekstual, dimana masyarakat Lombok khususnya dan Indonesia pada umumnya menganut akidah ahlussunnah wal jamaah dan bermazhab syaf ’i. Kedua, Alasan mayoritas, fakta menunjukkan bahwa umat Islam sedunia berafiliasi pada akidah Ahlussunnah wal jamaahdan mazhab syaf ’i.

Ketiga, penandasan jumhur ulama ushul yang menyata-kan bahwa orang yang belum sampai ilmunya ke tingkat

sunniyun. Adapun tokoh kedua dari I’tiqad ahlussunnah wal jama’ah ialah Abu Manshur Al-Maturidi. Faham dan I’tiqad nya sama atau hampir sama dengan paham dan I’tiqad Imam Abul Hasan Ali Al Asy’ari. Ia lahir di desa Maturid, Samarkan pada pertengahan abad ke-3 H dan meninggal di tempat yang sama pada tahun 332 H/994 M, 9 tahun sesudah wafatnya Imam Abul Hasan Ali Al Asy’ari

Page 28: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

28 | Pendahuluan

mujtahid muthlaq wajib bertaklid pada salah satu mazhab yang empat dalam masalah furu’ syar’iyyah. Dan keempat, mengikuti imam-imam huffazhul hadits seperti Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain sebagai penganut akidah ahlussunnah dan bermazhab syafi’i.

Pemikiran penting lainnya yang tertuang dalam buku ini adalah respon pemikiran tuan guru yang menolak gerakan anti mazhab (wahabi). Menurut mereka, gerakan anti mazhab merupakan gerakan yang berusaha melepaskan diri dari ikatan mazhab sebagaimana yang dipopulerkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (Nu’man dan Sahafari, 1998: 45), dan memasukkan kelompok ini sebagai kelompok musyabbihah (Nu’man dan Sahafari, 1998).

Buku Meniti Tapak Sejarah 66 Tahun Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Pancor ini ditulis oleh Muhammad Nasihuddin Badri pada tahun 2001, merupakan hasil wawancaranya dengan beberapa nara sumber (tuan guru) tersebut antara lain: Tuan Guru Haji Dahmur Udin Mursyid, Tuan Guru Haji Zainal Abidin Ali, Tuan Guru Haji Mohammad Sam’an Hafs, Tuan Guru Haji Muhammad Marjan Umar, Tuan Guru Haji Yusuf Makmun, Tuan Guru Haji Muhammad Rajab Yahya, Tuan Guru Haji AfifuddinAdnan, Tuan Guru Haji Naharuddin Ali, dan Tuan Guru Haji Mahdin.

Buku ini selain membincangkan berbagai persoalan Nahdlatul Wathan (NW) dalam konteks kekinian dengan

Page 29: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

Pendahuluan | 29

menggunakan pespektif pemikiran tuan guru, juga berisikan penegasan kembali khittah organisasi sebagai wadah pendidikan umat, sekaligus analisis Nasihudin terhadap organisasi maupun kelompok yang berkembang di luar Nahdlatul Wathan.

Seperti yang ditandaskan oleh penulisnya, organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang tengah ”meng-geliat” di tengah masyarakat Sasak sejatinya memahami kondisi sosial masyarakat Sasak yang masih mengedepankan budaya merang,18 oleh karena itu organisasi atau kelompok yang ingin eksis haruslah menghormati budaya dan adat istiadat Sasak, berikut perangkat-perangkat lainnya.

Dalam buku ini dikemukakan juga beberapa pokok pemikiran tuan guru dalam mencermati perkembangan keagamaan masyarakat Sasak, terutama reaksi masyarakat terhadap paham-paham baru seperti Ahmadiyah, Wahabi,

10 Merang, merupakan sistem nilai yang digunakan untuk memo-tivasi solidaritas sosial, meningkatkan tampilan dan kinerja serta meningkatkan kualitas diri dalam rangka dan atau upaya mempertahankan diri menumbuhkan jati diri sebagai orang Sasak. Dengan motivasi diri ini rumbuh rasa persaingan yang positif (positive competitive mind) dalam meraih dan mengejar kemajuan. Tumbuh kemampuan berkompetensi yang sehat, dengan tidak berburuk sangka dan saling mencurigai satu dengan yang lain. Merang dapat pula diartikan sebagai semangat terhadap sesuatu masalah secara kolektif.

Page 30: Tuan Guru Versus Wahabi Di Lombok

30 | Pendahuluan

dan lain-lain. Para tuan guru melihat bahwa datangnya paham-paham baru tersebut dapat membimbing masyarakat ke arah yang lebih positif yakni masyarakat semakin terbuka dan mengetahui ajaran-ajaran Islam dan adanya perbedaan selain perbedaan mazhab. Namun juga berdampak negatif seperti yang terjadi pada kasus Ahmadiyah yang dapat memecah masyarakat dengan pahamnya. (Badri, 2001: 48)