mazhab wahabi bukan ibn abdul wahhab

51
MADZHAB-BERMADZHAB DAN WAHABI OLEH : Abu Sittah At-Tenjuluny

Upload: ram-syist

Post on 20-Sep-2015

111 views

Category:

Documents


29 download

DESCRIPTION

Mazhab dan Wahabi merupakan 2 perbedaan yang mencolok, wahabi bukanlah mazhab dan pendirinya bukanlah muhammad bin Abdul Wahhab, percaya atau tidak maka silahkan istiqharah atau segera bermubahalah.

TRANSCRIPT

  • MADZHAB-BERMADZHAB

    DAN WAHABI

    OLEH : Abu Sittah At-Tenjuluny

  • A. Muqoddimah. Ada diantara saudara kita yang bertanya kepada saya mengenai masalah madzhab dan bermadzhab, adapun pertanyaannya adalah sebagai berikut :

    a. Sejarah Madzhab. b. Penting dan Tidaknya Bermadzhab. c. Ciri-Ciri Madzhab. d. Bagaimana Dengan Wahabi. e. Sejarah Wahabi. f. Sikap Kita Terhadap Madhab dan Wahabi.

    Saya katakan, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan baik danbenar diperlukan kajian yang cukup dan buku-buku rujukan yang memadai, sedangkan hal ini bagi saya tidak terpenuhi terutama buku-buku rujukan, sebenarnya masalah ini telah banyak ulama-ulama kita yang terdahulu maupun yang terkemudian dan tertulis dalam kitab-kitab mereka, khususnya yang berbahasa Arab, dan ada juga ulama dari Indonesia yang menulis sejarah imam empat madzhab dengan bahasa Indonesia antara lain Kyai Haji Moenawar Cholil rhm, (beliau juga menulis buku-buku lain seperti : Kembali kepada Alquran dan Assunnah, Mukhtarul Hadits (hadits-hadits pilihan), kelengkapan tarikh Nabi Muhammad saw, dan lain-lain), menurut saya beliau adalah salah seorang dari kalangan ulama Ahlussunnah kawasan Nusantara yang tulisan-tulisannya perlu dibaca oleh generasi Islam sekarang, meskipun tidak menutup mata ada satu dua kesalahan. Beliau adalah seorang alim, untuk kawasann Nusantara ini mencari orang yang ilmunya setaraf

    dengan beliau bisa ditunjuki dan dihitung dengan jari, akan tetapi sayang, para pewaris ilmu beliau dan para penerusnya tidak menonjol sebagaimana penerus Ahmad Hassan, Asy-Syaikh Ahmad Syurkati, Ahmad Dahlan, dan Hasyim Asyari rhm. Mudah-mudahan generasi Islam masa kini bisa mewarisi ilmu-ilmu mereka, yang haq dengansebaik-baiknya. Selanjutnyamengingat keterbatasan saya, maka saya akan menjawabbeberapa pertanyaan tersebut yang saya anggap perlu sesuai dengan kemampuan saya, mudah-mduahan tidak menyelesihi yang haq, jika jawaban saya kurang memenuhi pertanyaan , minimal saya telah berusaha menunaikan satu kewajiban yaitu menunaikan salah satu dari hak dan kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lain, sebagaimana yang tersebut dalam hadits yang masyhur dikalangan kaum muslimin yakni : Dan apabila (mereka) meminta nasehat kepadamu, maka berilah nasehat kepadanya. Adapun jawaban saya terhadap pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut :

  • B. Penjelasan Madzhab, Bermadzhab dan Wahabi. 1. Sejarah Ringkas Terbentuknya Madzhab-Madzhab. Para sahabat r.a belajar masalah agama dan meminta fatwa langsung kepada Rasulullah saw dan pada waktu beliau masih hidup, telah ada sebagian sahabat yang memberikan fatwa kepada manusia sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dan Imam Muslim, berkenaan dengan kisah seorang pekerja buruh yang berzina dengan istri tuannya. Dalam hadits tersebut dikatakan bahwa sebelum orang tua lelaki pekerja buruh yang masih bujang itu menanyakan hukuman hadnya kepada Rasulullah saw, dia telah bertanya kepada ahlul ilmi, yang ada disekitarnya dan mereka telah menjawabnya, (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/271), dan ada juga contoh-contoh lain. Kemudian sesudah Rasulullah saw wafat, tidak semua sahabat menjadi mufti, tugas fatwa dipikul oleh sebagian mereka, terutama yang banyak memberikan fatwa. Al Allamah Ibnu Qoyyim rhm, menyebutkan masalah ini dalam pendahuluan kitabnya, Ilamul Muwaqiin. Kemudian karena banyaknya jihad ekspansi dan banyak negeri-negeri kafir ditaklukan, oleh tentara Islam yang dipelopori oleh para sahabat r.amaka tersebarlah mereka di seluruh penjuru negeri dan kota-kota yang ada, diantara mereka ada yang keluar berjihad ke Romahormuz, seperti Abdullah bin Umar, ada yang ke Kabul, Afghanistan, seperti Abdur Rahman bin Samrah, dan ada yang ke Syam, Irak, Mesir, India, Sind, negara-negara bagian Rusia, Afrika Utara dan lain sebagainya, -Subhanallah- sungguh tidak bisa dibayangkan bagaimana semangatnya para sahabat r.a dalam berjihad untuk menundukkan negara-negara kuffar dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru bumi yang bisa mereka jangkau. Dari satu data saja misalnya, pada waktu haji wada (haji perpisahan), jumlah sahabat yang ikut hadir, bersama-sama Rasulullah saw pada saat itu tidak kurang dari 100.000 (seratus ribu) sahabat, akan tetapi dari jumlah yang begitu banyaknya yang dikuburkan di kuburan, Al-Baqi hanya sekitar, 250 sahabat saja, atau bahkan kurang daripada jumlah itu, maka kira-kira selebihnya dimana mereka meninggal dan dimana mereka dikuburkan? wallahu alam- yang jelas mayoritas mereka mati dalam keadaan menunaikan tugas suci keluar berdakwah dan berjihad fie sabilillah. Kemudian para penduduk masing-masing negeri yang dikunjungi dan ditempati para sahabat r.a, berguru dan belajar ilmu dari para sahabat yang ada dikalangan mereka, mereka belajar dari sahabat tersebut ilmu syariat seperti Alquran, Al Hadits, dan fiqih dan pada masa itu hadits dan fiqih belum ditulis dan dihimpunkan dalam buku-buku. Hadits Rasulullah saw, baru mulai dibukukan dan dihimpunkan pada akhir abad pertama pada tahun 99 Hijriyah, atas perintah Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, karena beliau khawatir ilmu akan hilang dengan wafatnya para ulama,

  • sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazan yakni amil atau wakil beliau yang ditugaskan di Madinah untuk meneliti hadits Rasulullah saw dan menulisnya. Berkata Ibnu Hajar Al Asqalany (852 H) dlam sejarahnya bahwa Abu Naim telah meriwyatkan kisah ini dalam tarikh Asbahan dengan lafaz yang maksudnya : Bahwa Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat ke seluruh penjuru memerintahkan agar memperhatikan dan meneliti hadits Rasulullah saw, dan menghimpunkannya, lihat Fathul Bari I/194-195. Maka bangkitlah para ulama pada saat itu untuk menulis dan menghimpunkan hadits dengan cara dan kebijaksanaan masing-masing, ada yang menghimpunkannya sesuai dengan sahabat yang meriwayatkannya, maka disebut masanid (musnad) dan ada juga yang menghimpunkannya sesuai dengan bab ilmu dan fiqih, yang ini disebut Muwaththa, Mushannaf, Al-Jami dan Sunan, dan sebagainya. Lalu perkembangan berikutnya untuk memelihara Assunnah atau hadits daan menjaga keasliannya, Alah taala mengilhamkan ilmu hadits kepada ulama-ulama kita yang hebat-hebat, antara lain mereka adalah (sesuai dengan urutan wafatnya) : Al-AuzaI (157 H), Syubah bin al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ats-Tsauri (161 H), Malik Bin Anas (179 H), Waki bin Al Jarah, (197 H), Sufyan bin Uyainah (198 H), Abdur Rahman bin Al Mahdi, (198 H), Yahya bin said Al-Qoththony (198 H). Kemudian sesudah mereka, Yahya bin Muin, (233 H), Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawiyah (238 H) dan Ahmad bin Hambal (241 H). Kemudian sesudah itu Ashabu Kutubus Sittah (Penulis Buku Hadits yang Enam) yaitu : Al Bukhari (256 H), Muslim (261 H), Ibnu Majah (273 H), Abu Daud, (275 H), At-Tirmidzi (279 H), dan an-NasaI (303 H). Kemudian sesudah mereka, Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razi (327 H), penulis kitab Al-Jarhu wat-Tadil, sebuah buku yang menjadi rujukan utama bagi para penulis sesudahnya dalam masalah ini. Kemudian sesudahnya : Ad-Daruquthni (385 H), Al Khathib al Baghdadi (463 H), dan lain-lainnya. Mka dengan jasa-jasa ulama- ulama tersebut sempurnalah penlisan buku-buku hadits yang masyhur pada akhir abad ketiga termasuk penyebutan perawi-perawinya, sehingga ulama-ulama pakar sesudahnya yang berbicara dalam masalah ini termasuk rijal hadits, seperti Al Hafidz Al Mishri, Adz-Dzahabi, Ibnu Hajar, Ibnu Sholah, (643 H), dan sebagainya semuanya merujuk kepada mereka Radhiyalaahu anhum wa Rohiimahum ajmaiin- Adapun pembukuan fiqih dalam buku tersendiri yang sebelumnya masih bercampur dengan kitab-kitab hadits sesuai dengan bab-babnya, baru terjadi pada akhir abad kedua, hampir satu abad setelahpembukuan hadits, yaitu dengan bentuk, para

  • shahabat masyayikh dan murid-muridnya, menghimpun fatwa-fatwa syaikh-syaiknya dalam berbagai persoalan, maka yang masyhur pada saat itu adalah : 1. Abu Hanifah, (150 H) di Kufah. 2. Al- AuzaI di (157 H) di Syam. 3. Malik bin Anas (179 H) di Madinah. 4. Sufyan bin Uyainah (198 H) di Mekah. 5. Asy-SyafiI (204 H) di Bagdad dan Mesir. 6. Ahmad bin Hambal (241H) di Bagdad. 7. dan masih banyak lagi selain mereka, seperti Sufyan At-Tsauri (161 H), Al-Laits

    bin Saad (175 H), Ishaq bin Rahawiyah (238 H), dan lain sebagainya. Imam-imam ini berfatwa berdasarkan Al-Kitab dan Assunnah dan ucapan sahabat dan tabiin baik dalam masalah yang telah disepakati oleh mereka maupun yang diperselisihkan dan ada juga yang berfatwa berdasarkan qias diatas Al-Kitab, Assunnah dan Ijma. Maka dari sinilah lahir dan terbentuknya maszhab-madzhab yaitu dari fatwa-fatwa Imam-Imam yang ditulis oleh murid-muridnya, lalu madzhab-madzhab tersebut terbagi menjadi dua, ada yang diikuti dan ada yang tidak diikuti. Adapun madzhab-madzhab yang diikuti yaitu :

    a. Madzhab Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit rhm (150 H). b. Madzhab Imam Malik bin Anas rhm (179 H) . c. Madzhab Imam Muhammad bin Idris Asy-SyafiI rhm (204 H). d. Madzhab Imam Ahmad bin Hambal rhm (241 H).

    Dan akhirnya dikenali dengan sebutan Al Madzahibul Arbaah (Madzhab yang Empat), yang mana setiap madzhab ini mempunyai pengikut dari kaum muslimin, dari semenjak terbentuknya hingga sampai saat ini. Adapun madzhab-madzhab yang tidak diikuti, seperti Madzhab Al-AuzaI, Al-Laits bin Saad, Ishaq bin Rahawiyah dan lain sebagainya, semula mereka mempunyai pengikut, pada zamannya, namun akhirnya terputus beramal dengan madzhab mereka, akan tetapi ucapan-ucapan Imam-Imam tersebut tetap ter-rekamdalam kitab-kitab fiqih dan masih diperhitungkan keberadaannya dalam masalah ikhtilaf dan ijma. Kemudian sesudah mereka munculah seorang ulama bernama Daud bin Ali Al Asbahani (270 H), beliau menolak qias dalam berdalil dan berhujjah, hanya mengambil tiga saja, yaitu : Al-Kitab, Assunnah dan Ijma. Dan beliau berlebih-lebihan dalam berhujjah dengan dzahirnya nash-nash sehingga para pengikutnya disebut Adz-Dzahiriyah, dan madzhabnya akhirnya disebut dengan Madzhab Dzhahiri, dan salah seorang pengikutnya yang sangat terkenal adalah Ibnu Hazm yang dengan ijtihadnya beliau juga menolak qias. Madzhab ini tidak banyak diikuti

  • sebagaimana madzhab yang empat disebabkan kecaman para ulama terhadap para pengikutnya.

    Adapun golongan Syiah dan Khowarij, mempunyai madzhab-madzhab fiqih tersendiri, dan tidak terkategori sebagai ahlussunnah. Para pengikut madzhab yang empat dan lainnya ditinjau dari segi pembagian geografi kurang lebih sebagai berikut : 1. Madzhab Abu Hanifah : yaitu madzhab yang paling banyak pengikutnya pada

    masa kini, hal ini antara lain sebabnya disamping merupakan madzhab pertama, para sahahabat Abu Hanifah sepeti Al Qodhi Abu Yusuf dan lainnya, mereka menduduki dan menjabat sebagai Qodhi (hakim), dalam negara kekhilafahan dan termasuk juga yang membantu tersebarnya madzhab ini, karena secara resmi Khilafah Utsmaniyah bermadzhab Hanafi. Dan pada masa kini, madzhab ini tersebar di Mesir,, Syam, India, Pakistan, Afghanistan, dan negara-negara di seberang sungai yang terletak di sebelah utara Afghanistan yang disebut negara-negara Republik Islam, yang terletak di bagian selatan Uni Sovyet dahulu.

    2. Madzhab Maliki. : Pengikutnya yang paling banyak adalah di negara Maghribi, karena penduduk Maghribi dan Andalusia banyak mengadakan rihlah untuk haji, dan menuntut ilmu ke Hijaz, dan mereka berguru kepada Imam Malik dan membawa madzhabnya ke negara mereka, dan Madzhab Maliki juga mempunyai pengikut dari sebagian penduduk Mesir, Sudan dan Teluk.

    3. Madzhab Asy-Syafii. Pada hari ini pengikutnya ada di Mesir, Syam, Yaman, Somalia, dan di negara-negara Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, Thailand dan Filipina, dan lain sebagainya).

    4. Madzhab Ahmad.: Pengikut utamanya adlah di Jazirah Arabia termasuk di negara-negara Teluk.

    5. Adapun Khowarij. Yang diikuti madzhab fiqihnya pada hari ini adalah madzhab Khowarij, Al-Ibadhiyah pengikut Abddullah bin Abadh, dan madzhab mereka diamalkan di kesultanan Oman, hampir separuh penduduknya mengikuti madzhab tersebut.

    6. Adapun Syiah, mempunyai tiga madzhab yaitu : a. Asy-Syiah Zaidiyah, pengikut Imam Zaid bin Ali bin Al-Husain (122 H),

    mereka ada di Yaman, Madzhab mereka merupakan madzhab Syiah yang paling dekat dengan pemahaman Ahlussunnah, Imam Asy-Syaukani berhujjah dengan ucapan imam-imam mereka dalam kitab fiqih beliau.

    b. Asy-Syiah Al-Jafariyah. Mereka mengaku sebagai pengikut Imam Jafar Ash-Shodiq, mereka ada di Iran dan Pakistan.

  • c. Asy-Syiah Al Imamiyah. Pengikutnya adalah mayoritas penduduk Iran, dan ada juga di Pakistan, Afghanistan, Azerbaijan, Lebanon, Irak, negara-negara Teluk dan lainnya. (silahkan rujuk dalam Al-Jami 12/29-32)

    2. Kitab-kitab fiqih yang terkenal dalam madzhab-madzhab Ahlussunnah wal

    Jamaah. A. Kitab-Kitab Fiqih Madzhab Hanafi. 1. Al-Mabsuth olah As-Sarkhosi (Syamsul Aimmah Abu Bakar Muhammad bin

    Ahmad bin Abu Sahl (483 H)). 2. Badaius-ShonaI fi Tartibisy Syaroi oleh Alauddin al Kasani (587 H). 3. Fathul Qodir Syarhul Hidayah oleh Kamaluddin Muhammad Abdul Wahid

    bin Al Humam (861 H). 4. Raddul Muhtar ala Durril Mukhtar oleh Ibnu Abiddin (Muhammad Amin bin

    Umar (1252 H)), kitab ini dikenal dengan sebutan Hasyiyah Ibnu Abidin karena merupakan hasyiyah beliau atas kitab Ad-Durril Mukhtar karangan Muhammad Ali Al-Haskafi (1088 H).

    5. Tabyiinul Haqoiq Syarhu Kanzid-Daqoiq oleh FAkhruddin Utsam bin Ali Az-ZailaI (743 H), kitab Kanzud Daqoiq matan yang mang masyhur dalam fiqih Hanafi oleh Hafidzuddien An-Nasafi (710 H)

    6. Al Bahrur Roiq Syarhu Kanzid-Daqoiq oleh Zainuddin bin Najim Al Hanafi (970 H).

    7. Madzhahrul Haqoqil Khofiyyah minal Bahrir-Roiq oleh Khairuddin bin Ahmad Ar-Ramli (1081 H).

    8. An-Nahrur Faiq fi Syarh Kanzid Daqoiq oleh Umar bin Ibrahim bin Najim (1005 H).

    9. Majmaul Anhar syarhu Mutaqal Abhar oleh Asy-Syaikh Zaadah. 10. Al-Fatawa al Khaniyah oleh Qodhi Khan (Hasan bin Manshur al Uzajandi

    (592 H)). 11. Al Fatawa Al Hindiyah adalah himpunan fatwa-fatwa para ulama India yang

    bermadzhab Hanafi dan disebut juga Al Fatawa Alim Kabiriyah, karena fatwa tersebut ditulis berdasarkan permintaan Raja India Muhammad Urnahzib yang digelari (Alim Kabir), beliau adalah raja India Muslim dari dinasti Mughol terakhir sebelum India dijajah oleh tentara kafir Inggris.

    B. Kitab-Kitab Fiqih Madzhab Maliki. 1. Al Mudawwanah Al Kubra oleh Imam Malik bin Anas (179 H )

    diriwayatkan oleh Abdus-Salam bin Said At-Tarukhi yang terkenal dengan sebutan Sahnun (240 H), dari Abdur Rahman bin Al Qosim (191 H) dari Imam Malik.

  • 2. Ar-Risalah oleh Ibnu Abi Zaid Al qirwani (Abu Muhammad Abdullah bin Abdur Rahman an-Nafzawi (386 H), beliau adalah imam dari para pengikut madzhab Maliki pada masanya.

    3. Abu Umar Ibnu Abdil Barr (463 H) dia menulis kitab Al-Kaafi fi Fiqhi Ahlil Madinah Al0Maliki dan KItab At-Tamhid lima fil Muwaththa minal maaani wal masaanid dan kitab al-Istidzhar fi Syarhi Madzhahibil Ulamaaul Anshar.

    4. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid oleh Ibnu Rusyd Al Hafidz (595 H).

    5. Syuruh Mukhtashar Kholil oleh Al Allamah Kholil bin Ishaq bin Musa Al Maliki (776 H) dan sebagainya.

    C. Kitab-Kitab Fiqih Madzhab Asy-Syafii. 1. Al-Umm oleh Imam Asy-SyafiI (Muhammad bin Idris Asy-Syafii (204

    H)). 2. Al-Muhadzdzab oleh Abu Ishaq Asy-Syairazi (Ibrahim bin Ali (476 H)).

    Beliau juga menulis kitab fiqih At-Tanbiih. 3. Al-Wajiz oleh Abu Hamid Al-Ghazali (505 H) dan disyarah oleh Abul

    Qasim Ar-RafiI (623 H) dalam kitabnya Fathul Aziz Syarhul Wajiz. 4. Al Majmu oleh An-Nawawi, demikian juga dengan kitab Syarh Al

    Muhadzdzab (676 H), yang belum tamat karena beliau meninggal (sampai pada bab Riba) lalu disempurnakan oleh sejumlah ulama sesudahnya yaitu ali bin Abdul Kaafi As-Subki Al-Kabir, Muhammad Najib al MuthiI dan Muhammad Husain Al Aqbi.

    5. Minhajut-Tholibin wa Umdatul Muftiyyin oleh An-Nawawi kitab ini berjilid-jilid dan termasuk kitab yang paling penting bagi orang-orang yang akhir yang bermadzhab Asy-SyafiI dan kitab ini disyarah oleh banyak ulama dari madzhab ini antara lain : - Ibnu Hajar al-Maki Al Haitami (974 H) dengan nama Tuhfatul Minhaj

    bi syarhil Minhaj. - Syamsuddin Muhammad Asy-Syarbini Al-Khathib (977 H) dengan

    nama : Mughnil Muhtaz bi Syarhil Minhaj. - Syamsuddin Abul Abbas ar-Ramli (Muhammad bin Ahmad bin Hamzah

    (1004 H)), dengan nama Nihayatul Muhtaz bi-Syarhil Minhaj. - Dan lain-lain

    6. Radlatuth-Tholibin oleh An-Nawawi tebal kitab ini ada 12 jilid dan merupakan kitab tersendiri, bukan termasuk bagian dari kitab Minhajuth-Tholibin.

  • 7. Kitab-kitab Syaikhul Islam Abu Yahya Zakaria Al Anshori (936 H) seperti Al-Ghararul Bahiyyah fi Syarhil Bahjah Al Wardiyyah dll.

    8. Al-Fatawa Al Kubra oleh Ibnu Hajar Al Makki Al Haitami. 9. Kifayatul Akhyar oleh Abu Bakar al Hushni Asy-SyafiI (829 H), Syarah

    matan Ghayatul Ikhtishor oleh Al-Qodhi Abu Syuja al Asfahani. D. Kitab-Kitab Fiqih Madzhab Hambali.

    Penghimpun fiqih Madzhab Hambali adalah Abu Bakar Al-Khallal (311 H) penulis kitab As-Sunnah beliau mengumpulkan fiqih Ahmad bin Hambal rhm dari murid-muridnya, yakni dalam kitab beliau Al-Jami fil Madzhab. Sebenarnya ulama-ulama terdahulu dari kalangan madzhab ini telah banyak menulis fiqih, seperti Al-Qodhi Abu Yala (458 H), Abul Wafa bin Uqail (513 H), Abul Khithoh Al-Kaludzani (510 H), Abul Barkat Ibnu Taimiyah (625 H), akan tetapi kitab mereka tidak tersebar, lalu dinukil olehpara ulama sedsudahnya yang menulis fiqih dalam madzhab ini seperti : Ibnu Qudamah, Ibnu Muflih dan Mardawi. Adapun kitab-kitab yang tersebar antara lain sebagai berikut : 1. Kitab-kitab tulisan Al-Muwaffiq Ibnu Qudamah (620 H). Beliau menulis

    empat kitab yang terkenal, yaitu : (a). Al-Umdah, (b) Al Mughni. (c) Al Kaafi, (d). Al-Mughni. Buku-buku ini disyarah oleh para ulama antara lain sebagai berikut :

    Al-Umdah disyarah oleh Bahauddin Al Maqdisi (624 H), dalam bukunya Al-Uddah Syarhul Umdah.

    Al Muqni syarah dan ikhtisarnya banyak antara lain : - Syarah Syamsuddin Abul Faraj Abdur Rahman bin Qudamah (682

    H), dalam kitabnya Asy-Syarhul Kabir Abul Faraj menamakan syarahnya dengan Asy-Syaafi.

    - Syarah Syaifuddin Ibnul Manja (695 H), dalam kitabnya Al-Mumti Syarhul Muqni.

    - Syarah Alauddin Al-Mardawi (885 H) dalam kitabnya Al-Inshaf fi Bayanir Rajih Minal Khilaf kitab sebanyak 12 jilid, kitab ini menghimpun kebanyakan pendapat fuqoha, dalam madzhab ini, dan tidak banyak menyebutkan dalil, maka kedudukan beliau dalam madzhab tersebut mufti muqollid dalam madzhab.

    - Syarah Ibnu Muflih dalam kitabnya,l Al-Mubda Syarhul Muqni (Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad bin Muflih (884 H)), penulis kitab Al-Maqshadul Arsyad fi Dzikri Ashhabil Imam Ahmad, beliau bukan Syamsuddin Ibnu Muflih (762 H), penulis kitab Al Furu.

  • Adapun ikhtisar dari kitab Al-Muqni antara lain adalah kitab Zadul Mustanqi oleh Syarafuddin Musa Al Hajawi (986 H), merupakan matan yang sangat penting dalam Madzhab Hanabilah dan lain sebagainya.

    Al-Kaafi. Tetap sebagaimana asalnya kitab ini terdiri dari 4 jilid. Al-Mughni sebanyak 9 jilid ada yang dicetak menjadi satu dengan Asy-Syarahul Kabir Alal Muqni dalam 12 jilid dan kementrian wakaf Kuwait telah membuat daftar isi dan bahasannya secara tertib menurut abjad dengan nama, Mujamul Fiqih Al-Hambali dicetak dalam dua jilid, Mujam (Kamus) ini merupakan kamus yang komplit dan besar manfaatnya.

    2. Kitab-kitab Syamsuddin Ibnu Muflih (Abu Abdullah Muhammad bin Muflih Al Maqdisi Al Hambali (763 H)), yang terpenting dari kitab Al Furu; ialah menyebutkan pendapat-pendapat yang dipilih oleh Asy-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (728 H). apabila beliau mengatakan , Berkata Syaikhuna berarti yang disebut adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah , kitab Al Furu ada 6 jilid beliau juga menulis buku Al-Adabus-Syariyyah wal Manhul Marriyah.

    3. Syarafuddin Musa Al-Hajawi (968 H), buku beliau yaitu Zaadul Mustaqni Muktashor Al Muqni dan kitab yang lain, Al-Iqna yang disyarah oleh ASy-Syaikh Al Baghuti dalam Kasysyaful qina

    4. MarI bin Yusuf Al-Karami Al-Hambali (1033 H), buku beliau adalah matan Daliluth-Tholib dan disyarah oleh beberapa ulama.

    5. Manshur bin Yunus al-Bahuti (1051 H), beliau menulis beberapa buku fiqih yaitu,

    Ar-Raudhatul Mari Syarhu Zaadil Mustaqni Syarhul Muntahal Iradat, 3 jilid, dan kitab Muntahal Iradat fil JamI

    Bainal Muqni wat Tanqih Maasy Syarhi waz-Ziyaadat oleh Asy-Syaikh Ibnun Najjar al-futuhi Al Hambali (972 H).

    Kasyfatul qina ala Matnil Iqna setebal 6 jilid. Catatan : Kitab-kitab Asy-Syaikh Manshur Al Bahuti merupakan pegangan atau sandaran bagi para ulama jazirah Arabia dalam berfatwa dari sejak zaman Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H) hingga hari ini, sebagian mereka ada yang berpegang dengannya dan sebagian yang lain ada yang mengambil pilihan-pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam masalah-masalah yang diperselisihkan.

  • Dan perlu diketahui bahwa kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak dimasukkan disini, sebab lebih tepat dijadikan kitab pertarjih saja, -wallahu alam- demikian pendapat Asy-Syaikh Abdul Qodir rhm.

    E. Kitab-Kitab Fiqih Madzhab Dzhahiri. 1. Al Muhalla oleh Ibnu Hazm (Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm

    (456 H)), sebanyak 11 jilid, kitab ini merupakan kitab fiqih muqarin (Perbandingan) dan ada daftar indeksnya dalam 2 jilid, disebut Mujamul Muhalla fil Fiqhidz-Dzhahiri dikeluarkan oleh Fakultas Asy-Syariah Universitas Damsyiq, tahun 1966 M.

    2. Maraatibul Ijma Ibnu Hazm F. Kitab-Kitab Fiqih Asy-Syaukani. (Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-

    Syaukani (1250 H)). Beliau dalam menulis kitab-kitab fiqih tidak terikat dengan madzhab tertentu, akan tetapi beliau berusaha meencari dan memilih yang sesuai dengan Al-Kitab dan Assunnah, oleh karena itu kita tidak memasukkan buku-buku beliau dalam Madzhab tersebut, maka kitab-kitabnya merupakan kitab-kitab tarjih, namun beliau ada terpengaruh dengan sebagian manhaj dan syudzudz Ibnu Hazm misalnya berdalil dengan istishab, beliau berhujjah dengan qias sebagai mana jumhur, Adapun buku-buku dan tulisan-tulisan beliau : 1. Ad-Durarul Bahiyyah oleh Asy-Syaukani- merupakan matan mukhtashar

    dan ada dua syarahnya yaitu :

    Ad-Duraril Mudhiyyah Syarhu Ad-Durarul Bahiyyah oleh Asy-Syaukani sendiri.

    Ar-Raudhah An-Nadhiyyah Syarh Ad-Durarul Bahiyyah oleh Shiddiq Hasan Khan al Qanuji Al Bukhari (1307 H).

    2. Nailul Authar Syarhu Muntaqol Akhbar. Yaitu syarah hadits-hadits ahkam yang tersebut dalam kitab Muntaqol Akhbar oleh Abul Barakat Ibnu Taimiyah, Asy-Syaukani dalam syarahnya berpegang berdasarkan ucapan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, beliau sangat mengagumi Ibnu Hajar.

    3. As-Sailul Jarralul Mutadaffiqu ala Hadaiqil Azhar , bukunya ada 4 jilid, dalam buku ini Asy-Syaukani membetulkan kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam kitab Al-Azhar yaitu kitab fiqih yang paling masyhur dikalangan Syiah Zaidiyah, merea ada di Yaman sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, Asy-Syaukani rhm dilahirkan di Yaman, beliau lama menjabat sebagai qodhi (hakim) bahkan sebagai pimpinan para hakim yang bermadzhab Syiah Zaidiyah yaitu golongan Syiah yang paling dekat dengan pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah, mereka

  • adalah Asy-Syiah Al Mufadhdhilah (yaitu syiah yang menganggap Ali bin Abi Thalib r.a lebih utama daripada shahabat termasuk Abu Bakar, Umar dan utsman r.a), Asy-Syaukani hendak berbuat baik dan memberi nasehat serta berkhidmat kepada penduduk negerinya daripara pengikut madzhab zaidi, dan orang-orang yang mempelajari fiqihnya, maka beliau mengoreksi dan mengkritik sebagian maudhu dari kitab Al-Azhar dan menerangkan yang benar sesuai dengan Al-Kitab dan Assunnah yang terdapat di dalamnya, oleh karena itu kitab tersebut termasuk kitab tarjih.

    4. itulah kitab-kitab fiqih yang terkenal di dalam berbagai madzhab ahlussunnah wal jamaah, adapun kitab-kitab fiqih yang dipunyai golongan-golongan syiah dan sebagainya tidak perlu saya sebutkan disini , sebab tidak ada kepentingannya, dan peranannya bagi kita sebagai Ahlussunnah, selain untuk mengetahui kebatilannya dan hal ini tidak diwajibkan atas setipa muslim kecuali orang-orang yang bersangkutan dengannya, misalnya untuk berhujjah, dan berdebat dengan mereka, untuk berdakwah, memberi tahdzir kepada umat tentang bahaya syiah, atau bagi setiap muslim, yang menghadapi fitnah mereka, atau yang hidup di kalangan mereka, agar terhindar dari keburukan-keburukan dan kebatilan-kebatilan mereka, kitab-kitab fiqih syiah tidak dijadikan sandaran, pegangan dan rujukan bagi Ahlussunnah dan Ahlul Ilmi dan tidak diperhitungkan dalam masalah Ijma dan Ikhtilaf. Adapun mengenai kitab-kitab Fiqih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rhm. Tidak kita masukkan dalam rangkaian kitab-kitab fiqih Madzhab, alasannya antara lain sebagai berikut: 1. Beliau berdua tidak menulis buku fiqih tersendiri yang memuat segala

    persoalan fiqih atau sebagiannya secara urut sebagaimana kitab-kitab fiqih yang lain.

    2. Hampir seluruh masalah fiqih yang beliau bahas adalah berupa fatwa karena menjawab pertanyaan atau menjelaskan kepada ummat atau mentarjih pendapat-pendapat ulama Assunnah yang sezaman dengan beliau maupun sesudahnya, khususnya yang tidak bertaashub dengan madzhab, berpendapat bahwasanya tarjih beliau kebanyakannya benar.

    Dengan alasan itu dan yang lainnya, maka menurut Asy-Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz rhm penulis Al-Jami buku-buku fiqih beliau leih sesuai di dudukkan dan dihimpunkan dalam buku-buku tarjih daripada di letakkan dan dirangkaikan dalam buku-buku madzhab, namun demikian kalau kita perhatikan bahwa Iktiyaarat atau tarjihat Syaikhul Islam Ibnu

  • Taimiyah banyak terdapat dalam kitab fiqih Madzhab Hambali, khususnya dalam Al-Furu yang telah tersebut diatas, sebab penulisnya (Syamsuddin bin Muflih atau Abdullah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi Al-Hambali (762 H)) adalah murid beliau. Dan ada juga salah seorang alim dari Madzhab Hambali bernama Alauddien Al Bali Al Hambali (803 H), menghimpun tarjihat (persoalan-persoalan yang sudah ditarjih) beliau dalam sebuah kitab yang berjudul Al-Ikhtiyaaratul Fiqhiyyah min Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Dan adapun tulisan-tulisan fiqih beliau berdua yang terkatagori sebagai tarjih tersebut bisa dilihat : Tulisan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terkandung dan termuat dalam Majmu Fatawa dari jilid 21 hingga 35. Tulisan-tulisan Al-Allamah Ibnul Qoyyim tersebar dalam buku-buku beliau, misalnya Ilamul Muwaqiin, Badaiul Fawaid, Ighotsatul Lahfan, Zaadul Maad, Ahkam Ahlidz-Dzimmah, Ath-Thuruqul Hukmiyyah dan lain sebagainya. Dan Alhamdulillah untuk memudahkan mencari bahasan ni, ada seorang syaikh bernama Bakar Abu Zaid telah berkhidmat kepada para penuntut ilmu, beliau telah membuat daftar indeks bahasan tersebut dalam sebuah kitab yang beliau namakan Tagribu liulumi Ibnil Qoyyim.

    3. Bermadzhab dengan madzhab tertentu termasuk bidah yang terjadi sesudah tiga abad terbaik. Rasulullah saw bersabda,

    Khot Arab. Artinya : Sebaik-baik ummatku adalah generasiku, kemudian orang-orang yang berikutnya kemudian orang-orang yang berikutnya (Muttafaqun Alaihi). Al-Qorn bisa bermakna Abad dan bisa juga bermakna satu generasi dari manusia yang hidup pada satu zaman yang berdekatan, yang mempunyai prinsip dan tujuan yang sama, dan yang dimaksud dalam hadits ini adalah makna kedua, maka maksud Qornin atau Qorn Nabi saw adalah generasi sahabat, kemudian orang-orang yang berikutnya adalah generasi Tabiin, kemudian orang-orang yang berikutnya adalah generasi para pengikut Tabiin. Untuk lebih jelasnya saya berikan disini tarif atau definisinya secara singkat dari masing-masing generasi yaitu sebagai berikut : a. Ash-Shohabah (Ash-shohabi)m yaitu orang-orang yang hidup sezaman

    dengan Nabi Muhammad saw, pernah bertemu dengan beliau dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim.

  • b. At-Taiun/ at-Tabiin (At-Tabii) : yaitu orang yang pernah bertemu dengan shahabat dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim.

    c. Tabiut-Tabiin atau Atbaut Tabiin (pengikut tabiin) : yaitu orang yang pernah bertemu dengan tabiin dalam keadaan muslim, dan meninggal dalam keadaan muslim.

    Berkata Ibnu Hajar Al Asqolani rhm (852 H) : Dan mereka bersepakat (ahlul ilmi) bahwasanya akhir dari pengikut Tabiin yang bisa diterima ucapannya adalah orang yang hidup sampai batasan 220 H, sesudah masa itu muncullah berbagai macam bidah golongan mutazilah, menyebar omongannya disana-sini, para pengusung filsafat mengangkat kepala-kepalanya, sementara ahlul ilmi tngah

    menghadapi ujian dan cobaan dipaksa mengatakan bahwa Alquran adalah makhluk, dan situasi benar-benar berubah dan terus-menerus dalam keadaan yang kurang dan memprihatinkan sampai sekarang (lihat Fathul Bari 7/6) . Berdasarkan keterangan terseut maka tiga qurun (abad) yang disaksikan keutamaannya dan kebaikannya oleh Rasulullah saw itu berarti berakhir pada 220 H, maka generasi yang terbaik adalah generasi yang hidup pada masa Rasulullah saw sampai tahun 220 H. Imam-imam yang empat , yaitu Abu Hanifah (Wafat 150 H), Malik bin Anas (Wafat 179 H), Muhammad bin Idris Asy-SyafiI (Wafat 204 H) dan Ahmad bin Hambal (Wafat 241 H) rohimahumullahu ajmain. Beliau berempat termasuk dalam generasi terbaik itu, karena mereka hidup pada masa sebelum tahun 220 H dan bergaul dengan generasi tersebut bahkan termasuk imam-imamnya, dan keempat imam ini semuanya termasuk Tabiut-Tabiin (pengikut tabiin) kecuali Imam Abu Hanifah rhm diperselisihkan, ada yang berpendapat beliau termasuk Tabiin karena dikatakan pernah bertemu dengan Ash-Shahabi Anas r.a dan meriwayatkan hadits dari beliau wallahu alam- lihat muqaddimah Al Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu tulisan Az-Zuhaili. Berkata Ibnu Hazm r.a, Bermadzhab tidak dikenali dan tidak diamalkan pada tiga abad yang terbai, hanyasanya ia terjadi sesudah itu, kalaulah bermadzhab itu baik niscaya diamalkan oleh generasi pada abad yang disaksikan kebaikannya oleh Rasulullah saw, maka tidak diragukan lagi bahwa ia adalah termasuk bidah yang baru1. Berkata Ibnul Qoyyim rhm (751 H) : Sesungguhnya kami mengetahui secara dharurah bahwasanya pada masa shahabat tidak ada seorangpun yang menjadikan salah seorang diantara mereka yang ditaqlidi dalam semua pendapatnya dan tidak ada sesuatupun yang digugurkan atau ditinggalkan dari padanya, dan meninggalkan pendapat-pendapat yang lainnya dan tidak mengambil sesuatupun

    1 Al-Ihkam 6/146

  • darinya. Dan kami mengetahui secara dharurah bahwa hal yang seperti ini tidak terjadi pada masa Tabiin dan tidak pula pada masa Tabiit-Tabiin dan seterusnya sampai kata-katanya- hanyasanya bid;ah ini adalah terjadi pada abad keempat yang tercela melalui lisan Rasulullah saw.2

    Berkata Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi rhm (penulis tafsir Adhwaul Bayaan), Adapun bentuk taqlid yang dilakukan oleh orang-orang akhir yang menyelisihi para sahabat dan selain mereka yang hidup pada abad yang disaksikan kebaikannya adalah taqlid kepada satu orang tertentu tanpa yang lainnya dari seluruh ulama maka sesungguhnya taqlid semacam ini tidak tersebut dalma nash Al-Kitab dan Assunnah, dan tidak ada seorangpun dari sahabat Rasulullah saw yang berpendapat seperti ini dan tidak juga seorangpun dari mereka yang hidup pada abad yang disaksikan kebaikannya. Dan pendapat ini menyelisihi ucapan-ucapan imam-imam yang empat, tidak ada seorangpun dari mereka yang berpendapat dengan jumud diatas pendapat satu orang tertentu tanpa yang lain dari seluruh ulama kaum muslimin. Maka taqlid kepada alim tertentu adalah termasuk bidah pada abad ke empat, siapa yang tidak setuju dengan pernyataan ini, silahkan tunjukkan kepada kami contoh satu orang saja yang hidup pada masa tiga abad pertama yang memegangi madzhab satu orang tertentu, sekali-kali tidak akan dapat memberikan contoh selama-lamanya, karena memang tidak terjadi sama sekali3.

    4. Ikhtilaf (perselisihan) ulama dalam menghukumi bermadzhab. Yang dimaksud bermadzhab atau dalam bahasa Arab disebut dengan At-Tamadzdzahub ialah : Iltizam (komitmen)nya seseorang terhadap ucapan-ucapanatau pendapat-pendapat madzhab tertentu dia tidak pernah terkeluar dari pendapat-pendapat madzhab itu dalam meminta fatwa dan amalannya.4 Para ulama berselisih dalam menghukumi bermadzhab, jika disimpulkan bisa dibagikan menjadi tiga kelompok atau tiga pendapat yaitu sebagai berikut :

    1. Kelompok atau pendapat yang melarang. 2. Kelompok atau pendapat yang mewajibkan. 3. Kelompok atau pendapat yang membolehkandan tidak mewajibkan.

    Adapun hujjah dan alasan masing-masing sebagai berikut : 1. Kelompok yang melarang bermadzhab : Hujjah dan alasannya karena

    bermadzhab adalah bidah yang terbentuk sesudah tiga abad pertama yang terbaik dan tidak diamalkan oleh salafi dan Tidak ada dalil syari yang mewajibkan hal itu, dan bahwasanya kebenaran itu tidak terbatas pada ucapan

    2 Ilamul Muwaqiin 2/189.

    3 Adhwaaul Bayan 7/488-499.

    4 Al-Jami 5/30.

  • atau pendapat stu orang, jika tidak tentu dia mashum (terpelihara dari kesalahan) sedangkan tidak ada yang mashum pada umat ini setelah Nabi Muhammad saw, bahkan setiap orang sesudah beliau, ucapannya atau pendapatnya ada yang diambil dan ada yang ditinggalkan, dan sesungguhnya Allah taala memperhambakan kita atau menyuruh kita beribadah kepada-Nya dengan mengikuti yang haq, bukan dengan ucapan atau pendapat si Anu dari ulama. Maka dimanapun ada kebenaran kita ikuti kebenaran itu, baik di katakan si fulan atau si fulan, dan seterusnya. Al Allamah Ibnul Qoyyim termasuk ulama yang melarang bermadzhab, kata beliau; orang awam meminta fatwa kepada ulama yang mana saja yang mereka kehendaki tanpa terikat dengan madzhab tertentu, ucapan beliau selengkapnya sebagai berikut: Berkata Ibnul Qoyyim rhm ketika ditanya tentang apakah orang awam diwajibkan bermadzhab dengan sebagian madzhab-madzhab yang terkenal ataukah tidak? Dalam hal ini ada dua madzhab (pendapat) slah satunya adalah : Tidak mewajibkannya, dan ini yang benar secara qothI, sebab tidak ada ssuatu yang wajib kecuali yang Allah dan Rasul-Nya mewajibkannya, sedangkan Allah taala dan Rasulullah saw tidak mewajibkan atas seorangpun dari manusia untuk bermadzhab dengan madzhab seorang laki-laki dari ummat ini, lalu taqlid kepadanya dalam agamanya tanpa yang lainnya, sungguh generasi yang terbaik telah terlepas dari pernisbahan ini, bahkan madzhab tidak sah bagi orang awam, meskipun mereka bermadzhab dengannya, maka orang awam tidak ada madzhab baginya. Karena sesungguhnya madzhab itu hanya dimliki oleh orang yang mampu berfikir, mempunyai pandangan dan mampu berhujjah atau berdalil sertamemahami benar madzhab-madzhab itu, atau orang yang membaca kitab dalam masalah furu (cabang-cabang) dalam madzhab tertentu dan mengetahui fatwa-fatwa imamnya dan pendapat-pendapatnya (ucapan-ucapannya). Adapun orang yang tidak mempunyai sama sekali keahlian dalam masalah ini, lalu mengatakan, Saya adalah Syafii (pengikut atau bermadzhab Asy-Syafii). Atau Saya adalah Hambali (pengikut atau bermadzhab Ahmad bin Hambal). Atau yang selain itu, ucapan seperti ini hanya sekedar ucapan belaka dan tidak menjadikanorang yang mengucapkan benar-benar bermadzhab sebagaimana yang dia ucapkan, seperti halnya dengan orang yang mengatakan, Saya ahli atau pakar fiqih. Atau Saya ahli ilmu Nahwu. Atau Saya pakar menulis.

    Orang tersebut tidak akan menjadi sedemikian jika hanya dengan sekedar mengaku dan mengucapkan saja. Maka pengakuan seseorang bahwa dia adalah SyafiI atau Maliki atau Hanafi berarti dia telah mengikuti Imam tersebut dan menempuh jalan (metode)nya.

  • Maka pengakuan ini dianggap sah apabila orang tersebut benar-benar telah menempuh jalan imam itu dalam ilmu, marifah dan istidlal (berdalil). Adapun jika pengakuannya itu disertai kebodohannya dan sangat jauhnya dari sirah atau perjalanan imam jauh dari ilmunya dan jalannya, maka bagaimana bisa benar penisbahan dirinya terhadap imam tersebut selain hanya sekadar mengaku saja dan omong kosong yang tidak berarti. Orang awam tidak terbayang sahnya madzhab baginya, seandainya terbayangkan hal itu tidak diwajibkan kepadanya dan tidak pula kepada yang lainnya. Dan tidak diwajibkan kepada seorangpun untuk bermadzhab dengan madzhab satu orang lelaki dari umat ini, yang mana ucapan-ucapannya diambil seluruhnya dan meninggalkan ucapan-ucapan yang lainnya. Ini merupakan bidah yang buruk yang terjadi pada ummat ini, tidak ada seorangpun dari Imam-Imam Islam yang mengatakan seperti ini, sedangkan kedudukan mereka lebih tinggi dan lebih agung nilainya dan lebih mengetahui dengan Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak mewajibkan manusia untuk bermadzhab dan jauh darinya ucapan orang yang mengatakan: wajib bermadzhab dengan madzhab salah seorang alim dari ulama dan jauh darinya ucapan orang yang mengatakan, Wajib bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat. Aduhai sungguh mengherangkan! Madzhab-madzhab sahabat Tabiin dan Tabiut-tabiin serta seluruh ulama Islam mati dan batal keseluruhannya yan gtinggal dantersisa hanya madzhab-madzhab empat jiwa saja dari seluruh para imam dan fuqoha maka adakah satu orang saja dari imam-imam itu yang megantakan seperti ini, atau menyeru kepadanya, atau satu lafadz saja dari perkataan mereka yang menunjukkan demikian? Dan yang diwajibkan Allah taala dan Rasul-Nya atas sahabat Tabiin dan Tabiut-Tabiin , ia juga diwajibkan atas orang-orang sesudah mereka, sampai hari kiamat, kewajiban tidak berbeda dan tidak berubah meskipun berbeda kualitasnya atau ukurannya karena berbeda kemampuan dan kelemahannya, zamannya, tempatnya dan keadaannya, maka yang dmeikian itu jugamengikuti kepada apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang membenarkan madzhab bagi orang awam dia berkata, Dia telah meyakini bahwasanya madzhab yang dia menisbahkan diri kepadanya berarti yang haq atau kebenaran. Maka wajib atasnya memenuhi keyakinannya, ucapan mereka ini andaikan benar tentu wajib darinya utuk tidak meminta fatwa bahkan haram meminta fatwa kepada orang yang selain dari madzhab yang diyakininya.

  • Adapun contohnya seperti, mengikuti yang rukhshah- rukhshah dari madzhab-madzhab yang ada, yaitu seperti ucapan Imam Ahmad bin Hambal rhm, Seandainya ada seseorang yang mengamalkan pendapat penduduk Kufah dalam (masalah hukum) mendengarkan, dan penduduk Mekkah dalam masalah hukum muthah, dia adalah fasiq. (Irsyadul Fuhul, hal 253). Dari sinilah sebagian ulama mewajibkan atas orang awam untuk melazimi madzhab tertentu, sebagaimana dikatakan oleh An-Nawawi rhm, dan dengannya Abul. Hasan Al-Kayya memutuskan dan hal ini berlaku pada setiap orang yang tidak mencapai martabat ijtihad dari para fuqoha dan orang-orang yang memiliki semua bentuk ilmu, dengan alasan, seandainya dibolehkan mengikuti madzhab yang mana saja dikehendakinya, niscaya akan membawa kepada pengambilan yang ringan-ringan dari madzhab-madzhab yang ada sesuai dengan hawa nafsunya, dan memilih-milih antara yang demikian ini akan mengakibatkan rusaknya dan merosotnya kualitas dalam menunaikan tanggung jawab dan kewajiban, berlainan dengan periode pertama, sebab pada masa itu, madzhab-madzhab belum terbentuk dengan sempurna danmemadai dengan hukum-hukum dan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang terkoreksi dan dikenal, oleh karena itu diwajibkan berijtihad dalam memilih madzhab yang diikutinya atas ketentuan5 Dari keterangan tersebut dapat diketaui bahwasanya ulama yang mewajibkan bermadzhab tidak mempunyai dalil atau alasan selain saddudz dzariatittarakhkhush (menutup wasilah yang mengantarkan kepada sikap memilih yang rukhsah). Imam Nawawi cenderung kepada pendapat ini dan mentarjihkan bagi orang awam bermadzhab dengan madzhab Asy-SyafiI rhm.

    Pihak yang melaran gbermadzhab telah berhati-hati terhadap hal yang dikhawatirkan tersebut dan mengatakan bahwa tidak bermadzhab tidak berarti memperkenankan bagi orang awam untuk mengikuti perkara-perkara yang rukshah dalam madzhab-madzhab yang ada, sebagaimana pada akhir ucapan Ibnul Qoyyim yang tersebut diatas, sebab tidak bolehnya mengikuti yang rukhshah saja itu merupakan ijma yang tidak diperselisihkan lagi. Berkata Ibnul Abdil Barr, Berkata Sulaiman At-Tamimi, Jika kamu mengambil rukhshah setiap orang alim, telah terkumpul pada dirimu kejahatan semuanya. 6

    2. Kelompok yang Membolehkan dan Tidak Mewajibkan.

    5 Majmu An-Nawawi 1/55

    6 Jami Bayanil Ilmi 2/92

  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm, termasuk dalam kelompok ini, beliau ditanya, Apa pendapat para pemuka ulama dan imam-imam agama radhiyallohu anhum ajmain- mengenai seorang lelaki yang ditanya, apa madzhabmu? Lalu dia menjawab, Muhammadi (pengikut Muhammad), saya mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Muhammad saw. Maka dikatakan kepadanya, Seyogyanya bagi setiap mukmin mengikuti madzhab dan barangsiapa yang tidak bermadzhab, maka dia adalah syaitan. Lalu dia berkata, Apa madzhab Abu Bakar Ash-Shiddiq dan khalifah-khalifah sesudahnya rhm? Maka dikatakan kepadanya, Tidak patut bagimu kecuali mengikuti madzhab-madzhab ini. Maka manakah yang betul diantaranya keduanya? Berilah fatwa kepada kami semoga Allah Taala memberikan pahala kepadamu. Maka beliau rhm menjawab sebagai berikut : Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), hanya sanya diwajibkan atas manusia adlah taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka ulul amri yang Allah memerintahkan agar taat kepada mereka dalam firman-Nya, Khot Arab Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa: 59) Apabila seorang muslim menghadapi satu persoalan, maka dia wajib bertanya dan meminta fatwa kepada seseorang yang diyakini memberi fatwa kepadanya dengan syariat Allah dan sunnah Rasul-Nya dari madzhab yang manapun juga, dan tidak wajib atas seseorang dari kaum muslimin taqlid kepada satu orang saja dari ulama dalam setiap apa yang diucapkannya, dan tidak wajib atas seseorang dari kaum muslimin melazimi madzhab orang tetetnu selain Rasulullah saw dalam segala apa yang diwajibkannya dan diberitahukan dengannya, bahkan setiap orang ucapannya ada yang diambil dan ada yang ditinggalkan kecuali Rasulullah saw. Ikutnya seseorang kepada madzhab orang tertentu dikarenakan dia tidak mampu mengetahui syariat dari jalan yang lain, hal ini diperkenankan baginya, bukannya wajib atas setiap orang jika dia mungkin mengetahui syariat dengan jalan selain itu, bahkan setiap orang wajib bertaqwa kepada Allah sesuai dengan kemampuannya, dan menuntut ilmu yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dengannya, lalu mengerjakan yang diperintahkan danmeninggalkan yang dilarang wallahualam-7

    7 MajmuFatawa Juz 20 hal 208-209

  • Syaikul Islam berkata lagi, Dan apabila seseorang menjadi pengikuti Abu Hanifah atau Malik atau Asy-Syafii atau Ahmad dan dia melihat dalam sebagian masalah , bahwa madzhab yang lain lebih kuat lalu dia mengikutinya berarti dia telah berbuat baik dalam hal itu, dan tidak tercela dalam agamanya dan tidak pula pada keadilannya, masalah ini tidak dipertentangkan, bahkan sikap inilah yang paling benar dan paling disukai Allah dan Rasul-Nya saw, daripada taashub kepada satu orang tertentu saja selain Nabi saw, seperti taashub kepada Malik atau Asy-Syafii atau Ahmad atau Abu Hanifah, dan ia berpendapat bahwsanya ucapan orang tertentu itu adalah yang benar yang mesti diikutinya, bukan ucapan imam yang menyelesihinya. Maka barangsiapa yang berbuat seperti ini dia adalah orang yang jahil lagi sesat, bahkan bisa jadi dia kafir, sesungguhnya bila dia meyakini bahwa wajib atas manusia mengikuti satu orang saja dari para imam-imam itu tanpa imam yang lain, maka wajib orang tersebut diminta bertaubat, jika enggan bertaubat maka dibunuh, bahkan yang paling patut dikatakan; bahwasanya diperkenankan atau sepatunya atau wajib atas orang awam bertaqlid kepada salah satu orang tidak dia sendiri, tanpa menentukan orang tertentu misalnya Zaid dan tidak juga Amru. Adapun ucapan orang, Bahwasanya wajib atas orang awam bertaqlid kepada si Fulan dan si Fulan, maka kata-kata seperti ini tidak diucapkan oleh seorang muslim.

    Dan barangsiapa berwala (loyalitas) kepada para imam-imam pencintai mereka, bertaqlid kepada setiap masing-masing dari mereka, dalam perkara yang jelas baginya sesuai dengan sunnah maka dia telah berbuat baik dalam hal itu.8

    Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwasanya, barangsiapa mengikuti apa yang mewajibkan mengikuti seorang alim dia sendiri saja, orang tersebut disuruh bertaubat, jika enggan dia dibunuh, yakni karena dia telah kufur disebabkan ucapan tersebut, karena sesungguihnya hakekat ucapannya berarti dia telah menjadikan orang alim itu sebagai Rabb (tuhan) atau nabi yang mashum, sebagaimana yang diterangkan beliau dalam ucapannya yang lain sebagai berikut, Kalau seandainya dibuka bab ini niscaya wajib berpaling dari perintah Allah dan Rasul-NYa dan yang tinggal adalah masing-masing Imam yang di mata pengikutnya berkedudukan seperti Nabi saw pada umatnya, ini merupakan penggantian atau merubah agama menyerupai perbuatan orang-orang Nasrani yang dicela oleh Allah taala dalam firman-Nya firman-Nya;

    8 Majmu Fatawa 22/248-249

  • Khot Arab. Artinya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rab-rabb (tuhan-tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhankan Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (Yang Berhak Disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan (At-Taubah : 31) -Wallahu Subhanahu wa Taala Alamu-9 Berkata Al-Allamah Sholeh bin Muhammad Al Falani rhm, (1218H), Berkata Syaikh Masyaikhina (guru dari guru-guru kita) Muhammad Hayah As-Sanadi, Wajib atas setiap muslim berijtihad (bersungguh-sungguh) dalam mengetahui makna-makna Alquran, mempelajari hadits-hadits dan memahami makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum darinya, maka jika tidak mampu, wajib atasnya bertaqlid kepada para ulama tanpa beriltizam kepada salah satu madzhab karena sesungguhnya ia menyerupai menjadikannya sebagai nabi Berkata Ibnu Taimiyah rhm dalam menjelaskan ucapan jumhur dalam maslah ini, Dan Ashl (pangkal) dalam masalah ini bahwasanya orang awam apakah wajib atasnya beriltizam kepada madzhab tertentu untuk mengambil azimahnya dan rukhsahnya? Dalam masalah ini menurut sahabat-sahabat Ahmad ada dua pendapat dan ada dua pendapat juga menurut sahabat-sahabat Asy-SyafiI dan jumhur dari mereka dan mereka tidak mewajibkan hal itu. Dan orang-orang yang mewajibkan berkata, Apabila seseorang telah beriltizam (memegangi) satu madzhab maka dia tidak boleh keluar darinya selama dia masih melaziminya atau selama tidak jelas baginya bahwasanya madzhab yang lainnya itu lebih utama untuk dilaziminya10 Demikianlah ucapan-ucapan dan pendapat-pendapat para ulama tentang hukum bermadzhab ada yang melarang, ada yang mewajibkan, dan ada yang membolehkan. Asy-Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz memilih pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam masalah ini yaitu bahwasanya bermadzhab diperkenankan atau dibolehkan karena hajat (memerlukan) tanpa mewajibkan , dan bahwsanya tidak halal mengikatkan diri dengan madzhab dalam suatu masalah yang diketahui bahwa yang haq yang didasari dengan dalil menyelisihi pendapat tersebut. (Lihat Al-Jami fi Tholabil Ilmi Syarif 5/35).

    9 Majmu Fatawa20/216

    10 Majmu Fatawa 20/222.

  • 5. Sekilas Tentang Wahabi atau Wahabiyah. Mengenai Wahabi dan sejarahnya, saya tidak mampu menerangkan secara detail karena tidak memiliki buku rujukan, bagi para ikhwah atau ikhwan yang ingin mengetahui selengkapnya saya persilahkan membaca tulisan-tulisan para penulis yang jujur dalam masalah ini Insya Allah- anda bisa mendapatkannya di toko-toko buku. Adapun dalam risalah ini saya hanya menyebut poin-poin tertentu yang saya anggap penting dan berhubungan erat dengan pembahasan ini, yaitu sebagai berikut: 1. Istilah Wahabi berasal dari salah satu nama dari nama-nama Allah yang

    baik (Al-Asmaaul Husna) yakni, Al-Wahhab yang berarti yang Maha Memberi, nama dan lafadz yang agung ini lalu diletakkan di depan kata Abdun maka terangkailah dalam satu kalimat Abdul Wahhab artinya, Hamba Dzat Yang Maha Memberi, maknanya sama dengan Abdullah, Hamba Allah. Ingat jangan salah mengartikannya, misalnya Abdur Rahman, bukan berarti hamba yang pengasih, tetapi yang benar adalah hamba Yang Maha Pengasih, atau Hamba Allah, jadi yang memiliki sifat Maha Pengasih adalah Allah, bukan orang yang bernama Abdur Rahman. Abdul Wahhab adalah nama orang tua (bapak) Al-Imam Al Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rhm yang wafat pada tahun 1206 Hijriyah. Dari kata Al-Wahhab dihilangkan (Alif-Lamnya) menjadi Wahhaab lalu ditambah (Ya) nisbah, maka menjadi Wahhaabiyyun contoh-contoh yang lain yang serupa dengan istilah ini, misalnya Hanafiyyun atau Hanafiyyah, Malikiyyun atau Malikiyyah, Syafiiyyun atau Syafiiyyah, atau contoh lain seperti Muhammadiyyun atau Muhammadiyah. Kemudian menurut qoidah dan kebiasaan orang arab mereka tidak mengucapkan harakat akhir dari sebuah kata yang terletak pada waqof (pemberhentian kalimat), maka menjadi Wahhabiyyun dan seterusnya menjadi Wahabi dengan menghilangkansyaddah atau tasydid dan mad pada huruf Ha, mungkin untuk menghindari sebutan yang agak berat atau karena mengikuti bahasa Indonesia Wallahu alam-

    2. Istilah Wahabi bisa berarti pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, dan bisa berarti madzhab atau aliran atau pemahaman atau ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab.

    3. Istilah Wahhabi bukan dicetuskan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri, tidak juga oleh murid-muridnya dan para pengikut-pengikutnya yang setia kepadanya, kalau kit abaca tulisan-tulisan beliau dan pengikut-pengikut setianya tidak ada yang menyebut jamaahnya dengan sebutan wahabi atau wahabiyah, kalaupun menyebutkannya karena terpaksa

  • menggunakannya sebab istilah tersebut sudah maklum, tidak berbeda dengan istilah yang biasa mereka pakai tidak berbeda dengan istilah yang dipergunakan olehgolongan yang mengaku Ahlussunnah wal Jamaah yang lain, misalnya, Ahlussunnah wal Jamaah atau Ahlussunnah, atau Ahlul

    Hadits, atau Al Firqoh An-Najiyyah atau Ath-Thoifah Al Manshurah, dan sebagainya, atau mereka biasa menyebut dengan Ad-Dawah An-Najdiyah, atau Ulamaaud-Dawah An-Najdiyah, karena tempat lahir mereka atau markas dakwah mereka adalah di Najd, maka kemungkinan besar wallahu alam- sebutan Wahhabi adalah bermuara dari luar kelompok tersebut dari pihak-pihak yang tidak suka dengan dakwah dan jihad mereka.

    4. Wahhabi bukan merupakan madzhab seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali dan Dzhahiri, artinya mereka yang digolongkan dengansebutan wahabi tersebut tidak menambah madzhab yang sudah ada menjadi madzhab yang kelima atau yang keenam, mereka hanyalah thoifah atau segolongan dari kalangan kaum muslimin yang bangkit menegakkan kebenaran, mendakwahkan Islam yang benar, berusaha mengembalikan kaum muslimin kepada Alquran dan Assunnah, dengan dakwah dan jihad, dengan ilmu dan kekuatan, dengan kitab dan besi. Maka banyak dari kalangan ahlul ilmi pada masa sesudah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab yang menyebut bahwasanya beliau adalah seorang mujaddid (pembaharu atau reformis), yang telah memperbaharui dan memperbaiki urusan dien yang telah dirusak oleh manusia. di dalam sebuah hadits dikatakan sebagai berikut:

    Khot Arab. Artinya : Dari Abu Hurairah r.a dari Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini diatas permulaan setiap seratus tahun orang yang memperbaharui baginya agamanya. (H.R Abu Dawud Al-Hakim dan Ath-Thabrani). Berkata Ibnu Hajar sebagai catatan atau notasi atas perkataan Az-Zuhri dalam hal Umar bin Abdul Aziz sebagai Mujaddid yang pertama, ini menunjukkan bahwa hadits ini berarti masyhur pada masa itu, dan menguatkan sanadnya dan berarti sanadnya kuat karena rijal (perawi-perawi)nya Tsiqqoh (terpercaya).11 Catatan Penting: Ingat! bahwa istilah Mujaddid yang berkembang sekarang mengandung dua makna, mujaddid yang haq sebagaimana yang telah disebutkan, dan ada mujaddid yang batil yang biasa disebut dengan istilah modernis atau reformis, adapun batilnya yaitu; membuat tajdid atau

    11 Aunul Mabud 11/261 dan Shahihul Jami hal 1874

  • pembaharuandengan memasukkan perkara-perkara dari luar Islam ke dalam ajaran Islam, atau menggabungkan system Islam dengan system-sistem yang batil seperti sosialisme, sekulerisme, kapitalisme, liberalisme, demokrasi dan lain sebagainya, sebagaimana yang dilakukan oleh Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Rosyid Ridho, dan orang-orang yang sejenisnya, atau kalau sekarang ini seperti Muhammad Ghozali, Huwaidi Al Ghanusyi, Al Qordhowi, At-Turabi, Jalbi.12 Dan orang-orang yang semisalnya yang pada masa kini bertebaran dimana-mana. Orang-orang ini minder ketika menghadapi tamadun dan peradaban syaitan barat maupun timur, maka membuat model Islam yang bisa diterima mereka, perbuatan yang seperti ini, tida pantas disebut tajdid danorangnya tidak layak digelari Mujaddid Wallahu alam-

    5. Diantara tajdid atau pembaharuan yang dilakukan para daI dan mujaddid Ad-Dakwah An-Najdiyah yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rohimahullahu ajmaiin-adalah seperti pemurnian tauhid dari segala bentuk syirik, khurafat, takhayyul dan dari segala Itiqod dan keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan tauhid yang benar, menyeru kembali kepada As-Sunnah dengan menjauhi segala bentuk bidah, taashub dan sikap taqlid (kecuali yang terpaksa dan tidak ada kemampuan), mereka tegas sekali dalam masalah iman dan kufur, masalah wala dan baramuwaalat dan muaadat dan merekalah yang berjasa pertama kali menghimpun maudhu yang urgen ini, dalam sebuah kitab tersendiri, mereka tegas dalam menentang dan melawan thaghut dan begitu juga tegas dalam takfir (mengkafirkan) dengan dosa-dosa yang mukaffirah, at-takfirul muthlaq maupun takfirul tayiin baik terhadap individu kelompok maupun pemerintahan, mereka yang pertama kali mengkafirkan pemerintahan khilafah atau daulah Utsmaniyah13 di Turki, karena tidak berhukum dengan yang diturunkan Allah, sekitar tahun 1840-an Masehi, pemerintah Utsmaniyah mulai mengimpor Undang-Undang Perdagangan dan peraturan sipil, dan pada akhirnya pada tahun 1840 M,

    12 diantara pembaharuan (baca: penyelewengan) yang mereka lakukan ialah berfatwa bolehnya berhukum

    dengan undang-undang Jahiliyah, yang dibuat penjajah kafir Inggris, dan membolehkan seorang muslim menjabat sebagai qodhi (hakim) yang berhukum dengan undang-undang kufur dan syirik tersebut,(baca Tafsir Al-Manaar 6/405-409). Dan Ustadz Muhammad Quthb telah mengkritik kesalahan-kesalahannya yang sesat dan menyesatkan, dalam buku beliau Waqiiuna Al Muashir hal 332-340. disamping itu mereka ini terlibat dalam lembaga atau majelis-majelis pertemuan yang dikendalikan oleh Al-Masoni (-Freemasonry-Organisasi Internasional Yahudi), bahkan lembaga atau majelis Freemasonry yang disebut Kaukabusy-Syarqi diketuai oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh sebagai anggotanya. Bahkan Al-Ustadz Asy-Syaikh Muhammad Abduh pernah mendapatkan peringkat khusus dari wakil Amerika yang hadir dalam majelis yang diadakan di Lebanon, sedangkan Asy-Syaikh Muhammad Rosyid Ridho adalah diantara murid Asy-Syaikh Muhammad Abduh yang paling fanatic terhadapnya, hal ini dinyatakan dalam tulisannya, Tarikhul Ustadzil Imam lihat Al-Ittijaahaatul Wathaniyyah fil Adabil Muaashir juz I hal 328-329. dan diantara misi yang mereka bawa adalah usaha pendekatan antara Islam dengan peradaban barat. 13

    Disebut Khilafah Utsmaniyah karena pendirinya bernama Utsman bin Arthogral

  • dengan resmi mengganti hukum hudud syari dengan undang-undang pidana negara kafir sekuler Perancis, maka dengan ini para ulama dakwah Najdiyah menyatakan kufurnya Daulah Utsmaniyah.14 Dan masih banyak lagi contoh-contoh ketegasan mereka dalam takfir (mengkafirkan) sesuai dengan sunnah dan manhaj salaf. Camkan ucapan Asy-Syaikh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab dibawah ini; Berkata Imam Muhammad bin Abdul Wahhab dalam rangka menasehati para pengikutnya dan mengkritik para penentang dakwahnya (Akan tetapi mereka hari ini membantah kalian dengan satu syubhat (kekaburan), mereka mengatakan, Semua ini benar maksudnya semua urusan Ad-Dien yang didakwahkan oleh beliau dan para pengikutnya sedangkan di sisi lain mereka katakan Kami bersaksi sesungguhnya ia adalah dari agama Allah dan Rasul-Nya kecuali At-takfir dan Al-Qital (pengkafiran dan perang)). Sungguh aku heran terhadap orang yang tidak bisa menjawab masalah ini, kalau mereka mengakui bahwasanya ini adalah agama Allah dan Rasul-Nya, bagaiman atidak kufur orang yang mengingkarinya, dan yang membunuh orang yang memerintah dengannya, (menyuruh kepada agama) dan memenjarakan mereka? Bagaimana tidak kufur, orang yang datang kepada Ahlusy-Syirik utnuk menghasung (menggalakkan) mereka agar memerangi agama mereka dan menghiasinya untuk mereka serta menggalakkan mereka untuk membunuh orang-orang yang bertauhid dan mengambil harta mereka? Bagaimana dia tidak kufur, sedangkan dia bersaksi bahwasanya yang dia galakkan itu adalah sesuatu yang dikecam Rasulullah saw? Dan yang dilarang olehnya serta yang mereka namakan syirik dengan Allah, dan dia bersaksi bahwa sesuatu yang dia benci dan membenci para ahlinya, dan menyuruh orang-orang musyrikin untuk membunuh mereka itu merupakan agama Allah.15 Beliau berkata lagi dengan panjang leber, antara lain petikannya, Adapun Ahlussunnah, maka madzhab mereka bahwasanya seoran gmuslim tidak kafir melainkan dengan syirik, dan kami tidak mengkafirkan para thaghut-thaghut dan pengikut mereka kecuali dengan syirik, dan kamu adalah seoran glelaki yang paling bodoh, kamu menyangka bahwa orang yang sholat dan mengaku muslim tidak akan kufur16. Beliau berkata lagi, Kalau kita mau menghitung jumlah orang yang dikafirkan oleh para ulama meskipun mereka mengaku Islam dan yang

    14 fatwa ini bisa dilihat dalam Ad-Durarus Suniyyah fil Ajwibatin Najdiyyah juz 7 dalam Kitaabul Jihaad,

    dan bisa juga dilihat dalam Ar-Rosaailul Mufiidah oleh Asy-Syaikh Abdul-Latif bin Abdur Rahman bin Hasan bin Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. 15

    Rasailusy-Syakhsiyah hal 272. 16

    Ibid hal 233-234

  • mereka fatwakan kemurtadannya dan dibunuh tentu akan panjang pembahasannya, akan tetapi cukup sebagai contoh saja apa yang berlaku pada kisah Bani Ubaid raja-raja Mesir dan kelompok mereka, mereka mengaku sebagai ahlul bait, mereka menunaikan sholat Jumat dan jamaah dan melantik, para qodhi dan mufti, meksipun demikian para ulama telah berijma diatas kufurnya mereka dan murtadnya serta memerangi merekadan seterusnya. Dan lain sebagainya, masih banyak lagi. Denganketegasan beliau dan para pengikutnya dalam masalah-masalah ushuluddin tersebut, mereka dimusuhi oleh berbagai kalangan manusia kecuali yang dirahmati Allah, yang muslim, yang kafir, baik kafir tulen maupun yang murtad, khususnya dari kalangan penguasa, ulama-ulama su dan para abid-abid yang jahil, inilah musuh-musuh dan para penentang kebenaran di sepanjang zaman dan di setiap tempat. Berkata Al-Alim Al Hafidz Al Faqih Al Mujahid dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mubarok rhm,

    Khot Arab. Dan tiadalah yang merusak agama itu melainkan para raja-raja dan ulama-ulama su dan para pendeta-pendetanya. Karena tegasnya mereka dalam mendzhahirkan permusuhannya dan baranya serta takfir dan qitalnya terhadap ahlul kufr, ahlul isyrak dan murtaddin, tersebarlah berbagai tuduhan dan kecaman terhadap mereka, antara lain tuduhan yang masih termasuk ringan, mereka dituduh sebagai golongan khawarij yang menyeru kepada mengkafirkan kaum muslimin dan memerangi mereka, sampai Muhammad Amin bin Umar (1252 H) yang terkenal dengan nama Ibnu Abidin dalam kitabnya, Raddul Muhtar Alad Durril Muhtar (Hasyiyah Ibnu Abidin), kitab yang termasyhur sebagai pegangan bagi orang-orang akhir dari kalangan madzhab Hanafi, dalam bahasan bab khowarij dia menyebutkan bahwa termasuk jenis-jenis Khowarij adalah para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab di Najd dan dia mengeluarkan kata-kata kecaman yang amat pedas (lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 3/309). Dan yang perlu diingat, sudah menjadi sunnatullah bahwa tuduhan-tuduhan semacam ini senantiasa dialamatkan terhadap para penyeru kebenaran khususnya yang menyeru kepada jihad kapanpun dan dimanapun terutama lagi pada zaman sekarang ini.

    6. Untuk memahami manhaj dakwah Al-Imam yang agung ini dan para pengikutnya secara utuh tidak cukup dengan membaca Kitabut-Tauhid yang ditulis oleh beliau saja, karena itu baru sebagian dari prinsip-prinsip dakwah

  • mereka, maka untuk menggenapinya perlu dibaca risalah-risalah mereka yang lainnya, antara lain sebagai berikut:

    a. Ar-Rasaailusy-Syakhsiyyah (Risalah-Risalah Pribadi) Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. (kitab ini adalah bagian kelima dari kitab-kitab karangan beliau.)

    b. Ar-Rasaailu Autsaqiural Iman (Risalah Ikatan Iman yang Paling Kuat.) oleh Al-Imam Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

    c. Risalah Hukmi muwaalati Ahlil Isyraak (Risalah hukumnya loyalitas kepada orang-orang musyrik). Oleh cucu beliau yaitu Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab (1233 H).

    d. Majmuatut-Tauhid oleh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab (Diantara kandungannya adalah: Risalah makna Thoghut wa ruusi anwaaihi (Makna Thaghut dan macam-macam kepala-kepala thaghut.)).

    e. Risalah Bayaanin Najaati wal fihaaki min muwaalatil Murtaddin wa Ahlil Isyraak (Risalah menerangkan penyelamatan dan pembebasan dari bermuwaalaat (memberi tahu loyalitas) kepada orang-orang murtad dan orang-orang musyrik) oleh Asy-Syaikh Hammud bin Atiq (1301 H).

    f. Dan lebih bagus lagi jika ditambah dengan membaca; g. Fatwa-fatwa ulama Ad-Dakwah An-Najdiyah misalnya, Ad-Duraarus

    Sunniyah fil Ajwibatin Najdiyyah, yang dikumpulkan oleh Abdurrahman bin Qosim.

    h. Kitab Dawaaul Munaawiiina li Dawatisy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab oleh Abdul Aziz Abdul Lathif

    7. Adapun madzhab fiqih ulama Ad-Dakwah An-Najdiyah mereka menjadikan buku-buku fiqih madzhab Hambali sebagai pegangan utamanya karena mereka memahami bahwasanya madzhab Hambali yang paling banyak sesuai dengan As-Sunnah dan mereka tidak taashshub, artinya mengambil juga dan menerima dari madzhab-madzhab lain yang sesuai dengan Alquran dan Assunnah. Mereka juga menjadikan buku-buku tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Al-Allamah Ibnul Qoyyim Al Jauziyah sebagai bagian dari rujukan-rujukan utama mereka, maka yang berjasa menghimpun dan membukukan fatwa-fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebanyak 37 jilid (2 jilid untuk indeks dan daftar isi), yaitu salah seorang ulama dari Najd (Asy-Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim An-Najdi Al Hambali) namun demikian mereka juga tidak mengambil segala yang terdapat dalam kitab beliau berdua, yang tidak sesuai dengan Assunnah beliau tinggalkan, sebagai contoh, Syaikhul Islam berpendapat adanya Ad-Daarul Murakhabah (Negara yang campuran atau kombinasi, maka bukan negara Islam dan bukan

  • pula negara kafir), ini jawabn beliau sewaktu ditanya kedudukan Mardin (suatu negeri yang pada hari ini terletak di sebelah tenggara Turki, dekat dengan perbatasan Syiria.) (Lihat Majmu Fatawa 28/240-241). Penamaan ini tidak diterima oleh para ulama Ad-Dakwah An-Najdiyah termasuk murid beliau Ibnu Muflih (Abu Abdullah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi Al Hambali (763 H)), karena menurut mereka pembagian negara menurut syariat hanya ada dua yaitu negara Islam dan negara kafir, tidak ada yang ketiga, maka penamaan negara yang ketiga adalah suatu muhadats (hal-hal baru), jadi yang campur itu sifat penduduknya, bukan nama negeri atau negaranya.17

    Demikianlah penjelasan ringkas tentang, wahabi, untuk lebih jelasnya silahkan membaca buku-buku tulisan ulama dari kalangan mereka yang sebagiannya telah saya sebutkan diatas Insya Allah- dengan membaca buku-buku tersebut anda akan memahami siapa mereka yang sebenarnya, dan anda akan mengetahui bahwasanya kebanyakan tuduhan-tuduhan yang dialamatkan terhadap mereka hanyalah sebuah fitnah dan rekayasa pihak-pihak yang tidak suka dengan kebenaran yang dibawa mereka.

    6. Bagaimana Sikap Kita Terhadap Madzhab dan Wahabi. A. Menyikapi Madzhab.

    1. Pesan dan Pernyataan Tokoh-Tokoh Agung Madzhab yang Empat Sebagai Berikut.

    a. Al Imam Abu Hanifah rhm (150 H) berkata: Khot Arab. Artinya : Apabila aku mengucapkan suatu ucapan (pendapat) dan kitab Allah (Alquran) menyelisihinya, maka tinggalkan ucapanku karena Kitab Allah. Dikatakan, Apabila sabda Rasulullah saw, menyelisihinya? beliau berkata, Tinggalkan ucapanku karena khabar (hadits) Rasulullah saw. Dikatakan, Apabila ucapan para sahabat menyelisihinya? beliau berkata, Tinggalkan ucapanku karena ucapan para sahabat. (Lihat Fiqhul Majid hal 34). Dalam riwayat lain beliau mengatakan, Khot Arab. Artinya : Apabila ada hadits shahih, maka dia adalah madzhabku

    b. Al Imam Malik bin Anas rhm (179 H) berkata; Khot Arab. Artinya: Setiap orang ucapannya bisa diambil dan ditinggalkan kecuali Rasulullah saw. Lihat Fathul Majid hal 341. Dalam riwayat lain dikatakan, Khot Arab

    17 Ad-Durarus Sunniyah Fil Ajwibati An-Najdiyyah juz7, Kitabul Jihad, halaman 353.

  • Artinya: Kecuali orang yang berada di dalam kubur ini (maksudnya Rasulullah saw)

    c. Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-SyafiI rhm (204 H) berkata: Khot Arab. Artinya : Kaum muslimin telah berijma bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah saw, dia tidak akan meninggalkannya karena ucapan seseorang dari manusia. (Lihat Ilamul Muwaqiin oleh Ibnul Qoyyim I/8) Dalam riwayat lain beliau rhm mengatakan, Apabila hadits shahih, maka dia adalah madzhabku.

    d. Al-Imam Ahmad bin Hambal rhm (241 H) berkata; Khot Arab. Artinya : Aku heran terhadap suatu kaum, mereka mengetahui isnad dan shahnya (hadits shohih) namun bermadzhab (mengikuti pendapat) kepada pendapat Sufyan, sedang Allah taala berfirman (Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih) Al-Hajj: 64. Tahukah kamu apa fitnah itu? Fitnah adalah syirik, bisa jadi jika dia menolak sebagian sabdanya, terjadi dalam hatinya sesuatu yang menyimpang (menyeleweng) maka dia binasa (hancur).18 Dan dalam riwayat yang lain beliau berkata, Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah saw, maka dia berada ditepi jurang kebinasaan (kehancuran).

    2. Martabat mukallaf (orang yang dibebani kewajiban.) Yang kami maksud disini adalah tingkatan-tingkatan manusia ditinjau dari segi pemahaman mereka terhadap syariat dan kefaqihan mereka dalam Ad-Dien (Agama) Allah swt, dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga golongan yaitu 1. Mujtahid, 2, Muttabi, 3. Muqollid. Keterangan tentang masalah ini memenuhi kitab-kitab para ulama-ulama kita dalam berbagai madzhab Ahlussunnah wal Jamaah bagi saudara kita yang ingin memahami secara detail dan lengkap dipersilahkan untuk merujuk kepada kitab-kitab tersebut, adapun dalam risalah singkat ini , kami akan tuliskan keterangan nya dengan ringkas sebagai panduan secara global saja. a. Mujtahid (Orang yang berijtihad).

    Mujtahid ialah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian utnuk mengistinbath (mengeluarkan kesimpulan), hukum-hukum dari

    18 Kitaabut Tauhid atau Fathul Majiid hal 339

  • Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya saw, disyaratkan dia adalah seorang muslim, baligh, berakal dan adil19 (menjauhi segala dosa besar dan tidak selalu melanggar dosa-dosa kecil), dia seorang faqih, mengetahui nash=nash hukukm-hukum dari Alkitab dan Assunnah, mengetahui (alim) dalam bahasa Arab, dan Ushul Fiqih, mengenal masalah-masalah Ijma sehingga ijtihad dan fatwanya tidak menyelisihiijma mengetahui naasikh (yang memansukhkan) dan mansukh (yang dimansukhkan) serta asbabun nuzul (sebab turunnya nash), mengetahui maqbul (bisa diterima sebagai dalil) serta mengerti qoidah-qoidah jarh dan tadil (sifat-sifat perawi hadits yang cacat dan adil). Dan berfatwa dan mengadili (menjadi qodhi atau hakim), dan bisa jadi dalam keadaan tetentu menjadi fardhu ain atasnya untuk berfatwa dan mengadili.

    b. Muttabi (Orang yang mengikuti). Muttabi ialah orang yang memiliki bagian kemampuan untuk mengkaji, akan tetapi tidak mencapai martabat ijtihad.berkata Asy-Syathibi rhm, Muttabi adalahorang yangtidak mencapai taraf yang dicapai para mujtahidin, akan tetapi memahami dalil dan tempatnya, dan kefahamannya layak atau mampu dipergunakan untuk mentarjih dengan perkara-perkara yang dirajihkan (diutamakan) yang mutabar padanya, seperti tahqiqul manath (menetapkan gantungan hukum) dan sebagainya Al-Itishom 2/343. Berkata Abu Ishaq Asy-Syathibi (790 H) lagi, Adapun apabila muttabi itu seoran gyang mempunyai pandangan (naadzir) dalam ilmu dan cerdas dalam menerima apa yang disampaikan kepadanya, seperti ahlul ilmi pada zaman kita, maka sesungguhnya sampai kepada kebenaran adalah mudah, karena manquulaat (ilmu-ilmu para ulama) telah tertulis dalam kitab-kitab, baik yang berada dalam hafalannya, mapuun yang tersedia dalam kitab yang dia bisa mentahqiqnya dengan membaca dan mengkajinya. Berkata al-Khaththib Al Bagdadi (463 H) rhm, Maka jika dikatakan, seseorang, Bagaimana pendapatmu perihal orang yang meminta fatwa dari kalangan awam apabila terdapat dua mufti (orang yang berfatwa) kepadanya dan keduanya berselisih pendapatnya, maka apa dalam masalah ini, ada dua keadaan yaitu pertama, jika orang awam itu memiliki kemampuan akal dan sempurna pemahmannya, jika

    19 Syarat adil jika dia menjadi mufti (orang berfatwa), adapun jika dia tidak berfatwa, dia tetap

    berkewajiban beramal dengan ijtihad diri sendiri, baik dia seorang yang adil maupum yang fasik.

  • diperluan berfikir dia mampu berfikir dan jika dituntut memahaminya dia mampu memahami, maka orangyang seperti ini harus bertanya kepada orang-orang yang berselisih, tentang madzhab-madzhab (pendapat-pendapat) mereka dan hujjah-hujjah mereka, lalu dia mengambil dari pendapat-pendapat itu yang paling rajih (utama-kuat) menurutnya. Adapun bagi orang yang akalnya terbatas dan pemahamannya tidak sempurna, dia boleh taqlid kepada yang lebih afdhol (dari kedua mufti tersebut menurut penilaiannya.)20 Pada dasarnya dalam semua itu bahwasanya kita diperintahkan, Allah taala mengikuti syariat yang diturunkan kepada Rasulullah saw, bukan yang lainnya, Allah taala berfirman,

    Khot Arab Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti wali-wali selain-Nya, amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya) (Al-Araaf (7): 7) Akan tetapi Allah Taala berfirman, (Al-Baqoroh (2): 286). Khot Arab. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dan Rasulullah saw bersabda,

    Khot Arab. Apa yang aku larang bagimu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kepadamu dengannya, maka tunaikanlah darinya semampumu (H.S.R Al-Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu jumhur bermadzhab bahwa ijtihad itu menerima bagian-bagian, maka kadangkala manusia mampu berijtihad dalam bab-bab atau masalah-masalah tertentu dan dia taqlid dalam masalah lain.

    Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm, Ijtihad itu bukannya perkara yang tunggal, yang tidak menerima bagian-bagian, akan tetapi kadangkala seseoran gitu menjadi mujtahid dalam satu macam (fann) bab dan masalah dan tidak dalam suatu macam bab dan masalah lain atau pada setiap orang yang berijtihad ijtihadnya sesuai dengan kemampuan. 21

    Berkata Asy-Syaikh Asy-Syanqithi rhm, Kebenaran yang tidak perlu diragukan lagi, bahwasanya setiap orang yang mempunyai

    20 Al-Faqih wal Mutafaqqih 2/204

    21 Majmu Fatawa, 2/230, dan lihat Ilamul Muwaqiin 4/450)

  • kemampuan dari kalangan kaum muslimin, untuk belajar dan memahami serta mengerti makna-makna Al-Kitab dan Assunnah, dia wajib mempelajari keduanya dan mengamalkan dengan apa yang dia ketahui dari keduanya, adapun beramal dengan keduanya dibarengi kebodohannya, dengan apa yang dia amalkan dengannya dari keduanya, maka dilarang menurut ijma adapun apa yang dia ketahui dari keduanya berdasarkan ilmu yang benar, maka dia berhak beramal dengannya walaupun satu ayat ataupun satu hadits.22. Beliau berkata lagi, Sah mengetahui sebuah hadits dan beramal dengannya, mengetahui satu ayat dan beramal dengannya dan hal itu tidak tergantung diatas pencapaiannya terhadap semua syarat-syarat ijtihad23 Beliau berkata lagi, Nash-nash yang dzhohir-dzohir dari yang umum dan muthlaq dan sebagainya, tidak boleh meninggalkannya kecuali apabila terdapat dalil lain yang mentakhshish dan mentaqyid dan wajib tunduk kepadanya, bukan hanya sekedar adanya kemungkinan secara umum (Muthlaqul Ihtimal).24 Maka bagi seorang muslim yang telah jelas baginya dalil yang terhindar (selamat) dari segala yang kontra dengannya, dia tidak boleh meninggalkannya dan tidak beramal dengannya, dengan alasan bahwa si fulan tidak mengamalkan dengan dalil tersebut sedangkan dia lebih alim daripada dirinya. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagai penolakan terhadap hujjah yang seperti ini, Sungguh manusia telah meninggalkan ucapan (pendapat) Umar dan Ibnu Masud dalam masalah tayammum bagi orang yang junub dan mereka mengambil pendapat orang yang lebih rendah daripada keduanya seperti Abu Musa al-Asyari dan lainnya, karena dia berhujjah dengan AlKitab dan Assunnah-dan seterusnya sehingga kata-katanya-Seandainya pintu ini dibuka, yakni melawan nash karena amalan dan pendapat Fulan niscaya wajiblah berpaling dari perintah Allah dan Rasul-Nya dan yang tersisa setiap imam dimata para pengikutnya kedudukannya seperti kedudukan Nabi saw pada umatnya, ini adalah mengganti (merubah) agama menyerupai orang-orang Nasrani yang merubah agamanya yang dicela Allah taala di dalam firman-Nya surat At-Taubah ayat 31.25

    22 Adhwaul Bayaan.

    23 Ibid 7/550

    24 Ibid 7/433

    25 Majmu Fatawa 20/215-216.

  • Berkata Asy-Syaikh Utsaimin rhm, mengenai Muttabi, Dan bagi seorang muttabi boleh mengambil dengan perkara-perkara yang umum-umum dan yang muthlaq-muthlaq serta dengan apa yang sampai kepadanya, akan tetapi dia wajib berhati-hati dalam perkara-perkara itu dan jangan sampai bermalas-malasan bertanya kepada orang yang lebih tinggi daripadanya dari ahlul ilmi26 Dan diantara ulama pada masa kini yang menetapkan adanya martabat ittiba adalah As-Syaikh Athiyah Salim, beliau berkata, Seluruh manusia keadaannya tidak keluar dari tiga keadaan :

    Baik dia seorang mujtahid dengan ijtihad yang muthlaq-jika ada- atau ijtihad dalam madzhab atau ijtihad dalam fatwa, semua ini merupakan istilah yang telah dikenali di kalangan pakar ilmu Ushul.

    Atau dia seorang muttabi yang mengambil pendapat orang alim dengan mengetahui dalilnya.

    Atau dia seorang muqollid.27 Dan sikap atau amalan seorang muttabi disebut ittiba adapun definisi ittiba secara ringkas ialah mengikuti pendapat yang benar, atau betulnya pendapat itu disaksikan dengan dalil, maka muttabi itu beramalberdasarkanilmu dan diatas bashirah, dengan kebenaran apa yang dia amalkan dengannya dan dia menjadi orang yang mengikuti dalil syari. Allah taala berfirman:

    Khot Arab. Katakanlah, Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang

    diwahyukan dari Tuhanku kepadaku Alquran ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Al-Araf : 203). Demikian juga dengan Al-Araf ayat 3, Al-Anam ayat 106 dan 155.28

    c. Muqollid (Orang yang taqlid). Muqollid ialah seorang awam yang tidak berilmu dan tidak mempunyai keahlian untuk mengkaji dalil-dalil dan kedudukan-kedudukannya, adapun yang difardhukan kepadanya, sebagaimana firman Allah taala;

    Khot Arab.

    26 Al-Khilaf Bainal Ulama Asbaabuhu wa Mauqifuna minhu hal 30

    27 Mauqiful Ummah wa Ikhtilafil Aimmah hal 9, Al-Khuthututuhul Aridhah Asy-Syaikh Abu Mundzir-

    hal 65-73. 28

    Jami Bayaanil Ilmi Ibnu Abdil Barr 3/37, 1176 bisajuga dalam Al-Jami 5/50-51.-

  • Artinya : Maka tanyakanlah olehmu kepada ahlud-dzikir (orang-orang yang berilmu) jika kamu tidak mengetahui (Al-Anbiyaa: 7). Berkata Al Qurthuby, tidak ada perselisihan dikalangan ulamabahwa orang awam harus taqlid kepada para ulamanya dan sesungguhnya merekalah yang dimaksudkan dalam firman Allah azza wa Jalla Khot arab, mereka berijma bersepakat bahwa orang buta wajib taqlid kepada yang lainnya dari oran gyang terpercaya untuk menunjukkan arah kiblat apabila musykil baginya, maka demikian pula halnya orang yang tidak ada ilmu, baginya dan tidak memiliki pandangan atau pengetahuan dengan makna apa yang dia beragama dengannya, dia harus taqlid kepada orang alimnya, begitu juga tidak ada perselisihan dikalangan ulama bahwasanya orang awam tidak boleh berfatwa, karena jahilnya dengan makna-makna yang darinya diperbolehkan menghalalkan dan mengharamkan.29 Berkata Abu Ishaq Asy-Syathibi rhm, Ucapan (pendapat) seorang mujtahid adalah merupakan dalil bagi seorang awam..30 Berkata Asy-Syaukani rhm (1250 H) tentang taqlid, Taqlid ialah beramal dengan ucapan pendapat orang lain tanpa berhujjah, maka terkeluar yakni dari sebutan taqlid yang tercela, beramal dengan sabda Rasulullah saw, beramal dengan ijma dan rujuknyaqodhi kepada kesaksian orang-orang yang adil, karena sesungguhnya telah tegak hujjah dalam hal-hal tersebut.31 Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm (728 H), Dan yang diatasnya (yang dipegang) jumhur ummah, bahwasanya ijtihad itu boleh secara global dan taqlid itu boleh secara global, mereka tidak mewajibkan ijtihad atas setiap orang dan tidak mengharamkan taqlid, mereka tidak mewajibkan taqlid atas setiap orang dan tidak mengharamkan Ijtihad dan sesungguhnya ijtihad itu boleh bagi orang yang mampu berijtihad dan taqlid itu boleh bagi orang yang tidak mampu (lemah) untuk berijtihad.32 Berkata ibnul Qoyyim Al jauziyah rhm, (751 H), Adapun Taqlid yang dilakukan oleh orang yang mencurahkan kesungguhannya dalam mengikuti apa yang diturunkan Allah dan tersembunyi sebagiannya atasnya lalu dia taqlid dalam perkara itu kepada orang yang lebih

    29 Al-Jamu Liahkamil Quran 11/181. dan ungkapan ini sepertinya beliau menukil dari kitab Jami

    Bayaanil Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu Abdil Barr Juz 2/115, keduanya sama-sama bermadzhab Maliki 30

    Al-Muuwafaqoat 4/216 31

    Irsyadul Fuhul hal 234. 32

    Majmu Fatawa 20/204.

  • mengetahui daripadanya, maka hal ini terpuji dan tidak tercela, mendapat pahala dan tidak berdosa.33 Berkata Ibnu Qudamah rhm, Adapun Taqlid dalam masalah furu adalah boleh menurut ijma34 Adapun definisi taqlid menurut ulama jika disimpulkan ialah : Menerima ucapan (pendapat) dengan tanpa hujjah dan itu bukan merupakan jalan kepada ilmu (untuk mencapai ilmu) tidak dalam yang ushul (yang pokok-pokok) dan tidak pula dalam hal yang furu (cabang-cabang).35 Yang dimaksud dengan hujjah dalam syariat adalah dalil-dalil syara yang telah disepakati jumhur ada empat, 2. Al-Kitab, 2. Assunnah. 3. Al-Ijma (Yang Mutabar). Dan 4. Al-

    Qiyas (Yang Shohih). Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwasanya taqlid ada dua macam yaitu Mahmud (terpuji) dan Madzmum (tercela), adapun taqlid yang tercela antara lain sebagai berikut:

    a. Apabila seseorang mampu berijtihad (berdalil), tetapi dia menyeleweng kepada bertaqlid saja.36

    b. Apabila dia mampu menjadi seorang muttabi (yakni bertanya tentang dalil masalahnya dan memahaminya), tetapi dia mencukupkan diri dengan taqlid saja37

    c. Apabila telah jelas baginya hujah dan dalilnyabahwasanya yang benar menyelisihi pendapat orang yang di taqlidinya dan dia tidak mau merujuk kepada yang benar. Maka dalam keadaan seperti ini dia berdosa dengan dosa yang besar dan menurut Ibnu Hazm rhm, dia menjadi orang yang fasik.38

    d. Bertaqlid kepada orang yang tidak layak ditaqlidi, karena dia tidak ahli berfatwa atau orang yang taqlid tidak memiliki sama sekali keahlian orang yang ditaqlidinya.39

    e. Apabila orang yang taqlid meyakini wajibnya bertaqlid kepada orang yang ditaqlidi saja.40

    f. Apabila seorang muqollid sedang diuji dengan adanya pendapat lain yang menyelisihi pendapat yang dia taqlidi, lalu

    33 Ilamul Muwaqiin 2/417.

    34 Raudhatun Nadzir wa Jannatul Munadzir

    35 Al-Mustashfa 2/387.

    36 Adhwaaul Bayaan 7/488.

    37 Idem 7/554-555. Ilamul Muwaqiin 2/168 dan Majmu Fatawa 20/225.

    38 Al-Ahzab: 36, Al-Ihkam 6/154, Majmu Fatawa 20/225 dan 35/233 dan Ilamul Muwaqiin 2/168.

    39 Ilamul Muwaqiin 2/168.

    40 Majmu Fatawa 22/249 dan 20/216.

  • dia tidak berusaha meneliti mana diantara keduanya yang benar.41

    B. Sikap manusia terhadap madzhab dan bermadzhab. Kalau kita perhatikan keadaan kaum muslimin yang berada di sekitar kita di belahan bumi Allah di Indonesia, begitu juga kebanyakan, bumi-bumi yang lain, mayoritasnya dalam menyikapi masalah ini tidak terlepas dan terhindar dari fitnah Ifrath atau Muzawajah (berlebih-lebihan atau melampaui batas) dan tafrith atau taqshir (mengurang-kurangkan dan sembrono), kecuali yang dirahmati Allah yakni yang menyikapinya dengan adil, wasath, tidak ifrath dan tidak tafrith dan orang yang seperti ini minoritas jumlahnya. Sungguh benar apa yang dikatakan sebagian salaf.

    Khot Arab. Allah tidak memerintahkan dengan suatu perintah melainkan syaitan menggoda dalam perintah itu dengan dua godaan baik kepada tafrith (mengurang-kurangkan) ataupun kepada mujawazah (berlebih-lebihan) dan syaitan tidak perduli, dengan yan gmana dari keduanya yang dia capai dari sesuatu yang ditambah atau dikurangi tersebut.42

    a. Contoh-contoh pemahaman dan amalan yang ifrath (melampaui batas) dalam menyikapi terhadap madzhab dan bermadzhab antara lain: Menurut saya wallahu alam- sebagai berikut : 1. Taashub (fanatik) terhadap madzhab tertentu, sehingga dia bela madzhab

    yang diikutinya dan orang-orang yang semadzhab dengan nya baik dalam hal yang haq maupun yang batil.

    2. meyakini bahwa madzhabnya adalah satu-satunya madzhab yang benar dalam semua persoalan tanpa mengembalikan kepad Al-Kitab dan Assunnah, dan menganggap madzhab lainnya adalah salah.

    3. menganggap bahwa ulama yang sejati dan yang boleh diikuti serta yang boleh dituntut ilmunya adalah ulama-ulama yang berada dalam madzhabnya saja.

    4. menganggap bahwa ulama yang sejati dan yangboleh diikuti serta yang boleh dituntut ilmunya adalah ulama-ulama yang berada dalam madzhabnya saja.

    5. menganggap bahwa orang yang tidak menisbahkan diri dengan salah satu madzhab dari madzhab yang empat adalah syaitan dan tidak boleh diberikan wala kepadanya dan mesti dikenai sikap bara terhadapnya.

    41 Al-Jami 5/71-73.

    42 Madarijus Salikin oleh Ibnul Qoyyim 2/108

  • 6. pemahaman bahwa shalat sendirian lebih afdhal daripada sholat dibelakang imam yang bermadzhab lain, seperti keyakinan sebagian orang yang bermadzhab SyafiI terhadap imam yang bermadzhab Hanafi karena alasan tertentu.

    7. menganggap bahwa kedudukan orang lain yang tidak semadzhab dengannya seperti kedudukan ahlul kitab, sehingga kaum wanita dari madzhabnya tidak boleh dinikahi oleh pengikut madzhab lain, tetapi kaum lelakinya boleh menikahi wanita mereka, seperti sikap sebagian orang yang bermadzhab Hanafi terhadap orang yang bermadzhab Syafii.

    8. enggan dan tidak mau membaca dan mempelajari kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama yang bukan dari kalangan madzhabnya.

    9. bersikap ghuluw terhadap para ulama dari kalangan madzhabnya baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, ghulu ialah berlebih-lebihan atau melampaui batas, dalam membesar-besarkan, menghormati, memuliakan dan sebagainya, diatas batas dan ketentuan syariat.

    10. termasuk juga perbuatan yang melampaui batas dan berbuat dzalim terhadap madzhab adalah menisbahkan atau memasukkan perkara-perkara bidah baik yang mukaffirah, yang mufassiqoh, yang muharramah, maupun yang makruhah kepada madzhab-madzhab tertentu, padahal sebenarnya madzhab tersebut pada dasarnya berlepas diri dari perbuatan-perbuatan bidah dan mungkar itu, sebagai contoh misalnya sebagian orang atau golongan yang mengaku bermadzhab syafii yang mengamalkan berbagai amalan bidah yang tidak sedikit dari amalan bidah itu, yang bisa membawa kepada kekufuran dan kefasikan, seperti beristighotsah (meminta pertolongan) kepada orang-orang yang sudah mati, mengharapkan berkah dari mereka, mengkeramatkan kuburan-kuburan mereka dan membangun kubah-kubah diatasnya, meyakini adanya wali-wali yang mentadbir alam semesta, membentuk aliran-aliran thoriqot dan shufi yang carut-marut sesat dan menyesatkan, menciptakan sholawat-sholawat bidah, menjadikan kitab Al-Barzanji sebagai kitab pegangan dan pengamalan utamanya, mengadakan peringatan-peringatan hari-hari tertentu seperti hari kelahiran, kemaitan dan sebagainya dan sebagainya, lalu mereka menjadikan amalan-amalan yang carut marut tidak karuan ini sebagai ciri ke-Syafiian-nya, sedangkan tokoh-tokoh agung dari madzhab in, antara lain seperti : Imam Asy-SyafiI (204 H), Imam Al Muzani (264 H), Imam ASy-Syairazi (476 H), Imam Ar-RofiI (623 H, Imam An-Nawawi (676 H), Imam Al-AdzraI (783 H), Imam Al Muhalli (864 H), Imam Al-Barlisi (957 H), Al- Imam Al-Balyubi (1069 H) Imam Al

  • Haitami (974 H), Imam Asy-Syarbini (977 H), Imam al Ghozali (505 H), Imam Al Muqri (837 H), Imam Al Anshori (926 H), Imam Ar-Ramli (957 H), Imam Al Ibadi (994 H) dan Imam Al Hafidz Ibnu Katsir (774 H) dan berpuluh-puluh imam lainnya, mereka berlepas diri dari perbuatan-perbuatan bidah tersebut. Termasuk juga perbuatan mendzolimi madzhab Syafii khusunya terhadap pengasasnya (Imam yang agung Muhammad bin Idris Asy-Syafii rhm) yaitu memasukkan ilmul kalam, ilmu filsafat dan tashawuf, batil dalam madzhab asy-syafii, karena beliau benci dan mengecam perkara-perkara ini, beliau telah mentahdzir dan mewanti-wanti manusia jangan sampai meninggalkan ushul Arab atau Ushul Fiqih dan menjadikan ilmu mantiq sebagai jalan untuk memahami agama, Imam Asy-Syafii berkata, Khot Arab. Alangkah bodohnya manusia dan mereka tidak berselisih kecuali karena meninggalkan Lisaanul Arob (Bahasa Arab) dan cenderung kepada Lisan Aristoteles (Filsafat Aristoteles). Beliau rahimahullah berkata lagi, Hukumku terhadap ahlul kalam (Ahli Filsafat yang dicampurkan dalam ilmu mantiq dan ahli Filsafat murni), mereka dipukul dengan pelepah pohon kurma, diarak diatas unta dan dikelilingkan di kampung-kampung dan kabilah-kabilah dan diseru atas mereka, Inilah balasan orang yang mengambil meninggalkan Al Kitab dan Assunnah dan menerima atau mengambil kalam (filsafat dan mantiq). 43 Beliau berkata lagi, dan begitu juga Imam Malik rhm, ulama kalam adalah orang-orang yang zindiq (orang-orang yang berpura-pura beriman, tetapi sebenarnya mereka kufur).44 Beliau berkata mengenai orang shufi, Aku telah berkawan dengan orang-orang shufi, maka aku tidak mengambil faedah dari mereka kecuali dua huruf saja, pertama ucapan mereka, waktu bagaikan pedang, maka jika kamu tidak memotongnya ia akan memotong kamu, kedua, kata-kata mereka, Dirimu jika kamu tidak menyibukkkannya dengan yang haq, jika tidak ia akan menyibukkan kamu dengan yang batil.45 Untuk menyelamatkan manusia dari bidah dholalah tersebut beliau telah menulis kitab ushulul fiqih yang agung, dan merupakan ushul yang pertama kali dibukukan dalam Islam, beliau tulisa diatas manhaj salafus-sholeh berdasarkan Al Quran dan Assunnah.

    43 Shaunul Mantiq wal Kalam, oleh As-Suyuthi

    44 Al-Jihad Wal Ijtihad hal 278.

    45 Jawaabul Kaafi Ibnul Qoyyim- hal 184.

  • Akan tetapi yang aneh bin ajaib, justru para penulis ushul fiqih yang mendasarkan diri pada metode dan cara mutakallimin (ahlul kalam / filsafat) mayoritasnya dari orang-orang yang mengaku bermadzhab Imam Asy-Syafii, jika anda ingin mengetahui kitab-kitab tersebut antara lain sebagai berikut: Mutakallimin pada pokoknya ada 5 (lima), tiga kitab milik Asyairah, dan dua kitab milik mutazilah, adapun tiga kitab milik Asyairah yaitu : 1. At-Taqrib wal Irsyad oleh Al-Qodhi Abu Bakar Al Baqlaani

    (Muhammad bin Ath-Thayyib), beliau Itiqodnya bermadzhab Asyari berdalil denan akal dalam masalah iman, Badrudin Al-Zarkasyi (Abu Abdullah Muhammad bin Bahadir bin Abdullah Al Zarkasyi 794 H) penulis kitab Al-Bahrul Muhith, kitab Ushulul Fiqih dan kitab Al-Burhan fi Ulumil Quran, beliau menilai bahwa kitab At-Taqrib wal Irsyad merupakan kitab yang paling agung secara muthlaq dalam maudhu ini wallahul mustaan-

    2. Al-Burhan oleh Imam Al Haramain Abul Maali Al Juwaini (478 H), beliau juga menulis Al-Waraqoot fil Ushulil Fiqh, kitab ringkas dan banyak syarahannya.

    3. Al-Mushtashfa oleh Abu Hamid Al-Ghozali (505 H), beliau adalah murid Imam Al Haramain Al Juwaini, Imam Ghozali juga mempunyai kitab Ushul Fiqih lain yang sebelumnya yaitu Al-Mankhul

    Adapun dua kitab Mutazilah yaitu : 1. Kitab Al-Umad oleh Al-Qodh