amplitude versus offset

25
Victor BAB VI AMPLITUDE VERSUS OFFSET Variasi dari amplitudo pada refleksi energi seismik dari sumber ke penerima bergantung pada perubahan sifat material sepanjang permukaan yang menyebabkan refleksi. Variasi ini tapak sebagai suatu anomali, yaitu pertambahan amplitudo sinyal terpantul terhadap pertambahan jarak sumber gelombang ke penerima, bila gelombang seismik dipantulkan oleh suatu lapisan berisi fluida gas. Jarak (offset) ini berhubungan langsung dengan sudut datang gelombang seismik (angle of incidence) terhadap lapisan pemantul, makin besar offset makin besar pula sudut datangnya. Gambar 1 Variasi amplitudo terhadap pertambahan jarak. (Allen & Peddy, 1994) S R1 R2 R3 Offset i lapisan pemantul

Upload: mahmoud-eloribi

Post on 21-Jan-2016

262 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Amplitude Versus Offset

TRANSCRIPT

Page 1: Amplitude Versus Offset

Victor

BAB VI AMPLITUDE VERSUS OFFSET

Variasi dari amplitudo pada refleksi energi seismik dari sumber ke penerima bergantung pada perubahan sifat material sepanjang permukaan yang menyebabkan refleksi. Variasi ini tapak sebagai suatu anomali, yaitu pertambahan amplitudo sinyal terpantul terhadap pertambahan jarak sumber gelombang ke penerima, bila gelombang seismik dipantulkan oleh suatu lapisan berisi fluida gas. Jarak (offset) ini berhubungan langsung dengan sudut datang gelombang seismik (angle of incidence) terhadap lapisan pemantul, makin besar offset makin besar pula sudut datangnya.

Gambar 1

Variasi amplitudo terhadap pertambahan jarak. (Allen & Peddy, 1994)

S R1 R2 R3

Offset

ilapisan pemantul

Page 2: Amplitude Versus Offset

Victor

6.1 AMPLITUDO PERPINDAHAN ENERGI

Pada saat sebuah gelombang bidang kompresional atau gelombang datang P mengenai suatu batas permukaan, antara 2 media elastik homogen isotropis, akan terjadi konservasi serta pembagian energi dari amplitudo gelombang datang P tesebut menjadi komponen gelombang P dan S. Energi amplitudo gelombang datang P itu sendiri, serta sebagian lagi akan dikonversikan menjadi gelombang S.

Gambar 2 Gambar, Refleksi dan transmisi pada suatu bidang batas antara suatu gelombang-P

(Castagna, 1993) Besar sudut sinar datang, refleksi dan transmisi, mengikuti perumusan dari hukum Snellius :

2

2

1

1

2

2

1

1 sinsinsinsin

SSPP VVVVP φφθθ

==== (6.1)

dimana : p = parameter gelombang VP1 = kecepatan gelombang P medium ke-1; θ1 = sudut datang gelombang P VP2 = kecepatan gelombang P medium ke-2; θ2 = sudut transmisi gelombang P VS1 = kecepatan gelombang S medium ke-1; φ1 = sudut refleksi gelombang S VS2 = kecepatan gelombang S medium ke-2; φ2 = sudut transmisi gelombang S Koefisien refleksi dan transmisi untuk gelombang P maupun gelombang S, didefinisikan sebagai : − Koefisien refleksi gelombang P atau RPP(θ1) merupakan perbandingan antara

amplitudo refleksi gelombang P terhadap amplitudo gelombang P. − Koefisien refleksi gelombang P atau TPP(θ2) merupakan perbandingan antara

amplitudo refleksi gelombang P terhadap amplitudo gelombang P.

incidentP-wave

Reflected S-waveRPS

Reflected P-waveRPP

Transmitted P-waveτPP

Transmitted S-waveτPP

Medium 1VP1, VS1, ρ1

Medium 2VP2, VS2, ρ2

interface

θ1

θ2

φ2

φ1

Page 3: Amplitude Versus Offset

Victor

− Koefisien refleksi gelombang S atau RPS(φ1) merupakan perbandingan antara amplitudo refleksi gelombang S terhadap amplitudo gelombang P.

− Koefisien refleksi gelombang S atau TPS(φ2) merupakan perbandingan antara amplitudo refleksi gelombang S terhadap amplitudo gelombang P.

Koefisien RPP, RPS, TPP, dan TPS untuk berbagai sudut datang θ1 akan sangat

dipengaruhi oleh kecepatan gelombang P dan S serta densitas, serta parameter tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik dari medium seperti litologi, porositas dan kandungan fluida. 6.1.1 Kasus Normal Incidence

Pada normal incidence tidak terjadi konversi gelombang menuju gelombang S, dan koefisien refleksi gelombang P (RP) diberikan oleh :

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛≈

Δ=

+−

=1

2

12

12 ln21

P

P

P

P

PP

PPP I

III

IIIIR (6.2)

IP merupakan profil kontinyu impedansi gelombang P. IP1 = VP1 ρ1, impedansi akustik medium ke-1 IP2 = VP2 ρ2, impedansi akustik medium ke-2 IP = (IP1 + IP2)/2, impedansi akustik rata-rata sepanjang interface ΔIP = IP2 - IP1, selisih impedansi medium ke-2 dan ke-1 dimana :

VP1 = kecepatan gelombang P medium ke-1 VP2 = kecepatan gelombang P medium ke-2 ρ1 = densitas medium ke-1 ρ2 = densitas medium ke-2

Aproximasi logaritmik yang memungkinkan untuk harga koefisien refleksi adalah lebih kecil atau sama dengan ± 0.5. Koefisien transmisi (TP) pada normal incidence diberikan oleh : TP = 1 – RP (6.3) 6.1.2 Ketergantungan Reflektifitas Terhadap Jarak

Konversi energi amplitudo dari gelombang datang P tergantung dari besar incident angle (sudut datang), dengan bertambahnya sudut datang maka jumlah energi yang dikonversikan juga menjadi berubah (Zoeppritz, 1919). Perubahan konversi tersebut dimanifestasikan berupa variasi dari amplitudo atau koefisien refleksi terhadap jarak, dengan batas maksimum yang tidak boleh dilewati, yaitu jarak (offset) yang bersesuaian dengan sudut kritis.

Page 4: Amplitude Versus Offset

Victor

Gambar 3

Fenomena refleksi dan transmisi gelombang seismik pada bidang batas dua lapisan. Kurva sebelah atas gelombang masuk dari lapisan yang lebih padat menuju ke lapisan yang kurang padat, keadaan sebaliknya berlaku untuk kurva sebelah bawah menurut

Zoeppritz, 1999 (Suprajitno, 1994) 6.1.3 Klasifikasi Perubahan Koefisien Refleksi

Gambar 4 berikut merupakan pola perubahan koefisien refleksi terhadap jarak untuk tiga klasifikasi anomali AVO, sumbu X menunjukkan sudut datang dan sumbu Y adalah besar serta polaritas dari koefisien refleksi.

Gambar 4

Klasifikasi perubahan koefisien refleksi menurut Rutherford & Williams (Waters, 1978)

1. Klasifikasi pertama Anomali memiliki koefisien refleksi positif pada sudut datang yang kecil. Dengan pertambahan sudut, koefisien refleksi berkurang sampai pada sudut tertentu polaritas dari refleksi berubah dari positif menjadi negatif.

2. Klasifikasi kedua Anomali memiliki koefisien refleksi yang kecil pada normal incidence (gelombang datang yang tegak lurus). Koefisien refleksinya hanya mengalami sedikit pertambahan pada sudut datang yang kecil, kemudian meningkat pada sudut datang yang lebih besar. Perubahan amplitudo ini sangat besar terhadap pertambahan jarak (sudut). Perubahan polaritas sangat mungkin terjadi pada klasifikasi ini.

Page 5: Amplitude Versus Offset

Victor

3. Klasifikasi ketiga

Anomali AVO lebih mudah untuk dianalisa, namun memiliki perubahan amplitudo yang kecil pada seluruh interval sudut datang. Pada normal incidence koefisien refleksi relatif besar, berharga negatif dan meningkat dengan bertambahnya sudut. Tanda negatif pada koefisien refleksi menunjukkan bahwa refleksi berasal dari puncak reservoar.

6.2 TRANSFORMASI DARI DOMAIN JARAK KE SUDUT

Persamaan Zoeppritz dan persamaan Shuey (yang merupakan aproksimasi dari

persamaan Zeoppritz) sangat tergatntung dari besaran sudut datang ketika gelombang datang mengenai suatu reflektor. Data seismik direkam sebagai fungsi dari jarak sumber ke penerima. Karena pada dasarnya terdapat kesamaan antara jarak dan sudut, maka hubungan nonlinier dari kedua domain yang dapat dihitung untuk digunakan dalam skema analisis data processing bila proses tersebut menuntut digunakannya data sudut daripada jarak. Skema anailisis data ini dikenal sebagai analisis AVA (Amplitude Variation with Angle).

Contoh transformasi tersebut ditunjukkan oleh Gambar 5 berikut :

Gambar 5

(a) merupakan respon AVO dan (b) menunjukkan hasil transformasi dari (a) yaitu dalam respon AVA (amplitude variation with angle) (Western Geophysical, 1994)

Page 6: Amplitude Versus Offset

Victor

Gambar 5a menunjukkan sebuat offset gather dan Gambar 5b menunjukkan ekuivalensinya yaitu sebuah angle gather. Pada puncak setiap gather tersebut terdapat skematik geometri sinar gelombang yang menggambarkan refleksi untuk setiap trace masing-masing gather. Untuk mentransformasikan konstanta jarak ke konstanta sudut perlu diketahui hubungan antara X dan θ. Untuk solusi lengkap diperlukan penyelesaian full ray tracing. Aproksimasi terbaik yang digunakan ialah suatu sinar gelombang yang lurus, pada kasus ini dapat diketahui bahwa :

ZX2

tan =θ (6.4)

dimana : θ = sudut datang X = jarak (offset) Z = kedalaman Apabila kecepatan pada lapisan daerah interest diketahui, maka persamaan tersebut dapat ditulis :

2

0tVZ = (6.5)

dimana : V = velocity (RMS atau rata-rata) t0 = total zero offset travel time dengan mensubtitusikan persamaan (6.5) ke persamaan (6.4) maka diperoleh :

0

tantV

X=θ (6.6)

sehingga penyelesaian untuk X yang memungkinkan transformasi jarak-waktu : θtan0tVX = (6.7) dengan menggunakan persamaan (7), maka amplitudo pada offset gather dapat diungkapkan dalam amplitudo angle gather. 6.2.1 Transformasi untuk Lapisan Multilayer

Persamaan (7) tersebut hanya valid untuk lapisan tunggal, sedangkan aproximasi yang dapat digunakan untuk kasus multilayer akan melibatkan parameter gelombang dan total travel time t, sehingga :

INTV

P θsin= (6.8)

dan

2

22

02

RMSVXtt += (6.9)

dimana : VINT = interval kecepatan untuk lapisan tertentu VRMS = kecepatan RMS kebawah lapisan Hubungan antara p dan t diberikan oleh persamaan :

Pdxdt

= (6.10)

dengan mensubtitusikan persamaan (9) dan (10) :

2RMSVtXP = (6.11)

Page 7: Amplitude Versus Offset

Victor

kemudian dengan mensubtitusikan persamaan (6.11) ke persamaan (6.8) akan diperoleh :

2sinRMS

INT

VtVX

=θ (6.12)

Untuk melihat bahwa persamaan (6.12) dapat disederhanakan ke persamaan (6.6) untuk kasus lapisan tunggal, dapat dilihat berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa : θcos0 tt = (6.13) sehingga dengan mensubtitusikan persamaan (6.13) ke persamaan (6.12), dan dengan catatan bahwa untuk lapisan tunggal berlaku V = VINT = VRMS. Sehingga :

0

tancossin

tVX

== θθθ

(6.14)

Gambar 6

Geometri penjalaran gelombang untuk hubungan single shot-receiver pada sebuah medium dengan kecepatan konstan (Humpson & Russel, 1999)

6.2.2 Kurva Hubungan Sudut Terhadap Waktu Gambar 7 dibawah ini menunjukkan satu set hubungan teoritis dari kurva sudut konstan yang dipadukan dengan plot offset terhadap waktu, dengan menggunakan hubungan kecepatan berikut : ktVV += 0 (6.15) dimana : V0 = 1000 m/s k = 100 m/s

Page 8: Amplitude Versus Offset

Victor

Gambar 7

Plot kurva sudut konstan yang dipadukan dengan offset trace konstan (Humpson & Russel, 1999)

Gambar diatas menunjukkan besar empat sudut yang berbeda, yaitu : 5, 10, 20 dan 30 derajat. Dapat dilihat bahwa kurva tersebut bertambah menuju jarak yang lebih besar yaitu pada waktu yang lebih besar pula. Hal ini berarti sudut konstan dari trace seismik memiliki amplitudo gabungan yang berasal dari offset terjauh pada gather variasi amplitudo terhadap jarak (AVO), terhadap bertambahnya waktu. 6.3 APROKSIMASI PERSAMAAN ZEOPPRITZ

Persamaan Zeoppritz memungkinkan untuk mendapatkan secara eksak amplitudo gelombang bidang dari refleksi gelombang P sebagai fungsi dari sudut, namun demikian persamaan ini tidaklah memberikan pengertian yang intuitif mengenai bagaimana amplitudo ini memiliki kaitan dengan berbagai parameter fisis. Sehingga visualisasi mengenai variasi parameter tertentu yang mempengaruhi kurva koefisien refleksi menjadi sulit. Aproximasi merupakan suatu pendekatan yang dibuat untuk membantu memperoleh informasi yang terkandung didalam tingkah laku amplitudo. Aki dan Richards (1980), dalam rangka mempermudah penyelesaian dengan persamaan Zoeppritz, memodifikasikan persamaan tersebut kedalam bentuk matriks :

RPQ .1−= dimana P merupakan matriks :

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

−−

=

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢

−−−

−−−−

1

1

1

1

1211

211

2211

2211

2cos2sin

cossin

2sin2cos2sin2cos

2sin2cossin2sincossincos

cossincossin

11

22

11

22

1

1

211

1222

22

11

222

1

1

φθθθ

θφφφ

θφθφθφθφθφθ

ρρ

ρρ

ρρ

ρρ

ST

PT

SR

PR

VV

VV

VV

VVV

VVV

VV

AAAA

P

S

P

P

P

S

S

PS

PP

P

S

P (6.16)

Page 9: Amplitude Versus Offset

Victor

Keterangan :

θ1 = sudut datang θ2 = sudut transmisi gelombang –P φ1 = sudut refleksi gelombang-S φ2 = sudut transmisi gelombang-S VP1 = kecepatan gelombang-P pada lapisan pertama VP2 = kecepatan gelombang-P pada lapisan kedua VS1 = kecepatan gelombang-S pada lapisan pertama VS2 = kecepatan gelombang-S pada lapisan kedua ρ1 = densitas pada lapisan pertama ρ1 = densitas pada lapisan kedua APR = koefisien gelombang-P refleksi ASR = koefisien gelombang-S refleksi APT = koefisien gelombang-P transmisi AST = koefisien gelombang-S transmisi

Oleh karena itu dalam perkembangannya, persamaan yang digunakan untuk perhitungan koefisien refleksi dalam analisis AVO mengalami berbagi modifikasi dan penyederhanaan. 6.3.1 Aproksimasi Bortfeld

Seperti telah diketahui, persamaan Zoeppritz merupakan persamaan yang kompleks dan sulit untuk dipergunakan secara langsung. Persamaan tersebut memang menjelaskan hubungan antara amplitudo dengan parameter-parameter fisik lain. Sehingga visualisasi bagaimana hubungan antara parameter-parameter yang bervariasi dan kurva koefisien refleksi, juga menjadi sulit untuk dijelaskan. Dalam hal ini, persamaan pendekatan sangat dibutuhkan agar dapat dipergunakan didalam aplikasi eksplorasi, karena persamaan pendekatan tersebut lebih sederhana dan lebih siap dipakai didalam memberikan informasi mengenai sifat fisik yang diperlukan, tidak membutuhkan proses komputerisasi yang rumit untuk evaluasi, serta menyediakan informasi mengenai teknik-teknik dasar pemrosesan AVO tertentu.

Aproksimasi yang pertama kali dilakukan oleh Bortfeld (1961), yaitu melinierisasikan persamaan Zeoppritz dengan mengasumsikan suatu perubahan pada sifat fisis lapisan, yaitu :

( )

⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

+−⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛+⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛=

1

2

1

2

22

21

2

1

1

211

122

ln

ln2sin

coscosln

21

S

SSS

PP

P

VV

VVVV

VRρρ

θθρθρ

θ (6.17)

6.3.2 Aproksimasi Aki, Richard dan Frasier

Perumusam Bortfeld kemudian direvisi oleh Richard-Frasier (1976) dan oleh Richard-Aki (1980). Aproksimasi dari Richard-Frasier lebih memberikan suatu persamaan yang sederhana karena ditulis dalam tiga bentuk yang jelas, yaitu ruas kanan pertama meliputi kecepatan gelombang P, ruas kedua densitas dan yang terakhir kecepatan gelombang.

Page 10: Amplitude Versus Offset

Victor

S

S

P

P

VV

cbVV

aRΔ

=ρρ

θ (6.18)

dimana :

( ) θθ

22 tan

21

cos1

+==a

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛= θ2

2

2

sin2

21

P

S

VV

b

θ22

2

sin4

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−=

P

S

VV

c

( )12 PPP VVV −=Δ

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ +

=2

12 PPP

VVV

( )12 SSS VVV −=Δ

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −

=2

12 SSS

VVV

( )12 ρρρ −=Δ

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ +

=2

12 ρρρ

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ +

=2

ti θθθ , dimana i

P

P

VV

θθ sinarcsin1

2⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=

persamaan (6.18) dapat ditulis sebagai :

( )θθθρρ

ρρ

θ222

22

sintan21sin24

21

21

−Δ

+⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡ Δ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−

Δ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−

Δ+⎥

⎤⎢⎣

⎡ Δ+

Δ=

P

P

P

S

S

S

P

S

P

P

P

P

VV

VV

VV

VV

VV

VV

R

... (6.19) suku terakhir dari persamaan diatas dapat diabaikan untuk sudut datang kurang dari 300, sehingga :

θρρ

ρρ

θ2

22

sin2421

21

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡ Δ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−

Δ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−

Δ+⎥

⎤⎢⎣

⎡ Δ+

Δ=

P

S

S

S

P

S

P

P

P

P

VV

VV

VV

VV

VV

R (6.20)

kemudian persamaan ini diperbaharui oleh Wiggins (Mobil, 1983) dan dipublikasikan oleh Gelfand dan Larner (1986) sebagai sebuah aproksimasi yang berdasarkan reflektifitas gelombang P dan S, untuk itu pertama-tama dengan mengambil perbandingan VP/VS = 0.5 (yang merupakan nilai tipikal untuk fluida), kemudian dihasilkan :

Page 11: Amplitude Versus Offset

Victor

θρρ

ρρ

θ2sin

21

21

21

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡ Δ−

Δ−

Δ+⎥

⎤⎢⎣

⎡ Δ+

Δ=

S

S

P

P

P

P

VV

VV

VV

R (6.21)

bila dari persamaan terakhir di tulis dalam bentuk :

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡ Δ+

Δ=

ρρ

P

P

VVP

21

(6.22)

θρρ 2sin

21

21

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡ Δ−

Δ−

Δ=

S

S

P

P

VV

VV

G (6.23)

Maka persamaan diatas dapat dinyatakan sebagai :

Rθ = P + G sin2θ (6.24)

Dimana P merupakan pendekatan dari koefisien refleksi normal incidence P-P dan merupakan reflektifitas gelombang P, dan G adalah gradien atau slope dari sin2(θ). Aproksimasi ini lebih dikenal sebagai aproximasi Gelfand. 6.3.3 Aproksimasi Shuey

Shuey (1985) menyajikan bentuk lain untuk aproksimasi dari persamaan Zeoppritz, yaitu melibatkan langsung perubahan Poisson’s Ratio terhadap sudut datang :

( )

( )θθθσσ

θ222

20 sintan21sin

1−

Δ+⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

−Δ

++=P

PPP V

VRARR (6.25)

dengan RP adalah koefisien refleksi normal incident, yang dalam aproksimasi sebelumnya dinyatakan dalam P :

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡ Δ+

Δ=

ρρ

P

P

VV

P21

(6.26)

dan A0 dinyatakan dengan :

( ) ⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

−−

+−=σσ

121120 BBA (6.27)

dimana :

ρρΔ

Δ

=

P

P

P

P

VV

VV

B (6.28)

Sementara variabel lainnya sama dengan pada persamaan (18).

Page 12: Amplitude Versus Offset

Victor

Hilterman (dalam catatan yang tidak dipublikasikan) kemudian menyederhanakan kembali persamaan Shuey dengan asumsi :

1. Dengan hanya menggunakan satu dari dua bentuk 2. Menetapkan s = 1/3, dengan kata lain A0 = -1

Kemudian persamaan (25) disederhanakan menjadi :

[ ] θσθθ22 sin

49sin1 Δ+−= PRR (6.29)

dengan penyederhanaan berikutnya bisa kita dapatkan :

θσθθ22 sin

49cos Δ+= PRR (6.30)

θσ 2sin49

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ −Δ+= PP RR (6.31)

θ2sinGRp +=

berdasarkan persamaan (6.31) bahwa dari estimasi RP dan G, perubahan Poisson’s ratio dapat diperkirakan :

( )GRP +=Δ94σ (6.32)

Aproksimasi Shuey ini melibatkan tiga suku dalam persamaannya, yaitu koefisien refleksi untuk normal incidence pada suku ruas kanan pertama, sudut terkecil (sekitar 300) pada suku kedua serta persamaan untuk sudut bersar yang berkontribusi dalam koefisien refleksi total pada suku terakhirnya.

Gambar 8

Kurva perbandingan antara persamaan Zeoppritz terhadap aproksimasinya (Humpson & Russel, 1999)

Page 13: Amplitude Versus Offset

Victor

6.3.4 Batasan Persamaan Zeoppritz

Keefektifan dari analisis AVO tergantung pada kemampuan dalam memprediksi koefisien refleksi berdasarkan persamaan Zoeppritz. Solusi untuk persamaan tersebut menggunakan asumsi prakondisi yang terbatas, yaitu hanya berlaku untuk stress dan perpindahan gelombang bidang yang kontiyu, pada saat gelombang tersebut mengenai batas permukaan antara dua media elastik yang membentuk sudut secara tangensial diukur terhadap garis vertikal (normal incidence).

Gambar 9 Hubungan antara offset dengan sudut datang. Sudut datang diukur antara garis normal

terhadap gelombang datang yang kontinyu menuju lapisan pemantul (Castagna & Bactus, 1993)

Secara umum persamaan Zeoppritz dapat digunakan untuk mempredisksikan perubahan amplitudo untuk berbagai kombinasi sifat fisis pada batuan. Namun demikian koefisien refleksi yang dihitung dengan menggunakan persamaan Zeoppritz memiliki perbedaan terhadap amplitudo yang terukur pada akusisi data seismik, yaitu : − Persamaan Zoeppritz mengasumsikan gelombang datang merupakan gelombang

bidang, sedangkan gelombang seismik sebenarnya berbentuk sperikal (Krail & Brysk, 1983).

− Persamaan Zeoppritz mengasumsikan refleksi dari reflektor berasal dari permukaan dua media sederhana, tidak melibatkan efek interferensi wavelet yang diakibatkan oleh pelapisan.

− Persamaan Zeoppritz mengasumsikan bahwa amplitudo yang dihitung dengan koefisien refleksi adalah bebas dari efek transmision loss, attenuasi, divergensi dan pengaruh lain yang mengganggu amplitudo.

Sehingga hasil yang diperoleh dari persamaan Zeoppritz tidak dapat digunakan sebagai solusi eksak terhadap respon seismik yang diperoleh dari akusisi data seismik sebenarnya. 6.4 PETROFISIK

Sifat intrinsik diantaranya litologi, porositas serta kandungan fluida di dalam batuan, memiliki interkorelasi dengan parameter elastis seperti kecepatan gelombang kompresi, kecepatan gelombang shear dan densitas. Perubahan dari parameter elastis ini menyebabkan variasi harga koefisien refleksi. Variasi ini dapat berupa kenaikan atau penurunan amplitudo refleksi seismik terhadap jarak, tergantung dari perubahan litologi serta kandungan fluida dalam pori batuan.

S R1 R2 R3

Offset

ilapisan pemantul

Page 14: Amplitude Versus Offset

Victor

6.4.1 Bentuk Fisik Batuan Dasar

Gambar 10 dibawah menunjukkan penyederhanaan dari cross-section batuan, gambar tersebut menunjukkan bahwa kecepatan serta densitas adalah tergantung pada :

− Jumlah mineral yang terkandung serta presentasenya sesuai dengan bentuk dari jumlah butiran (grains/matrik batuan).

− Porositas batuan, dan − Tipe fluida yang mengisi ruang pori batuan −

Gambar 10

Sifat batuan yang dipengaruhi oleh bentuk dan tipe matrik, porositas dan tipe fluida pengisi pori batuan batuan (Humpson & Russel, 1999)

6.4.1.1 Penentuan Harga Bulk Densitas Batuan

Bila diasumsikan terdapat satu tipe mineral atau kita mengetahui nilai rata-rata dari seluruh matrik batuan, serta terdapat dua macam fluida yang mengisi pori batuan tersebut, yaitu air dan hidrokarbon, persamaan Wyllie dapat digunakan untuk menentukan densitas dan kecepatan. Persamaan Wyllie yang digunakan untuk menentukan harga densitas adalah :

( ) ( )φρφρφρρ whcwwmb SS −++−= 11 (6.33)

dimana : ρb = bulk densitas ρm = densitas matrik batuan ρf = densitas fluida φ = porositas batuan Sw = saturasi air ρw = densitas air (sekitar 1 gr/cm3) Gambar 11 menunjukkan penurusan densitas yang drastis pada reservoar gas dibandingkan dengan pada reservoar oil. Dalam persamaan-persamaan yang digunakan untuk menghitung harga parameter seperti kecepatan gelombang P, kecepatan gelombang S serta impedansi akustik selalu melibatkan harga densitas, yang mana parameter-parameter tersebut berpengaruh pada respon gelombang seismik bawah permukaan. Perbedaan yang besar dapat dilihat dari densitas pada reservoar tersebut.

Page 15: Amplitude Versus Offset

Victor

Gambar 11

Plot densitas terhadap water saturation dari persamaan Wyllie untuk gas dan oil sand. (Humpson & Russel, 1999)

6.4.1.2 HUBUNGAN EMPIRIS POROSITAS DENGAN KECEPATAN

Sebuah hubungan langsung antara porositas dengan kecepatan diberikan oleh persamaan Wyllie :

( )

hc

w

w

w

mP VS

VS

VVφφφ −

++−

=111

(6.34)

dimana : VP = kecepatan gelombang P Vhc = kecepatan hidrokarbon Vm = kecepatan matrik batuan Vw = kecepatan air (water velocity) Plot dari persamaan Wyllie untuk pori gas sand dan pori oil sand untuk harga water saturation yang berbeda, diberikan pada Gambar 12 berikut ini,

Page 16: Amplitude Versus Offset

Victor

Gambar 12

Plot kecepatan gelombang P terhadap water saturation untuk gas dan oil sand (Humpson & Russel, 1999)

6.4.2 Kecepatan dan Modulus Elastik

Materi yang elastis akan bergerak kembali kebentuk asalnya saat suatu stress yang berlaku padanya telah hilang, stress tersebut dapat diakibatkan salah satunya adalah oleh gelombang seismik. Kecepatan yang dimiliki gelombang seismik ini sangat bergantung pada sifat elastisitas batuan. Suatu materi yang ‘isotropis’ (materi yang memiliki sifat yang sama kesemua arah dari materi tersebut), memiliki sifat incompresibilitas dan rigidity.

− Inkompresibilitas

Inkompresibilitas merupakan daya tahan suatu materi terhadap perubahan volume, diukur dengan bulk modulus (κ). Bulk modulus batuan sangat penting untuk mengetahui keberadaan fluida dalam fluid dalam pori batuan, misalnya gas dalam suatu lapisan batuan akan memberikan pengaruh besar terhadap inkompresibilitas atau modulus bulk batuan.

− Rigiditas Rigiditas merupakan suatu daya tahan suatu materi terhadap perubahan bentuk, dan diukur dengan modulus shear (μ). Modulus shear batuan relatif tidak dipengaruhi oleh munculnya fluida seperti gas, melainkan hanya tergantung pada framework dari batuan (Dominico, 1976)

Kedua konstanta elastik tersebut yaitu κ dan μ, ditambah lagi dengan suatu parameter lagi yaitu densitas, sangat mempengaruhi kecepatan gelombang P dan S (yang mana nantinya akan dinamakan konstanta elastik). Hubungan antara konstanta elastik terhadap kecepatan gelombang P dan kecepatan gelombang S untuk medium material elastis dan humogen isotropis, adalah :

ρμκ 3

4+=PV (6.35)

Page 17: Amplitude Versus Offset

Victor

ρμ

=SV (6.36)

dimana : VP = kecepatan gelombang kompresional (P) VS = kecepatan gelombang shear (S) κ = modulus bulk batuan = inkompresibilitas batuan μ = modulus shear batuan = rigiditas batuan ρ = densitas batuan Persamaan (6.35) dan (6.36) menunjukkan hubungan antara kecepatan seismik dengan sifat batuan. Munculnya gas dalam ruang pori batuan akan menimbulkan kecepatan gelombang P secara drastis diakibatkan penurunan modulus bulk batuan (κ) yang lebih tinggi dibandingkan dengan penurunan bulk densitas batuan (ρ) sementara modulus shear batuan (μ) tidak berubah. Kecepatan gelombang S akan bertambah akibat penurunan dari bulk densitas batuan sedangkan harga modulus shear batuan relatif tetap. 6.4.3 Poisson’s Ratio

Perbandingan dari kecepatan gelombang kompresional terhadap gelombang shear (VP/VS) diekspresikan dalam bentuk konstanta elastik Poisson’s Ratio (σ) :

1

15.0

2

2

−⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

−⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

=

S

P

S

P

VV

VV

σ (6.37)

Koefoed (1956, 1962) merupakan orang pertama yang menjelaskan mengenai perubahan koefisien refleksi terhadap sudut datang yang dihasilkan akibat adanya perubahan besar Poisson’s Ratio sepanjang reflektor. Kecepatan gelombang P dan S mendapat pengaruh yang berbeda saat terjadi perubahan saturasi di dalam ruang pori (Gregory & Domineco). Adanya sejumlah kecil gas didalam pori batuan seperti batu pasir akan mengurangi kecepatan secara drastis, gelombang S relatif bertambah walaupun dalam presentase kecil pada saturasi gas yang lebih tinggi.

Harga Poisson’s ratio sangat penting dalam penentuan kandungan fluida di dalam batuan, meliputi air, oil ataupun gas. Secara teori gas sand memiliki harga Poisson’s ratio dibawah 0.2, oil sand berkisar antara 0.2 sampai 0.4 serta untuk pasir/brine sand dan shales, memiliki harga Poisson’s ratio lebih tinggi atau sama dengan 0.4.

Page 18: Amplitude Versus Offset

Victor

Gambar 14

Harga teoritis Poisson’s ratio sebagai fungsi dari kedalaman untuk gas sand, oil dan brine sand (Suprajitno,1993)

6.3.4.1 Pengaruh Perubahan Poisson Ratio Terhadap Koefisien Refleksi

Ostrander (Chevron, 1984) mengajukan tiga buah grafik penting yang menggambarkan pentingnya variasi harga Poisson’s ratio. 1. Harga Poisson’s Ratio Konstan

Gambar 15a menunjukkan variasi koefisien refleksi gelombang P terhadap sudut datang untuk suatu harga Poisson’s Ratio yang konstan. Perbedaan rasio untuk kecepatan gelombang P dan densitas antara lapisan pertama dan kedua yang digunakan adalah berharga lebih besar dari satu dan juga lebih kecil dari satu. Besar selisih sudut datang yang digunakan mempresentasikan sebuah tipe saturasi refleksi dalam lapisan ini. Koefisien refleksi hanya bervariasi sedikit terhadap pertambahan sudut.

2. Penurunan harga Poisson’s Ratio Variasi dalam harga koefisien refleksi terhadap sudut datang akan lebih jelas bila terdapat perubahan harga Poisson’s Ratio, dalam hal ini adalah penurunan harga Poisson’s Ratio sepanjang batas permukaan lapisan satu terhadap lapisan kedua. Dengan bertambahnya besar sudut datang, koefisien refleksi positif dapat berubah polaritasnya, yaitu terjadinya perubahan fasa.

3. Pertambahan harga Poisson’s Ratio Dalam kasus ini Poisson’s Ratio bertambah dari lapisan pertama ke lapisan ke dua, dan koefisien refleksi bertambah terhadap sudut datang. Tanda negatif dari koefisien refleksi dapat berubah dengan bertambahnya besar sudut. Perubahan besar dalam Poisson’s Ratio sepanjang batas permukaan lapisan, memberikan petunjuk jelas dalam koefisien refleksi terhadap sudut datang saat energi seismik mengenai permukaan lapisan

Page 19: Amplitude Versus Offset

Victor

Gambar 15a Plot koefisien refleksi terhadap sudut datang untuk Poisson’s Ratio yang konstan menurut Ostrander, 1984. (Schlumberger ,1997), Gambar 15b untuk kasus

penurunan Poisson’s Ratio menurut Ostrander, 1984 6.4.4 Hubungan antara Kecepatan Gelombang P dengan Keceptan Gelombang S

Dalam pencarian data kecepatan pada sumur observasi dengan menggunakan konvensional waveform sonic loging, data log kecepatan gelombang S tidak dapat terekam. Untuk itu dilakukan observasi untuk mendapatkan hubungan anatara kecepatan gelombang S dengan kecepatan gelombang P. Berbagai persamaan empiris berupa crossplot VP-VS telah dihasilkan, diantaranya oleh Castagna et al dan Han et al, yang akan digunakan untuk pemodelan tugas akhir ini.

− Hubungan Castagna

Castagna (1985) memberikan persamaan empiris linier yangsederhana antara kecepatan gelombang P dan kecepatan gelombang S, yang dapat ditulis: ( ) 36.116.1sec += SP VkmV (6.38) atau ( ) 1724.18621.0sec −= PS VkmV (6.39) Persamaan ini diperoleh melalui pengukuran secara in-situ, hasilnya sesuai dengan observasi yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Litologi batuan sedimen yang kecepatannya dapat dihitung dengan hubungan empiris terutama shale dan juga batuan pasir, kurva garis linier dari hubungan castagna ini dikenal juga sebagai The mudrock line

Page 20: Amplitude Versus Offset

Victor

Gambar 16

Kurva kesesuaian antara persamaan Castagna terhadap hasil penelitian sebelumnya (Humpson & Russel, 1999)

− Hubungan Han

Han (1986) memberikan sebuah persamaan empiris yang khusus dibuat untuk batuan batu –pasir. Persamaan ini didapat dari hasil eksperimennya dengan menggunakan 75 buah sampel batuan batu-pasir ( ) 7868.7936.0sec −= PS VkmV (6.40) bila dinyatakan dalam unit lain ; ( ) 49.25817963.0sec −= PS VfeetV (6.41)

Pada kedua persamaan empiris diatas digunakan asumsi yang berlaku secara umum seperti pada persamaan empiris lainnya, yaitu komposisi batuan yang mono-mineralic atau pure litologi. 6.5 Model Seismik Model satu dimensi yang paling sederhana dan paling sering digunakan untuk trace seismik adalah model konvolusional yang menyatakan bahwa trace seismik secara sederhana merupakan hasil konvolusi antara reflektivitas bumi dengan suatu fungsi sumber seismik dengan tambahan komponen noise.

Page 21: Amplitude Versus Offset

Victor

Gambar 17

Proses pembentukan seismogram yang dihasilkan oleh bumi menjadi pulsa seismik melalui proses konvolusin (Jan van der Kurk, 2001)

Konvolusi adalah hasil dari melewatkan suatu sinyal kedalam suatu sistem atau operator, dimana sinyal akan dimodifikasi oleh impulse respon dari ooperator. Secara matematis konvolusi dapat dituliskan sebagai berikut

( ) ( ) ( ) ( )tntrtwts += * (6.42)

dimana : s(t) = trace seismik w(t) = wavelet seismik r(t) = reflektivitas bumi n(t) = noise

Terkadang dilakukan simplifikasi dimana komponen bising dianggap nol, sehingga menghasilkan :

( ) ( ) ( )trtwts *= (6.43) Prosesn konvolusi yang terjadi dialam digambarkasn sebagai berikut : suatu gelombang (wavelet) menjalar melalui bumi yang mempunyai bidang diskontinyu berupa akustik impedansi (rapat massa dan kecepatan) akan memberikan koefisien refleksi berbeda. Hal ini akan mengakibatkan total respon seismik berupa konvolusi dari penjalaran gelombang (sumber, efek permukaan, geophone, filter alat perekan) dengan koefisien refleksi. 6.5.1 Model Bumi 1-Dimensi Model bumi yang digunakan dalam AVO adalah model bumi 1-dimensi. Hal ini berarti bumi diasumsikan terdiri dari beberapa lapisan bumi horizontal seperti terlihat pada gambar berikut :

Page 22: Amplitude Versus Offset

Victor

Gambar 18 Model bumi 1-dimensi (Humpson-Russel, 1999)

Setiap lapisan ke-i dikarakterisasikan oleh empat parameter : Di = ketebalan lapisan ke-i VPi = kecepatan gelombang P pada lapisan ke-i VSi = kecepatan gelombang S pada lapisan ke-i ρi = densitas pada lapisan ke-i Dengan catatan bila terdapat N-buah lapisan maka akan ada N buah ketebalan serta N+1 buah nilai kecepatan gelombang P, kecepatan gelombang S, serta densitas. Sebuah sintetik seismogram terdiri dari rangkaian trace-trace yang merepresentasikan efek dari perekaman data seismik sepanjang model bumi 1-dimensi. Masing-masing trace harus dihitung secara terpisah dan diasumsikan bahwa source dan receiver terletak diatas permukaan bumi. Model konvolusi digunakan untuk menggambarkan tingkah laku masing-masing trace :

( ) ( ) ( )∑ −=i

itWirtT τ (6.44)

dimana : T(t) = trace seismik yang terekam pada receiver R sebagai fungsi dari

waktu rekaman t W(t) = sumber wavelet atau impulse yang menjalar kedalam bumi dari

sumber S

∑i

= jumlah dari refleksi yang mungkin dari sumber S ke receiver R

sepanjang model bumi. r(i) = koefisien refleksi efektif untuk gelombang ke-i, termasuk efek transmision loss dari interface terdalam yang mempengaruhi harga koefisien

refleksi.

Page 23: Amplitude Versus Offset

Victor

τi = total travel time, yang merupakan fungsi dari ketebalan lapisan yang dilalui oleh gelombang P.

Untuk mengatasi permasalahan bahwa travel time (τi) menjadi jumlah non integral dari sample waktu, maka digunakan domain frekuensi pada representasi persamaan (6.43) diatas, sehingga :

( ) ( ) ( )∑=i

j iefWirtT πτ2 (6.45)

sementara untuk menyelesaikan perhitungan sinar gelombang diperlukan metoda ray tracing. 6.5.2 Metoda Ray Tracing

Metoda ray tracing merupakan suatu metoda untuk menentukan jejak energi

yang berasal dari sumber (source) menuju bidang pantul (reflektor) dan kembali ke penerima (receiver). Dengan menggunakan model bumi berlapis, maka metoda ini dapat memperkirakan bentuk trace seismik yang dihasilkan. Secara umum geometri ray tracing pada pemodelan seismik adalah :

1. Normal incidence ray tracing

Mensimulasikan penjalaran gelombang dengan sumber dan penerima yang berhimpit, dan menghasilkan sintetik seismogram dalam bentuk stack section.

2. Offset ray tracing Mensimulasikan penjalaran gelombang dari suatu titik sumber menuju kebeberapa penerima, dan koefisien refleksi dihitung pada saat gelombang mencapai titik interface berdasarkan sudut datang terhadap titik sumber tersebut. Geometri offset ray tracing inilah yang digunakan dalam pemodelan AVO. Sintetik seismogram yang dihasilkan berdasarkan metoda ray tracing untuk AVO adalah berupa model prestack data seismik. Sintetik seismogram ini diperoleh dengan cara mengkonvolusikannya terhadap wavelet tertetu.

6.5.1.1 Metoda Dasar Penjalaran kecepatan gelombang dalam suatu medium homogen yang horizontal adalah konstan, sehingga raypath (penjalaran gelombang) yang terbentuk merupakan suatu garis lurus. Penjalaran gelombang ini akan mengikuti hukum snellius :

2

2

1

1 sinsinVVθθ

= (6.46)

dengan : θ1 = sudut datang θ2 = sudut pantul V1 = kecepatan gelombang seismik datang V2 = kecepatan gelombang seismik pantul

Page 24: Amplitude Versus Offset

Victor

Gambar 19 Penjalaran gelombang dalam medium homogen dan horizontal

Berdasarkan Gambar 19, dapat ditentukan waktu tempuh dari penjalaran gelombang terhadap lapisan homogen, yaitu : AB = h (6.47)

θcosV

hVABt AB == (6.48)

karena terdapat sifat simetri dari penjalaran gelombang, maka waktu tempuh dari A ke B adalah :

hV

htT AB cos22 ==

( )

Vhx 2

122 4+= (6.49)

dan jarak lateralnya : θtan2hX = (6.50) 6.5.1.2 Metoda ray tracing dengan pendekatan iteratif Permasalahan utama ray tracing dalam AVO adalah untuk menentukan ray path (sinar gelombang) yang menghubungkan source dan receiver pada lapisan refleksi tertentu dengan menerapkan hukum snellius pada setiap lapisan. Penurunan berikut adalah berdasarkan Dahl dan Ursin (1991). Dengan mendefinisikan suatu parameter sinar p, sebagai :

1

1sin

PVp θ= (6.51)

dimana θ1 adalah sudut datang untuk energi yang berasal dari sumber, sementara VP1 adalah kecepatan gelombang P untuk lapisan pertama.

A C

B

B'

hθ θ

sumber penerima

Page 25: Amplitude Versus Offset

Victor

Sesuai dengan hukum snellius, maka untuk setiap lapisan berlaku :

Pi

i

Vp

θsin= (6.52)

Bila sudut datang diketahui, maka offset (y) dimana energi refleksi kembali ke permukaan dapat ditentukan :

( )( )∑−

=k k

kk

pv

pvDpy

21221

(6.53)

Pada persamaan diatas Dk adalah ketebalan dari lapisan ke-k dan tanda sigma menunjukkan jumlah seluruh lapisan sampai ke batas interface refleksi. Bila offset yang dikehendaki adalah yd yaitu jarak anatar source dan receiver, maka perlu diketahui nilai p yang diperlukan untuk mendapatkan nilai y dalam persamaan (6.53), sehingga :

( )∑−

=k k

kkd

pv

pvDy

21221

(6.54)

karena tidak dapat diperoleh solusi eksplisit untuk persamaan tersebut, maka dilakukan pendekatan yang merupakan solusi iteratif atau disebut “shooting method”. Langkah pertama adalah dengan melakukan tebakan awal untuk p misalnya Po. Dengan nilai p ini kemudian dihitung nilai awal dai y, dan dari persamaan (6.53) :

( )∑−

=k ok

okko

pv

pvDy

21221

(6.55)