topik 1 -...

114
Topik 1 Manfaat Kawasan Konservasi Perairan

Upload: lykhuong

Post on 02-Mar-2019

250 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

Topik 1Manfaat Kawasan Konservasi Perairan

Page 2: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

7 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

DINAMIKA PERUBAHAN BUDAYA MASYARAKAT DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN: STUDI KASUS DI BENTANG LAUT KEPALA BURUNG PAPUA

Joice Pangulimanga*, Fitryanti Pakidinga, Michael Masciab, Louise Glewc, Albertus

Girik Alloa, Kezia Sallosoa, Fadli Zainuddina, Marjan Batoa

aUniversitas Papua bConservation International

cWWF-US

*email: [email protected]

ABSTRAK Kawasan Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) Papua memiliki ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu yang terbaik di dunia yang menjadi ‘rumah’ bagi berbagai spesies ikan. Dalam rangka pengelolaan sumber daya alam yang potensial ini, maka dibentuklah Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di wilayah BLKB. Upaya pelestarian sumber daya perairan merupakan salah satu tujuan pengelolaan KKP. Berbagai program dilakukan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat yang hidup di wilayah BLKB terhadap pentingnya pelestarian sumber daya laut yang dimilikinya. Sayangnya, sampai saat ini belum ada kajian yang mendokumentasi perubahan kepedulian masyarakat terhadap wilayah perairannya. Oleh karena itu, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat perubahan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian wilayah perairan di sekitar BLKB dan juga untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepedulian tersebut. Untuk mencapai tujuan ini, kami mengunjungi 7.055 rumah tangga sepanjang tahun 2010 sampai 2016 di KKP Teluk Mayalibit, Selat Dampier, Kaimana, Taman Teluk Cenderawasih, Kofiau, dan Misool dan mencatat keterikatan emosi mereka terhadap sumber daya lautnya dengan menggunakan indeks keterikatan emosi terhadap laut (place attachment index). Di samping itu, kami juga mengukur pengetahuan responden mengenai upaya-upaya menjaga kelestarian wilayah lautnya, lama tinggal di wilayah BLKB dan jenis pekerjaan masyarakat. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa keterikatan emosi terhadap laut dipengaruhi oleh pengetahuan responden terhadap wilayah laut, lama tinggal di wilayah BLKB dan jenis pekerjaan masyarakat. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkaji bahwa tingginya kepedulian masyarakat terhadap wilayah perairan merupakan dampak positif dari KKP di wilayah BLKB. KATA KUNCI: Bentang laut kepala burung, place attachment index, pengetahuan lingkungan

Page 3: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

8 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

KONTRIBUSI PENGELOLAAN AKSES AREA PERIKANAN DI KAWASAN KONSERVASI TERHADAP SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOAL 14 “KEHIDUPAN BAWAH LAUT”

Imanda Hikmat Pradanaa*, Arwandrija Rukmaa, Handoko Adi Susantoa, Galuh Sekar

Aruma, Deti Triania

aRARE

*email: [email protected]

ABSTRAK Sebagai pembaharu dari Millenium Development Goals yang dijalankan pada tahun 2000-2015, Sustainable Development Goals (SDG) yang dihasilkan dari pertemuan akbar di markas PBB di New York pada 2 Agustus 2015 telah menargetkan sebanyak 17 target yang terkait dengan pembangunan yang berkelanjutan hingga 2030. Salah satu dari target tersebut adalah target 14 yang berfokus terhadap kehidupan bawah laut di mana dunia ditantang untuk dapat melestarikan dan menjaga keberlangsungan laut dan kehidupan sumber daya laut untuk perkembangan pembangunan yang berkelanjutan. Implikasinya terhadap pembangunan nasional adalah perubahan dalam paradigma dimana Indonesia yang terdiri dari 70% lautan dituntut agar dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam bentuk riil yang bisa diterima oleh masyarakat luas. Lebih lanjut, PAAP yang merupakan kepanjangan dari ‘Pengelolaan Akses Area Perikanan’ adalah suatu upaya pengelolaan di mana nelayan kecil dan masyarakat sekitar kawasan mendapatkan hak khusus untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Studi ini bertujuan untuk menentukan seberapa besar keterkaitan antara upaya PAAP dengan SDG 14. Hasil analisis deskriptif menyatakan bahwa PAAP berkontribusi ke dalam 7 dari total 8 sub-target SDG 14. Di 12 lokasi dimana PAAP dikembangkan di seluruh Indonesia, berbagai keberhasilan yang menjanjikan telah tercapai. Beberapa contoh dari capaian PAAP yang terkait dengan SDG 14 adalah kerapatan terumbu karang yang rata-rata meningkat sebesar 4%, peningkatan tingkat kesadaran berperilaku sebesar 24 percentage point, jumlah effort yang berkurang sebanyak 2,7 kapal/hari, serta Catch per Unit Effort (CPUE) yang meningkat dari 1,64 kg/jam menjadi 4,9 kg/jam. KATA KUNCI: Pengelolaan akses area perikanan, sustainable development goal, kawasan konservasi

Page 4: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

9 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

KETERKAITAN ANTARA SISTEM ZONASI DENGAN DINAMIKA STATUS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI TAMAN NASIONAL

WAKATOBI

Fikri Firmansyaha*, Adib Mustofaa, Estradivaria, Adrian Damoraa, Christian Handayania, Gabby Ahmadiab, Jill Harrisb, Amkietielaa, Klaas J. Teule, Sugiyantac, Veda Santiadjia,

Anton Wijonarnoa, Muhammad Yusufa

a WWF - Indonesia b WWF - USA

c WWF - SESS Program

*email: [email protected]

ABSTRAK

Taman Nasional Wakatobi (TNW) ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 2002. Lima tahun kemudian, zonasi diimplementasikan dengan membagi wilayah TNW menjadi 6 zona yang terdiri dari Zona Perlindungan Bahari (ZPB), Zona Pariwisata (ZPr), Zona Pemanfaatan Lokal (ZPL), Zona Pemanfaatan Umum (ZPU) dan Zona Khusus atau daratan. Manfaat zonasi dapat di evaluasi dengan mengamati perubahan pada kondisi ekosistem dan social yang terjadi dalam wilayah TNW. Ekosistem terumbu karang dapat menjadi salah satu indikator untuk mengukur efektivitas zonasi. Studi ini mengelompokan TNW menjadi dua wilayah yaitu zona larang tangkap (No take zone – NTZ) yang terdiri dari ZI, ZPB, dan Zpr dan zona pemanfaatan (Use zone – UZ) yang terdiri dari ZPL dan ZPU untuk melihat dampak zonasi antara tahun 2009 – 2016. Data tiga parameter (tutupan bentik, kelimpahan ikan dan biomassa ikan) diperoleh dengan menggunakan metode PIT (Point Intercept Transect) dan UVC (Underwater Visual Census). Secara statistik data tersebut di uji dengan menggunakan metode two way ANOVA. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa kondisi habitat terumbu karang berubah dalam kurun waktu tersebut (tutupan karang keras antara 19-32%), area pemanfaatan dan area larang ambil memiliki rata-rata tutupan karang keras yang tidak berbeda signifikan (F=2,182, df=1, P=0,14). Kelimpahan ikan karnivor (F=0,53, df=1, P=0,46) dan herbivor (F=1,98, df=1, P=0,17) tidak berbeda nyata di kedua kategori area. Pengeboman dan pembiusan ikan merupakan dua ancaman terbesar di TNW sampai di tahun 2007. Namun saat ini (2016), penambangan pasir dan pengelolaan sampah menjadi isu terbesar. Efektivitas pengelolaan yang tertuang dalam wadah zonasi dapat tercermin salah satunya dari status sosial dan ekosistem kurun waktu tertentu. Untuk mendukung pengelolaan TNW, direkomendasikan beberapa hal diantaranya menerapkan pengendalian hasil tangkapan, melakukan patroli reguler dan meningkatkan kapasitas masyarakat. KATA KUNCI: Penutupan bentik, Kelimpahan ikan, Biomassa ikan

ABSTRACT

Wakatobi was established as a national park in 2002. Five years later, zonation was implemented and this area was categorised into six zones. There are marine protected zone (zona perlindungan bahari – ZPB), tourism zone (zona pariwisata – ZPr), traditional use zone (zona pemanfaatan lokal – ZPL), general use zone (zona pemanfaatan umum – ZPU) and special land zone (zona khusus atau daratan). The zonation can be evaluated by observing changes in ecosystem and social status in Wakatobi National Park (Taman Nasional Wakatobi – TNW). Coral reef ecosystem is one of the parameters indicating the effectiveness of zonation system. This study grouped TNW zones into no take zone (NTZ –

SALINAN MAKALAH Firmansyah, F., Mustofa A., Estradivari, Damora., Handayani C.N.N., Ahmadia G., Harris J.,

Amkieltiela, Teule K.J., Sugiyanta, Santiadji V., Wijonarno A., Yusuf M., 2017. Keterkaitan Antara

Sistem Zonasi Dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi.

Coastal and Ocean Journal, Volume 1 (2) Desember 2017: 147-156

Page 5: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

10 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

area larang ambil; ZI, ZPB, ZPr) and use zone (UZ – area pemanfaatan; ZPL, ZPU) to determine impact of zonation implementation between 2009 – 2016 on coral reef ecosystem. Three parameters (benthic coverage, fish abundance and fish biomass) were determined by Point Intercept Transect (PIT) and underwater visual census (UVC) methods and all of these data were tested using two-way ANOVA. Hard coral coverage fluctuated between 19 – 32% however, NTZ and UZ had no significant hard coral cover differences (F=2,182, df=1, P=0,14). Abundance of carnivour fish (F=0,53, df=1, P=0,46) and herbivour fish (F=1,98, df=1, P=0,17) were similar between those two zones. Fish bombing and poisoning were two major threats until 2007. However, sand mining and waste management has overcome two previous major threats by 2017. Zonation system and its implementation can be one of management effectiveness indicators. To support Wakatobi National Park Authority, it is recommended to apply harvest control rules (HCR), regular patrol and monitoring and stakeholders capacity buiding.

KEYWORDS: Benthic coverage, fish abundance, fish biomass

PENDAHULUAN

Wakatobi merupakan salah satu taman nasional dan cagar biosfer (UNESCO, 2012) yang ada di Indonesia. Dua hal tersebut menunjukkan bahwa Wakatobi memiliki peran yang sangat penting atau strategis di wilayah timur Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Turak (2003) yang menyebut Wakatobi sebagai biodiversity hotspot yang memiliki fungsi sebagai pemasok larva untuk sumber daya ikan (SDI) dan keanekaragaman hayati laut (KHL).

Jumlah penduduk Wakatobi di tahun 2015 mencapai 94.985 (BPS, 2016) dan sektor

perikanan menjadi sumber utama (94%) mata pencaharian masyarakatnya. Besarnya potensi kelautan dan perikanan dapat terindikasi dengan besarnya jumlah penduduk yang menggantungkan hidupnya di sektor ini. Oleh karena itu, sebuah bentuk pengelolaan atau perlindungan mutlak diperlukan di wilayah ini agar sumber daya yang ada dapat tetap lestari dan sumber mata pencaharian masyarakat dapat terus terjaga.

Proses pengelolaan perairan Wakatobi telah dimulai sejak tahun 1987 melalui survei

penilaian potensi sumber daya lautnya. Lima belas tahun kemudian wilayah ini ditetapkan sebagai Taman Nasional oleh Menteri Kehutanan melalui SK Menhut RI No. 6186/Kpts-II/2002 dengan luas 1,39 juta hektar. Penerapan zonasi baru dilakukan pada tahun 2007 setelah melalui berbagai proses, termasuk konsultasi publik (SK 149/IV-KK/2007) (Taman Nasional Wakatobi, 2016). Zonasi baru ini merupakan sebuah kesepakatan mulai dari tingkat masyarakat hingga pemerintah pusat yang berkomitmen untuk menjamin pelestarian sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian masyarakat dan pembangunan ekonomi Kabupaten Wakatobi (WWF-ID, 2007).

Penerapan zonasi telah berlangsung selama satu dekade. Oleh karena itu, diperlukan

kajian mendalam untuk mengevaluasi kondisi dan perubahan yang terjadi terkait dengan dampak dari penetapan zonasi. Salah satunya dengan mengkaji dampak yang terjadi terhadap ekosistem. Studi ini berusaha merefleksikan (1) sejauh mana pengelolaan TNW memberikan dampak terhadap ekosistem pesisir dan (2) keefektifan sistem zonasi dan regulasi yang berlaku di TNW. Hasil dari kajian ini, dapat digunakan oleh pengelola dan mitra sebagai dasar untuk menentukan prioritas tindakan pengelolaan dan revisi rencana pengelolaan.

Page 6: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

11 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi yang memiliki luas sekitar 1,39 juta hektar. Data dikumpulkan mulai tahun 2006 hingga 2016, namun karena dengan alasan kesamaan metode dan kualitas data, studi ini hanya menggunakan data tahun 2009–2016.

Data ikan karang diperoleh dengan metode underwater visual census (UVC), setiap

ikan yang melewati batas belt transect (5 x 50 m) dicatat jenis, jumlah, dan ukurannya (cm) di kedalaman 10 m. Ikan dibagi menjadi dua kategori ukuran: ikan kecil (10-35 cm) dan ikan besar (>35 cm). Data bentik diperoleh dengan mencatat setiap kategori bentik yang bersinggungan dengan transek, dengan interval poin 50 cm. Tiga buah transek digunakan untuk merepresentasikan tiga sampel atau ulangan data.

Analisis data dilakukan dengan menghitung persentase penutupan tiap kategori bentik

pada tiap sampel, sehingga diperoleh tujuh variabel untuk tujuh kategori bentik (Persamaan 1). Status pengelolaan, zona non-tangkap (NTZ) dan zona pemanfaatan (UZ), serta tahun dijadikan sebagai faktor yang diprediksi mempengaruhi kondisi bentik untuk mengukur dampak pengelolaan. Persentase penutupan bentik rata-rata dihitung untuk tiap tahun dan status pengelolaan, sehingga diperoleh gambaran dinamika atau pola perubahan kondisi bentik.

.....Persamaan 1

Data jumlah dan ukuran ikan dianalisis berdasarkan famili dan kategorinya, untuk memperoleh nilai kelimpahan (Persamaan 2) dan biomassa (Persamaan 3). Famili ikan karang yang dianalisis terdiri dari Lutjanidae (kakap), Serranidae (kerapu), dan Haemulidae (bibir tebal) yang mewakili kelompok ikan ekonomis penting, sedangkan Acanthuridae (butana), Scaridae (kakatua), dan Siganidae (baronang) yang mewakili kelompok ikan fungsional (Obura and Grimsditch, 2009).

.... Persamaan 2

Keterangan: ni : jumlah ikan famili ke-I atau

kategori ke-i A : luas transek

TL : panjang total ikan

a : konstanta a

b : konstanta b

.... Persamaan 3

Variasi bentik, kelimpahan, dan biomassa diuji secara statistik dengan menggunakan

metode two-way ANOVA. Uji ini dilakukan untuk melihat signifikansi atau perbedaan yang ada antar zona, tahun, dan interaksi antar keduanya.

Page 7: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

12 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

0

2

4

6

8

2006

&20

07

2009

2010

20

11

20

12

20

16

2006

&20

07

2009

2010

20

11

20

12

20

16

No Take Use

0

10

20

30

40

20

06

&2

00

7

20

09

20

10

20

11

20

12

20

16

20

06

&2

00

7

20

09

20

10

20

11

20

12

20

16

No Take Use

0

10

20

30

40

20

06

&2

00

7

20

09

20

10

20

11

20

12

20

16

20

06

&2

00

7

20

09

20

10

20

11

20

12

20

16

No Take Use

0

10

20

30

40

50

2006

&20

07

20

09

20

10

2011

20

12

20

16

2006

&20

07

20

09

20

10

20

11

2012

20

16

No Take Use

0

2

4

6

8

10

20

06

&2

00

7

20

09

2010

20

11

20

12

20

16

20

06

&2

00

7

20

09

20

10

2011

20

12

20

16

No Take Use

0

10

20

30

20

06

&2

00

7

20

09

20

10

2011

20

12

20

16

20

06

&2

00

7

20

09

20

10

20

11

2012

20

16

No Take Use

0

10

20

20

06

&2

00

7

20

09

2010

20

11

20

12

20

16

2006

&20

07

20

09

20

10

2011

20

12

20

16

No Take Use

HASIL DAN PEMBAHASAN Variasi Penutupan Bentik

Kondisi terumbu karang relatif stabil dari tahun ke tahun di Taman Nasional Wakatobi (TNW). Kategori karang keras berfluktuasi antara 19-32 % dari tahun 2009–2016. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan antar waktu dan status pengelolaan yang berbeda (Gambar 1) untuk kategori karang keras. Perbedaan signifikan antar zona hanya ditemukan untuk kategori other sedangkan perbedaan signifikan antar tahun ditemukan untuk kategori algae, rubble, dan bleached coral. Kategori available substrate, mengalami penurunan sejak tahun 2011 di kedua status pengelolaan, sebaliknya terjadi peningkatan penutupan karang lunak sejak tahun 2010 hanya di NTZ (Gambar 1). Rubble menurun signifikan dalam lima tahun terakhir, baik dalam zona non-tangkap (NTZ) maupun zona pemanfaatan (UZ) (Gambar 1). Penurunan rubble dapat mengindikasikan bahwa kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh bom, jangkar, atau kerusakan fisiknya berkurang dalam beberapa tahun terakhir.

%

Co

ver

%

Co

ver

%

Co

ver

%

Cov

er

a) Hard coral b) Soft coral

c) Algae d) Available Substrate

e) Rubble f) Other

g) Bleach

Gambar 1. Rata-rata (±SE) Penutupan Komunitas Bentik di TNW dari Tahun 2006-2016.

Page 8: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

13 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 1 menunjukan Rata-rata (±SE) Penutupan Komunitas Bentik di TNW dari Tahun 2006-

2016. Hard coral (a) termasuk semua pertumbuhan karang; Soft coral (b) termasuk octocoral seperti

gorgonian; Algae (c) termasuk Halimeda, Macroalgae, Turf algae, dan Filamentous algae; Available

substrate (d) termasuk Coralline algae, rock dan dead coral; Rubble (e) termasuk semua pecahan

karang yang tidak melekat ke substrat, other (f) termasuk unidentified benthic, zoanthid, sand, silt dan

sponge, hydra dan other; bleach (g) termasuk semua jenis karang yang memutih. Garis tegas pada

diagram batang menunjukan perbedaan signifikan antar tahun sedangkan garis putus-putus pada

batas diagram batang menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antar tahun. Perbedaan signifikan

antar status pengelolaan ditunjukkan dengan perbedaan warna diagram batang di antara kategori

zona non-tangkap dan zona pemanfaatan. Jika warna yang digunakan sama, maka tidak ada

perbedaan yang signifikan antar zona. Lihat apendiks untuk informasi lengkap mengenai nilai hasil

tes statistik.

Variasi Kelimpahan dan Biomassa Ikan Karang

Secara umum biomassa ikan di Wakatobi berfluktuasi sejak tahun 2009 hingga 2016.

Jenis ikan ekonomis penting (165,73 ± 24,33 kg/ha, Gambar 2) mengalami fluktuasi yang

cukup tinggi dibandingkan dengan ikan fungsional (1.228,11 ± 85,03 kg/ha, Gambar 2), di

tahun 2016. Kedua kelompok ikan ini memiliki biomassa lebih besar jika dibandingkan

dengan TNTC (145,7 ± 33,4 kg/ha untuk ikan ekonomis penting dan 251,2 ± 60,7 kg/ha

untuk ikan fungsional (Groff et al., 2016). Kelompok ikan fungsional merupakan jenis ikan

herbivora (pemakan algae atau tumbuhan), secara relatif meningkat dalam jumlah biomassa

dan kelimpahan dari tahun 2009 sampai tahun 2016 (Gambar 2,

Gambar 3). Biomassa Acanthuridae, Scaridae, dan Siganidae berbeda signifikan antar

zona (Gambar 2), namun hanya kelimpahan Acanthuridae yang berbeda signifikan antar

zona (

Gambar 3).

Biomassa Lutjanidae naik signifikan antara tahun 2012 dan 2016 di kedua kategori lokasi, namun tidak ada perbedaan yang signifikan antar wilayah pengelolaan sejak tahun 2009 (Gambar 2). Haemulidae mengalami kenaikan biomassa di tahun 2016 di luar lokasi pemanfaatan, namun mengalami penurunan di dalam lokasi perlindungan (Gambar 2), meskipun begitu, secara umum tidak ada perbedaan biomassa dan kelimpahan yang signifikan antara NTZ dan UZ untuk Haemulidae dari tahun 2009. Biomassa rata-rata ikan kerapu (Serranidae) mencapai 27,15 ± 4,15 kg/ha atau sekitar dua kali lipat biomassa Serranidae di TCNP (Groff et al. 2016) dengan biomassa lebih besar di lokasi perlindungan walaupun tidak berbeda signifikan antar kedua zona tersebut (Gambar 2).

Page 9: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

14 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 2. Rata-rata biomassa (±SE) famili penting di dalam kawasan zona non-tangkap (NTZ) dan zona pemanfaatan (UZ) Taman Nasional Wakatobi di tahun 2009-2016.

Pada Gambar 2, Sumbu-X menunjukan tahun yang dibagi ke dalam zona NTZ dan UZ. Panel sebelah kiri adalah famili ikan fungsional yang terdiri dari: (a) Acanthuridae, (b) Scarini, (c) Siganidae, dan (d) jumlah total dari 3 famili ikan fungsional. Panel sebelah kanan adalah famili ikan ekonomis penting perikanan yang terdiri dari: (e) Lutjanidae, (f) Serranidae, (g) Haemulidae dan (h) jumlah total dari 3 famili ikan ekonomis penting. Garis tegas pada diagram batang menunjukkan perbedaan signifikan antar tahun sedangkan garis putus-putus pada batas diagram batang menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antar tahun. Perbedaan signifikan antar status pengelolaan ditunjukkan dengan perbedaan warna diagram batang di antara kategori zona non-tangkap dan zona pemanfaatan. Jika warna yang digunakan sama maka tidak ada perbedaan yang signifikan antar zona. Lihat apendiks untuk informasi lengkap mengenai nilai hasil test statistik.

0

500

1000

1500

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

0

100

200

300

400

500

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

-50

0

50

100

150

200

250

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

0

500

1000

1500

2000

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

0

50

100

150

200

250

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

0

20

40

60

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

0

25

50

75

100

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

0

100

200

300

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

Bio

ma

ss

a(K

g/h

a)

Bi

o

m

as

sa

(K

g/

ha

)

Biom

assa

(Kg/h

a)

Bi

o

m

as

sa

(K

g/

ha

)

a) Acanthuridae

b) Scaridae

e) Lutjanida

e

f) Serranidae

c) Siganida

e g) Haemulidae

h) Ikan ekonomis penting d) Ikan fungsional

Page 10: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

15 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 3. Rata-rata Kelimpahan (±SE) Famili Penting di dalam Kawasan Zona Non-Tangkap dan Zona Pemanfaatan Taman Nasional Wakatobi di tahun 2009-2016.

Pada Gambar 3, panel sebelah kiri: (a) Acanthuridae, (b)Scarini, (c) Siganidae dan (d) Jumlah total dari 3 famili ikan fungsional. Panel sebelah kanan: (e) Lutjanidae, (f) Serranidae, (g) Haemulidae dan (h) Jumlah total dari 3 famili ikan ekonomis penting. Garis tegas pada diagram batang menunjukkan perbedaan signifikan antar tahun sedangkan garis putus-putus pada batas diagram batang menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antar tahun. Perbedaan signifikan antar status pengelolaan ditunjukkan dengan perbedaan warna diagram batang di antara kategori zona non-tangkap dan zona pemanfaatan. Jika warna yang digunakan sama maka tidak ada perbedaan yang signifikan antar zona. Lihat apendiks untuk informasi lengkap mengenai nilai hasil test statistik.

0

1000

2000

3000

4000

5000

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

0

400

800

1200

1600

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

-100

0

100

200

300

400

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

0

1500

3000

4500

6000

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

0

250

500

750

1000

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

0

50

100

150

200

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

0

100

200

300

400

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

0

1000

2000

3000

4000

2009 2010 2011 2012 2016 2009 2010 2011 2012 2016

No Take Use

a) Acanthuridae

b) Scarini

c) Siganidae

d) Ikan fungsional

e) Lutjanidae

f) Serranidae

g) Haemulidae

h) Ikan ekonomis penting

Keli

mp

aha

n

(ind

/ha)

Keli

mp

aha

n

(ind

/ha)

Keli

mp

aha

n

(ind

/ha)

Keli

mp

aha

n

(ind

/ha)

Page 11: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

16 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Diskusi

Kondisi Terumbu karang di Wakatobi masih dalam keadaan relatif baik dengan persentase penutupan hard coral rata-rata di kedua zona mencapai 25,11% (Gambar 1) dan termasuk dalam kategori sedang (Gomez and Yap, 1988). Namun, nilai ini masih lebih kecil dibandingkan dengan taman nasional lain di Papua. Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) memiliki tutupan hard coral 38,11% (Groff et al., 2016). Tutupan rata-rata hard coral Wakatobi mendekati penutupan hard coral rata-rata di seluruh Bird’s Head Seascape tahun 2016 (28,7%) (Glew et al., 2015). Waktu pengelolaan (tahun) merupakan salah satu kunci kesuksesan pengelolaan kawasan konservasi (Edgar et al., 2014).

Faktor ini belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penutupan hard coral

dan soft coral TNW (Gambar 1), tidak ada perbedaan yang signifikan antar tahun untuk kedua kategori ini. Namun, peningkatan kondisi ekosistem terumbu karang mungkin dapat dilihat dalam beberapa tahun kedepan dengan terus meminimalisir dampak ancaman yang ada di dalam taman nasional, karena persentase penutupan algae dan rubble telah mengalami penurunan sejak tahun 2012.

Penurunan rubble dapat mengindikasikan bahwa kerusakan terumbu karang yang

disebabkan oleh bom, jangkar, atau kerusakan fisiknya berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, kompetisi ruang antara algae dan hard coral berkurang dan diharapkan kondisi karang akan meningkat dengan terus menjaga dan mengurangi dampak ancaman yang ada.

Kenaikan suhu air laut secara global dirasa memiliki dampak pada kondisi terumbu

karang di Indonesia, termasuk Wakatobi. Simbiosis mutualisme antara hewan karang dan Alga zooxanthellae terpecah, karena kondisi stres yang dialami akibat kenaikan suhu. Zooxanthellae yang memberikan warna-warni pada terumbu karang melepaskan diri dari hewan karang sehingga terumbu karang memutih. Di Wakatobi, terumbu karang mengalami pemutihan secara massal hampir di seluruh lokasi. Pada tahun 2016, karang yang memutih mencapai 8,6% dan menjadi fenomena bleaching paling buruk dalam 10 tahun terakhir (Gambar 1).

Kondisi populasi ikan karang dan terumbu karang TNW bervariasi dari tahun 2009

sampai dengan tahun 2016. Secara umum, tidak ada perbedaan signifikan diantara dua

status pengelolaan (NTZ dan UZ), hanya penutupan other (Gambar 1), kelimpahan

Siganidae dan Haemulidae (Gambar 3) serta biomassa Siganidae dan Scaridae saja

(Gambar 22) yang berbeda nyata di antara dua wilayah tersebut. Kondisi tersebut mungkin

dapat dihubungkan atau menjadi indikasi kondisi lingkungan yang terjadi dalam beberapa

tahun terakhir.

Gambar 4 menyoroti beberapa kejadian penting yang terjadi dalam kurun waktu ±10

tahun pengelolaan TNW. Secara umum, tidak ada interaksi antara waktu dan status pengelolaan (Gambar 4). Dimulai dari tahun 2010, pada saat terdeteksi pemutihan karang. Tercatat sekitar 1-2% karang memutih di tahun tersebut (Gambar 1). Dua tahun berikutnya, biomassa ikan karnivor menurun seiring dengan naiknya biomassa ikan herbivor (Gambar 2). Tiga tahun berikutnya, tidak ada proses pengambilan data, namun diperkirakan terjadi proses pemulihan dalam kurun waktu tersebut. Tahun 2016, Penutupan algae menurun signifikan (Gambar 1) dan biomassa ikan karnivor kembali meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2012 (Gambar 2). Pemutihan karang (Gambar 1) terjadi lagi di tahun 2016, dengan kondisi lebih buruk jika dibandingkan dengan tahun 2012 (Gambar 1). Terumbu dan ikan karang diperkirakan akan terkena dampak dari pemutihan karang seperti yang terjadi pada tahun 2010. Pemantauan kondisi ekosistem terumbu karang dibutuhkan untuk mengetahui dampak dari pemutihan karang.

Page 12: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

17 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 4. Alur waktu penting dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang TNW

Secara umum, terlihat bahwa zonasi yang diimplementasikan di Taman Nasional Wakatobi belum memberikan dampak yang signifikan terhadap ekosistem terumbu karang. Persentase penutupan karang keras, kelimpahan, dan biomassa ikan fungsional dan ekonomis penting, tidak berbeda signifikan antar zona (Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3). Namun kemiripan antar zona ini dapat mengindikasikan beberapa hal: 1) zonasi yang diimplementasikan belum efektif dan 2) NTZ sudah memberikan dampak positif terhadap UZ.

Secara lebih lengkap dampak dari zonasi, pertama, zonasi diharapkan dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap wilayah yang dikelola atau dilindungi. Tidak adanya perbedaan yang signifikan di kedua zona tersebut dapat mengindikasikan bahwa perlindungan yang dilakukan di wilayah NTZ belum efektif. Tidak ada perlindungan yang berbeda nyata antara NTZ dan UZ sehingga kondisi ekosistem terumbu karang keduanya juga tidak berbeda signifikan. Kedua, zonasi sudah memberikan dampak positif jika dilihat dari sudut pandang spill over effect NTZ ke UZ. Jika dampak tersebut tersebar secara merata di kedua zona kemungkinan tidak ada perbedaan yang signifikan antar kedua zona tersebut. Persentase penutupan karang keras dan karang lunak cenderung stabil, namun kelimpahan dan biomassa ikan fluktuatif antar tahun.

KESIMPULAN

Zonasi diharapkan dapat memberikan dampak yang positif bagi ekosistem terumbu karang di Taman Nasional Wakatobi. Harapannya adalah zonasi dapat memberikan tutupan karang keras, kelimpahan, dan biomassa ikan yang lebih tinggi di area yang dilindungi, dibanding dengan area yang dimanfaatkan. Namun, dampak positif tersebut belum terlihat seperti yang diharapkan dengan tidak adanya perbedaan yang signifikan untuk tiga parameter ekosistem terumbu karang tersebut, berdasarkan hasil studi ini. Dampak positif mungkin bisa terlihat dalam beberapa tahun ke depan karena waktu pengelolaan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Pandangan lain menyebutkan bahwa zonasi sudah memberikan dampak positif karena spill over effect telah memberikan dampak positif yang merata. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan signifikan untuk ketiga parameter tersebut di kedua zona yang dikelola.

Page 13: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

18 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2016. Kabupaten Wakatobi Dalam Angka. In: Badan Pusat Statistik

Kabupaten Wakatobi (ed.). Wakatobi: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi. Edgar G.J, Stuart-Smith, R.D., Willis, T.J., Kininmonth, S., Baker, S.C., Banks, S., Barrett,

N.S., Becerro, M. A., Bernard, A.T.F., Berkhout, J., Buxton, C.D., Campbell, S.J., Cooper, A.T., Davey, M., Edgar, S.C., Forsterra, G., Galvan, D.E., Irigoyen, A.J., Kushner, D.J., Moura, R., Parnell, P.E., Shears, N.T., Soler, G., Strain, E.M.A. and Thomson, R.J. 2014. Global Conservation Outcomes Depend On Marine Protected Areas With Five Key Features. Nature. 506, 216-220 pp.

Glew L, GN, Ahmadia, H.E., Fox, M.B., Mascia, P., Mohebalian, F., Pakiding, Estradivari, N.I., Hidayat, D.N., Pada and Purwanto. 2015. State of The Bird's Head Seascape Marine Protected Area Network Washington D.C., United States, Jakarta, Indonesia, and Manokwari, Indonesia. World Wildlife Fund, Conservation International, Rare, The Nature Conservancy, and Universitas Papua.

Gomez E. and Yap, H.T. 1988. Monitoring Reef Condition. Coral Reef Management Handbook. UNESCO Regional Office for Science and Technology for Southeast Asia (ROSTSEA). Jakarta.

Groff D, Ihsan, E N, Amkieltiela, Harris, J, Ahmadia, G and Estradivari 2016. Teluk Cenderawasih National Park 2016 Technical Report. Indonesia: WWF-US dan WWF-Indonesia.

Obura D. and Grimsditch, G. 2009. Resilience Assessment of Coral Reefs: Assessment Protocol For Coral Reefs, Focusing on Coral Bleaching and Thermal Stress, IUCN Gland.

Taman Nasional Wakatobi. 2016. Sejarah Taman Nasional Wakatobi [Online]. Available: http://wakatobinationalpark.com/statik/sejarah/ [Accessed 12 October 2016 2016].

Turak E. 2003. Coral Reef Surveys during TNC SEACMPA RAP of Wakatobi National Park, Southeast Sulawesi, Indonesia. Bali: The Nature Conservancy.

UNESCO. 2012. Ecological Sciences for Sustainable Development [Online]. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. Available: http://www.unesco.org/new/en/natural-sciences/environment/ecological-sciences/biosphere-reserves/asia-and-the-pacific/indonesia/wakatobi/ [Accessed 1 January 2017 2017].

WWF-ID. 2007. Zonasi Baru Tn Wakatobi [Online]. Jakarta: WWF-ID. Available: http://www.wwf.or.id/?2723 [Accessed 1 January 2017 2017].

Page 14: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

19 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

RUMAH BELAJAR SEBAGAI KOMPONEN PENTING KONSERVASI PENYU BELIMBING DI DISTRIK ABUN PAPUA BARAT

Alberto Y. T. Alloab*, Fitryanti Pakidingac, Deasy Lontoha, Kartika Zohara, Sinus

Keromana

aLPPM UNIPA Divisi CoE untuk Pembangunan Berkelanjutan

bJurusan Pendidikan Fisika FKIP UNIPA cJurusan Teknologi Hasil Pertanian FATETA UNIPA

*email: [email protected]

ABSTRAK Pantai Jamursba Medi dan Wermon di Distrik Abun, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, adalah pantai peneluran yang tersisa bagi penyu belimbing (Dermochelys coriacea) di Pasifik Barat. Setiap tahunnya, pantai-pantai ini menjadi tempat bertelur bagi 75% populasi penyu belimbing di wilayah Pasifik, yang populasinya menurun hampir 60-80% sejak tahun 1983. Masyarakat lokal yang tinggal di dekat pantai tersebut memainkan peran penting dalam upaya pelestarian satwa ini. Sayangnya, data menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah kampung ini tergolong sebagai masyarakat dengan tingkat kemiskinan tinggi. Kemampuan anak-anak usia sekolah dalam membaca, menulis, dan berhitung sangat rendah dibandingkan dengan anak-anak seusia mereka di distrik lain di Kabupaten Tambrauw. Rendahnya kapasitas ini, menjadi salah satu penghalang keterlibatan mereka dalam upaya konservasi yang dilakukan. Oleh karena itu, Universitas Papua (UNIPA) menginisiasi program pemberdayaan masyarakat untuk memperkuat konservasi penyu belimbing melalui peningkatan kapasitas masyarakat terutama kapasitas pendidikan bagi anak-anak. Rumah belajar didirikan salah satu tujuannya untuk meningkatkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Jumlah anak yang ikut dalam rumah belajar yang ada di kampung Wau-Weyaf, Warmandi, dan Saubeba pada periode tahun 2015-2016 sebanyak 88 anak. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pre-eksperimen dalam bentuk one group pretest posttest. Hasil yang telah diperoleh, yaitu terjadi peningkatan anak-anak yang berkategori dapat membaca dengan baik sebesar 10,23%, peningkatan menulis sebesar 10,23%, dan peningkatan berhitung sebesar 7,95%. Dengan peningkatan tersebut diharapkan dapat membuka jendela informasi bagi masyarakat terutama generasi muda yang akan memegang tongkat estafet upaya konservasi penyu belimbing di Abun. KATA KUNCI: Rumah belajar, penyu belimbing, konservasi. ABSTRACT Jamursba Medi and Wermon beaches in Abun District, Tambrauw Regency of Papua Barat is one of the last remaining nesting habitats for western Pacific leatherback turtle (Dermochelys coriacea). Each year they are home to 75% of the leatherback population in the Pacific region, which has declined by 60-80% since 1983. Local communities living near the beaches play an important role in conserving these animals. Unfortunately, data show these communities are extremely poor. The ability of school-age children in these communities to read, write, and count is very low compared to children of their age in other districts in Regency Tambrauw. This low capacity is one of the barriers to their involvement in the conservation efforts. Therefore, the State University of Papua (UNIPA) initiated a community empowerment program to strengthen leatherback conservation, which is done through building capacity of local communities, especially in children education. House of learning establishes one of its goals to improve reading, writing, and arithmetic skills. The number of children who participated in the existing study house in Wau-Weyaf, Warmandi, and Saubeba villages in the period 2015-2016 as many as 88 children. The research method

Page 15: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

20 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

used is pre-experiment method in the form of one group pretest posttest. Results have been obtained that is an increase in children who categorized can read well increased by 10.23%, who can write increased by 10.23%, who can count increased by 7.95%. With these improvements expected will open a window of information for the community, especially the younger generation, who will hold the baton of leatherback conservation in Abun. KEYWORDS: House of learning, leatherback turtle, conservation. PENDAHULUAN

Distrik Abun di Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat, telah ditetapkan sebagai Taman Pesisir Jeen Womom sejak Surat Keputusan Bupati Tambrauw No. 522/303/2015 Tentang Pencanangan Kawasan Konservasi Taman Pesisir Jeen Womom di Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat. Distrik Abun mempunyai luas wilayah 858,37 km2 terletak pada posisi 132o 25’-132o 86’ BT dan 0o 20’-0o 43’ LS dan berbatasan dengan Samudera Pasifik di utara (BPS, 2014). Adanya penyu belimbing di Abun menjadi modal sumber pendapatan bagi daerah dan masyarakat di wilayah ini. Pengelolaan sumber daya alam dengan prinsip berkelanjutan menjadi sangat penting karena hewan tersebut sudah masuk dalam daftar hewan langka, dan untuk menjamin manfaat kekayaan sumber daya alam tersebut bagi generasi selanjutnya.

Kampung Saubeba, Warmandi, dan Wau-Weyaf (Gambar 1) secara geografis

mengapit dua pantai peneluran, yaitu pantai Jamursba Medi dan pantai Wermon, setiap tahun kedua pantai ini menjadi tempat bertelur bagi 75% populasi Penyu belimbing di wilayah Pasifik bagian barat. Populasi ini telah menurun 60-80% sejak tahun 1983 (Tapilatu, 2013).

Gambar 1. Peta Lokasi Pantai Jamursba Medi dan Wermon

Informasi mengenai penurunan ini kemudian menarik perhatian Dr. Gjertsen, seorang peneliti sosial dari Amerika yang memiliki minat meneliti bagaimana masyarakat dapat mengelola sumber daya alam penting yang mereka miliki. Hasil penelitiannya menunjukkan potret kondisi sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, serta sarana infrastruktur dasar yang sangat minim. Masyarakat lokal yang tinggal di dekat pantai tersebut memainkan peran penting dalam upaya pelestarian penyu belimbing. Sayangnya, masyarakat di wilayah kampung tersebut tergolong sebagai masyarakat dengan tingkat kemiskinan tinggi (Kementerian Desa, 2017).

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa salah satu kendala ada di bidang

pendidikan. Pemenuhan pendidikan anak merupakan prioritas bagi sebagian besar masyarakat lokal. Mereka menginginkan anak-anak mereka dapat membaca, menulis, dan

Page 16: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

21 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

berhitung serta bersemangat untuk terus bersekolah. Memenuhi keinginan masyarakat lokal tersebut, UNIPA menginisiasi program pemberdayaan masyarakat. Untuk memperkuat konservasi penyu belimbing melalui peningkatan kapasitas masyarakat, salah satu bagiannya adalah dalam pendidikan.

Sumbangsih intervensi pendidikan dalam konservasi penyu belimbing terdiri dari dua.

Pertama, sumbangsih pendidikan secara tidak langsung berupa kemampuan akses masyarakat mengenai informasi meningkat, kepedulian masyarakat akan konservasi akan meningkat, dan secara tidak langsung taraf hidup masyarakat akan meningkat. Kedua, sumbangsih pendidikan secara langsung, berupa bantuan pengajaran di sekolah formal dan pengajaran informal di rumah belajar. Rumah belajar adalah sebuah rumah yang disediakan oleh masyarakat lokal bagi pendamping lapang UNIPA untuk digunakan sebagai tempat tinggal dan juga sebagai tempat belajar bagi anak-anak yang ada di kampung. Salah satu tujuan didirikan rumah belajar yaitu meningkatkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung anak-anak masyarakat lokal. Rumah belajar dipandang perlu karena pengajaran di sekolah sangat terbatas dan membantu anak lebih cepat mengetahui cara membaca, menulis, dan berhitung. Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak rumah belajar, sebagai komponen penting konservasi penyu belimbing, dalam meningkatkan kemampuan baca, tulis, dan hitung anak-anak masyarakat lokal.

METODE PENELITIAN

Waktu pengambilan data pada bulan Mei-Oktober 2015 dan Mei-Oktober 2016 dengan Jumlah responden 88 anak, terdiri dari laki-laki 48 orang dan perempuan 39 orang, dari rumah belajar kampung Wau-Weyaf, rumah belajar kampung Warmandi, dan rumah belajar kampung Saubeba. Ketiga tempat tersebut penting karena mengapit dua pantai peneluran penyu belimbing yang ada di distrik Abun.

Potret pendidikan di Distrik Abun, Papua Barat, sangatlah memprihatinkan karena

hanya terdapat 4 Sekolah Dasar (SD) dan tidak ada fasilitas pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA), atau yang sederajat. Rata-rata di setiap SD hanya terdapat 1 guru PNS dan 2 guru honorer. Guru-guru seringkali berlibur ke kota pada hari efektif sekolah sehingga proses belajar mengajar seringkali tidak terjadi. Sarana dan prasarana sekolah sangat minim, seperti terbatasnya buku bacaan yang mengakibatkan anak didik seringkali kesulitan dalam proses belajar mengajar. Di samping itu, banyak anak yang mengalami kesulitan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi karena biaya yang dibutuhkan untuk bersekolah di luar kampung relatif mahal.

Kehadiran rumah belajar yang ada di daerah konservasi penyu belimbing merupakan

salah satu solusi untuk mempercepat anak-anak dapat membaca, menulis, dan berhitung. Rumah belajar juga merupakan tempat untuk memberikan pembelajaran tentang konservasi penyu belimbing yang dilakukan di pantai peneluran. Di dalam rumah belajar juga diajarkan pendidikan lingkungan hidup yang di dalamnya terdapat siklus hidup penyu belimbing dari telur sampai dengan penyu dewasa dan rantai makan penyu belimbing. Agar anak-anak dapat mengetahui secara langsung kehidupan penyu belimbing di pantai, diadakan sebuah kegiatan “Kemah Sahabat Penyu”. Sehingga, diharapkan keberlangsungan hidup penyu belimbing terus terjaga.

Pembelajaran di rumah belajar dilaksanakan pada sore hari setelah pembelajaran di

sekolah, pertemuan dilaksanakan 3 kali dalam seminggu dan setiap pertemuan kurang lebih 60 menit. Evaluasi untuk anak-anak yang belajar di rumah belajar dilakukan sekali dalam tiga bulan untuk mengukur sejauh mana pencapaian belajar anak dalam membaca, menulis, dan berhitung.

Page 17: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

22 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Bahan-bahan yang disediakan dalam rumah belajar terdiri dari bahan ajar, bahan evaluasi keterlaksanaan pembelajaran berupa daftar hadir dan jurnal mengajar, serta bahan-bahan pendukung lainnya untuk mendukung kelancaran proses belajar mengajar di rumah belajar. Bahan-bahan pembelajaran di rumah belajar ini berkembang sejalan dengan evaluasi yang terus menerus dilakukan. Bahan-bahan pembelajaran ini menjadi bagian yang harus dikuasai oleh pendamping lapang UNIPA sebelum memulai proses belajar mengajar di rumah belajar setiap tahunnya.

Pendekatan yang dilakukan secara persuasif kepada masyarakat, terutama dengan

orang tua anak-anak usia sekolah, bertujuan untuk mendorong keterlibatan anak-anak untuk ikut dalam kegiatan rumah belajar. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian pre-eksperimen dalam bentuk one group pre-test post-test (Sugiyono, 2006) seperti pada persamaan (1). Dimulai dengan memberikan pretest (O1) bagi anak yang pertama kali masuk ke rumah belajar untuk mengukur kemampuan awal anak dalam baca, tulis, dan hitung. Setelah itu dilakukan perlakuan pembelajaran (X) kepada anak, untuk memperbaiki kekurangan mereka terutama dalam baca, tulis, dan hitung. Setelah pembelajaran tiga bulan diberikan kemudian dilakukan post-test (O2), untuk mengukur sejauh mana perkembangan anak dalam kemampuan baca, tulis, dan hitung yang telah dicapai.

……….... (1) Keterangan: O1 = pretest (tes awal) X = perlakukan yang diberikan (pembelajaran) O2 = posttest (tes akhir)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang diperoleh dari data rumah belajar periode tahun 2015-2016 pada ketiga rumah belajar sebagai berikut:

Gambar 2. Persentase jumlah anak yang berkategori baik

O1 X O2

Page 18: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

23 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Secara keseluruhan data penelitian (Gambar 2) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan anak baca 10,23%, tulis 10,23%, dan hitung 7,95% dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2016. Data untuk kegiatan berhitung pada tahun 2015 adalah 0% karena data kemampuan berhitung belum diukur pada tahun tersebut. Dengan demikian, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam membaca, menulis, dan berhitung melalui proses belajar mengajar menunjukkan hasil yang positif.

Di samping kemajuan berdasarkan hasil evaluasi tersebut, beberapa kemajuan juga

dicatat dari hasil pengamatan selama pendamping lapang UNIPA tinggal selama rata-rata 1 tahun di masing-masing kampung tersebut. Kemajuan tersebut termasuk kebiasaan bermain sambil belajar yang semakin berkembang dan partisipasi orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Kemampuan baca, tulis, dan hitung ini tentu saja membuka jendela informasi bagi masyarakat terutama generasi muda. Kemampuan mengakses informasi menjadi penting bagi generasi muda yang ada di ketiga kampung binaan UNIPA, karena generasi muda ini yang akan memegang tongkat estafet upaya konservasi penyu belimbing di Abun.

Di samping kesuksesan yang sudah diraih, tim pemberdayaan masyarakat UNIPA

terus memperbaiki diri untuk mencapai kinerja yang lebih baik. Beberapa tantangan yang dihadapi saat ini adalah waktu pendamping lapang yang terbatas, karena aktivitas program pendampingan di bidang lainnya membuat program rumah belajar menjadi tidak efektif; keterisoliran kampung-kampung binaan yang membuat sulitnya untuk terus menerus mengevaluasi keberhasilan program rumah belajar; dan tidak adanya infrastruktur seperti fasilitas listrik yang kontinu dan jaringan komunikasi membuat proses belajar mengajar seringkali terasa monoton dan kurang berkembang. Strategi-strategi baru terus akan dikembangkan dalam menjawab tantangan yang ada sehingga program rumah belajar menjadi lebih efektif dan bermanfaat bagi anak-anak usia sekolah di ketiga kampung binaan UNIPA tersebut.

KESIMPULAN

Rumah belajar menjawab pemenuhan pendidikan anak-anak lokal, terlihat dari peningkatan anak-anak yang berkategori dapat membaca dengan baik sebesar 10,23%, peningkatan menulis sebesar 10,23%, dan peningkatan berhitung sebesar 7,95%. Meningkatnya kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, diharapkan dapat membuka jendela informasi bagi masyarakat terutama generasi muda yang akan memegang tongkat estafet upaya konservasi penyu belimbing di Abun.

UCAPAN TERIMA KASIH

Program pemberdayaan masyarakat ini dapat terlaksana dengan dukungan banyak pihak. Penghargaan disampaikan kepada pihak-pihak yang memberikan bantuan baik dalam bentuk dukungan bantuan teknis maupun pendanaan antara lain kepada: Pemerintah Kabupaten Tambrauw, International Seafood Sustainability Foundation (ISSF), Department of Fisheries Kanada, Whitley Fund for Nature (WFN), Walton Family Foundation (WFF), Conservation International, WWF Indonesia, U.S. Fish and Wildlife Services, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA-US).

Page 19: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

24 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, S. 2014. Tambrauw Dalam Angka 2014. Sorong: BPS Kabupaten Sorong. Kementerian Desa, P D. 2017. Realitas Desa Membangun Gagasan dan

Pengalaman. Makassar: Hasanuddin Universitas Press. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,

dan R & D. Bandung: Alfabeta. Tapilatu R.D. 2013. Long-Term Decline of The Western Pacific Leatherback,

Dermochelys Coriacea: A Globally Important Sea Turtle Population. ESA, 1-15 pp.

Page 20: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

25 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

MANFAAT DAERAH PERLINDUNGAN LAUT (DPBL): KAJIAN TERHADAP KELIMPAHAN KERANG DI PADANG LAMUN

Sam Wouthuyzena*, Jonas Lorwensb

aUPT LPKSDMO, P2O- LIPi, Pulau Pari bUPT Loka Konservasi Biota Laut, P2O-LIPI, Bosnik-Biak

*email: [email protected]

ABSTRAK Wilayah pesisir indonesia memiliki ekosistem tropika (mangrove, lamun, dan koral) yang unik, sangat luas, lengkap serta produktif, dan telah terbukti memberikan barang dan jasa lingkungan yang sangat penting dan berharga bagi masyarakat pesisir. Meskipun demikian, ekosistem pesisir di hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami tekanan berat dari pengembangan wilayah, berbagai bentuk pencemaran serta pemanfaatan sumber daya yang sangat berlebih dengan cara tidak ramah lingkungan, sehingga berdampak pada penurunan drastis fungsi ekosistem serta sumber daya hayati pesisir. Oleh karena itu, pengelolaan berkelanjutan harus segera dilakukan. Salah satu cara adalah mendirikan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Kajian ini menganalisis manfaat DPL dalam mengkonservasi kerang-kerangan di ekosistem lamun Pulau Pari, Kepulauan Seribu sejak tahun 2013 hingga sekarang. Metode "Tag and release", terhadap kerang kere (Gafrarium tumindum) menunjukkan bahwa populasi meningkat 5,8 kali dalam 5 tahun (2013-2017), sedangkan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) rata-rata di DPL 24,9 kali lebih tinggi dibandingkan di luar DPL. Kerang muda yang berukuran kecil juga lebih sering terlihat di DPL. Kesimpulan menunjukkan bahwa DPL ektif dan berfungsi mengkonservasi kerang-kerangan walaupun DPL hanya berukuran kecil (9,7 ha) Kecenderungan serupa juga ditunjukkan oleh kerang buluh (Anadara antiquata) pada DPL di Pulau Pai, Kepulauan Padaido, Papua. Pendirian DPL di banyak lokasi pesisir Indonesia perlu dilakukan pada waktu yang dekat sesuai dengan target Menteri Perikanan dan Kelauatan yang akan mendirikan 20 juta hektar hingga tahun 2010. KATA KUNCI: Daerah Perlindungan laut, padang lamun, populasi/stok

Page 21: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

26 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

MANFAAT KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU KECIL (KKP3K) PULAU KOON DAN PERAIRAN SEKITARNYA BAGI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN

MASYARAKAT

Hellen Nanlohya*, Natelda Timiselaa, Ignatia Dyahapsarib, Rizalb

a Universitas Pattimura b WWF-Indonesia

*email: [email protected]

ABSTRAK Pengelolaan sumber daya laut seharusnya dikelola secara efektif dan bekelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat lokal yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penelitian bertujuan untuk mengkaji manfaat kawasan konservasi perairan bagi kesejahteraan masyarakat. Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan survei lapangan melalui diskusi kelompok terarah dan kemudian wawancara dengan informan kunci. Penelitian ini berlokasi di Konservasi Pesisir dan Pulau Kecil (KKP3K) Taman Pulau Kecil-Pulau Koon, Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku. Responden dalam penelitian adalah pemerintah desa, tokoh masyarakat serta nelayan yang memanfaatkan laut di sekitar kawasan konservasi. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat pesisir yang berada di sekitar kawasan konservasi mengetahui bahwa kawasan konservasi merupakan zona pelarangan pemanfaatan penangkapan ikan. Masyarakat hanya dapat memanfaatkan laut di luar zona tersebut. Penetapan kawasan konservasi ini memberikan manfaat penting bagi masyarakat pesisir khususnya nelayan karena dapat meningkatkan hasil tangkapan nelayan sebelum penetapan kawasan konservasi. Jenis-jenis ikan yang terbanyak di lokasi penelitian adalah jenis-jenis ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Penetapan kawasan konservasi merupakan upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya laut dalam rangka menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan sumber daya laut untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kawasan konservasi secara langsung melindungi habitat yang sangat penting bagi perkembangbiakan sumber daya laut. Kawasan konservasi juga menyediakan tempat berlindung ikan secara berkesinambungan, dan yang terpenting dapat mensejahterakan masyarakat sekitarnya. KATA KUNCI: Manfaat, kawasan, konservasi

Page 22: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

27 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

PENGARUH JENIS PEKERJAAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BENTANG BENTANG LAUT

KEPALA BURUNG

Maya Paembonana*, Fitryani Pakidinga, Louise Glewb, Michael Masciac, Dariani Matualagea, Yori Turu Tojaa, Albertus Girik Alloa

aUniversitas Papua bWWF-US

cConservational Indonesia

*email: [email protected]

ABSTRAK Kawasan Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) Papua memiliki ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu yang terbaik di dunia yang menjadi ‘rumah’ bagi berbagai spesies ikan. Dalam rangka pengelolaan sumber daya alam yang potensial ini, maka dibentuklah Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di wilayah BLKB. Selain upaya pelestarian sumber daya perairan, pengelolaan KKP juga ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang hidup dan bergantung pada sumber daya perairan di sekitarnya. Walaupun proses penetapan KKP telah berlangsung sejak tahun 2004 (terutama di jejaring KKP Raja Ampat), informasi mengenai manfaat ekonomi keberadaan KKP terhadap kesejahteraan masyarakat di wilayah KKP masih sangat minim. Data awal menunjukkan bahwa masyarakat yang hidup di wilayah jejaring KKP-BLKB memiliki beragam pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada upaya untuk mengkaji pengaruh pekerjaan masyarakat terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi keluarganya. Pada tahun 2014, kami mengunjungi 1.723 rumah tangga di wilayah KKP Kaimana, Dampier, Teluk Mayalibit dan Taman Nasional Teluk Cenderawasih untuk menguji hipotesa bahwa keluarga yang pekerjaan utamanya melaut memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan lainnya. Indeks kepemilikan aset rumah tangga digunakan sebagai indikator tingkat kesejahteraan ekonomi dan kami mendapati bahwa jenis pekerjaan memiliki dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga. Hasil uji lanjut juga menunjukkan bahwa keluarga dengan penghasilan utama melaut memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga dengan sumber penghasilan lainnya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkaji bahwa tingginya tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga nelayan ini merupakan dampak ekonomi positif yang ditimbulkan oleh keberadaan KKP di wilayah BLKB. KATA KUNCI: Konservasi, bentang laut kepala burung, teluk cendrawasih

Page 23: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

28 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

MANFAAT KAWASAN KONSERVASI MANGROVE DI PESISIR DESA BENGKAK KABUPATEN BANYUWANGI

Yanuar Rustrianto Buwono

Balai Pendidikan Pelatihan Perikanan Banyuwangi

*email: [email protected]

ABSTRAK Kawasan pesisir Bengkak merupakan salah satu pesisir yang menjadi kegiatan perikanan laut dengan ekosistem mangrove alami seluas ± 9 Ha berbatasan dengan mangrove Alas Buluh dan berseberangan dengan mangrove TN. Bali Barat. Kawasan ini memiliki peran penting sebagai habitat penting biota daratan dan lautan, namun adanya gangguan masyarakat seperti pengambilan kayu mangrove menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan mangrove tidak optimal bahkan mati. Adanya tekanan lingkungan di pesisir Desa Bengkak menyebabkan abrasi pantai pada saat air laut pasang tinggi sehingga dalam 2 tahun terakhir ini dilakukan pengembangan kegiatan konservasi, meliputi reboisasi mangrove dan cemara laut secara berkelanjutan dengan peningkatan pendapatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Hasil konservasi diwujudkan sebagai kawasan ekowisata Mangrove Centre Bengkak (MCB) yang digagas Pokmaswas Tirtawangi berkerjasama dengan pemda, akademisi, dan praktisi. Aspek penting dalam pengembangan dan perlindungan mangrove secara berkelanjutan dirasakan dalam segi ekonomi seperti pedagang, penyewaan alat snorkle dan jasa wisata Pulau Tabuhan dan Pulau Menjangan, ekologi seperti perlindungan habitat fauna darat/terresterial dan laut dengan pengambilan biota laut di daerah lain yang sudah disepakati, sosial budaya seperti hidup bermasyarakat membangun wisata mangrove dengan spot-spot menarik dari pertumbuhan mangrove yang semakin meluas. Kesadaran masyarakat dalam melestarikan hutan mangrove di Kawasan Pesisir mendapat dukungan pemerintah dengan dibuatnya Peraturan Desa No. 07 Tahun 2016 tentang Daerah Perlindungan Pesisir Desa Bengkak. Keanekaragaman hayati vegetasi mangrove mempunyai jenis yang bervariasi yaitu A. marina, R. apiculata, R. mucronata, S. alba dan C. equisetifolia. Namun perlu dilakukan pembinaan dan pelatihan lebih lanjut tentang pemanfaatan olahan buah mangrove untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir Desa Bengkak KATA KUNCI: Pesisir, konservasi, mangrove

Page 24: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

29 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

ANALISIS PENGARUH KAWASAN KONSERVASI LAUT TERHADAP PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP DI INDONESIA

Prabowoa*, Widyono Soetjiptoa

aMagister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia

*email: [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis pengaruh kawasan konservasi laut (KKL) terhadap produksi perikanan tangkap di Indonesia. Metode yang digunakan adalah analisis regresi data panel dari 32 provinsi di Indonesia selama periode 2010–2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio luas KKL/laut secara signifikan berpengaruh positif terhadap produksi perikanan tangkap di Indonesia dengan nilai elastisitas sebesar 0,007. Selain rasio luas KKL/laut, variabel yang secara signifikan berpengaruh positif adalah variabel perahu, rumah tangga perikanan, alat penangkapan ikan, dan trip. Pengaruh rasio luas KKL/laut dan variabel lain yang signifikan bersifat inelastic dengan kondisi skala hasil yang menurun. KATA KUNCI: KKL, produksi perikanan tangkap, elastisitas ABSTRACT The aim of the research was to analyse the effect Marine Protected Area (MPA) to capture fisheries in Indonesia. The research method was regression data panel from 32 provinces in Indonesia during 2010-2014. The results show that MPA’s size/sea ratio gives a significant positive effect to capture fisheries production in Indonesia with elasticity value of 0.007. Beside MPA’s wide/sea ratio, other variable, namely number of fishing boat, number of fishing household, number of fishing gear and trip, also have the same positive impacts. The MPA’s size/sea ratio and other variable are inelastic with the decreasing return to scale condition. KEYWORDS: MPA, capture fisheries production, elasticity Classification: C33, D24, Q22 PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki potensi sumber daya

kelautan dan perikanan yang sangat besar dan beragam, baik berupa sumber daya terbarukan seperti perikanan, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun, maupun sumber daya tak terbarukan seperti minyak, gas bumi, dan mineral lainnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan No. 47 Tahun 2016, potensi lestari sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia diperkirakan sebesar 9,93 juta ton, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 7,9 juta ton per tahun atau sekitar 80%dari potensi lestari. Potensi lestari sumber daya ikan ini mengalami peningkatan sebesar 52% dari jumlah yang diestimasi pada tahun 2011 dan 36% dari jumlah yang diestimasi pada tahun 2013.

Menurut data FAO (2016), pada tahun 2014 Indonesia menempati peringkat kedua

untuk produksi perikanan tangkap di dunia, hanya kalah dari China. Produksi perikanan tangkap Indonesia pada tahun 2014 mencapai 6 juta ton atau sebesar 7,4% dari produksi perikanan tangkap di dunia. Berdasarkan KKP (2016), produksi perikanan tangkap Indonesia pada tahun 2015 mencapai 6,52 juta ton, terdiri dari produksi perikanan laut

Page 25: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

30 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

sebesar 6,06 juta ton dan produksi perairan umum sebesar 455 ribu ton. Produksi perikanan ini mengalami peningkatan sebesar 0,55% dibandingkan produksi tahun 2014, dengan rata-rata peningkatan per tahun sebesar 3,4%. Fakta ini menunjukkan besarnya potensi perikanan di Indonesia, sehingga bila dikelola dengan baik, maka dapat menjadi sebagai salah satu sumber modal utama pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Namun demikian, berdasarkan Kepmen KP 47 Tahun 2016, beberapa Wilayah

Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia telah mengalami over-exploited. Untuk jenis tangkapan ikan pelagis kecil, dari 11 WPP di Indonesia, 3 WPP telah mengalami kondisi over-exploited, yakni WPP Selat Malaka, Laut China Selatan, dan Teluk Tomini – Laut Seram. Sedangkan untuk jenis tangkapan udang, 8 WPP di Indonesia telah mengalami Over-exploited, yakni WPP Selat Malaka, Samudera Hindia, Laut China Selatan, Laut Jawa, Selat Makasar – Laut Flores, Teluk Tomini, dan Laut Arafura - Laut Timor. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah konservasi dengan mengembangkan Kawasan Konservasi Laut (KKL).

Kawasan Konservasi Laut (KKL) atau Marine Protected Area (MPA) adalah instrumen

manajemen berbasis ekosistem penting untuk mengendalikan dan mengelola sumber daya perikanan secara berkelanjutan (Anna, 2008). Menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan dijelaskan bahwa Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Prinsip dari KKL adalah spill over effect atau dampak limpahan, di mana pada kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan yang kemudian dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengurangi sumber pertumbuhan di daerah yang dilindungi (Fauzi dan Anna, 2005).

Sejak dimandatkan perlunya upaya konservasi untuk pengelolaan perikanan

berkelanjutan dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan, luas KKL di Indonesia mengalami peningkatan. Data KKP tahun 2015 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan luas KKL sebesar 5,4 juta Ha pada tahun 2003, menjadi sebesar 17,3 juta Ha. Peningkatan ini merupakan hasil kontribusi peran pemerintah daerah dalam mencadangkan perairan lautnya sebagai kawasan konservasi, akibat diberikannya kewenangan Pemerintah Daerah dalam mengelola KKL. Namun demikian, jika dibandingkan dengan luas laut teritorial Indonesia, luas KKL hanya 5,58% saja dari laut luas laut teritorial Indonesia. Sedangkan untuk pantura Jawa, luas KKL hanya 16% dari luas perairan Pantura Jawa. KKL yang dibentuk ini memiliki luas KKL yang berbeda-beda, misalnya KKL Kabupaten Bungo, Jambi yang hanya memiliki luas sebesar 2,27 Ha, hingga KKL Raja Ampat, Papua Barat, yang memiliki luas 1.026.540 Ha dan KKL Sawu, NTT, yang memiliki luas 3.355.352,82 Ha. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah apakah KKL yang telah dibentuk mempengaruhi produksi perikanan tangkap di Indonesia. Lebih lanjut apakah peningkatan luas KKL akan mempengaruhi produksi perikanan tangkap di Indonesia.

METODE PENELITIAN Spesifikasi Model

Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi untuk membahas hubungan antar variabel yang disebut variabel terikat dan variabel lain yang disebut variabel bebas. Pada penelitian ini, analisis regresi dilakukan terhadap data panel. Menurut Ekananda (2014), data panel adalah sebuah set data yang berisi data sampel individu (provinsi) pada sebuah

Page 26: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

31 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

periode waktu tertentu. Penelitian ini menggunakan model yang dibangun dari model fungsi produksi Cobb Douglas.

Mengacu kepada Soemantri (2005), Juwarti (2003), Febriano (2015), digunakan

variabel nelayan, perahu, alat penangkapan ikan, rumah tangga perikanan/perusahaan perikanan tangkap, dan trip untuk variabel bebas, dengan variabel utama rasio luas KKL terhadap luas laut. Sehingga model pendugaannya menjadi:

Ln Qit = LnA + β1 Ln NELit + β2 Ln RTPit + β3 Ln PERit + β4 Ln APIit + β5 Ln TRIPit + β6

Ln RKKLit + β7 Ln PERit2 + uit

Dimana: Qit : Produksi perikanan tangkap untuk Provinsi ke-i dan waktu ke-t NELit : Jumlah nelayan untuk provinsi ke-i dan waktu ke-t RTPit : Jumlah rumah tangga perikanan/perusahan perikanan tangkap untuk provinsi ke-i

dan waktu ke-t PERit : Jumlah perahu penangkapan ikan untuk provinsi ke-i dan waktu ke-t APIit : Jumlah alat penangkapan ikan untuk provinsi ke-i dan waktu ke-t TRIPit : Jumlah trip untuk provinsi ke-i dan waktu ke-t RKKLit : Rasio luas KKL/laut untuk provinsi ke-i dan waktu ke-t PERit

2 : Jumlah perahu penangkapan ikan untuk provinsi ke-i dan waktu ke-t

Model data panel tersebut kemudian dites dengan menggunakan beberapa teknik,

yaitu: Model Common Effects (Pooled Least Square), Model Efek Tetap (Fixed Effect), dan Model Efek Random (Random Effect). Selanjutnya dilakukan uji Chow dan Hausman untuk menentukan model yang sesuai dengan penelitian ini.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan untuk penelitian ini berasal dari data sekunder yang didapatkan dari berbagai sumber seperti Badan Pusat Statistik dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Struktur data yang digunakan berupa data panel, yaitu data yang dikumpulkan secara cross section dan diikuti pada periode waktu tertentu. Data cross section berupa data provinsi di Indonesia yang memiliki KKL, yaitu sejumlah 32 provinsi dengan periode selama 5 tahun (2010-2014). Data-data tersebut terdiri dari data produksi perikanan tangkap, jumlah nelayan, jumlah RTP, jumlah perahu, jumlah alat penangkapan ikan, jumlah trip, luas KKL, dan luas laut. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Spesifikasi Model

Untuk melihat pengaruh kawasan konservasi laut terhadap produksi perikanan tangkap di provinsi di Indonesia dilakukan analisis regresi struktur data panel, dengan jumlah observasi sebanyak 160 observasi, terdiri dari 32 provinsi untuk periode 5 tahun (2010-2014).

Pada penelitian ini, analisis regresi data panel menggunakan metode estimasi

common effect/pool lest square (PLS), fixed effect model (FEM), dan random effect model (REM). Berdasarkan hasil pengujian dengan PLS, FEM, dan REM didapatkan nilai probabilitas F sebesar 0,000001 atau P < 0,005. Hal ini mengindikasikan H0 dapat ditolak dan H1 dapat diterima.

Page 27: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

32 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Sehingga dapat disimpulkan bahwa sekelompok variabel bebas secara bersama-sama mempunyai pengaruh nyata terhadap variabel terikat. Dengan kata lain, variabel nelayan, perahu, RTP, alat penangkapan ikan, trip, dan rasio luas KKL/laut secara bersama-sama signifikan mempengaruhi produksi perikanan tangkap.

Tabel 1. Hasil Estimasi PLS, FEM, dan REM

Variable PLS FEM REM

C -2,244267 9,995830** -1,12571

LnNEL 0,591118* -0,047014 0,019415

LnPER 1,627120* -0,225526 1,600948**

LnRTP -0,096644 0,245811*** 0,450393*

LnAPI -0,039783 0,093956** 0,076604***

LnTRIP 0,020812 0,002206 0,020022

LnRKKL 0,012088 0,001011 0,000445

LnPER2 -0,074180* 0,012229 -0,086301**

R-squared 0,699896 0,977934 0,291118

Adjusted R-squared 0,686076 0,971005 0,258472

Keterangan : * = Signifikan pada taraf nyata 1 % ** = Signifikan pada taraf nyata 5 % *** = Signifikan pada taraf nyata 10 %

Berdasarkan Tabel 1 dapat kita lihat bahwa hasil pengujian estimasi dengan

menggunakan metode PLS terlihat bahwa hanya 3 variabel bebas yang signifikan pada taraf nyata 5%, yakni variabel nelayan, perahu, dan perahu2. Sedangkan pada hasil estimasi FEM hanya ada satu variabel bebas (alat penangkapan) yang signifikan. Dari ketiga model, hasil pengujian model FEM menunjukan nilai R2 dan Adj R2 yang lebih besar, yakni sebesar 0,98 dan sebesar 0,97. Menurut Nachrowi (2004) nilai R2 dan Adj R2 antara 0 – 1, dan jika nilainya mendekati 1 maka semakin baik.

Untuk memperkuat hasil pengujian model estimasi, maka digunakan nilai Adj R2 yang

artinya bahwa sekitar 98% dari variabel terikat, yaitu produksi perikanan tangkap dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya. Sedangkan sisanya 0,03% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam model.

Untuk menentukan model regresi data panel yang paling sesuai antara metodel PLS

dengan FEM, maka dilakukan uji Chow. Berdasarkan hasil uji tersebut maka didapatkan nilai Prob. Cros-section F sebesar 0,0002 (< 0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa FEM lebih sesuai dalam penelitian ini dibandingkan dengan metode PLS. Sedangkan untuk menentukan model regresi data panel yang paling sesuai antara metode FEM dengan REM, maka dilakukan uji Hausman. Berdasarkan hasil uji tersebut, didapatkan nilai Prob. Cros-section random sebesar 0,0000 (< 0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa FEM lebih sesuai dalam penelitian ini dibandingkan dengan metode REM.

Menurut Nachrowi (2004), FEM tidak membutuhkan asumsi terbebasnya dari serial

korelasi, maka uji otokorelasi dapat diabaikan. Namun demikian, mengingat jenis data penelitian ini juga merupakan data cross-section, maka pada model ini dicurigai terdapat heteroskedasitisitas. Oleh karena itu, untuk mendapatkan estimasi yang lebih baik dan efisien, dilakukan estimasi dengan menggunakan pembobotan/WLS (cross-section weights) dan white cross-section. Menurut Ekananda (2014), estimasi ini mengasumsikan terdapat perbedaan bobot kesalahan setiap individu selama waktu observasi dalam menentukan dampak dan karakteristik individu.

Page 28: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

33 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Tabel 2. Hasil Estimasi FEM dengan WLS dan White Cross-Section

Variable Coefficient t-Statistic Prob.

C 8.046339 14.32335 0.0000*

LnNEL -0.028739 -1.195496 0.2342

LnPER 0.347912 4.051089 0.0001*

LnRTP 0.118218 8.583 0.0000*

LnAPI 0.094367 3.45029 0.0008*

LnTRIP 0.020083 1.736941 0.0849***

LnRKKL 0.006976 1.989261 0.0489**

LnPER2 -0.017482 -3.869232 0.0002*

R-squared 0.994598

Adjusted R-squared 0.992901

Keterangan : * = Signifikan pada taraf nyata 1 % ** = Signifikan pada taraf nyata 5 %

*** = Signifikan pada taraf nyata 10 %

Berdasarkan Tabel 2 dapat kita lihat bahwa hasil pengujian FEM dengan WLS dan

white cross-section menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan model sebelumnya. Pada model ini, didapatkan lebih banyak variabel bebas yang signifikan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat 5 variabel yang signifikan pada taraf nyata 5%, yakni variabel perahu, perahu2, RTP, alat penangkapan ikan, dan rasio luas KKL/laut. Sedangkan variabel nelayan dan trip, apabila menggunakan taraf nyata 10%, maka hasil pengujian menunjukkan bahwa ada 6 variabel bebas yang signifikan, yakni variabel perahu, perahu2, RTP, alat penangkapan ikan, trip, dan rasio luas KKL/laut. Sedangkan variabel nelayan tidak signifikan.

Hasil pengujian juga menunjukkan nilai R2 dan Adj R2 yang lebih besar dibandingkan

model sebelumnya, yakni nilai R2 sebesar 0,994 dan Adj R2 sebesar 0,992. Hal ini berarti bahwa 99,2% dari variabel terikat, yaitu produksi perikanan tangkap dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya, yaitu nelayan, perahu, RTP, alat penangkapan ikan, trip, dan rasio luas KKL/laut. Sedangkan sisanya 0,008% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model.

Pengaruh KKL Terhadap Produksi Perikanan Tangkap

Hasil estimasi FEM dengan WLS dan white cross-section tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:

Ln Qit = 8,046339 + Cit + 0,118218 Ln RTPit + 0,347912 Ln PERit + 0,094367 Ln APIit -

0,020083 Ln TRIPit + 0,006976 Ln RKKLit - 0,017482 Ln PERit2 + uit

Dari model tersebut terlihat bahwa β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6 < 1, yang menunjukkan bahwa perikanan tangkap di Indonesia berada pada kondisi skala hasil yang menurun (decreasing return to scale). Hal ini dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor-faktor produksi melebihi proporsi penambahan hasil produksi. Dengan demikian, penggunaan faktor-faktor produksi perikanan tangkap di Indonesia dapat dikatakan belum efisien.

Hasil estimasi menunjukkan nilai intersep dari masing-masing provinsi di Indonesia menghasilkan nilai yang berbeda-beda. Hal in dapat diartikan bahwa apabila tidak terjadi perubahan pada variabel jumlah nelayan, jumlah RTP/PP, jumlah perahu, jumlah nelayan,

Page 29: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

34 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

jumlah RTP, jumlah alat penangkapan ikan, jumlah trip, dan rasio luas KKL/laut, maka produksi perikanan tangkap adalah Cit + 8,046339 (nilai Cit tiap provinsi). Berdasarkan hasil estimasi, sebanyak 18 provinsi (Aceh, Sumut, Sumbar, Kepri, Babel, Lampung, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Maluku, Maluku Utara, Papua) memiliki nilai koefisien intersep yang positif dan sebanyak 14 provinsi (Riau, Jambi, Bengkulu, Banten, DIY, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Gorontalo, Sulbar, Papua Barat), memiliki nilai koefisien intersep yang negatif. Provinsi dengan jumlah rata-rata produksi perikanan tangkap tertinggi adalah provinsi Maluku. Sedangkan provinsi dengan jumlah rata-rata produksi perikanan tangkap terendah adalah provinsi DIY.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel perahu, perahu2, RTP, alat penangkapan

ikan, trip, dan rasio luas KKL/laut secara signifikan berpengaruh terhadap jumlah produksi perikanan tangkap. Peningkatan rasio luas KKL/Laut secara signifikan (0,048<0,05) berpengaruh positif terhadap jumlah produksi perikanan tangkap dengan nilai koefisien regresinya sebesar 0,007. Dengan mengasumsikan variabel lain tetap, kenaikan 1% rasio luas KKL/Laut akan meningkatkan 0,007% jumlah produksi perikanan tangkap. Hal ini sesuai dengan hipotesa awal yang telah disebutkan dan sejalan dengan teori fungsi produksi perikanan yang menyatakan bahwa produksi perikanan dipengaruhi oleh upaya dan stok ikan.

Menurut Fauzi dan Anna (2005), pada kawasan yang dilindungi, stok ikan akan

tumbuh dengan baik dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan yang kemudian dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengurangi sumber pertumbuhan di daerah yang dilindungi. Melindungi 20-40% laut dari penangkapan ikan akan meningkatkan hasil penangkapan jangka panjang dan mengurangi tekanan penangkapan berlebih. Setelah melewati luasan tersebut, KKL menjadi sangat luas, sehingga akan menurunkan produksi perikanan karena menyempitnya daerah penangkapan (Robert dan Hawkins, 2000).

Saat ini rasio luas KKL/laut di Indonesia sebesar 0,058 atau 5,8% dari luas laut

Indonesia. Dari 32 provinsi yang memiliki KKL, sebanyak 8 provinsi (Jambi, Gorontalo, Maluku Utara, Riau, Kalbar, Banten, Kalsel, Jabar), persentase luas kawasan konservasi terhadap lautnya berada di bawah 1%. Sedangkan, sebanyak 10 provinsi (Sulbar, Aceh, Bengkulu, Lampung, Jatim, Sumut, Kaltim, DIY, Kalteng), persentase luas kawasannya terhadap luas laut sebesar 1-5%. Kemudian sebanyak 8 provinsi (Jateng, Papua, Sumbar, Maluku, NTB, Bali, Sulteng, Kepri), persentase luas kawasan konservasi terhadap luas laut sebesar 5-10%. Selanjutnya, sebanyak 7 provinsi (Sulut, Sulsel, Papua Barat, Babel, Sultra, NTT, DKI Jakarta), persentase luas kawasan konservasi terhadap luas lautnya di atas 10%.

Jika ingin menambah kawasan konservasi laut, selain mempertimbangkan aspek

ekologi, penambahan sebaiknya dilakukan di provinsi yang rasio luas kawasan konservasi terhadap luas lautnya masih rendah.

Berdasarkan estimasi, koefisien rasio KKL/laut yang sebesar 0,007 menunjukkan

bahwa pengaruh rasio luas KKL/laut terhadap produksi perikanan tangkap ini bersifat inelastic. Perubahan rasio luas KKL/Laut akan menyebabkan perubahan produksi perikanan tangkap, namun persentase perubahannya lebih rendah daripada perubahan rasio luas KKL/Laut itu sendiri. Meskipun, berdasarkan estimasi pengaruh KKL terhadap produksi perikanan tergolong rendah bila dibandingkan dengan variabel lain seperti perahu, RTP, dan alat penangkapan ikan, pembentukan KKL tetap perlu dilakukan. Hal ini mengingat tujuan utama KKL adalah melindungi dan melestarikan sumber daya ikan serta tipe-tipe ekosistem penting di perairan untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya, mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan dan ekosistemnya serta jasa lingkungannya secara

Page 30: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

35 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

berkelanjutan, dan melestarikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya ikan di dalam dan/atau di sekitar kawasan konservasi laut.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio luas KKL/laut secara signifikan berpengaruh positif terhadap produksi perikanan tangkap di Indonesia dengan nilai elastisitas sebesar 0,007. Selain rasio luas KKL/laut, variabel yang secara signifikan berpengaruh positif adalah variabel perahu, RTP, alat penangkapan ikan, dan trip. Pengaruh dari rasio luas KKL/laut, perahu, RTP, alat penangkapan ikan, dan trip terhadap produksi perikanan tangkap ini bersifat inelastis dengan kondisi skala hasil yang menurun.

DAFTAR PUSTAKA Anna Susy. 2008. Marine Protected Area and Its Socio-Economic Impacts on The Coastal

Communities of Seribu Island, Indonesia. IIFET Vietnam Proceedings. Direktorat Konservasi Kawasan dan Keanekaragaman Hayati Laut. 2015. Informasi

Kawasan Konservasi Perairan Indonesia. Jakarta: Direktorat Konservasi Kawasan dan Keanekaragaman Hayati Laut.

Ekananda Mahyus. 2014. Analisis Ekonometrika Data Panel Bagi Penelitian Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

FAO. 2016. The State of World Fisheries and Aquaculture. In Brief. Fauzi A., dan S. Anna, 2005. Pemodelan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Untuk

Analisis Kebijakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Febriano Iqbal. 2015. Model Dinamik Pemanfaatan Sumberdaya Alam Untuk Pembangunan

Berkelanjutan di Jawa Barat. Tesis. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Juwarti. 2003. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Tangkapan Ikan Laut di Pandansimo Kabupaten Bantul. Tesis. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

KKP. 2016. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2015. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Nachrowi D. Nachrowi. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Roberts C.M. and Hawkins, J.P. 2000. Fully-Protected Marine Reserves: A Guide Washington, DC And University Of York. UK: WWF Endangered Seas Campaign.

Soemantri. 2005. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Penangkapan Ikan Laut Periode 1976 – 2003. Tesis. Depok: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Page 31: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

36 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE PULAU BUNAKEN

TAMAN NASIONAL BUNAKEN PROVINSI SULAWESI UTARA

Joshian N.W. Schaduw

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,Universitas Sam Ratulangi.

*email: [email protected]

ABSTRAK

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pengelolaan ekosistem mangrove Pulau Bunaken, yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bunaken di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara. Kajian ini menggunakan metode penelitian survei lapangan, sampling, dan studi literatur pada beberapa komponen yang membutuhkan data berkala. Analisis data menggunakan Multidimensional Scaling (MDS) dan Rapid Apraisal of Mangrove Ecosystem Sustainability (RAPMECS). Data yang didapatkan untuk menganalisis efektivitas dimensi ekologi, sosial-ekonomi, dan kelembagaan yang mempengaruhi ekosistem mangrove. Pada dimensi ekologi terindikasi keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Pulau Bunaken kurang baik, sedangkan pada dimensi sosial ekonomi dan kelembagaan kurang baik. Hal utama yang membuat keberlanjutan pengelolaan pada dimensi ekologi kurang baik adalah kemiringan lereng pulau dan luasan dari ekosistem mangrove. Akibat dari rendahnya efektivitas mangrove sebagai buffer zone membuat pulau ini rentan terhadap aksi laut, yaitu arus dan gelombang. Strategi yang dapat dilakukan meminimalkan kerentanan pulau ini, antara lain penambahan luasan ekosistem mangrove, peningkatan kesadaran dan partisipatif masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove, dan peningkatan infrastruktur pendukung dalam kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove. KATA KUNCI: Efektivitas; pengelolaan; mangrove; Bunaken PENDAHULUAN

Salah satu kawasan konservasi di Indonesia yang memiliki pulau-pulau kecil adalah Taman Nasioal Bunaken. Luas total Taman Nasional Bunaken (TNB) adalah 89.065 ha, TNB terdiri atas dua bagian, yaitu TNB bagian Utara dan TNB bagian selatan. TNB bagian utara meliputi 5 pulau, yaitu Bunaken, Manado Tua, Mantehage, Siladen, dan Nain ditambah sekitar Tanjung Pisok, antara desa Molas hingga ke desa Tiwoho. Sedangkan TNB bagian Selatan meliputi wilayah perairan dari desa Poopoh hingga ke desa Popareng. TNB memiliki banyak kekayaan sumber daya alam, diantaranya ketiga ekosistem penting pesisir, yaitu ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Ekosistem mangrove pulau-pulau kecil (PPK) mempunyai fungsi ekologi dan ekonomi, hal ini dapat dikembangkan sebagai basis dari mitigasi terhadap degradasi lingkungan PPK.

Mangrove adalah tumbuhan yang hidup pada daerah pasang surut yang didominasi

oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang memiliki substrat berlumpur dan dapat tahan terhadap perubahan salinitas yang signifikan. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki muara sungai yang besar dan delta yang aliran airnya mengandung lumpur. Dilihat dari fungsi bagi ekosistem perairan, ekosistem mangrove memberikan tempat untuk memijah dan membesarkan berbagai jenis ikan, crustacea, dan spesies perairan lainnya (Nagelkerken dan Van Der Velde, 2004).

Page 32: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

37 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Komponen dasar rantai makanan di ekosistem mangrove adalah serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya). Serasah mangrove yang jatuh ke perairan akan diurai oleh mikroorganisme menjadi partikel-partikel detritus sebagai sumber makanan bagi biota perairan yang memiliki perilaku makan dengan menyaring air laut. Serasah daun diperkirakan memberikan kontribusi yang penting pada ekosistem mangrove, tingginya produktivitas yang dihasilkan serasah daun yaitu sebanyak 7-8 ton/tahun/ha. (Alongi et al, 2002; Holmer dan Olsen, 2002).

Fauna yang hidup di ekosistem mangrove, terdiri atas berbagai kelompok: burung,

mamalia, mollusca, crustacea, dan ikan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Gopal dan Chauchan (2006), pada daerah mangrove di Sundarbans India terdapat 8 spesies mamalia, 10 spesies reptilia, dan 3 spesies burung yang hidup dan berasosiasi dengan mangrove.

Luas ekosistem mangrove di TNB sangat luas (1528.29 ha) terutama di bagian

selatan, sedangkan pada bagian utara ekosistem mangrove terluas ada di Pulau Mantehage. Luas hutan mangrove pada PPK TNB sebesar 977.63 ha. Luas total hutan mangrove di TNB sekitar 10% dari luas total ekosistem mangrove di Sulawesi Utara. TNB termasuk komunitas mangrove yang tua di Asia Tenggara, karena itu di sana masih ditemukan mangrove yang berukuran besar dengan diameter di atas 1.5 m yang pada tempat lain sudah jarang ditemukan. Luas ekosistem mangrove Pulau Bunaken 71,576 ha, kedua terbesar yang ada di Taman nasional Bunaken sesudah Pulau Mantehage.

Keberadaan ekosistem mangrove Pulau Bunaken sebagai bagian dari kesatuan

ekosistem pulau kecil sangatlah penting untuk dikaji, mengingat dalam ekosistem terdapat konektivitas yang sangat erat. Salah satu indikator dalam keberhasilan pengelolaan adalah status keberlanjutan, hal ini dapat mempermudah pengelola dalam merencanakan strategi untuk mengatasi masalah pada masing-masing dimensi pengelolaan.

Tujuan dari kajian ini adalah untuk menganalisis efektivitas pengelolaan ekosistem

mangrove Pulau Bunaken dari dimensi ekologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan. Manfaat dari peneltian ini adalah sebagai masukan bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan strategi yang tepat dalam pengembangan dan pengelolaan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan.

METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada ekosistem mangrove yang terdapat di pulau-pulau kecil TNB Provinsi Sulawesi Utara. Letak posisi geografis lokasi penelitian adalah antara 1º35’41”-1º32’16” N dan 124º50’50”- 124º49’22,6” E. Ekosistem mangrove dan masyarakat yang ada di TNB adalah objek penelitian ini. Pemilihan objek penelitian dilakukan sesuai dengan kebutuhan data dan metode yang digunakan untuk menganalisisnya.

Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap awal yang ditempuh adalah survey

pendahuluan. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah pengumpulan data sekunder lokasi penelitian dari studi pustaka mengenai TNB dari beberapa sumber yang ada. Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan informasi dari TNB, berupa profil desa dan data kawasan ekosistem mangrove yang ada. Tahap selanjutnya adalah pengambilan data primer di lokasi penelitian. Data primer yang dikumpulkan adalah data vegetasi mangrove beserta kondisi biofisik, kuisioner, dan profil desa masyarakat. Tahap yang terakhir adalah tahap pengolahan data dan penulisan hasil penelitian.

Page 33: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

38 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Pengumpulan data primer dilakukan dengan mempergunakan metode pengamatan

lapangan (observasi) dan metode sampling (stratified, cluster, random, purposive, systematic sampling). Metode observasi merupakan metode yang sangat mendasar dalam melakukan inventarisasi potensi sumber daya di ekosistem mangrove (Kusumastanto, 2002; Kusmana et al., 2005). Data sosial dan ekonomi yang terkait dengan kegiatan penelitian ini akan dikumpulkan di lokasi penelitian dari para responden. Responden akan dipilih secara purposive sampling dan accidental sampling. Pengumpulan data terhadap responden akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan wawancara mendalam (deep interview) dengan menggunakan kuisioner.

Data sosial ekonomi dikumpulkan secara langsung dengan cara wawancara yang

berpedoman pada kuisioner. Sedangkan data jumlah penduduk, mata pencaharian, dan tingkat pendidikan diperoleh dari kantor desa, kantor kecamatan, dan badan pusat statistik daerah.

Responden dipilih sebagai unit penelitian dengan metode penarikan contoh acak

secara sengaja. Responden yang dipilih adalah masyarakat yang sering berasosiasi dengan mangrove dan tinggal di pesisir pulau. Responden yang dipilih adalah responden yang berinteraksi langsung dengan ekosistem mangrove.

Data yang diperoleh dari wawancara adalah: 1. Karakteristik individu masyarakat berupa identitas responden (umur, pendapatan, lama

tinggal, pekerjaan, dan tingkat pendidikan). Tingkat pendidikan formal yang dimaksud adalah SD, SMP, SMA atau lainnya.

2. Pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan yang terutama dilakukan sehari-hari untuk pemenuhan kebutuhan hidup, sedangkan pendapatan, yaitu jumlah penghasilan per bulan yang diperoleh dari berbagai sumber mata pencaharian.

3. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap sumber daya ekosistem mangrove, yaitu mengenai pendapat atau pandangan responden tentang pemanfaatan ekosistem mangrove dan partisipasi dalam mengelola ekosistem mangrove.

Page 34: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

39 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

4. Pemanfaatan yang biasanya dilakukan pada ekosistem mangrove, baik itu berupa potensi biologi seperti pemanfaatan satwa dan fauna di ekosistem mangrove maupun potensi fisik ekosistem mangrove dan nilai ekonominya.

5. Peranan pemerintah dalam pelestarian ekosistem mangrove melalui intensitas frekuensi kegiatan, berupa penyuluhan, pembangunan infrastruktur, penanaman mangrove, dan pengawasan.

6. Partisipasi masyarakat dalam upaya untuk pelestarian sumberdaya pesisir khususnya ekosistem mangrove merupakan bagian dari program pemerintah. Bentuk partisipasi masyarakat ini adalah keikutsertaan masyarakat dalam mengikuti kegiatan mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, dan pelatihan, tahap pelaksanaan, sampai pada tahap evaluasi dan pengawasan, serta tingkat partisipasi masyarakat.

Data sosial dan ekonomi ini akan digunakan dalam beberapa indeks untuk penentuan nilai kerentanan masing-masing pulau pada PPK kawasan konservasi TNB. Beberapa indeks yang akan menggunakan data ini antara lain: indeks pertumbuhan penduduk (ISPP), indeks kepadatan penduduk (ISKP), indeks partisipasi masyarakat (ISPM), indeks pemahaman masyarakat (ISPHM), indeks tingkat pendidikan (ISTP), indeks pendapatan masyarakat (ISPDM), indeks keterpencilan ekonomi (ISKE), indeks dampak TNB (ISDT), dan indeks kepadatan bangunan (ISLT).

Sedangkan untuk indeks dari dimensi kelembagaan meliputi indeks kualitas

perencanan (IKKP), indeks kualitas koordinasi (IKKK), indeks kualitas implementasi (IKKI), indeks kualitas monitoring (IKKM), indeks kualitas evaluasi (IKKE), indeks kepatuhan aturan (IKKA), indeks kesiapan infrastruktur (IKKIN), indeks peran perguruan tinggi (IKPT), dan indeks pendampingan masyarakat (IKPM).

Analisis

Keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove (KPEM) PPK TNB dianalisis menggunakan metode RAPMECS yang menggunakan indeks yang telah dianalisis sebelumnya sebagai atribut dalam pengelolaan. Indeks keberlanjutan ini akan menjelaskan kualitas keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove pulau-pulau kecil untuk memitigasi kerusakan ekosistem dari kegiatan manusia ataupun alamiah dan mengoptimalkan fungsinya. Keberlanjutan pengelolaan ini mempunyai kisaran nilai dari 0-100. Dengan kategori sangat baik jika sangat baik(80<KPEM≤100),baik (60<KPEM≤80), sedang (40<KPEM≤60), buruk (20<KPEM≤40), dan sangat buruk (0<KPEM≤20).

Indeks keberlanjutan ini dianalisis pada masing-masing dimensi setiap pulau. Selanjutnya

untuk status keberlanjutan dianalisis dengan mengalikan bobot tertimbang hasil wawancara terstruktur dan mendalam terhadap stakeholder kunci yang ada pada masing-masing pulau untuk mengetahui prioritas dari dimensi yang dikaji. Status ini akan memperlihatkan status keberlanjutan secara komprehensif pada masing-masing pulau. Indeks-indeks ini akan ditampilkan dalam diagram layang-layang dan grafik yang representatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove pada Pulau Bunaken menunjukkan angka 35.80. Kondisi ini mengindikasikan bahwa keberlanjutan pengelolaan pada dimensi ekologi kurang baik. Beberapa atribut yang mempengaruhi nilai ini adalah kemiringan lereng, tunggang pasut, luasan mangrove dan luasan zona pemanfaatan. Untuk atribut kemiringan lereng dan tunggang pasut adalah atribut yang bersifat positif, sedangkan untuk luasan mangrove dan zona pemanfaatan bersifat negatif, hal ini yang harus diantisipasi oleh pihak pengelola dan masyarakat untuk meningkat indeks keberlanjutan ini. Penanaman mangrove secara terpadu dan berkelanjutan serta optimasi zona pemanfaatan adalah langkah bijak mengantisipasi kerusakan ekosistem pesisir.

Page 35: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

40 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Fungsi biologis hutan mangrove adalah sebagai sumber kesuburan perairan, tempat

perkembangbiakan dan pengasuhan berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung-burung (khususnya burung air), habitat berbagai satwa liar, dan sumber keanekaragaman hayati (Khazali, 2001). Dua gambar selanjutnya akan memperlihatkan indeks keberlanjutan dan atribut yang berperan di dalamnya.

Gambar 2. Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pulau Bunaken Dimensi Ekologi

Page 36: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

41 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Dimensi Sosial Ekonomi

Indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove Pulau Bunaken pada dimensi sosek menunjukkan angka 64.91. Angka ini berada pada posisi yang baik untuk keberlanjutan pengelolaan dimensi sosek. Beberapa atribut yang mempengaruhi indeks ini ke arah positif adalah tingkat pendidikan dan keterpencilan ekonomi yang baik dibandingkan pulau yang lain, sedangkan untuk atribut yang memberikan pengaruh negatif adalah partisipasi masyarakat yang rendah terhadap kegiatan konservasi mangrove dan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Untuk meningkatkan dan mempertahankan indeks maka diperlukan sosialisai dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan, khususnya mangrove dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya keluarga berencana dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada Pulau Bunaken ini.

Gambar 3. Peran Atribut dalam Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pulau Bunaken Dimensi Ekologi

Page 37: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

42 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 5. Peran Atribut dalam Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pulau Bunaken Dimensi Sosek

Gambar 4. Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pulau Bunaken Dimensi Sosek

Page 38: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

43 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Dimensi Kelembagaan

Indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove pulau Bunaken pada dimensi kelembagaan menunjukkan angka yang baik yaitu 66.02. hal ini mengindikasikan keberlanjutan pada dimensi berjalan dengan baik. Akan tetapi beberapa atribut penting yang mendorong indeks ini ke arah negatif seperti kesiapan infrastruktur dan kepatuhan terhadap aturan perlu ditingkatkan agar nilai ini lebih meningkat. Untuk kualitas evaluasi dan peran perguruan tinggi yang pada kondisi sekarang ini sudah baik supaya lebih ditingkatkan lagi dalam pengelolaannya. Berdasarkan analisis yang ditampilkan dua gambar selanjutnya posisi titik keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove pulau ini masih memiliki peluang besar untuk ditingkatkan untuk meminimalisasi kerusakan ekosistem serta meningkatkan taraf hidup masyarakat di pulau ini.

Gambar 6. Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pulau Bunaken Dimensi Kelembagaan

Gambar 7. Peran Atribut dalam Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pulau Bunaken Dimensi Kelembagaan

Page 39: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

44 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Status Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pulau Bunaken

Status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove setelah dianalisis dengan menjumlahkan semua hasil perkalian antara indeks dan bobot tertimbang dari masing-masing dimensi mendapatkan hasil bahwa keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove Pulau Bunaken dalam keadaan baik dengan nilai 52.49 (Gambar 8). Akan tetapi, dengan melihat angka berarti perlu banyak perhatian untuk mempertahankan bahkan meningkatkannya mengingat angka ini hanya kelebihan dua angka sebelum masuk ke dalam nilai keberlanjutan yang buruk. Peningkatan kapasitas masyarakat sebagai pengguna sumber daya serta koordinasi pengelolaan akan mampu meningkatkan kualitas pengelolaan ekosistem mangove yang ada di Pulau Bunaken ini. Atribut penting yang mempunyai pengaruh negatif sangat penting untuk diminimalkan mengingat aspek ini yang paling berpengaruh dalam menentukan kualitas keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove pulau Bunaken.

Tujuan pengelolaan ekosistem mangrove menurut Kenneth (1979), adalah mencapai manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan secara serbaguna dan lestari. Pada dasarnya, pengelolaan hutan mangrove merupakan penerapan cara-cara pengurusan dan pengusahaan hutan serta teknik kehutanan ke dalam usaha pemanfaatan sumber daya alam hutan tersebut.

Pengelolaan hutan mangrove harus memperhatikan keterkaitan dengan ekosistem di

sekitarnya sehingga tidak boleh berorientasi sempit (Barkey, 1990), karena apabila terjadi kelebihan eksploitasi terhadap sumber daya mangrove maka hal ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam ekosistem tersebut. Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan diharapkan dapat mempertahankan produktivitas ekosistem mangrove dan kawasan sekitarnya, agar kelestarian ekosistem mangrove dapat diperoleh.

Peningkatan eksploitasi pada ekosistem mangrove dapat dilihat pada kasus yang

terjadi di Kecamatan Muncar di kawasan Teluk Pangpang Banyuwangi. Ekosistem mangrove pada daerah ini diorientasikan pada peningkatan pembangunan ekonomi. Hal ini dilihat dari penebangan yang tidak terkendali selama beberapa tahun terakhir (Nazili, 2004).

Menurut Aksornkoae (1993), zonasi mangrove merupakan salah satu langkah pertama

untuk pengawasan dan pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Menurut persetujuan internasional terhadap zonasi mangrove terdapat tiga zona utama: zona pemeliharaan, zona perlindungan, dan zona pengembangan.

Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk di dalamnya pemulihan dan

penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi lebih stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Pelestarian hutan mangrove merupakan usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif dari segenap pihak yang berada di sekitar kawasan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumber daya mangrove diberikan porsi yang lebih besar (Khazali, 2002).

Partisipasi masyarakat dalam mengelola sumber daya wilayah pesisir yang

berbasiskan masyarakat adalah program pengelolaan yang dirasakan mampu memotivasi masyarakat untuk turut melestarikan dan melindungi ekosistem mangrove. Partisipasi masyarakat dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok partisipasi sukarela (voluntary participation), partisipasi dengan dorongan (induced participation), dan partisipasi dengan tekanan (forced participation) (In Young Wang 1981).

Page 40: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

45 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Strategi pelibatan masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove adalah dengan

menerapkan sistem intensif yang diharapkan dapat merangsang dan memacu usaha-usaha kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove. Sistem intensif tersebut diantaranya dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan peran serta masyarakat (Bengen, 2002). Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir berbasis masyarakat (PSWP-BM) bertujuan untuk melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya.

PSWP-BM dimulai dari suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki kapasitas

dalam memperbaiki kualitas hidup mereka sendiri dan mampu mengelola sumber daya mereka dengan baik. Yang dibutuhkan tinggal dukungan untuk mengatur dan mendidik masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara berkelanjutan bagi tercapainya kebutuhan-kebutuhan mereka. Keuntungan utama dari PSWP-BM adalah keadilan dan efektivitas kesinambungannya (sustainability).

KESIMPULAN

Efektivitas pengelolaan ekosistem mangrove Pulau Bunaken masuk dalam kategori baik dengan tetap memperhatikan parameter-parameter yang menjadi kunci keberhasilan pengelolaan ekosistem mangrove. Nilai yang ditunjukkan analisis ini tidak menempatkan posisi status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove Pulau Bunaken dalam posisi yang aman sehingga sangat diperlukan monitoring dan evaluasi secara berkala untuk memantau situasi existing dari ekosistem mangrove.

Gambar 8. Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pulau Mantehage

Page 41: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

46 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

DAFTAR PUSTAKA Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. Bangkok: The IUCN Wetlands

Programme. Alongi DM, Trott LA, Wattayakorn G, Clough F. 2002. Below-Ground Nitrogen Cycling In

Relation to Net Canopy Production in Mangrove Forests Of Southern Thailand. Marine Biology 140. 855–864 pp.

Barkey R. 1990. Mangrove Sulawesi Selatan (Struktur, Fungsi, Dan Laju Degradasi). [Prosiding Seminar]. Sulawesi Selatan: Keterpaduan Antara Konservasi dan tata Guna Lahan Basah di Sulawesi Selatan. LIPI-Pemda.

Bengen DG. 2002. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.

Gopal B, Chauchan M. 2006. Biodiversity and its conservation in the Sundarban Mangrove Ecosystem. Aquatic Sciences 68. 338-354 pp.

Holmer M, Olsen AB. 2002. Role of Decomposition of Mangrove and Seagrass Detritus in Sediment Carbon and Nitrogen Cycling in A Tropical Mangrove Forest. Mar. Ecol. Prog. Ser. 230. 87–101 pp.

In Young Wang. 1981. Managemant of Rural Change in Korea. Seoul: University Press. Kenneth FD. 1979. Forest Management Regulation and Valuation. Mc. New York: Graw Hill

Book Co.Ltd. Khazali M. 2001. Potensi, Peran, dan Pengelolaan Mangrove. Di dalam : Seminar dan

Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Pulau Nusa kambangan Sebagai Sisa-sisa Hutan Hujan Dataran Rendah Berupa Ekosistem Kepulauan di Era Otonomi Daerah. Yogyakarta: 28-29 Mei 2001. Yogyakarta : WALHI.1-13 pp.

Kusmana C, Sri W, Iwan H, Prijanto P, Cahyo W, Tatang T, Adi T, Yunasfi, Hamzah. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Kusumastanto T. 2002. Reposisi Ocean Policy Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Disampaikan. Bogor: Di dalam Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan FPIK IPB.

Nazili M. 2004. Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Partisipasi Masyarakat di Kawasan Teluk Pangpang-Banyuwangi. Tesis. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Nagelkerken I, Van Der Velde G. 2004. Are Caribbean Mangroves Important Feeding Grounds For Juvenile Reef Fish From Adjacent Seagrass Beds. Mar. Ecol. Prog. Ser. 274. 143–151 pp.

Page 42: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

47 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

STRATEGI PENGELOLAAN EKOWISATA PESISIR DI TAMAN NASIONAL BALURAN

DENGAN METODE MULTIDIMENSIONAL SCALLING (MDS)

Nike I. Nuzulaa*, Daniel M. Rosyida, Haryo D. Armonoa

aInstitut Teknologi Sepuluh Nopember

*email: [email protected]

ABSTRAK Sumber daya pesisir Taman Nasional Baluran (TNB) telah digunakan untuk aktivitas laut dan ekowisata pesisir. Adanya peningkatan jumlah wisatawan telah menyebabkan peningkatan aktivitas pariwisata dan aktivitas yang terkait. Kondisi ini akan mempengaruhi habitat pesisir dan kualitas air. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi manajemen yang efektif didasarkan pada dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan pada ekowisata pesisir di TNB. Analisis data menggunakan metode multidimensional scaling (MDS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks keefektifan pengelolaan ekowisata pesisir di TNB saat ini berada pada kategori cukup efektif (65,69%). Secara parsial, dimensi ekologi (84,15%) berada pada kategori efektif, sedangkan dimensi sosial (63,10%), dimensi ekonomi (56,46%) dan dimensi kelembagaan (59,06%) berada pada kategori cukup efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa diperlukan strategi pengelolaan ekowisata pesisir yang menerapkan kebijakan terpadu antara program konservasi sumber daya ekowisata pesisir, optimasi kegiatan ekowisata pesisir yang berbasis mangrove, terumbu karang dan budaya, peningkatan kenyamanan antara wisatawan dengan masyarakat lokal, dan peningkatan penyediaan infrastruktur penunjang ekowisata pesisir di TNB. KATA KUNCI: Strategi ekowisata, taman nasional baluran, multidimensional scaling ABSTRACT Coastal resources Baluran National Park (TNB) has been used for coastal marine and ecotourism activities. The increasing number of tourists has led to an increase in tourism activity and related activities. This condition will affect coastal habitat and air quality. This research is intended to embrace the effective management of the ecological, economic, social and institutional dimensions of coastal ecotourism in Baluran National Park. Data analysis using multidimensional scaling method (MDS). The results showed that the effectiveness index of ecotourism management in Baluran National Park is currently in the category quite effective (65.69%). Partially, the ecological dimension (84.15%) is in the effective category, while the social dimension (63.10%), economic dimension (56.46%) and institutional dimension (59.06%), are quite effective. The analysis results show that coastal ecotourism management strategy that implements integrated policy between conservation programs of coastal ecotourism resources, optimization of coastal ecotourism activities based on mangrove, coral reef and culture, increasing comfort among tourists with local communities, and increasing provision of coastal ecotourism support infrastructure in the Baluran National Park. KEYWORDS: Ecotourism strategy, baluran national park, multidimensional scalling PENDAHULUAN

Pengelolaan sumber daya pesisir yang terpadu dan berkelanjutan merupakan proses yang iteratif dan evolusioner untuk mewujudkan pengelolaan ekowisata pesisir yang optimal dan berkelanjutan. Tujuan pengelolaan ekowisata pesisir terpadu tidak hanya untuk

Nuzula, N. I., Rosyid, D. M. & Armono, H. D., 2017. Strategi Pengelolaan Ekowisata Pesisir di

Taman Nasional Baluran Dengan Metode Mutimensional Scalling (MDS). Coastal and Ocean

Journal, Volume 1 (2) Desember 2017 : 83-90

SALINAN MAKALAH

Page 43: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

48 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek namun juga untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati secara merata dan proporsional oleh semua pemangku kepentingan yang terlibat. Ini juga menjaga daya dukung dan kualitas lingkungan pesisir yang mengarah pada pengembangan yang langgeng (White, 2005; Bengen, 2001; Cordah, 2001; Dahuri, 2003 dan 2008; dan Darajati).

Ada empat aspek yang terkait dengan integrasi dalam perencanaan dan pengelolaan

ekowisata pesisir, yaitu: (a) Integrasi ekologis, (b) Integrasi sektoral, (c) Integrasi disiplin pengetahuan, dan (d) Integritas kelembagaan (Cordah, 2001; Dahuri, 2008; Kay, 1999; dan Munasighe, 1992). TNB merupakan salah satu taman nasional yang diidentifikasi sebagai area yang kaya akan potensi hayati dan non-hayati di Jawa bagian timur. Muryono, dalam publikasinya menyebutkan bahwa luas TNB sebesar 25.000 ha, yang terdiri dari 23.937 ha wilayah daratan dan 1.063 ha wilayah perairan dengan garis pantai sepanjang 42 km (Muryono, 2011).

TNB memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi, bentang alam kawasannya

mencakup wilayah perairan, pantai, darat, sampai gunung dengan variasi ketinggian 0-1247 m dpl (Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2014). Survey inventarisasi dan identifikasi Opisthobrancia dan Echinodermata dilakukan pada tahun 2010-2012 di Pantai Bama dan Kalitopo diperoleh 32 jenis Opisthobrancia dan untuk jenis Echinodermata ditemukan sejumlah 8 spesies (Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2014). Perairan TNB tercatat setidaknya 335 jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang. Dari total 46 famili yang sudah teridentifikasi, Pomacentridae menyumbang jenis terbesar yaitu 48, Gobiidae 44 jenis, dan Labridae sebanyak 38 jenis.

Pariwisata di TNB sangat berpotensi, sehingga TNB sangat peka terhadap degradasi

lingkungan. Oleh karena itu, perencanaan dan pengelolaan ekowisata pesisir sangat penting sebagai upaya untuk menciptakan pembangunan ekowisata pesisir berkelanjutan. Pengelolaan ekowisata pesisir dapat dikategorikan berkelanjutan bila tiga kriteria terpenuhi diantaranya adalah ekologi, ekonomi, dan sosial (Cordah, 2011; Dahuri, 2008; Kay, 1999; Munasinghe, 1992; dan Gallanger, 2010). Konsep pengelolaan berkelanjutan tidak hanya menekankan aspek ekonomi, tapi juga sosial dan ekologis (Dahuri, 2003 dan 2008; Khanna dan Dan, 1999) [4,5,13].

Analisis multidimensi merupakan analisis data yang menggambarkan karakter-karakter

kuantitatif suatu/sekumpulan individu yang disusun berdasarkan suatu orde dan tidak dapat dilakukan operasi aljabar sehingga cenderung lebih dekat pada statistik deskriptif daripada statistik inferensial (Laapo, 2010).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di kawasan TNB. Letak TNB disajikan pada Gambar 1. TNB secara administratif terletak di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Dalam kontak administrasi pemerintahan provinsi, TNB berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi. TNB terletak di titik koordinat 7o50’10.3” LS dan 114o24’19.4” BT.

Page 44: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

49 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Metode yang digunakan dalam melakukan analisis pengelolaan pesisir lestari di Ambon adalah multidimensional scaling (MDS) dengan pendekatan Rap-TNB (Rapid Taman Nasional Baluran), dimana MDS adalah teknik analisis transformasi multidimensi (Kavana, 2001). Hasilnya dinyatakan dalam indeks pengelolaan kelestarian kawasan pesisir kota Ambon. MDS juga merupakan analisis statistik untuk memahami kesamaan dan ketidaksamaan dari variabel yang dijelaskan dalam ruang geometri (Kruskal dan Wish, 1977). Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Obyek yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah terumbu karang, hutan mangrove, pantai, kualitas perairan, wisatawan, masyarakat lokal, pengusaha wisata, infrastruktur penunjang, dan pemerintah TNB.

Hasil yang diperoleh dalam Rap-TNB excel merupakan besaran tingkat pencapaian

saat pelaksanaan kegiatan wisata pesisir berbasis konservasi di kawasan TNB. Indeks yang dihasilkan dari analisis ini dapat juga diinterpretasikan sebagai tingkat keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir, yang dicapai sesuai dengan perencanaan dan tujuan awal suatu kegiatan/program, serta selalu mengalami perkembangan (Hershman, Good, Bernd-Cohen, Goodwin, Lee, dan Pogue, 1999).

Prosedur analisis dengan metode Rap-TNB excel sama dengan metode EFANSIEC

(Laapo, 2010). Tahapan pertama adalah melakukan pratinjau atribut berdasarkan empat dimensi. Selanjutnya, dibandingkan dengan kondisi ideal guna mengetahui tinggi efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir. Tahap kedua adalah pemberian skor atau pemberian peringkat dilakukan pada atribut yang teridentifikasi berdasarkan tujuan pengelolaan potensi kawasan konservasi pesisir. Mengacu pada pendekatan yang digunakan oleh Good et al. (1999), maka jumlah peringkat yang diberikan secara konsisten pada setiap atribut yang dievaluasi sebanyak 3 (tiga), yaitu buruk diberi skor 0 (nol), antara diberi skor 1 (satu), dan baik diberi skor 2 (dua). Tahap akhir ordinasi adalah pembuatan skala indeks keefektifan pengelolaan ekowisata pesisir (IEPEP) yang mempunyai selang 0%-100%. Kategori status efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir dapat juga dibuat menjadi empat kategori (Susilo, 2003), diantaranya yaitu:

IEPEP 0%-25% (kategori belum efektif/berkelanjutan)

EPEP 26%-50% (kategori kurang efektif/berkelanjutan)

IEPEP 51%-75% (kategori cukup efektif/berkelanjutan)

IEPEP 76%-100% (kategori efektif/berkelanjutan)

Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di kawasan TNB. Peran masing-masing atribut terhadap IEPEP dianalisis dengan “attribute

Page 45: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

50 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

leveraging”, sehingga terlihat perubahan ordinasi apabila atribut tertentu dihilangkan dari analisis. Peran setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan root mean square (RMS). Ordinasi khususnya pada sumbu-x. Atribut-atribut yang memiliki tingkat kepentingan (sensitivitas) tinggi dari hasil analisis efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN Realitas Skor Masing-Masing Atribut Setiap Dimensi

Penentuan parameter dari masing-masing atribut pada setiap dimensi mengacu pada kriteria umum yang diperoleh dari beberapa penelitian empiris dengan penentuan skor dan kategori dimodifikasi dan mengacu pada kriteria umum yang dibuat oleh Good et al. (1999) (evaluasi efektivitas pengelolaan sumber daya pesisir Amerika Serikat) dan Laapo (2010). Pemberian skor per atribut dan dimensi disesuaikan dengan kondisi riil saat ini pada pengelolaan wisata pesisir di TNB.

Pada dimensi ekologi, skor atribut diperoleh dari hasil analisis kesesuaian dan daya

dukung untuk empat kategori kegiatan wisata pesisir. Pada atribut tingkat pemanfaatan sumber daya pesisir untuk wisata pesisir masih berada di bawah daya dukung yang didapatkan. Pada dimensi sosial, rasio wisatawan dengan masyarakat lokal masih belum melebihi daya dukung sosial, sehingga respons masyarakat dengan adanya wisatawan masih baik dan belum merasa terganggu tatanan kehidupan, perilaku, dan pola kehidupan masyarakat lokal.

Pada dimensi ekonomi, kunjungan optimal dan harga produk wisatawan saat ini masih

rendah dibandingkan harga optimum. Wisatawan menilai bahwa obyek wisata di TNB masih sangat baik sehingga secara ekonomi memiliki harga sumber daya yang tinggi. Pada dimensi kelembagaan, realitas dari pelaksanaan aturan-aturan dan kebijakan dari Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) masih belum optimal. Efektivitas pengelolaan biaya konservasi belum transparan sehingga dampak keberadaan kebijakan tersebut belum nyata terhadap kelestarian terumbu karang. Intensitas pelanggaran hukum dalam pemanfaatan sumber daya perairan pada dasarnya masih kurang. Peran Pemerintah juga menunjukkan masih sangat rendah dalam penyediaan fasilitas, telekomunikasi, dan promosi wisata.

Indeks dan Status Efektivitas Pengelolaan Ekowisata Pesisir di TNB

Indeks pengelolaan ekowisata pesisir menunjukkan seberapa besar persentase pencapaian pengelolaan ekowisata pesisir di TNB pada saat ini. Dan status efektivitas pengelolaan menunjukkan apakah pengelolaan ekowisata pesisir saat ini sudah cukup efektif atau belum efektif. Hasil analisis metode Rap-TNB digambarkan menggunakan diagram layang-layang yang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Layang Skor Indeks Efektivitas Pengelolaan TNB

Page 46: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

51 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pada dimensi ekologi, dari Rap-TNB menghasilkan indeks efektivitas sebesar 84,15% yang menunjukkan bahwa pengelolaan ekowisata pesisir di TNB saat ini dikategorikan sangat efektif sehingga diharapkan keberlanjutan obyek ekowisata pesisir harus tetap terjaga. Indeks yang didapatkan menunjukkan bahwa kegiatan ekowisata pesisir kategori wisata selam, snorkeling, wisata mangrove, wisata pantai saat ini umumnya telah berada pada kondisi yang sesuai, dan semua kategori kegiatan wisata pesisir masih belum melebihi daya dukungnya.

Pada dimensi sosial, status efektivitas ekowisata pesisir di TNB pada saat ini

tergolong pada kategori cukup efektif dengan indeks efektivitas menunjukkan skor 63,10% (di atas 51%). Pada dimensi sosial ini, status keefektifan pengelolaan ekowisata pesisir masih perlu ditingkatkan lagi dengan pengoptimalan pada masing-masing atribut. Keberadaan wisatawan bagi masyarakat masih belum memberikan dampak yang nyata baik pada kualitas hidup maupun perilaku masyarakat lokal, dan pengetahuan masyarakat lokal tentang ekowisata masih rendah sehingga dapat menyebabkan potensi sosial budaya yang belum optimal untuk menjadi atraksi ekowisata di daerah ini.

Pada dimensi ekonomi, status efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di TNB saat

ini tergolong pada kategori cukup efektif dengan indeks efektivitas sebesar 56,46%. Skor pada masing-masing atribut dalam dimensi ekonomi memiliki nilai yang merata dan cenderung ke arah nilai satu (kategori sedang). Hal ini menunjukkan bahwa tujuan yang diharapkan dari keberadaan kegiatan usaha wisata pesisir masih belum memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat lokal. Pada kondisi saat ini, upah dan pendapatan yang diterima dari usaha turunan kegiatan wisata cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Penyerapan tenaga kerja cenderung konstan, dan harga produk wisata relatif rendah

sehingga multiplier effect ekowisata pesisir tidak signifikan pada masyarakat lokal. Dampak yang didapatkan dari kegiatan ekowisata pesisir saat ini hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat yang terkait dengan kegiatan wisata, seperti sebagian kecil nelayan, homestay dengan tingkat hunian yang terbatas, dan sebagian kecil pedagang makanan/minuman.

Pada dimensi kelembagaan, status efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di TNB

saat ini didapatkan skor indeks efektivitasnya sebesar 59,06%. Berdasarkan indeks efektivitas, persentase keefektifan pengelolaan tersebut dikategorikan cukup efektif. Status keefektifan dalam dimensi ini menunjukkan atribut kinerjanya masih belum sesuai dengan tujuan awal, sehingga pencapaian tujuan bagi atribut masih berada pada posisi baik dan buruk (sedang, dengan skor 1). Hal ini menunjukkan bahwa aturan-aturan sudah dibentuk, namun pelaksanaannya masih belum optimal, dan infrastruktur yang menunjang kegiatan ekowisata pesisir di TNB masih kurang. Nilai Sensitivitas (Leverage) Setiap Atribut Pada Dimensi Pengelolaan Ekowisata Pesisir di TNB

Analisis sensitivitas (Leverage) pada masing-masing atribut digunakan untuk mengetahui peranan dari masing-masing atribut dalam pembentukan nilai efektivitas. Nilai analisis leverage dinyatakan dalam bentuk persen (%) perubahan root mean square (RMS) dari masing-masing atribut jika dihilangkan dalam ordinasi. Atribut-atribut dengan persentase tertinggi merupakan atribut yang paling sensitif berpengaruh terhadap keberlanjutan atau semakin besar perubahan root mean square (RMS), maka semakin sensitif peranan atribut tersebut terhadap peningkatan status keberlanjutan. Hasil analisis sensitivitas pada setiap dimensi pada pengelolaan ekowisata pesisir di TNB disajikan pada Tabel 1.

Page 47: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

52 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Tabel 1 Analisis Sensitivitas dan Harga RMS Terhadap Atribut Pada Setiap Dimensi

N

Atribut per Dimensi Pengelolaan dan Indeks Efektivitas Pengelolaan Ekowisata Pesisir

Data Skor

RMS

Ekologi

1 Kesesuaian ekowisata pesisir kategori wisata selam 2 8,37

2 Kesesuaian ekowisata pesisir kategori wisata snorkeling 2 8,61

3 Kesesuaian ekowisata pesisir kategori wisata mangrove 2 9,15

4 Kesesuaian ekowisata pesisir kategori wisata pantai 2 8,91

5 Daya dukung kategori wisata selam 2 8,00

6 Daya dukung kategori wisata snorkeling 2 7,82

7 Daya dukung kategori wisata mangrove 2 9,17

8 Daya dukung kategori wisata pantai 2 8,40

9 Tingkat pemanfaatan lahan untuk fasilitas wisata pesisir 2 8,87

1 Daya dukung kualitas perairan 1 8,99

Sosial

1 Kenyamanan masyarakat lokal dan turis 2 9,78

2 Sikap dan perilaku masyarakat lokal terhadap keberadaan wisatawan

1 7,08

3 Pengetahuan masyarakat lokal tentang ekowisata 0 4,24

4 Frekuensi konflik dengan pemanfaatan lain 1 7,47

5 Perubahan kualitas hidup masyarkaat lokal 1 6,58

Ekonomi

1 Jumlah optimum kunjungan wisatawan 2 7,53

2 Optimum harga produk wisata 1 6,24

3 Diversifikasi/optimasi ekowisata pesisir 0 4,17

4 Jumlah kunjungan terhadap ketersediaan kamar 1 7,10

5 Upah tenaga kerja lokal terhadap UMP 1 6,28

6 Trend penyerapan tenaga kerja 1 5,39

7 Pendapatan usaha turunan terhadap UMP 1 7,05

Kelembagaan

1 Keberadaan dan efektivitas regulasi fee konservasi 1 6,30

2 Zonasi dan aturan lain pemanfaatan kawasan TNB 1 8,66

3 Penegakan hukum oleh aparat bagi pelanggaran 1 6,79

4 Penyediaan infrastruktur penunjang 1 6,36

Berdasarkan hasil analisis dengan Rap-TNB dapat diketahui bahwa setiap atribut

cukup akurat yang terlihat dari skor S-Strees yang berkisar antara 0,00124-0,12334 dan skor determinasi (R2) antara 0,91106-0,99995. Skor tersebut sangat memadai. Menurut Simamora (Raharjo, 2010) yang menyatakan S-Stress kurang dari 0,25, sempurna, dan menurut Kavanagh dan Pitcher (Azhari, 2006) skor R2 mendekati 1 cukup akurat serta bisa dipertanggungjawabkan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa model dari empat dimensi pada pengelolaan ekowisata pesisir di TNB sudah menggunakan peubah-peubah yang baik. Skor S-Strees dan R2 selengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Statistik yang Berkaitan dengan Hasil Rap-TNB

Parameter Dimensi Pengelolaan Ekowisata Pesisir

Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan

S-Stress 0,12334 0,03484 0,00124 0,00288

Page 48: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

53 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Parameter Dimensi Pengelolaan Ekowisata Pesisir

Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan

R2 (%) 0,91106 0,99436 0,9999 0,99995

Iterasi 8 6 2 3

Sumber: Data Primer yang Diolah, 2016

KESIMPULAN

Pengelolaan ekowisata pesisir di TNB berdasarkan kondisi existing (saat ini) berada dalam kategori cukup efektif (65,69%). Secara parsial, dimensi ekologi efektif (84,15%), dimensi sosial cukup efektif (63,10%), dimensi ekonomi cukup efektif (56,46%), dan dimensi kelembagaan cukup efektif (59,06%). Hasil analisis menunjukkan bahwa diperlukan strategi pengelolaan ekowisata pesisir yang menerapkan kebijakan terpadu antara program konservasi sumber daya ekowisata pesisir, optimasi kegiatan ekowisata pesisir yang berbasis mangrove, terumbu karang dan budaya, peningkatan kenyamanan antara wisatawan dengan masyarakat lokal, dan peningkatan penyediaan infrastruktur penunjang ekowisata pesisir di TNB.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pihak TNB yang telah memberi dukungan, informasi, dan waktunya untuk berdiskusi terhadap penelitian ini. Sehingga, dapat menghasilkan sebuah kebijakan yang bisa diterapkan pada TNB.

DAFTAR PUSTAKA Azhari Z., Anshari. 2006. Dapatkah Pengelolaan kolaboratif Menyelamatkan Taman

Nasional Danau Sentarum. Dosen Universitas Tanjungpura dan Ketua Yayasan Konservasi Borneo.

Bengen D.G., 2001. Integrated Coastal Area Management Training. Bogor Pkspl-Ipb and Coastal Resources Management Project Coastal Resorces Center. University of Rhode Island.

Cordah Ltd., 2001. Indicators To Monitor The Progress of Integrated Coastal Zone Management: A Review Of Worldwide Practice. Edinburgh, Scotland: Scottish Executive Central Research Unit.

Dahuri R. 2003. Marine biodiversity: sustainable development asset Indonesia. Jakarta Gramedia Pustaka Utama.

Dahuri R. 2008. Integrated Marine and Coastal Area Management. PT. Pradya, Third Print Paramita Jakarta.

Darajati W. 200. Integrated and Sustainable Marine and Coastal Area Management Strategy,Marine and Fishery Director, National Planning Agency, National Socialization Material MFCDP.

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2014. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur Peiode 2014-2023.

Gallager A. 2010. The Coastal Sustainability Standard: A Management of System Approach to ICZM.

Good J.W., Weber, J.W., Charland, J.W. 1999. Protecting Estuaries and Coastal Wetlands Through State Coastal Zone Management Programs. Coastal Management 27.139–186 pp.

Hershman M.J., Good J.W., Bernd-Cohen T., Goodwin R.F., Lee V., Pogue P. 1999. The Effectiveness of Coastal Zone Management in The United States. Journal Coastal Management 27. 113-138 pp.

Page 49: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

54 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Kay R., Alder, J. 1999 Coastal Planning and Management, E and FN Spon, An Imprint of Routledge, London.

Khanna P., Babu P.R., Dan George M.S. 1999. Carrying Capacity as A Basis For Sustainable Development : A Case Study of National Capital Region in India. Progess in Planning 52. 101-163 pp.

Kavana P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries Project. Rapfish Software Description (for Microsoft excel). Vancouver: University of British Columbia.

Kruskal J.B, dan Wish M. 1977. Multidimensional Scaling. Sage Publications. Beverly Hills.Laapo, Alimudin. 2010. Optimasi Pengelolaan Ekowisata Pulau-Pulau Kecil (Kasus Gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean). Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Munasinghe M. 1992. Environmental Economic and Sustainable Development. The International Bank for Reconstruction and Development. Washington D.C. 20433, U.S.A.

Muryono Mukhammad. 2011. Analisis Tata Ruang (Zonasi) Pengembangan Ekowisata di Kawasan Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Berk Penel Hayati Volume 17. 115-117 pp.

Munasinghe M. 1992. Environmental Economic And Sustainable Development. The International Bank For Reconstruction And Development. Washington D.C. 20433, USA.

Susilo S.B. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari Kepulauan Seribu. Bogor: Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Raharja Jaja, Sam’un. 2010. Pengelolaan Kolaboratif dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjajaran, Bandung.

White A.T. Green RLEOSJ. 2005. Integrated Coastal Management and Marine Protected Areas: Complementarity in The Philippines. J Ocean Coast Manag 48. 948-971pp.

Page 50: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

55 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN: DAMPAK SOSIAL JANGKA PENDEK DI BENTANG LAUT KEPALA BURUNG PAPUA

Fitryanti Pakidinga*, Louise E. Glewb, Michael Masciac

a Universitas Papua b WWF-US

c Conservation International

*email: [email protected]

ABSTRAK Kawasan konservasi perairan (KKP) adalah komponen integral dari strategi lokal, nasional, dan internasional untuk konservasi keanekaragaman hayati, akan tetapi dampak strategi ini terhadap kesejahteraan manusia masih dipertanyakan. Pendukung konsep ini menyatakan bahwa KKP adalah strategi menang-menang untuk koservasi dan pengentasan kemiskinan, sementara penentang konsep ini berargumen bahwa KKP lebih mementingkan konservasi sumber daya alam laut dibandingkan kesejahteraan komunitas nelayan miskin. Untuk menyumbangkan pemikiran terhadap debat kedua kelompok ini, kami memonitor dampak sosial dari enam KKP di wilayah Bentang Laut Kepala Burung (BLKB). Kami menggunakan desain quasi-eksperimental, di mana kami menguji dampak sosial KKP dalam lima indikator sosial: kesejahteraan ekonomi, kesehatan, pemberdayaan politik, pendidikan, dan budaya. Data awal mengenai dampak dari enam KKP dan wilayah kontrolnya memberikan pandangan pada dampak jangka pendek penetapan KKP terhadap kesejahteraan rumah tangga. Kami juga mendapati bahwa dampak sosial dari KKP sangat beragam dengan tingkat dan arah pengaruh dampak beragam diantara kelompok sosial, kategori sosial, dan diantara KKP. Selain memberikan informasi mengenai dampak KKP pada manajemen pengelolaan tingkat lokal, dampak sosial penetapan KKP di BLKB menekankan pada perlunya pendekatan yang lebih beragam dalam mengevaluasi dampak sosial dari intervensi konservasi sebagai dasar untuk menganalisis hubungan antara daerah perlindungan alam dengan kesejahteraan masyarakat. KATA KUNCI: Kawasan konservasi perairan, dampak sosial, bentang laut kepala burung papua

Page 51: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

56 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

EFEKTIVITAS SUB ZONA PERLINDUNGAN SETASEA DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TNP LAUT SAWU, NTT

Mujiyantoa*, Riswantoa dan Adriani Sri Nastitia

aBalai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan

Jl. Cilalawi No. 1 Jatiluhur Purwakarta Jawa Barat

*email: [email protected]

ABSTRAK Mandat penting yang tertuang dalam Keputusan Menteri Nomor 6/KEPMEN-KP/2014 dengan salah satu butir kegiatan yang direncanakan tahap pertama tahun 2014-2019 adalah peninjauan sekurang-kurangnya 5 tahun sekali bagi pengelolaan TNP Laut Sawu. Peninjauan dan evaluasi zonasi harus memerhatikan wilayah perlindungan habitat dan jalur migrasi setasea. Di samping itu, keberlanjutan sumber daya perikanan tetap terjaga, karena sebagian besar masyarakat di sekitar wilayah Laut Sawu bergantung terhadap sumber daya perikanan yang ada. Penelitian bertujuan menganalisis efektivitas sub zona perlindungan setasea di TNP Laut Sawu. Lokasi penelitian meliputi perairan di dalam dan luar TNP Laut Sawu. Penelitian dilakukan di tahun 2015 dan 2016, pengumpulan data menggunakan transek zig-zag dengan metode pengamatan satu kelompok pengamat. Hasil yang ditemukan adalah pada sub zona perlindungan setasea di perairan sekitar Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Daratan Timor perlu ditinjau ulang jika mengacu pada luasan zonasi saat ini. Luasan sub zona untuk melindungi keberlanjutan setasea disesuaikan dengan penambahan dan perubahan dari zona perikanan yang ada, luasan di Sumba Barat Daya, Sumba Barat, dan Sumba Tengah ±445.567,44 ha dan Daratan Timor ±239.307,52 ha. Diperlukan peninjauan ulang luasan pada sub zona perlindungan yang ada saat ini. Peninjauan ulang luasan dimaksudkan untuk keefektifitasan wilayah perairan guna menghindari terjadinya konflik kepentingan antara kebutuhan nelayan akan hasil tangkapan dengan keberlanjutan setasea. KATA KUNCI: Zonasi, setasea, lumba-lumba, paus, laut sawu ABSTRACT An important mandate in KEPMEN No.6/KEPMEN-KP/2014 mentioned first phase plan of 2014-2019, one of which mentioned the management plan and zonation in Savu Sea National Marine Park can be the review in 5 years for the conservation area of Savu Sea National Marine Park. The zonation review and evaluation took into account habitat protection areas and categorised migration routes. In addition, the sustainability of fishery resources is maintained, as people in Savu Sea depend on fishery resources. The objectives of this research are to analyse the effectiveness of sub-zone cetacean protection for Savu Sea National Marien Park. The research stations were watering inside and outside in Savu Sea National Marine Park. The sampling of the research was conducted on 2015 and 2016, collecting data using a zig-zag line transect by observation method of collecting data sighting cetacean with single observer platform. The results of sub-zone cetacean protection against Southwest Sumba waters, West Sumba, and East Timor Land need to be reviewed if referring the current zoning area. Sub-zone for areas to protect sustainability cetacean need to be adjusted addition and alteration of fishery zone, the area of Southwest Sumba, West Sumba, and Central Sumba is ± 445,567.44 ha and ± 239,307.52 ha to around East Timor Land waters. Extensive re-evaluation of existing protection sub-zones is requiring. A review

SALINAN MAKALAH Mujiyanto, Riswanto & Nastiti, A. S., 2017. Efektivitas Sub Zona Perlindungan Setasea di Kawasan

Konservasi Perairan TNP Laut Sawu, NTT. Coastal and Ocean Journal, Volume 1 (2) Desember

2017: 1-12

Page 52: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

57 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

of extent to efectiveness water areas attend the conflict of interest in needs of fisherman to catch and migration route of cetacean. KEYWORD: Zone, cetacean, dolphin, whale, savu sea PENDAHULUAN

Laut Sawu merupakan bagian perairan Indonesia yang secara langsung berbatasan dengan Samudera Hindia. Di bagian utara, terutama perairan selatan Selat Flores, Selat Lamakera, dan Selat Alor merupakan perairan dinamik dengan perubahan suhu dan salinitas permukaan yang signifikan pada musim angin muson tenggara. Dinamika perairan tersebut terutama di lapisan permukaan sangat dipengaruhi pola tiupan angin muson. Kondisi tersebut, berakibat terhadap terjadinya tarikan (upwelling) di perairan Laut Sawu. Proses taikan air (upwelling) di suatu perairan akan mempengaruhi kondisi kehidupan fitoplankton, hidrologi, dan pengayakan nutrisi di perairan tersebut (Sediadi, 2004; Packard et al., 2015).

Dampak dari upwelling adalah meningkatnya kesuburan (kelimpahan plankton sebagai

pakan alami) dan kemungkinan peningkatan suhu air (hangat), sehingga setasea nyaman untuk sekumpulan setasea tinggal di perairan tersebut. Setasea merupakan salah satu biota yang melakukan pergerakan dari Samudra Pasifik dan Samudera Hindia yang terjadi melalui terusan sunda kecil sepanjang 900 km, menjadikan terusan tersebut sebagai tempat pergerakan lokal dan migrasi jarak jauh (Klinowska, 1991; Faizah et al., 2006).

Penetapan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Taman Nasional Perairan merupakan

hasil dari proses pencadangan, yang ditetapkan kembali melalui Keputusan Menteri Nomor 5/KEPMEN-KP/2014. Rencana dan Program pengelolaan KKP Nasional Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi NTT ditetapkan melalui Keputusan Menteri Nomor 6/KEPMEN-KP/2014 tentang rencana pengelolaan dan zonasi taman nasional perairan Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2014-2034. Kepmen menjelaskan bahwa Rencana Pengelolaan dan Zonasi yang dalam hal ini adalah Kawasan Konservasi Perairan Taman Nasional (TNP) Laut sawu dapat ditinjau sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.

TNP Laut Sawu dalam penetapannya sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional

didasarkan pada keunikan biota laut yang terdapat di wilayah laut ini (YPPL-TNC, 2011), hal tersebut dijelaskan dalam Dokumen Rencana Aksi Nasional (RAN) konservasi cetacean di Indonesia periode 2016-2020. Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu yang terletak di Propinsi NTT salah satunya ditujukannya untuk melindungi habitat dan jalur migrasi paus, area perlindungan lumba-lumba yang secara rutin melakukan ruaya di wilayah perairan tersebut (KKHL, 2015). Zonasi yang ada saat ini di wilayah sekitar Daratan Pulau Sumba dan Daratan Timor, pada wilayah yang dijadikan sebagai zona perikanan berkelanjutan sebagaian besar merupakan jalur migrasi setasea (paus dan lumba-lumba). Kondisi tersebut jika dibiarkan berlarut-larut akan berdampak terhadap perubahan perilaku setasea yang ada. Gangguan terhadap populasi setaea dan predator utama lainnya menyebabkan pergeseran dominasi predator utama yang pada akhirnya menyebabkan terganggunya rantai makanan (Beum and Worm, 2009).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efektivitas luasan sub zona setasea

di kawasan konservasi perairan TNP Laut Sawu. Efektivitas yang dimaksud adalah menyeimbangkan antara kebutuhan stakeholder akan sumber daya perikanan yang ada dengan keberlanjutan dari keberadaan setasea di Laut Sawu. Secara tidak langsung tergambarkan bahwa sehatnya setasea juga mencerminkan sehatnya lautan (Trumble et al., 2013). Kajian terhadap sebaran setasea (paus dan lumba) di Laut Sawu dilakukan dengan pengamatan langsung oleh pengamat pada jalur pengamatan yang sudah ditentukan.

Page 53: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

58 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Hasil yang diharapkan adalah terhindarnya konflik kepentingan antara kebutuhan stakeholder dengan keberlangsungan hidup setasea di Laut Sawu. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian

Survei penelitian dilaksanakan selama 3 kali pengamatan (November 2015, Maret-April 2016, dan September-Oktober 2016). Lokasi penelitian meliputi perairan Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Timor Tengah Selatan, Sabu Raijua, Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Manggarai, dan Kabupaten Manggarai Barat (Gambar 1). Pembagian waktu tersebut dilakukan berdasarkan pada kondisi lingkungan perairan (Faizah et al., 2006), pemilihan waktu survey juga dilakukan berdasarkan kekosongan data time series dari hasil-hasil penelitian sebelumnya.

transek zig-zag jalur pengamatan

November 2015

transek zig-zag jalur pengamatan

Maret-April dan September-Oktober 2016

Gambar 1. Lokasi Penelitian Dan Jalur Pengamatan Kemunculan Setasea

Survei bulan November 2015 pengamatan dilakukan di dalam kawasan TNP Laut

Sawu, sedangkan survey pada periode bulan Maret-April dan September-Oktober 2016 pengamatannya dilakukan di dalam dan di luar kawasan TNP Laut Sawu (Gambar 1). Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer kemunculan (sighting) spesies setasea dengan pengambilan data menggunakan transek zig-zag serta dengan metode pengamatan satu kelompok pengamat (single observer platform) (Thomas et al, 2007). Kapal bergerak sepanjang daerah pengamatan dengan kecepatan rata-rata 7-8 knot. Waktu dilakukannya pengamatan dimulai pada pagi hari pukul 06.00 WITA sampai sore hari pukul 18.00 WITA (Kahn, 2005; Kahn, 2013). Metode zig-zag bertujuan untuk memperoleh estimasi jumlah jenis setasea serta menghindari glare (cahaya yang menyilaukan) dari sinar matahari (Gambar 2).

Penentuan jumlah mamalia laut dengan tepat sangatlah sulit, karena hewan tersebut

menghabiskan lebih banyak waktunya hidup di dalam air, sehingga digunakan metode estimasi untuk melakukan perhitungan jumlah setasea yang ditemukan (Hammond et al., 2002). Identifikasi visual kenampakan setasea merujuk pada Carwardine (2002) dan Jefferson et al., (1993). Detail identifikasi setasea merujuk pada Carwadine (1995);

Page 54: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

59 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Siahainenia (2008) dengan 12 (dua belas) poin kunci identifikasi sebagai berikut: 1) Estimasi ukuran tubuh; 2) Tanda-tanda yang biasa pada tubuh setasea; 3) Bentuk, warna, posisi dan tinggi sirip dorsal (dorsal fin); 4) Bentuk tubuh dan bentuk kepala; 5) Warna dan tanda pada tubuh; 6) Bentuk semburan (khusus pada spesies besar); 7) Bentuk dan tanda pada ekor (fluk); 8) Tingkah laku di permukaan air; 9) Breaching dan tingkah laku lainnya; 10) Estimasi jumlah setasea yang diamati; 11) Habitat setasea; dan 12) Posisi geografis lokasi. Selain data primer kemunculan setasea, dilakukan juga pengumpulan data sekunder untuk menjawab tujuan penelitian, dengan melakukan desk study (Johnston, 2014) dari hasil-hasil penelitian sebelumnya di perairan Laut Sawu.

Gambar 2. Posisi Pengamat Pada Metode Single Observer Platform

Metode pengamatan yang dimodifikasi dengan menggunakan kelompok pengamat terdiri atas 4 orang (3 pengamat dan 1 pencatat) (Gambar 2). Posisi pertama berada di depan pada daerah yang lebih tinggi (tengah-tengah haluan), menggunakan teropong binokuler untuk mengamati daerah depan dengan batas pandangan 180°; posisi kedua dan ketiga menggunakan batas pandangan 90° pada wilayah pengamatan lebih rendah dari posisi pertama (di belakang pengamat pertama) menggunakan teropong binokuler, posisi pengamat keempat sebagai pencatat data atau notulen berada di bagian belakang, sehingga akan mengetahui bila ada pengamatan yang sama. Keempat personel pengamat berganti posisi setiap satu jam. Analisis data Analisis untuk mendeterminasi sebaran karakteristik setasea antar cakupan wilayah

per kabupaten di Laut Sawu menggunakan analisis statistik multivariable yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama Principal Component Analysis (Legendre dan legendre, 1983; Bengen et al., 1992; Dodi et al., 2000). Analisis PCA menggunakan perangkat lunak program XLSTAT 2014.

Analisis data hasil pengamatan langsung dan data sekunder hasil-hasil penelitian

dikompilasi dan di-overlay menggunakan perangkat lunak GIS. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian, ditemukan 11 lumba-lumba dan 8 paus (Lampiran 1). Komposisi dari jenis lumba-lumba yang ditemukan adalah common bottlenose dolphin (Tursiops trancatus), dwarf spinner dolphin (Stenella longirostris roseiventris), fraser's dolphin (Lagenodelphis hosei), indo-pasific bottlenose dolphin (Tursiops aduncus), striped dolphin (Stenella coeruleoalba), pantropical spotted dolphin (Stenella attenuata), spinner dolphin (Stenella longirostris longirostris), rough-toothed dolphin (Steno bredanensis), long beaked common dolphin (Delphinus capensis), short

Page 55: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

60 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

beaked common dolphin (Delphinus delphis), dan risso's dolphin (Grampus griseus) (Gambar 3).

Hasil analisis dari frekuensi kemunculan jenis lumba-lumba tertinggi adalah spinner

dolphin (Gambar 3). Lumba-lumba jenis spinner dolphin memang terdapat hampir di seluruh perairan laut, terutama Laut Jawa, Sumatera, Pulau Lembata, Halmahera, Selat Sunda, Maluku, dan Papua (Priyono, 2001). Hasil penelitian D’Lima et al., (2013) dijelaskan secara sosial ekonomi, lumba-lumba terlihat secara tidak langsung berhubungan dengan aktivitas nelayan tangkap, di mana gerakan dan tingkah laku lumba-lumba dapat membantu nelayan menggiring ikan ke jaring nelayan.

Gambar 3. Persentase Kemunculan (Sighting) Lumba-Lumba (Dolphin) selama Penelitian Di

Kawasan Konservasi Perairan TNP Laut Sawu

Komposisi setasea di dunia berdasarkan beberapa hasil penelitian ditemukan sekitar

86 jenis setasea termasuk beberapa jenis yang dikategorikan langka dan terancam punah (Klinowska, 1991; Barnes, 1996; Rudolph et al., 1997; Kahn, 2003; Sediadi, 2004; Fauziah et al., 2006). Jumlah spesies lumba-lumba dan paus di perairan Indonesia menurut Rudolph et al., (1997); Kahn, (2003) dan Mustika et al., (2009) sekitar 12 spesies lumba-lumba dan 18 spesies paus, termasuk paus biru (Balaenoptera musculus), paus sperma (Physeter macrochepalus), dan humpback whale (Megaptera novaeangliae). Dalam dokumen Rencana Aksi Nasional juga dijelaskan bahwa Indonesia memiliki setidaknya 33 spesies setasea atau lebih dari sepertiga jumlah spesies setasea di seluruh dunia (KKHL, 2015).

Wilayah perairan dengan lokasi kemunculan lumba-lumba dan paus tertinggi, yaitu di

wilayah perairan sekitar Kabupaten Kupang dan Sumba Barat Daya. Lokasi kemunculan spinner dolphin juga ditemukan cukup tinggi di perairan sekitar Kabupaten Sumba Timur sebanyak 17 lokasi. Kemunculan jenis pantropical spotted dolphin di perairan Kabupaten Sumba Barat Daya juga tergolong tinggi sebanyak 12 lokasi. Hasil penelitian Forney (2000) di perairan California dihasilkan bahwa lokasi kemunculan (sighting) lumba-lumba berhubungan erat dengan beberapa parameter lingkungan perairan, variabel dari parameter lingkungan yang memiliki hubungan erat adalah sea surface temperature, sea surface salinity, dan beaufort sea state.

Persentase jumlah paus yang ditemukan ditemukan sebanyak 8 spesies, yaitu dwarf

sperm whale (Kogia sima), false killer whale (Pseudorca crassidens), melon headed whale (Peponocephala electra), pygmy killer whale (Feresa attenuata), pygmy sperm whale (Kogia breviceps), short-finned pilot whale (Globicephala macrorhynchus); sperm whale (Physeter macrocephalus) (data primer) (Gambar 4), desk studi yang dilakukan juga ditemukan paus biru (data sekunder hasil penelitian Kahn, 2013).

Page 56: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

61 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 4. Persentase Kemunculan (Sighting) Paus (Whale) Selama Penelitian di Kawasan

Konservasi Perairan TNP Laut Sawu

Wilayah perairan dengan lokasi kemunculan sebanyak lokasi (Kupang, Rote Ndao,

Sabu Raijua, Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya). Spesies tertinggi selama periode penelitian dan hasil desk studi, yaitu pygmy killer whale (Feresa attenuate) (Gambar 4). Hasil pengamatan dari tahun 2001 hingga 2005 memperlihatkan bahwa beberapa jenis setasea telah ”menetap” di Laut Sawu, antara lain: paus sperma (sperm whale), paus pembunuh kerdil (pigmy killer whale), paus kepala semangka (melon headed whale), lumba-lumba paruh panjang (spinner dolphin), lumba-lumba totol (pan-tropical spotted dolphin), lumba-lumba gigi kasar (rough-toothed dolphin), lumba-lumba abu-abu (risso’sdolphin) dan lumba-lumba fraser (fraser’s dolphin) (Salim, 2011).

Sebaran lokasi kemunculan (sighting) lumba-lumba tertinggi terbagi menjadi 3

kelompok, yaitu di Kabupaten Sumba Timur, Kupang, dan Sumba Barat Daya. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh arah sumbu terkuat mengarah pada ketiga wilayah perairan di sekitar Kabupaten Sumba Barat Daya, Kupang, dan Sumba Timur (Gambar 5.a). Beberapa perairan lainnya dengan kemunculan tinggi tetapi tidak menunjukkan ulangan kemunculan yang signifikan adalah Kabupaten Rote Ndao, Manggari Barat, dan Sumba Tengah. Keeratan nilai dan arah sumbu yang mengarah pada Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Kupang, menunjukkan bahwa di perairan tersebut menjadi lintasan lumba-lumba setiap saat.

Page 57: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

62 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

a) Lumba-lumba (dolphin) b) Paus (whale)

Gambar 5. Distribusi Kelompok dari Sebaran Lokasi Kemunculan (Sighting) Lumba-Lumba

(Dolphin) (A) dan Paus (Whale) (B) Di Masing-Masing Wilayah Perairan Pada Cakupan Wilayah Antar Kabupaten di Perairan TNP Laut Sawu, NTT.

Hasil analisis sebaran lokasi paus ditemukan 3 wilayah perairan yang memiliki lokasi

kemunculan tertinggi, yaitu Kabupaten Kupang, Kabupaten Sumba Timur, dan Kabupaten Sumba Barat Daya. Beberapa wilayah perairan lainnya dengan lokasi kemunculan yang cukup signifikan, akan tetapi selama penelitian frekuensi kemunculannya lemah adalah Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Rote Ndao, dan Kabupaten Sabu Raijua (Gambar 5.b). Lokasi kemunculan (sighting) setasea dengan jumlah tertinggi yaitu di wilayah perairan Sumba Timur (17 lokasi kemunculan), Kabupaten Sumba Barat Daya (16 lokasi kemunculan), dan wilayah perairan di Kabupaten Kupang sebanyak 15 lokasi kemunculan. Beberapa lokasi yang ada selama penelitian dan dari beberapa data hasil-hasil penelitian sebelumnya, lokasi yang terdeteksi menjadi lokasi kemunculan merupakan lokasi yang saat ini menjadi sub zona perikanan berkelanjutan. Di beberapa lokasi tersebut, selama penelitian terlihat bahwa bukan nelayan tradisional yang memanfaatkan perairan tersebut sebagai lokasi penangkapan ikan.

Hasil analisis dari kemuculan, gerombolan, tingkah laku serta migrasi lumba-lumba

dan paus selama penelitian, beberapa zona yang ada saat ini memerlukan perhatian bagi keberlanjutan keberadaan paus dan lumba-lumba di perairan Laut Sawu, serta dari hasil-hasil penelitian sebelumnya tidak ditemukan kemunculan lumba-lumba dan paus. Beberapa tahun terakhir ini, lumba-lumba sudah menjadi hewan buruan untuk dijadikan bahan konsumsi dan lainnya, perburuan setasea secara terus menerus dapat mengakibatkan berkurangnya populasi lumba-lumba dan paus di alam, meskipun dilakukan secara tradisional (Wiadnyana et al., 2005).

Keberadaan setasea di wilayah perairan sebelah selatan Kabupaten Sumba Barat

Daya serta utara Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Tengah dan Perairan sebelah utara Kabupaten Kupang (Pulau Semau sampai dengan daerah Soliu) menjadi wilayah dengan perhatian khusus bagi upaya perlindungan setasea. Berdasarkan hasil analisis, perlu disesuaikan antar zona dengan penambahan dan mengubah dari sub zona perikanan berkelanjutan umum yang ada saat ini menjadi sub zona perlindungan setasea.

Page 58: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

63 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 6. Sub Zona Perlindungan Setasea Berdasarakn Hasil Evaluasi Efektitivitas Kawasan Konservasi TNP Laut Sawu

Sumber zonasi awal: Kepmen. No. 5/KEPMEN-KP/2014 dan dimodifikasi berdasarkan hasil analiasis

Kemunculan dan pergerakan paus yang ditemukan selama penelitian di wilayah

sekitar perairan Daratan Kupang pada pagi hari sekitar pukul 06.00-10.00 WITA bergerak dari WS kearah NE, sedangkan pada siang hari sekitar pukul 11.00-13.00 WITA terlihat paus sperma logging dengan arah pergerakan bolak balik dari N ke S dan ke arah N. Pergerakan paus yang terlihat di sekitar daratan timur terdominasi dari arah WS ke NE. Kemunculan lumba-lumba di Kabupaten Kupang selama penelitian terdominasi pada pukul 06.00-10.00 WITA pagi hari (33.8%), kemudian akan muncul pada pukul 15.00-18.00 WITA (54.4%).

Pergerakan yang terlihat di wilayah perairan sekitar kurang terlihat pada pagi hari,

pergerakan dari arah NE ke arah WS, akan tetapi sebagian pergerakan lumba-lumba juga ditemukan dari arah N kearah S pada pagi hari. Berbeda dengan sore hari, kecenderungan pergerakan dari WS ke arah NE dengan sebagian kecil lumba-lumba yang ditemukan bergerak kearah E.

Tabel 1. Luasan, Wilayah Perairan dan Desa Sub Zona Yang Disarankan Sebagai Sub Zona

Perlindungan Setasea Selain Sub Zona Perlindungan Setasea yang Ditetapkan dalam Kep Men No. 5/KEPMEN-KP/2014 Di Wilayah TNP Laut Sawu

Sub Zona Kabupaten Luasan (ha) Bujur Timur Lintang Selatan

Sub Zona Perlindungan Setasea

Daratan Pulau Sumba: Sumba Barat Daya Sumba Barat Sumba Tengah

445.567,44 119.089717 -9.804069

118.699220 -9.804996

118.699894 -9.037620

119.820271 -9.039122

Page 59: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

64 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Sub Zona Kabupaten Luasan (ha) Bujur Timur Lintang Selatan

119.766228 -9.179229

119.633223 -9.220330

119.496895 -9.241327

119.404457 -9.260983

119.205277 -9.236482

118.975796 -9.298811

118.927964 -9.429286

118.872068 -9.609026

Sub Zona Perlindungan Setasea

Daratan Pulau Timor: Kupang

239.307,52 122.781656 -9.953424

123.586856 -9.474540

123.664344 -9.564393

123.530249 -9.696382

123.475651 -9.799382

123.183237 -10.075495

Salah satu indikator kunci dari penetapan zonasi adalah keberadaan setasea (paus

dan lumba) serta migrasinya di perairan Laut Sawu (KKHL, 2015). Berdasarkan data dari kemunculan, gerombolan, tingkah laku, serta migrasi lumba-lumba dan paus selama penelitian (hasil penelitian Pusat Riset Perikanan Tangkap pada tahun 2005, APEX dan The Nature Conservancy tahun 2013 serta Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan tahun 2015 dan 2016 yang di-overlay dengan pendekatan GIS dan direduksi masing-masing data dan informasi yang didapatkan dengan principal komponen analisis), beberapa zonasi yang ada memerlukan perhatian bagi keberlanjutan keberadaan paus dan lumba-lumba di perairan Laut Sawu, seperti: luasan wilayah perairan yang dicalonkan sebagai perubahan atas sub zona perikanan berkelanjutan umum menjadi sub zona perlindungan setasea untuk wilayah perairan Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Barat, dan Kabupaten Sumba Tengah seluas ± 445.567,4 ha, sedangkan wilayah Perairan sebelah utara Kupang (Pulau Semau sampai dengan Desa Soliu) seluas ± 239.307,5 ha (Gambar 6 dan Tabel 1). KESIMPULAN

Distribusi setasea (lumba-lumba dan paus) tersebar merata dengan jumlah dan frekuensi kemunculan tertinggi lumba-lumba adaah spinner dolphin sedangkan paus yaitu short-finned pilot whale di wilayah TNP Laut Sawu. Lokasi dengan frekuensi kemunculan tertinggi adalah wilayah perairan Kabupaten Kupang, Sumba Barat Daya, Sumba Barat, dan Sumba Tengah.

Zonasi yang ada saat ini terdapat tumpang tindih antara zona perikanan berkelanjutan

dengan zona perlindungan setasea, yang berdampak di beberapa wilayah penangkapan. Di sekitar Kabupaten Sumba Barat daya, Sumba Barat, dan Sumba Tengah sering ditemukan luka di tubuh lumba-lumba, seperti goresan jaring di tubuh dan luka di mulut lumba-lumba. Diperlukan penyesuaian luasan sub zoba bagi keberlanjutan setasea disesuaikan dengan luasan zona perikanan berkelanjutan umum yang ada saat ini, meliputi wilayah perairan sekitar Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Barat, dan Kabupaten Sumba Tengah seluas ± 445.567,44 ha dan di perairan sekitar Daratan Timor (Kupang) seluas ± 239.307,52 ha menjadi sub zona perlindungan setasea.

Page 60: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

65 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

UCAPAN TERIMA KASIH

Karya Tulis Ilmiah ini merupakan kontribusi dari hasil kegiatan penelitian dan Pengembangan dengan judul ”Penelitian Kesesuaian Zonasi di Taman Nasional Perairan Laut Sawu sebagai Kawasan Konservasi Perairan”. Penelitian ini dibiayai dari dana APBN Satuan Kerja Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (BP2KSI) Tahun Anggaran 2015 dan 2016. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala BKKPN Kupang, TNC Savu Sea Project, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, dan Kabupaten Manggarai atas izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan penelitian di dalam dan luar Kawasan Konservasi Perairan Taman Nasional Perairan Laut Sawu. DAFTAR PUSTAKA Baum J. K. and Worm, B. 2009. Cascading Top-Down Effects of Changing Ocean Predator

Abundance. Journal of Animal Ecology, 78. 699-714 pp. Bengen D., Belaud, A. and Lim, P. 1992. Structure et Typologie Ichtyenne de Trois Bras

Morts De La Garonne. Annales de Limnologie 28. 35–56 pp. Carwardine M. 2002. Whales, Dolphins and Porpoises. London: Fog City Press, Dorling

Kindersley Limited. D’lima C., Marsh, SETASEA, Haman, M, Sinha, A and Arthur, R. 2013. Positive Interactions

Between Irrawaddy Dolphins and Artisanal Fisheries in The Chilika Lagoon of Eastern India Are Driven By Ecology, Socioeconomics and Culture. Ambio, DOI 10.1007/s13280-013-0440-4, 1-11 pp.

Dodi S.M. Eidman, Dietriech G. Bengen dan S. Wouthuyzen. 2000. Distribusi Spasial Kerang Darah (Anadara Maculosa) dan Interaksinya dengan Karakteristik Habitat di Rataan Terumbu Teluk Kotania, Seram Barat Maluku. Jurnal Ilmi-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. Vol. VII (2) MSP FPIK-IPB Bogor. 19-31 pp.

Faizah R., Dharmadi and F.S. Punomo. 2006. Distribusi dan Kepadatan Lumba-Lumba Stenella longirostris di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. 12 (3). 175-181 pp.

Forney K.A. 2000. Environmental Models of Cetacean Abundance: Reducing Uncertainty in Population Trends. Conservation Biology. Vol. 14, No. 5, October. 1271-1286 pp.

Hammond P.S. Berggren, P., Bunke. SETASEA, Borchers. D. 2002. Abundance of Habour Porpoise and Other Cetaceas in the North Sea and Adjecent Waters. Journal of Applied Ecology 2002. British Ecological Society: 361-376 pp.

Jefferson T.A., S. Leatherwood, dan M.A. Webber. 1993. FAO species identification guide: Marine mammals of the world. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome, Italy.

Johnston M.P. 2014. Secondary Data Analysis: A Method of which the Time Has Come. Qualitative and Quantitative Methods in Libraries (QQML) 3. 619-626 pp.

Kahn, B. 2003. Solor-Alor Visual And Acoustic Cetacean Surveys. Solor-Alor: The Nature Conservancy SE Asia Center For Marine Protected Areas And The Apec Environment.

Kahn B. 2005. Indonesia Oceanic Cetacean Program Activity Report : January-February 2005. APEX Environmental-The Nature Conservancy SE Asia Center for Marine Protected Areas Bali, Indonesia.

Kahn B. 2013. Rapid Ecolological Asessment (REA) for Cetaceans and Seavirds in the Savu Sea National Park: Intern Report on Field Activities in 2013. APEX.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2004. Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Jakarta.

Page 61: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

66 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2014. Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2014 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta.

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2014. Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: 5/KEPMEN-KP/2014 tentang Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta.

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2014. Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: 6/KEPMEN-KP/2014 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2014-2034. Jakarta.

Klinowska M. 1991. Dolphins, Purpoises and Whales of The World.The IUCN Red Data Book. IUCN.Gland.Switzterland. 350 pp.

KKHL. 2015. Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi ceatcea Indonesia: Periode 1: 2016-2020. Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut. KKP. 76 pp.

Legendre L., and P. Legendre. 1983. Numerical ecology. Develop. Environ. Model. V. 3. Elsevier. 510-512 pp.

Mustika P.L.K., Hutasoit, P., Madusari, S.C., Purnomo, F.S., Setiawan, A., Tjandra, K., and Prabowo, SETASEA. E. 2009. Whale Strandings in Indonesia. Including The First Record of A Humpback Whale (Megaptera noveangliae) in the archipelago. The Raffles Bulletin of Zoology. National University of Singapore. 57 (1). 199-206 pp.

Packard T., N. Osma, I. Fernández-Urruzola, L.A. Codispoti, J.P. Christensen, and M. Gómez. 2015. Peruvian Upwelling Plankton Respiration: Calculations of Carbon Flux, Nutrient Retention Efficiency, and Heterotrophic Energy Production. Biogeosciences 12. 2641–2654 pp.

Priyono A. 2001. Lumba-Lumba di Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. [Tesis]. The Gibbon Foundation. Jakarta. PILI NGO Movement. Bogor.

Salim D. 2011. Konservasi Mamalia Laut (Cetacea) di Perairan Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Kelautan Vol. 4 No. 1. 24-41 pp.

Rudolph P., Smeenk, C. and Leatherwood, S. 1997. Preliminary Checklist of Cetacean in The Indonesia Archipelago and Adjacent Waters. Zoologische Verhandelingen, 312. 2-48 pp.

Sediadi, A. 2004. Effek Upwelling Terhadap Kelimpahan Dan Distribusi Fitoplankton Di Perairan Laut Banda Dan Sekitarnya. Makara, Sains, Vol. 8, No. 2, Agustus 2004. 43-51 pp.

Siahainenia, S.R. 2008. Kajian Tingkah Laku, Distribusi dan Karakter Suara Lumba-Lumba di Perairan Pantai Lovina Bali dan Teluk Kiluan Lampung. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Thomas L.E.N., Williams, R. And Sandilands, D. 2007. Designing line transect surveys for complex survey regions. Journal Cetacean Res. Manage. 9 (1). 1-13 pp.

Trumble S.J., Roninson, E. M., Berman-Kowalewski, M., Potter, C. W. and Usenko, S. 2013. Blue Whale Earplug Reveals Lifetime Contaminant Exposure And Hormone Profile. Proceedings of National Academic of Science, DOI 10.1073/pnas.1311418110.

Wiadnyana, Ngurah N., Purnomo, Februanty S., Faizah, Ria, Mustika, P.Liza K., Oktaviani, D. and Wahyono, Maria. 2004. Aquatic Mammals Assessment in Indonesia Water. Proceeding of International Symposium on SEASTAR 2000 and Biologing Science, Bangkok.

YPPL-TNC. 2011. Pemetaan Partisipatif Taman Nasional Perairan Laut Sawu. Laporan Akhir (tidak dipublikasi). Yayasan Pengembangan Pesisir dan Laut bekerjasama dengan The Nature Conservancy. 111 pp.

Page 62: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

67 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Lampiran 1. Lokasi kemunculan (sighting) lumba-lumba dan paus di masing-masing wilayah kabupaten di Kawasan Konservasi Perairan Taman Nasional Perairan Laut Sawu

English Name Scientific Name Indonesia Nama Timor Tengah Selatan Kupang Rote Ndao Sabu Raijua Sumba Timur Sumba Tengah Sumba Barat Sumba Barat Daya Manggarai Manggarai Barat

A. Lumba-lumba

1 Delphinidae Common bottlenose dolphin Tursiops trancatus Lumba-lumba hidung botol biasa

2 Delphinidae Dwarf spinner dolphin Stenella longirostris roseiventris Lumba-lumba pemintal kerdil

3 Delphinidae Fraser's dolphin Lagenodelphis hosei Lumba-lumba frazer

4 Delphinidae Indo-pasific bottlenose dolphin Tursiops aduncus Lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik

5 Delphinidae Long-beaked common dolphin Delphinus capensis Lumba-lumba moncong panjang

6 Delphinidae Pantropical spotted dolphin Stenella attenuata Lumba-lumba bercak

7 Delphinidae Risso's dolphin Grampus griseus Lumba-lumba risso's

8 Delphinidae Rough-toothed dolphin Steno bredanensis Lumba-lumba bergigi kasar

9 Delphinidae Short-beaked common dolphin Delphinus delphis Lumba-lumba moncong pendek

10 Delphinidae Spinner dolphin Stenella longirostris Lumba-lumba paruh panjang

11 Delphinidae Striped dolphin Stenella coeruleoalba Lumba-lumba strip

12 - UN-Dolphin - -

B. Paus

1 Delphinidae False killer whale Pseudorca crassidens Paus pemangsa palsu

2 Delphinidae Melon headed whale Peponocephala electra Paus kepala melon

3 Delphinidae Pygmy killer whale Feresa attenuata Paus pembunuh kerdil

4 Delphinidae Short-finned pilot whale Globicephala macrorhynchus Paus pilot sirip pendek

5 Kogiidae Pygmy sperm whale Kogia breviceps Paus spermaseti palsu

6 Kogiidae Dwarf sperm whale Kogia sima Paus spermaseti kerdil

7 Physeteridae Sperm whale Physeter macrocephalus Paus sperma

8 - Blue whale *) - Paus biru

9 - UN-Whale - -

Keterangan:

*) Sumber: Kahn, 2013

Sumber data yang terkompilasi :

BP2KSI, November 2015 ; BP2KSI, Maret-April 2016 ; BP2KSI, September 2016 ; APEX-TNC, Spetember-Oktober 2013 ; PRPT, Juli 2005; PRPT, Desember 2005

Hasil observasi kemunculan setaseaNo. Famili

Jenis Lumba-lumba

Page 63: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

68 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

MEMBANGUN DESAIN JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN: STUDI KASUS PROVINSI MALUKU

Estradivaria*, Christian Novia N. Handayania, Dirga Daniela dan Adib Mustofaa

a Direktorat Coral Triangle, WWF-Indonesia

*email: [email protected]

ABSTRAK

Membangun jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP) merupakan salah satu langkah efektif untuk memaksimalkan manfaat positif dari KKP individu. Semenjak dikeluarkan Peraturan Menteri No. 13/2014 mengenai jejaring KKP, Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai menginisiasi pembentukan jejaring KKP di beberapa lokasi di Indonesia. Kajian ini dilakukan untuk memberikan rekomendasi ilmiah kepada pemerintah dan mitra mengenai desain jejaring KKP di Provinsi Maluku yang dapat memaksimalkan fungsi ekologi, melindungi habitat laut kritis, dan mengelola stok perikanan. Berbagai analisis spasial dan model konektivitas larva dilakukan menggunakan data terbaik yang tersedia untuk tingkat provinsi. Hingga Desember 2015, Provinsi Maluku baru memiliki 7 KKP dengan total luasan 288,414 ha. Ketujuh KKP yang telah ada memiliki keterulangan habitat dan spesies penting yang baik, namun keterwakilan habitat kritis yang sudah dilindungi masih sangat kecil (3,8%) dibandingkan target minimum yang optimum (20%). Selain itu, baru 5 dari 7 KKP yang saling terkoneksi dengan jarak di bawah 100 km, sementara dua KKP lainnya terletak terisolir dari KKP lainnya. Provinsi Maluku juga memiliki beberapa simpul dengan nilai konektivitas larva yang kuat. Berdasarkan hasil kajian, jejaring KKP di Provinsi Maluku sangat potensial dibangun di Provinsi Maluku dengan memperhatikan aspek-aspek berikut: (1) membangun KKP di beberapa lokasi seperti diantaranya Pulau Buru, Maluku Barat Daya, Kepulauan Aru, dll., (2) memperluas KKP yang sudah ada khususnya KKP yang berukuran sangat kecil, dan (3) memperkuat peran dan fungsi lembaga pengelola di setiap KKP serta mendorong pembuatan rencana pengelolaan secara bersama dan terintegrasi antar KKP. KATA KUNCI: Jejaring kawasan konservasi perairan, provinsi maluku, 3k (keterulangan, keterwakilan, konektivitas), konektivitas larva ABSTRACT

Developing a Marine Protected Area (MPA) Network is known as one of the effective tools to maximize the benefits of single MPAs. After the issuance of the Ministrial Regulation No. 13 year 2014 on MPA Network, the Ministry of Marine Affairs and Fisheries has started to initate the development of MPA Network in several provinces in Indonesia. The objective of this study is to provide scientific recommendations to the government and stakeholders on MPA Network design that maximizes the ecological functions, protects critical marine habitats and maintain fisheries stocks. Multi-stages spatial analysis and larva connectivity modelling using the best available data in a provincial level were applied. Until December 2015, Maluku Province had seven MPAs with a total of 288,414 ha. Based on spatial analysis, those MPAs had good replication of critical habitats, but low representation of critical habitats (3,8% from 20% of ideal representation percentage) that were protected within MPAs. Besides that, only five out of seven MPAs that were connected, i.e. their distance between MPAs are less than 100 km, meanwhile the other two MPAs were isolated from other MPAs. Maluku Province also had several nodes of strong larva connectivity values. This study reveals that it is very

SALINAN MAKALAH Estradivari, Handayani, C. N. N., Daniel, D. & Mustofa, A., 2017. Membangun Desain Jejaring

Kawasan Konservasi Perairan: Studi Kasus Provinsi Maluku. Coastal and Ocean Journal, Volume

1 (2) Desember 2017: 135-146

Page 64: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

69 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

potential to develop an MPA Network in Maluku Province under these several considerations: (1) build new MPAs in several locations such as Buru Island, Maluku Barat Daya, Aru Islands, etc. (2) expand the existing MPAs, especially the small size MPAs, and (3) strengthen the roles and functions of management bodies in each MPA and promote an integrated management plan development with all MPA management bodies. KEYWORDS: MPA network, maluku province, 3k (representation, replication and connectivity), larva connectivity PENDAHULUAN

Laut Indonesia, yang merupakan bagian dari Segitiga Karang (Coral Triangle), diketahui sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia. Kekayaan laut Indonesia sangat tinggi, sekitar 76% (605) spesies karang dunia, 37% (2228) spesies ikan dunia (Coral Triangle Initiative, 2017), 85% (6) spesies penyu dunia (WWF-Indonesia, 2017), dan merupakan lintasan ruaya penting bagi sebagian besar mamalia laut dan beberapa spesies ikan ekonomis penting seperti tuna.

Tidak hanya penting secara ekologi, laut Indonesia juga memberikan banyak manfaat

ekonomi dan sosial untuk 60 juta masyarakat Indonesia yang tinggal di pesisir melalui perikanan, pariwisata, pertambangan, dan transportasi. Pada tahun 2016, sektor perikanan Indonesia menyumbang Rp 76,7 miliar di kuartal I dan Rp 77,7 miliar di kuartal II untuk produksi domestik bruto (PDB) Indonesia (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2016). Selain itu, sektor pariwisata berpotensi menyumbang pendapatan negara hingga Rp13 miliar per 1 km persegi luasan terumbu karang (UNEP, 2006).

Dampak kegiatan antropogenic yang terjadi di seluruh perairan pesisir Indonesia

sayangnya mempengaruhi kesehatan ekosistem pesisir. Setidaknya 95% terumbu karang Indonesia terancam oleh berbagai kegiatan antropogenik seperti penangkapan ikan merusak dan berlebih serta pembangunan pesisir (Burke, et al., 2012), di mana ancaman terbesar terjadi di bagian timur Indonesia. Kerusakan mangrove oleh konversi lahan, penebangan hutan dan erosi pantai juga telah mengakibatkan degradasi luasan mangrove sebesar 20% dalam 20 tahun (1989-2009) (Ilman, et al., 2011).

Selain itu, pemanasan global melalui pemanasan suhu permukaan air laut juga

memberikan dampak terhadap meningkatnya intensitas karang yang memutih (bleaching). Pada kejadian pemanasan suhu permukaan air laut pada tahun 2016, karang keras di 20 dari 21 provinsi yang disurvei mengalami pemutihan, dan bahkan di beberapa provinsi memiliki tingkat pemutihan lebih dari 50% dari seluruh karang keras yang diamati (Prabuning, et al., 2017).

Besarnya tantangan untuk mengurangi dampak antropogenik terhadap ekosistem

pesisir sekaligus melindungi keanekaragaman hayati laut menjadikan Indonesia sebagai area prioritas global untuk konservasi. Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia kemudian menjawab tantangan ini dengan menargetkan terbentuknya 20 juta ha Kawasan Konservasi Perairan (KKP) sampai dengan tahun 2020. Hingga Desember 2016, sebanyak 165 KKP telah dibangun dengan total luasan mencapai 17,98 juta ha (Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, 2017).

Selain pembentukan KKP, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KemenKP)

Indonesia juga berupaya mengefektifkan upaya konservasi dengan cara membangun jejaring KKP. Berdasarkan Peraturan Menteri No. 13 tahun 2014, jejaring KKP didefinisikan sebagai kerjasama pengelolaan 2 (dua) atau lebih kawasan konservasi perairan secara sinergis yang memiliki keterkaitan biofisik. KKP yang letaknya berdekatan akan mendapatkan manfaat dari adanya jejaring, diantaranya melalui pendayagunaan upaya

Page 65: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

70 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

dalam memenuhi target pengelolaan, peningkatan daya tahan dan daya lenting ekosistem dari dampak bencana (PISCO, 2007), penggunaan sumber daya laut yang lebih efisien (IUCN-WCPA, 2008), serta pengurangan konflik sumber daya laut (UNEP-WCMC, 2008).

Hingga Desember 2016, inisiasi pembentukan jejaring KKP telah dilakukan di

beberapa lokasi di Indonesia, diantaranya Bentang Laut Kepala Burung (Provinsi Papua Barat), Bentang Laut Lesser Sunda (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur), Sumatera bagian Barat (Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat), Bentang Laut Southeast Sulawesi (Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah), Provinsi Maluku dan Provinsi Kepulauan Riau. Meski inisiasi pembentukan jejaring KKP telah banyak dilakukan, KemenKP belum memiliki panduan resmi dalam mendesain jejaring KKP serta indikator detil untuk mengevaluasi performanya. Oleh karena itu, WWF-Indonesia yang merupakan mitra kerja KemenKP semenjak tahun 2009, memfasilitasi pembentukan desain jejaring KKP di beberapa lokasi di Indonesia. Desain yang dibangun memiliki tujuan untuk membentuk jejaring KKP yang tangguh, yaitu yang memiliki keterkaitan biofisik serta daya tahan dan daya lenting yang tinggi.

Tulisan ini bertujuan untuk berbagi pembelajaran baik dalam mendesain jejaring KKP

dengan data yang terbatas namun tetap berdasarkan kajian ilmiah. Penelitian ini mengambil studi kasus di Provinsi Maluku karena memiliki pembelajaran unik, di mana jumlah KKP yang masih relatif sedikit sementara memiliki kepentingan konservasi yang relatif tinggi.

METODE PENELITIAN Area Kajian dan Kepentingan Konservasi

Area kajian meliputi seluruh perairan laut Provinsi Maluku. Provinsi Maluku berbatasan langsung dengan Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua Barat di sebelah utara; Laut Maluku, Provinsi Sulawesi Tengah, dan Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah barat; Laut Banda, Timor Leste, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur di sebelah selatan; serta Laut Aru dan Provinsi Papua di sebelah timur. Wilayah administrasi Provinsi Maluku terbagi menjadi sembilan kabupaten dan dua kota dengan luas total 712.480 km2 terdiri dari 658.331 km2 (92,4%) wilayah perairan dan 54.148 km2 (7,6%) wilayah daratan, serta mencakup 12 gugus pulau (BAPEDA, 2007).

Dominasi wilayah perairan di provinsi ini mendorong pemerintah baik daerah maupun

pusat untuk mengutamakan kebijakan berbasis pendekatan pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi Maluku. Dua program utama yang menjadi prioritas pemerintah adalah (1) strategi pembangunan berdasarkan gugus pulau dan penetapan Provinsi Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN), serta (2) komitmen pemerintah Provinsi Maluku untuk berkontribusi sebesar 1 juta hektar Kawasan Konservasi Perairan (KKP) terhadap pencapaian nasional sebesar 20 juta hektar di tahun 2020 (BAPEDA, 2007).

Hingga Desember 2015, Provinsi Maluku baru membentuk tujuh KKP dengan luas

total 288.414,80 ha, atau baru mencapai 29% dari target pemerintah provinsi (Tabel 1). Pada bulan Desember 2015, ketujuh KKP tersebut masih dalam status pencadangan dan belum ada satupun yang telah ditetapkan dan memiliki rencana pengelolaan dan zonasi. Meski pengelolaan ketujuh KKP tunggal tersebut berada di bawah kewenangan Provinsi Maluku, namun secara implementasinya KKP tersebut belum memiliki kerjasama pengelolaan.

Page 66: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

71 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Tabel 1. Daftar Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Maluku sampai dengan Desember 2015

JENIS KAWASAN KONSERVASI

LUASAN (Ha)

LEMBAGA PENGELOLA

STATUS PENCADANGAN

TWP Laut Banda 2.500 BKKPN Kupang Pencadangan Kawasan Berdasarkan KepMen No.69 Tahun 2009

TWP Aru Tenggara 114.000 BKKPN Kupang Kep MenKP No. 63/Men/2009. tanggal 3 September 2009

TPK Kab. Maluku Tenggara

150.000 DKP Kab. Malra Pencadangan Kawasan Berdasarkan SK Bupati No.162 Tahun 2012

KKPD Kab. Seram bagian Timur

8.816,80 DKP Kab. SBT SK Bupati Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) No.523/189/kep/2011 tanggal 01 Agustus 2011 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Pulau Koon dan Pulau Neiden

TWAL Pulau Marsegu

11.000 BKSDA Maluku SK Menteri Hutbun No. 114/Kpts-II/1999; Tgl. 5-03-1999

TWAL Pulau Kassa 1.100 BKSDA Maluku SK Menteri Pertanian No. 653/Kpts/Um/10/1978; Tgl. 25-10-1978

TWAL Pulau Pombo 998 BKSDA Maluku SK Menteri Kehutanan No. 392/Kpts-VI/1996; Tgl 30-07-1996

Untuk memenuhi target pemerintah nasional maupun pemerintah provinsi, maka para pemangku kepentingan perlu membuat strategi konservasi dan pengelolaan yang dapat memberikan manfaat maksimal dan berkelanjutan untuk keanekaragaman hayati laut dan produktivitas perikanan. Membangun jejaring KKP di Provinsi Maluku merupakan salah satu upaya jitu untuk melindungi habitat penting keanekaragaman hayati, mendukung perikanan lestari serta meningkatkan efektivitas pengelolaan KKP yang sudah ada melalui penguatan kerjasama antar KKP.

Parameter Jejaring KKP

Dalam membangun desain jejaring KKP yang tangguh, peneliti mengacu pada tiga prinsip dasar yang menjadi pilar utama KKP (IUCN-WCPA, 2008), dikenal dengan analisis 3K, yaitu: Keterwakilan, Keterulangan, dan Konektivitas. Keterwakilan habitat dan spesies penting merupakan faktor penting untuk memastikan ekosistem mampu bertahan menghadapi perubahan iklim dan berbagai gangguan lainnya termasuk tekanan perikanan baik di dalam kawasan lindung maupun di sekitarnya (Green, et al., 2013). Target ideal keterwakilan dalam desain jejaring KKP adalah melindungi 20-30% dari keseluruhan habitat dan spesies penting yang ada (Green, et al., 2007; Gaines, et al., 2010).

Keterulangan habitat penting dalam KKP diperlukan untuk meminimalkan resiko jika

terjadi gangguan terhadap ekosistem. Prinsip keterulangan adalah terdapatnya habitat penting berada di minimal tiga KKP yang berjejaring (Fernandes, et al., 2005; Green, et al., 2007), sehingga apabila salah satu habitat di satu KKP mengalami gangguan, setidaknya ada dua atau lebih habitat serupa di KKP lain yang berjejaring dalam kondisi sehat. Habitat yang tidak mengalami gangguan ini dapat bertindak sebagai sumber larva agar lokasi yang terdampak dapat pulih kembali (Green, et al., 2013).

Page 67: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

72 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Konektivitas merupakan tingkatan jarak di mana populasi suatu spesies pada suatu area masih dapat saling terhubung dengan populasi spesies yang sama di area lainnya melalui pertukaran telur, larva, juvenile, maupun ikan/organisme dewasa (IUCN-WCPA, 2008). Terdapat dua sub-parameter yang dikaji, yaitu (1) keterkaitan jarak dan (2) konektivitas larva ikan. Jarak antar KKP yang ideal adalah antara 10 – 100 km (UNEP-WCMC, 2008), karena tidak terlalu dekat sehingga tetap bisa memberikan ruang antar KKP yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna sumber daya laut, namun juga tidak terlalu jauh karena masih dapat mengakomodasi migrasi atau perpindahan sebagian besar biota laut. Konektivitas larva ikan juga merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan untuk melindungi lokasi yang menjadi sumber larva ikan dan yang dapat mensubsidi larva ke lokasi penangkapan ikan (Green, et al., 2013). Habitat penting yang digunakan dalam kajian ini merupakan ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang.

Metode dan Analisis Data

Metode utama yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis spasial. Terdapat dua langkah utama yang dijalankan secara bertahap untuk mendesain jejaring KKP, yaitu: (1) menganalisis keterkaitan biofisik dan (2) mengidentifikasi lokasi dengan nilai konservasi tinggi.

Dalam menganalisis keterkaitan biofisik melalui uji 3K, peneliti menggunakan teknik

overlay, buffering, euclidiance distance, dan pemodelan konektivitas larva. Untuk memperoleh informasi keterwakilan habitat dan spesies penting dalam jejaring KKP dilakukan perhitungan sebagai berikut:

Hi = persentase keterwakilan habitat/wilayah spesies penting (%) CFi = luasan habitat/wilayah spesies penting dalam KKP (hektar) ΣCFi = jumlah total luasan habitat/wilayah spesies penting di Provinsi Maluku (hektar)

Sedangkan, untuk memperoleh informasi keterulangan habitat dan spesies penting

dalam KKP, dilakukan overlay antara data spasial habitat dan spesies penting, dengan data spasial Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Maluku. Informasi keterkaitan jarak antar KKP dilakukan dengan analisis euclidian distance mengambil jarak terjauh 100 kilometer dari batas luar KKP.

Pemodelan konektivitas larva digunakan untuk menjawab lokasi potensial untuk

dilindungi berdasarkan informasi penyebaran larva ikan. Pemodelan dibangun berdasarkan algoritma tertentu yang memperhitungkan berbagai macam data termasuk diantaranya: batas KKP, batas ekoregion, sebaran terumbu karang, ancaman terhadap terumbu karang, spesies ikan yang ditemukan, karakteristik biologi spesies ikan, arus, suhu permukaan laut, dan populasi penduduk (lihat Krueck, et al., 2017).

Pemodelan ini bisa digunakan untuk Bentang Laut Sunda Banda, di mana Provinsi

Maluku merupakan bagian dari ekoregion ini. Dalam kajian ini, target yang ingin dicapai dari pemodelan konektivitas larva adalah melindungi 40% lokasi penting yang memiliki tingkat ekspor1 larva tinggi ke lokasi penangkapan ikan, serta memiliki nilai impor2 dan self-recruitment3 larva yang tinggi sehingga dapat melindungi keanekaragaman hayati laut.

1 suatu area yang mampu memberikan subsidi larva ke area lainnya. 2 suatu area yang menerima subsidi larva dari area lainnya. 3 suatu area yang mampu memproduksi larva untuk dirinya sendiri.

Page 68: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

73 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Dalam menganalisis lokasi yang memiliki nilai konservasi tinggi, peneliti menggunakan MARXAN. MARXAN atau Marine Reserved Design Using Spatially Explicit Annealling adalah sebuah program komputer yang membantu pengguna untuk menentukan bagaimana mengatur dengan baik pemanfaatan ruang baik di darat maupun di laut. Program ini dirancang untuk mengolah data yang terlalu besar dan kompleks jika diolah menggunakan operasi GIS sederhana. Pada prinsipnya MARXAN membantu memilih kawasan lindung yang memiliki nilai konservasi tinggi dengan biaya pengelolaan rendah (Watts, et al., 2013).

Luas unit heksagon dalam kajian ini ditetapkan sebesar 1000 ha (10.000.000 m2 = 10

km2). Dengan luas AOI sebesar 9.565.000 ha, maka jumlah planning unit yang dianalisis dalam kajian ini adalah 9565 unit. Skenario yang dibangun (Tabel 2) mengutamakan fitur konservasi, yaitu fitur-fitur yang merupakan representasi dari target perlindungan yang ingin dicapai. Sementara, fitur cost, yaitu fitur-fitur yang merupakan repsentasi dari dampak dari perencanaan kawasan, diabaikan atau dianggap sama untuk semua unit perencanaan.

Tabel 2. Skenario Analisis dan Sumber Data untuk Mengidentifikasi Lokasi dengan Nilai

Konservasi Tinggi di Provinsi Maluku

Fitur Sumber data Proses Prop SPF Luas Area Terpilih (ha)

Konservasi

Terumbu Karang One MAP BIG 2013

Intersect dengan KKP

0.3 0.5 202373.3875

Padang Lamun Analisis citra Landsat 5 Tahun 2011

Intersect dengan KKP

0.5 0.8 106575.8816

Mangrove Analisis Citra Landsat 5 Tahun 2011 Kemenhut, 2014

Intersect dengan KKP

0.5 0.8 111895.0702

Penyu Data kemunculan, WWF-ID 2007-2014

Buffer 1 km 0.3 0.3 11784.83257

Dugong Data kemunculan, WWF-ID 2007-2014

Buffer 1 km 0.3 0.3 91137.12571

Mamalia Laut Data kemunculan, WWF-ID 2007-2014

Buffer 5 km 0.5 0.3 100670.6291

Cost

Tidak ada

Proses persiapan data-data spasial untuk keperluan analisis ini dilakukan

menggunakan perangkat lunak QGIS 1.8 dengan tambahan plugin Qmarxan. Untuk memperoleh hasil terbaik, modifikasi skenario dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Zonae Cogito.

Hasil analisis spasial untuk mengkaji keterkaitan biofisik dan mengidentifikasi lokasi

dengan nilai konservasi tinggi kemudian dikaji secara deskriptif dan spasial, dengan teknik overlay, untuk membuat rekomendasi desain jejaring KKP.

Page 69: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

74 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

HASIL DAN PEMBAHASAN Keterkaitan Biofisik Melalui Analisis 3K

Keterwakilan habitat penting (mangrove, lamun dan terumbu karang) dalam KKP masih sangat kecil, dengan nilai rata-rata 3,84% dari luas total ketiga ekosistem ini di Provinsi Maluku. Ekosistem lamun memiliki representasi terendah (0,60%) diikuti oleh ekosistem mangrove (1,82%) dan ekosistem terumbu karang (5,27%) (Tabel 3). Secara keseluruhan, keterwakilan habitat penting ini masih jauh di bawah dari target optimal, yaitu minimal 20%. Keterulangan habitat penting di dalam KKP di Provinsi Maluku tergolong cukup baik, di mana tiap ekosistem utama terdapat di minimal 3 KKP (Tabel 3).

Tabel 3. Keterwakilan dan Keterulangan Habitat Penting dalam KKP di Provinsi Maluku

Nama Kawasan Mangrove Lamun Terumbu Karang

Keterwakilan habitat penting dalam KKP (terhadap luasan habitat penting di Provinsi Maluku

1,82% 0,60% 5,27%

Keterulangan habitat penting

TWAL Pulau Marsegu Ada Ada Ada

TWAL Pulau Kasa Ada Tidak ada Ada

TWAL Pulau Pombo Tidak ada Ada Tidak ada

TWP Laut Banda Tidak ada Ada Ada

KKPD Kab. Seram Bagian Timur Tidak ada Ada Ada

TPK Kab. Maluku Tenggara Ada Ada Ada

TWP Aru Tenggara Ada Tidak ada Ada

Untuk prinsip Konektivitas melalui keterkaitan jarak, hasil analisis menunjukkan

terdapat dua kelompok KKP yang terhubung pada jarak antara 10-100 km, sementara dua KKP terisolasi dari KKP lainnya (Gambar 1). KKP yang terisolasi dari KKP lainnya terletak di bagian tenggara Provinsi Maluku. Hal ini disebabkan karena minimnya jumlah KKP di lokasi ini dan bentuk geografis Provinsi Maluku yang didominasi oleh pulau-pulau yang terpisah cukup jauh.

Page 70: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

75 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 1. Keterkaitan Jarak antar KKP di Provinsi Maluku

Hasil analisis konektivitas larva menawarkan 100 solusi yang dapat dijadikan alternatif

usulan KKP dan salah satunya dianggap paling baik menjawab kebutuhan untuk memenuhi keterkaitan jarak antar KKP di Provinsi Maluku (Gambar 2). Gambar 2 memperlihatkan hasil analisis konektivitas larva di Provinsi Maluku di mana arsiran berwarna merah menunjukkan bahwa terumbu di lokasi tersebut memiliki nilai ekspor, self-replenishment, dan impor larva yang tinggi.

Page 71: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

76 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 2. Lokasi yang Memiliki Nilai Ekspor, Import dan Self-Replenishment Larva yang Tinggi

Berdasarkan Hasil Pemodelan Konektivitas Larva.

Nilai ekspor yang tinggi mengindikasikan kawasan tersebut dapat menyebarkan larva atau juwana ke lokasi-lokasi di sekitar, sehingga mampu meningkatkan kemampuan pulih jika lokasi-lokasi tersebut mengalami gangguan. Perlindungan lokasi-lokasi yang memiliki nilai ekspor larva yang tinggi, atau lokasi sumber larva, dapat meningkatkan kelimpahan dan biomassa ikan di perairan sekitar. Nilai self-replenishment dan impor larva yang tinggi yang mengindikasikan bahwa lokasi tersebut memiliki kemampuan dalam mempertahankan keanekaragaman hayati laut, integritas komunitas biota, dan regenerasi spesies karena memiliki daya lenting terhadap gangguan yang tinggi. Dari hasil pemodelan konektivitas larva, diketahui beberapa lokasi potensial di luar KKP yang sudah ada yang dapat diprioritaskan untuk dikonservasi.

Berdasarkan hasil analisis konektivitas larva di Provinsi Maluku, dapat diketahui

bahwa setidaknya terdapat 10 lokasi yang memiliki ketahanan perlindungan keanekaragaman hayati tinggi sekaligus mendukung produktivitas perikanan karena lokasi-lokasi ini menjadi sumber larva baik untuk lokasi tersebut maupun sekitarnya. Dari ke-10 lokasi tersebut, sudah terbentuk lima KKP di tiga lokasi yang terpilih.

Page 72: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

77 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Lokasi di Luar KKP dengan Nilai Konservasi Tinggi

Hasil analisis MARXAN menunjukkan terdapat beberapa lokasi di Provinsi Maluku yang memiliki frekuensi terpilih cukup tinggi, yaitu >35 kali dari 100 solusi. Semakin sering suatu kawasan terpilih secara frekuensi, ditandai oleh semakin gelap warna arsiran, maka semakin penting kawasan ini untuk dijadikan sebagai kawasan lindung. Gambar 3 memperlihatkan terdapat lima lokasi utama di Provinsi Maluku yang memiliki nilai konservasi yang paling tinggi, yaitu Pulau Luang dan laguna di sebelah baratnya (Maluku Barat Daya), bagian barat dan utara Kepulauan Tanimbar (Maluku Tenggara Barat), Kepulauan Kei Kecil (Maluku Tenggara) dan Kepulauan Tayando (Kota Tual), bagian timur Kepulauan Aru, serta Kepulauan Gorom (Seram Bagian Timur).

Gambar 3. Hasil Analisis MARXAN untuk Mengidentifikasi Lokasi yang Memiliki Nilai Konservasi

Tinggi di Provinsi Maluku

Dari kelima lokasi terpilih, tiga diantaranya telah dibangun KKP, yaitu Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Maluku Tenggara, dan Kabupaten Kepulauan Aru. Meski telah dibangun KKP. namun perlu diperhatikan di Kabupaten Seram Bagian Timur dan Kabupaten Kepulauan Aru, KKP yang sudah terbentuk luasannya jauh lebih kecil daripada lokasi terbaik hasil analisis MARXAN. Oleh karena itu, masih terbuka peluang untuk perluasan KKP atau penambahan KKP di kabupaten-kabupaten tersebut.

Desain Jejaring KKP di Provinsi Maluku

Provinsi Maluku saat ini sudah memiliki tujuh KKP yang tersebar di sisi utara dan timur Provinsi. Sebagai KKP tunggal, tiap KKP tersebut seharusnya dapat memenuhi target-target konservasi yang telah ditentukan sebelumnya. Namun, kebutuhan untuk menghubungkan antar KKP yang telah ada di Provinsi Maluku dalam bentuk jejaring KKP belum memiliki

Page 73: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

78 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

keterkaitan biofisik yang kuat sehingga pencapaian tujuan jejaring KKP untuk mendukung perlindungan habitat dan peningkatan produktivitas perikanan tidak dapat berjalan optimal. Berdasarkan analisis 3K, meski ketujuh KKP yang telah ada memiliki keterulangan habitat dan spesies penting yang baik, namun keterwakilan habitat kritis yang sudah dilindungi masih sangat kecil (3,8%) dibandingkan target minimum yang optimum (20%). Selain itu, apabila dilihat dari jarak antar KKP, baru 5 dari 7 KKP yang saling terkoneksi dengan jarak di bawah 100 km, sementara dua KKP lainnya terletak terisolir dari KKP lainnya.

Meski masih memiliki kelemahan dalam hal keterkaitan biofisik, ketujuh KKP yang

telah ada di Provinsi Maluku tetap berpotensi untuk saling berjejaring. Hal ini dimungkinkan karena Provinsi Maluku memiliki banyak lokasi potensial yang bernilai konservasi tinggi dan memiliki tingkat konektivitas larva yang luas, sehingga membuka peluang untuk membangun lebih banyak KKP atau memperluas KKP yang ada di masa depan. Selain itu, terdapat lembaga pengelola di tiap KKP yang bisa menjadikan dasar dalam membangun jejaring KKP di Provinsi Maluku, karena lembaga pengelola tersebut bisa saling berkoordinasi untuk mengimplementasikan rencana pengelolaan secara bersama dan terintegrasi antar KKP.

Berikut beberapa rekomendasi ilmiah yang dapat diadopsi dan diimplementasikan oleh

pemerintah dan pemangku kepentingan dalam membangun jejaring KKP yang tangguh di Provinsi Maluku:

1. Menambah jumlah KKP di lokasi-lokasi yang bernilai konservasi dan konektivitas larva

yang tinggi. Setidaknya terdapat delapan lokasi potensial yang tersebar di seluruh Provinsi Maluku yang potensial dijadikan KKP baru, yaitu terletak di Kabupaten Pulau Buru, bagian utara, selatan dan tenggara Pulau Seram, Kepulauan Tayando, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kepulauan Luang, dan Pulau Wetar (Maluku Barat Daya) (Gambar 5).

2. Memperluas KKP yang telah ada, khususnya yang berukuran sangat kecil, yaitu di

Kepulauan Aru, dan bagian Barat Pulau Seram (Gambar 5). Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa keseluruhan keragaman habitat dan spesies penting di satu lokasi terlindungi secara optimal berdasarkan prinsip 3K.

3. Memperkuat koordinasi antar lembaga pengelola di tiap KKP agar implementasi

rencana pengelolaan bisa berjalan secara berkesinambungan dan sinergis antar KKP. Hal ini dapat dilakukan dengan mengefektifkan lembaga formatur yang telah terbentuk agar dapat memotivasi, memfasilitasi, memantau dan mengevaluasi tiap lembaga pengelola secara berkala.

4. Meningkatkan efektivitas pengelolaan tiap KKP agar mampu memenuhi target

konservasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini bisa dipantau kemajuannya melalui evaluasi EKKP3K yang dilakukan tiap tahun. Peningkatan efektivitas pengelolaan juga termasuk melengkapi perangkat-perangkat pengelolaan seperti penetapan KKP, zonasi, rencana pengelolaan, dll.

Analisis Spasial untuk Menelaah Keterkaitan Biofisik Dalam Desain Jejaring KKP

Jejaring KKP bukanlah hal baru, dalam satu dekade belakangan berbagai praktisi dan peneliti dunia telah banyak mengkaji hal ini dan membuat berbagai desain yang disesuaikan dengan tujuan pengelolaan. Namun, di Indonesia pembentukan jejaring KKP baru mulai didorongkan oleh KemenKP tahun 2014 melalui penerbitan Peraturan Menteri No. 13/2014. Hampir tiga tahun setelah peraturan tersebut berlaku, pemerintah Indonesia masih belum mengeluarkan suplemen atau panduan detil dalam cara mendesain jejaring KKP berdasarkan keterkaitan biofisik, sosial-ekonomi dan tata kelola, serta indikator untuk memantau dan mengevaluasi performanya. Hal ini membuka kesempatan untuk para mitra

Page 74: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

79 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

dalam menguji coba berbagai metode terbaik yang bisa diimplementasikan dan diadopsi oleh pemerintah.

Analisis spasial melalui analisis 3K untuk melihat keterkaitan biofisik dan analisis

MARXAN untuk melihat gap konservasi merupakan salah satu metode terbaik yang bisa diadopsi dan direplikasi di lokasi lain. Analisis ini memiliki beberapa kelebihan, diantaranya: (1) seluruh parameter yang dipakai berdasarkan hasil kajian ilmiah, (2) dapat dilakukan pada area yang luas, bisa mencakup lebih dari satu provinsi, (3) dapat dilakukan meski data yang tersedia terbatas, (4) dapat melibatkan berbagai mitra dalam proses analisisnya, dan (5) dapat dikembangkan lebih jauh seiring dengan semakin baiknya data atau ilmu pengetahuan yang tersedia.

Metode ini telah diuji dan digunakan dalam membuat desain jejaring KKP di berbagai

lokasi, yaitu Provinsi Maluku, Bentang Laut Lesser Sunda (Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur), Bentang Laut Sulawesi Tenggara (Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Tengah), Sumatra bagian Barat (Provinsi Sumatra Utara dan Provinsi Sumatra Barat) dan Kepulauan Riau.

Meski metode ini telah banyak direplikasi, para pengambil keputusan perlu memahami

beberapa keterbatasan metode ini sehingga dapat mengantisipasinya dengan metode atau cara lain: (1) sebagian besar informasi yang digunakan adalah mengenai habitat dan keanekaragaman hayati, sementara informasi mengenai perikanan atau ancaman antropogenik lainnya belum sepenuhnya diakomodasi dalam analisis karena keterbatasan dan/atau ketiadaan informasi setingkat Provinsi atau regional, (2) faktor oseanografi tidak dianalisis secara terpisah, namun beberapa parameter oseanografi telah diintegrasikan dalam pemodelan konektivitas larva, dan (3) pemodelan konektivitas larva hanya bisa digunakan untuk kawasan Bentang Laut Sunda Banda, yaitu kawasan perairan yang meliputi tujuh Provinsi diantaranya Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku. Para pengambil keputusan bisa menggunakan pemodelan lain yang serupa untuk pembuatan desain jejaring KKP di luar ketujuh provinsi tersebut.

Analisis spasial yang direkomendasikan dalam kajian merupakan faktor kunci untuk

melihat keterkaitan biofisik dalam membangun desain jejaring KKP. Namun, selain keterkaitan biofisik, sesuai dengan Peraturan Menteri No. 13/2014, para pemangku kepentingan juga perlu mempertimbangkan faktor lain, berupa keterkaitan sosial-ekonomi dan keterkaitan tata kelola untuk memastikan desain jejaring KKP yang akan didorong dapat diterima oleh berbagai pihak dan dapat mengoptimalkan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi dari adanya jejaring KKP. KESIMPULAN

Jejaring KKP merupakan inisiatif yang baru didorongkan di Indonesia dalam tiga tahun terakhir dan dipercaya dapat meningkatkan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi dari KKP tunggal yang berjejaring. Kunci utama dalam membuat desain jejaring KKP yang tangguh, memiliki daya tahan dan daya lenting yang tinggi, adalah kuatnya keterkaitan biofisik antar KKP tunggal tersebut.

Analisis spasial dengan menggunakan analisis 3K (Keterwakilan, Keterulangan, dan

Konektivitas) untuk melihat keterkaitan biofisik dan analisis MARXAN untuk mengidentifikasi gap konservasi merupakan salah satu metode terbaik saat ini yang dapat digunakan untuk membuat desain jejaring KKP. Metode ini telah diadaptasi dan direplikasi di beberapa lokasi di Indonesia. Para pemangku kepentingan perlu memahami kelebihan dan kekurangan dari metode ini untuk mengurangi bias atau gap dalam analisis. Metode ini dapat dikembangkan lebih jauh seiring dengan berkembangnya data dan ilmu pengetahuan yang tersedia.

Page 75: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

80 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan dan Pembangunan Provinsi Maluku. 2007. Buku Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Propinsi Maluku, Ambon: Badan Perencanaan dan Pemmbangunan Provinsi Maluku.

Burke L., Reytar, K,, Spalding, M. and Perry, A. 2012. Reef at Risk Revisited in the Coral Triangle. s.l.:World Resource Institute..

Coral Triangle Initiative. 2017. About Coral Triangle. [Online] Available at: http://ctatlas.reefbase.org/coraltriangle.aspx [Accessed 14 Mei 2017].

Estradivari, et al. 2015. Status Sunda Banda Seascape. Jakarta: WWF-Indonesia Coral Triangle Program.

Estradivari, et al. 2015. Status Sunda Banda Seascape. Jakarta: WWF-Indonesia Coral Triangle Program.

Fernandes L, J, D. and A, L. 2005. Establishing Representative No-Take Areas in The Great Barrier Reef: Large-Scale Implementation of Theory on Marine Protected Areas. Conservation Biology, Issue 19. 1733-1744 pp.

Gaines S., White, C., Carr, M., and Palumbi, S. 2010. Designing Marine Reserve Networks for Both Conservation and Fisheries Management. Proceeding of the National Academy of Sciences 107: 18286-18293. s.l., s.n.

Green, A. et al. 2007. Scientific Design of a Resilient Network of Marine Protected Areas. Kimbe Bay, West New Britain, PapuaNew Guinea, West New Britain: TNC Pacific Island Countries Report No. 2/07.

Green A., White, A. and Kilarski, S., 2013. Designing Marine Protected Area Networks to Achieve Fisheries, Biodiversity, and Climate Change Objecives in Tropical Ecosystems: A practitioner guide, Cebu City, Philippines: The Nature Conservancy, and the USAID Coral Triangle.

Green S. et al. 2011. Emerging Marine Protected Area Networks in the Coral Triangle: Lessons and Way Forward. Conservation and Society, 9(173).

Handayani, C.N.N. Daniel, D. Estradivari and Mustofa, A. 2016. Hasil Kajian Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Maluku, Jakarta: WWF-ID.

Ilman M., Iwan, T. and Suryadiputra, I.N.N. 2011. State of the Art Information on Mangrove Ecosystems in Indonesia, Bogor: Wetlands International – Indonesia Programme.

IUCN-WCPA, I W C o P A. 2008. Establishing Marine Protected Area Networks—Making It Happen. Washington D.C.: IUCN-WCPA,National Oceanic and Atmospheric Administration and The Nature Conservancy.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2017. Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut. [Online] Available at: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/ [Accessed 5 Mei 2017].

Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2017. Pendekatan Ekosistem dalam Perikanan Indonesia. [Online] Available at: http://www.eafm-indonesia.net/data/status/714 [Accessed Juli 2017].

Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016. Grafik Produk Domestik Bruto (PDB) Sektor Perikanan Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2016 (Miliar Rupiah). In: Grafik Produk Domestik Bruto (Pdb) Sektor Perikanan Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2016 (Miliar Rupiah) (ed.). Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, 2017. Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut. [Online] Available at: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/ [Accessed 14 Mei 2017].

Krueck N. et al. 2017. Incorporating Larva Dispersal Into MPA Design For Both Conservation And Fisheries. Ecological Applications, 0(0). 1-17 pp.

Page 76: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

81 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

PISCO. 2007. The Science of Marine Reserves (2nd Edition, United States Version). Partnership for Interdisciplinary Studies of Coastal Oceans.22.. s.l.:www.piscoweb.org.

Prabuning D. et al., 2017. Status pemutihan karang akibat meningkatnya suhu permukaan air laut di Indonesia tahun 2016 [Presentasi]. Jakarta: Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 9-10 Mei 2017.

UNEP, 2006. Orals and Mangroves in the Front Line. In: UNITED NATIONS ENVIRONMENT PROGRAMME (ed.) Economic Case for Conservation of Corals and Mangroves Made in New UN Environment Report.. Paris/Nairobi: United Nations environment Programme.

UNEP-WCMC, 2008. National and Regional Networks of Marine Protected Areas: A Review of Progress, Cambridge: UNEP-WCMC.

Watts M. et al., 2013. Introduction to Marxan Course Manual Day 1. Queensland: University of Queensland.

WWF-Indonesia, 2017. Sea turtles. [Online] Available at: http://www.wwf.or.id/en/about_wwf/whatwedo/marine_species/how_we_work/endangered_marine_species/sea_turtles.cfm [Accessed 14 Mei 2017].

Page 77: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

82 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

STRATEGI PENGELOLAAN TAMAN PULAU KECIL PULAU PANJANG KABUPATEN JEPARA

Munasika*, Rudhi Pribadia, Ita Riniatsiha, Sri Rejekia, Sugiyantob

a Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan b Departemen Teknik Mesin, Fakulas Teknik

Universitas Diponegoro

*email: [email protected]

ABSTRAK Kawasan Konservasi Taman Pulau Kecil, Pulau Panjang, Kabupaten Jepara, memiliki potensi ekosistem pesisir terbaik di Semenanjung Muria, Jawa Tengah. Pulau Panjang adalah pulau kecil yang dikelilingi terumbu karang tepi dan ditumbuhi komunitas lamun pada sebagian rataan terumbunya. Sebagai pulau kecil yang berdekatan dengan pesisir kota Jepara, ancaman utamanya adalah penurunan kualitas perairan serta banyaknya pemanfaatan yang saling tumpang tindih, seperti kegiatan perikanan tradisional, wisata bahari dan pemanfaatan alur pelayaran. Akibatnya, daya dukung lingkungan menurun terlebih lagi dengan meningkatnya praktek perikanan yang tidak ramah lingkungan. Melalui Surat Keputusan Bupati Jepara No. 522.5.2/728 Tahun 2013 telah ditetapkan pencadangan Pulau Panjang sebagai Kawasan Konservasi Taman Pulau Kecil Kabupaten Jepara dan dikelola oleh suatu kelompok kerja. Pengelolaan kawasan konservasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas nilai sumber daya pesisir dan mengurangi ancaman kelestariannya. Untuk mengefektifkan pengelolaan maka telah dipraktekkan pengelolaan kolaboratif melalui partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan yaitu masyarakat nelayan, akademisi, pemerintah dan perusahaan. Restorasi ekosistem pesisir dan praktek perikanan berkelanjutan dilakukan oleh kelompok nelayan dengan dukungan teknologi yang dikembangkan oleh perguruan tinggi terdekat sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dengan dukungan CSR (tanggung jawab sosial) perusahaan yang berdekatan dengan pulau. Restorasi terumbu karang dan lamun serta rehabilitasi cemara laut bertujuan untuk menciptakan habitat baru dan melindungi pantai dari abrasi sehingga akan mendukung perwujudan ekowisata di kawasan konservasi ini. Program pengelolaan perikanan berkelanjutan telah mendorong kesadaran kelompok nelayan untuk melakukan restocking rajungan di kawasan ini. Pengelolaan kolaboratif kawasan Pulau Panjang ini akan mendorong pada kemandirian, karena masyarakat nelayan telah mendapatkan keuntungan ekonomi berupa meningkatnya pendapatan dan mata pencaharian alternatif. Perguruan tinggi dapat memanfaatkan program pengelolaan ini untuk pembelajaran dan pengembangan IPTEK konservasi laut, sedangkan perusahaan dapat mengimplementasikan program perlindungan keanekaragaman hayati untuk kepentingan kepatuhan perusahaan terhadap pengelolaan lingkungan. KATA KUNCI: Kawasan konservasi, taman pulau kecil pulau panjang, kabupaten

jepara, pengelolaan kolaboratif ABSTRACT Small Island Park of Panjang Island, located in the District of Jepara is composed best coastal ecosystem in the Muria Peninsular, Central Java. Panjang Island is a small island surrounded by coral reefs and seagrass communities in it reef flat. As a small island adjacent to the coastal town of Jepara, the main threat is the decline in the quality of the waters and the large number of utilization which overlap, such as traditional fishing activities, tourism, and line cruise. As a result, marine resources decline even more with increasing practice of fisheries that are not environmentally friendly. Through the Decree of the Regent

Page 78: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

83 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

of Jepara No. 522.5.2/728 2013 has been set as a conservation area Small Island Park of Panjang Island and is managed by a working group. Management of the conservation area aims to improve the quality of the coastal resource value and reduce the threat of preserved. Collaborative management has been practiced in the conservation area by active participation of stakeholders namely fisherman community, academia, governments, and corporations. Restoration of coastal ecosystems and sustainable fisheries practices carried out by a group of fishermen with support technology by a nearby college/university as a form of community services program with the support of CSR (corporate social responsibility) company which is adjacent to the island. Restoration of coral reefs and seagrass as well as coastal vegetation rehabilitation aims to create new habitats and protect from abrasion, so it will support the realization of ecotourism in this conservation area. Sustainable fisheries management program has encouraged awareness of fishermen's groups to undertake restocking of blue crab in the region. The Strategy of collaborative management will encourage independence of management in the future, because the communities have gained economic benefits by increasing both of income and livelihood alternatives. In addition, university can take advantage of this management programs for student learning and the development of marine conservation science and technology while the company can implement biodiversity protection program for the benefit of the company's compliance towards environmental management. KEYWORDS: Conservation area, small island park of panjang island, district of

Jepara, collaborative management PENDAHULUAN

Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, namun rentan terhadap gangguan lingkungan. Di lain pihak, tingginya pemanfaatan serta kompleksnya kegiatan di wilayah pesisir juga berpotensi mengancam kelestariannya. Pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan adalah pilihan bijak dalam mengatur pemanfaatan wilayah tersebut. Terbitnya Undang-undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 menjadi acuan strategis dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selanjutnya diharapkan menjadi payung hukum dalam pengembangan Kawasan Konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (KKP3K). Sebagai upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.

Pulau Panjang merupakan salah satu pulau yang dikategorikan sebagai pulau-pulau

kecil memiliki luas kurang lebih 21,1 ha yang terletak di Kelurahan Ujung Batu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara (6º34’30” LS dan 110º37’44” BT). Pantai Pulau Panjang berupa rataan terumbu, di bagian atas berpasir, sedangkan pada bagian daratan tertutup oleh vegetasi. Lereng terumbu dalam kategori landai hingga agak curam, dengan kemiringan. Pulau Panjang dikelilingi oleh terumbu karang tepi dari dataran terumbu kedalaman 0.5 m hingga kedalaman 7 m. Kondisi terumbu karang termasuk dalam kategori sedang, dengan persentase tutupan karang hidup sebesar 25-49 %, terbaik di kawasan Semenanjung Muria dan pantura Jawa Tengah (Munasik et., 2000; 2012). Komunitas lamun tumbuh rapat di rataan terumbu, tersusun atas 7 (tujuh) jenis lamun (Dislutkan Prov. Jateng, 2013).

Salah satu ancaman fisik pantai Pulau Panjang Kabupaten Jepara adalah abrasi,

berkurangnya daratan pantai akibat erosi di sisi atas angin dan akresi di sisi bawah angin pulau. Sedangkan ancaman lainnya adalah pengayaan bahan organik sehingga banyak ditemukan gejala penyakit karang di rataan terumbu sisi bawah angin (Sabdono et al., 2014). Atas dasar tingginya potensi sumber daya pesisir dan meningkatnya ancaman

Page 79: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

84 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

kelestariannya, maka pemerintah dan masyarakat berketetapan untuk menjadikannya sebagai kawasan konservasi.

Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan informasi upaya-upaya pengelolaan

Kawasan Konservasi Taman Pulau Kecil Pulau Panjang, Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah dan bertujuan untuk menunjukkan efektivitas pengelolaan kolaboratif yang diperankan oleh perguruan tinggi dan perusahaan setempat.

METODE PENELITIAN

Bahan kajian ini diperoleh dari pengamatan yang mendalam dan disarikan dari laporan tahunan pengelolaan kawasan konservasi Pulau Panjang, Kabupaten Jepara, yang didanai oleh program CSR perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tanjung Jati B (PLTU TJB) Jepara. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pulau Panjang Kabupaten Jepara telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi melalui Keputusan Bupati Jepara No. 522.5.2/728 Tahun 2013 tentang Pencadangan Kawasan Taman Pulau Kecil Pulau Panjang. Kawasan konservasi tersebut meliputi perairan dan daratan pulau seluas 180,13 ha (Gambar 1). Kawasan konservasi Pulau Panjang dikelola melalui pemintakatan (zonasi), yang meliputi zona inti, zona pemanfaatan, dan zona perikanan berkelanjutan. Zona Inti memiliki luas 6,09 ha, zona pemanfaatan sebesar 19,68 ha, dan zona perikanan berkelanjutan sebesar 154,36 ha.

Untuk mengelola kawasan konservasi telah dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten

Jepara sebuah Kelompok Kerja (Pokja) Pengelola dan Sekretariat Pokja Pengelola Kawasan Taman Palau Kecil Pulau Panjang, Kabupaten Jepara yang disahkan melalui Surat Keputusan Bupati Jepara No. 050/261 Tahun 2014 pada tanggal 12 September 2014.

Gambar 1. Peta Zonasi Kawasan Konservasi Pulau Panjang, Kabupaten Jepara

Pengelolaan Kawasan Konservasi Pulau Panjang, Kab. Jepara

Visi pengelolaan kawasan konservasi Pulau Panjang adalah terwujudnya kawasan Taman Pulau Panjang yang lestari, mandiri, dan berkelanjutan. “Adapun misi pengelolaan adalah melindungi, merehabilitasi sumber daya pesisir dan lingkungan laut kawasan Taman Pulau Kecil Pulau Panjang dengan menjamin keberlangsungan ekosistem pesisir terumbu

Page 80: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

85 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

karang, vegetasi pantai, dan lamun, serta meningkatkan pemanfaatan sumber daya dan lingkungan laut untuk wisata bahari dan usaha perikanan berkelanjutan. Dalam rangka merealisasikan misi pengelolaan, telah ditetapkan 3 (tiga) program utama pengelolaan, yaitu perlindungan vegetasi pantai, restorasi ekosistem terumbu karang dan lamun, serta perikanan rajungan berkelanjutan. Peta jalan konservasi Pulau Panjang (2015-2020) menetapkan capaian tertinggi adalah terciptanya wisata edukasi hutan cemara, wisata konservasi terumbu buatan dan pengelolaan kawasan yang mandiri.

Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi Pulau Panjang, Kab. Jepara

Tujuan pengelolaan kawasan konservasi Taman Pulau Kecil Pulau Panjang, Kab. Jepara adalah untuk meningkatkan kualitas nilai dan sumber daya pesisir dan mengurangi ancaman kelestariannya. Untuk efektivitas pengelolaan kawasan konservasi ini, maka praktek pengelolaan kolaboratif melalui partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan yaitu masyarakat nelayan, akademisi, pemerintah, dan perusahaan menjadi sangat strategis. Implementasi program konservasi, seperti restorasi terumbu karang dan lamun serta rehabilitasi cemara laut bertujuan untuk menciptakan habitat baru dan melindungi pantai dari abrasi, sehingga akan mendukung pemanfaatan untuk ekowisata. Program pengelolaan perikanan berkelanjutan telah mendorong kesadaran kelompok nelayan untuk melakukan restocking rajungan di kawasan ini. Pengelolaan kolaboratif kawasan Pulau Panjang ini akan mendorong kemandirian pengelolaan, karena masyarakat nelayan setempat mendapatkan keuntungan ekonomi serta menyediakan mata pencaharian alternatif.

Beberapa kelompok masyarakat telah memanfaatkan perairan Pulau Panjang

utamanya nelayan, pedagang, dan nelayan wisata. Kelompok masyarakat setempat antara lain adalah Nelayan Wisata Sapta Pesona (Perahu Wisata di Pantai Kartini) dan Wisata Bahari (Perahu Wisata di Pantai Bandengan), Juru Kunci Makam, Operator Mercusuar, kelompok Nelayan/Kelompok Usaha Bersama (KUB) Berkah Samudra, Pedagang kaki Lima Pulau Panjang dan Pemerhati Lingkungan, seperti Celcius dan mahasiswa Undip.

Secara umum, dalam pemanfaatan sumber daya pesisir Pulau Panjang sebagian

besar masyarakat telah mengetahui pentingnya ekosistem pesisir bagi kehidupan masyarakat pesisir. Menurut pengakuan dari Kelompok Nelayan Wisata Sapta Pesona pada acara Focus Group Discusion (FGD) 2015 bahwa ekosistem pesisir Pulau Panjang telah mendukung perekonomian baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu manfaat secara langsung dapat menanggulangi abrasi pantai dan menjadi daya tarik wisata bahari.

Masyarakat juga telah mengetahui bahwa kondisi terumbu karang di perairan Pulau

Panjang, Kabupaten Jepara masih baik namun tengah mengalami ancaman kerusakan akibat aktivitas manusia dan alam. Ancaman serius adalah penambangan karang dan pasir serta akibat gelombang saat musim Barat. Masyarakat sepakat bahwa kerusakan oleh manusia dilakukan oleh masyarakat pendatang. Masyarakat telah berinisiatif untuk melakukan penyelamatan, baik secara individual maupun oleh kelompok, yaitu Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas). Namun upaya-upaya tersebut belum optimal karena kurangnya dukungan organisasi dan fasilitas. Fungsi pengawasan dan penegakan aturan di kawasan konservasi Pulau Panjang belum mendapatkan perhatian dari pengelola dan pemerintah (Munasik, 2001). Hal ini yang mendorong perguruan tinggi berinisiatif untuk berkontribusi aktif dalam pengelolaan kawasan konservasi tersebut melaui pelaksanaan fungsi perguruan tinggi.

Sebagaimana misi perguruan tinggi, yaitu mengembangkan IPTEK untuk

memecahkan permasalahan masyarakat. Universitas Diponegoro (Undip) sebagai Perguruan tinggi yang memiliki Pola Ilmiah Pokok Pengembangan Wilayah Pesisir dapat memanfaatkan kawasan konservasi ini untuk pembelajaran dan pengembangan IPTEK

Page 81: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

86 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

konservasi laut. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Undip telah lama memanfaatkan perairan Pulau Panjang, Kab. Jepara sebagai laboratorium alam, baik untuk pembelajaran maupun pengembangan IPTEK Ilmu Kelautan.

Melalui kiprah para akademisinya dalam menyusun peta jalan pengembangan IPTEK

Konservasi Laut, Undip telah berkontribusi aktif dalam menginisiasi, merencanakan, dan turut mendesain kawasan konservasi tersebut. Selanjutnya Pemerintah berperan dalam menetapkan kawasan konservasi dan membentuk unit pengelola serta menetapkan zonasi kawasan. Untuk implementasi program pengelolaan kawasan konservasi, pebisnis melalui CSR perusahaan telah mendukung program pengelolaan kawasan konservasi. Kepedulian perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tanjung Jati B (PLTU TJB) Jepara melalui program perlindungan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi tersebut merupakan kepentingan kepatuhan perusahaan terhadap pengelolaan lingkungan.

Pengelolaan kolaboratif melalui partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan telah

menempatkan masyarakat setempat sebagai subyek dalam pengelolaan kawasan konservasi. Sebagai perwujudan Tri Dharma PT dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat, maka perguruan tinggi berkewajiban melakukan transfer of knowledge dan menumbuhkan keterampilan praktis kepada masyarakat melalui penerapan IPTEK. Melalui program pengabdian kepada masyarakat, Undip telah mengembangan SDM nelayan wisata melalui pelatihan dan sertifikasi selam kepada kelompok nelayan (Indarjo et al., 2014).

Inovasi, sebuah penemuan baru yang dihasilkan dari Perguruan Tinggi dipercaya

dapat mempengaruhi perubahan budaya masyarakat. Perguruan Tinggi memiliki sumber daya yang sangat memadai dalam penerapan IPTEK. Penerapan IPTEK oleh akademisi dengan melibatkan mahasiswa berpotensi menyadarkan masyarakat akan pentingnya pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan. Untuk keberhasilan proses penerapan IPTEK ini, perguruan tinggi harus fokus terhadap kelompok masyarakat yang berkeinginan maju serta berorientasi ke masa depan (Tarmudji, 1991), yaitu KUB Berkah Samudra dan Nelayan Wisata. Kontribusi Undip dalam penerapan IPTEK di kawasan konservasi Pulau Panjang, salah satunya adalah inovasi restorasi terumbu karang dengan metode Artificial Patch Reef (APR). APR adalah sebuah pemikiran baru dalam restorasi terumbu karang yang memadukan IPTEK struktur modular beton ringan dengan IPTEK perkembangbiakan koloni karang (Munasik dan Sugiyanto, 2015).

Masyarakat pesisir Jepara mampu menerima inovasi IPTEK terumbu buatan APR

yang diterapkan sejak pertengahan 2015. Beberapa alasan mengapa APR dapat diterima oleh masyarakat antara lain adalah karena APR sebuah teknologi tepat guna yang bersifat padat karya dan berhasil menumbuhkan habitat baru terumbu karang. Masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam mengembangkan teknologi terumbu buatan tersebut. Terumbu buatan APR telah menjadi aset masyarakat setempat sebagai obyek wisata baru. Masyarakat turut menjaga aset tersebut karena dapat memberikan tambahan ekonomi. Hal ini ditandai dengan munculnya usaha baru dari masyarakat nelayan berupa penyewaan peralatan selam snorkeling dan paket wisata selam. Inovasi terumbu buatan APR juga telah mempengaruhi cara berpikir masyarakat setempat dalam memahami perkembangbiakan karang serta cara pelestariannya. Dengan kata lain, implementasi program restorasi terumbu karang dalam pengelolaan kawasan konservasi Pulau Panjang telah memberikan kesadaran lingkungan bagi masyarakat setempat. Pengembangan IPTEK terumbu buatan diharapkan mampu menjadi model dalam memecahkan masalah konservasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Masyarakat pesisir Jepara juga mampu mengintegrasikan masuknya budaya luar

(masuknya IPTEK) dengan budaya asli. Hal ini ditunjukkan oleh kreativitas nelayan KUB Berkah Samudra dalam menyikapi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikan No. 1 Tahun 2015 dalam praktek penangkapan rajungan di perairan Pulau Panjang, yaitu dengan

Page 82: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

87 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

mengelola rajungan bertelur. Rajungan bertelur yang telah tertangkap oleh kelompok nelayan tersebut tidak langsung dijual di pasar, tetapi dipelihara hingga memijah. Akademisi Undip memfasilitasi penerapan IPTEK pemeliharaan induk dan restocking rajungan alami. Penerapan IPTEK terumbu buatan dan restocking rajungan di perairan Pulau Panjang diharapkan dapat membentuk budaya IPTEK di masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

KESIMPULAN

Pengelolaan kolaboratif dengan menempatkan perguruan tinggi berperan aktif dalam penerapan inovasi IPTEK kepada masyarakat serta dukungan CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan telah menciptakan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi Taman Pulau Kecil Pulau Panjang, Kabupaten Jepara. Model pengelolaan ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan dan pulau-pulau kecil ke depannya. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Yayasan Taka atas bantuan administrasi program, Terima kasih juga untuk Unit Kegiatan Mahasiswa MDC (Marine Diving Club), Kesemat (Kelompok Studi Mangrove Teluk Awur) Universitas Diponegoro atas bantuan dalam memfasilitasi program di Kawasan Konservasi Pulau Panjang.

DAFTAR PUSTAKA Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jateng. 2013. Rencana Pengelolaan dan Zonasi

Kawasan Konservasi Pulau Panjang, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah.

Indarjo, A. Munasik, M. Helmi. 2012. Pemberdayaan Nelayan Wisata di Pantai Kartini, Jepara. Laporan Pengabdian kepada Masyarakat BOPTN. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Universitas Diponegoro, Semarang.

Munasik. 2001. Pendayagunaan Pulau Panjang Jepara Sebagai Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan. Vol. 21. No. 4. 267-273 pp.

Munasik, W. Widjatmoko, E. Soefriyanto, Sri Sejati. 2000. Struktur Komunitas Karang Hermatipik di Perairan Jepara. Ilmu Kelautan. 19(V). 217-224 pp.

Munasik, Ambariyanto, A. Sabdono, Diah Permata W., O.K. Radjasa, R. Pribadi. 2012. Sebaran Spasial Karang Keras (Scleractinia) di Pulau Panjang, Jawa Tengah. Buletin Oseanografi Marina. April Tahun 2012 Vol. I.16-24 pp.

Munasik dan Sugiyanto. 2015. Uji Coba Transplantasi Pada Terumbu buatan Artificial Patch Reef (APR). Proseding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang November 2015.

Sabdono A., O.K. Radjasa, Ambariyanto, A. Trianto, D.P. Wijayanti, D. Pringgenies, Munasik. 2014. An Early Evaluation of Coral Disease Prevalence on Panjang Island, Java Sea, Indonesia. Int. J Zool. Res. 10. 20-29 pp.

Tarmudji T. 1991. Aspek dasar kehidupan sosial. Penerbit Liberty. Yogyakarta

Page 83: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

88 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT PEMILIK HAK SUMBER DAYA PERAIRAN DI

BENTANG LAUT KEPALA BURUNG PAPUA

Dariani Matualagea*, Fitryanti Pakidinga, Michael Masciab, Louise Glewc, Yori Turu Tojad, Albertus Girik Alloe, Kezia Sallosod, Fadli Zainuddind, Marjan Batod

a Center of Excellence untuk Pembangunan Berkelanjutan (CoE LP2M), Universitas Negeri Papua

b Conservation International c WWF-US

d Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Papua e Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Papua

*email: [email protected]

ABSTRAK Bentang laut kepala burung (BLKB) Papua terletak di segitiga karang dunia dan merupakan pusat keanekaragaman hayati laut tertinggi dunia. Kekayaan sumber daya laut ini sangat bermanfaat bagi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut terutama bagi masyarakat yang memiliki hak atas sumber daya perairan untuk mendapatkan penghasilan yang berkelanjutan serta sumber protein untuk kelangsungan hidupnya. Namun, pada tahun 2015 Badan Ketahanan Pangan Indonesia (BKPI) mengkategorikan masyarakat di wilayah BLKB dalam kategori rawan pangan. BKPI mengkategorikan status ketahanan pangan berdasarkan informasi agregat sehingga informasi mengenai status ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga masih belum tersedia. Sebagai contoh, masyarakat di Papua memiliki struktur sosial yang membedakan hak pemanfaatan sumber daya alam di antara warga masyarakat. Semakin tinggi hak kepemilikan sumberdaya alam maka kemampuan untuk menyediakan sumber daya alam seharusnya menjadi lebih tinggi. Penelitian ini berupaya untuk mengkaji bagaimana fenomena ini berkembang di antara masyarakat yang hidup di kawasan konservasi perairan (KKP)-BLKB. Mengadaptasi modul survei ketahanaan pangan rumah tangga USA, kami melakukan survei terhadap status ketahanan pangan rumah tangga dengan melakukan survei lebih dari 6.000 rumah tangga di seluruh bentang laut kepala burung. Hasil yang diperoleh adalah masyarakat yang memiliki hak untuk melarang orang lain mengakses sumber daya perairan maupun masyarakat yang memiliki hak untuk menjual atau menyewakan haknya terhadap sumber daya perairan yang memiliki status ketahanan pangan yang paling rendah dibandingkan dengan masyarakat yang tidak memiliki hak tersebut. Pengkajian lebih dalam diperlukan untuk mengetahui bagaimana KKP berkontribusi terhadap hasil tersebut dan faktor-faktor sosial yang membentuk kesimpulan dalam penelitian ini. KATA KUNCI: Bentang laut kepala burung, pemilik hak sumber daya perairan, pangan

Page 84: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

89 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

KONSERVASI PENYU BELIMBING DI BENTANG LAUT KEPALA BURUNG PAPUA MELALUI PEMBERDAYAAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT PEMILIK PANTAI

PENELURAN

Deasy Lontoha*, Fitryanti Pakidingb, Kartika Zohara

a Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Papua b Fakultas Teknologi Pertanian, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas

Papua

*email: [email protected]

ABSTRAK Masyarakat Abun adalah pemilik Jamursba Medi dan Wermon, dua pantai peneluran penting bagi penyu belimbing di Pasifik. Walau berada di pesisir, mata pencaharian utama penduduk di Abun adalah petani, dan kelapa dan pisang adalah komoditas utama. Pemasaran hasil pertanian dan buruan menjadi kendala utama dalam pertumbuhan ekonomi lokal karena lokasi kampung yang terisolasi dengan akses transportasi yang sangat terbatas dan jadwal yang tidak menentu. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan memperpanjang umur simpan produk hasil pertanian melalui proses pengolahan yang sederhana. Proses pengolahan mengarah ke orientasi industri skala mikro maupun kecil sehingga dengan demikian dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Kami menempatkan pendamping pengolahan di tiga kampung yang bertugas untuk melatih masyarakat membuat minyak kelapa dan kripik pisang secara higienis. Antara Juni 2016 dan Maret 2017, pendamping pengolahan kami bersama masyarakat menghasilkan 83 kg kripik pisang dan 368 liter minyak kelapa. Di Manokwari, produk-produk tersebut kemudian dikemas, diberikan label, dan dipasarkan oleh pendamping pemasaran. 70-100% produk berhasil dipasarkan. Dalam periode tersebut, masyarakat lokal mendapatkan penghasilan tambahan sekitar 16 juta rupiah dari pembelian bahan baku, pembayaran jasa parut kelapa dan jasa transportasi (menggunakan perahu masyarakat). Para pendamping pengolahan membeli bahan baku atau menggunakan jasa parut dari keluarga yang berbeda-beda dalam setiap proses produksi supaya keuntungan dari program ini dirasakan masyarakat luas. Masyarakat yang berpartisipasi mendapatkan paket berisi kebutuhan keluarga seperti gula, teh, kopi, dan deterjen. Dengan kondisi perekonomian keluarga yang lebih baik, diharapkan peran serta masyarakat dalam program konservasi penyu belimbing pun akan semakin meningkat. KATA KUNCI: Pemberdayaan perekonomian, pemberdayaan perekonomian, bentang laut kepala burung

Page 85: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

90 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

PEMANTAUAN KESEHATAN TERUMBU KARANG UNTUK MELIHAT EFEKTIVITAS

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BERBASIS ZONASI DI TAMAN NASIONAL TELUK CENDERAWASIH

Evi Nurul Ihsana*, Estradivarib,Amkieltielab, La Hamidc, Mulyadic, Purwantod, Dedi

Parendene dan Juswono Budisetiawana

a WWF Indonesia Site Taman nasional Teluk Cenderawasih b WWF Indonesia

c Balai Besar Taman Nasional Teluk cenderawasih d The Nature Conservancy Coasts and Ocean program

e Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Papua

*email : [email protected]

ABSTRAK KKP di Indonesia umumnya dikelola dengan menggunakan sistem zonasi dengan berbagai peruntukan yang berbeda dengan perencanaan pengelolaan untuk melindungi sumber daya dan habitatnya yang berada di dalam KKP tersebut. Untuk melihat dan mengukur keberhasilan dari sistem yang dibangun dan digunakan dalam Kawasan konservasi laut tersebut. Kami melakukan pemantauan ekologi terumbu karang secara rutin pada 28 titik di dalam kawasan TNTC (Taman Nasional Teluk Cenderawasih) yang mewakili berbagai zonasi untuk melihat efektivitas pengelolaan KKP. Tim mengumpulkan data komunitas bentik, kelimpahan, dan biomasa ikan dengan menggunakan metode titik garis menyinggung, sensus visual bawah air, dan estimasi panjang ikan. Komunitas bentik di TNTC dalam kondisi yang relatif baik dengan tutupan karang yang cukup tinggi (35,7% ± 1.7). Namun ditemukan dua tanda-tanda perbaikan ekosistem, yaitu peningkatan yang signifikan dalam tutupan karang lunak (6.4% ± 0.8%) dan di crustose koralin alga (4.3% ± 0.8%). Meskipun, pecahan karang tetap tinggi di TNTC sebesar (29,0% ± 2.5). Secara keseluruhan biomassa ikan di TNTC relatif stabil antara tahun 2011 dan 2016, kelompok ikan herbivora (251,2 kg/ha) dan kelompok ikan bernilai ekonomis tinggi (145,7 kg/ha). Penurunan nilai biomassa ikan didominasi pada kelompok ikan kerapu dan bibir tebal. KATA KUNCI: Biomassa ikan, karang, ikan terumbu, KKP ABSTRACT MPA (Marine Protected Area) in Indonesia is generally managed using a zoning system with different allocations with management planning to protect the resources and their habitats within the MPA. To see and measure the success of the systems built and used in the Marine Conservation Area. We regularly monitor the ecology of coral reefs at 28 points within the TCNP (Teluk Cenderawasih National Park) all site representing various zonations to see the effectiveness of MPA management. The team collected data on benthic communities, abundance, and biomass of fish using point intercept intercept, underwater visual census and fish length estimation. The benthic communities in TCNP are relatively well with relatively high coral cover (35.7% ± 1.7). However, two signs of ecosystem improvement were significant increases in soft coral cover (6.4% ± 0.8%) and in crustose algae coral (4.3% ± 0.8%). Although, coral fragments remain high in TCNP (29.0% ± 2.5). Overall fish biomass in TCNP was relatively stable between 2011 and 2016, herbivorous fish group (251.2 kg/ha) and fish group with high economic value (145.7 kg/ha). The decrease of fish biomass value is dominated by grouper and Sweetlips. KEYWORDS: Fish biomass, coral, reef fish, MPA

Page 86: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

91 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

PENDAHULUAN

Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) adalah Kawasan Konservasi Perairan (KKP) terbesar kedua di Indonesia, yang mencakup 1,4 juta hektar (14.000 kilometer persegi) di kawasan Bentang Laut Kepala Burung. TNTC ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut pada tahun 2002, dan merupakan salah satu KKP tertua di Indonesia. TNTC adalah rumah bagi lebih dari 500 spesies karang dan 950 spesies ikan terumbu, yang beberapa diantaranya endemik, serta beberapa spesies megafauna termasuk hiu paus (Rhinocodon typus) (Conservation International, 2006).

TNTC menggunakan beberapa strategi manajemen dalam mengelola kawasan,

termasuk rencana pengelolaan, badan pengelola (Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih), patrol rutin penegakan hukum, pemantauan pamanfaatan sumber daya secara reguler, dan sistem zonasi. Namun demikian, pelanggaran masih terjadi di seluruh kawasan TNTC karena lemahnya penegakan hukum. Pelanggaran yang paling umum adalah memancing di kawasan zona inti dan memancing tanpa mempunyai izin (Wayoi et al., 2013). Rencana zonasi TNTC mengintegrasikan pemanfaatan sumber daya secara tradisional dan informasi ilmiah untuk selanjutnya secara simultan digunakan untuk mengelola aktivitas perikanan, perubahan iklim, dan tujuan keanekaragaman hayati. Pada awal 2016, Balai Taman Nasional Teluk Cenderawasih mulai meninjau keefektifan sistem zonasi saat ini sebagai bagian dari proses manajemen yang adaptif. METODE PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendukung kajian sistem zonasi dengan memberikan informasi mengenai kondisi ekologis terumbu karang TNTC di setiap zona. Pada tahun 2011, WWF-Indonesia dan mitra melakukan pemantauan ekologis pertama terhadap 28 lokasi di seluruh TNTC. 28 situs yang sama dipantau lagi pada bulan April 2016 oleh tim kolaboratif dari WWF-Indonesia, BBTNTC, UNIPA, TNC, dan CI.

Page 87: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

92 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 1. Peta lokasi pengambilan data di dalam dan di luar kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih.

Tim ahli mengumpulkan data komunitas bentik, kelimpahan ikan, dan ukuran ikan

dengan menggunakan metode campuran termasuk titik transek menyinggung, sensus visual bawah air, dan berenang panjang. Informasi lebih lanjut tentang pemilihan lokasi, metode, dan analisis rinci tersedia di Ahmadia et al. (2014) dan Amkieltiela dan Wijonarno (2015).

Page 88: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

93 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 2. Ilustrasi pengamatan kesehatan terumbu karang (Ahmadia et al., 2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3. Tutupan karang keras hidup (kiri) dan biomasa ikan (6 indikator famili kunci: Acanthuridae, Scaridae, Siganidae, Haemulidae, Lutjanidae dan Serranidae, kanan) di Taman Nasional Teluk

Cenderawasih (inset, kanan atas) pada tahun 2016.

Page 89: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

94 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Tutupan karang relatif tidak berubah sejak pemantauan 2011 di TNTC. Biomassa Famili ikan fungsional meningkat sejak 2011, sementara biomassa famili ikan ekonomis penting relatif tidak berubah bahkan cenderung menurun.

Tabel 1. Tutupan Komunitas Tutupan komunitas bentik (%) Biomassa ikan (kg / ha)

Karang Keras 35.7 ± 1.7 Ikan Fungsional 251.2 ± 60.7

Karang Lunak 6.4 ± 0.8 Acanthuridae 138.5 ± 40.5

Karang Memutih 0.0 Scaridae 64.1 ± 16.6

Pecahan Karang 29.0 ± 2.5 Siganidae 48.5 ± 35.5

Alga Koralin Crustose 4.3 ± 0.8 Ikan Ekonomis Penting 145.7 ± 33.4

Alga 21.2 ± 2.1 Haemulidae 9.6 ± 4.9

Lutjanidae 124.1 ±31.2

Serranidae 12.0 ± 2.2

Tabel 1 menunjukan tutupan komunitas bentik dan biomassa famili ikan fungsional dan famili ikan ekonomis penting di Taman Nasional Teluk Cenderawasih pada tahun 2016. Semua nilai ± adalah Standar error.

Komunitas bentik di TNTC berada dalam kondisi yang relatif baik dengan tutupan

karang keras hidup yang cukup tinggi (35,7%, Tabel 1). Nilai tutupan ini lebih besar dari pada tutupan karang keras hidup rata-rata di seluruh KKP yang di kawasan bentang laut kepala burung (28,7% pada tahun 2015; Glew et al., 2015). TNTC telah ditetapkan menjadi KKP yang lebih berumur lama dari pada KKP lainnya di kawasan ini, perlindungan dan pengelolaan yang sudah dilakukan selama ini cukup membantu mempertahankan tutupan karang pada kondisi cukup baik hingga saat ini.

Kondisi tutupan komunitas bentik telah meningkat sedikit sejak pemantauan pertama

pada tahun 2011. Hal ini senada dengan rata-rata KKP di kawasan indo-pasifik yang mengalami penurunan tutupan karang keras hidup 5 tahun sejak ditetapkan sebagai KKP, dan mulai mengalami kenaikan tutupan karang secara signifikan sebanyak 2% per tahun setelah 22 tahun ditetapkan sebagai KKP (Selig, 2010). Dua tanda perbaikan adalah peningkatan yang signifikan pada tutupan karang lunak dan pada alga koraline crustose (CCA) (Gambar 4, Tabel 2). CCA menyediakan tempat bagi larva karang untuk menetap dan tumbuh yang kemudian dapat membentuk sebuah koloni besar. Meskipun tutupan pecahan karang tetap tinggi di seluruh kawasan TNTC (29,0%, Tabel 1, Gambar 4), yang menunjukkan bahwa kerusakan fisik pada terumbu karang tidak menurun dalam 5 tahun terakhir.

Sistem zonasi saat ini tampaknya memiliki dampak terbatas pada kondisi komunitas

bentik di ekosistem terumbu karang. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada kondisi komunitas bentik antara zona inti dan zona pemanfaatan di TNTC. Tutupan karang keras hidup tetap tinggi dan stabil di kedua zona, CCA dan karang lunak memiliki kecenderungan tren peningkatan yang positif di kedua zona tersebut, sedangkan pecahan karang tetap tinggi di kedua zona (Gambar 4, Tabel 2).

Page 90: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

95 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Tutupan komunitas Bentik pada tahun 2011 dan 2016

Gambar 4. Rata-rata (± SE) Tutupan Komunitas

Gambar 4 menunjukan tutupan komunitas bentik selama dua kali pemantauan di Taman

Nasional Teluk Cenderawasih. Karang Keras (a) mencakup semua bentuk pertumbuhan karang dari karang keras; Karang lunak (b) mencakup oksioksi seperti gorgonia dan cambuk laut; (c) pecahan karang; karang mati (d) termasuk karang mati yang tidak ditumbuhi alga atau CCA; Alga lainnya (e) mencakup semua rumput laut dan makroalga selain Crustose Coralline Algae (CCA, di panel f). batang hijau gelap menunjukkan perbedaan yang signifikan antara tahun 2011 dan 2016.

Tabel 2. Hasil Uji Dua Factor ANOVA Menguji Perbedaan dari Waktu ke Waktu (Tahun) dan antara Zona Larang Tangkap dan Zona Pemanfaatan dalam Rata-Rata Tutupan Komunitas

Bentik.

Tahun

Apakah terjadi perubahan seiring pertambahan waktu

Zona

Apakah terjadi perbedaan antara zona larang tangkap dan zona pemanfaatan?

Interaksi

Apakah terjadi perubahan dengan cara yang berbeda antara zona larang tangkap dan zona pemanfaatan

Tren tidak signifikan

Tren signifikan

Page 91: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

96 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Tahun

Apakah terjadi perubahan seiring pertambahan waktu

Zona

Apakah terjadi perbedaan antara zona larang tangkap dan zona pemanfaatan?

Interaksi

Apakah terjadi perubahan dengan cara yang berbeda antara zona larang tangkap dan zona pemanfaatan

Gambar 3a) Karang keras 0.219 0.374 0.607

3b) Karang Lunak 0.001 0.325 0.554

3c) Pecahan Karang 0.321 0.286 0.286

3d) Karang Mati 0.293 0.515 0.178

3e) Alga 0.464 0.513 0.706

3f) Alga Koraline Krustose

0.002 0.128 0.082

Secara keseluruhan biomassa ikan di TNTC relatif berada dalam kondisi stabil antara

tahun 2011 dan 2016, namun biomassa kedua famili ikan fungsional (251,2 kg/ha, Tabel 1) dan famili ekonomis penting (145,7 kg/ha, Tabel 1) memiliki nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata biomassa ikan di seluruh KKP yang berada di dalam kawasan bentang laut kepala burung (380,7 dan 240,5 kg/ha ; Glew et al., 2015). Biomassa Famili Serranidae dan Haemulidae menurun sejak 2011 (Gambar 5, Tabel 3), kedua famili tersebut menjadi sasaran utama tangkapan nelayan di kawasan TNTC, terutama spesies Epinephelus fuscoguttatus, E. polyphekadion, dan Plectropomus areolatus, yang semakin sulit ditemukan dan ditangkap telah menurun dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini mengakibatkan nelayan mulai menangkap spesies yang sebelumnya tidak ditargetkan, seperti P. oligocanthus, Variola louti, dan V. albomarginata (Tania et al., 2013). Berbeda dengan penurunan biomassa famili ekonomis penting, biomassa famili ikan fungsional, terutama Acanthuridae dan Scaridae, meningkat sejak 2011 (Gambar 5, Tabel 3).

Skema pengelolaan berbasis zonasi pada zona larang tangkap dan zona pemanfaatan

tampaknya berfungsi untuk beberapa sasaran perikanan tangkap. Total biomassa ketiga famili bernilai ekonomis penting (Serranidae, Haemulidae, dan Lutjanidae) secara signifikan memiliki nilai yang lebih tinggi pada zona larang tangkap dibandingkan pada zona pemanfaatan (p = 0,027, Gambar 5a, Tabel 3), Meskipun kedua zona tersebut memiliki biomassa yang berbeda pada tahun 2011. Oleh karena itu, seiring dengan perubahan waktu dari tahun 2011 dan 2016 sistem zonasi mungkin telah mempertahankan perbedaan yang ada sebelumnya di antara lokasi pada semua zona, namun tidak berkontribusi pada peningkatan biomassa ikan terumbu secara keseluruhan. Namun, zonasi tampaknya tidak berpengaruh pada biomassa famili ikan fungsional, karena tidak ditemukan perbedaan yang sangat signifikan dalam nilai biomassa ikan untuk spesies tersebut diantara zona larang tangkap dan zona pemanfaatan di kawasan TNTC (Gambar 5, Tabel 3).

Implementasi zona larang tangkap telah menunjukan tren yang positif namun belum

sepenuhnya efektif. Aktivitas perikanan tangkap masih sering terjadi di zona larang tangkap, namun hanya 4-5% dari total aktivitas penangkapan ikan di TNTC (Wayoi et al., 2013, Ihsan 2016). Pelanggaran penangkapan ikan semacam itu dapat membantu menjelaskan mengapa zona larang tangkap memiliki efektivitas yang terbatas.

Sementara itu pada zona pemanfaatan terjadi tekanan pada aktivitas penangkapan

ikan yang meningkat, terutama dari nelayan luar. Pada 2016, sebanyak 75% nelayan di TNTC berasal dari luar kawasan TNTC (Ihsan, 2016). Hampir semua nelayan ini

Page 92: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

97 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

menggunakan jaring terapung (bagan perahu), di mana mereka bisa mengejar sampai beberapa ton ikan per hari. Sebaliknya, nelayan lokal hanya menggunakan metode penangkapan ikan tradisional dan menangkap ikan kurang dari 10 kg per hari. Tekanan pada aktivitas perikanan tangkap di kawasan TNTC akan segera mencapai tingkat yang tidak berkelanjutan jika nelayan bagan perahu tidak diatur dengan baik.

Tabel 3. Hasil Uji Dua Faktor ANOVA

Tahun

Apakah terjadi perubahan seiring pertambahan waktu

Zona

Apakah terjadi perbedaan antara zona larang tangkap dan zona pemanfaatan?

Interaksi

Apakah terjadi perubahan dengan cara yang berbeda antara zona larang tangkap dan zona pemanfaatan

Gambar 4a) Ikan Ekonomis 0.116 0.027 0.201

4b) Serranidae <0.001 0.384 0.348

4c) Lutjanidae 0.346 0.003 0.568

4d) Haemulidae 0.030 0.981 0.126

Gambar 4e) Ikan fungsional 0.006 0.501 0.892

4f) Acanthuriadae <0.001 0.570 0.716

4g) Scaridae <0.001 0.576 0.556

4e) Siganidae 0.241 0.403 0.683

Tabel 3 menunjukan hasil uji dua factor ANOVA menguji perbedaan dari waktu ke waktu (tahun) dan antara zona larang tangkap (NTZ) dan zona pemanfaatan (UZ) dalam biomassa famili ikan kunci yang bernilai ekonomis penting dalam perikanan dan untuk fungsi ekologis. Data biomassa log + 1 ditransformasikan untuk memenuhi asumsi distribusi normal.

Page 93: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

98 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Biomassa Ikan pada Tahun 2011 dan 2016

Gambar 5. Rata-Rata (± SE) Biomassa Famili Ikan Kunci yang Bernilai Ekonomis Penting dalam Perikanan dan untuk Fungsi Ekologis di Kawasan TNTC.

Gambar 5 menunjukan Panel kiri: (a) jumlah tiga famili ikan kunci, (b) Serranidae, (c)

Lutjanidae, dan (d) Haemulidae. Panel kanan: (e) jumlah tiga famili ikan fungsional, (f) Acanthuridae, (g) Scaridae, dan (h) Siganiade. Batang hijau gelap menunjukkan perbedaan yang signifikan antara tahun 2011 dan 2016.

Dari 28 lokasi di TNTC yang memiliki nilai yang bervariasi, baik pada tutupan karang

maupun biomassa ikan, tidak ditemukan pola yang konsisten terkait hubungan antara tutupan karang dan biomassa ikan. Misalnya, Pulau Nummamurang (zona larang tangkap) dan Yomber (zona pemanfaatan) memiliki nilai tutupan karang keras hidup di atas dari 50%, namun nilai biomassa ikan berada di bawah rata-rata, sementara Tanjung Yenembre (zona larang tangkap) dan Pulau Row (Zona pemanfaatan) keduanya memiliki pola yang berlawanan dengan tutupan karang keras di bawah rata-rata namun memiliki nilai biomassa ikan di atas rata-rata (Gambar 6a-c).

Trend is not significant

significant

Trend is significant

Page 94: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

99 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 6. Rata-Rata Tutupan Karang Keras Hidup (a), Biomassa Keluarga Perikanan Bernilai Ekonomis Tinggi (b), dan Biomassa Keluarga Ikan Fungsional (c) di Setiap Lokasi di Taman Nasional

Teluk Cenderawasih pada Tahun 2016.

Pada Gambar 6, area berbayang menunjukkan lokasi di Zona non-tangkap. Garis putus-putus horizontal menunjukkan nilai rata-rata keseluruhan untuk semua lokasi di kedua zona.

Delapan lokasi yang memiliki nilai biomassa ikan yang tinggi pada famili ikan

fungsional juga memiliki nilai biomassa yang tinggi pada famili ikan ekonomis penting (Gambar 5 bc; Tridacna Reef, Tanjung Warsumbin, Pulau Pepaya, Tanjung Mangguar, Tanjung Yenembre, Pulau Matas, Pulau Row, dan Pulau Nutabari). Kebanyakan dari lokasi ini memiliki lereng terumbu yang curam atau dinding dengan gua. Lokasi seperti ini merupakan alur arus yang menyediakan habitat bagi ikan berukuran besar; gerombolan ikan yang sangat besar tercatat di Tanjung Yenembre (Siganidae) dan Pulau Matas (Lutjanidae). Namun, tidak ditemukan adanya hubungan yang konsisten antara biomassa ikan dan tutupan karang di lokasi ini. Dengan variasi spesifik pada beberapa lokasi di kawasan TNTC, strategi pengelolaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan target yang lebih spesifik untuk setiap lokasi. KESIMPULAN

Kondisi komunitas bentik di TNTC telah meningkat sejak 2011. Tutupan karang relatif stabil dan berada di atas rata-rata untuk KKP di kawasan BLKB, meskipun terjadi

Page 95: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

100 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

kecenderungan peningkatan pecahan karang di zona larang tangkap, peningkatan pada soft coral dan crustose coralline algae juga berkontribusi terhadap perbaikan status lingkungan komunitas bentik dengan memberikan stabilitas pada ekosistem terumbu karang secara keseluruhan. Hal ini bermanfaat untuk pertumbuhan terumbu karang dan menciptakan habitat untuk larva karang dapat tumbuh.

Sebagai KKP tertua di Kawasan bentang laut kepala burung, TNTC memiliki rencana

pengelolaan yang paling komprehensif di wilayah ini. Namun, sistem zonasi saat ini memiliki efek ambigu terhadap kondisi komunitas ikan dan karang. Rencana zonasi tampaknya belum sepenuhnya memberikan dampak positif pada komunitas bentik tapi memiliki dampak untuk beberapa spesies target perikanan. Secara khusus untuk family Lutjanidae (snappers) mendapat manfaat dari perlindungan di zona larang tangkap. Sementara untuk famili ikan lainnya, sistem zonasi hanya mempertahankan perbedaan yang sudah ada sebelumnya dan belum berkontribusi terhadap peningkatan biomassa di dalam zona pemanfaatan. Dampak terbatas dari sistem zonasi saat ini di TNTC disebabkan oleh eksploitasi berlebihan pada kelompok ikan komersial dan pelanggaran pada skema zonasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh tim yang terlibat di dalam pengambilan data selama 10 hari di dalam dan luar kawasan TNTC. Mas Mullyadi dan mas Hamid dari BBTNTC, Mas Purwanto, mas Wawan dari TNC, Mas Abdi dari CI Indonesia, Pak Dedi dari FPIK UNIPA, Barkah dan Ridho dari FPIK UNSOED dan Alfi dari FPIK UNDIP. Tak lupa seluruh kru KM Gurano Bintang yang telah membantu segala kebutuhan tim di lapangan. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Mbak Estra, Mbak Tiela, WWF US team, Ibu Dai yang memberikan masukan dari uji statisik, terima kasih telah membantu seluruh proses mulai dari pra kegiatan hingga pengelolahan data dan penyusunan laporan. DAFTAR PUSTAKA Ahmadia G.N., Wilson J.R. and Green A.L., 2013. Coral Reef Monitoring Protocol for

Assessing Marine Protected Areas in the Coral Triangle. Coral Triangle Support Partnership.

Amkieltiela and A. Wijonarno. 2015. Protokol Pemantauan Kesehatan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Perairan. Versi 2. (MPA Coral Reef Health Monitoring Protocol. Version 2) Jakarta: WWF-Indonesia.

Conservation International, WWF-Indonesia, BBTNTC. 2006. Preliminary Report Teluk Cenderawasih Survey Papuan Bird’s Head Seascape.

Glew L, G.N. Ahmadia, H.E. Fox, M.B. Mascia, P. Mohebalian and F. Pakiding. 2015. State of the Bird’s Head Seascape MPA Network Report. World Wildlife Fund, Conservation International, Rare, The Nature Conservancy, and Universitas Papua, Washington D.C., United States, Jakarta, Indonesia, and Manokwari, Indonesia.

Ihsan E.N. 2016. Pemantauan Pemanfaatan Sumber Daya di Taman Nasional Teluk Cenderawasih: laporan pemantauan tahun 2015-2016 (Resource Use in Cenderawasih Bay National Park: 2015-2016 monitoring report). Taman Nasional Teluk Cenderwasih and WWF-Indonesia.

Selig E.R., Bruno JF. 2010. A Global Analysis of the Effectiveness of Marine Protected Areas in Preventing Coral Loss. PLoS ONE 5(2): e9278. doi:10.1371/journal.pone.0009278

Tania C, K. Sumolang and A. Wijonarno 2013. Pemantauan Kesehatan Karang di Taman Nasional Teluk Cenderawasih (Coral Health Monitoring in Cenderawasih Bay National Park). WWF-Indonesia.

Wayoi M., E. Arwam, C. Tania and A. Wijonarno. 2013. Pemantauan Pemanfaatan Sumber daya di Taman Nasional Teluk Cenderawasih (Resource Use Monitoring in Cenderawasih Bay National Park). WWF-Indonesia.

Page 96: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

101 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

DPL vs KKPD : MENGUJI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI (Telaah Kasus Kondisi Terumbu Karang Perairan Kabupaten Buton Pasca

COREMAP II)

Ma’ruf Kasim

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Halu Oleo.Kampus Bumi Tridarma

*email : [email protected]

ABSTRAK Peranan Kawasan Konservasi Perairan sangat strategis dalam mengelola pemanfaatan dan kelestarian sumber daya laut. Ironisnya, sampai saat ini pemulihan kondisi sumber daya perairan, khususnya terumbu karang, tidak memberikan gambaran yang cukup signifikan. Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) sejak program COREMAP II di Indonesia belum memberikan pemulihan kondisi terumbu karang yang cukup berarti. Studi kasus di Kabupaten Buton, rata-rata kondisi terumbu karang sejak tahun 2007, 2008, dan 2009, hanya bergerak di antara 30.16%, 32.2%, dan 30.61%, berturut turut. Jumlah populasi ikan pada tahun yang sama hanya berkisar 201, 188, 147 jenis pada seluruh DPL. Pada tahun 2011, Kabupaten Buton telah menetapkan Kawasan Konservasi Perairan (KKPD) melalui SK Bupati Buton No. 938 Tahun 2011. Dari hasil survey tahun 2013 yang kami lakukan di beberapa DPL di Kabupaten Buton terlihat bahwa rata-rata penutupan karang hidup berkisar 47.4%. Sementara, dari penelitian LIPI tahun 2016 terlihat bahwa rata-rata penutupan terumbu karang adalah 28.89%, dan jumlah ikan karang berkisar 82 jenis. Penetapan DPL yang terlihat bottom up belum sepenuhnya efektif dalam mengembalikan persentase penutupan terumbu karang. Sementara, penetapan KKPD yang terkesan top down juga memiliki beberapa permasalahan serius dari sisi pengawasan yang efektif. Pengelolaan kawasan konservasi harusnya dilihat secara holistik dan penyatuan yang saling menghormati antara pemerintah pusat, daerah, dan kearifan lokal yang ada di tiap daerah. Hal ini karena masyarakat lah yang dapat menjaga terumbu karang secara penuh dan terus menerus. Masyarakat memiliki kehidupan di laut untuk keluarganya dan pemerintah serta para pihak mendukung sepenuhnya agar sumber daya laut terus terjaga.

KATA KUNCI: Terumbu karang, DPL, KKPD, buton, ikan karang. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki hamparan terumbu karang seluas 85.707 km2 dan 15% dari total luas terumbu karang di dunia. Sebagai ekosistem dengan produktivitas hayati yang tinggi, terumbu karang mempunyai peranan penting ekologis, yaitu merupakan kawasan yang kompleks dengan produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi, serta berfungsi sebagai tempat asuhan, pembesaran, perlindungan bagi larva dan juvenile ikan. Terumbu karang juga memberikan kontribusi dalam melindungi pantai dari abrasi, banjir, dan fenomena alam lain yang diakibatkan oleh air laut. Keindahan ekosistem terumbu karang juga merupakan salah satu daya tarik wisata bawah laut untuk scuba diving dan snorkeling.

Guna menjaga kondisi terumbu karang agar dapat berkesinambungan, sangat

diperlukan upaya konservasi perairan yang konsisten, baik itu berasal dari ide dan tindakan masyarakat maupun berupa penetapan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, berupa kawasan konservasi perairan. Salah satu kawasan konservasi tingkat desa yang pernah ditetapkan adalah Daerah Perlindungan Laut atau dikenal dengan DPL. DPL merupakan suatu kawasan perairan laut yang diatur dan ditetapkan sebagai daerah yang dilindungi secara penuh bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat. DPL

Page 97: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

102 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

sangat penting untuk menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati, terutama terumbu karang, ikan, tumbuhan, dan organisme laut lainnya.

DPL diyakini sebagai salah satu upaya yang efektif dalam mengurangi kerusakan

ekosistem pesisir khususnya terumbu karang dan atau sumber daya laut lainnya. DPL sangat penting bagi masyarakat yang bermukim di sekitar perairan, karena cara ini dapat meningkatkan produksi perikanan, memperoleh pendapatan tambahan, dan pemberdayaan pada masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya mereka. Pada tahun 2006-2011 saat program COREMAP II dicanangkan, DPL merupakan program unggulan yang diimplementasikan untuk menjaga kondisi terumbu karang. DPL lebih diarahkan sebagai salah satu kegiatan bottom up yang diinisiasi oleh masyarakat untuk dapat dibina oleh pemerintah setempat.

Konsep lain dalam upaya perlindungan kawasan pesisir dan laut adalah penetapan

Kawasan Konservasi Perairan. Kawasan konservasi perairan adalah kawasan perairan yang dlindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan jenis Kawasan Konservasi Perairan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, beserta turunan peraturannya. PP No. 60 tahun 2007 sendiri merupakan turunan dari Undang-Undang No. 31 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan. Memberikan arahan bagi daerah untuk membuat Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan pengambilan data primer dan data sekunder. Data primer dilakukan dengan mengadakan wawancara dan pengamatan kondisi terumbu karang. Data sekunder dilakukan dengan mengkaji informasi hasil penelitian yang berkaitan dengan kawasan konservasi, KKPD, DPL, dan kajian hukum yang pernah ada dalam penetapan kawasan konservasi. Wawancara. Penelitian ini dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama dilakukan dengan mengadakan wawancara dan diskusi dengan beberapa anggota masyarakat yang berada di beberapa kawasan bekas daerah COREMAP II Kabupaten Buton. Lokasi dibatasi hanya pada kawasan pada penetapan yang telah mempunyai Daerah Perlidungan Laut seperti Kecamatan Batauga, Siompu, Kadatua, Mawasangka Tengah, Mawasangak Timur, Mawasangka Induk. Kawasan ini juga di kenal sebagai kawasan penting dalam KKPD kabupaten Buton karena pada kecamatan Kadatua dan Siompu terdapat daerah inti dari KKPD kabupaten Buton (Kawasan Liwutongkidi). Metode wawancara dilakukan secara acak pada beberapa masyarakat yang bekerja sebagai nelayan dan pembudidaya rumput laut dengan persentase akses terhadap sumber daya laut mencapai 80%. Wawancara dilakukan juga dengan beberapa pejabat daerah tingkat desa, kecamatan dan Kabupaten. Data primer wawancara dilakukan untuk melihat persepsi stake holder akan beberapa hal penting yang cukup esensial dalam pengelolaan kawasan konservasi suatu wilayah. Kondisi Terumbu Karang Kawasan Konservasi. Pengambilan Data Kondisi Terumbu karang dilakukan pada beberapa DPL bekas lokasi COREMAP II, Penelitian ini menggunakan beberapa gabungan metode, antara lain:

• Metode Free Swimming; untuk mengamati kondisi terumbu karang di suatu lokasi atau stasiun pengamatan, meliputi: tipe terumbu karang, bentuk umum topografi, dominansi karang tertentu, serta kondisi umum. Hasil pengamatan ini juga akan digunakan untuk menentukan pilihan stasiun pengamatan dari suatu lokasi terumbu karang.

Page 98: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

103 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

• Metode PIT (Point Intercept Transect); Metode ini mirip dengan metode reefcheck.

Panjang transek yg digunakan pada metode PIT ini hanya 25 meter dengan jumlah ulangan yakni 4 (empat) kali di setiap stasiun pengamatan. Pencatatan data dilakukan pada meteran rol, yaitu mencatat kategori versi Coremap pada titik (point) di bawah meteran, dimulai dari 0m, 0,5m, 1m, 1,5m, 2m, .... hingga 25m. Kedalaman pemasangan transek untuk pengamatan karang, yaitu pada kedalaman 3-8 meter sesuai dengan kondisi di lapangan.

Metode Belt Transect untuk mengamati data ikan karang dan biota lainnya yang ada pada ekosistem terumbu karang. Transek sabuk (belt transect) ini dipasang sama pada lokasi pengamatan karang. Pengamatan ikan karang ini dilakukan hingga level jenis (spesies). Panjang transek yang digunakan mengikuti transek karang yaitu 50 meter dengan lebar 2,5 meter kiri dan 2,5 meter kanan transek, sehingga luas transek sabuk yang digunakan yaitu 250 m2.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari data yang pernah dikumpulkan dari beberapa sumber penelitian yang ada mengenai kondisi terumbu karang kabupaten Buton terlihat bahwa kondisi terumbu karang Kabupaten Buton sejak awal penetapan DPL pada program COREMAP II tahun 2007, 2008, dan 2009. Hanya bergerak diantara 30.16%, 32.2%, dan 30.61%, berturut turut. Jumlah populasi ikan pada tahun yang sama hanya berkisar 201, 188, 147 jenis pada seluruh DPL.

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

KarangHidup KarangMati OtherFauna Alga Abiotik

Tahun2007 Tahun2008 Tahun2009

Gambar 1. Kondisi Terumbu karang pada DPL Kabupaten Buton tahun 2007, 2008, dan 2009 (Sumber COREMAP II. Kab. Buton)

Tabel 1. Kondisi Ikan Karang Tahun 2007, 2008, dan 2009

Famili Jumlah Jenis

Kelompok Ikan 2007 2008 2009

Pomacentridae 30 31 31 Mayor

Chaetodontidae 29 19 19 Indikator

Labridae 15 10 10 Target

Achanthuridae 14 9 9 Target

Page 99: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

104 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Lutjanidae 11 10 10 Target

Serranidae 11 10 10 Target

Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karang tahun 2014

Pada bulan Mei-Agustus 2014, hasil penelitian pengamatan kondisi terumbu karang di Kabupaten Buton terlihat bahwa kondisi penutupan karang hidup berkisar 47,7 (Gambar 4).

Karang

Hidup,47.4

KarangMati,

31

OtherFauna,

9

Alga,2

Abiotik,10.6

Kondisi Ikan Karang

Selama penelitian, jumlah total ikan karang yang diidentifikasi dari ketiga stasiun sebanyak 64 jenis, 40 genus, dan 27 famili. Famili ikan karang di DPL Pasi Dadawi terdapat sebanyak 27 famili dengan berbagai jenisnya. Terdapat 27 famili ikan pada lokasi penelitian dimana persentase jenis terbanyak berada pada famili Pomacentridae yaitu 31% dengan 20 jenis. Sedangkan famili yang mempunyai persentase terendah adalah famili Anthiinae (Pseudanthias huchtii), Aulostomidae (Aulostomus chinensis), Balistidae (Odonus niger), Blenniidae (Meiacanthus vittatus), Caranidae (Selar crumenophthalmus), Cirrhitidae (Cirrhitichthys falco), Hybrids (Halichoeres hortulanus), Labridae (Bodianus mesothorax), Lutjanidae (Macolor macularis), Monacanthidae (Oxymonacanthus longirostris), Mullidae (Mulloidichthys vanicolensis), Pinguipepidae (Parapercis tetracantha), Pomacanthidae (Centropyge bicolor), Scaridae (Scarus festivus), Serranidae (Epinephelus merra), Synanciinae (Synanceia horrida), Tentraodontidae (Canthigaster papua) dan Zanclidae (Zanclus cornutus) yaitu 2% dengan 1 jenis. Famili yang memiliki spesies tertinggi dan terendah disajikan pada Gambar 7.

Page 100: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

105 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Gambar 5. Komposisi famili ikan karang di perairan Pasi Dadawi

Klasifikasi Ikan Karang Berdasarkan Peranannya

Berdasarkan hasil penelitian terdapat kelompok klasifikasi ikan menurut peranannya yang dibagi atas tiga (3) kelompok besar yaitu ikan indikator, ikan target, dan ikan mayor. Klasifikasi ikan berdasarkan peranannya yang teridentifikasi pada lokasi penelitian dengan jumlah pada masing-masing ikan indikator (9 jenis), ikan target (16 jenis), dan ikan mayor (39 jenis). Pengelompokkan ikan karang berdasarkan peranannya menunjukkan bahwa jumlah ikan karang sebanyak 40 jenis yang terdiri dari ikan target 10 jenis (25%), ikan indikator 7 jenis (17%), dan ikan mayor 23 jenis (58%).

IkanMayor,58%

IkanTarget,25%

Ikan

Indikator,

17%

Gambar 6. Persentase ikan karang berdasarkan peranannya di tiap stasiun

47

Page 101: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

106 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karang tahun 2016

Ekosistem terumbu karang berada dalam kategori sedang dengan tutupan karang hidup rata-rata dari 15 stasiun yaitu 28.89%, dengan kisaran 8.5%-52.9%. Ikan karang tercatat sebanyak 82 jenis dari tujuh famili ikan terpilih, sedangkan jumlah jenis pada setiap stasiun berkisar antara 30 sampai 50 jenis (COREMAP, 2016).

DPL Vs KKPD

Kata DPL masih sangat familiar di kalangan masyarakat khususnya yang pernah bekecimpung dalam berbagai kegiatan COREMAP II. Hal ini dibuktikan dengan masih familiarnya lokasi dan konsekuensi yang ada saat masyarakat terpaksa melakukan penangkapan di DPL. Dari beberapa wilayah DPL Kabupaten Buton, kata DPL masih memberikan peranan penting dalam pengelolaan laut mereka. Walaupun disadari saat ini penjagaan DPL sangat kurang dan terkesan tidak pernah lagi dilakukan. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa faktor pembinaan perlu terus dilakukan oleh pemerintah setempat untuk menjaga keberlangsungan ekosistem dalam DPL tersebut. Dari beberapa lokasi DPL terlihat alat penangkapan ikan bubu masih terpasang walaupun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Kondisi rill ini memberikan gambaran bahwa konsep DPL masih disadari sepenuhnya oleh masyarakat walaupun dalam implementasinya penjagaan DPL masih sangat kurang.

Beberapa lokasi DPL lainnya, konsistensi masyarakat masih terus terjaga DPL mereka

dan terindikasi dengan tidak adanya kegiatan penangkapan ataupun budidaya pada zona inti DPL. Kondisi ini disadari memberikan nilai positif karena masyarakat telah merasakan bahwa dalam kurun 4 tahun setelah penetapan DPL, populasi ikan yang ada di wilayah mereka meningkat dengan sangat signifikan.

Pada tahun 2011 Kabupaten Buton telah menetapkan Kawasan Konservasi Perairan

(KKPD) melalui SK Bupati Buton No. 938 Tahun 2011. Saat penetapan KKPD, lokasi DPL

dengan luas 176.05 ha ( 1.76 km2), Luasan zona non-tangkap area pada Kawasan

Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Buton seluas 262.36 ha ( 2.62 km2). Total Luasan KKPD Kabupaten Buton adalah 283,577.33 ha. Luasan terumbu karang yang terdapat dalam KKPD kabupaten Buton sampai dengan tahun 2011 adalah 217.93 ha. Dilhat dari

total terumbu karang Kabupaten Buton, sampai dengan tahun 2011, hanya sekitar 2.1% Terumbu karang yang telah dilindungi.

Kondisi ini menggambarkan bahwa upaya perlindungan terumbu karang di Kabupaten

Buton masih sangat minim. Pada tahun 2014 saat survey dilakukan kondisi terumbu karang di beberapa daerah DPL dan KKPD Kabupaten Buton berkisar 47.7%. Peningkatan ini disebabkan oleh kawasan perairan yang telah ditetapkan sebagai DPL dan telah cukup efektif dalam pengendalian pemanfaatan sumber daya alam, khususnya penangkapan ikan tidak ramah lingkungan serta melestarikan ekosistem terumbu karang. Walaupun di beberapa lokasi masih memberikan nilai yang statis bahkan berkurang. Ini berarti, DPL di beberapa lokasi belum cukup memberi kesadaran kepada masyarakat dalam pemanfaatan kawasan tersebut. Hal ini dapat dilihat masih ada beberapa masyarakat yang menggunakan kawasan DPL pada sisi tertentu sebagai jalur transportasi perahu untuk ke laut maupun kembali ke daratan, umumnya masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Sangat di sadari bahwa beberapa DPL Kabupaten Buton, sebelum ditetapkan sebagai DPL, telah mengalami kerusakan terumbu karang yang cukup parah akibat penangkapan ikan menggunakan bom dan potasium. Ikan yang berlimpah menjadi alasan masyarakat melakukan penangkapan dengan cara tidak ramah lingkungan.

Page 102: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

107 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Sejak pembentukan DPL secara perlahan kegiatan penangkapan dan pemanfaatan sumber daya alam dihentikan. Pelarangan menangkap ikan dan pemanfaatan segala jenis sumber daya pada daerah DPL dimaksudkan agar ekosistem terumbu karang dapat terjaga kelestariannya dengan melindungi terumbu karang sehingga dapat meningkatkan produksi perikanan (COREMAP II, 2007). Melindungi terumbu karang sama halnya dengan memberikan kesempatan kepada ikan-ikan karang untuk dapat tumbuh dan berkembang melestarikan jenisnya.

Pada tahun 2016, saat dilakukan survey oleh KKP, Ekosistem terumbu karang berada

dalam kategori ôsedangö dengan tutupan karang hidup rata-rata dari 15 stasiun yaitu 28.89%, dengan kisaran 8.5%-52.9%. Karang hidup umumnya bertipe karang massive dari famili Poritidae dan Faviidae, kemudian diikuti oleh Acropora bercabang. Fenomena bleaching kurang begitu terlihat di setiap stasiun penelitian. Kerusakan terumbu karang diduga akibat penangkapan ikan yang merusak, khususnya penggunaan bom. Selama studi baseline di perairan kepulauan Buton dapat terdengar suara dentuman bom di dalam air.

Ikan karang tercatat sebanyak 82 jenis dari tujuh famili ikan terpilih, sedangkan jumlah

jenis pada setiap stasiun berkisar antara 30 sampai 50 jenis. Jumlah individu kakatua dan kakap merupakan yang terbanyak. Biomassa ikan yang tertinggi berasal dari kelompok ikan butana (Acanthuridae) dan kakatua (Scaridae). Dari 82 jenis tersebut, 10 terbesar kehadiran individunya adalah Ctenochaetus striatus, Naso hexacanthus, Ctenochaetus binotatus, Naso thynnoides, Zebrasoma scopas, Chlorurus sordidus, Scarus ghobban, Acanthurus pyroferus, Scarus niger, Chlorurus bleekeri.

Penetapan DPL yang dijalankan dengan sukses pada program COREMAP II mampu

memberikan arti sangat penting bagi pengelolaan terumbu karang, walaupun disadari bahwa lokasi yang tercover dalam program tersebut masih sangat kecil. Namun demikian, penetapan DPL sebagai kawasan konservasi lebih diinisiasi oleh masyarakat setempat dalam level desa (walaupun dengan fasilitas dari pemerintah) terbilang sangat baik karena masyarakat masih merasa memiliki lokasi tersebut. Dampak positif yang muncul dari inisiasi tersebut adalah rasa memiliki dan rasa ingin menjaga yang ada pada kelompok masyarakat memberikan nilai yang sangat baik dalam praktek pengelolaan suatu kawasan konservasi.

Dilihat dari luasannya, KKPD lebih besar dan mencakup kawasan yang sangat luas.

Walaupun dalam penetapannnya, terdapat perbedaan pendapat yang cukup kuat di antara masyarakat untuk menentukan letak dan luasan daerah zona inti. Penetapan zona inti sebagai zona non-tangkap area terkesan sangat serius untuk dibahas di level desa. Hal ini karena masyarakat sebenarnya belum paham mengenai lokasi tersebut. Pendapat yang muncul sebagai antisipasi dari penetapan kawasan zona inti lebih pada kehawatiran masyarakat untuk kehilangan daerah penangkapan atau sumber mata pencaharian mereka. Konsekuensi dari penetapan KKPD di beberapa wilayah harus dikuatkan dengan pengawasan yang lebih baik. Walaupun disadari bahwa kontrol pengawasan yang dijalankan tidak terlalu efektif karena keterbatasan dana dalam setiap kali operasi pengawasan dilakukan. Tingginya biaya pengawasan sementara intensitas eksplotasi terus dilakukan oleh masyarakat seakan memerikan gap yang cukup signifikan terhadap hasil yang akan dapat diharapkan.

DPL sebagai daerah yang terkesan bottom up memberikan penguatan yang cukup

baik dalam level yang cukup kecil. KKPD sebagai program yang terkesan top down belum sepenuhnya memberikan rasa memiliki oleh masyarakat pesisir. Hal ini dilihat dari efektivitas penetapan dan realisasi keberlanjutan sumber daya yang ada di masing-masing lokasi. Gambaran ini harus menjadi pelajaran bawah penggabungan dan keseriusan pengelolaan kawasan konservasi masih harus dan terus ditingkatkan untuk benar-benar mendapatkan hasil yang cukup baik, bukan saja dari segi luasan yang ditetapkan sebagai kawasan

Page 103: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

108 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

konservasi tapi lebih pada kenyataan ketersediaan sumber daya yang rill di tingkat ekosistem khususnya dari ketersediaan persentase penutupan terumbu karang hidup. KESIMPULAN

DPL yang terkesan bottom up dalam implementasinya masih memberikan realisasi keberlanjutan ketersediaan sumber daya yang cukup baik walaupun masih membutuhkan pembinaan yang serius di tingkat pemerintah setempat. KKPD sebagai kawasan konservasi yang cukup luas dengan penetapan yang terkesan top down membutuhkan pengawasan yang serius dan konsisten. Perlu strategi pengelolaan yang baik berupa keseriusan fasilitasi dan inisiasi pengelolaan di tingkat bawah untuk mendapatkan kondisi daerah perlindungan khususnya kondisi terumbu karang yang terjaga dan pengelolaan di tingkat yang lebih tinggi untuk memastikan pengelolaan dan pengawasan yang berjalan dengan baik. UCAPAN TERIMA KASIH

Penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada beberapa responden di Kecamatan Batauga, Siompu, Kadatua, Sampolawa. Mawasangak Tengah, Mawasangka Induk. Pemerintah kabupaten Buton dalam hal ini DKP Kabupaten Buton (Program COREMAP II). Penghargaan juga kami sampaikan pada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton, Kepala SKPD terkait. Juga penghargaan yang tinggi kepada Bapak Abdul Rahim, Ibu Yulia Widiarti.

DAFTAR PUSTAKA CRITC COREMAP – LIPI, 2016. Studi Baseline untuk Monitoring Kesehatan Terumbu

Karang di Kepulauan Buton, http://www.coremap.or.id/berita/1173. (akses tanggal 27 April 2017).

COREMAP II. 2007. Laporan Penyusunan Manajemen Plan KKLD Di Liwutongkidi . Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II. Buton.

COREMAP II. 2007. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Implementasi Penelitian Lokal COREMAP II Kabupaten Buton Tahun 2007.

COREMAP II. 2008. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Implementasi Penelitian Lokal COREMAP II Kabupaten Buton Tahun 2008.

COREMAP II. 2009. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Implementasi Penelitian Lokal COREMAP II Kabupaten Buton Tahun 2009.

COREMAP II. 2010. Laporan Ekologi Monitoring dan Evaluasi Kondisi Terumbu Karang di Kabupaten Buton Tahun 2010. Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II. Buton.

Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, 2017. Data Kawasan Konservasi, http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasan-konservasi/details/1/96.

Page 104: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

109 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

DAMPAK KEPMEN KP NOMOR KEP.59/MEN/2011 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS JENIS IKAN TERUBUK (Tenualosa macrura) DALAM

MENINGKATKAN POPULASI IKAN TERUBUK DI PROVINSI RIAU

Deni Efizon

Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau

*email: [email protected]

ABSTRAK Ikan terubuk (Tenualosa macrura) merupakan salah satu spesies dari lima spesies ikan terubuk yang ada di dunia. Ikan ini merupakan ikan kebanggaan masyarakat Provinsi Riau, khususnya Bengkalis, namun populasinya terancam kepunahan. Dua hal penyebab penurunan populasi ikan ini adalah 1). Penangkapan yang dilakukan pada saat ikan ini melakukan ruaya untuk memijah dan 2). Penurunan kualitas lingkungan perairan. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, berbagai upaya penyelamatan telah dilakukan. Salah satunya adalah dengan terbitnya beberapa regulasi, yaitu Peraturan Bupati Bengkalis Nomor 15 Tahun 2010, SK. Men KP Nomor Kep.59/MEN/2011 dan Peraturan Gubernur Riau Nomor 78 Tahun 2012 dalam melindungan ikan terubuk. Sebelum regulasi ada, ikan terubuk tertangkap oleh nelayan 1-2 ekor/nelayan, bahkan ada nelayan yang tidak memperoleh ikan sama sekali, namun setelah dua tahun regulasi terbit, yaitu pada tahun 2013-2016 dari hasil monitoring yang dilakukan menunjukkan ada peningkatan hasil tangkap nelayan, Pada tahun 2014 ikan terubuk tertangkap 3-5 ekor/nelayan, tahun 2015 ikan terubuk tertangkap 5-8 ekor/nelayan, dan tahun 2016 ikan terubuk tertangkap 10-15 ekor/nelayan. Peningkatan populasi ini disebabkan oleh mulai munculnya kesadaran nelayan dalam mengindahkan aturan-aturan yang tertuang dalam regulasi tersebut walaupun belum seluruhnya, ditambah beberapa upaya lain yang dilakukan diantaranya membuat mata pencarian alternatif terutama pada waktu pelarangan, sosialisasi secara intensif, melakukan event-event daerah pada waktu musim pelarangan dan lain-lain. KATA KUNCI: Dampak, populasi, terubuk

Page 105: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

110 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

TANTANGAN PENGELOLAAN TAMAN WISATA PERAIRAN GILI MATRA, NUSA TENGGARA BARAT, INDONESIA

A. Boby Yefry Adi Rianto

Wilker Pengelola TWP Gili Matra - BKKPN Kupang

*email: [email protected]

ABSTRAK Makalah ini membahas tentang pengelolaan Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra sebagai kawasan konservasi perairan nasional. Tujuan penelitian adalah untuk mengulas tantangan pengelolaan TWP Gili dan memberikan rekomendasi kepada unit pengelola dalam menghadapi tantangan pengelolaan tersebut. Data primer diperoleh melalui penyebaran kuisioner kepada 78 responden di desa Gili Indah pada tahun 2014 dan wisatawan mancanegara pada tahun 2016, hasil resources use monitoring pada tahun 2015–2016, wawancara mendalam dan korespondensi secara terus menerus dengan pengelola TWP Gili Matra dari kurun waktu 2014-2015. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, draft Rencana Pengelolaan dan Zonasi untuk TWP Gili Matra, laporan pemantauan yang berkaitan dengan kondisi sosial-ekonomi di TWP Gili Matra, dan data penunjang lain dari Internet. Data kemudian diolah secara kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa TWP Gili Matra belum dikelola dengan baik karena terbatasnya kapasitas lembaga pengelola dalam hal sumber daya manusia, sarana prasarana pengelolaan, dan anggaran. Selain itu, adanya ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya perairan di dalam kawasan TWP Gili Matra menimbulkan pemanfaatan yang berlebih terhadap sumber daya tersebut yang pada akhirnya berakibat pada degradasi sumber daya perairan di dalam kawasan. Kerangka kerja pengelolaan yang tidak memadai untuk mengidentifikasi dan mengendalikan penggunaan sumber daya, sentralisasi yang berlebihan dalam pengelolaan, dan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat lokal memberi andil dalam menghambat pengelolaan TWP Gili Matra secara efektif. Oleh karena itu, kebijakan nasional dan peraturan yang dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemerintah daerah dan lembaga pemerintah lainnya terkait pengelolaan TWP Gili Matra harus diselaraskan. Di sisi lain, dalam pengelolaan kawasan perlu juga mendorong keterlibatan. KATA KUNCI: Gili Matra, pengelolaan, konservasi

Page 106: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

111 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

KAJIAN PEMBENTUKAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT (DPL) PULO ACEH, KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI ACEH

Munawar Khalila*, Zulfikara, Muhammad Rusdib

aProgram Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh bGIS center Universitas Syiah Kuala

*email: [email protected]

ABSTRAK Makalah ini bertujuan untuk menganalisis pembentukan zona Daerah Perlindungan Laut (DPL) di Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, menggunakan input dari analisis status bioekologi kawasan, status sosial ekonomi budaya, dan dipadukan melalui Sistem Informasi Geografis. Fokus kajian ini adalah untuk memetakan zonasi kawasan yang akan dijadikan sebagai daerah perlindungan laut. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2007 hingga Agustus 2008 dengan menggunakan metode survei data bioekologi laut. Luas teritori daratan dan laut Pulo Aceh yang dapat diusulkan menjadi kawasan DPL adalah 24,961.9 hektar. Zonasi DPL Pulo Aceh dibagi ke dalam tiga zona, yaitu zona inti, zona pemanfaatan, dan zona penyangga. Zona inti DPL mencakup luasan 94,14 ha atau 0,38% dari total luasan DPL, zona pemanfaatan mencakup areal 15,144.86 ha atau 60,67% dari total luasan DPL dan zona penyangga mencakup 1,038.77 ha atau 4,16% dari total kawasan DPL. Zona inti merupakan zona tertutup untuk segala aktivitas manusia, hanya kegiatan penelitian dan konservasi yang diperbolehkan. Zona pemanfaatan kemudian dibagi menjadi area untuk pariwisata, penggunaan tradisional, penggunaan pelagis, penelitian, pelatihan, dan permukiman tradisional. Kegiatan pemanfaatan sumber daya alam pada zona ini dapat diperbolehkan melalui proses analisis dampak lingkungan. Zona penyangga dapat dipergunakan untuk kegiatan penangkapan dan budidaya ikan maupun aktivitas ekonomi lainnya, namun melalui pengawasan dan pembatasan ketat. Pembentukan daerah perlindungan laut di Pulo Aceh merupakan langkah manajemen sumber daya yang diperlukan untuk memastikan bahwa sumber daya laut dan ekosistem laut dapat dilestarikan serta berefek kepada keberlanjutan. KATA KUNCI: Konservasi laut, zonasi, pemetaan kawasan, keberlanjutan sumber daya laut ABSTRACT This paper aims are to analyze the zone formation of Marine Protected Areas in Pulo Aceh, Aceh Besar District-Aceh Province, using bio-ecological data analysis, current social economic and culture status, and geographic information system analysis input. This research focus designated specific areas as marine protected areas (MPAs). This research conducted on April 2007 to August 2008, which used marine bio-ecological data survey. Pulo Aceh encompassing 24,961.9 hectares of terrestrial and marine habitat was chosen as MPA for marine conservation and subsequently divided to mainland and water body conservation areas. The major zones had been designated and mapped in the conservation areas, namely the core zone (94,14 ha, 0.38 %), utilized zone (15,144.86 ha, 60.67%) and buffer zone (1,038.77ha, 4.16%). Core zone is strictly prohibited from any harvesting, tourism, economical activities while research and conservation activities are allowed. The utilized zones are subdivided into areas for tourism, traditional use, pelagic use, special research and training zone and traditional settlement zone. Utilized zone is provision to tourism, culture and harvesting of resources and other human activities. The permanent accommodation for tourism activities or other explored natural resources are allowed in this zone in additional with the conduct of environmental impact assessment in the area. The

Page 107: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

112 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

activities in the buffer zone are limited and fully controlled only for harvesting and other humans activities. The establishing of Marine Protected Areas in Pulo Aceh is essential as a resources management strategy to ensure that marine resources and marine ecosystems able to conserve and stimulated on sustainability. KEYWORD: Marine conservation, zones, mapping, marine resources sustainability PENDAHULUAN

Saat ini Indonesia memiliki Kawasan Konservasi Laut ± 15.8 Juta Ha yang terdiri dari 7 (tujuh) Taman Nasional Laut, 14 (empat belas) Taman Wisata Laut, 10 (sepuluh) Cagar Alam Laut, dan 5 (lima) Suaka Margasatwa Laut (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2013). Untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya hayati laut dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka langkah-langkah konservasi yang ditempuh perlu dilakukan dengan cara serta arah yang jelas dalam bentuk pembentukan kawasan konservasi laut atau marine protected area. Dari luas yang sudah ditetapkan, Provinsi Aceh memberikan kontribusi 231.400 ha atau hanya mencapai 4,93% dari total kawasan konservasi laut Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2013). Kontribusi tersebut masih sangat mungkin ditingkatkan jika ada pulau-pulau kecil di Kecamatan Pulau Aceh yang terletak di Kabupaten Aceh Besar dijadikan Kawasan Konservasi Pesisir Pantai dan Pulau-pulau Kecil (KP3K).

Sebagai satu-satunya kecamatan yang berbentuk kepulauan, Kecamatan Pulo Aceh

terletak pada posisi strategis untuk pengembangan KP3K. Secara administrasi Kecamatan Pulo Aceh terletak di sebelah barat Kota Jantho yang merupakan ibukota Kabupaten Aceh Besar. Secara geografis, wilayah kecamatan ini terletak antara 5047’28.08-5034’27.77 LU dan 95012’46.83- 9500’48.19” BT dengan panjang wilayah sekitar 29,67 km. Dengan melihat letak lintang yang tak jauh dari garis khatulistiwa, sebagai daerah sekitar khatulistiwa iklim di daerah ini masih termasuk iklim tropis. Wilayah Pulo Aceh merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang terdiri dari 8 buah pulau. Bentuk gugusan pulau tersebut membujur dari utara ke arah selatan. Pulau-pulau besar yang menghuni di kabupaten ini meliputi Pulau Brueh dan Pulau Nasi. Sedangkan pulau-pulau yang lebih kecil ada di sekitar pulau-pulau besar tersebut. Kecamatan Pulo Aceh terdiri dari 17 desa yang tersebar pada beberapa pulau induk antara lain Pulau Breuh dan Pulau Nasi. Jumlah desa di Pulau Breuh tercatat sebanyak 12 desa dan di Pulau Nasi berjumlah 5 desa.

Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di kawasan ini sebelum bencana alam memiliki

ekosistem terumbu karang, mangrove, dan ekosistem pesisir lainnya yang merupakan tempat yang ideal bagi ikan untuk melakukan aktivitas makan dan berlindung. Pasca bencana alam gempa bumi dan Tsunami menjadikan kondisi perairan di kawasan tersebut mengalami perubahan struktur biofisik sehingga menyebabkan daya tampung ekologis terdegradasi. Pemulihan kondisi biofisik lingkungan merupakan hal signifikan penting yang harus dilakukan demi menjadikan kawasan perairan Pulo Aceh kembali seperti kondisi semula.

Memperhatikan karakteristik lingkungan pulau-pulau kecil di kawasan perairan Aceh

khususnya perairan kepulauan Pulo Aceh, maka pendekatan penting yang harus dilakukan adalah pendekatan pembangunan yang berwawasan lingkungan dengan tidak mengakibatkan perubahan yang radikal terhadap ekosistem. Oleh sebab itu, pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Aceh Besar harus didasarkan pada pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Metode pengelolaan yang akan dikembangkan adalah pengelolaan bersama secara partisipatif.

Sebagai langkah awal, model pengelolaan yang akan dikembangkan adalah

pembentukan dan pengembangan daerah perlindungan laut pada wilayah pesisir dan pulau-

Page 108: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

113 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

pulau kecil yang termasuk dalam gugusan Pulo Aceh di Kabupaten Aceh Besar. Salah satu langkah implementasi yang cukup relevan menanggapi kondisi tersebut adalah dengan penerapan daerah perlindungan laut atau marine protected areas (MPA). Berdasarkan latar belakang di atas, maka kajian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan dan menzonasikan Daerah Perlindungan Laut Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Kajian ini dilaksanakan di Kecamatan Pulo, Kabupaten Aceh Besar dengan lokasi pengambilan data biofisik dan sosek dapat dilihat pada Gambar 1. Penelitian dilakukan pada periode bulan April 2007-Agustus 2008 pada stasiun-stasiun yang telah ditentukan. (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi kajian pembentukan Daerah Perlindungan Laut.

Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dan data sekunder dilakukan pada delapan titik sampling yang dipilih berdasarkan data preliminary study yang dilaksanakan pada bulan Januari 2005. Bagi perencanaan calon lokasi DPL, data primer yang diambil antara lain berupa kondisi bioekologi dan faktor-faktor sosial ekonomis, serta budaya masyarakat pantai yang ada di

Page 109: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

114 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

sekitar calon wilayah daerah konservasi (FAO, 1987). Data bioekologi yang diambil antara lain adalah status terumbu karang dan status ekosistem lain sekitar kawasan target (Kelleher dan Kenchington 1991; English et al. 1997; Salm et al. 2000; Labrosse et al. 2002). Data sekunder diambil di instansi-instansi terkait, seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan, Bapedalda, dan kantor pemerintahan administratif. Line intercept transect (LIT) dilakukan di lokasi-lokasi yang dipilih mewakili perairan pulau-pulau Kecamatan Pulo Aceh dilakukan di 8 titik dan dibedakan antara pulau-pulau di sebelah utara dan di sebelah selatan dan metode FGD (forum discussion group) digunakan untuk menilai persepsi dan masukan dari masyarakat sekitar calon kawasan konservasi. Analisis Data Setelah data terkumpul, selanjutnya data dianalisis untuk memperoleh daerah dengan konsentrasi sumber daya alam yang tinggi, aktivitas manusia, dan kemungkinan ancaman perusakannya terhadap sumber daya alam tersebut. Data-data tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode overlay dan penyesuaian dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (FAO, 1987) untuk mendapatkan pemetaan atau zonasi DPL mengikuti Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Proses Pemilihan Calon Lokasi Daerah Perlindungan Laut Proses pemilihan DPL menggunakan aplikasi kriteria berbasis data primer dan data sekunder yang dikumpulkan sebelumnya (Salm dan Price, 1995). Untuk menentukan lokasi yang dipertimbangkan, nilai-nilai pada kriteria dibuat peringkat (score). Kriteria dalam penentuan zonasi DPL antara lain adalah kriteria sosial, ekonomi, ekologi, regional, dan kriteria pragmatik (National Research Council, 2001). HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisik Kecamatan Pulo Aceh

Kecamatan Pulo Aceh merupakan daratan aluvial dan rangkaian kepulauan yang juga merupakan perbukitan. Di kawasan daratan sebagian besar wilayahnya telah diubah menjadi areal pertanian atau persawahan. Sebelum terjadinya bencana alam, di wilayah pantainya terutama di kawasan pantai yang tidak berhadapan langsung dengan laut lepas tumbuh mangrove yang umumnya didominasi dari jenis Rhizopora sp., tumbuh tipis (tidak lebih dari 40 meter) dan berada memanjang di sepanjang pantai.

Selain areal pertanian, wilayah daratan merupakan areal pertambakan sistem

tradisional. Sistem pertambakan yang diusahakan oleh warga hanya dimanfaatkan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan pangan lokal. Pulau-pulau besar seperti Pulau Breuh dan Pulau Nasi yang memiliki luasan yang besar umumnya berpenghuni cukup besar namun belum dapat dikategorikan cukup padat dan sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Air tawar hingga saat ini masih cukup untuk memenuhi keperluan penduduknya. Air tawar ini dipasok melalui sistem perpipaan yang sumber mata airnya di perbukitan atau melalui pembuatan sumur di tiap rumah penduduk. Lebar rataan karang di kawasan kepulauan berkisar 100 hingga 500 meter.

Berdasarkan pada interpretasi visual citra dan ditambah dengan data yang diperoleh

dari lapangan, wilayah studi secara umum terletak di wilayah kepulauan dengan kondisi wilayah daratan yang umumnya berbukit. Wilayah kepulauan secara morfologi merupakan perkembangan gosong karang dengan ciri berupa daratan pasir karang dan solum tanah

Page 110: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

115 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

secara umum belum berkembang. Tanah yang ada di kepulauan Pulo Aceh ini merupakan tanah jenis andosol dan regosol di mana batuan induk yaitu pasir karang masih terlihat jelas. Ciri lain adalah air tanah yang dangkal tetapi payau sehingga umumnya kurang layak minum. Pada pulau-pulau tertentu air tawar untuk kebutuhan minum dapat dicukupi dari pulau yang bersangkutan, tetapi kebanyakan air tawar diambil dari mata air di wilayah perbukitan di sekitar konsentrasi perumahan penduduk. Tumbuhan darat secara umum dapat hidup dengan baik, terutama tanaman perkarangan.

Daerah dengan morfologi daratan berupa pantai pasir putih, pantai mangrove,

ataupun pantai dengan substrat dasar pasir berlumpur. Selain berupa pantai, daerah daratan juga berupa wilayah bekas sedimentasi dari laut maupun darat (bentukan asal aluvival maupun marin). Di beberapa tempat bahkan tampak jelas bahwa daerah dataran itu dahulu merupakan bentuk morfologi rawa belakang. Karenanya pengaruh air laut sangat nampak jelas dapat mencapai jauh ke dalam wilayah darat. Kondisi tersebut menyebabkan pemanfaatan lahan utama di wilayah studi di daerah dataran pantai adalah tambak. Selain tambak, di beberapa lokasi ditemukan pemanfaatan lahan sawah walaupun tidak sedominan tambak. Pasca bencana alam, kawasan pertambakan ini pada umumnya masih terbengkalai oleh berbagai kendala.

Beberapa pulau yang masuk dalam wilayah studi berpenghuni dan cukup padat.

Penduduk setempat adalah petani dan hanya sebagian kecil yang menjadi nelayan dan pedagang. Pulau-pulau yang dihuni dengan penduduk yang relatif padat antara lain Pulau Breuh, Pulau Nasi, dan Pulau Teunom.

Status Ekosistem Terumbu Karang

Persentase tutupan karang berkisar antara 0–39,98%. Persentase tutupan tertinggi dicatat di St. 8 kawasan perairan Desa Deudap (Pulau Nasi), dan terendah di St. 3 kawasan perairan Desa Surapong dan St. 2 kawasan Perairan Desa Leun Balee (Pulau Beras). secara rinci persentase tutupan kategori bentik dan kondisi abiotik diuraikan per masing-masing lokasi. Hasil transek dapat dilihat dalam gambar 3.3-3.5. Kondisi tutupan karang di kawasan perairan Pulo Aceh pada beberapa titik penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi Tutupan Karang di Perairan Pulo Aceh

Stasiun Persentase tutupan H' E C Indeks Mortalitas

Meulingge 31,34 1 0,6244 0,3763 0,097

Leun Balle 0 0,00 0,00 0,00 0,00

Seurapong 0 0,00 0,00 0,00 0,00

Paloh 15,26 2,5279 0,79747 0,2195 0,22

Lhoh 23,44 0,2744 0,7646 0,2744 0,721

Pasi Janeng 9,86 2,4439 0,8146 0,2261 0,899

Lamteng 22,08 2,777 0,8027 0,1708 0,463

Deudap 39,98 2,2722 0,6568 0,2662 0,301

Ket : C : Dominasi Jenis E : Indek Kemerataan

H’ : Indek Keragaman

Berdasarkan Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa kondisi terumbu karang telah terjadi

penurunan kualitas atau degradasi. Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas terutama terhadap keragaman jenis adalah akibat bencana

Page 111: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

116 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

alam tsunami dan penggunaan bahan tangkap yang tidak ramah lingkungan oleh penduduk setempat.

Zonasi Daerah Perlindungan Laut

Penyusunan pengusulan zonasi di DPL Pulo Aceh didasarkan pada studi baseline bioekologi dan baseline sosial ekonomi dan merujuk kepada UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber daya Hayati dan Ekosistemnya. Pengelolaan kawasan di dalam DPL Pulo aceh nantinya akan didasarkan pada zonasi. Sistem zonasi untuk DPL Pulo Aceh (Tabel 2) mencakup dan meliputi kawasan darat dan laut. Sistem zonasi tunggal dirancang untuk DPL Pulo Aceh dengan total 3 tipe zonasi dengan beberapa turunan zonasi yaitu (1) zona inti (core zone), (2) zona pemanfaatan dengan turunannya berupa zona pemanfaatan wisata (tourism use zone), zona pemanfaatan tradisional (traditional use zone), dan zona pemanfaatan pelagis (pelagic use zone), serta zona khusus penelitian dan pelatihan (special research and training zone) dan (3) zona penyangga (buffer zone).

Tabel 2. Peruntukan Zona Daerah Perlindungan Laut

Zona Kegiatan yang Diizinkan

Kegiatan yang Dilarang

Inti Pemantauan dan penelitian dengan izin khusus dari pengelola DPL

Mengambil, mengganggu atau memindahkan setiap sumberdaya alam.

Pemanfaatan wisata Wisata intensif

Rehabilitasi dan penelitian dengan izin khusus dari pengelola DPL

Penangkapan ikan

Memanen sumber daya alam hayati

Melakukan budidaya laut dalam kurungan

Penambatan kapal, kecuali pada mooring bouy atau substrat dasar 100% pasir atau kedalaman > 30 m.

Akomodasi permanen untuk wisata

Pemanfaatan tradisional Penangkapan ikan tradisional, wisata, penelitian, pemantauan, dan rehabilitasi lingkungan dengan izin khusus dari pengelola DPL

Penangkapan ikan dengan bahan peledak atau racun

Melakukan budidaya laut dalam kurungan kecuali bila AMDAL setuju

Penambatan kapal, kecuali pada mooring bouy atau substrat dasar 100% pasir atau kedalaman > 30 m

Akomodasi permanen untuk wisata

Pemungutan kayu bakar

Perusakan habitat darat

Menangkap atau mengganggu semua spesies dilindungi, ular, penyu dan telurnya, lumba-lumba, paus, kuda, rusa, babi hutan.

Page 112: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

117 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Zona Kegiatan yang Diizinkan

Kegiatan yang Dilarang

Penangkapan kerapu dan ikan karang yang dilindungi selama musim memijah

Pemanfaatan pelagis Pemanfaatan ikan untuk rekreasi

Penangkapan ikan dengan alat tradisional

Pemanfaatan ekslusif kepada penduduk MPA, zona penyanggga, dan desa-desa yang berbatasan langsung dengan DPL.

Perusakan habitat perairan

Menangkap atau mengganggu semua spesies dilindungi, ular laut, penyu, burung laut, segala mamalia laut

Penangkapan ikan dengan bahan peledak atau racun

Penangkapan ikan demersal

Penggunaan alat tangkap dengan SCUBA dan jaring/pancing dasar

Penambatan kapal, kecuali pada mooring bouy atau substrat dasar 100% pasir atau kedalaman > 30 m

Akomodasi permanen untuk wisata

Menangkap invertebrata hidup atau mati, selain cumi-cumi.

Khusus penelitian dan pelatihan Melakukan budidaya laut dalam kurungan untuk tujuan penelitian dan pelatihan

Penelitian, pelatihan dan rehabilitasi dengan izin khusus dari Ketua Pengelola DPL.

Penangkapan ikan atau kegiatan pemanenan

Penambatan kapal, kecuali pada mooring bouy atau substrat dasar 100% pasir atau kedalaman > 30 m

Penyangga Penangkapan ikan dengan alat tradisional

Pemanfaatan ekslusif kepada penduduk DPL, zona penyangga, dan desa-desa yang berbatasan langsung dengan DPL

Melakukan budidaya laut dalam kurungan dengan izin dari Pemda

Menangkap atau mengganggu semua spesies dilindungi, ular laut, penyu, burung laut atau mamalia laut, seperti lumba-lumba dan paus

Penangkapan ikan dengan bahan peledak atau racun

Alat tangkap dengan SCUBA

Penangkapan kerapu dan ikan karang yang dilindungi selama musim memijah

Page 113: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

118 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Zona Kegiatan yang Diizinkan

Kegiatan yang Dilarang

Penambatan kapal, kecuali pada mooring bouy atau substrat dasar 100% pasir atau kedalaman > 30 m

Untuk koordinat batas zonasi keseluruhan DPL Pulo Aceh dipilih berdasarkan tingkat

keragaman biodiversity, sosial ekonomi masyarakat tempatan, dan kemungkinan penerapan kebijakan yang tepat oleh beberapa stakeholders terkait di daerah yang diusulkan tersebut (Gambar 2 dan Tabel 3).

Gambar 2. Usulan Zonasi Kawasan DPL Pulo Aceh, Kecamatan Pulo Aceh Kecamatan Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar Prov Aceh.

Tabel 3. Usulan Titik Ordinat dan Luasan DPL Pulo Aceh

Letak DPL Luas (Ha) X_Easting Y_Northing

DPL Darat Meulingee 48 95,05597 5,74832

DPL Darat Leun balee 63 95,08677 5,72447

DPL Darat Deudap 44 95,18460 5,60950

DPL Darat Lhoo 96 95,12856 5,66858

DPL Darat Seuramong + Paloh 216 95,06397 5,66218

DPL Laut Meulingee 67 95,05565 5,75044

DPL Laut Lhoo 137 95,11899 5,66711

DPL Laut Seuramong 379 95,05662 5,66325

DPL Laut Paloh 35 95,06222 5,65236

Page 114: Topik 1 - simnas2017.konservasi-perairan.orgsimnas2017.konservasi-perairan.org/uploads/presentasi/prosiding/3... · sumber daya alam hayati sekaligus menjaga keberlangsungan perekonomian

119 | Prosiding Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Letak DPL Luas (Ha) X_Easting Y_Northing

DPL Laut Pasi Janeng 78 95,12977 5,62995

DPL Laut Deudap 62 95,18956 5,60804

DPL Laut Leun balee 63 95,07959 5,72557

DPL Darat Pasi Janeng 45 95,13218 5,62834

KESIMPULAN Kawasan Pulo Aceh sangat potensial untuk dapat dijadikan salah satu DPL di Provinsi Aceh. Zonasi wilayah DPL Pulo Aceh dapat dibagi kepada tiga zona, yaitu zona inti dengan luasan 94,14 ha, (0.38%), zona pemanfaatan dengan luasan 15,144.86 ha (60.67%) dan zona penyangga seluas 1,038.77 ha (4.16%). Diperlukan kajian existing lanjutan tentang kondisi bioekologi Pulo Aceh sebelum kajian ini diimplementasikan. UCAPAN TERIMA KASIH Kajian ini terlaksana atas inisiatif Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh, GIS Center Universitas Syiah Kuala, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh. DAFTAR PUSTAKA English S., Wilkinson C. and Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources,

Townsville. Australian Institute of Marine Science. Food and Agriculture Organization (FAO). 1987, Marine Resources Mapping : an

Introductory Manual. FAO Fisheries Technical Paper. Rome. 104 pp. Kelleher G and Kenchington, RA. 1991. Guidelines for Establishing Marine Protected Areas

(Vol. 3), IUCN. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 2013. Informasi kawasan konservasi perairan

Indonesia. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Jakarta Labrosse P, Kulbicki M and Ferraris J. 2002. Underwater Visual Fish Census Surveys, New

Caledonia, Secretariat of the Pacific Community. National Research Council. 2001. Marine Protected Areas: Tools for Sustaining Ocean

Ecosystem, National Academies Press. Salm R. and Price, A. 1995, Selection of Marine protected areas. Springer.15-31 pp. Salm R.V., Clark, J.R. and Siirila, E. 2000, Marine and Coastal Protected Areas: A Guide For

Planners And Managers. IUCN.