(tinjauan yuridis putusan nomor …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi...ratio...

1

Upload: phungphuc

Post on 18-Apr-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

RATIO DECIDENDI HAKIM

DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA

DIKAITKAN DENGAN ASAS PEMBUKTIAN BEBAS

(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg)

Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

SKRIPSI

Oleh:

Kartika Hanazafira Pambudi

E1A011019

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

RATIO DECIDENDI HAKIM

DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA

DIKAITKAN DENGAN ASAS PEMBUKTIAN BEBAS

(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg)

SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman

Oleh:

Kartika Hanazafira Pambudi

E1A011019

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya:

Nama : Kartika Hanazafira Pambudi

NIM : E1A011019

Judul Skripsi : Ratio Decidendi Hakim Dalam Memutus Sengketa

Tata

Usaha Negara Dikaitkan Dengan Asas Pembuktian Bebas

(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN. Smg)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya

sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun

dibuatkan oleh orang lain.

Apabila ternyata saya terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di

atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apa pun dari

Fakultas.

Purwokerto,

Kartika Hanazafira Pambudi

E1A011019

RATIO DECIDENDI HAKIM

DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA

DIKAITKAN DENGAN ASAS PEMBUKTIAN BEBAS

(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg)

Oleh:

KARTIKA HANAZAFIRA PAMBUDI

E1A011010

ABSTRAK

Putusan Pengadilan harus memuat argumentasi atau alasan hakim dalam suatu

pertimbangan hukum yang dikenal dengan istilah ratio decidendi. Ratio decidendi

oleh Hakim termasuk Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara harus di dasarkan

pada peraturan perundang-undangan yang ada. Untuk mencapai putusan yang

memenuhi rasa keadilan bagi para pihak dan masyarakat pada umumnya dikenal

asas pembuktian bebas. Asas ini memberikan kebebasan pada Hakim Tata Usaha

Negara untuk menentukan beban pembuktian dan juga dalam hal menjatuhkan

putusan untuk memperoleh kebenaran materiil. Dalam hal ini peneliti tertariuntuk

meneliti tentang ratio decidendi dalam Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg

dan penerapan asas pembuktian bebas oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara

yang memeriksa dan memutus perkara tersebut. Dalam rangka menjawab hal

tersebut di atas maka penelitian ini menggunakan metode pendekatan disusun

dengan tipe penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-

undangan,pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Metode analisis yang

digunakanadalah metode kualitatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa ratio

decidendiHakim Pengadilan Tata Usaha Negara tidak sesuai dengan peraturan

perundangundangan dan keliru dalam menerapkan asas pembuktian bebas.

Kata kunci: Ratio decidendi, Asas pembuktian bebas dan Kewenangan

Pengadilan Tata Usaha Negara.

ABSTRACT

Court verdict must contain a judge’s argument or reason in a law consideration

known as a ratio decidenci. Judge’s ratio decidenci included judge’s Pengadilan

Tata Usaha Negara must be based on legislation ordinance. To reach the decision

filling a justice for many sides and societies generally is acquainted as a freedom

verification basis. This principle gives a freedom to judge’s Pengadilan Tata

Usaha Negara for deciding verification burden and also making a verdict to get

material truth. In this case, the researcher is interested to canvass about a ratio

decidenci in the verdict number 03/G/2011/PTUN.Smg and an application of

freedom verification basis of judge’s Pengadilan Tata Usaha Negara looking into

and discontinuing the lawsuit. In the answering of its case above, the researcher

uses approach method arranged by the research type of normative juridical with a

legislation, a conceptual, and a case approach. The used analysis method is

qualitative method. The result of the research states that ratio decidenci of judge’s

Pengadilan Tata Usaha Negara isn’t proper with legislation ordinance and makes a

mistake in applying freedom verification basis.

Keywords: Ratio Decidenci, the freedom verification basis, and the authority of

Pengadilan Tata Usaha Negara.

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah

melimpahkan rahmat, nikmat, karunia-NYA dan tak lupa penulis memanjatkan

salawat kepada junjungan Nabi dan Rasul kita MUHAMMAD SAW sehingga

penulis dapat menyelesaikan SKRIPSI yang berjudul “RATIO DECIDENDI

HAKIM DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA

DIKAITKAN DENGAN ASAS PEMBUKTIAN BEBAS (Tinjauan Yuridis

Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg)”. Skripsi ini disusun dalam rangka

memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas

Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa

penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan

pengetahuan dan waktu. Oleh karena itu semua kritik dan saran yang sifatnya

membangun akan diterima dengan ketulusan hati.

Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak

secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu dalam kesempatan ini

penulis akan menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang

sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

2. Bapak Weda Kupita, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan

masukan yang membangun dengan kesabaran dan ketulusan hatinya dalam

menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Sanyoto, S. H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dalam menyelesaikan

skripsi ini.

4. Bapak Drs. Noor Asyik, M.Ag. selaku Pembimbing Akademik yang telah

memberikan arahan dan nasehat yang baik selama menempuh pendidikan

di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

5. Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama

belajar dan menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman.

6. Orang tua penulis yaitu Papah Drs. Leksono Pambudi dan Mamah

Prasetyaningsih, S.H. yang tanpa lelah mendoakan, mendukung baik

secara moril maupun materiil dan selalu sabar dalam menghadapi segala

tingkah laku serta tutur penulis sebagai anaknya.

7. Kakak penulis yaitu Hayuningtyas Pambudi yang selalu sabar

mendengarkan segala keluh kesah penulis.

8. Aistetia Patriandita, Asti Salekhah Alfatin dan Prilia Primawati yang

selalu menjadi teman baik dalam suka maupun duka.

9. Mahfud Sahroni yang selalu menemani dalam suka dan duka serta selalu

sabar dalam menghadapi ketidaksabaran penulis.

10. Teman KKN Desa Glempang, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten

Banyumas: Eonni Juni Purwati, Kakak Afika Fahmudita, Kakak Nani,

Mami Intan, Eli Boy, Mba Izza, Zulfa, Pedra dan Sony.

11. Teman seperjuangan Risti Mutiara Khoirunisa, Nur Laila, Erina P., Dani

Habibi, Kusdianto, Ariawan, Panji, dsb.

12. Teman-teman kelas A angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada

umumnya. Terima Kasih.

Purwokerto,

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................ii

PERNYATAAN iii

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

KATA PENGANTAR ........................................................................................iv

DAFTAR ISI ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................1

B. Perumusan Masalah ......................................................................................11

C. Kerangka Teori..............................................................................................11

D. Tujuan Penelitian ..........................................................................................15

E. Kegunaan Penelitian......................................................................................16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar-Dasar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara ......................................17

1. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ..........................................17

2. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.........................23

3. Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara ................................25

4. Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara............27

5. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ..................................................29

B. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ...................................................30

C. Ratio Decidenci Hakim .................................................................................40

D. Tindak Pidana Korupsi ..................................................................................42

E. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil ............................................................44

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan .......................................................................................48

B. Spesifikasi Penelitian ....................................................................................48

C. Lokasi Penelitian ...........................................................................................49

D. Sumber Bahan Hukum ..................................................................................49

E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ...........................................................51

F. Metode Penyajian Bahan Hukum..................................................................51

G. Metode Analisis Bahan Hukum ....................................................................51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian .............................................................................................52

B. Pembahasan ...................................................................................................88

BAB V PENUTUP

A. Simpulan .......................................................................................................118

B. Saran ..............................................................................................................119

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dibagi menjadi empat lingkungan

peradilan. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal

tersebut dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dibagi dalam

empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer,

Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN).

Badan peradilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986 dan

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 dinyatakan mulai

diterapkan secara efektif di seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 14

Januari 1991. Kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut

diadakan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.1

Kewenangan absolut dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata

Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa,

memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Pengertian

“Sengketa Tata Usaha Negara” ditentukan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-

1 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Ketiga, Sinar Grafika,

Jakarta, 2013, hlm. 2.

Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009):

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang

Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di Daerah, sebagai

akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.2

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud

dengan sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari beberapa unsur, yaitu:

1. Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara;

2. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;

3. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan

Tata Usaha Negara.3

Tiap-tiap proses sengketa Tata Usaha Negara selalu dimulai dengan

diajukannya surat gugatan oleh penggugat atau oleh kuasanya dalam daerah

hukum pengadilan di mana tergugat bertempat kedudukan. Dalam proses

sengketa itu terdapat dua subjek sengketa atau para pihak yang bersengketa di

bidang Hukum Administrasi Negara (Sjachran Basah, 1989: 15) serta

lazimnya disebut sebagai penggugat dan tergugat.4

Para pihak yang bersengketa yaitu penggugat dan tergugat dalam

lingkup Peradilan Tata Usaha Negara sudah ditentukan secara limitatif atau

2 Ibid., hlm. 6.

3 Ibid., hlm. 6.

4 Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Dan UU

PTUN 2004, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 16.

terbatas dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang

Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menentukan

bahwa Tergugat merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang

dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Sedangkan untuk definisi Penggugat memang tidak terdapat dalam Undang-

Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian dari

ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) dapat kita ketahui yang

dimaksud dengan Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang

merasa kepentingannya dirugikan akibat diterbitkannya suatu Keputusan Tata

Usaha Negara.

Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan

Tata Usaha Negara menentukan bahwa orang atau badan hukum perdata yang

merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara

dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi

tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan

batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau

rehabilitasi. Pernyataan yang menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara

objek sengketa batal atau tidak sah atau juga menyatakan Keputusan Tata

Usaha Negara objek sengketa sah menurut hukum dituangkan dalam amar

putusan hakim.

Hukum Acara Tata Usaha Negara terdapat dua macam putusan, yaitu

putusan yang bukan putusan akhir dan putusan akhir. Putusan yang bukan

putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim sebelum

pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dinyatakan selesai. Tujuan dari

dijatuhkannya putusan yang bukan putusan akhir adalah untuk

memungkinkan atau mempermudah pelanjutan pemeriksaan sengketa Tata

Usaha Negara di sidang pengadilan.5

Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim setelah

pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa

tersebut pada tingkat pengadilan tertentu. Ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 97 ayat (7), dapat diketahui bahwa putusan akhir dapat berupa antara

lain sebagai berikut6:

a. Gugatan ditolak

b. Gugatan dikabulkan

c. Gugatan tidak diterima

d. Gugatan gugur

Hakim sebelum menjatuhkan amar putusan terhadap perkara yang

diperiksanya tentunya akan mempertimbangkan hal-hal yang ada

relevansinya terhadap perkara yang diperiksa. Pertimbangan hukum hakim

berisi antara lain argumentasi atau alasan hakim yang dijadikan pertimbangan

bagi putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. Argumentasi atau alasan

5 R. Wiyono, Op.Cit., hlm.188.

6 Ibid., hlm. 191.

hakim dalam suatu pertimbangan hukum dikenal dengan istilah Ratio

decidendi.7

Ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk

sampai pada suatu putusan. Ratio decidendi yang termuat dalam

pertimbangan hukum hakim dalam suatu putusan merupakan salah satu tolok

ukur untuk menentukan mutu dari suatu putusan pengadilan. Putusan yang

tidak mencantumkan pertimbangan hukum hakim akan menyebabkan putusan

tersebut batal demi hukum.8

Alasan hakim pada pertimbangan hukum dalam suatu putusan harus

bersifat yuridis dan menjadi dasar suatu putusan. Putusan Pengadilan harus

memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan dan

sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.9 Baik

keperluan praktik maupun kajian akademis ratio decidendi atau reasoning

tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan

isu hukum.10

Ratio decidendi hakim seharusnya dapat dipertanggung jawabkan, baik

secara yuridis normatif maupun secara yuridis akademis (doctrinal). Dalam

praktik terdapat beberapa ratio decidendi hakim yang menimbulkan persoalan

yuridis, salah satunya yakni dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg. Sehingga ratio decidendi dalam

7 W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Penerbitan

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2005, hlm. 16. 8 R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 194.

9 Philipus M. Hudjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada

University Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 356. 10

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-7, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, 2005. hlm. 94.

pertimbangan hukum tersebut perlu diteliti dan ditelaah lebih lanjut, untuk

kemudian dapat dijadikan suatu pembelajaran.

Duduk perkara dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor

03/G/2011/PTUN.Smg dijabarkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara

Semarang menangani perkara antara Ir.Ridwan Santoso,M.Si sebagai

penggugat melawan Walikota Salatiga sebagai tergugat. Pada tahun 2011, Ir.

Agus Ridwan Santoso, M.Si sebagai mantan Pegawai Negeri Sipil

diberhentikan dari jabatannya oleh Walikota Salatiga dengan mengeluarkan

Surat Keputusan Nomor : 888/290/2010, tertanggal 4 Oktober 2010 tentang

Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil (yang

selanjutnya disebut dengan Surat Keputusan Objek Sengketa).

Alasan diberhentikannya Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Penggugat)

karena telah melakukan tindak pidana korupsi dengan diperkuat adanya

Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan

Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns, tindak pidana korupsi

tersebut dilakukan secara bersama-sama dalam pelaksanaan proyek

pengadaan barang dan jasa yang melibatkan pejabat pembuat komitmen,

kepala dinas, penyedia barang dan jasa maupun panitia pemeriksa termasuk

dalam hal ini adalah Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si.

Pertimbangan hukum Majelis Hakim dapat dideskripsikan secara

singkat yaitu Majelis Hakim mempertimbangkan faktor-faktor yang

mendorong penggugat melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, dalam

pertimbangannya, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang

menyatakan bahwa dari putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor

02/pid.B/2010/PN.Wns tidak ditemukan fakta bahwa penggugat telah

bersalah dalam jabatannya tersebut, yaitu dengan sengaja melakukan tindak

pidana korupsi.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Majelis Hakim memutus

dalam amar putusannya sebagai berikut:

1. Menyatakan batal Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor:

888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak

Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan

Santoso, M.Si.

2. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Walikota

Salatiga Nomor: 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang

Pmberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir.

Agus Ridwan Santoso, M.Si.

3. Mewajibkan Tergugat untuk mengembalikan kedudukan Penggugat

sebagaimana posisi semula yaitu sebagai Pegawai Negeri Sipil serta

merehabilitasi nama baiknya dan kehormatan diri Penggugat.

Ratio decidendi dari majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara

Semarang terlihat janggal, karena yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim

adalah faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana

korupsi. Selain itu, dalam pertimbangannya, hakim Pengadilan Tata Usaha

Negara Semarang menyatakan bahwa dari putusan Pengadilan Negeri

Wonosari nomor 02/pid.B/2010/PN.Wns tidak ditemukan fakta bahwa

penggugat telah bersalah dalam jabatannya tersebut dengan sengaja

melakukan tindak pidana korupsi. Hal itu seolah hakim Pengadilan Tata

Usaha Negara tidak menghargai suatu putusan yang sudah inkrah. Mencari

fakta-fakta atau menganalisis putusan Pengadilan Negeri bisa dilakukan oleh

Pengadilan Tinggi apabila ada upaya banding. Bukan lingkup hakim Tata

Usaha Negara untuk memeriksa fakta-fakta dalam putusan pidana tersebut.

Padahal di sisi lain Tergugat dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha

Negara sudah sesuai dengan prosedur penerbitan yaitu pada saat ada dugaan

tindak pidana korupsi terhadap penggugat, tergugat mengeluarkan surat

pemberhentian sementara nomor 887/06/2010 terhadap penggugat.

Untuk kepentingan peradilan, seorang Pegawai Negeri yang didakwa

telah melakukan suatu kejahatan/pelanggaran jabatan dan oleh pihak yang

berwajib dikenakan tahanan sementara, mulai saat penahanannya harus

dikenakan pemberhentian sementara. Kemudian setelah keluar putusan inkrah

dari Pengadilan Negeri Wonosari yang menyatakan bahwa penggugat terbukti

bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, barulah

tergugat mengeluarkan surat pemberhentian dengan tidak hormat kepada

penggugat.

Berkaitan dengan kewenangan Hakim dalam mempertimbangkan suatu

sengketa Tata Usaha Negara, dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha

Negara dikenal adanya asas pembuktian bebas. Pengertian asas pembuktian

bebas adalah hakim Pengadilan Tata Usaha Negara bebas dalam menentukan

beban pembuktian dan menilai alat-alat bukti.11

Eksistensi asas pembuktian bebas diatur dalam Pasal 107 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa:

Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta

penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-

kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.

Sesuai dengan asas pembuktian bebas Hakim memang bebas dalam

menentukan beban pembuktian dan juga dalam menjatuhkan putusan. Namun

demikian, hakim juga harus memperhatikan peraturan perundang-undangan

yang ada. Terkait dengan kasus tersebut, hakim seharusnya memperhatikan

pula peraturan perundang-undangan tentang pemberhentian Pegawai Negeri

Sipil.

Seorang Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat

apabila terbukti melakukan kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan

yang ada hubungannya dengan jabatan. Mengenai kejahatan jabatan yang

dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil, berdasarkan Undang-Undang Nomor

43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang merupakan

perubahan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, diatur dalam

ketentuan pasal 23 ayat (5) huruf c, yaitu :

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum

penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak

pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada

hubungannya dengan jabatan.

11

Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan Tata

Usaha Negara), Edisi Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hlm. 62.

Ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun

1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian diperkuat lagi dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 32 tahun 1979 pasal 9 huruf a tentang

pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang merupakan penjabaran lebih

lanjut dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 23 ayat (5) huruf c,

yang menyatakan:

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai

Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan

keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap

karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak

pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan;

Berdasarkan pada ketentuan pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang

Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan pasal 9 huruf

a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian

Pegawai Negeri Sipil maka apabila seorang Pegawai Negeri Sipil dipidana

penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak

pidana kejahatan jabatan maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan

harus diberhentikan tidak dengan hormat karena telah menyalahgunakan

kepercayaan yang diberikan kepadanya.12

Dihubungkan dengan Pengertian Kejahatan jabatan di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana adalah sejumlah kejahatan tertentu, yang

hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat sebagai

Pegawai Negeri. Konsep yang menyangkut kejahatan jabatan dari ketentuan

12

Penjelasan PP Nomor 32 Tahun 1979.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut mengacu pada tindak

pidana korupsi yang saat ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari

hal – hal tersebut diatas, maka seharusnya Tergugat yang dimenangkan dalam

perkara ini, dan Keputusan Tata Usaha Negara dinyatakan sah.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, penulis ingin

melakukan penelitian yang menitikberatkan pada aspek yuridis normatif

dengan judul “RATIO DECIDENDI HAKIM DALAM MEMUTUS

SENGKETA TATA USAHA NEGARA DIKAITKAN DENGAN ASAS

PEMBUKTIAN BEBAS (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN NOMOR

03/G/2011/PTUN.SMG)”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah ratio decidendi hakim mengenai pembatalan Keputusan Tata

Usaha Negara objek sengketa sudah sesuai dengan Peraturan

Perundang-Undangan?

2. Bagaimanakah penerapan asas pembuktian bebas dalam Putusan

Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg?

C. Kerangka Teori

Secara sederhana negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan

kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum, dimana kekuasaan

menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi

hukum) dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum dan memberikan

petunjuk hidup pada masyarakat, guna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan

haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid van bestuur).13

Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia adalah

suatu negara hukum (rechtsstaat), jadi seasas negara-negara Eropa Barat

Kontinental.14

Indonesia tergolong sebagai negara hukum demokratis. Hukum yang

dijadikan aturan main (spelregel) dalam penyelenggaraan negara dan

pemerintahan serta untuk mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking)

antara penyelenggara negara dan pemerintahan di Indonesia adalah Hukum

Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.15

Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem

ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang

yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh

karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and

balances. Salah satu bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi

pemerintah adalah melalui lembaga peradilan.

13

Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.

1. 14

Slamet Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Cetakan X, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1994, hlm. 21. 15

Ridwan H. R., Op.Cit., hlm. 20.

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dibagi menjadi empat lingkungan

peradilan. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal

tersebut dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dibagi dalam

empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer,

Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN).

Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di

bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi

rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Mengenai

susunan dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, oleh

Pasal 8 ditentukan bahwa pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara terdiri dari:

1. Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat

Pertama.

2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan

Tingkat Banding.16

Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa Pengadilan

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa

Tata Usaha Negara.

Yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara menurut pasal 1

angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 10 Undang-

16

R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 2.

Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009)

adalah:

Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau

badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik

di pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata

Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang melalui Pengadilan

Tata Usaha Negara akan berakhir dengan adanya putusan Hakim. Hukum

Acara Peradilan Tata Usaha Negara mengenal adanya 2 jenis putusan, yaitu

putusan yang bukan putusan akhir dan putusan akhir. Adanya putusan yang

disebut putusan yang bukan putusan akhir tersebut, dapat disimpulkan dari

perumusan Pasal 113 ayat (1) dan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986.17

Putusan akhir merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah

pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa

tersebut pada tingkat tertentu. Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 menentukan bahwa putusan akhir dapat berupa gugatan ditolak,

gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima dan gugatan gugur.

Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa salah satu yang harus ada

dalam suatu putusan hakim adalah alasan hukum yang menjadi dasar putusan.

Sebelum hakim menjatuhkan vonis untuk menjawab tuntutan dari pihak

penggugat, terlebih dahulu hakim membuat dasar-dasar pertimbangan hukum

17

Ibid., hlm. 187.

berisi ratio decindendi atau reasoning yaitu argumentasi atau alasan hukum

untuk sampai pada suatu putusan.

Bagian putusan yang menyebutkan tentang pertimbangan hukum atau

biasa disebut dengan konsiderans berisi tentang uraian pertimbangan hukum

terhadap duduk perkara.18

Mutu atau kualitas putusan yang dijatuhkan hakim

dapat dilihat dari ratio decidendi atau argumentasi hukum yang diberikan

oleh hakim itu sendiri.

Hakim bebas dalam menjatuhkan putusan. Hal tersebut sesuai dengan

salah satu asas dalam Peradilan Tata Usaha Negara yaitu asas pembuktian

bebas. Asas pembuktian bebas sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 107

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, bahwa Hakim menentukan apa yang

harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk

sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti

berdasarkan keyakinan Hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 100 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986. Meskipun Hakim bebas dalam menentukan

beban pembuktian dan juga dalam menjatuhkan putusan, namun harus tetap

memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apakah ratio decidendi hakim mengenai pembatalan

Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa sudah sesuai dengan

Peraturan Perundang-Undangan.

18

Philipus M. Hadjon, Dkk, Op.Cit., hlm. 119.

2. Untuk mengetahui penerapan asas pembuktian bebas dalam Putusan

Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg.

E. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk

pengembangan pustaka hukum yang berkaitan dengan Hukum Acara

Tata Usaha Negara, khususnya mengenai ratio decidendi terkait dengan

kewenangan hakim dalam memutus perkara.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan bagi

penulis sekaligus menjadi pedoman dan acuan bagi mereka yang akan

melakukan penelitian serupa, serta para praktisi Hukum Acara Peradilan

Tata Usaha Negara.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar-Dasar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

1. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Lingkup peradilan di Indonesia dibagi menjadi 4 (empat)

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu Peradilan Umum,

Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara

yang masing-masing meliputi badan-badan peradilan tingkat Pertama dan

tingkat Banding.

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia menganut

Dual System Of Courts yaitu disamping Peradilan Umum juga Peradilan

Administrasi yang berdiri sendiri. Peradilan Administrasi perlu adanya

penegasan lapangan sengketa/perkara administrasi sebagai bidang

kompetensi peradilan yang bersangkutan. Sengketa atau perkara

administrasi merupakan perselisihan antara dua pihak yaitu warga negara

masyarakat/warga negara dan pemerintahan atau penguasa dalam bidang

hukum publik, khususnya hukum administrasi.19

Penegakan Hukum Administrasi Negara memerlukan suatu hukum

formil atau hukum acara yang berisi ketentuan-ketentuan tata cara

mewujudkan Hukum Administrasi Negara dalam kehidupan sehari-hari.

19

R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia,

Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 22.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukum

yang berisi ketentuan mengenai tata cara menegakkan Hukum

Administrasi Negara dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dibedakan atas:

1. Hukum acara materiil yang meliputi:

a. Kompetensi absolut dan relatif;

b. Hak gugat;

c. Tenggang waktu menggugat;

d. Alasan menggugat;

e. Alat bukti

2. Hukum acara formil (hukum acara dalam arti sempit) berupa langkah-

langkah atau tahapan yang terbagi atas:

a. Acara biasa;

b. Acara cepat;

c. Acara singkat.20

Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pengadilan

Tata Usaha Negara sebagi Pengadilan pada tingkat pertama dan

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Pengadilan tingkat

banding.

Para pihak yang berperkara dalam Hukum Acara Peradilan Tata

Usaha Negara terdiri dua pihak yang berlawanan, yaitu pihak Penggugat

dan pihak Tergugat. Pihak Penggugat dalam Peradilan Tata Usaha

20

Philipus M. Hadjon. Dkk., Op.Cit., hlm. 331.

Negara yaitu orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya

dirugikan akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara oleh

badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di tingkat pusat mapun di

daerah. Dan pihak Tergugat yaitu badan atau pejabat Tata Usaha Negara

yang mengeluarkan ketetapan berdasarkan wewenang sebagai alat

perlengkapan negara atau yang dilimpahkan kepadanya.

Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan

(beschikking) dapat ditempuh melalui Peradilan Tata Usaha Negara.

Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dilakukan melalui Peradilan

Tata Usaha Negara dengan mengajukan gugatan.

Gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang

dimana daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat. Gugatan

dalam Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 1 angka 5

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 11 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun

2009):

Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan

atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk

mendapatkan putusan.

Gugatan pada pokoknya harus memuat; identitas para pihak

(penggugat dan tergugat); posita (dasar tuntutan yang terdiri dari bagian

yang menguraikan tentang peristiwanya dan bagian yang menguraikan

tentang hukumnya); petitum atau tuntutan (apa yang diminta oleh

penggugat atau yang diharapkan diputuskan oleh hakim).21

Orang atau badan hukum yang kepentingannya dirugikan akibat

dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara dapat menggugat badan

atau pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986:

Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya

dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan

gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi

tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu

dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan

ganti rugi dan/atau rehabilitasi.

Kepentingan adalah syarat pokok agar seseorang dapat mengajukan

gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Kepentingan yang dimaksud

dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah

adanya kerugian yang diderita oleh orang atau badan hukum perdata

akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara.

Secara garis besar ada 2 (dua) alasan yang dijadikan dasar

pengajuan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu:

1. Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku,

2. Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan Asas-Asas

Umum Pemerintahan yang Baik.22

21

Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara , Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2001, hlm. 39. 22

W. Riawan Tjandra, Op.Cit., hlm. 74.

Pengajuan gugatan harus memperhatikan tenggang waktu untuk

mengajukan gugatan, karena dengan lewatnya tenggang waktu gugatan,

ketua Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

mempunyai alasan untuk memutuskan dengan penetapan bahwa gugatan

tidak diterima atau tidak berdasar.23

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa

gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh)

hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang

berlangsung di samping Penggugat dan Tergugat, kadang-kadang ada

pihak ketiga yang mempunyai kepentingan juga terhadap penyelesaian

sengketa Tata Usaha Negara tersebut, sehingga akibatnya kepada pihak

ketiga perlu diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam penyelesaian

sengketa Tata Usaha Negara yang dimaksud. Keikutsertaan pihak ketiga

dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang di dalam

kepustakaan biasa disebut intervensi, diatur dalam Pasal 83 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986.24

Pasal 83 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara menentukan bahwa selama pemeriksaan berlangsung

setiap orang atau badan hukum perdata yang berkepentingan dalam

sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik prakarsa

23

R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 124. 24

Ibid., hlm. 76.

sendiri dengan mengajukan permohonan, permintaan dari para pihak

yang sedang bersengketa, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk

dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai pihak yang

membela haknya, atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak

yang bersengketa.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara mengenal adanya 3

(tiga) jenis acara pemeriksaan, yaitu acara pemeriksaan biasa, acara

pemeriksaan cepat dan acara pemeriksaan singkat.

Pemeriksaan dengan acara biasa merupakan pemeriksaaan yang

dilakukan apabila tidak terdapat alasan khusus yang memenuhi kriteria

Pasal 98 dan 99 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara. Pemeriksaan dengan menggunakan acara biasa tidak

boleh melebihi batas waktu 6 bulan sejak tanggal registrasi Sengketa

Tata Usaha Negara oleh Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara,

dan pemeriksaan dengan acara biasa dipimpin oleh Majelis Hakim Ketua

dan Hakim Anggota.

Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan apabila dalam gugatan

yang diajukan oleh pihak Penggugat disebutkan adanya alasan-alasan

khusus agar pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara

dipercepat.25

Pemeriksaan dengan acara singkat dalam Hukum Acara Peradilan

Tata Usaha Negara merupakan sarana bagi Penggugat apabila

25

Ibid., hlm. 166.

gugatannya dinyatakan tidak diterima dalam Rapat Permusyawaratan

pada acara pemeriksaan biasa. Bentuk akhir dari acara pemeriksaan

singkat adalah penetapan, hal ini berbeda dengan bentuk akhir dari acara

pemeriksaan biasa dan acara pemeriksaan cepat yaitu putusan.

2. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Asas-asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum.

Asas-asas hukum adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan

hukum, karena: Pertama, asas-asas hukum merupakan landasan yang

paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Peraturan hukum pada

akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas-asas hukum. Asas-asas

hukum adalah abstraksi dari peraturan hukum, yakni abstraksi tertinggi

yang dari padanya tidak dapat ditarik pengertian umum yang lebih tinggi

lagi. Kedua, asas-asas hukum merupakan ratio logis atau alasan bagi

lahirnya peraturan hukum.26

Ciri khas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara terletak pada

asas-asas hukum yang melandasinya, yaitu:27

1. Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid =

praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa

setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai

ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda

pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (Pasal

67 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 1986).

2. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban

pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW.

Asas ini dianut pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

hanya saja masih dibatasi ketentuan Pasal 100.

26

Suparto Wijoyo, Op,Cit., hlm. 46. 27

Philipus M. Hadjon, dkk, Op.Cit., hlm. 313.

3. Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis). Keaktifan hakim

dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena

Tergugat adalah Pejabat Tata Usaha Negara sedangkan Penggugat

adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini antara

lain terdapat dalam ketentuan Pasal: 58, 63 ayat (1) dan (2), 80,

85 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

4. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga

omnes”. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum

publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara

berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi para pihak yang

bersengketa.

Ciri khas yang ada dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha

Negara tersebut dapat dijelaskan bahwa: Asas praduga rechmatig

dimaksudkan semua tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

pada saat mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara harus selalu

dianggap benar atau berdasarkan hukum (rechtmatig) sampai dengan

dibatalkan oleh yang berwenang; Asas pembuktian bebas sebagaimana

yang dijelaskan dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,

bahwa Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian

beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan

sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim

sebagaimana diatur dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986; Asas keaktifan Hakim dimaksudkan untuk mengimbangi

kedudukan Penggugat yang merupakan orang atau badan hukum perdata

dengan Tergugat yang merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

yang mempunyai kedudukan lebih kuat; Asas Putusan Pengadilan

Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat dimaksudkan bahwa putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi semua orang. Maka dari itu

putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja dan bukan

hanya mengikat para pihak yang bersengketa. Hal demikian itu

merupakan pengejawantahan esensi Peradilan Tata Usaha Negara yang

pada dasarnya menegakkan hukum publik.28

3. Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara

Masalah kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut

Thorbecke apabila sengketa (fundamental petendi) terletak di lapangan

hukum publik yang memiliki kewenangan memutuskannya adalah Hakim

Administrasi. Menentukan kewenangan mengadili yang ada pada Hakim

Administrasi Negara menurut Buys adalah pokok dalam perselisihan

(objectum litis). Pihak yang bersangkutan dirugikan dalam hak privatnya

dan oleh karena itu meminta ganti kerugian, maka objectum litis itu

sendiri adalah suatu hak privat, oleh karena itu perkara yang

bersangkutan harus diselesaikan oleh Hakim biasa atau peradilan umum.

Kompetensi yang sebagaimana dikemukakan oleh Buys lebih sempit

dibandingkan dengan kompetensi yang dikemukakan oleh Thorbercke.29

Kompetensi atau kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara dapat

dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu kompetensi relatif dan kompetensi

absolut.

Kompetensi relatif (wewenang/kekuasaan relatif) Peradilan Tata

Usaha Negara terkait dengan Pengadilan yang berwenang mengadili

sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam pasal 54

28

Suparto Wijoyo, Op.Cit., hlm. 75. 29

W. Riawan Tjandra, Op.Cit., hlm. 33.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pengadilan yang berwenang

mengadili sengketa Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha

Negara yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat.

Kewenangan absolut dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata

Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.

Pengertian “Sengketa Tata Usaha Negara” ditentukan dalam Pasal 1

angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 Angka 10

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51

Tahun 2009):

Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang

atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara, baik di pusat maupun di Daerah, sebagai akibat

dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.30

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan

sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari beberapa unsur, yaitu:

1. Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara;

2. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;

3. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan

Tata Usaha Negara.31

30

R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 6. 31

Ibid., hlm. 6.

Kompetensi absolut/wewenang mutlak menyangkut pembagian

kekuasaan mengadili antara badan-badan Pengadilan (attribute van

rechtsmacht). Wewenang absolut mengetahui badan peradilan seperti apa

yang berwenang mengadili suatu sengketa.32

4. Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara

untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari

pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta tersebut dapat

terdiri dari fakta hukum dan fakta biasa.33

Peradilan Tata Usaha Negara menganut ajaran pembuktian bebas.

Hal tersebut tercermin dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1986 yang pada intinya menyatakan bahwa pada Peradilan Tata

Usaha Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan

guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini

mengarah pada ajaran pembuktian bebas.

Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah

ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan

yang mengikat Hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan

diserahkan kepada Hakim. Ajaran pembuktian bebas diikuti karena

proses pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap Sengketa Tata Usaha

Negara yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang

32

Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm. 31. 33

R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 171

Nomor 51 Tahun 2009, menurut pembuat undang-undang dimaksudkan

untuk memperoleh kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil.34

Penjelasan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

menyebutkan bahwa:

Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan

kebenaran materiil. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam

Hukum Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu

yang terjadi dalam pemeriksaan, tanpa tergantung pada fakta dan hal

yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara

dapat menentukan sendiri:

a. apa yang harus dibuktikan;

b. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus

dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang

harus dibuktikan oleh Hakim sendiri;

c. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam

pembuktian;

d. kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.

Macam alat-alat bukti disebutkan dalam Pasal 100 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu:

a. Surat atau tulisan;

b. Keterangan ahli;

c. Keterangan saksi;

d. Pengakuan para pihak;

e. Pengetahuan Hakim.

Ketentuan Pasal 100 tersebut menyebutkan alat-alat bukti yang sah

sehingga alat-alat bukti dalam ketentuan Pasal 100 bersifat limitatif

34

Ibid., hlm. 173

(terbatas; sudah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

alat bukti apa saja yang dapat digunakan), maka apabila ada alat-alat

bukti lain di luar ketentuan Pasal 100 tersebut harus dianggap bukan alat

bukti, seperti pita rekaman, film dan lain sebagainya.35

5. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim,

sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan

dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan

suatu perkara atau sengketa antara para pihak.36

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara mengenal adanya 2

jenis putusan, yaitu putusan yang bukan putusan akhir dan putusan akhir.

Adanya putusan yang disebut putusan yang bukan putusan akhir tersebut,

dapat disimpulkan dari perumusan Pasal 113 ayat (1) dan Pasal 124

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.37

Putusan akhir merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim

setelah pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara selesai yang

mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat tertentu. Pasal 97 ayat (7)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa putusan akhir

dapat berupa gugatan ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima

dan gugatan gugur.

35

Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm. 84. 36

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan Pertama, Edisi

Kedelapan, Liberty, Yogyakarta, 2009, hlm. 212. 37

Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm. 187.

Putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, megakibatkan putusan pengadilan

tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Putusan diucapkan,

baik dihadiri oleh satu pihak atau kedua-duanya tidak hadir. Apabila

salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir, maka atas perintah

hakim ketua sidang disampaikan salinan putusan dengan surat tercatat

kepada pihak-pihak yang tidak hadir ini.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara hanya mengenal satu

macam tuntutan pokok, yaitu agar Surat Keputusan Tata Usaha Negara

yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dan tidak ada

tuntutan penggantian atau subsider atau lebih subsider. Tuntutan

tambahan berupa ganti rugi dan atau rehabilitasi.

B. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara

Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara dapat dilihat dari syarat-

syarat pembuatannya dan dasar pengujian terhadap Keputusan Tata Usaha

Negara, kedua hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Syarat-syarat Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara

Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan

beschikking ini mencakup syarat materiil dan syarat formil. Pembuatan

Keputusan Tata Usaha Negara harus memperhatikan beberapa

persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum

(rechtsgeldig) dan memiliki kekuatan hukum (rechtskracht). Syarat-

syarat materiil dan syarat-syarat formil adalah sebagai berikut:38

a. Syarat-syarat materiil terdiri atas :

1) Organ pemerintahan yang membuat keputusan harus

berwenang;

2) Karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak

(wilsverklaring), maka keputusan tidak boleh mengandung

kekurangan-kekurangan yuridis (geen jurisdische gebreken in

de wilsvorming), seperti penipuan (berdrog), paksaan (dwang),

atau suap (omkoping), kesesatan (dwaling);

3) Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu;

4) Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar

peraturan-peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu

harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

b. Syarat-syarat formil terdiri atas :

1) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan

dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya

keputusan harus dipenuhi;

2) Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

dikeluarkannya keputusan itu;

3) Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu

harus dipenuhi;

4) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang

menyebabkan dibuatnya dan diumumkan keputusan itu harus

diperhatikan.

Suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang memenuhi syarat

materiil dan syarat formil, maka keputusan ini dikategorikan sah menurut

hukum (rechtsgeldig), artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari

tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara

prosedural/formil maupun materiil.39

38

Ridwan HR. Op, Cit., hlm. 162. 39

Ibid, hlm. 163.

2. Dasar Untuk Menguji Keputusan Tata Usaha Negara

Alasan mengajukan gugatan atau dasar gugatan yang diajukan

penggugat, pada prinsipnya sama dengan dasar pengujian yang dilakukan

oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terhadap

Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.40

Menurut konsep Hukum Administrasi Negara, dasar untuk

melakukan perbuatan hukum oleh Pemerintah adalah adanya

kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan. Jabatan memperoleh

wewenang dapat melalui atribusi, delegasi atau mandat yang akan

melahirkan kewenangan. Menurut asas legalitas, kewenangan harus

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Secara teoritis kita mengenal tiga macam jenis norma hukum

tertulis yang dibuat oleh pemerintah, yaitu norma hukum Peraturan

Perundang-undangan (regelling), norma hukum Ketetapan/Keputusan

Tata Usaha Negara (beschikking) dan norma hukum Putusan Pengadilan

(vonnis).

Kewenangan pengujian norma hukum putusan pengadilan

dilakukan oleh pengadilan di atasnya dalam kerangka sistem pengajuan

upaya hukum, baik upaya hukum biasa (banding, kasasi), maupun upaya

hukum luar biasa (peninjauan kembali). Sedangkan pengujian norma

hukum Keputusan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

40

R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 88.

Ketentuan mengenai hak gugat diatur dalam Pasal 53 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

yang mengamanatkan diselenggarakannya hak gugat bagi orang atau

badan hukum perdata yang dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha

Negara, untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Petitum atau tuntutan pokok yang diajukan oleh Penggugat yakni

agar Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat dinyatakan batal atau

tidak sah. Agar tujuan dari tuntutan tersebut dapat tercapai, maka gugatan

yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata harus memuat dasar-

dasar gugatan atau alasan-alasan gugatan, hal ini sesuai dengan alasan-

alasan gugatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-

undang Nomor 9 Tahun 2004 yang mengatur bahwa alasan-alasan yang

dapat digunakan dalam gugatan adalah :

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan

dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004

di atas yang kemudian dijadikan dasar-dasar (kriteria dan ukuran) untuk

menguji (toetsingsgronden) bagi Hakim Tata Usaha Negara pada waktu

menilai apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan

bersifat melawan hukum atau tidak. Indroharto menegaskan bahwa

mengenai pengujian yang dilakukan oleh Hakim Tata Usaha Negara

tersebut perlu dipahami mengenai :

1. Aspek-aspek umum dari pengujian tersebut;

2. Ruang lingkup dari pengujian tersebut;

3. Dasar-dasar pengujiannya sendiri.41

Sesuai dengan dasar-dasar untuk menguji Keputusan Tata Usaha

Negara, berarti salah satu alat untuk menguji keabsahan suatu Keputusan

Tata Usaha Negara adalah apakah Keputusan Tata Usaha Negara tersebut

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dikualifikasikan sebagai

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

menurut penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun

1986 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9

Tahun 2004, dijelaskan bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara

dinilai bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku apabila keputusan yang bersangkutan itu :

1) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal.

2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan yang bersifat materiil/substansial.

3) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

tidak berwenang.

Menurut Indroharto, suatu penetapan tertulis (KTUN) dianggap

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena antara lain:42

1) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengira

memiliki suatu wewenang untuk mengeluarkan atau menolak

mengeluarkan suatu keputusan, padahal ia sebenarnya tidak

berwenang untuk berbuat demikian, atau dengan kata lain suatu

keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha

41

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

2000, hlm. 164. 42

Ibid., hlm. 172-173.

Negara yang sebenarnya badan atau pejabat Tata Usaha Negara

tidak punya wewenang. Terhadap hal demikian apabila hal tersebut

disengketakan maka hakim yang memeriksa harus membatalkan

keputusan yang dimaksud.

2) Berdasarkan peraturan, yang bersangkutan mempunyai wewenang

untuk mengeluarkan suatu keputusan, tetapi wewenang tersebut

sebenarnya tidak diberikan kepada instansi yang telah

mengeluarkan keputusan yang sedang digugat. Kasuistis yang

demikian biasanya berhubungan dengan delegasi yang sebenarnya

delegasi tersebut tidak didasarkan adanya suatu keputusan

pendelegasian dari si delegans.

3) Ada dasar dalam peraturan perundang-undangan tentang suatu

wewenang, akan tetapi keputusan yang disengketakan itu sendiri

bertentangan dengan peraturan dasarnya atau bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lain.

4) Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya

penetapan yang bersangkutan sebenarnya bertentangan dengan

peraturan yang lebih tinggi.

5) Penetapan yang disengketakan itu dikeluarkan menyimpang dari

peraturan-peraturan prosedur yang harus ditetapkan.

Berdasarkan uraian di atas, berarti salah satu alat uji atau tolok

ukur keabsahan (rechtmatigheid) suatu Keputusan Tata Usaha Negara

adalah berupa peraturan perundang-undangan, aspek-aspek yang diukur

adalah meliputi: Wewenang, Prosedur, Substansi.43

Mengenai keabsahan ditinjau dari segi kewenangan, berarti apabila

suatu Keputusan Tata Usaha Negara tidak sesuai dengan aspek

kewenangan dari Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkannya, maka

berarti Keputusan Tata Usaha Negara tersebut telah dikeluarkan oleh

Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang. W. Riawan Tjandra

menegaskan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang

43

Philipus M. Hadjon, Op. Cit., hlm. 330.

(onvoegdheid) disebut keputusan yang cacat mengenai kewenangan

(bevoegdheidsgebreken). Cacat kewenangan meliputi 3 (tiga) hal, yaitu :

a. Onbevoegdheid riatione materiae, yaitu apabila suatu keputusan

tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau

apabila keputusan itu dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara yang tidak berwenang mengeluarkannya.

b. Onbevoegdheid riatione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh

badan atau pejabat Tata Usaha Negara tersebut menyangkut hal

yang berada di luar batas wilayahnya (geografis).

c. Onbevoegdheid riatione temporis, yaitu Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk

mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, misalnya karena

jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain

sementara itu sudah berlaku peraturan baru.44

Sesuai dengan konsep kewenangan tersebut di atas, berarti Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara harus mempunyai kewenangan untuk

mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Berdasarkan peraturan

perundang-undangan dan doktrin, kewenangan yang ada pada Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara menjadi salah satu tolok ukur untuk menilai

sah dan tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

Indroharto menyatakan bahwa pengujian dari segi hukumnya

tidak hanya mengenai keputusannya saja, tetapi mengenai keseluruhan

proses pembentukan keputusan tersebut dalam segala tingkatannya.

Artinya pengujian itu juga mengenai : 45

a. Prosedur permohonannya : umpama apakah pemohon telah diberi

kesempatan untuk melengkapi surat-suratnya dalam waktu yang

layak?

b. Penelitian yang dilakukan oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha

Negara yang bersangkutan: apakah instansi tersebut telah

mengadakan penelitian mengenai pendapat-pendapat yang

44

W. Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm. 73. 45

Indroharto, Op. Cit., hlm. 168 – 169.

dikemukakan oleh mereka yang berkepentingan? Umpama yang

berkepentingan itu mengemukakan, bahwa ternyata ada

permohonan-permohonan yang keadaannya serupa dengan

permohonannya telah memperoleh izin yang dimohon maka

semestinya instansi tersebut juga perlu melakukan penelitian akan

kebenaran mengenai yang dikemukakan tersebut; apabila menurut

peraturannya ditentukan, bahwa yang berkepentingan harus

didengar, maka perlu diteliti apakah hal tersebut benar sudah

dilakukan oleh instansi tersebut? Apakah keharusan untuk meminta

pendapat instansi lain seperti yang ditentukan dalam peraturan yang

bersangkutan itu benar sudah dilakukan?

c. Keputusannya sendiri : apakah instansi yang bersangkutan itu benar

berwenang untuk mengeluarkan keputusan yang digugat itu?

Apakah peraturan yang menjadi dasar wewenang telah secara tepat

ditafsirkan oleh instansi yang mengeluarkan keputusan itu? Apakah

benar telah dilakukan penimbangan secara layak mengenai

kepentingan-kepentingan yang terkait dengan keputusan itu?

Bagaimanakah keputusan mengenai hal itu atau keadaan yang

serupa pada waktu-waktu yang lampau? Apakah oleh instansi yang

bersangkutan telah dikeluarkan peraturan mengenai kebijaksanaan

yang akan ditempuh mengenai hal yang ditentukan dalam

keputusan itu? Apakah peraturan kebijaksanaan tersebut telah

dipublikasikan? Apakah oleh instansi yang bersangkutan telah

diberikan janji-janji tertentu kepada pemohon?

d. Bentuk keputusan yang digugat : apakah keputusan itu sendiri

sudah cukup jelas? Apakah keputusan itu memuat pertimbangan-

pertimbangan yang didasarkan kepada fakta-fakta yang benar?

Sejalan dengan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2004 dasar pengujian atau tolok ukur untuk menilai keabsahan

suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah apakah Keputusan Tata

Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum

Pemerintahan yang Baik ataukah tidak.

Berkaitan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik

sebagai dasar pengujian terhadap keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha

Negara, Indroharto juga mengemukakan sebagai berikut.46

46

Indroharto, Op. cit., hlm. 179.

1. Asas-asas formil mengenai pembentukan keputusan:

a. asas kecermatan formil;

b. asas fair play;

2. Asas-asas formil mengenai formulasi keputusan:

a. asas pertimbangan;

b. asas kepastian hukum formil;

3. Asas-asas materiil mengenai isi keputusan:

a. asas kepastian hukum materiil;

b. asas kepercayaan atau asas harapan yang telah ditimbulkan;

c. asas persamaan;

d. asas kecermatan;

e. asas keseimbangan.

Berdasarkan penjelasan Pasal 53 Ayat (2) huruf b Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2004, yang dimaksud Asas-Asas Umum Pemerintahan

yang Baik adalah meliputi Asas-asas Umum Penyelenggaraan Negara

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme. Asas-asas tersebut meliputi :

a. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,

kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggaraan

Negara.

b. Asas tertib Penyelenggaraan Negara, yakni asas yang menjadi

landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam

pengendalian Penyelenggaraan Negara.

c. Asas Keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan

tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap

memperhatiakn perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan

rahasia negara.

d. Asas Proporsional, yakni asas yang mengutamakan keseimbangan

antara hak dan kewajiban Penyelenggaraan Negara.

e. Asas Profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

f. Asas Akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap

kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggaraan Negara

harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Praktik dalam Pengadilan, Hakim dalam lingkungan Peradilan Tata

Usaha Negara biasa menerapkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang

Baik yang tidak terdapat dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Oleh karena itu, mengetahui dan

memahami Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang terdapat

dalam doktrin atau teori hukum adalah merupakan hal yang penting.

Beberapa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik telah

mendapat tempat yang layak dalam peraturan perundang-undangan dan

yurisprudensi, serta dikembangkan oleh teori-teori Ilmu Hukum, yaitu

antara lain: 47

a. Asas Kepastian Hukum (rechtszekerheid beginsel/principle of legal

security);

b. Asas Keseimbangan (evenredigheid beginseel);

c. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan (gelijkheid

beginsel/principle of equality);

d. Asas Bertindak cermat (zorgvuldigheid begilsel/principle of

carefulness);

e. Asas Motivasi untuk setiap keputusan (motivering

beginsel/principle of motivation );

f. Asas tidak mencampuradukan kewenangan (priciple of non misuse

of copetence);

g. Asas Permainan yang Layak (priciple of fair play);

h. Asas Keadilan dan Kewajaran (redelijkheids beginsel of verbod van

wilekeur/principle of resonableness or prohibition arbitratiness);

i. Asas kepercayaan dan Menanggapi Penghargaan Yang Wajar

(beginsel van apgewekte verctingen/principle of metting raised

expectation);

j. Asas Meniadakan Akibat-Akibat Suatu Keputusan Yang Batal

(herstel beginsel/principle undoing the consequences of an

annulled decision);

47

Ridwan, HR., Op. Cit., hlm 206-207.

k. Asas Perlindungan Atas Pandangan (cara) Hidup pribadi (principle

of protecting the personal of way of life).

l. Asas Kebijaksanaan (supienta)

m. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principles of public

service).

C. Ratio Decidendi Hakim

Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa salah satu yang harus ada

dalam suatu putusan hakim adalah alasan hukum yang menjadi dasar putusan.

Sebelum hakim menjatuhkan vonis untuk menjawab tuntutan dari pihak

penggugat, terlebih dahulu hakim membuat dasar-dasar pertimbangan hukum

berisi ratio decindendi atau reasoning yaitu argumentasi atau alasan hukum

untuk sampai pada suatu putusan. Inti dari suatu perkara yang yuridis, yakni

bagian dapat dianggap dianggap mempunyai sifat menentukan, disebut ratio

decidendi. Ratio decidendi ialah faktor-faktor yang sejati (material facts),

faktor-faktor yang ”esensiil” yang justru mengakibatkan keputusan begitu

itu.48

Bagian putusan yang menyebutkan tentang pertimbangan hukum atau

biasa disebut dengan konsiderans berisi tentang uraian pertimbangan hukum

terhadap duduk perkara.49

Pada bagian putusan mengenai pertimbangan

hukum tersebut terdapat penilaian mengenai alat-alat bukti terhadap fakta-

fakta yang diajukan atau yang dibantah oleh penggugat dan/atau tergugat

dalam persidangan.

48

Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, Jakarta,

1983, hlm. 37-38 49

Philipus M. Hadjon, Dkk, Op.Cit., hlm. 119.

Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan serta menjatuhkan

putusan, namun semua itu harus didasarkan pada aturan hukum yang ada dan

didasarkan pada argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti. Hal ini

bertujuan agar dalam setiap putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim akan

memberikan keadilan serta kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa.

Putusan harus dihasilkan melalui musyawarah dengan prinsip

permufakatan bulat berkaitan dengan segi obyektivitas putusan. Putusan

Hakim harus didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan melalui penilaian

obyektif terhadap kaedah hukum. Apabila putusan dilihat sebagai penetapan

kaedah hukum, maka yang secara langsung mengikat adalah pertimbangan

atau alasan yang secara langsung mengenai pokok perkara, yaitu kaedah

hukum yang merupakan dasar putusan (ratio decidendi).50

Mutu atau kualitas putusan yang dijatuhkan hakim dapat dilihat dari

ratio decidendi atau argumentasi hukum yang diberikan oleh hakim itu

sendiri.

Pertimbangan hukum dalam suatu putusan adalah sangat penting dan

menentukan, hal ini dikarenakan apabila suatu putusan didasarkan pada suatu

pertimbangan hukum yang tidak cukup maka akan menjadi alasan untuk

membatalkan putusan tersebut dalam pemeriksaan tingkat kasasi.51

Putusan yang tidak menyebutkan atau tidak mencantumkan

pertimbangan atau argumentasi dari hakim sebelum memutus suatu perkara

atau sengketa, maka terhadap putusan tersebut berakibat batal demi hukum.

50

W. Riawan Tjandra, Op.Cit., hlm. 120 51

R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 195.

Batal demi hukum berarti putusan tersebut bagi hukum tidak mempunyai

akibat hukum tanpa diperlukan adanya putusan lagi untuk menyatakan batal

terhadap putusan tersebut.52

D. Tindak Pidana Korupsi

Menurut asal kata, korupsi berasal dari kata berbahasa latin, corruptio.

Kata ini sendiri punya kata kerja dasar yaitu corrumpere yang artinya busuk,

rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.

Korupsi di dalam Ensiklopedia Indonesia (Evi Hartanti, 2007:8) disebut

“Korupsi” (dari bahasa Latin: corruptio = penyuapan; corruptore = merusak)

gejala dimana para pejabat, badan-badan negara meyalahgunakan wewenang

dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.

Tindak Pidana Korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman Pidananya

seperti di Pasal 2 terkait dengan kerugian negara sebagai berikut :

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di

pidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 (empat) tahun dan yang paling lama 20 tahun dan denda

paling sedikit 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang di maksud dalam

ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat

dijatuhkan.

Tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis,

salah satunya adalah tindak pidana korupsi dalam hal penyalahgunaan

52

Indroharto, Op. Cit., hlm. 130.

jabatan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan penyalahgunaan jabatan adalah

seorang pejabat pemerintah yang dengan kekuasaan yang dimilikinya

melakukan penggelapan laporan keuangan, menghilangkan barang bukti atau

membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan untuk

menguntungkan diri sendiri dengan jalan merugikan negara hal ini

sebagaimana rumusan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menetapkan bahwa:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit

Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Selain pasal tersebut diatas terdapat juga ketentuan pasal-pasal lain

yang mengatur tentang penyalahgunaan jabatan, antara lain:

a. Pasal 8 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

b. Pasal 9 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

c. Pasal 10 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi;

d. Pasal 10 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi;

e. Pasal 10 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Tindak pidana korupsi dalam hal penyalahgunaan jabatan biasanya

terkait dengan tindak pidana korupsi dalam hal pengadaan. Pengadaan adalah

kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau jasa yang

dibutuhkan oleh suatu instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang

ditunjuk untuk pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah melalui proses

seleksi yang disebut dengan tender.

Pada dasarnya proses tender ini berjalan dengan bersih dan jujur.

Instansi atau kontraktor yang rapornya paling bagus dan penawaran biayanya

paling kompetitif, maka instansi atau kontraktor tersebut yang akan ditunjuk

dan menjaga, pihak yang menyeleksi tidak boleh ikut sebagai peserta. Kalau

ada instansi yang bertindak sebagai penyeleksi sekaligus sebagai peserta

tender maka itu dapat dikategorikan sebagai korupsi. Hal ini diatur dalam

Pasal 12 huruf i Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagai berikut:

Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak

langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau

persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, seluruh atau sebagian di

tugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

E. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil

Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil merupakan

pemberhentian yang mengakibatkan yang bersangkutan kehilangan

statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil.53

Jenis-Jenis Pemberhentian Sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil terdiri atas pemberhentian

53

Sri Hartini, HJ. Sitiajeng Kadarsih, dan Tedi Sudrajat, 2008, Hukum Kepegawaian Di

Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.154.

dengan hormat sebagai Pegawai Pegawai Negeri Sipil dan pemberhentian

tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan dengan hormat sebagai

Pegawai Negeri Sipil menerima hak-hak kepegawaiannya berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain hak atas pensiun.

Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai

Pegawai Negeri Sipil, kehilangan hak-hak kepegawaiannya antara lain hak

atas pensiun.

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat karena alasan-

alasan sebagai berikut:

1. Meninggal dunia

2. Atas permintaan sendiri

3. Mencapai batas usia pensiun

4. Ada penyederhanaan organisasi

5. Pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan rohani sehingga tidak

dapat menjalankan tugas dan kewajiban.

Pegawai Negeri Sipil juga dapat diberhentikan dengan hormat atau

tidak diberhentikan karena hukuman penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana

dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang

dilakukan tidak berencana. Dan Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan

dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena melakukan pelanggaran

disiplin Pegawai Negeri Sipil tingkat berat. Adapun Pegawai Negeri Sipil

diberhentikan dengan tidak hormat karena: melakukan penyelewengan

terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dihukum penjara atau

kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan

hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak

pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana

umum, menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, dan dihukum

penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum

tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2

(dua) tahun dan pindana yang dilakukan dengan berencana.

Selain itu, Pegawai Negeri Sipil diberhentikan sementara apabila:

diangkat menjadi pejabat Negara, diangkat menjadi komisioner atau anggota

lembaga non structural, atau ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.

Pegawai Negeri Sipil juga dapat diberhentikan tidak dengan hormat

dikarenakan antara lain yaitu: melanggar Peraturan Disiplin Berat,

sumpah atau janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah atau janji jabatan

karena tidak setia kepada pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah,

atau terlibat dalam kegiatan yang menentang negara dan pemerintah, dan

dihukum penjara atau kurungan berdasarkan peraturan peradilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak

pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada

hubungannya dengan jabatan.54

54

Ibid., hlm.155.

Berdasarkan pembahasan tersebut permasalahan yang sering terjadi

dalam pemberhentian Pegawai Negeri Sipil adalah masalah mengenai

pelanggaran, tindak pidana, dan penyelewengan, sehingga perlu ditangani

lebih lanjut dengan sanksi yang jelas akan permasalahan tersebut.

Pemberhentian tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau

kurungan berdasarkan peraturan peradilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan

jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan

jabatan diatur dalam ketentuan pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang

Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang

merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, yaitu :

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum

penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak

pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada

hubungannya dengan jabatan.

Ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun

1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian diperkuat lagi dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 32 tahun 1979 pasal 9 huruf a tentang

pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang merupakan penjabaran lebih

lanjut dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 23 ayat (5) huruf c,

yang menyatakan bahwa:

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai

Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan

keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap

karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak

pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif atau penelitian hukum yang hanya meneliti bahan pustaka sehingga

disebut juga penelitian hukum kepustakaan.55

Dalam penelitian dengan

pendekatan yuridis normatif, peneliti mengkonsepsikan hukum sebagai sistem

normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan hukum

masyarakat.

Menurut L. Morris Cohen, penelitian hukum (legal research) terdapat

beberapa pendekatan yang digunakan yaitu statute approach, conceptual

approach, analytical approach, comparative approach, hystorical approach,

philosophical approach, dan case approach.56

Merujuk pendekatan tersebut, maka penelitian ini menggunakan

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual

(conceptual approach), dan pendekatan kasus (case research).

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif-analitis

sesuai dengan masalah dan tujuan dalam penelitian ini. Menurut Ronny

Hanintijo Soemitro, deskriptif analitis adalah menggambarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dari

55

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 14. 56

Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 93.

praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan dalam

penelitian ini.57

C. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman dan Unit Pelayanan Terpadu (UPT)

Universitas Jenderal Soedirman.

D. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu

penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder di bidang hukum

(dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya) dapat dibedakan menjadi bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.58

Bahan

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan bahan hukum yang bersifat

mengikat terdiri dari:

a. Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara

c. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian

57

Ronny Hanintijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1999, hlm. 97-98. 58

Suratman dan Phillips, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, 2012, hlm. 66.

d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

e. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara

f. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman

g. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan

Tata Usaha Negara

h. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 Tentang

Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil

i. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang

Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri

Sipil.

j. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor:

03/G/2011/PTUN.Smg.

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku literatur hukum, jurnal penelitian

hukum, laporan hukum, media cetak.

3. Bahan Hukum Tersier, sumbernya adalah bahan penunjang bahan

primer dan tersier yang berupa kamus hukum.59

59 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Op.Cit., hlm. 38.

E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan menginventarisir

bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, Putusan Hakim

di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, dan Yurisprudensi yang relevan,

serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan obyek

penelitian.

Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara studi

pustaka terhadap hasil-hasil penelitian, literatur-literatur, makalah-makalah

dalam seminar, artikel-artikel, risalah-risalah sidang di Pengadilan Tata

Usaha Negara Semarang, serta Petunjuk Teknis maupun Petunjuk

Pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung maupun Pengadilan

Tata Usaha Negara Semarang yang relevan dengan obyek penelitian.

F. Metode Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif-

kualitatif, yaitu pembahasan secara sistematis dengan menggambarkan,

menjabarkan, menginterprestasikan norma atau kaidah hukum dan doktrin

hukum yang ada kaitan relevansinya dengan permasalahan yang diteliti.

G. Metode Penyajian Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang

disusun secara sistematis, maksudnya bahwa seluruh bahan yang diperoleh

akan dihubungkan antara satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan

pokok permasalahan sehingga tercipta suatu kesatuan yang utuh tentang

masalah yang diteliti.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Para Pihak

1.1. Identitas Penggugat

Nama : Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si.

Kewarganegaraan : Indonesia

Pekerjaan : Mantan Pegawai Negeri Sipil

Alamat : Jl. Diponegoro 82 G RT. 05 RW. 04,

Kelurahan Sidorejo Lor, Kecamatan

Sidorejo Lor, Kota Salatiga

1.2. Identitas Tergugat

Nama Jabatan : Walikota Salatiga

Tempat Kedudukan : Jalan Sukowati No. 51 Salatiga

2. Objek Gugatan

Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 888/ 290/ 2010 tanggal 4

Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai

Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si.

3. Kasus Posisi

Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Penggugat) sebagai mantan

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dari jabatannya oleh Walikota

Salatiga dengan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 888/290/2010,

tertanggal 4 Oktober 2010 tentang pemberhentian tidak dengan hormat

sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Alasan diberhentikannya Penggugat dalam hal ini karena

Penggugat secara melawan hukum telah melakukan tindak pidana

korupsi yang diperkuat dengan adanya Putusan Pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri Wonosari Nomor

02/Pid.B/2010/PN.Wns yang dilakukan secara bersama-sama dalam

pelaksanaan proyek pengadaan barang dan jasa yang melibatkan pejabat

pembuat komitmen, kepala dinas, penyedia barang dan jasa maupun

panitia pemeriksa termasuk dalam hal ini adalah Penggugat.

Penggugat dalam hal ini merasa sangat dirugikan atas

dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (Pemberhentian Pegawai

Negeri Sipil) tersebut oleh Walikota Salatiga. Adapun alasan gugatan

Penggugat adalah sebagai berikut:

1. Dalam Konsideran membaca, Tergugat menyebutkan pada Putusan

Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/Pn.Wns,

tertanggal 12 Mei 2010, padahal sebagaimana tertuang dalam salinan

putusan dimaksud adalah dibacakan para hari Rabu tanggal 19 Mei

2010, dengan demikian Tergugat adalah tindakan yang tidak cermat,

ceroboh, tergesa-gesa, mendzolimi hak konstitusional, sewenang-

wenang dan telah salah dalam mengambil dasar Konsideran dalam

obyek gugatan dimaksud sehingga bertentangan dengan fakta dasar

yang tidak benar;

2. Dalam Konsideran menimbang, Tergugat salah dalam menafsirkan

sekaligus mendasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

khususnya pada ketentuan Pasal 9 huruf a PP No. 32 Tahun 1979

Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, diterangkan bahwa

tindak pidana kejahatan jabatan dimaksud adalah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 413 s/d 436 KUHP, substansi dalam pasal

tersebut adalah adanya unsur kesengajaan dan rencana untuk

memperkaya diri sendiri atau orang lain untuk keuntungan baginya

dari penyalahgunaan yang diamanatkan, dengan demikian tindakan

Tergugat tersebut adalah tindakan yang sewenang-wenang, ceroboh,

arogan tendesius dan bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

3. Tindakan Tergugat yang menerbitkan obyek gugatan dimaksud

dilakukan dengan itikad buruk, terburu-buru dan tendesius karena

obyek gugatan dimaksud sama sekali tidak mendasarkan pada

ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang

Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang berbunyi (1) sebelum Pegawai

Negeri Sipil dijatuhi disiplin setiap atasan langsung wajib memeriksa

terlebih dahulu Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan

pelanggaran disiplin (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dilakukan secara tertutup dan hasilnya dituangkan dalam

bentuk berita acara pemeriksaan (3) Apabila menurut hasil

pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kewenangan

untuk menjatuhkan disiplin kepada Pegawai Negeri Sipil tersebut

merupakan kewenangan Atasan langsung yang bersangkutan, maka

alasan langsung menjatuhkan hukuman disiplin;

a. Pejabat yang lebih tinggi maka alasan langsung tersebut wajib

melaporkan secara hirarki disertai berita acara langsung ;

b. Bertolak dari dasar tersebut diatas maka tindakan tergugat yang

telah menerbitkan obyek gugatan dimaksud telah bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan

demikian telah merampas hak konstitusional yang melekat pada

diri Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil;

3. Tindakan Tergugat yang menerbitkan obyek gugatan dimaksud

dilakukan dengan itikad buruk, terburu-buru dan tendensius karena

obyek gugatan dimaksud sama sekali tidak mendasarkan pada

ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara

Nomor 21 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri

Sipil yang berlaku secara sah sejak tanggal 1 Oktober 2010 yang

dalam konsideran menimbang disebutkan bahwa sebagai pelaksana

lebih lanjut pasal 49 Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010

tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, perlu menetapkan Peraturan

Kepala badan Kepegawaian Negara tentang ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin

Pegawai Negeri Sipil dan dalam Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil

dalam romawi III huruf A Umum angka 3 disebutkan bahwa dengan

tidak mengesampingkan ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan pidana, Pegawai Negeri Sipil yang melakukan

pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin, dan dalam

penjelasan contoh disebutkan dalam hal demikian, meskipun yang

bersangkutan telah diperiksa oleh pihak yang berwajib atas dugaan

tindak pidana yang dilakukan dan diberhentikan sementara dari

jabatan negeri, maka atasan langsung yang bersangkutan wajib

melakukan pemeriksaan;

4. Atas tindakan Tergugat yang telah menerbitkan surat keputusan

obyek gugatan tersebut, kemudian Penggugat dengan dilandasi

itikad baik telah mengajukan banding administratif yang ditunjukkan

kepada Tergugat melalui surat Tertanggal 18 Oktober 2010, dimana

surat banding dimaksud juga ditembus kepada seluruh atasan

Tergugat, termasuk Menteri Dalam Negeri RI;

5. Atas pengajuan banding tersebut ternyata Tergugat dengan itikad

buruk dan bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan

yang Baik sama sekali tidak merespon dan atau tidak

menindaklanjuti Banding dari Penggugat tersebut padahal secara

jelas dan nyata sebagaimana tembusan yang diberikan justru Menteri

Dalam Negeri merespon Banding dimaksud dengan menerbitkan

Surat Nomor: 8333.88/4445/SJ, tertanggal 2 Desember 2010 yang

dalam surat tersebut Menteri Dalam Negeri telah memerintahkan

kepada Tergugat untuk melakukan penyelesaian atas permohonan

banding yang diajukan oleh Penggugat;

6. Hingga gugatan diajukan Tergugat dengan itikad buruk sama sekali

belum merespon adanya perintah dari Menteri Dalam Negeri

tersebut dengan demikian secara jelas Tergugat selaku Pejabat Tata

Usaha Negara tidak menerapkan prinsip-prinsip pemerintah yang

baik (good governance) dan telah melanggar peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

7. Surat Keputusan objek sengketa yang diterbitkan oleh Tergugat

tersebut adalah produk Pejabat Tata Usaha Negara yang abscuur

libel dan cacat hukum karena Tergugat selaku Pejabat Tata Usaha

Negara telah bertindak secara sewenang-wenang, tidak menerapkan

asas-asas pemerintahan yang baik serta bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penggugat kemudian mengajukan gugatan tanggal 14 Februari

2011 kepada pengadilan Tata Usaha Negara Semarang terhadap Walikota

Salatiga dengan Nomor register perkara 03/G/2011/PTUN.SMG.

Dalam gugatannya Penggugat mengajukan petitum sebagai berikut:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Walikota Salatiga

Nomor: 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010, tentang

Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai Pegawai Negeri Sipil

Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si;

3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Nomor :

888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010, tentang Pemberhentian Tidak

Dengan Hormat Sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan

Santoso, M.Si;

4. Mewajibkan Tergugat untuk mengembalikan kedudukan penggugat

sebagaimana posisi semula yaitu sebagai Pegawai Negeri Sipil serta

merehabilitasi nama baik dan kehormatan diri penggugat;

5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam

perkara ini;

Pihak Tergugat menyangkal dalil gugatan Penggugat tersebut, dan

mengajukan jawaban gugatan sebagai berikut:

1. Surat Keputusan objek sengketa tersebut diterbitkan oleh Tergugat

atas dasar Surat Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor:

862/194/ tanggal 31 Agustus 2010 perihal Rekonmendasi agar Ir.

Agus Ridwan Santoso, M.Si diberhentikan tidak dengan hormat

sebagai Pegawai Negeri Sipil;

2. Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek Sengketa

tersebut berdasarkan pada salinan putusan Pengadilan Negeri No.

02/Pid.B/2010/PN tanggal 12 Mei 2010 (vide Bukti Salinan Putusan

No. 02/Pid.B/2010/PN.Wns);

3. Berdasarkan salinan putusan Pengadilan Negeri No.

02/Pid.B/2010/PN.Wns jelas-jelas disebutkan bahwa putusan

tersebut adalah tanggal 12 Mei 2010 (vide Bukti Salinan Putusan No.

02/Pid.B/2010/PN.Wns dari Tergugat), adapun pada hari Rabu

tanggal 19 Mei 2010 adalah tentang pembacaan putusan tersebut

dimana terhadap perkara tersebut, berdasarkan musyawarah Majelis

Hakim sudah diputus oleh Majelis Hakim pada tanggal 12 Mei 2010;

4. Dalam Konsideran menimbang Tergugat sudah tepat dalam

menafsirkan sekaligus mendasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan khususnya pada ketentuan Pasal 9 huruf a PP Nomor 32

Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Dalil

gugatan Penggugat tidak jelas, kabur dan tidak lengkap karena Pasal

9 huruf a PP Nomor 32 Tahun 1979 seharusnya berbunyi: “Pegawai

Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai

Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan

keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang

tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau

tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan”,

sehingga dalil gugatan Penggugat tersebut tidak jelas dan

mengaburkan bunyi Pasal 9 huruf a yang seolah-olah akan

menunjukkan bahwa Tergugat salah dalam pertimbangannya.

5. Atas dalil gugatan tentang Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010

yang dikemukaan Penggugat bahwa Tergugat dalam menerbitkan

obyek gugatan telah bertentangan dengan peraturan yang berlaku

adalah tidak benar. Bahwa disebutkan dalam penjelasan Pasal 24

Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2010, dijelaskan tujuan

pemeriksaan yaitu ayat 1 “… Tujuan pemeriksaan sebagaimana yang

dimaksud pada ayat ini adalah untuk mengetahui apakah Pegawai

Negeri Sipil yang bersangkutan benar atau tidak melakukan

Pelanggaran Disiplin serta untuk mengetahui faktor-faktor

pendorong atau menyebabkan ia melakukan pelanggaran disiplin…”

dari penjelasan itu dapat dilihat bahwa tujuan pemeriksaan adalah

untuk mencari fakta-fakta yang terjadi atas pelanggaran disiplin, dan

pemeriksaan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Penggugat

tentang Tindak Pidana Korupsi telah dilakukan dalam proses

pemeriksaan di Pengadilan Negeri. Fakta yang terungkap dalam

proses Pengadilan Negeri tersebut dapat dipakai untuk memperoleh

fakta atas pelanggaran yang dilakukan Penggugat. Dari perkara

tersebut jelas dapat dipertimbangkan yang obyektif sehingga

dijatuhkan putusan untuk memberikan hukuman yang seadil-adilnya

sesuai dengan aturan yang ada. Sehingga atas dalil Penggugat yang

menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan tindakan yang tidak

beritikad baik, tergesa-gesa dan tendensius adalah tidak benar,

karena Tergugat dalam penjatuhannya sudah melalui pertimbangan

berdasarkan ketentuan yang berlaku berdasarkan fakta yang menjadi

alasan diterbitkannya objek gugatan dalam perkara ini;

6. Berkaitan dengan dalil Penggugat dalam pemeriksaan harus

mendasarkan pada ketentuan Peraturan Ka BKN No. 21 Tahun 2010

dan ketentuan Pelaksana PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin

Pegawai Negeri Sipil, menurut hemat Tergugat, Penggugat kurang

memahami makna dasar penerbitan Obyek Gugatan dimana

penetapan didasarkan pada Putusan Pengadilan Negeri yang sudah

mempunyai kekuatan hukum tetap, tertanggal 12 Mei 2010 dan daya

laku terhadap Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 yang telah

ditunjuk oleh Tergugat secara khusus dalam pemeriksaan

diundangkan pada 6 Juni 2010;

7. Penggugat telah mendalilkan tentang Peraturan Pemerintah No. 53

Tahun 2010 yang mulai berlaku pada tanggal 6 Juni 2010 padahal

proses terbitnya Obyek Gugatan adalah sebelum Peraturan tersebut

mulai diberlakukan, apabila Penggugat mendalilkan mengenai

pemeriksaan berdasarkan ketentuan tersebut adalah tidak

berdasarkan hukum, sehingga dalil tersebut patut ditolak;

8. Tergugat telah melakukan pertimbangan yang teliti dan telah sesuai

dengan peraturan dan ketentuan yang ada.

Majelis Hakim kemudian dalam putusannya memutuskan bahwa

mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Dalam

pertimbangannya majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara

Semarang mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong penggugat

melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam pertimbangannya, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara

Semarang juga menyatakan bahwa dari putusan PN.Wonosari no.

02/pid.B/2010/PN.Wns tidak ditemukan fakta bahwa penggugat telah

bersalah dalam jabatannya tersebut, yaitu dengan sengaja melakukan

tindak pidana korupsi.

4. Pembuktian Para Pihak

4.1. Alat Bukti Tertulis Penggugat

P-1 Kartu Tanda Penduduk Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si

(Fotocopy sesuai dengan aslinya);

P-2 Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor:

888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 Tentang

Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Ir. Agus Ridwan

Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya);

P-3 Petikan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa

Yogyakarta Nomor : 01 / Pem. D/UP/D.2 tertanggal 18-

4-1996. Tentang Penetapan CPNS dalam masa

percobaan dalam golongan ruang PGPNS dengan NIP

490030559, dengan golongan III/a, pada Pemerintah

Dati II Gunung Kidul atas nama Ir. Agus Ridwan

Santoso, M.Si (Fotocopy dari fotocopy);

P-4 Petikan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa

Yogyakarta Nomor : 259/Pem. D/UP/D.2 tertanggal 20-

9-1997 Tentang Pengangkatan Menjadi PNS atas Nama

Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si pada Pemerintah Dati II

Gunung Kidul (Fotocopy dari fotocopy);

P-5 Petikan Keputusan Gubernur Kepala daerah Istimewa

Yogyakarta Nomor: 02/Pem.D/UP/D.1 tertanggal 10-3-

2000 Tentang Kenaikan Pangkat dari Golongan III/a

Menjadi III/b atas nama Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si

pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan

Kabupaten Dati II Gunung Kidul (Fotocopy dari

fotocopy);

P-6 Petikan Keputusan Bupati Gunung Kidul Nomor:

01/GK/UP/Kep.D/DI tertanggal 20 Maret 2001 Tentang

Kenaikan Pangkat dari Golongan III/b menjadi III/c

atas nama Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si pada Dinas

Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten

Dati II Gunung Kidul (Fotocopy dari fotocopy);

P-7 Petikan Bupati Gunung Kidul Nomor: 02/UP/Kep.D/DI

tertanggal 14 April 2008 Tentang Kenaikan Pangkat

dari Golongan III/c menjadi III/d atas nama Ir. Agus

Ridwan Santoso, M.Si pada Dinas Pertanian Tanaman

Pangan dan Perikanan Kabupaten Dati II Gunung Kidul

(Fotocopy dari fotocopy);

P-8 Surat Keputusan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan

Perikanan Kabupaten Gunung Kidul Nomor: SK

027/677 tertanggal 2 Agustus 2006 Tentang

Pembentukan Panitia Pengadaan dan Panitia

Pemeriksaan Belanja Modal Kegiatan Peningkatan

Kapasitas Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kab.

Gunung Kidul Tahun Anggaran 2006 (Fotocopy dari

fotocopy);

P-9 Salinan Putusan Perkara Pidana Biasa pada Pengadilan

Negeri Wonosari Gunung Kidul Dalam Register

Perkara Nomor: 02/.Pid.B/2010/PN. Wns tertanggal 26

Mei 2010 atas nama Terdakwa Sudaryanto, S.TP Bin

Kusnindiar DKK (Termasuk Ir. Agus Ridwan Santoso,

M.Si) (Fotocopy dari fotocopy);

P-10 Surat Walikota Salatiga Nomor: 824. 3/1707 tertanggal

6 Juni 2008 Tentang Persetujuan Pindah/Mutasi tempat

kerja Ke Pemerintah Kota Salatiga (Fotocopy sesuai

dengan aslinya);

P-11 Surat Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta Nomor: 824/4191 tertanggal 16 Oktober

2001 Tentang Persetujuan atas Permohonan Pindah

Tempat Bekerja bagi Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si

NIP. 490030559 (Fotocopy sesuai dengan aslinya);

P-12 Surat Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Badan

Kepegawaian Nomor: 824.3/09389 tertanggal 4

November 2008 Tentang Persetujuan Pindah A/n Ir.

Agus Ridwan Santoso, M.Si NIP. 490030559

(Fotocopy sesuai dengan aslinya);

P-13 Surat Dari Badan Kepegawaian Negara Nomor:

00004/KEP/BU/23373/08 tertanggal 06 November

2008 Tentang Persetujuan dan Pemberian Tugas Kerja

Ke Pemerintah Kota Salatiga (Fotocopy sesuai dengan

aslinya);

P-14 Surat dari Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul Badan

Kepegawaian Daerah Nomor: 824.2/099 tertanggal 04

Februari 2009 Tentang Penyerahan Pegawai Negri Sipil

A.n Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si NIP. 490030559

(Fotocopy sesuai dengan aslinya);

P-15 Surat Tugas dari Pemerintah Kota Salatiga Sekertariat

Daerah Nomor : 824. 3/513/ 2009 tertaggal 27 April

2009 oerihal melaksanakan tugas pada Badan Permas,

Perempuan, KB dan Ketahanan Pangan Kota Salatiga

(Fotocopy sesuai dengan aslinya)

P-16 Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai

Negeri Sipil Jangka Waktu Penilaian 1 Januari s/d 31

Desember 2009 (Fotocopy sesuai dengan aslinya);

P-17 Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor:

887/06/2010 tertanggal 25 Januari 2010 Tentang

Pemberitahuan Sementara dari Jabatan Pegawai Negeri

Sipil. A.n Ir. Agis Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy

sesuai dengan aslinya);

P-18 Tanda terima Surat Keputusan Walikota Salatiga

Nomor: 888/290/2010 tertanggal 4 Oktober 2010

Tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai

Pegawai Negri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si

pada hari Senin tanggal 18 Oktober 2010 tempat di

Rutan Wonosari, Gunung Kidul (Fotocopy sesuai

dengan aslinya);

P-19 Surat yang Ditujukan Walikota Salatiga selaku Badan

Kepegawaian (Badan Pertimbangan Jabatan dan

Kepangkatan) Kota Salatiga tertanggal 18 Oktober

2010 Perihal Banding Administrasi (Fotocopy dari

fotocopy);

P-20 Surat dari Kementerian Dalam Negri Republik

Indonesia Nomor: 833/445/SJ Tertanggal 2 Desember

2010 perihal Banding Administratif a.n Sdr.Ir. Agus

Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan

aslinya);

P-21 Surat dari Sekertariat Daerah Pemerintah Kota Salatiga

Nomor: 830/1581/2010 perihal Tanggapan atas

keberatan (Fotocopy sesuai dengan aslinya);

P-22 Surat Keputusan Bupati Gunung Kidul Nomor:

09/A/Pem.D/IP/K/P/GK tertanggal 29 Desember 2009

Tentang Pemberhentian Dengan Hormat sebagai

Pegawai Negri Sipil dengan Hak Pensiun a.n

Sudaryanto, STP (Fotocopy dari fotocopy);

P-23 Surat Keputusan Bupati Gunung Kidul Nomor:

11/A/Pem.D/UP/K/P/GK tertanggal 29 Desember 2009

Tentang Pemberhentian Dengan Hormat sebagai

Pegawai Negri Sipil dengan Hak Pensiun a.n Nurhadi,

BA (Fotocopy dari fotocopy);

P-24 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 (28/1999)

Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan

Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Fotocopy

dari fotocopy);

P-25 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negri

Sipil (Fotocopy dari fotocopy);

P-26 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53

Tahun 2010 Tentang Disiplin Pergawai Negri Sipil

(Fotocopy dari Fotocopy);

P-27 Peraturan kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor:

21 Tahun 2010 Tanggal 1 Oktober 2010 Tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negri Sipil

(Fotocopy dari Fotocopy);

4.2. Alat Bukti Tertulis Tergugat

T-1 Surat Sekretariat Daerah Pemerintah Propinsi Jawa

Tengah Nomor: 862/194 Rhs tertanggal 31 Agustus

2010 Tentang Rekomendasi penyelesaian kasus an. Ir.

Agus Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan

aslinya);

T-2 Salinan Putusan Perkara Pidana Biasa pada Pengadilan

Negeri Wonosari Gunung Kidul dalam Register Perkara

Nomor: 02/.Pid.B/2010/PN.Wns tertanggal 26 Mei

2010 atas nama Terdakwa Sudaryatno, S.TP Bin

Kusninda, DKK (termasuk Ir. Agus Ridwan Santoso,

M.Si) (fotocopy dari fotocopy);

T-3 Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor:

887/06/2010 tertanggal 25 Januari 2010 Tentang

Pemberhentian Sementara dari jabatan negeri Pegawai

Negeri Sipil a.n. Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si

(Fotocopy sesuai dengan aslinya);

T – 4 a. Surat dari Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Salatiga

Nomor: 860/1581/2010 tertanggal 31 Desember 2010

yang ditujukan kepada Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si

Perihal Tanggapan atas keberatan (Fotocopy sesuai

dengan aslinya);

T – 4 b. Surat dari Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Salatiga

Nomor: 860/1581/2010 tertanggal 21 Januari 2011

yang ditujukan kepada SEKJEN KEMENDAGRI

Perihal Banding Administratis a.n. Ir. Agus Ridwan

Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya);

T - 5 Surat dari Pengadilan Negeri Wonosari Nomor:

W.13.U4/521/HK.01NII/2010 tertanggal 08 Juli 2010

Perihal Putusan Perkara Pidana Nomor:

02/Pid.B/2010/PN.Wns sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap sejak tanggal 29 Mei 2010 (Fotocopy

sesuai dengan aslinya) ;

T - 6 Surat dari Badan Kepegawaian Negara Nomor:

K.REG.I/037/44A/2010 tertanggal 08 Nopember 2010

Perihal Banding Administratif an. Ir. Agus Ridwan

Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya) ;

T - 7 Surat dari Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam

Negeri Republik Indonesia Nomor: 833.88/4445/SJ

tertanggal 2 Desember 2010 Perihal Banding

Administratif a.n. Sdr. Ir. Agus Ridwan Santoso,M.Si

(Fotocopy sesuai dengan aslinya):

T - 8 Surat dari Badan Pertimbangan Kepegawaian Nomor:

434/BAPEK/S.1/2010 tertanggal 19 Nopember 2010

Perihal Pengajuan keberatan atas pemberhentian tidak

dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atas nama

Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai

dengan aslinya);

T - 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun

1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Fotocopy dari

fotocopy) ;

T - 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 20 Tahun

2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang, Nomor

31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (Fotocopy dari fotocopy);

T - 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun

1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

(Fotocopy dari fotocopy);

T - 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 Tentang

Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Fotocopy dari

fotocopy);

T - 13 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri

Sipil (Fotocopy dari fotocopy);

T - 14 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53

Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil

(Fotocopy dari fotocopy);

T - 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun

2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan (Fotocopy dari fotocopy).

4.3. Saksi Penggugat

Pihak Penggugat di dalam persidangan mengajukan 3 (tiga)

orang saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah untuk

menguatkan dalil gugatan Penggugat. Saksi tersebut adalah:

1. Saksi 1 Penggugat

Nama : Sudaryanto, SH

Jabatan : Staf Dinas Perikanan dan Kelautan Gunung Kidul

2. Saksi 2 Penggugat

Nama : Listyo Agung Wahono, SH

Jabatan : Kepala Bidang Mutasi Badan Kepegawaian

Daerah Pemerintah Kota Salatiga

3. Saksi 3 Penggugat

Nama : Drs. Amin Singgih

Jabatan : Pejabat baru di Badan Kepegawaian Daerah Kota

Salatiga

4.4. Saksi Tergugat

Pihak Tergugat mengajukan 1 (satu) orang saksi yang

memberikan keterangan dibawah sumpah untuk menguatkan dalil-

dalil bantahannya. Saksi tersebut adalah:

Nama : Suwarno, SE

Jabatan : Kepala Bidang Administrasi BKD Pemkot Salatiga.

5. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim

5.1. Dalam Eksepsi

5.1.1. Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat

adalah sebagimana diuraikan secara lengkap dalam

duduknya sengketa tersebut di atas;

5.1.2. Menimbang bahwa Tergugat telah mengajukan eksepsi

terhadap gugatan Penggugat yang pada pokoknya berisi

bahwa Gugatan Penggugat kabur sehingga harus dinyatakan

Gugatan Penggugat tidak dapat diterima didasari alasan;

1. Bahwa Penggugat hanya mempermasalahkan Surat

Keputusan sebagai obyek sengketa melainkan harus

pula mengikutsertakan Surat Sekretaris Daerah Propinsi

Jawa Tengah No. 862/194 tanggal 31 Agustus 2010

sebagai Obyek Sengketa;

2. Bahwa Penggugat tidak pula mempermasalahkan

Putusan Pengadilan Negeri Wonosari No.

02/Pid.B/2010/PN.Wns dalam gugatannya;

5.1.3. Menimbang bahwa terhadap eskepsi Tergugat tersebut

diatas Penggugat menyatakan menolak eksepsi tersebut di

dalam persidangan tanggal 28 Februari 2010 dan tetap pada

gugatannya;

5.1.4. Menimbang bahwa terhadap eksepsi Tergugat tersebut

Majelis Hakim memberikan pertimbangan terhadap alasan-

alasan eksepsi tersebut dengan pertimbangan sebagai

berikut;

5.1.5. Menimbang bahwa dalam alasan eksepsi Tergugat yang

pertama adalah mengenai Penggugat hanya

mempermasalahkan Surat Keputusan sebagai obyek

Sengketa melainkan harus pula mengikutsertakan Surat

Sekretaris Daerah propinsi Jawa Tengah Nomor 862/194

tanggal 31 Agustus 2010 sebagai obyek sengketa;

5.1.6. Menimbang bahwa yang menjadi obyek sengketa dalam

perkara ini adalah Surat Keputusan Walikota Salatiga

Nomor 888/290/2010 tanggal 4 Oktober tentang

Pemberhentian Tidak Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil

Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si yang diterbitkan atau

dikeluarkan oleh Walikota Salatiga;

5.1.7. Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan pasal 25 ayat 1

huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2003 tentang

Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian

Pegawai Negeri Sipil disebutkan bahwa: “Pejabat

Pembinaan Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota

menetapkan pemberhentikan Pegawai Negeri Sipil Daerah

Kabupaten/Kota yang berpangkat Penata Tingkat I

golongan ruang III/d dilingkungannya” dan mengacu pada

ketentuan Pasal 1 angka 5 dalam peraturan perundang

undangan yang sama disebutkan bahwa yang dimaksud

Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah adalah

Gubernur/Bupati/Walikota, sehingga dengan demikian

Walikota Salatiga mempunyai wewenang untuk

memberhentikan Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat

Penata Tingkat I golongan ruang II/d di lingkungannya;

5.1.8 Menimbang bahwa dari gugatan yang diajukan Penggugat,

Majelis Hakim berpendapat bahwa sudah tepat dan dapat

dibenarkan apabila Penggugat hanya menjadikan Surat

Keputusan Walikota Salatiga No. 888/290/2010 tanggal 4

Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak Dengan

Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil sebagai Obyek

Sengketa karena telah bersifat konkrit, individu, dan final

serta telah menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat,

maka tanpa perlu mengikutsertakan surat Sekretaris Daerah

Propinsi Jawa Tengah No. 862/192 tanggal 31 Agustus

2010 sebagai obyek sengketa yang lainnya;

5.1.9 Menimbang bahwa mengingat kewenangan untuk

memberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil ada pada

Walikota Salatiga in casu Tergugat sedangkan surat

Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 862/194

tanggal 31 Agustus 2010 adalah hanya merupakan

persetujuan saja tanpa ada unsur kewenangan untuk

memberhentikan dan surat tersebut masih perlu tindak

lanjut dari Tergugat sehingga dengan demikian surat

Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah tersebut belum

final dan belum dapat menimbulkan akibat hukum bagi

Penggugat, oleh karenanya surat Sekretaris Daerah Propinsi

Jawa Tengah Nomor 862/194 tanggal 31 Agustus 2010

tidak memenuhi unsur-unsur suatu Keputusan Tata Usaha

Negara yang dijadikan sebagai objek sengketa di

Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 Tahun

2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

5.1.10. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas maka

eksepsi Tergugat yang menyatakan bahwa gugatan

Penggugat kabur oleh karena tidak mengikutsertakan surat

Sekertaris Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor: 862/194

tanggal 31 Agustus 2010 sebagai obyek sengketa tidak

beralasan hukum sehingga eksepsi tersebut harus ditolak;

5.1.11. Menimbang bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan

mempertimbangkan mengenai eksepsi kedua Tergugat yang

menyatakan bahwa gugatan Pengugat kabur oleh karena

Penggugat tidak mempersoalkan atau mempermasalahkan

Putusan Pengadilan Wonosari No. 02/Pid.B/2010/PN.Wns

dalam gugatannya di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan

pertimbangan sebagai berikut;

5.1.12. Menimbang bahwa kewenangan Pengadilan Tata Usaha

Negara adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan

sengketa Tata Usaha Negara yang timbul dalam bidang Tata

Usaha Negara antar orang atau Badan Hukum Perdata

dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat

maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya

Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan peraturan perundang undangan

yang berlaku (vide Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No.

51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara);

5.1.13. Menimbang bahwa selanjutnya yang dimaksud dengan

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan

tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha

Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final

yang menibulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan

hukum perdata (vide Pasal 1 angka 9 Undang-Undang

Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara);

5.1.14. Menimbang bahwa memperhatikan kriteria tersebut diatas

yang menjadi kompetensi dari Badan Peradilan Tata Usaha

Negara, Majelis Hakim berpendapat bahwa dengan tidak

mempermalahkannya Putusan Pengadilan Negeri Wonosari

Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns dalam gugatan Penggugat

tidaklah menyebabkan gugatan Penggugat menjadi kabur

oleh karena sebagai produk hukum yang dikeluarkan

lembaga peradilan yang merupakan pelaksanaan kekuasaan

kehakiman dan bukan kekuasaan eksekutif dalam bidang

Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa

bahwa nilai produk lembaga peradilan tersebut, sehingga

dengan demikian eksepsi Tergugat yang menyatakan bahwa

gugatan Penggugat kabur kerena mempersoalkan atau

mempermaslahkan Putusan Pengadilan Negeri Wonosari

Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns dalam gugatannya tidak

beralasan hukum dan harus ditolak;

5.1.15. Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan

mengenai eksepsi tersebut di atas yang menyatakan eksepsi

Tergugat tidak beralasan hukum sehingga harus ditolak

maka pemeriksaan dilanjutkan pada pokok perkara;

5.2. Dalam Pokok Perkara

5.2.1. Menimbang bahwa maksud dari tujuan gugatan Penggugat

adalah sebagaimana tersebut diatas;

5.2.2. Menimbang bahwa yang menjadi obyek sengketa dalam

perkara ini adalah Surat Keputusan Walikota Salatiga

Nomor 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang

Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai

Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso,M.Si yang diterbitkan

atau dikeluarkan oleh Walikota Salatiga;

5.2.3. Menimbang bahwa menurut Penggugat, Tergugat dalam

menerbitkan obyek sengketa tanpa mendasarkan pada Asas-

Asas Umum Pemerintahan yang Baik dan dilakukan dengan

cara yang bertentangan dengan peraturan perundang

undangan yang berlaku sebagaimana disebutkan oleh

Penggugat dalam surat gugatannya pada posita angka 17

dan 18;

5.2.4. Menimbang bahwa dalil Penggugat tersebut dibantah oleh

Tergugat dengan menyatakan bahwa keputusan

mengeluarkan surat keputusan yang menjadi obyek

sengketa adalah sah menurut hukum, maka dengan

demikian menjadi pokok permalahan yang timbul dlam

perkara ini adalah : Apakah benar sengketa a quo yang

dikeluarkan oleh Tergugat telah bertentangan dengan

peraturan perundang undangan yang berlaku dan melanggar

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b Undang

Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara;

5.2.5. Menimbang bahwa terhadap pokok permasalahan tersebut

diatas, Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagai

berikut dibawah ini;

5.2.6. Menimbang bahwa Penggugat diberhentikan tidak dengan

hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil oleh Tergugat dengan

mendasarkan Pasal 23 ayat 5 huruf c Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 jo. Pasal 9 huruf a Peraturan

Pemerintah No. 32 Tahun 1979 dikarenakan telah terbukti

secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana

korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan

berkelanjutan dan dipidana selama 1 tahun dan denda Rp

50.000.000 berdasarkan putusan Pengadilan Negeri

Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns;

5.2.7. Menimbang bahwa ketentuan pasal 23 ayat 5 huruf c

Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 menentukan bahwa

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat

karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang

tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan

atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungnnya dengan

jabatan;

5.2.8. Menimbang bahwa selanjutnya Pasal 9 huruf a Peraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 disebutkan bahwa

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat

sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau

kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan suatu

tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana

kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan;

5.2.9. Menimbang bahwa dalam penjelasan Pasal 9 huruf a

tersebut, dijelaskan bahwa apabila seorang Pegawai Negeri

Sipil dipidana atau kurungan berdasarkan keputusan

Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan

atau tindak pidna kejahatan yang ada hubungannya dengan

jabatan atau pekerjaannya, maka Pegawai Negeri Sipil

tersebut harus diberhentikan tidak dengan hormat karena

telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan

kepadanya dan tindakan pidana kejahatan jabatan yang

dimaksud antara lain sebagimana dimaksud dalam Pasal

413 sampai dengan Pasal 436 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana;

5.2.10. Menimbang bahwa dari penjelasan Pasal 9 huruf a tersebut

menegaskan adanya unsur kesengajaan dengan melakukan

penyalahgunaan kepercayaan yang berupa jabatan atau

pekerjaannya dengan frase “telah menyalahgunakan

kepercayaan” yang merupakan suatu perbuatan aktif dan

sengaja dilakukan dan dipertegas pula dengan

menghubungkan tindak pidana kejahatan jabatan dimaksud

dalam Pasal 413 sampai dengan Pasal 436 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana;

5.2.11. Menimbang bahwa dalam Pasal 413 sampai dengan Pasal

436 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur

mengenai kejahatan jabatan terdapat unsur esensial yaitu

adanya unsur sengaja melakukan suatu untuk memperkaya

diri sendiri atau orang lain dengan menerima hadiah atau

janji;

5.2.12. Menimbang bahwa berdasarkan bukti bersurat tertanda P-8

diperoleh fakta bahwa Penggugat adalah merupakan salah

satu panitia pemeriksa yang berkedudukan sebagai

sekretaris panitia pemeriksa dalam kegiatan Belanja Modal

Kegiatan Peningkatan Kapasitas Sarana dan Prasarana

Perikanan Tangkap Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

Perikanan Kabupaten Gunung Kidul Tahun Anggaran 2006,

maka posisi penggugat dipersamakan dengan pejabat umum

sementara dalam hal pengadaan barang yang berposisi

sebagai sekretaris Panitia Pemeriksa Barang;

5.2.13. Menimbang bahwa tugas Panitia Pemeriksa menurut Surat

Keputusan sebagimana bunyi surat bertanda P-8 adalah

meliputi a) melakukan pemeriksaan barang yang menjadi

obyek pengadaan barang sesuai dengan dokumen

pengaduan/spesifikasi barang mutu kelengkapan,

kondisinya dicocokan dengan tertuang dalam dokumen

kontrak; b) meneliti dan menerima barang sesuai dengan

fungsi dan kegunaan barang secara umumnya; c) menerima

barang tersebut sesuai dengan spesifikasi barang yang

dituangkan dalam berita acara serah terima yang ditanda

tangani oleh penyedia dan pengguna barang; d)

menandatangani berita acara hasil pekerjaan yang

selanjutnya diserahkan kepada pengguna barang;

5.2.14. Menimbang bahwa dari serangkaian tugas dan tanggung

jawab Panitia Pemeriksa barang tidak terdapat tugas dan

tanggung jawab serta wewenang dari Panitia Pemeriksa

untuk menyusun atau mengevaluasi mengenai Rencana

Anggaran Biaya atau harga Perkiraan sendiri dari

pengadaan barang tersebut, sehingga dengan demikian

adanya temuan dari Tim Audit dan Investigasi BPKP

mengenai kemahalan harga pengadaan barang sebesar Rp

38.840.000 yang menyebabkan kerugian negara adalah

merupakan tanggung jawab dan keawenangan Panitia

Pemeriksaan oleh karenanya kesalahan tersebut tidak dapat

dibebankan kepada Panitia Pemeriksaan Barang;

5.2.15. Menimbang bahwa selanjutnya berdasarkan bukti P-9

berupa salinan Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor

02/Pid.B/2010/PN.Wns diperoleh fakta hukum bahwa

Panitia Pemeriksaan Barang dalam kegiatan pengadaan

tersebut kurang memahami dan tidak mempunyai

pengalaman dalam kegiatan pengadaan armada

penangkapan ikan, sehingga apa yang dilakukan hanyalah

memeriksa dan meneliti kondisi barang yang ada;

5.2.16. Menimbang bahwa dalam suatu proses pengadaan barang

yang telah ditunjuk penyedia barangnya seharusnya kuasa

pengguna barang, PPK, panitia pengada dan panitia

pemeriksa barang tidak diperbolehkan turut serta aktif

menentukan dan memilih barang yang akan diadakan selain

menunggu dan meminta perkembangan pengadaan barang

tersebut sesuai dengan yang terdapat pada dokumen lelang;

5.2.17. Menimbang bahwa fakta yang terjadi dilapangan

berdasarkan bukti P-9 adalah PPK (Ir. Agus Ridwan

Santoso,M.Si), Tim Teknis dan Panitia Pemeriksa

(Sudaryanto dan Nurhadi) ikut serta melakukan survey

pembelian barang ke Penajam Kalimantan dan pada

akhirnya PPK lah yang menentukan atau memilih barang

yang akan dibeli (vide Putusan Pengadilan Negeri hal 54-55

dan Penggugat tidak termasuk yang mengikuti survey

tersebut);

5.2.18. Menimbang bahwa dari kronologis pengadaan barang yang

terdapat dalam putusan Pengadilan Negeri Wonosari

tersebut nampak bahwa pembentukan panitia pengadaan

dan pemeriksa barang kurang dapat berjalan dengan

sebagaimana mestinya karena adanya peran PPK yang ikut

serta dan menentukan jenis barang yang dibeli dalam

pengadaan barang tersebut, sehingga pula tugas kedua

panitia kurang dapat maksimal dan berujud adanya

penyimpangan berupa adanya kerugian negara akibat tidak

dilaksanakannya proses pengadaan dan pemeriksaan dengan

baik;

5.2.19. Menimbang bahwa berdasarkan putusan Pengadilan Negeri

Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns tanggal 19 Mei

2010 Penggugat selaku sekretaris panitia pemeriksa barang

dan panitia pemeriksa barang dinyatakan telah melakukan

perbuatan yaitu membuat berita acara Pemeriksa Barang

yang isinya menyatakan bahwa barang-barang yang dikirim

telah mencapai 100% dan sesuai kontrak berupa 4 unit

kapal dalam keadaan baru tidak cacat meskipun terdapat

beberapa kekurangan pekerjaan dan menyebabkan dapat

dicairkannya pembayaran 100% oleh rekanan, dan

perbuatan ini oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Wonosari dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana

korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut;

5.2.20. Menimbang bahwa meskipun terbukti Penggugat telah

melakukan suatu tindak pidana kejahatan yang berhubungan

dengan jabatan perlu juga pertimbangan faktor-faktor

pendorong Penggugat untuk melakukan tindak pidana

kejahatan tersebut;

5.2.21. Menimbang bahwa memperhatikan dasar pemberhentian

Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil yaitu Pasal 23 ayat

5 huruf c Undang Undang No. 43 tahun 1999 jo Pasal 9

huruf a Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1979 tidak

tampak adanya unsur sengaja melakukan suatu perbuatan

dalam jabatannya tersebut untuk memperkaya diri sendiri

atau orang lain dengan menerima hadiah atau janji, yang

terjadi adalah bahwa karena jabatannya itu Penggugat dan

Panitia Pemeriksa lainnya membuat berita acara

pemeriksaan Barang terhadap kapal yang ada yang isinya

menyatakan bahwa barang-barang yang dikirim telah

mencapai 100%;

5.2.22. Menimbang bahwa dari putusan Pengadilan Negeri

Wonosari No. 02/Pid.B/2010/PN.Wns tidak diketemukan

fakta bahwa Penggugat telah bersalah dalam jabatannya

tersebut dengan sengaja melakukan perbuatan korupsi

memperkaya diri sendiri dan menikmati hasilnya atau

sengaja memperkaya orang lain dengan cara menerima

hadiah atau janji dari orang lain tersebut, tetapi langkah dan

produk yang dihasilkan panitia pemeriksa barang telah

memperlancar pihak lain melakukan tindak pidana korupsi

sehingga Penggugat dan Panitia Pemeriksa Barang lainnya

dianggap ikutserta atau turut serta melakukan tindak pidana

korupsi;

5.2.23. Menimbang bahwa dalam penyelenggaraan urusan

pemerintah dikenal adanya Asas-Asas Umum Pemerintahan

yang Baik sebagai landasan pemerintah yang bersih dan

berwibawa;

5.2.24. Menimbang bahwa salah satu Asas-Asas Umum Pemerintah

yang Baik tersebut adalah asas proposionalitas yaitu asas

yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan

kewajiban penyelenggara negara, maka hubungannya

dengan sengketa a quo adalah bahwa Penggugat telah

melaksanakan kewajibannya selaku sekretaris panitia

pemeriksa barang sesuai dengan tugas dan wewenang yang

ada padanya yang telah ditetapkan dalam surat keputusan

Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan

Kabupaten Gunung Kidul Nomor SK 027/677 tentang

Pembentukan Panitia Pengadaan dan Panitia Pemeriksa

Barang Belanja Modal Kegiatan Peningkatan Kapasitas

Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap Dinas Perikanan

Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten Gunung Kidul

Tahun Anggaran 2006 yaitu a) melakukan pemeriksaan

barang yang menjadi obyek pengadaan barang sesuai

dengan dokumen pengadaan/spesifikasi barang, mutu

kelengkapan, kondisinya dicocokan dengan yang tertuang

dalam dokumen kontrak; b) meneliti dan menerima barang

sesuai dengan fungsi dan kegunaan barang secara

umumnya; c) menerima barang tersebut sesuai dengan

spesifikasi barang yang dituangkan dalam berita acara serah

terima yang ditanda tangani oleh penyedia dan pengguna

barang; d) menandatangani berita acara hasil pekerjaan

yang selanjutnya diserahkan kepada pengguna barang;

5.2.25. Menimbang bahwa pelaksanaan tugas dan wewenang

tersebut dilaksanakan Penggugat sebatas pada barang yang

telah ada hasil dari pilihan PPK di Penajam Kalimantan

dengan membuat daftar pemeriksaan terhadap barang dan

membuat berita acaranya tanpa adanya unsur sengaja

melakukan perbuatan korupsi memperkaya diri sendiri dan

menikmati hasilnya atas sengaja memperkaya orang lain

dengan cara menerima hadiah atau janji orang lain tersebut

dengan membuat berita acara pemeriksaan barang 100%;

5.2.26. Menimbang bahwa yang perlu dipertimbangkan pula bahwa

Penggugat maupun Panitia Pemeriksa Barang hanya

bertugas memeriksa barang dan menyaksikan bahwa barang

tersebut dapat digunakan dan berguna sesuai tujuan

pengadaannya selanjutnya dibuat berita acaranya dan

Panitia Pemeriksa Barang bukan orang yang ahli melakukan

pengetesan atau menguji coba kapal baik dalam kegiatan uji

coba pelayanan maupun uji penangkapan ikan serta tidak

pula secara tegas dinyatakan bahwa kegiatan tersebut

menjadi tanggung jawab dan wewenang panitia pemeriksa

barang;

5.2.27. Menimbang bahwa ketidakjelasan dokumen lelang maupun

kontrak terhadap siapa yang harus melakukan kegiatan sea

trial dan sea fishing serta siapa yang menanggung biaya

kegiatan tersebut, mengakibatkan Panitia Pemeriksa Barang

hanya melakukan pemeriksaan atas barang yang telah

dipilih PPK tersebut, sehingga dalam hal ini Panitia

Pemeriksa Barang berada dalam posisi yang terbatas dan

tidak terlaksananya kegiatan sea trial dan sea fishing

dianggap suatu tindak pidana korupsi;

5.2.28. Menimbang bahwa dari uraian pertimbangan hukum

tersebut di atas, bahwa kesalahan Penggugat adalah

kesalahan yang tidak disengaja dan karena keterbatasan

pengetahuan dan keahlian di bidang perkapalan serta tidak

ada niat maupun janji untuk memperkaya diri sendiri dan

orang lain melalui jabatannya tersebut, sebagaimana telah

pula dinyatakan dalam pertimbangan putusan Pengadilan

Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns, maka

Tergugat seharusnya dapat melihat secara proporsional atas

kejadian yang menimpa Penggugat;

5.2.29. Menimbang bahwa dalam memutus suatu perkara hakim

mendasari pada hati nurani terlebih dahulu baru kemudian

dicarikan peraturannya, oleh karena itu hakim harus

memutus berdasarkan hukum (Satjipto Rahardjo, Hukum

Progresif hal 10);

5.2.30. Menimbang bahwa oleh karena itu dalam memutus suatu

perkara aturan hukum dan hati nurani berjalan secara

beriringan dengan mendasari pada prinsip keadilan,

kemanfaatan serta kepastian hukum;

5.2.31. Menimbang bahwa dari pertimbangan-pertimbangan

tersebut, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Tergugat

dalam menerbitkan Surat Keputusan obyek sengketa a quo

telah tidak memperhatikan hal-hal yang mendorong

Penggugat melakukan tindak pidana kejahatan tersebut dan

juga telah tidak mempertimbangkan ada atau tidaknya unsur

kesengajaan Penggugat untuk memperkaya diri sendiri

ataupun orang lain dengan menerima janji ataupun hadiah

lewat jabatannya sehingga perlu mendapat hak atas

perlindungan terhadap dirinya, maka perbuatan Tergugat

bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang

baik yaitu asas proporsionalitas;

5.2.32. Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan

tersebut di atas, maka tindakan Tergugat yang telah

menerbitkan Surat Keputusan obyek sengketa bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam

Pasal 23 ayat 5 huruf c No. 43 Tahun 1999 jo Pasal 9 huruf

a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 dan

bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang

Baik terutama asas proporsional sesuai dengan Pasal 53

ayat 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang

Undang No. 9 Tahun 2004 jis Undang-Undang Nomor 51

Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha,

sehingga gugatan Penggugat harus dikabulkan;

5.2.33. Menimbang bahwa dengan dikabulkannya gugatan

Penggugat maka biaya yang timbul dalam perkara ini

dibebankan kepada Tergugat sesuai Pasal 110 Undang-

Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara;

5.2.34. Menimbang bahwa sesuai dengan Pasal 107 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara terhadap bukti-bukti yang tidak relevan tidak ikut

dipertimbangkan tetapi tetap menjadi satu kesatuan dalam

berkas putusan ini;

5.2.35. Mengingat Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang

Undang No. 9 tahun 2004 jis Undang Undang tentang

Peradilan Tata Usaha Negara dan peraturan perundang-

undangan yang lain yang berkaitan dengan perkara ini;

6. Diktum Putusan Hakim

6.1. Dalam Eksepsi

6.1.1. Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya.

6.2. Dalam Pokok Perkara

6.1.1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

6.1.2. Menyatakan batal Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor:

888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Pemberhentian

tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus

Ridwan Santoso M, Si;

6.1.3. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut surat Keputusan

Walikota Salatiga Nomor: 888/290/2010 tanggal 4 Oktober

2010 tentang Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai

Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso M, Si;

6.1.4. Mewajibkan Tergugat untuk mengembalikan kedudukan

Penggugat sebagaimana posisi semula yaitu sebagai Pegawai

Negeri Sipil serta merehabilitasi nama baiknya dan

kehormatan diri Penggugat;

6.1.5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp 156.500,- (seratus lima puluh enam ribu lima

ratus rupiah).

B. Pembahasan

1. Ketidaksesuaian Ratio Decidendi Hakim Mengenai Pembatalan

Keputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa dengan Peraturan

Perundang-Undangan

Pengertian penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya

memastikan berlakunya hukum positif dalam kehidupan sehari-hari, atau

mewujudkan law in the book menjadi law in action, atau juga

mewujudkan berlakunya hukum materiil dengan menggunakan hukum

formil (hukum acara). Penegakan hukum secara konkret adalah

berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut

ditaati.60

Dengan demikian penegakan hukum dapat dimaknai sebagai

menegakan hukum materiil dengan menggunakan tata cara sebagaimana

yang sudah ditentukan dalam hukum formil atau hukum acara.

Berdasarkan pengertian penegakan hukum di atas dapat

dikemukakan pengertian hukum formil atau hukum acara. Hukum formil

atau hukum acara adalah seperangkat aturan yang berisi tata cara untuk

menegakan hukum materiil. Sesuai dengan pengertian hukum acara

tersebut, yang dimaksud dengan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha

Negara adalah seperangkat aturan mengenai tata cara beracara di

Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Peradilan Tata

Usaha Negara adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara

60

Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 292

bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan

cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk

melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata Usaha Negara.

Adakalanya aparat pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan,

membuat keputusan yang melampaui batas kewenangannya

(detournement de pouvior) atau ada kekeliruan dalam menerapkan

peraturan hukumnya saat menyelesaikan suatu masalah tertentu yang

konkret (abus de droit), sehingga akibatnya ada masyarakat yang

dirugikan oleh keputusannya itu. Maka Peradilan Tata Usaha Negara

berfungsi sebagai badan tempat masyarakat mencari keadilan.61

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sebagai hukum formil

dimaksudkan untuk menegakan hukum materiil yakni Hukum

Administrasi Negara. Berbeda dengan pengaturan dalam Hukum Acara

Perdata dan Hukum Acara Pidana, maka model pengaturan hukum formil

maupun hukum materiil yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha

Negara diatur dalam satu Undang-Undang yaitu Undang-Undang tentang

Peradilan Tata Usaha Negara yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang

Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

61

Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2001, hlm. 109

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu lingkungan

peradilan yang ada dalam kekuasaan kehakiman, hal ini sesuai dengan

bunyi dari pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan:

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi.

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan sub sistem dari peradilan

yang ada di Indonesia, sistem peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah

Agung sebagai badan peradilan yang tertinggi. Peradilan Tata Usaha

Negara merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia

yang menangani sengketa Tata Usaha Negara. Hal tersebut sesuai dengan

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyebutkan:

Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha

Negara.

Sengketa atau perkara administrasi merupakan perselisihan antara

dua pihak yaitu warga negara masyarakat/warga negara dan pemerintah

atau penguasa dalam bidang hukum publik, khususnya hukum

administrasi.62

Sehingga, apabila terjadi sengketa antara rakyat (orang

atau badan hukum perdata) melawan pemerintah (badan atau pejabat Tata

Usaha Negara) dan sengketa tersebut adalah sengketa di bidang Tata

Usaha Negara maka akan diselesaikan di Lembaga Peradilan Tata Usaha

62

R. Soegijatno Tjakranegara, Op. Cit., hlm. 22.

Negara. Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pengadilan

Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Hal ini

sesuai dengan rumusan pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

yang menyebutkan:

Pengadilan terdiri atas:

a. Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan tingkat

pertama;

b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan

tingkat banding;

Kewenangan absolut dari pengadilan di lingkungan Peradilan

Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata

Usaha Negara. Pengertian “Sengketa Tata Usaha Negara” ditentukan

dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1

Angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang

Nomor 51 Tahun 2009):

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam

bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata

dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun

di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha

Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.63

Dari pengertian tersebut, dapat dilihat objek dari sengketa tata usaha

negara ialah adanya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang

dikeluarkan oleh lembaga tata usaha negara atau pemerintah atau

keputusan dari aparat pada lembaga tata usaha atau pemerintah tersebut.

63

R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 6.

Penyelesaian sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara

merupakan wewenang yudikatif dari PeradilanTata Usaha Negara.64

Tiap-tiap proses sengketa Tata Usaha Negara selalu dimulai

dengan diajukannya surat gugatan oleh penggugat atau oleh kuasanya

dalam daerah hukum pengadilan di mana tergugat bertempat kedudukan.

Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan

oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan

tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar

Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau

tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau

rehabilitasi, hal tersebut diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pernyataan yang

menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa batal atau

tidak sah atau juga menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara objek

sengketa sah menurut hukum dituangkan dalam amar putusan hakim.

Sebelum hakim menjatuhkan amar putusan untuk menjawab

tuntutan dari pihak penggugat, terlebih dahulu hakim membuat dasar-

dasar pertimbangan hukum berisi argumentasi atau alasan hukum untuk

sampai pada suatu putusan. Argumentasi atau alasan hakim dalam suatu

pertimbangan hukum dikenal dengan istilah Ratio Decidendi.65

Pasal 109

ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

64

C.S.T Kansil, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Pradnya

Paramitha, Jakarta, 2000, hlm. 2 65

W. Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm. 16.

Usaha Negara menentukan bahwa salah satu yang harus ada dalam suatu

putusan hakim adalah alasan hukum yang menjadi dasar putusan.

Ratio Decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan

untuk sampai pada suatu putusan. Ratio Decidendi yang termuat dalam

pertimbangan hukum hakim dalam suatu putusan merupakan salah satu

tolok ukur untuk menentukan mutu dari suatu putusan pengadilan.

Putusan yang tidak mencantumkan pertimbangan hukum hakim akan

menyebabkan putusan tersebut batal demi hukum.66

Ratio decidendi hakim seharusnya dapat dipertanggung jawabkan,

baik secara yuridis normatif maupun secara yuridis akademis (doctrinal).

Dalam praktik terdapat beberapa ratio decidendi hakim yang

menimbulkan persoalan yuridis, salah satunya yakni dalam Putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg.

Kasus posisi dalam a quo dapat di deskripsikan secara singkat

sebagai berikut:

1. Pada mulanya Penggugat (Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si.) yang

merupakan Pegawai Negeri Sipil di Gunung Kidul pada bulan

Oktober tahun 2008 ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak

pidana korupsi oleh penyidik Kejaksaan Tinggi D.I.Y, sebelum

terjerat perkara pidana tersebut Penggugat telah mengajukan

permohonan mutasi ke pemerintah Salatiga dan permohonan tersebut

dikabulkan, kemudian atas dasar penetapan sebagai tersangka oleh

66

R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 194.

penyidik Kejaksaan Tinggi D.I.Y tersebut Tergugat (Walikota

Salatiga) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 887/06/2010,

tertanggal 25 Januari 2010 tentang Pemberhentian Sementara

Penggugat dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri Sipil.

2. Perkara tindak pidana korupsi tersebut diadili di Pengadilan Negeri

Wonosari dalam perkara nomor 02/Pid.B/2010/Pn.Wns., adapun

amar putusan Hakim Pengadilan Negeri Wonosari menyatakan

bahwa Penggugat terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-

sama dan berlanjut sebagaimana diatur dalam pasal 3 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1)

KUHP.

3. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri yang telah inkrah, Tergugat

menerbitkan Surat Keputusan Nomor 888/290/2010 tanggal 4

Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai

Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si. (surat

keputusan objek sengketa)

4. Penggugat merasa sangat dirugikan atas diterbitkannya surat

keputusan objek sengketa tersebut dengan alasan Tergugat dalam

menerbitkan surat keputusan objek sengketa bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan dan tidak sesuai dengan Asas-Asas

Umum Pemerintahan yang Baik.

5. Menurut Penggugat, tindakan Tergugat yang menerbitkan Surat

Keputusan objek sengketa merupakan tindakan yang tidak cermat,

ceroboh, tergesa-gesa, mendzolimi hak konstitusional, sewenang-

wenang dan telah salah dalam mengambil dasar Konsideran.

6. Dalam Konsideran menimbang menurut Penggugat, Tergugat salah

dalam menafsirkan sekaligus mendasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan khususnya pada ketentuan Pasal 9 huruf a PP

No. 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil,

diterangkan bahwa tindak pidana kejahatan jabatan dimaksud adalah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 s/d 436 KUHP, substansi

dalam pasal tersebut adalah adanya unsur kesengajaan dan rencana

untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain untuk keuntungan

baginya dari penyalahgunaan yang diamanatkan, dengan demikian

tindakan Tergugat tersebut adalah tindakan yang sewenang-wenang,

ceroboh, arogan tendesius dan bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, sehingga Penggugat mohon

kepada Majelis Hakim untuk menyatakan surat keputusan objek

sengketa batal atau tidak sah.

Adapun pertimbangan hukum Hakim dapat dideskripsikan secara

singkat, sebagai berikut:

1. Pokok permasalahan yang dibuktikan adalah apakah benar sengketa

a quo yang dikeluarkan oleh Tergugat telah bertentangan dengan

peraturan perundang undangan yang berlaku dan melanggar Asas-

Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b Undang Undang No. 51 Tahun

2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

2. Penggugat diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai

Negeri Sipil oleh Tergugat dengan mendasrakan Pasal 23 ayat 5

huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 pasal 9 huruf a

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1979 dikarenakan telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana

korupasi yang dilakukan secara bersama-sama dan berkelanjutan

berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor

02/Pid.B/2010/PN.Wns;

3. Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menyatakan bahwa

dari putusan Pengadilan Negeri Wonosari No.

02/Pid.B/2010/PN.Wns tidak diketemukan fakta bahwa Penggugat

telah bersalah dalam jabatannya tersebut dengan sengaja melakukan

perbuatan korupsi;

4. Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang juga

mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong penggugat

melakukan tindak pidana korupsi;

5. Selain itu, Majelis Hakim menyatakan dalam pertimbangan

hukumnya bahwa Tergugat dalam mengeluarkan Keputusan Tata

Usaha Negara tidak sesuai dengan asas proporsionalitas karena tidak

memperhatikan faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan

tindak pidana korupsi, serta tidak mempertimbangkan ada tidaknya

unsur kesengajaan dari Penggugat dalam melakukan tindak pidana

korupsi;

6. Bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan tersebut di atas, maka

menurut Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya tindakan

Tergugat yang telah menerbitkan Surat Keputusan obyek sengketa

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dalam Pasal 23 ayat 5 huruf c No. 43 Tahun 1999 jo Pasal 9 huruf a

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 dan bertentangan

dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik terutama asas

proporsional sesuai dengan Pasal 53 ayat 2 Undang-Undang No. 5

Tahun 1986 jo Undang Undang No. 9 Tahun 2004 jis Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha,

sehingga gugatan Penggugat harus dikabulkan

7. Atas dasar pertimbangan hukum Hakim tersebut, Majelis Hakim

kemudian mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya serta

menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa batal dan

tidak sah.

Sesuai dengan kasus posisi dan pertimbangan hakim di atas, berikut

ini akan dibahas mengenai ketidaksesuaian ratio decidendi Hakim

mengenai pembatalan keputusan tata usaha negara objek sengketa

dengan peraturan perundang-undangan. Pada awal pertimbangan hukum,

Hakim menyatakan bahwa pokok permasalahan yang dibuktikan adalah

apakah benar sengketa a quo yang dikeluarkan oleh Tergugat telah

bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dan

melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b Undang Undang No. 51

Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yang

mengatur bahwa alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan

adalah :

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan

dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004

tersebut di atas yang kemudian dijadikan dasar-dasar (kriteria dan

ukuran) untuk menguji (toetsingsgronden) bagi Hakim Tata Usaha

Negara pada waktu menilai apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang

disengketakan bersifat melawan hukum atau tidak.

Salah satu alat untuk menguji keabsahan suatu Keputusan Tata

Usaha Negara adalah apakah Keputusan Tata Usaha Negara tersebut

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Indroharto, suatu penetapan tertulis (KTUN) dianggap

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena antara lain:67

67

Ibid., hlm. 172-173.

1) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengira

memiliki suatu wewenang untuk mengeluarkan atau menolak

mengeluarkan suatu keputusan, padahal ia sebenarnya tidak

berwenang untuk berbuat demikian, atau dengan kata lain suatu

keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha

Negara yang sebenarnya badan atau pejabat Tata Usaha Negara

tidak punya wewenang. Terhadap hal demikian apabila hal tersebut

disengketakan maka hakim yang memeriksa harus membatalkan

keputusan yang dimaksud.

2) Berdasarkan peraturan, yang bersangkutan mempunyai wewenang

untuk mengeluarkan suatu keputusan, tetapi wewenang tersebut

sebenarnya tidak diberikan kepada instansi yang telah

mengeluarkan keputusan yang sedang digugat. Kasuistis yang

demikian biasanya berhubungan dengan delegasi yang sebenarnya

delegasi tersebut tidak didasarkan adanya suatu keputusan

pendelegasian dari si delegans.

3) Ada dasar dalam peraturan perundang-undangan tentang suatu

wewenang, akan tetapi keputusan yang disengketakan itu sendiri

bertentangan dengan peraturan dasarnya atau bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lain.

4) Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya

penetapan yang bersangkutan sebenarnya bertentangan dengan

peraturan yang lebih tinggi.

5) Penetapan yang disengketakan itu dikeluarkan menyimpang dari

peraturan-peraturan prosedur yang harus ditetapkan.

Berdasarkan uraian di atas, berarti salah satu alat uji atau tolok

ukur keabsahan (rechtmatigheid) suatu Keputusan Tata Usaha Negara

adalah berupa peraturan perundang-undangan, aspek-aspek yang diukur

adalah meliputi: Wewenang, Prosedur, Substansi.68

Ditinjau dari segi wewenang, Tergugat sebagai Walikota

merupakan Pejabat Tata Usaha Negara yang memang berwenang untuk

mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa. Hal ini

diatur dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan

dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, yang menyatakan bahwa:

68

Philipus M. Hadjon, dkk. Op. Cit., hlm. 330.

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota

menetapkan:

b. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota

yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d

kebawah di lingkungannya.

Yang dimaksud dengan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah

Kabupaten/Kota dalam Peraturan Pemerintah tersebut di atas adalah

Bupati/Walikota. Dalam hal ini Penggugat juga merupakan Pegawai

Negeri dengan golongan III/d. Sehingga, Tergugat yang merupakan

Walikota, dalam hal ini memang berwenang untuk mengeluarkan Surat

Keputusan Pemberhentian Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil tidak

dengan hormat.

Ditinjau dari segi prosedur, Tergugat dalam menerbitkan

Keputusan Tata Usaha Negara sudah sesuai dengan prosedur penerbitan,

yaitu pada saat ada dugaan tindak pidana korupsi terhadap penggugat,

Tergugat mengeluarkan surat pemberhentian sementara Nomor

887/06/2010 terhadap penggugat.

Untuk kepentingan peradilan, seorang Pegawai Negeri yang

didakwa telah melakukan suatu kejahatan/pelanggaran jabatan dan oleh

pihak yang berwajib dikenakan tahanan sementara, mulai saat

penahanannya harus dikenakan pemberhentian sementara. Hal ini sesuai

dengan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian yang menyatakan bahwa:

Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan penahanan oleh pejabat yang

berwajib karena disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan

sampai mendapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap, dikenakan pemberhentian sementara.

Setelah keluar putusan inkrah dari Pengadilan Negeri Wonosari

yang menyatakan bahwa penggugat terbukti bersalah melakukan tindak

pidana korupsi secara bersama- sama, barulah tergugat mengeluarkan

surat pemberhentian tidak dengan hormat kepada Penggugat. Hal ini

sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999

tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang merupakan perubahan dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, diatur dalam ketentuan pasal 23

ayat (5) huruf c, yaitu :

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena

dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena

melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana

kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.

Ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun

1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian diperkuat lagi dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1979 pasal 9 huruf a tentang

pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang merupakan penjabaran

lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 23 ayat (5)

huruf c, yang menyatakan:

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai

Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan

berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan

jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan

jabatan.

Tergugat dalam mengeluarkan Surat Keputusan objek sengketa

juga sudah didasarkan atas Surat Sekertaris Daerah Provinsi Jawa Tengah

Nomor: 862/194 tanggal 31 Agustus 2010 perihal Rekomendasi

Penyelesaian Kasus Atas Nama Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si.

(Penggugat) yang merekomendasikan agar Penggugat diberhentikan

tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Sehingga sudah tepat

apabila Penggugat diberhentikan tidak dengan hormat.

Ditinjau dari segi substansi, Keputusan Tata Usaha Negara yang

dikeluarkan oleh Tergugat sudah tepat. Karena Keputusan Tata Usaha

Negara objek sengketa menunjuk pada ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf

c Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32

tahun 1979 pasal 9 huruf a tentang pemberhentian Pegawai Negeri

Sipil yang pada intinya menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang di

pidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan

suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang

ada hubungannya dengan jabatan diberhentikan tidak dengan hormat.

Maka sudah tepat bahwa Pegawai Negeri Sipil yang terbukti melakukan

tindak pidana korupsi memang harus diberhentikan tidak dengan hormat,

karena tindak pidana korupsi termasuk dalam pengertian tindak pidana

kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya

dengan jabatan.

Berdasarkan analisis keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara

yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa surat keputusan

objek sengketa sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Penilaian keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang menjadi kriteria adalah kewenangan

pejabat yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut,

prosedur terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, dan isi

substansi Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Sesuai dengan

konsep keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara, sekalipun alasan

terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara karena Penggugat melakukan

tindak pidana korupsi, maka seharusnya pertimbangan hukum hakim

tidak sampai pada menilai atau mengoreksi putusan hakim Pengadilan

Negeri Wonosari yang menyatakan bahwa Penggugat telah terbukti

secara sah melakukan tindak pidana korupsi. Demikian pula seharusnya

pertimbangan hukum hakim tidak sampai pada pertimbangan mengenai

faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana

korupsi, apalagi mempersoalkan ada/tidaknya unsur kesengajaan yang

terdapat dalam diri Penggugat ketika melakukan tindak pidana korupsi.

Secara substansiil yang harus dipertimbangkan untuk menilai

sah/tidaknya surat keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa adalah:

1. Adanya putusan Pengadilan Negeri Wonosari yang telah inkrah yang

menyatakan bahwa Penggugat telah terbukti secara sah melakukan

tindak pidana korupsi.

2. Isi ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43

Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian jo. Pasal 9 huruf

a Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1979 tentang

pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.

Ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43

Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian jo. Pasal 9 huruf a Peraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri

Sipil di atas merupakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

yang menjadi dasar dikeluarkannya Surat Keputusan Tata Usaha Negara

objek sengketa, sehingga apabila terhadap seorang Pegawai Negeri Sipil

telah dijatuhi putusan pidana penjara atau kurungan berdasarkan

keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap

karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak

pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan, maka seharusnya

Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyidangkan

perkara a quo harus menghormati putusan Pengadilan Negeri Wonosari

yang telah inkrah tersebut. Dan sudah menjadi suatu ketentuan yang pasti,

putusan Pengadilan Negeri Wonosari yang sudah inkrah tersebut dijadikan

parameter untuk menilai secara substansial keabsahan Surat Keputusan

Tata Usaha Negara objek sengketa.

Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni

Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim di

lingkungan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa fakta suatu

tindak pidana yang telah diputus oleh pengadilan pidana. Karena masing-

masing badan peradilan mempunyai wewenang untuk menerima,

memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara jenis

tertentu yang mutlak tidak dapat dilakukan badan peradilan yang lain.

Wewenang masing-masing badan peradilan inilah yang dinamakan

wewenang mutlak (kompetensi absolut).69

Sebagaimana telah dideskripsikan di atas bahwa Surat Keputusan

objek sengketa dinyatakan batal atau tidak sah, hal ini menimbulkan

suatu konsekuensi yuridis terhadap amar putusan hakim, yaitu

dikabulkannya gugatan Penggugat. Untuk mengetahui ketepatan amar

putusan Pengadilan Tata Usaha Negara perlu dikemukakan ketentuan

Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang

menyatakan bahwa:

Putusan Pengadilan dapat berupa:

a. Gugatan ditolak;

b. Gugatan dikabulkan;

c. Gugatan tidak diterima;

d. Gugatan gugur.

69

Riduan Syahrani, Kata – Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, P.T. Alumni, Bandung,

2009, hlm. 37-38.

Berdasarkan jenis putusan tersebut, dalam perkara a quo seharusnya

Hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan gugatan ditolak. Putusan

berupa gugatan ditolak adalah putusan yang menyatakan bahwa

Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha

Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dinyatakan batal

atau sah.70

Surat Keputusan objek sengketa yang diterbitkan oleh

Tergugat dalam perkara a quo sudah sesuai dengan perundang-undangan

yang berlaku sehingga dalam hal ini seharusnya gugatan Penggugat

ditolak dan Surat Keputusan objek sengketa tetap dinyatakan sah.

2. Penerapan Asas Pembuktian Bebas Dalam Putusan Nomor

03/G/2011/PTUN.Smg

Asas hukum sangat penting karena Asas-asas hukum merupakan

“jantungnya” peraturan hukum. Asas-asas hukum adalah unsur yang

penting dan pokok dari peraturan hukum, karena: Pertama, asas-asas

hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu

peraturan hukum. Kedua, asas-asas hukum merupakan ratio logis atau

alasan bagi lahirnya peraturan hukum.71

Ciri khas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara terletak pada

asas-asas hukum yang melandasinya, dan dalam Hukum Acara Peradilan

Tata Usaha Negara terdapat beberapa asas hukum yang melandasi.

yaitu:72

70

R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 192. 71

Suparto Wijoyo, Op,Cit., hlm. 46. 72

Philipus M. Hadjon, dkk, Op.Cit., hlm. 313.

1. Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid =

praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa

setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai

ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda

pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (Pasal 67

ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 1986).

2. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban

pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW. Asas

ini dianut pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya

saja masih dibatasi ketentuan Pasal 100.

3. Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis). Keaktifan hakim

dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena

Tergugat adalah Pejabat Tata Usaha Negara sedangkan Penggugat

adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini antara

lain terdapat dalam ketentuan Pasal: 58, 63 ayat (1) dan (2), 80, 85

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

4. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga

omnes”. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum

publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara

berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi para pihak yang

bersengketa.

Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal pembuktian menganut

ajaran pembuktian bebas. Hukum pembuktian adalah hukum yang

mengatur tentang tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang

menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.

Fakta tersebut dapat terdiri dari fakta hukum dan fakta biasa.73

Asas pembuktian bebas dalam Peradilan Tata Usaha Negara

tercermin dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 yang pada intinya menyatakan bahwa pada Peradilan Tata Usaha

Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna

memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini

mengarah pada ajaran pembuktian bebas.

73

R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 171.

Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah ajaran

atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang

mengikat Hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan

kepada Hakim. Ajaran pembuktian bebas diikuti karena proses

pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap Sengketa Tata Usaha Negara

yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51

Tahun 2009, menurut pembuat undang-undang dimaksudkan untuk

memperoleh kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil.74

Eksistensi asas pembuktian bebas diatur dalam Pasal 107 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa:

Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian

beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian

diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan

Hakim.

Penjelasan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

menyebutkan bahwa:

Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan

kebenaran materiil. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam

Hukum Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu

yang terjadi dalam pemeriksaan, tanpa tergantung pada fakta dan hal

yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara

dapat menentukan sendiri:

c. apa yang harus dibuktikan;

d. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus

dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus

dibuktikan oleh Hakim sendiri;

e. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam

pembuktian;

f. kekuatan pembuktian yang telah diajukan.

74

Ibid., hlm. 119.

Asas pembuktian bebas terdapat empat aspek: ruang-lingkup

pembuktian (”bewijsomvang”), pembagian beban pembuktian

(”bewijslastverdeling”), alat-alat bukti (”bewijsmiddelen”) dan penilaian

penghargaan pembuktian (”bewijswaardering”). Keempat aspek ini

membawa konsekuensi-konsekuensi tersendiri yang merupakan

karakteristik hukum acara (pembuktian) Peradilan Tata Usaha Negara,

yaitu:75

a. Dalam melakukan pembuktian hakim tidak tergantung pada fakta

yang dikemukakan para pihak (aspek luas pembuktian -

”bewijsomvang”);

b. Hakim yang menetapkan beban pembuktian (aspek pembagian

beban pembuktian - ”bewijslastverdeling”);

c. Tidak dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat hakim dalam

memilih alat-alat bukti (aspek alat-alat bukti - ”bewijsmiddelen”);

d. Penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim (aspek

penilaian penghargaan pembuktian -”bewijswaardering”).

Hakim dalam melakukan pembuktian jika dilihat dari aspek luas

pembuktian tidak tergantung pada fakta yang dikemukakan para pihak.76

Pada pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara yang menjadi pusat

perhatian adalah pengujian Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.

Disini Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara meneliti apakah badan atau

pejabat Tata Usaha Negara pada waktu (Tergugat) pada waktu

menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara itu bertolak pada fakta yang

benar-benar relevan atau tidak.

75

Suparto Wijoyo, Op.Cit., hlm. 115. 76

Ibid., hlm. 116.

Berbeda dengan ketentuan hukum acara perdata yang berdasarkan

Pasal 1865 BW jo. Pasal 163 HIR dan 283 R.Bg tentang beban

pembuktian yang mendalilkan bahwa siapa yang menggugat, dialah yang

membuktikan,77

dalam Hukum Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan

aspek pembagian beban pembuktian bertumpu pada aspek

bewijslastverdeling dari asas pembuktian bebas, dimana Hakim

Pengadilan Tata Usaha Negara tidak boleh menolak suatu gugatan atas

dalih penggugat tidak dapat membuktikan gugatannya. Pembagian beban

pembuktian oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara adalah

dengan cara menentukan kepada pihak Penggugat harus dibebankan

pembuktian tentang dalil-dalil yang dibantah oleh Tergugat (Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara), dan sebaliknya kepada Tergugat (Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara) akan dibebankan pembuktian bahwa

Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan adalah sah dan

berdasarkan undang-undang.

Berdasarkan aspek alat-alat bukti tidak dikehendaki adanya

ketentuan yang mengikat Hakim dalam memilih alat-alat bukti. Secara

teoritis, terdapat pembagian Keputusan Tata Usaha Negara menjadi 2

(dua), yaitu:

1. Keputusan Tata Usaha Negara terikat (gebonden beschikking) dan

2. Keputusan Tata Usaha Negara bebas (vrije beschikking).

77

Suparto Wijoyo, Op. Cit., hlm. 118.

Keputusan Tata Usaha Negara terikat (gebonden beschikking), pada

dasarnya hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya

suatu ruang kebebasan bagi Pejabat yang yang bersangkutan

menginterprestasikannya. Sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara

bebas (vrije beschikking) didasarkan pada suatu kebebasan bertindak

yang lazimnya dikenal dengan asas fries ermessen (discretionary power).

Ada 2 (dua) macam kebebasan ini, yakni:

1. Kebebasan kebijaksanaan, yaitu kebebasan bertindak dalam arti

kebebasan untuk memutus secara mandiri.

2. Kebebasan interpretasi, yaitu kebebasan Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara untuk menginterpretasikannya.

Terhadap kedua jenis Keputusan Tata Usaha Negara diatas dapat

dilakukan pengujian apakah suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu

rechmatig atau onrechmatig. Keputusan Tata Usaha Negara terikat

(gebonden beschikking) diuji melalui hukum tertulis (peraturan

perundang-undangan). Sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara bebas

tidak cukup diuji dengan hukum tertulis saja, melainkan juga dengan

hukum tidak tertulis yang berupa Asas-asas Umum Pemerintahan Yang

Baik.78

Tolok ukur pengujian Keputusan Tata Usaha Negara terikat

(gebonden beschikking) melalui hukum tertulis oleh hakim Pengadilan

78

Ibid., hlm. 125-127.

Tata Usaha Negara didasarkan pada pasal 100 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986, yang berbunyi:

(1) Alat bukti ialah :

b. surat atau tulisan;

c. keterangan ahli;

d. keterangan saksi;

e. pengakuan para pihak;

f. pengetahuan Hakim

(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

Sedangkan dasar hukum kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha

Negara untuk menerapkan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

untuk menguji Keputusan Tata Usaha Negara bebas (vrije beschikking)

yang digugat adalah ialah Pasal 16 Ayat (1) jo. Pasal 28 Ayat (1) UU No.

4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. JUKLAK Mahkamah

Agung No. 052/Td/TUN/III/1992 tanggal 24 maret 1992, pada butir V

Tentang Diktum putusan angka 1. Pasal 16 Ayat (1) UU No. 4 Tahun

2004, berbunyi:

Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum

tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya.

Ketentuan demikian dalam hukum dikenal dengan asas Ius Curia Novit,

yang berarti pengadilan (hakim) tahu hukum. Selajutnya Pasal 28 Ayat

(1) UU No. 4 Tahun 2004, berbunyi:

Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Penjelasannya menyatakan:

Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum

dan rasa keadilan masyarakat.79

Dalam hubungannya dengan Surat Keputusan Tata Usaha Negara objek

sengketa apabila dihubungkan dengan adanya 2 (dua) golongan

Keputusan Tata Usaha Negara, maka Surat Keputusan Tata Usaha

Negara objek sengketa dikategorikan sebagai keputusan Tata Usaha

Negara yang terikat (gebonden beschikking). Alasannya yaitu karena

Surat Keputusan objek sengketa tidak didasarkan pada kewenangan

bebas (fries ermessen), akan tetapi didasarkan pada peraturan perundang-

undangan yang sudah jelas, pasti dan ketat. Berdasarkan hal tersebut

maka tolok ukur untuk menilai keabsahan Surat Keputusan Tata Usaha

Negara objek sengketa adalah peraturan perundang-undangan, dalam hal

ini yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dan Peraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979, dengan demikian Surat Keputusan

Tata Usaha Negara objek sengketa tidak tepat apabila keabsahannya

dinilai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Penilaian pembuktian dalam aspek penilaian – penghargaan

pembuktian, diserahkan sepenuhnya kepada Hakim.80

Ketentuan Pasal

107 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara menegaskan : “…

untuk sahnya pembuktian diperlukan dua alat bukti berdasarkan

79

Ibid., hlm. 128-129. 80

Ibid., hlm. 130.

keyakinan Hakim”. Ketentuan ini dapat menimbulkan pemahaman

berikut:

a. Pertama, untuk memperoleh suatu kebenaran materiil, diperlukan

dua alat bukti yang sah, yang ditetapkan oleh Undang-Undang

(Pasal 100 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara).

b. Kedua, biarpun bertumpuk-tumpuk alat bukti, belum cukup untuk

memaksa Hakim menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi

diperlukan keyakinan Hakim.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat diketahui bahwa

Hakim Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kebebasan yang luas

dalam rangka mencari kebenaran materiil. Dalam Putusan Nomor

03/G/2011/PTUN.Smg, Hakim sudah menerapkan asas pembuktian

bebas dalam pertimbangan hukumnya.

Adapun penerapan asas pembuktian bebas dalam perkara a quo

dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Hakim menentukan sendiri mengenai apa yang harus dibuktikan,

yaitu:

“Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara

objek sengketa tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang

mendorong Penggugat melakukan tindak pidana korupsi dan

Tergugat tidak mempertimbangkan ada/tidaknya unsur kesengajaan

Penggugat dalam melakukan tindak pidana korupsi.”

2. Baik Penggugat maupun Tergugat sebenarnya tidak mempersoalkan

faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana

korupsi. Hal ini berarti Hakim tidak terikat pada hal-hal yang

disampaikan oleh para pihak.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara memang menganut asas

pembuktian bebas, namun asas pembuktian bebas disini bukan berarti

Hakim bebas tanpa batas dalam menerapkannya. Meskipun, Hakim

memiliki kewenangan bebas dalam memutus suatu perkara, namun

Hakim tetap terikat, yaitu harus tetap sesuai dengan hukum yaitu harus

tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

hukum yang ada.

Ratio decidendi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg. sebagaimana telah diuraikan

dalam bab sebelumnya, Hakim membuat pertimbangan hukum tersendiri

tanpa memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada. Padahal

jelas dinyatakan dalam ketentuan pasal pasal 23 ayat (5) huruf c,

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1974, bahwa:

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena

dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena

melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana

kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.

Dan diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun

1979 pasal 9 huruf a tentang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil

yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 43

Tahun 1999 pasal 23 ayat (5) huruf c, yang menyatakan:

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai

Pegawai Negeri Sipil apabila di pidana penjara atau kurungan

berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan

jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan

jabatan.

Peraturan perundang-undangan tersebut di atas jelas menyatakan

bahwa Pegawai Negeri Sipil yang terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan

yang ada hubungannya dengan jabatan yang salah satunya adalah korupsi

harus diberhentikan tidak dengan hormat. Apalagi sudah diperkuat

dengan adanya putusan inkrah dari Pengadilan Negeri yang menyatakan

Ir. Ridwan Santoso, M.Si (Penggugat) terbukti bersalah melakukan

tindak pidana korupsi dan telah dijatuhi hukuman penjara. Sehingga

keputusan Tergugat untuk memberhentikan Penggugat tidak dengan

hormat memang sudah tepat. Seharusnya Hakim Pengadilan Tata Usaha

Negara memahami hal tersebut dan menerapkan peraturan perundang-

undangan yang ada dalam hal menentukan beban pembuktian dan

menjatuhkan putusan.

Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam hal ini telah

mengabaikan kewenangan dari masing-masing lingkungan peradilan.

Setiap lingkungan peradilan mempunyai kewenangan mutlak masing-

masing yang seharusnya tidak boleh digunakan oleh lingkungan

peradilan yang lain. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang

mendorong Penggugat melakukan tindak pidana korupsi dan menyatakan

ada ketidaksengajaan Penggugat dalam melakukan tindak pidana korupsi

menunjukkan bahwa Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang

tidak menghargai putusan Hakim Pengadilan Negeri. Tidak seharusnya

Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara menilai mengenai tindak pidana

korupsi yang dilakukan Tergugat karena hal tersebut merupakan

kewenangan Hakim Pengadilan Negeri.

Hakim dalam menjatuhkan putusan juga harus memperhatikan

nilai-nilai dan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Tindak Pidana

korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merugikan masyarakat

luas. Sehingga, untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat maka

memang Pegawai Negeri Sipil yang terbukti melakukan tindak pidana

korupsi harus diberhentiakan tidak dengan hormat. Masyarakat pasti akan

merasa sangat dirugikan apabila seorang Pegawai Negeri Sipil yang

terbukti melakukan tindak pidana korupsi tidak dijatuhi hukuman yang

seharusnya dijatuhkan kepadanya.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat diketahui bahwa

Hakim keliru dalam menerapkan asas pembuktian bebas. Karena tidak

memperhatikan hukum yang berlaku.

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Ratio decidendi Hakim Mengenai Pembatalan Keputusan Tata Usaha

Negara Objek Sengketa dalam putusan tersebut tidak sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena dalam

pertimbangannya, hakim menilai putusan Pengadilan Negeri mengenai

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Penggugat, baik mengenai

faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana

korupsi maupun unsur ketidaksengajaan Penggugat dalam melakukan

tindak pidana korupsi tersebut, serta tidak tepat dalam

mempertimbangkan keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara objek

sengketa dari segi substansial. Untuk menentukan keabsahan Keputusan

Tata Usaha Negara objek sengketa, seharusnya Hakim tidak sampai pada

penilaian terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Penggugat,

karena hal itu merupakan kewenangan Hakim Pengadilan Negeri

Wonosari.

2. Penerapan asas pembuktian bebas dalam Putusan Nomor

03/G/2011/PTUN.Smg ditandai dengan adanya kebebasan Hakim dalam

menentukan apa yang harus dibuktikan. Menurut Majelis Hakim yang

harus dibuktikan adalah faktor-faktor yang mendorong Penggugat

melakukan tindak pidana korupsi serta unsur ketidaksengajaan Penggugat

dalam melakukan tindak pidana korupsi. Dengan demikian Hakim telah

melampaui kewenangan Hakim pidana yaitu Hakim Pengadilan Negeri

Wonosari. Selain itu, baik Penggugat maupun Tergugat sebenarnya tidak

mempersoalkan faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan

tindak pidana korupsi, hal ini berarti Hakim tidak terikat pada hal-hal

yang disampaikan oleh para pihak. Berdasarkan penjelasan tersebut,

maka dapat disimpulkan bahwa Hakim sebenarnya telah menerapkan

asas pembuktian bebas dalam Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg,

namun Hakim keliru dalam menerapkan asas pembuktian bebas tersebut

karena tidak memperhatikan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memang bebas dalam hal

menetukan apa yang harus dibuktikan dan penilaian terhadap pembuktian

sebagaimana diatur dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986. Namun, Hakim seharusnya tetap memperhatikan kebenaran

materiil sesuai dengan hukum sebagaimana ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan yakni Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang

Nomor 43 Tahun 1999 jo. Pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor

32 Tahun 1979.

B. Saran

1. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara lebih memperhatikan kewenangan

Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa Tata Usaha

Negara, dan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta asas-

asas hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, agar tepat dalam

mencari kebenaran materiil terhadap perkara yang diadilinya.

2. Mahkamah Agung dapat memberikan pengarahan dan pendidikan lebih

kepada Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, agar Hakim Pengadilan

Tata Usaha Negara tidak keliru dalam menjatuhkan suatu putusan.

Daftar Pustaka

Buku Literatur: Atmosudirjo, Slamet Prajudi. 1994. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia

Indonesia. Cetakan X.

H.R, Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Harahap, Zairin. 2001. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Hartini, Sri, Sitiajeng, Kadarsih, & Tedi, Sudrajat, 2008, Hukum Kepegawaian Di

Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Indroharto. 2000. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara. Buku I. Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha

Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kansil, C.S.T. 2000. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT.

Pradnya Paramitha.

M. Hudjon, Philipus, dkk. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Marzuki, Peter Mahmud . 2005. Penelitian Hukum. Cetakan Pertama. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Mertokusumo, Sudikno. 2009. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan

Pertama. Edisi Kedelapan. Yogyakarta: Liberty.

Mustafa, Bachsan. 2001. Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia.

Bandung: Citra Aditya Bakti.

Prodjohamidjojo, Mr. Martiman. 2005. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha

Negara Dan UU PTUN 2004. Bogor: Ghalia Indonesia.

Pudjosewojo, Kusumadi. 1983. Pedoman Pembelajaran Tata Hukum Indonesia.

Jakarta: Aksara Baru.

Tjakranegara, R. Soegijatno. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada.

Soemitro, Ronny Haninjito. 1999. Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Suratman dan Phillips. 2012. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta.

Syahrani, Riduan. 2009. Kata – Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum. Bandung:

P.T. Alumni.

Tjandra, W. Riawan. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Edisi

Revisi. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Wijoyo, Suparto. 2005. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi

(Peradilan Tata Usaha Negara). Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga

University Press.

Wiyono, R. 2013. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Edisi Ketiga.

Jakarta: Sinar Grafika.

Undang-Undang: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang pemberhentian Pegawai

Negeri Sipil.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan,

Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.

Putusan Pengadilan: Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor:

03/G/2011/PTUN.Smg.